Anda di halaman 1dari 7

Afiyf Kaysa Waafi

10507010011107

PENYAKIT SERIBU WAJAH


SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS
Ringkasan kasus:
Seorang pasien bernama Nabila/17 tahun pada tahun 2011 mengeluh
adanya bintik-bintik merah (Malar Rash), demam, nyeri persendian
(Glenohumeral joint, wrist join, interphalangeal joint, genu joint). Pada saat itu
didapatkan anemia, dan sempat ditranfusi darah. Di kotanya Pasuruan telah
diterapi oleh dokter, tetapi tidak sembuh. Pada awal tahun 2012, pasien ini masuk
rumah sakit RSSA dengan gejala yang sama ditambah dengan adanya rambut
rontok, sariawan, lymphopenia (Lymph: 1140), Leukopenia (Leukosit : 3990) dan
anemia (Hb: 7,3). Pada tanggal 3 januari 2012 telah dilakukan BMP dan
dihasilkan diagnosa Myelodisplastic Syndrome. Sehingga selama beberapa bulan,
pasien kontrol di poli hematologi dengan diagnosa Myelodisplastic Syndrome.
Pada tanggal 28 Mei 2012, pasien ini datang ke Poli Rheumatologi dengan telah
membawa hasil tes dsDNA yang positif dan tinggi (105,8). Di Poli Rheumatologi
ditegakkan diagnosa lupus dengan memperhatikan gejala yang ada (Malar rash,
oral ulcer, fotosensitif, arthriitis, serta hasil laboratorium). Pasien diterapi dengan
kotikosteroid (Methylprednisolon) dan Chloroquin.
Masalah yang menarik yang ditemukan dalam kasus ini adalah munculnya
diagnosis yang berbeda pada pasien SLE. Contoh diatas hanya salah satu contoh
pasien saja di RSSA. Masih banyak pasien lupus lainnya yang datang ke rumah
sakit dengan diagnosa bukan penyakit lupus. Beberapa kasus yang ditemukan di
RSSA adalah diagnosa Gagal jantung, Typhoid Fever, Anemia Aplastic, dan lain
sebagainya pada penderita lupus sebelum diagnosa SLE ditegakkan. Sehingga
memang perlu sebuah pemahaman bahwa mendiagnosis pasien SLE adalah
sebuah tantangan tersendiri yang cukup sulit bagi seorang dokter.
Hal yang perlu diperhatikan adalah seorang dokter perlu sangat berhatihati dalam mendiagnosis pasien. Dokter harus mengetahui kriteria diagnosis lupus
yang telah dipakai untuk menegakan diagnosis. Karena memang penyakit lupus
ini hadir dalam berbagai macam bentuk. Itulah mengapa penyakit SLE ini sering
disebut dengan Penyakit Seribu Wajah.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimmun
yang multisistem, yang mana terjadi inflamasi, produksi antibodi, terbentuknya
antigen-antibodi kompleks yang menyebabkan kerusakan jaringan. Etiologi dan
patogenesis dari SLE sampai saat ini masih belum jelas, namun diduga genetik
dan lingkungan berperan dalam perkembangan penyakit ini. Systemic Lupus
Erythematosus memiliki karakteristik tingginya kadar autoantibodi dan kerusakan
jaringan multiorgan.
SLE memiliki manifestasi klinis, perjalanan penyakit serta prognosis yang
sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan
perbandingan wanita : pria = 9 : 1.
Interaksi antara gen dan faktor lingkungan menghasilkan respon imun
yang abnormal, yang mana berbeda di setiap orang. Respon yang ada adalah (1)
Aktivasi innate immunity oleh SoG DNA, DNA immun kompleks, viral RNA,
RNA/ protein self-antigen. (2) Penurunan ambang aktivasi dan jalur aktivasi yang
abnormal dari sistem imun adaptif. (3) Regulasi yang tidak efektif dari CD4+ dan
CD8+. (4) Dan penurunan klirens dari sel yang apoptosis dan imun kompleks.

Self-antigen (nucleosomal DNA/protein; RNA/protein in Sm, Ro, and La;


phospholipids) mampu dikenali sistem imun dari sel-sel yang mengalami
apoptosis. Dengan adanya kelainan sistem imun, maka terjadilah autoantibodi
terhadap autoantigen ini. Dimana imun kompleks ini yang akan beredar di seluruh
tubuh, mengikat jaringan, mengaktifkan komplemen, chemokine, vasoactive
peptide, oxidant, dan enzim destruktif. Semua hal ini yang menyebabkan
kerusakan jaringan tubuh pada penyakit SLE.

Faktor lingkungan tidak hanya berperan dalam onset penyakit ini, tapi juga
menginisiasi terjadinya Flare. Faktor yang paling penting adalah sinar UV.
Dimana sinar UV akan meningkatkan terjadinya apoptosis atau bisa terjadi
perubahan DNA/ protein tubuh menjadi antigenic pada sel-sel kulit. Self-antigen
pada apoptotic cells akan direspon oleh sistem imun tubuh pada penyakit SLE.
Pasien SLE harus lebih mengontrol alergi obat, khususnya antibiotik sulfonamide,
Echinacea, serta obat-obat lainnya yang bisa menginisiasi terjadinya Flare.
Beberapa infeksi seperti Epstein Bar Virus mampu menginduksi sistem
imun untuk mengenali self-antigen, regulasi yang buruk dan produksi dari
autoantibodi. Serta masih banyak lagi faktor resiko yang diduga menginduksi SLE
seperti merokok, dan paparan Silica. Hormon juga diduga kuat menjadi faktor
resiko SLE, dimana dapat menjelaskan mengapa prevalensi SLE wanita jauh lebih
banyak dari pada pria. Estradiol mengikat reseptor di sel T dan sel B, yang akan
meningkatkan aktivasi dan survival dan sel ini dan akan memperpanjang respon
imun. Selain itu, pada kromosom X terdapat gen yang mempengaruhi SLE
(TREX-1) mungkin berperan dalam predisposisi gender
Adanya kelainan genetik pada penderita SLE akan menyebabkan
hilangnya immunotolerance dalam tubuh. Sehingga antigen tubuh sendiri akan
dikenali sebagai antigen asing. Selain itu, juga terjadi kelainan-kelainan genetik,
seperti klirens dari imun kompleks dan apoptotic cells yang turun, defisit
komplemen, peningkatan apoptosis dari sel, dan kerusakan antigen reseptor.

Adanya beberapa kelainan akan menyebabkan sel B menjadi autoreaktif dan


menghasilkan autoantibodi.
Imun kompleks (antibodi-antigen) pada penyakit SLE bersifat sistemik,
sehingga dapat merusak seluruh jaringan tubuh. Selain itu, autoantigen ini
memiliki karakter sangat kecil dan lebih bersifat terlarut, sehingga memiliki
kemungkinan terjadi deposisi pada organ yang memiliki jaringan penyaring/jalajala seperti otak, ginjal, jantung. Adanya kompleks imun yang terdeposisi di
jaringan, akan mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik. Pengaktifan jalur
komplemen ini akan menginisiasi inflamasi dan kerusakan jaringan. Komplemen
C3a, C4a, C5a yang juga sebagai chemokine akan menyebabkan release dari PMN
yang akan memperparah inflamasi jaringan.
Gejala-gejala yang terjadi pada penderita lupus sangat bergantung pada
organ apa yang diserangnya. Gejala konstitusi merupakan gejala umum yang
hampir selalu terjadi. Demam, lemas, lemah, penurunan berat badan sering
ditemukan pada pasien SLE. Selain itu juga bisa terjadi gejala-gejala menurut
organ yang diserangnya seperti :
1. Kulit
a. Malar Rash
b. Discoid Rash

c.Fotosensitif

d. Oral Ulcer

e. Rambut rontok (alopecia)

f. Vasculitis

2. Musculoskelatal
(Arthritis,
Arthralgia,
Myalgia,
Myositis,
Osteonecrosis, Osteoporosis)
3. Pernafasan (Pleuritis, Effusi pleura, Pneumonitis, dll)
4. Jantung (Pericarditis, endocarditis, myocarditis, hypertension, dll)
5. Ginjal (Lupus Nefritis)
6. Neuropsychiatric (Seizure, memory impairment, psychosis, dll)
7. Hematologi (Anemia, Leukopenia, Lymphopenia, trombositopenia)
Banyaknya manifestasi yang mungkin muncul pada penderita SLE
menjadikan sebuah kesulitan dalam mendiagnosisnya. Seringkali lupus salah
didiagnosis dengan penyakit lain karena gejala dan tanda yang ditemukan sangat
mirip dengan penyakit yang lainnya. Maka penyakit SLE ini sering disebut The
Great Immitator atau Penyakit Seribu Wajah.

Penegakan diagnosa SLE yang sampai saat ini masih digunakan


adalah criteria diagnosis dari American College of Rheumatology tahun 1997.
Terdapat 11 kriteria diagnosis, dimana apabila telah memenuhi 4 kriteria/lebih,
maka pasien telah dapat didiagnosis SLE. Berikut ini adalah kriteria diagnosis dari
American College of Rheumatology:

Pemeriksaan laboratorium sangatlah penting pada penyakit SLE.


Hasil laboratorium bisa digunakan dokter untuk mendiagnosis dan memantau

perjalanan penyakit SLE yang diderita oleh pasien. Test yang biasanya digunakan
untuk mendiagnosis SLE adalah tes serologi ANA test, Anti-dsDNA, Anti-Sm,
Anti-Ro, Anti-La, Anti-Cardiolipin, dsb. Test ANA merupakan test yang sangat
sensitif pada pasien SLE. ANA test sangat cocok digunakan untuk screening
pasien yang dicurigai SLE. Hampir 100% pasien SLE memiliki hasil ANA test
positif. Selain itu juga diperlukan test darah lengkap, urinalysis untuk diagnosis
SLE. Dengan adanya test darah lengkap dan urin lengkap kita juga bisa melihat
adanya gejala hematologi (anemia, Leukopenia, lymphopenia, trombositopenia)
maupun gejala nefrologi pada pasien (proteinuria, silinder eritrosit) pada pasien
SLE untuk penegakan diagnosis.

Sedangkan pemeriksaan laboratorium yang biasanya digunakan


untuk memantau perjalan panyakit adalah darah lengkap dan urin lengkap.
Perjalanan penyakit biasanya dinilai dengan MAX SLEDAI (SLE Disease
Activity Index). Setiap gejala yang ada di pasien memiliki skor tersendiri pada
MAX SLEDAI.
Managemen dari pasien SLE harus dilakukan secara holistik. Harus
adanya dukungan fisik dan moral dari keluarga/orang yang hidup dengan pasien
lupus. Edukasi dan konseling sangatlah penting pada pasien. Pasien lupus dan
keluarganya harus diberi edukasi selengkap mungkin penyakit yang dideritanya.
Selain itu, juga harus diberitahukan apa yang bisa menginisiasi terjadinya Flare
pada pasien lupus. Sehingga kehidupan pasien lupus bisa menjadi sejahtera tanpa
ada tekanan mental.
Pengobatan medikamentosa juga sangat dibutuhkan dalam
management lupus selain dari edukasi dan konseling. Pengobatan yang masih
digunakan sampai saat ini adalah

1. Obat anti-inflamasi nonSteroid (OAINS)


Paracetamol, Meloxicam, natrium diklofenak (Voltadex, voltaren,
renadinac, dll)
2. Obat antimalaria
klorokuin, hydrokloroquin (plaquenil)
3. Kortikosteroid
Metilprednisolon, prednison, deksametason
4. Obat immunosupresan/sitotoksik
azatioprin,siklofosfamid,metotreksat, siklosporin, mikofenolat
mofetil (cellcept)
5. Terapi biologik
IVIG, Atacicept, Belimumab, Denosumab, Bortezomib, Rituximab,
Mepolizumab, Alemtuzumab
Penggunaan medikamentosa sangat bergantung pada derajat penyakit
SLE. Pada SLE ringan, dapat digunakan OAINS, Kortikosteroid dosis rendah,
Kloroquin, ataupun MTX. Pada SLE sedang dapat digunakan Kortikosteroid dosis
tinggi, dan Azatioprin. Sedangkan pada SLE berat biasanya digunakan
Kortikosteroid dosis tinggi (pulse therapy) dan Cyclophosphamide.
Penggunaan medikamentosa pada penyakit SLE adalah penggunaan
jangka panjang, maka perlu dievaluasi efek samping yang terjadi pada pasien
SLE. Seperti apabila menggunakan kortikosteroid jangka panjang, maka kita
harus edukasi pasien tentang kemungkinan adanya Moon face, Hypertension,
Hyperglicemia, dsb. Selain itu juga diperlukan pencegahan osteoporosis pada
pengguna kortikosteroid jangka panjang. Apabila kita menggunakan MTX,
Azatioprin, obat lainnya, maka perlu dilakukan pengecekan faal hepar, dan ginjal
secara berkala untuk monitoring.
Referensi
1. Deng et al, 2010. Lupus Serum IgG Induces Skin Inflammation through
the TNFR1 Signaling Pathway. The Journal of Immunology, 2010, 184:
71547161. Bethesda: Ammerican Associaton of Immunologists, Inc.
2. Huang et al, 2011. Involvement of CD226+ NK Cells in
Immunopathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. The Journal of
Immunology, 2011, 186: 34213431. Bethesda: American Association of
Immunologists, Inc.
3. Longo et al, 2012. Harrisons Principles of Internal Medicine 18 th Ed.
Vol.1. United States of America: Mc.Graw Hill Companies, Inc.
4. Imboden et al, 2005. Current Rheumatology Diagnosis and Treatment 2nd
Ed. United States of America: Mc.Graw Hill Companies, Inc.
5. Wallace, Daniel J, 2008. Lupus The Essential Clinicians Guide. New
York: Oxford University Press, Inc.
6. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai