Ada empat tipe lupus yang berbeda. Pelajari lebih lanjut tentang setiap jenis Lupus di bawah
ini.
Lupus Erythematosus sistemik
Lupus sistemik adalah bentuk lupus yang paling umum-inilah yang kebanyakan orang
maksudkan saat mereka merujuk pada “lupus.” Lupus sistemik bisa ringan atau parah.
Berikut adalah deskripsi singkat beberapa komplikasi yang lebih serius yang melibatkan
sistem organ utama.
Bentuk lupus ini terbatas pada kulit. Meskipun lupus kutaneous dapat menyebabkan banyak
jenis ruam dan lesi (luka), ruam diskoid yang paling sering disebut-diangkat, bersisik dan
merah, tapi tidak gatal. Area ruam tampak seperti cakram, atau lingkaran.
Contoh umum lain dari lupus kulit adalah ruam di pipi dan di seberang jembatan hidung,
yang dikenal sebagai ruam kupu-kupu. Ruam atau luka lain mungkin muncul di wajah,
leher, atau kulit kepala (area kulit yang terkena sinar matahari atau cahaya neon), atau di
mulut, hidung, atau vagina. Rambut rontok dan perubahan pigmen, atau warna kulit juga
merupakan gejala lupus kutaneous.
Kira-kira 10 persen orang yang menderita lupus kulit akan mengalami lupus sistemik.
Namun, kemungkinan orang-orang ini sudah mengalami lupus sistemik, dengan ruam kulit
sebagai gejala utama mereka.
Lupus yang diinduksi obat adalah penyakit mirip lupus yang disebabkan oleh obat resep
tertentu. Gejala lupus akibat obat sama dengan sistem lupus sistemik, tapi jarang menyerang
organ utama.
Lupus neonatal
Neonatal lupus bukanlah bentuk lupus sejati. Ini adalah kondisi langka yang mempengaruhi
bayi perempuan yang menderita lupus dan disebabkan oleh antibodi dari ibu yang bekerja
pada bayi di dalam rahim. Saat lahir, bayi mungkin mengalami ruam kulit, masalah hati,
atau jumlah sel darah rendah namun gejala ini hilang sama sekali setelah beberapa bulan
tanpa efek yang langgeng. Beberapa bayi dengan lupus neonatal juga bisa mengalami defek
jantung yang serius. Dengan pengujian yang tepat, dokter sekarang dapat mengidentifikasi
ibu yang paling berisiko, dan bayi dapat diobati pada atau sebelum kelahiran.
Sebagian besar bayi dengan lupus sepenuhnya sehat
SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLA-
DRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan faktor
lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imunyang
abnormal.
1. Faktor Genetik
SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel HLA-
DRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara kerentanan gen, pengaruh
hormonal, dan faktor lingkungan, menghasilkan respons imun abnormal. Responsimun
mencakup hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit T dan B dan regulasi antigen dan
respons antibodi yang tidak efektif. Hiperreaktivitas sel T dan B ditandai dengan
peningkatan ekspresi molekul permukaan seperti HLA-D danCD40L, menunjukkan
bahwa sel mudah teraktivasi oleh antigen yang menginduksi sinyal aktivasi pertama dan
oleh molekul yang mengarahkan sel ke aktivasi penuh melalui sinyal kedua. Hasil akhir
anomali ini adalah produksi autoantibodi patogen dan pembentukan kompleks imun yang
mengikat jaringan target, menghasilkan (1)sekuestrasi dan destruksi Ig-coated circulating
cells; (2) fiksasi dan cleaving protein komplemen, dan (3) pelepasan kemotaksin, peptida
vasoaktif, dan enzim destruktif ke jaringan. Banyak autoantibodi pada orang dengan SLE yang
ditujukan pada kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosom, beberapa
jenis RNA nukleus, dan RNA spliceosomal. Selama apoptosis antigen bermigrasi ke
permukaandan fosfolipid membran berubah orientasi sehingga bagian antigen menjadi
dekat dengan permukaan. Molekul intrasel yang meningkat selama aktivasi atau
kerusakan sel bermigrasi ke permukaan sel. Antigen yang dekat dengan atau terdapat di
permukaan sel ini dapat mengaktivasi sistem imun untuk menghasilkan autoantibodi.
Pada individu dengan SLE, fagositosis dan penghancuran sel apoptotik dan kompleks
imun tidak mumpuni.
Jadi, pada SLE, antigen tetap tersedia; dipresentasikan dilokasi yang dikenali
oleh sistem imun; dan antigen, autoantibodi, dan kompleks imun bertahan dalam
jangka waktuyanglebihlama, memungkinkankerusakanjaringanterakumulasi pada titik
kritis.
Sejak hampir 50 tahun yang lalu telah dikenali suatu antibodi yang melawan
konstituen sel normal. Antibodi ini dapat ditemukan dalam serum pasien dengan
lupus. Serum pasien dengan lupus dapat dikenali dari keberadaan antibodi di
serum terhadap antigen nukleus (antinuclearantibodies, atau ANA).
Selain ANA, masih terdapat autoantibodi lain yang dapat dapat ditemukan pada
pasien dengan SLE, misalnya anti-dsDNA, anti-Sm, anti-Ro, dan lain-lain. Daftar
berbagai autoantibodi yang dapat ditemukan pada pasien dengan SLE, prevalensi,
antigen target, dan kegunaan klinisnya dapat dilihat pada table berikut.
Pada kasus ini ditemukan tes antinuclearantibodies, atau ANA yang positif.
1. Faktor Lingkungan
2.Pengaruh Hormonal
Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai penyebab SLE.
Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia produktif,
peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan risiko yang sedikit lebih tinggi
pada wanita pascamenopause yang menggunakan suplementasi estrogen.
Walaupun hormon seks steroid dipercaya sebagai penyebab SLE, namun studi yang
dilakukan oleh Petri dkk menunjukkan bahwa pemberian kontrasepsi hormonal oral
tidak meningkatkan risiko terjadinya peningkatan aktivitas penyakit pada wanita
penderita SLE yang penyakitnya stabil.
Apoptosis
Respon imun
Sel B (Antibodi)
Antibodi (Antinuklear)
SLE
Masuk,melayang,menempel,mengendao
dipembuluh darahdissemua jaringan atau organ
Reaksi peradangan
REAKSI PERADANGAN
Uji paling spesifik untuk LES adalah antibodi DS-DNA dan antibodi Sm dan protein P
ribosom,yang secara eksklusif terdapat pada LES. Kadar CRP terkadang digunakan untuk
membedakan qnatara perjangkitan lupus dan infeksi. Biasanga normal pada flare-up namun
meningkat pada infeksi
Uji paling sensitif untuk LES afalah flurosens relatif nonspesifik antinuclear antibodi assay
(ANA). Hampir semua klirn LES memiliki ANA,namun mereka juga terdapat dalam berbagai situasi
seperti infeksi,lansia,serta RA dan dengan beberapa terapi obat. Komplemen C3, CA dan CD50
merupakan pengukuran yang berguna untuk aktivitas penyakit
Nadia Syaripah H 1710711027
Chaerani 1710711096
Penatalaksanaan Medis
Farmakologi
1. NSAID
NSAID digunakan untuk mengurangi gejala muskuloskeletal ,serositis ringan dan
demam.
Hati-hati ketika menggunakan NSID untuk klien dengan LES. NSID menghambat
sintesis prostaglandin dalam ginjal dan mengganggu aliran darah di ginjal. Klien dengan
lupus nephritis sangat bergantung pada prostaglandin dalam menjaga fungsi ginjal yang
terganggu oleh inflamasi glomerulus. Tanyakan penggunaan NSID yang tidak di resepkan.
Gangguan ginjal oleh NSID biasanya bersifat reversible.
2. Glukokortikoid
Glukokortikoid diperlukan untuk mengendalikan komplikasi serius seperti
trombositopenia, purpura, anemia hemolitik, pericarditis, kejang dan nefritis. Prednison
biasanya diberikan secara oral dalam dosis yang rendah (hingga 15mg/hari) menengah (16
hingga 40mg/hari) atau dosis tinggi (lebih dari 120mg/hari). Dosis terpisah biasanya
diberikan untuk memastikan aksi antiinflamasi dan penekanan Lupus yang lebih kuat
dibandingkan jika obat diberikan dalam dosis tunggal di pagi hari
Setelah penyakit mampu dikontrol penurunan dosis bertahap penting dilakukan
klien dengan dosis majemuk harus diubah ke dosis tunggal pagi hari sebelum benar-benar
mengurangi dosis obat sebenarnya.Durasi klien mengkonsumsi obat berdampak pada durasi
tapering. Banyak metode yang digunakan, metode yang paling umum adalah mengurangi
dosis 10 mg tiap minggunya.
3. Imunosupresan Lain
Penggunaan agen imunosupresan secara perlahan dapat diterima untuk pengobatan
LES. Dosis rendah metoreksat (7,5-15mg/minggu) berguna dalam menangani arthritis, ruam
kulit, serositis dan gejala klinis lainnya. Pengobatan termasuk azathioprine atau
siklofosfamid mampu menghambat perkembangan glomerulonefritis atau secara nyata
mengurangi kerusakan ginjal. Azathioprine, siklofosfamid intravena dan HCQ dapat juga
diberikan.
4. Agen Lain
Danazol diketahui berguna dalam mengatasi trombositopenia LES. Mekanismenya
tidak diketahui namun diduga melibatkan pengaruh endoktrin seperti supresi pituitary folicle
stimulating hormone dan LH pada fungsi imun atau retikuloendotelia.
Imunoglobulin intravena diketahui berguna dalam mengatasi trombositopenia LES.
Hitung trombosit meningkat cepat dalam beberapa jam pemberian biasanya memuncak
dengan jumlah yang luar biasa pada saat kejadian trombolitik menjadi perhatian klinis.
Dapsone agen mikroba digunakan untuk pengobatan leprosy telah digunakan untuk
mengatasi gejala kutaneus pada Lupus termasuk diskoid, lupus kutaneus subakut,bulosa dan
lesi lupus profundus. Efek samping hematologis biasanya terjadi dan membutuhkan
pemantauan seksama.
Terdapat beberapa obat pada uji klinis untuk pengobatan lupus nephritis termasuk
mikofenolat mofetil dan telerogen yang menghentikan produksi antibodi dsDNA. Uji
terkontrol plasebo menunjukkan manfaat penggunaan dehidropiandrosteron pada klien
dengan aktivitas lupus sedang dan ringan. Transplantasi sel induk juga tengah gencar dikaji.
Rambut rontok ringan dan sedang dapat terjadi ketika penyakit aktif. Lesi vaskuler dapat
menginduksi petekie, purpura dan fenomena raynaud
Pemeriksaan penunjang
2. Uji paling sensitif Flurosens relatif nonspesifik antinuclear antibodi assay (ANA )
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes ANA generik. Tes
ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada
penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat
positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya
infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD),
artritis reumatoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal
4. Uji paling spesifik Antobodi anti-dsDNA dan antibodi Sm dan protein P ribosom
Tes C-Reaktif Protein (CRP) adalah tes darah yang mengukur jumlah protein (yang disebut protein C-
reaktif) dalam darah. Protein C-reaktif mengukur keseluruhan kadar peradangan dalam tubuh.
Kadar CRP yang tinggi disebabkan oleh infeksi dan berbagai penyakit jangka panjang lain. Akan tetapi
tes CRP tidak dapat menunjukkan lokasi terjadinya peradangan atau penyebabnya. Tes lain
dibutuhkan untuk mengetahui penyebab dan lokasi peradangan.
Daftar Pustaka:
Kneale, Julia D. 2011. Keperawatan Ortopedik & Trauma/ editor Julia D Kneale, Ptere S.
Davis; alih bahasa, Egi Komara Yudha …[et al]; editor edisi bahasa Indonesia, Tuti
Hadiningsih, Sari Isnaeni, Ni Putu Indri Mahayuni. Edisi 2. Jakarta : EGC
Data subyektif :
1. Pasien mengeluh terdapat ruam-ruam merah pada wajah yang menyerupai
2. bentuk kupu-kupu.
3. Pasien mengeluh rambut rontok.
4. Pasien mengeluh lemas
5. Pasien mengeluh bengkak dan nyeri pada sendi.
6. Pasien mengeluh sendi merasa kaku pada pagi hari.
7. Pasien mengeluh nyeri
Data obyektif :
1. Terdapat ruam – ruam merah pada wajah yang menyerupai bentuk kupu-kupu.
2. Nyeri tekan pada sendi.
3. Rambut pasien terlihat rontok.
4. Terdapat luka pada langit-langit mulut pasien.
5. Pembengkakan pada sendi.
6. Pemeriksaan darah menunjukkan adanya antibodi antinuclear.
2. Masalah Keperawatan
1. Nyeri akut
2. Fatigue
3. Risiko infeksi
4. Gangguan citra tubuh
5. Risiko injuri
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing Interventions Classifivation
(NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby Elseiver