Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PENDAAHULUAN

2.1 DEFINISI
Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva atau radang selaput lendir
yang menutupi belakang kelopak dan bola mata, dalam bentuk akut maupun kronis.
Peradangan tersebut menyebabkan berbagai macam gejala, salah satunya yaitu mata
merah. Setiap peradangan pada konjungtiva dapat menyebabkan melebarnya pembuluh
darah sehingga menyebabkan mata terlihat merah (Pusparini, 2016).
Konjungtivitis merupakan penyakit mata paling umum didunia. Penyakit
konjungtivitis ini berada pada peringkat nomor 3 terbesar di dunia setelah penyakit
katarak dan glaukoma, khusus konjungtivitis penyebarannya sangat cepat. Penyakit ini
bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai berat dengan sekret
purulen kental. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh bakteri, klamidia, alergi, viral
toksik, berkaitan dengan penyakit sistemik. Peradangan konjungtiva atau konjungtivitis
dapat terjadi pula karena asap, angina dan sinar (Pusparini, 2016).
Konjungtivitis atau mata merah bisa menyerang siapa saja dan sangat mudah
menular, penularan terjadi ketika seorang yang sehat bersentuhan tangan seperti
bersalaman dengan seorang penderita konjungtivitis atau dengan benda yang baru
disentuh oleh penderita, lalu orang yang sehat tersebut menggosok tangannya ke mata
dan hal ini bisa menyebabkan penularan secara cepat sehingga dapat meningkatkan
jumlah penderita penyakit konjungtivitis. Konjungtivitis lebih sering terjadi pada usia 1-
25 tahun. Anak usia prasekolah dan anak usia sekolah kejadiannya paling sering karena
kurangnya hygiene dan jarang mencuci tangan (Abdurrauf, 2016).
Konjungtivitis keberadaannya dirasa cukup mengganggu karena penderita akan
mengalami beberapa gejala umum seperti mata terasa perih, berair, terasa ada yang
mengganjal disertai dengan adanya sekret atau kotoran pada mata (Abdurrauf, 2016).

2.2 KLASIFIKASI
Menurut Vaughan (2015), berdasarkan penyebabnya konjungtivitis dibagi menjadi
empat yaitu konjungtivitis yang diakibatkan karena bakteri, virus, jamur dan alergi.
1) Konjungtivitis bakteri
Konjungtivitis bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh
Staphylococcus, Streptococcus, Pneumococcus, dan Haemophillus.
Gejala konjungtivitis yaitu mukosa purulen, edema kelopak, kemosis
konjungtiva, kadang-kadang disertai keratitis dan blefaritis. Konjungtivitis bakteri
ini mudah menular dari satu mata ke mata sebelahnya dan dengan mudah menular ke
orang lain melalui benda yang dapat menyebarkan kuman. Konjungtivitis bakteri
dapat diobati dengan antibiotik tunggal seperti neospirin, basitrasin, gentamisin,
kloramfenikol, tobramisin, eritromisin, dan sulfa selama 2-3 hari (Vaughan, 2015).
2) Konjungtivitis Virus
Konjungtivitis virus merupakan penyakit umum yang disebabkan oleh berbagai
jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan cacat hingga
infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung lebih lama daripada
konjungtivitis bakteri.
Konjungtivitis virus biasanya diakibatkan karena demam faringokonjungtiva.
Biasanya memberikan gejala demam, faringitis, secret berair dan sedikit, folikel
pada konjungtiva yang mengenai satu atau kedua mata. Konjungtivitis ini biasanya
disebabkan adenovirus tipe 3,4 dan 7 dan penyebab yang lain yaitu organisme
Coxsackie dan Pikornavirus namun sangat jarang. Konjungtivitis ini mudah menular
terutama anak-anak yang disebarkan melalui kolam renang. Masa inkubasi
konjungtivitis virus 5-12 hari, yang menularkan selama 12 hari, dan bersifat
epidemic. Pengobatan konjungtivitis virus hanya bersifat suportif karena dapat
sembuh sendiri. Diberikan kompres, astringen, lubrikasi, dan pada kasus yang berat
dapat diberikan antibotik dengan steroid topical (Vaughan, 2015).
3) Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis jamur biasanya disebabkan oleh Candida albicans dan
merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak
putih yang dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem
imun yang terganggu. Selain candida sp, penyakit ini juga bisa disebabkan oleh
Sporothtrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides immitis walaupun
jarang (Vaughan, 2015).
4) Konjungtivitis alergi
Konjungtivitis alergi merupakan bentuk alergi pada mata yang peling sering dan
disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem
imun.
Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang (merah, sakit, bengkak, dan
panas), gatal, silau berulang dan menahun. Tanda karakteristik lainnya yaitu terdapat
papil besar pada konjungtiva, datang bermusim, yang dapat mengganggu
penglihatan. Walaupun penyakit alergi konjungtiva sering sembuh sendiri akan tetapi
dapat memberikan keluhan yang memerlukan pengobatan.
Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis alergi
tumbuh-tumbuhan yang biasanya dikelompokkan dalam satu grup,
keratokonjungtivitis vernal, keratokoknjungtivitis atopic dan konjungtivitis papilar
raksasa.
Pengobatan konjungtivitis alergi yaitu dengan menghindarkan penyebab
pencetus penyakit dan memberikan astringen, sodium kromolin, steroid topical dosis
rendah kemudian ditambahkan kompres dingin untuk menghilangkan edemanya.
Pada kasus yang berat dapat diberikan antihistamin dan steroid sistemik (Vaughan,
2015).

2.3 ETIOLOGI
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti :
1. Infeksi oleh virus, bakteri, atau clamidia.
Penyebab dari konjungtivitis bermacam-macam yaitu bisa disebabkan karena
bakteri, virus, infeksi klamidia, konjungtivitis alergi. Konjungtivitis bakteri biasanya
disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus, Pneumococcus, dan Haemophillus.
Sedangkan, konjungtivitis virus paling sering disebabkan oleh adenovirus dan
penyebab yang lain yaitu organisme Coxsackie dan Pikornavirus namun sangat
jarang. Penyebab konjungtivis lainnya yaitu infeksi klamidia, yang disebabkan oleh
organisme Chlamydia trachomatis (Pusparini, 2016).
2. Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang.
Konjungtivitis yang disebabkan oleh alergi diperantai oleh IgE terhadap allergen
yang umumnya disebabkan oleh bahan kimia (Pusparini, 2016).
3. Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara lainnya serta sinar ultraviolet.
4. Pemakaian lensa kontak, terutama dalam jangka panjang, juga bisa menyebabkan
konjungtivitis (Pusparini, 2016).

Konjungtivitis yang disebabkan oleh mikroorganisme (terutama virus dan kuman


atau campuruan keduanya) ditularkan melalui kontak dan udara. Dalam waktu 12 sampai
48 jam setelah infeksi mulai, mata menjadi merah dan nyeri (Vaughan, 2015).

2.4 PATOFISIOLOGI
Konjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar sehingga kemungkinan terinfeksi
dengan mikroorganisme sangat besar. Apabila ada mikroorganisme yang dapat
menembus pertahanan konjungtiva berupa tear film yang juga berfungsi untuk
melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan toksik melalui meatus nasi inferior maka
dapat terjadi konjungtivitis (Sasongko, 2017).
Konjungtivitis merupakan penyakit mata eksternal yang diderita oleh masyarakat,
ada yang bersifat akut atau kronis. Gejala yang muncul tergantung dari faktor penyebab
konjungtivitis dan faktor berat ringannya penyakit yang diderita oleh pasien. Pada
konjungtivitis yang akut dan ringan akan sembuh sendiri dalam waktu 2 minggu tanpa
pengobatan. Namun ada juga yang berlanjut menjadi kronis, dan bila tidak mendapat
penanganan yang adekuat akan menimbulkan kerusakan pada kornea mata atau
komplikasi lain yang sifatnya lokal atau sistemik (Luckyama, 2017).
Konjungtiva karena lokasinya terpapar pada banyak mokroorganisme dan faktor
lingkungan lain yang mengganggu. Beberapa mekanisme melindungi permukaan mata
dari substansi luar. Pada film air mata, unsur berairnya mengencerkan materi infeksi,
mukus menangkap debris dan kerja memompa dari pelpebra secara tetap menghanyutkan
air mata ke duktus air mata dan air mata mengandung substansi antimikriba termasuk
lisozim. Adanya agen perusak, menyebabkan cedera pada epitel konjungtiva yang diikuti
edema epitel, kematian sel dan eksfoliasi, hipertrofi epitel atau franuloma. Mungkin pula
terdapat edema pada stroma konjungtiva (kemosis) dan hipertrofi lapis limfoid stroma
(pembentukan folikel). Sel-sel radang berimigrasi dari stroma konjungtiva melalui epitel
kepermukaan. Sel-sel kemudian bergabung dengan fibrin dan mukus dari sel goblet,
membentuk eksudat konjungtiva yang menyebabkan perlengketan tepian palpebra saat
bangun tidur (Luckyama, 2017).
Adanya peradangan pada konjungtiva ini menyebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh
konjungtiva posterior, menyebabkan hiperemi yang tampak paling nyata pada forniks
dan mengurang kearah limbus. Pada hiperemi konjungtiva ini biasanya didapatkan
pembengkakan dan hipertrofi papila yang sering disertai sensasi benda asing dan sensasi
tergores, panas, atau gatal. Sensasi ini merangsang sekresi air mata. Transudasi ringan
juga timbul dari pembuluh darah yang hiperemiadan menambah jumlah air mata
(Luckyama, 2017).

2.5 MANIFESTASI KLINIS


a. Tanda-tanda konjungtivitis :
1. Konjungtiva berwarna merah (hiperemi) dan membengkak
2. Produksi air mata berlebihan (epifora)
3. Kelopak mata bagian atas nampak menggelantung (pseudoptosis) seolah akan
menutup akibat pembengkakan konjungtiva dan peradangan sel-sel konjungtiva
bagian atas
4. Pembesaran pembuluh darah di konjungtiva dan sekitarnya sebagai reaksi
nonspesifik peradangan
5. Pembengkakan kelenjar (folikel) di konjungtiva dan sekitarnya
6. Terbentuknya membran oleh proses koagulasi fibrin (komponen protein)
7. Dijumpai sekret dengan berbagai bentuk (kental hingga bernanah)
b. Gejala konjungtivitis :
Konjungtiva yang mengalami iritasi akan tampak merah dan mengeluarkan
kotoran. Konjungtivitis karena bakteri mengeluarkan kotoran yang kental dan
berwarna putih. Konjungtivitis karena virus atau alergi mengeluarkan kotoran yang
jernih. Kelopak mata bisa membengkak dan sangat gatal, terutama pada
konjungtivitis karena alergi. Gejala lainnya seperti mata berair, mata terasa nyeri,
mata terasa gatal, pandangan kabur, peka terhadap cahaya, dan terbentuk keropeng
pada kelopak mata ketika bangun pada pagi hari (Apriana, 2017).

2.6 PENATALAKSANAAN
Bila konjungtivitis disebabkan oleh mikroorganisme, pasien harus diajari bagaimana
cara menghindari kontaminasi mata yang sehat atau mata orang lain. Perawat dapat
memberikan intruksi pada pasien untuk tidak menggosok mata yang sakit dan kemudian
menyentuh mata yang sehat, mencuci tangan setelah setiap kali memegang mata yang
sakit, dan menggunakan kain lap, handuk, dan sapu tangan baru yang terpisah untuk
membersihkan mata yang sakit (Insani, Maulidia. 2017).
Pengobatan spesifik tergantung dari identifikasi penyebab. Konjungtivitis karena
bakteri dapat diobati dengan sulfonamide (sulfacetamide 15%) atau antibiotika
(Gentamycine 0,3%; chlorampenicol 0,5%). Konjungtivitis karena jamur sangat jarang
sedangkan konjungtivitis karena virus pengobatan terutama ditujukan untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder, konjungtivitis karena alergi di obati dengan antihistamin
(antazidine 0,5%, rapazoline 0,05%) atau kortikosteroid (misalnya dexametazone 0,1%).
Penanganannya dimulai dengan edukasi pasien untuk memperbaiki higiene kelopak
mata. Pembersihan kelopak 2 sampai 3 kali sehari dengan artifisial tears dan salep dapat
menyegarkan dan mengurangi gejala pada kasus ringan (Insani, Maulidia. 2017).
Pada kasus yang lebih berat dibutuhkan steroid topikal atau kombinasi antibiotik-
steroid. Sikloplegik hanya dibutuhkan apabila dicurigai adanya iritis. Pada banyak kasus
Prednisolon asetat (Pred forte), satu tetes, QID cukup efektif, tanpa adanya
kontraindikasi (Insani, Maulidia. 2017).
Apabila etiologinya dicurigai reaksi Staphylococcus atau acne rosasea, diberikan
Tetracycline oral 250 mg atau erythromycin 250 mg QID PO, bersama dengan
pemberian salep antibiotik topikal seperti bacitracin atau erythromycin sebelum tidur.
Metronidazole topikal (Metrogel) diberikan pada kulit TID juga efektif. Karena
tetracycline dapat merusak gigi pada anak-anak, sehingga kontraindikasi untuk usia di
bawah 10 tahun. Pada kasus ini, diganti dengan doxycycline 100 mg TID atau
erythromycin 250 mg QID PO. Terapi dilanjutkan 2 sampai 4 minggu. Pada kasus yang
dicurigai, pemeriksaan X-ray dada untuk menyingkirkan tuberculosis (Insani, Maulidia.
2017).

2.7 KOMPLIKASI
Penyakit radang mata yang tidak segera ditangani atau diobati bisa menyebabkan
kerusakan pada mata atau gangguan pada mata dan menimbulkan komplikasi. Menurut
Novitasari (2017), ada beberapa komplikasi dari konjungtivitis yang tidak tertangani
diantaranya :
1. Glaukoma
2. Katarak
3. Ablasi retina
4. Komplikasi pada konjungtivitis kataral teronik merupakan segala penyulit dari
blefaritis seperti akstropin, trikiasis
5. Komplikasi pada konjungtivitis purulenta seringnya berupa ulkus kornea
6. Komplikasi pada konjungtivitis membranasea dan pseudomembranasea adalah bila
sembuh akan meninggalkan jaringan perut yang tebal di kornea yang dapat
mengganggu penglihatan, lama kelamaan orang bisa menjadi buta
7. Komplikasi konjungtivitis vernal adalah pembentukan jaringan sikratik dapat
mengganggu penglihatan (Novitasari, 2017).

2.8 PROGNOSIS
Konjungtivitis pada umumnya self limited disease artinya dapat sembuh dengan
sendirinya. Tanpa pengobatan biasanya sembuh 10-14 hari. Bila diobati, sembuh dalam
1-3 hari hari. Konjungtivitis karena staphilokokus sering menjadi kronis (Lestari, Aprilia.
2015).
Bila segera diatasi konjungtivitis ini tidak akan membahayakan. Namun jika
penyakit pada radang mata tidak segera ditangani atau diobati dapat menyebabkan
kerusakan pada mata dan dapat menimbulkan komplikasi seperti glaukoma, katarak
maupun ablasio retina (Sasongko, 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrauf. 2016. Memutus Mata Rantai Penularan Konjungtivitis. Diakses melalui


http://jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/download/6447-5286.pdf (Diakses pada tanggal
26 Agustus 2019 pukul 19:36 WITA)
Apriana. 2017. Penyakit Pada Mata Konjungtivitis. Diakses melalui
http://scholar.unand.ac.id/INJ/22205/2/BAB-01.pdf (Diakses pada tanggal 26 Agustus
2019 pukul 20:06 WITA)
Insani, Maulidia. 2017. Penanganan Pasien Dengan Konjungtivitis. Diakses melalui
http://ojs.unud.ac.id/index.php/article/view/33433-20237.pdf (Diakses pada tanggal 26
Agustus 2019 pukul 19:55 WITA)
Lestari, Aprilia. 2015. Prognosis Penyakit Konjungtivitis. Diakses melalui
http://eprints.unram.ac.id/article/KTI/8160/1/zulhaeni-al.pdf (Diakses pada tanggal 26
Agustus 2019 pukul 21:53 WITA)
Luckyama. 2017. Patofisiologi Kelainan Konjungtivitis. Diakses melalui
http://repository.ump.ac.id/article/1263/3/BAB-II.pdf (Diakses pada tanggal 26 Agustus
2019 pukul 20:29 WITA)
Novitasari. 2017. Sistem Indera Mata Konjungtivitis. Diakses melalui
http://jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/download/6447-5286.pdf (Diakses pada tanggal
26 Agustus 2019 pukul 21:40 WITA)
Pusparini. 2016. Landasan Teori Penyakit Konjungtivitis. Diakses melalui
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/article/6-bab-ii.pdf (Diakses pada tanggal
26 Agustus 2019 pukul 19:23 WITA)
Sasongko. 2017. Karakteristik Dan Manajemen Konjungtivitis. Diakses melalui
http://eprints.umm.ac.id/article/40929/3/jiptummpp-gdl-bab2.pdf (Diakses pada tanggal
26 Agustus 2019 pukul 20:51 WITA)
Vaughan. 2015. Klasifikasi Dari Penyakit Konjungtivitis. Diakses melalui
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/31458/sequence-4.pdf.pdf (Diakses pada
tanggal 26 Agustus 2019 pukul 19:44 WITA)

Anda mungkin juga menyukai