Anda di halaman 1dari 14

Lupus eritematosus sistemik

(SLE)
Oleh :
NIZMA HASIM
2120212053
Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun
multisystem di mana organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan
yang dimediasi oleh autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun.
Gambaran klinis SLE dapat berubah, baik dalam hal aktivitas penyakit
maupun keterlibatan organ. Imunopatogenesis SLE kompleks dan
sejalan dengan gejala klinis yang beragam. Tidak ada mekanisme aksi
tunggal yang dapat menjelaskan seluruh kasus, dan kejadian awal yang
memicunya masih belum diketahui.

Sesuai dengan teori, pada kasus ini juga terdapat penglibatan


multisystem yaitu system mukokutan (malar rash), muskoloskeletan
(arthritis), hematology (anemia), neurology (serebri) dan ginjal (nefritis)
Epidemiologi
Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia. Di AS,angka
yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari populasi, namun didapatkan angka
yang berbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras, seperti kaum kulit hitam, keturunan
asli Amerika, dan keturunan Hispanik, berisiko lebihtinggi terhadap SLE dan dapat
mengalami penyakit yang lebih parah. Prevalensi SLE di seluruh dunia tidak berbeda
dengan laporan dari AS; penyakit ini kelihatannya lebih sering ditemukan di Cina, di Asia
Tenggara, dan di antara keturunan kulit hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada
keturunan kulit hitam di Afrika. SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun sering
dimulai pada usia dekade kedua hingga keempat; beberapa studi menunjukkan puncak
kedua kasus baru pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis kelamin cukup jelas; SLE
berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat daripada pria dengan
usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai empat kali lebih sering
daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria adalah 8:1. Sesuai
dengan teori yang mengatakan SLE lebih sering pada jenis kelamin perempuan, kasus ini
juga adalah perempuan. Sesuai dengan studi yang mengatakan puncak kedua SLE pada
usia sekitar 50, kasus ini berumur 48 tahun.
Etiologi dan Faktor Predisposisi
SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan
gen (termasuk alel HLA- DRB1,IRF5, STAT4, HLA-
A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan
faktor lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan
menyebabkan terjadinya respon imunyang
abnormal
Faktor Genetik
SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel
HLA- DRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara
kerentanan gen, pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan,
menghasilkan respons imun abnormal. Responsimun mencakup
hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit T dan B dan regulasi
antigen dan respons antibodi yang tidak efektif. Hiperreaktivitas sel T
dan B ditandai dengan peningkatan ekspresi molekul permukaan
seperti HLA-D danCD40L, menunjukkan bahwa sel mudah teraktivasi
oleh antigen yang menginduksi sinyal aktivasi pertama dan oleh
molekul yang mengarahkan sel ke aktivasi penuh melalui sinyal kedua.
Hasil akhir anomali ini adalah produksi autoantibodi patogen dan
pembentukan kompleks imun yang mengikat jaringan target,
menghasilkan :
(1)sekuestrasi dan destruksi Ig-coated circulating cells;
(2) fiksasi dan cleaving protein komplemen, dan
(3) pelepasan kemotaksin, peptida vasoaktif, dan enzim destruktif ke jaringan.
Banyak autoantibodi pada orang dengan SLE yang ditujukan pada kompleks
DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosom, beberapa jenis RNA nukleus,
dan RNA spliceosomal. Selama apoptosis antigen bermigrasi ke permukaandan
fosfolipid membran berubah orientasi sehingga bagian antigen menjadi dekat
dengan permukaan. Molekul intrasel yang meningkat selama aktivasi atau
kerusakan sel bermigrasi ke permukaan sel. Antigen yang dekat dengan atau
terdapat di permukaan sel ini dapat mengaktivasi sistem imun untuk menghasilkan
autoantibodi. Pada individu dengan SLE, fagositosis dan penghancuran sel apoptotik
dan kompleks imun tidak mumpuni. Jadi, pada SLE, antigen tetap tersedia;
dipresentasikan dilokasi yang dikenali oleh sistem imun; dan antigen, autoantibodi,
dan kompleks imun bertahan dalam jangka
waktuyanglebihlama,memungkinkankerusakanjaringanterakumulasi pada titik kritis.
Sejak hampir 50 tahun yang lalu telah dikenali suatu antibodi
yang melawan konstituen sel normal. Antibodi ini dapat
ditemukan dalam serum pasien dengan lupus. Serum pasien
dengan lupus dapat dikenali dari keberadaan antibodi di serum
terhadap antigen nukleus (antinuclearantibodies, atau ANA).
Selain ANA, masih terdapat autoantibodi lain yang dapat dapat
ditemukan pada pasien dengan SLE, misalnya anti-dsDNA, anti-
Sm, anti-Ro, dan lain-lain. Daftar berbagai autoantibodi yang
dapat ditemukan pada pasien dengan SLE, prevalensi, antigen
target, dan kegunaan klinisnya dapat dilihat pada table berikut.
Pada kasus ini ditemukan tes antinuclearantibodies, atau ANA
yang positif.
FaktorLingkungan
Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet
merupakan faktor yang paling dikenal. Mekanisme aksinya
dapat mencakup induksi epitop antigen didermis atau
epidermis, pelepasan materi inti oleh sel kulit yang dirusak
oleh cahaya, atau disregulasi sel imun kulit. Berbagai faktor
lingkungan lain juga terlibat dalam lupus. Pengobatan seperti
prokainamid, hidralazin, dan minosiklin dapat menyebabkan
lupus eritematosus yang diinduksi obat, penyakit yang mirip
dengan SLE. Mungkin yang paling menarik adalah beberapa
obat antirematik dapat menginduksi penyakit yang tampilan
klinis dan serologisnya mirip SLE.
Bahan kimia, khususnya senyawa amino aromatik, dikenal
sebagai penyebab lupus-like syndromes. Sindrom ini lebih mirip
dengan lupus yang diinduksi obatdaripada SLE dan menghilang
setelah pajanan berakhir. Laporan mengenai pengaruh geografis
pada lupus masih belum mengkonfirmasi faktor lingkungan ini.
Asam amino esensial L-canavanine dicurigai sebagai
penyebab lupus. Pajanan terhadap asam amino ini
menyebabkan manifestasi singkat autoimun pada
manusia,seperti juga telah terbukti pada kera. Keberadaan
fitoestrogen diajukan sebagai penjelasan untuk peningkatan
kejadian SLE selama 30 tahun terakhir
Agen infeksius dapat berperan dalam aktivasi penyakit. Jika pasien
mengidap SLE, infeksi yang umum terjadi pada saluran napas atau saluran
kemih seringkali diikuti dengan cetusan aktivitas penyakit. Studi pada
hewan menunjukkan bahwa retrovirus dapat menginduksi fenomena
autoimun mirip SLE. Kasus SLE meningkat sejalan dengan pajanan kimiawi,
kecelakaan, atau trauma fisik dan psikologis. Belum ada pola yang jelas
dalam kemunculan SLE, dan kausalitas hubungan ini masih spekulatif
Pada kasus ini, sinar ultraviolet merupakan faktor pencetus yang jelas
karena menurut anamnesis, pasien mengeluh ruam atau kemerahan pada
mukanya menjadi berat dengan paparan pada sinar matahari. Pada pasien
ini juga terjadi infeksi yaitu pneumonia. Sesuai dengan teori, antara infeksi
yang sering terjadi adalah infeksi yang melibatkan salur pernafasan, yaitu
pneumonia.
Pengaruh Hormonal
Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid
sebagai penyebab SLE. Observasi ini mencakup kejadian
yang lebih tinggi pada wanita usia produktif, peningkatan
aktivitas SLE selama kehamilan, dan risiko yang sedikit lebih
tinggi pada wanita pascamenopause yang menggunakan
suplementasi estrogen. Walaupun hormon seks steroid
dipercaya sebagai penyebab SLE, namun studi yang
dilakukan oleh Petri dkk menunjukkan bahwa pemberian
kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko
terjadinya peningkatan aktivitas penyakit pada wanita
penderita SLE yang penyakitnya stabil.
Patofisiologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi,
fase propagasi, dan fase puncak (flares). Inisiasi lupus
dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel secara
apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan
oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan pajanan
yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun dapat
menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh
pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas
autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan.
Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan
cedera jaringan dengan cara :
(1) pembentukan dan generasi kompleks imun,
(2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan
mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan
(3) (3) secara langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi
molekul permukaan atau penetrasi ke sel hidup.

Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai


respon untuk melawan sistem imun dengan antigen yang pertama
muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama pembentukan dan
homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk SLE.
Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu
waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai
tambahan, perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari
ringan ke sedang hingga parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan
multisistem dari manifestasi klinisnya, lupus telah menggantikan sifilis sebagai great
imitator.
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan sampai sedang dengan
gejala kronis, diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara bertahap atau tiba-
tiba. Pada sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas
penyakit dan remisi klinis sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang, pasien
mengalami episode aktif SLE singkat diikuti dengan remisi lambat. Gambaran klinis SLE
menjadi rumit karena dua hal. Pertama, walaupun SLE dapat menyebabkan berbagai
gejala dan tanda, tidak semua gejala dan tanda pada pasien dengan SLE disebabkan
oleh penyakit tersebut. Banyak penyakit, khususnya penyakit infeksi virus, dapat
menyerupai SLE. Kedua, efek samping pengobatan, khususnya penggunaan
glukokortikoid jangka panjang, harus dibedakan dengan gejala dan tanda SLE.

Anda mungkin juga menyukai