Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN
Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat
badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh melawan pada apa
yang terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasuk parasit
(seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokan organ dan jaringan.
Bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen. Antigen adalah
molekul yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel (seperti bakteri, virus,
atau sel kanker). Beberapa antigen ada pada jaringan sendiri tetapi biasanya, sistem imunitas
bereaksi hanya terhadap antigen dari bahan asing atau berbahaya, tidak terhadap antigen
sendiri. Sistem munitas kadang-kadang rusak, menterjemahkan jaringan tubuh sendiri
sebagai antigen asing dan menghasilkan antibodi (disebut autoantibodi) atau sel imunitas
menargetkan dan menyerang jaringan tubuh sendiri. Respon ini disebut reaksi autoimun. Hal
tersebut menghasilkan radang dan kerusakan jaringan. Efek seperti itu mungkin merupakan
gangguan autoimun, tetapi beberapa orang menghasilkan jumlah yang begitu kecil
autoantibodi sehingga gangguan autoimun tidak terjadi.
Klasifikasi penyakit autoimun:
1. Khas organ (organ specific) dengan pembentukan antibodi yang khas organ.
Contoh : Thiroiditis, dengan auto-antibodi terhadap tiroid; Diabetes Mellitus, dengan autoantibodi terhadap pankreas; sclerosis multiple, dengan auto-antibodi terhadap susunan saraf;
penyakit radang usus, dengan auto-antibodi terhadap usus.
2. Bukan khas organ (non-organ specific), dengan pembentukan auto antibodi yang tidak
terbatas pada satu organ.
Contoh : Systemic lupus erythemathosus (SLE), arthritis rheumatika, vaskulitis sistemik dan
scleroderma, dengan auto-antibodi terhadap berbagai organ.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Sistemik Lupus Eritematosus
A. Definisi
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE atau Lupus), adalah penyakit multiorgan
yang berdasarkan kelainan imunologik. Organ yang sering terkena yaitu sendi, kulit,
ginjal, otak, hati, dan lesi dasar pada pada organ tersebut adalah suatu vaskulitis yang
terjadi oleh karena pembentukan dan pengendapan kompleks antigen-antibodi. SLE
ditandai dengan pembentukan bermacam-macam antibodi yang ditujukan terhadap
komponen inti sel, yaitu DNA, RNA, dan nukleoprotein. Kadang-kadang awalnya
hanya satu organ yang terkena selama beberapa bulan atau tahun yang kemudian
berkembang ke beberapa organ lain.
SLE pada anak sangat beragam dalam tingkat keparahannya. Beberapa anak
dapat menderita penyakit yang ringan dengan gejala sedikit serta tidak ada
keterlibatan organ penting, sedangkan pada beberapa anak lain dapat tampak sakit
berat serta ada keterlibatan beberapa organ.
B. Etiologi
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi
secara genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE, layaknya
penyakit autoimun lain, muncul pada seseorang yang secara genetis rentan terpapar
satu atau beberapa faktor pencetus yang ada di lingkungan.
Beberapa hal yang disepakati berperan pada SLE adalah:
1. Faktor genetik sebagai predisposisi, didukung oleh adanya beberapa fakta:
- SLE ditemukan pada 70% kembar identik
- Frekuensi penemuan genotipe HLA-DR3 dan DR2 meningkat
- Frekuensi pasien SLE pada anggota keluarga yang lain juga meningkat
2. Faktor hormonal, didukung oleh fakta bahwa:
- Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas dan pasca
pubertas
3. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE
adalah, stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obatobatan. Banyak obat2 telah dilaporkan dapat memicu SLE. Namun, lebih dari

90% nya terjadi sebagai efek samping dari salah satu dari obat2 berikut:
hydralazine (digunakan untuk hipertensi), quinidine dan procainamide
(digunakan untuk irama jantung abnormal), fenitoin (digunakan untuk
epilepsi), isoniazid (Nydrazid, Laniazid, digunakan untuk tuberculosis), dpenicillamine (digunakan untuk rheumatoid arthtritis). Obat-obatan ini
diketahui menstimulasi sistem imun dan menyebabkan SLE. Untungnya, SLE
yang dipicu obat-obatan jarang (kurang dari 5% dari seluruh pasien SLE) dan
biasanya membaik jika obat-obat tersebut dihentikan
4. Virus sebagai penyebab SLE pernah mendapat perhatian besar oleh karena
ditemukan struktur retikular intrasitoplasma yang menyerupai agregat intrasel
miksovirus. Tetapi ternyata kemudian dibantah dan sampai sekarang masih
tetap dianggap tidak ada bukti nyata virus sebagai etiologi.
C. Epidemiologi
SLE terjadi pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah umur 15 tahun, dengan 17%
orang dengan SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5%
diantaranya mulai pada usia kurang dari 10 tahun. Pada individu dibawah 20 tahun,
sekitar 73% didiagnosis SLE pada umur lebih dari 10 tahun. Ini membuat SLE
dikelompokkan sebagai penyakit pada usia remaja. SLE dapat muncul pada pria
maupun wanita, dari etnis manapun, berapapun usianya. Namun diagnosis SLE 4,3
kali lebih sering muncul pada anak perempuan dibandingkan laki-laki.
D. Patogenesis
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi
terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling
sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi
terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer
anti-DNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat
sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah
destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc
imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia
autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat
berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase (antibodi

terhadap glikoprotein trombosit), sehingga dapat terjadi trombositopenia, dan


trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai
pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun
bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat
ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang
ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat
ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada
adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal,
tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks
imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk
aktivasi komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan,
beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan
afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA
dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade
komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan
makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam
deposit kompleks imun pada SLE, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi
yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau
kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh
penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi
ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di daerah membran basal
glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal glomerulus,
tanpa intervensi kompleks imun.
Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian
CD4+ yang mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B.
Terdapat perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin
cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.
Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang
terkonsentrasi pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam
pengaturan apoptosis mempunyai peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada SLE

terjadi peningkatan apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel
apoptosis akibat defek pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah
ambilan sel apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan
protein Fas pada CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dan limfositopenia.
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.
Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti
anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk menyatakan bahwa
menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang
menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk
mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen
merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar
hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin
yang meningkat. Pada perempuan dengan SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16
alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan
trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan
menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi
prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.
Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor
predisposisi genetiknya belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan faktor
lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa
molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.
E. Manifestasi Klinis
Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti
demam, fatigue, dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada
anak tidaklah sama dengan pada dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anak-anak
biasanya secara klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan bulan
sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan
lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan.
Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis.
Ruam malar yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat
adanya sensitifitas yang berlebihan terhadap cahaya matahari (photosensitive) dan

dapat memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress emosional. Ruam ini tidak
sakit dan tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada lipatan nasolabial dan
kelopak mata. Ruam lain biasanya muncul pada telapak tangan, serta telapak kaki.
Ruam malar dapat sembuh sempurna tanpa parut dengan terapi. Mungkin terdapat
ulkus pada membran mukosa. Rambut dapat berubah menjadi lebih kering dan rapuh,
bahkan sampai alopesia. Arthritis seringkali muncul, dan dapat berlanjut menjadi
pembengkakan sendi jari-jari tangan atau kaki.

Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan
lupus
F. Cara Diagnosa
Tabel: Kriteria ACR (American College of Rheumatology) Revisi 1997, untuk
Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik
Ruam malar (butterfly rash)
Ruam diskoid-lupus
Fotosensitif
Ulkus pada oral atau nasal
Arthritis non-erosif
Nefritis
Proteinuria >0,5 g/hari
Silinder selular
Ensefalopati
Kejang
Psikosis
Pleuritis atau perikarditis
Kelainan hematologi

Anemia hemolitik
Leukopenia
Limfopenia
Trombositopenia
Pemeriksaan imunoserologis positif
Antibodi terhadap dsDNA
Antibodi terhadap Smith nuclear antigen
Antibodi antifosfolipid (+), berdasarkan:
Antibodi IgG atau IgM antikardiolipin
Lupus antikoagulan
Positif palsu pada tes serologis untuk sifilis dalam waktu 6 bulan
Tes antinuklear antibodi (ANA) positif
Jika didapatkan 4 dari 11 kriteria diatas kapanpun dalam masa observasi
penyakit, diagnosis SLE dapat dibuat dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 96%.

G. Bentuk Bentuk SLE


1. Nefritis Lupus
Lebih dari 80% anak dengan lupus memiliki bukti adanya keterlibatan ginjal
pada suatu masa dalam penyakitnya. Bahkan bila pada semua pasien lupus
dilakukan

pemeriksaan

biopsi

ginjal

dan

diperiksa

dengan

mikroskop

imunofloresensi akan ditemukan kelainan pada hampir semua kasus meskipun pada
pemeriksaan urinalisisnya belum ada kelainan (silent NL).
Gambaran klinis pasien nefritis lupus sangat bervariasi, karena kelainan
patologi anatomik ginjal pada NL dapat mengenai berbagai struktur parenkim
ginjal, yaitu glomerulus, tubulus dan pembuluh darah. Mulai dari tanpa kelainan
pada urinalisis, atau hanya edema, proteinuria/hematuria ringan sampai gambaran
klinis yang berat yaitu sindrom nefrotik, glomerulonefritis yang disertai penurunan
fungsi ginjal yang progresif, atau hipertensi yang dapat disertai ensefalopati
hipertensif.
Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis NL maka haruslah ditemukan dulu adanya SLE


pada pasien. Diagnosis SLE dilakukan berdasarkan kriteria ACR yang telah direvisi
pada tahun 1997 seperti yang telah disampaikan diatas.
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan > 4 dari 11 kriteria. Pada pemeriksaan
laboratorium pada sebagian besar pasien NL ditemukan sel LE atau LE reaksi (+),
peninggian LED, penurunan kadar komplemen C3, C4, dan komplemen total
(CH50), peninggian kadar antibodi antinuklear dan adanya antibodi terhadap DNA
double-stranded (ds-DNA). Pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan hematuria,
proteinuria, dan macam-macam silinder, antara lain: torak, sel darah merah, dan sel
darah putih. Derajat proteinuria sering berkorelasi dengan beratnya penyakit dan
dapat mencapai kadar proteinuria pada sindrom nefrotik yaitu >40 mg/jam/m 2.
Pemeriksaan darah tepi juga bervariasi, yaitu dapat berupa leukositosis atau
leukopenia, dengan atau tanpa trombositopenia. Apabila ditemukan anemia, perlu
diperiksa uji coombs untuk melihat adanya anemia hemolitik autoimun. NL dengan
anemia dilaporkan mempunyai prognosis yang kurang baik dan umumnya progresif.
Pemeriksaan lain yang kadang-kadang positif yaitu uji reumatoid dan serologi
terhadap sifilis yang merupakan reaksi positif palsu. Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan pada pasien nefritis lupus ataupun lupus eritematosus sistemik pada
umumnya dapat dilihat pada tabel.
Tabel. Pemeriksaan Laboratorium pada NL / SLE
1. Urinalisis
2. Darah tepi, termasuk LED
3. Proteinuria kuantitatif 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
4. Pemeriksaan fungsi ginjal
-

darah ureum dan kreatinin

klirens ureumdan kreatinin

5. Kimia darah
- albumin, globulin, kolesterol
6. Pemeriksaan khusus
-

sel LE

komplemen darah (C3, C4, CH50)

C-reaktif protein (CRP)

Antibodi anti ds-DNA

Uji coombs

Uji serologi sifilis

Serum imunoglobulin, terutama IgG

krioglobulin

7. Biopsi ginjal
Bila memungkinkan dapat diperiksa anti Ro, anti Sm, dan anti kardiolipin
(anti fosfolipid).
2. Lupus Diskoid
Sebesar 2 sampai 3% lupus diskoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Lesi
kulit diskoid pada pasien anak terdiri dari bercak eritema yang menimbul dengan
adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi
parut atrofi dan banyak muncul pada kulit yang sering terkena sinar matahari,
sebagaimana halnya pada pasien dewasa. Lesi diskoid sering menyebabkan
timbulnya jaringan parut dan dapat kambuh kembali jika pasien terpapar sinar
ultraviolet. Sekitar 7% lupus diskoid akan menjadi SLE dalam waktu 5 tahun.
Walaupun belum ada penelitian yang menyebutkan lupus diskoid dapat
berkembang menjadi SLE pada anak, namun presentasi lupus diskoid pada anak
yang cukup jarang harus mendapatkan perhatian dari dokter yang merawat. Hasil
pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang
disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan leukopeni ringan. Bukti klinis dan
laboratoris lain yang menunjukkan adanya penyakit sistemik penting untuk
memantau progresifitas penyakit ini menjadi SLE.
3. Sistem Saraf Pusat
Gejala SSP muncul pada 20 30% pada anak dan dewasa dengan SLE, dan
dapat melibatkan gejala-gejala neurologis atau psikiatrik. Tidak seperti
manifestasi penyakit lain, keterlibatan SSP dapat terlihat di tahun pertama
penyakit pada 75-85% pasien yang akan berkembang menjadi penyakit SSP.
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan
dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori.
Gejala neuropsikiatrik ada pada 33 60% pasien SLE dewasa dengan kelainan

SSP. Resiko pada wanita delapan kali lebih besar daripada pria, dan resiko
tertinggi ada pada wanita kulit hitam. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan
evaluasi untuk menyingkirkan ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik.
Disarankan untuk mengkonsultasikan hal ini dengan ahli psikiatri.
Secara klinis, ada banyak kemiripan SLE dengan gejala SSP pada anak dan
dewasa. Diantaranya psikosis, depresi, organic brain syndrome, dan disfungsi
kognitif. Gangguan motorik (khorea) lebih sering pada anak, mungkin
berhubungan dengan adanya antibodi anti-fosfolipid. Nyeri kepala juga sering
menjadi gelaja dari SLE namun penyebab nyeri kepala lain juga tidak kalah
banyaknya. Nyeri kepala ini harus dibuktikan bukan berasal dari kelainan
intrakranial, biasanya disebabkan oleh trombosis vena serebralis dan hipertensi
intrakranial. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi
antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, konfirmasi dengan CT
Scan perlu dilakukan.
4. Arthritis Lupus
Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri
tekan, bengkak atau efusi. Pada lebih dari 90% pasien anak, seringkali muncul
poliarthritis yang mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Arthritis biasanya
lebih mudah untuk diterapi, dibandingkan dengan kelainan organ lain pada SLE.
Tidak seperti reumatoid arthritis, arthritis SLE terasa sangat nyeri, dan nyeri yang
dirasakan pasien tidak sebanding dengan temuan klinisnya yang terlihat ringan.
Pemeriksaan radiologi pada sendi yang terkena, menunjukkan osteopenia tanpa
adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan RA sendi poliartikular
beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES.
5. Serositis Lupus (pleuritis, perikarditis)
Riwayat nyeri pleura atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi
pleura pada pemeriksaan fisik, menunjukkan adanya pleuritis pada pasien. Nyeri
pleura adalah nyeri dada yang tajam, yang diperburuk oleh batuk, menarik nafas
dalam dan perubahan tertentu posisi tubuh. Atau dapat pula muncul sebagai
perikarditis, dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau
terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik.
6. Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali
hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah
dan aktivasi komplemen lokal.
7. Gangguan Darah
Terdapat salah satu diantara kelainan darah ini: 1) Anemia hemolitik dengan
retikulositosis, 2) Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan, 3) Limfopenia
< 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan, 4) Trombositopenia < 100.000/mm 3 tanpa
adanya intervensi obat.
H. Tatalaksana
Kortikosteroid
Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE.
Meskipun efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap
yang terbaik untuk nefritis lupus dan SLE pada umumnya. Harus dipertimbangkan
pada anak, bahwa efek samping kortikosteroid jangan sampai lebih buruk daripada
penyakitnya itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan anak menjadi tidak mau
melanjutkan terapi yang dijalaninya.
Karena efek sampingnya yang banyak, dosisnya harus dikurangi segera setelah
muncul perbaikan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pada permulaan
penyakit anak biasanya diberikan jadwal minum obat prednison tiga kali sehari.
Pada pertengahan, dosis diturunkan namun tetap dilanjutkan.
Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2 mg/kgBB/hari
atau 60 mg/m2/hari (maksimum 80 mg.hari) dan diturunkan secara bertahap; bila
terdapat perbaikan gejala penyakit, proteinuria, fungsi ginjal, normalisasi
komplemen darah, dan penurunan titer anti ds-DNA. Penurunan dosis berlangsung
selama 4-6 minggu. Dosis prednison diturunkan secara bertahap sampai 5-10
mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak
terjadi relaps, pemberian steroid diuah manjadi selang sehari dan diberikan pada
pagi hari. Bila timbul relaps, dosis dinaikkan lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari.
Efek samping yang paling mengganggu pada usia remaja terutama adalah
peningkatan berat badan. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan
dosis tinggi intermitten intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa
mempertahankan densitas mineral tulang. Fraktur patologis jarang terjadi pada anak
SLE. Resiko fraktur bisa dicegah dengan intake kalsium dan program exercise yang

lebih baik. Melalui program alternate, efek samping steroid pada pertumbuhan bisa
dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab endokrin seperti tiroiditis dan
defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis avaskuler bisa terjadi
pada 10-15% pasien LES anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan jangka
panjang. Pada beberapa anak, pota tidur dapat terganggu karena pengaruh
kortikosteroid. Sebagian anak menjadi lebih hiperaktif, moody, dan sulit memulai
tidur. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan kortikosteroid malam hari lebih
awal. Beberapa anak dengan terapi kostikosteroid dosis tinggi mengalami
peningkatan dalam frekuensi BAK malam hari sehingga sulit untuk memulai tidur
kembali. Jika ada efek negatif seperti ini, dosis kortikosteroid dapat disesuaikan.
Beberapa efek samping kortikosteroid dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Efek Samping Kortikosteroid 2
Efek samping
Rekomendasi
Peningkatan nafsu makan dan berat Diet rendah garam dan lemak. Konsultasi gizi
badan, moon face

bila perlu

Acne
Gangguan mood

Krim anti-acne topikal


Diskusikan dengan anak dan angota keluarga
yang lain bahwa terkadang perubahan mood

Pertumbuhan lebih lambat

ini sulit untuk dikontrol.


Beri pengertian tentang

Osteopenia
Avaskular nekrosis (AVN)

mengejar ketinggalan dalam pertumbuhannya


Suplemen kalsium dan vitamin D
Lakukan roentgen atau MRI, konsultasikan

Mudah terkena infeksi

kepada dokter ahli ortopedi


Vaksinasi pneumonia dan varisella jika anak

Tekanan darah meningkat


Katarak

tidak sedang menderita cacar


Monitor berkala, obat antihipertensi bila perlu
Biasanya tidak mempengaruhi penglihatan.

Peningkatan resiko atherosklerosis

Konsultasikan kepada dokter spesialis mata


Cek profil lipid sebelum terapi kortikosteroid

kearusan

anak

maupun hidroklorokuin.
Hidroklorokuin
Hidroklorokuin mulai diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus
derajat sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang berat. Ada

beberapa studi menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala dapat menurunkan
resiko kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin juga memiliki efek pada lipid plasma
dan dapat menurunkan resiko komplikasi kadriovaksular. Pemakaian jangka panjang
Hidroklorokuin

dapat

menyebabkan

retinopati,

namun

resiko

ini

dapar

diminimalisasi dengan mengatur pemberian tidak lebih dari 6 mg/kgBB/hari. 2


Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS
Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan sebagai
profilaksis episode trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak dengan antibodi
antifosfolipid yang tinggi dan/atau anak dengan lupus antikoagulan.
Anti inflamasi non steroid (AINS) digunakan untuk gejala dan tanda pada
muskuloskeletal, yang dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada anak dengan terapi
kortikosteroid dosis sedang atau tinggi. AINS juga dapat mengobati serositis.
Obat-obatan Imunosupresif
Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam kombinasi
dengan kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah siklofosfamid dan
azatioprin.
Indikasi pemakaian obat sitostatik adalah:
-

Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan untuk


mengontrol penyakit

Bila timbul efek samping pada penggunaan kortikosteroid,


misalnya hipertensi

Bila NL berat yaitu NL proliferatif difus, sejak awal diberikan


kombinasi kortikosteroid dan sitostatik.

Biasanya obat sitistatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan
penggunaan sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan cara pulse terapi
yaitu dengan memberi bolus intravena 0,5-1 gram/m2 secara infus selama 1 jam.
Pada hari pemberian infus anak dianjurkan sering kencing untuk mencegah
timbulnya komplikasi sistitis hemoragik.
Lehman dkk (1989) melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse
siklofosfamid sekali sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginjal
pada NL proliferasi difus. Dosis yang dipakai adalah 500 mg/m 2 pada bulan
pertama, 750 mg/m2 pada bulan kedua dan selanjutnya 1 gram/m2 (dosis maksimal

40 mg/kgBB). Pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai
dosis 500 mg/m2. Bila jumlah leukosit <2000/m2 dosis tidak boleh dinaikkan, dan
bila <1000/m2 dosis diturunkan 125 mg/m2.
I.

Pencegahan

Proteksi Terhadap Matahari


Pajanan pada sinar matahari atau sumber lain yang ada sinar ultraviolet
(terutama UV-A atau UV-B) dapat menyebabkan kekambuhan ruam pada lupus
dan juga gejala sistemik seperti nyeri sendi dan fatigue. bisa juga menyebabkan
serangan pertama. Jadi, untuk menghindari pajanan yang terus menerus dengan
sinar UV, setiap pasien atau siapapun juga harus menggunakan topi atau krim tabir
surya. Pasien yang menggunakan krim tabir surya secara rutin (SPF 15 atau yang
lebih besar) memiliki resiko lebih rendah untuk terkena lupus nefritis,
trombositopenia, dan membutuhkan lebih sedikit dosis siklofosfamid. Setiap anak
dengan SLE sebaiknya selalu menggunakan krim tabir surya setiap hari pada
seluruh kulitnya yang terpajan sinar matahari (kecuali telinga) tidak hanya pada
siang hari, karena awan tidak dapat menghilangkan sinar UV.
Imunisasi
Anak dengan SLE memiliki resiko tinggi terkena infeksi bakteri dan virus.
Pada anak-anak ini seharusnya dilakukan semua jenis imunisasi yang diwajibkan
namun tidak boleh yang mengandung vaksin hidup.
- Vaksin cacar (varicella) dianjurkan untuk semua anak yang belum pernah
terinfeksi virus varicella-zoster. Termasuk kedalam vaksin hidup (live
vaccine) sehingga harus diberikan sebelum terapi dengan kortikosteroid
dimulai.
- Vaksin pneumokokus dianjurkan untuk semua anak pada saat diagnosis SLE
ditegakkan, dan setiap 5 tahun. Infeksi pneumokokus yang invasif sering
terjadi pada anak dengan SLE.
- Vaksin influenza. Anak SLE yang di imunisasi dengan vaksin influenza
memiliki respon antibodi yang protektif, walaupun jumlahnya lebih sedikit
dari anak yang normal.
-

Vaksin Haemophilus influenza (Hib) dan meningokokus dianjurkan pada


setiap anak dengan SLE.

Diet dan Olahraga


Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Sebenarnya tidak ada diet
khusus untuk pasien SLE, namun karena adanya kenaikan berat badan akibat
penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan junk food atau
makanan mengandung tinggi sodium dan tinggi garam untuk menghindari
kenaikan berat badan berlebih. Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal.
Olah raga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan
normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan
dengan kekambuhan.
I. PROGNOSIS
Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan diselingi
oleh fase remisi, dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut Sibley,
bangkitan diartikan sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan
baru yang memerlukan perubahan terapi. Fase remisi sebetulnya merupakan
bentuk klinis yang kurang ganas dengan gangguan predominan pada sendi dan
kulit. Beberapa faktor telah dikenal dapat menimbulkan bangkitan aktivitas lupus
di luar masa evolusi spontan, yaitu pajanan sinar ultraviolet, infeksi, beberapa
jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik yang membentuk siklus aromatik
(penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin, dan antikonvulsan, serta
kehamilan.
Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah bervariasi
dari bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi viseral.
Sebaliknya, bentuk yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di bawah
pengobatan.
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab
kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal,
hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi
belakangan ini kematian tersebut semakin menurun karena perbaikan cara
pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti
hemodialisis lebih luas.
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan,
misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden
vaskular serebral iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma (kanker,

hemopati) akibat pemakaian obat imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi


imun akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena
harapan hidup (survival) penderita lupus lebih panjang.
Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan
hanya akibat kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit
lupusnya itu sendiri. Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan
pencegahan terhadap semua sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi.
Secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian
kematian, yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak
terkontrol, dan satu puncak lain yang lebih jauh akibat komplikasi kortikoterapi.
Pada tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa
peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun
sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ
tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.

2. Diabetes Melitus Tipe 1


Diabetes melitus tipe 1 atau lebih dikenal dengan nama diabetes usia muda yang
muncul pada anak-anak menjadi satu masalah besar dan serius pada akhir-akhir abad ini
dan menjadi masalah kesehatan yang populer bagi WHO selama lebih dari 25 tahun
belakangan.
Bukan hanya faktor keturunan yang menjadi penyebab diabetes melitus pada
anak, akan tetapi juga akibat dari pola makan dan gaya hidup yang buruk juga berkaitan
erat dengan kejadian tersebut.
Oleh sebab itu, perlu pengadaan program pendidikan khusus tentang diabetes
melitus agar anak-anak di dunia terutama di Indonesia dapat menunda atau bahkan
mencegah timbulnya diabetes melitus.
Selain itu, beberapa orang tua yang mempunyai anak dengan diabetes melitus
enggan melaporkan keadaan mereka kepada dinas kesehatan setempat, atau merawat
anak-anak mereka di rumah sakit dengan alasan faktor ekonomi.
Prevalensi angka insiden diabetes melitus yang terjadi di Indonesia diperkirakan
ada 240 kasus diabetes dari angka 83 juta anak dari seluruh populasi per tahun.
Diabetes Mellitus (DM) tipe-1 merupakan salah satu penyakit kronis yang sampai
saat ini belum dapat disembuhkan. Walaupun demikian berkat kemajuan teknologi
kedokteran kualitas hidup penderita DM tipe-1 tetap dapat sepadan dengan anak-anak
normal lainnya jika mendapat tata laksana yang adekuat. Sebagian besar penderita DM
pada anak termasuk dalam DM tipe-1, namun akhir-akhir ini prevelensi DM tipe-2 pada
anak juga meningkat. Untuk penderita DM tipe-1 dewasa, tidak dibicarakan secara rinci
pada konsensus ini.
A. Definisi
DM tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme
glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini diakibatkan oleh
kerusakan sel- pankreas baik oleh proses autoimun maupun idioptaik sehingga
produksi insulin berkurang bahkan terhenti.
B. Epidemiologi
Berdasarkan data dari rumah sakit terdapat 2 puncak insidens DM tipe-1 pada
anak yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut dicatat bahwa lebih dari 50 %
penderita baru DM tipe-1 berusia > 20 tahun. Faktor genetik dan lingkungan sangat
berperan dalam terjadinya DM tipe-1. Walaupun hampir 80 % penderita DM tipe-1

baru tidak mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit serupa, namun faktor
genetik diakui berperan dalam patogenesis DM tipe-1. Faktor genetik dikaitkan
dengan pola HLA tertentu, tetapi sistim HLA bukan merupakan faktor satu-satunya
ataupun faktor dominan pada patogenesis DM tipe-1. Sistim HLA berperan sebagai
suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan. Diperlukan suatu faktor pemicu yang
berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin dll) untuk menimbulkan gejala klinis
DM tipe-1 pada seseorang yang rentan.
C. Patofisiologi
DT1 merupakan tipe diabetes yang paling berat karena membutuhkan injeksi
insulin seumur hidup. Sebagian besar kasus DT1 terbukti disebabkan karena destruksi
sel beta yang dimediasi autoimun (Tipe 1A), sekitar 10%-20% kasus tidak ditemukan
adanya antibody (antibody negatif) sehingga disebut sebagai DT1 idiopatik (Tipe 1B).
Penurunan sekresi insulin diteliti selama lebih dari 12 tahun sebelum terjadinya
manifestasi klinis DT1. Inflamasi pada sel islet pancreas (insulitis) yang melibatkan
limfosit CD4+ dan CD8+, limfosit B dan makrofag
Terdapat 2 mekanisme onset terjadinya DT1 tang dikemukakan. Mekanisme 1
menjelaskan bahwa faktor lingkungan memicu proses autoimun, yang sering terjadi
pada anak-anak umur <10 tahun. Meskipun diagnosis DT1 biasanya didahului gejala
yang tidak diketahui selama beberapa minggu, tetapi pada kenyataannya manifestasi
klinisnya menjadi jelas hanya setelah periode prodormal yang panjang karena adanya
destruksi sel beta pancreas secara bertahap. Mekanisme ke-2 menjelaskan bahwa
terdapat suatu reaksi superantigen yang mengakibatkan dektruksi sel beta pancreas
secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai 1 bulan, yang memulai onset
klinis.
D. Manifestasi Klinis
Peningkatan frekwensi ( Poliuria ) miksi merupakan konswekwensi sekunder dari
peningkatan diuresis-osmosis akibat hiperglikemia melewati batas yang dapat diabsorbsi
oleh ginjal yang berkepanjangan, hal ini mengakibatkan hilangnya banyak cairan
elektrolit dan gula lewat urine. Sering haus merupakan kompensasi dari diuresis osmosis.
Penurunan berat badan total walaupun nafsu makan berlebihan (hiperphagia) sebagai
tanda umum pada T1DM, penurunan berat badan ini disebabkan oleh kurangnya kadar
air plasma dan trigliserida, ditambah dengan hilangnya massa total otot akibat proses
perubahan protein otot menjadi glukosa dan benda keton karena jumlah insulin tidak

cukup untuk memberikan energi dalam bentuk glukosa kepada sel. Kekurangan energi
ini dapat mencapai 50% dari total asupan kalori yang di konsumsi sehari. Sebagai contoh
bila seorang anak sehat berumur 10 tahun mempunyai kebutuhan kalori perhari adalah
2000 kalori dengan asumsi sebagian besar kalori yang masuk adalah karbohidrat maka
jumlah kalori yang terbuang oleh urine lewat glikosuria adalah 1000 kalori yang terdiri
dalam bentuk air yang mungkin sekali sebanyak 5L dan Glukosa sebanyak 250g nilai ini
mencakup 50% total kalori sehari yang di konsumsi . Kehilangan kalori yang begitu
banyak ini dikompensasi dengan keadaan hiperphagia dan bila hiperphagia masih belum
dapat mengkompensasi kebutuhan energi pasien terjadilah kelaparan jaringan tubuh yang
akhirnya akan memicu pemecahan lemak subkutan menjadi glukosa yang memperberat
keadaan hiperglikema. Sedangkan penurunan volume plasma membawa akibat hipotensi
postural. Pada anak wanita yang menderita diabetes, monilial - vaginitis mungkin sekali
berkembang akibat dari glikosuria kronis.
Turunnya kadar kalium total tubuh dan katabolisme protein memberikan kontribusi
penting pada kelemahan fisik. Paresthesia mungkin saja terlihat pada saat diagnosis fase
awal onset subakut T1DM. Pada saat defisiensi insulin berada pada fase onset akut maka
gejala klinis diatas akan berkembang menjadi lebih berat, ketoacidosis eksaserbasi akut,
hiperosmolalitas, dan dehidrasi akibat dari naussea, vomitus, dan anorexia. Level
kesadaran pasien bergantung pada derajat hiperosmolalitas.
Bila defisiensi insulin bergerak lambat dan kebutuhan cairan dapat di jaga maka
kesadaran pasien dapat terjaga dan gejala klinis yang menyertai akan tetap minimal.
Namun pada saat terjadi vomitus sebagai respon perkembangan progresif yang buruk
keadaan keto-acidosis diikuti dengan memburuknya dehidrasi dan tidak adekuatnya
perawatan yang mengkompensasi osmolalitas serum untuk terus berada pada level 320 330 mosm/L, maka pada keadaan ini kesadaran pasien dapat menurun, dari keadaan
stupor sampai koma. Fruity odor atau terciumnya bau manis keton pada nafas pasien
mengarahkan kecurigaan pada keadaan diabetes keto-acidosis ( DKA )
E. Pemeriksaan Penunjang
Walaupun gejala klinis dari T1DM tidaklah spesifik, tanda penting yang terlihat
dalam acuan diagnosis adalah poliuria pada anak dengan dehidrasi, kurang berat badan,
hiperglikemia , dan ketonuria yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan rutin.Diagnosis
pasti dari diabetes mellitus tipe 1 meliputi kadar gula darah non puasa melebihi 200
mg/dL (11.1mmol/L) diikuti dengan gejala klinis yang tipikal terhadap T1DM. Bila
pasien anak yang datang obese maka perlu di singkirkan kemungkinan bahwa diabetes

yang terjadi adalah tipe 2. Bila keadaan hiperglikemia telah dikonfirmasi maka wajib
dilakukan pemeriksaan untuk DKA terutama bila keadaan ketonuria ditemukan,
dilanjutkan dengan pemeriksaan elektrolit darah serta pengawasan walaupun tanda
dehidrasi yang terjadi tidak berat. Pada pasien anak non obese tidak perlu dilakukan
pemeriksaan autoimmunitas untuk sel beta.pemeriksaan HbA1c perlu dilakukan untuk
monitoring dan pengawasan kadar glukosa terkait dengan keberhasilan terapi yang
diberikan
Untuk diagnosis diabetes mellitus: pemeriksaan glukosa darah/hiperglikemia (puasa,
2 jam setelah makan/post prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral
(TTGO).Antibodi untuk petanda (marker) adanya proses autoimun pada sel beta adalah
islet cell cytoplasmic antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibodi
terhadap glutamic acid decarboxylase (anti-GAD).
ICA bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma sel-sel endokrin pada pulaupulau pankreas. ICA ini menunjukkan adanya kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA
menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah diabetes tipe 1. GAD adalah
enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmiter g-aminobutyric acid
(GABA). Anti GAD ini bisa teridentifikasi 10 tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3
petanda ini bisa digunakan sebagai uji saring sebelum gejala DM muncul. Untuk
membedakan tipe 1 dengan tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi Cpeptide merupakan indikator yang baik untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan untuk
memonitor respons individual setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida akan
meningkat pada transplantasi pankreas atau transplantasi sel-sel pulau pankreas
F. TATALAKSANA
Bagi pasien anak dengan umur kurang 11 tahun pengawasan serta pemberian injeksi
insulin lebih baik diserahkan kepada orang tua ada tenaga kesehatan penyerta. Dosis
insulin akan bergantung pada jumlah keton dalam darah dan status pH pasien anak. Bila
pH < 7,3 dan jumlah keton dalam darah berada pada level signifikan, pemberian insulin
intravena diharuskan untuk diberikan. Bila rehidrasi teradministrasi dengan baik dan pH
darah vena normal maka pemberian 1 atau 2 injeksi intramuscular atau subkutan insulin
lispro (humalog, [H]) atau insulin aspart (Novolog [NL]) terpisah dalam 1 jam dengan
dosis 1-2 Unit/KgBB dapat dilakukan.

3. Reumatoid Artritis
G.
H.

JRA adalah penyakit atau kelompok penyakit yang ditandai dengan

sinovitis kronis

dan disertai dengan sejumlah manifestasi ekstra-artikuler.

JRA adalah salah satu penyakit Reumatoid yang paling sering pada anak, dan
merupakan kelainan yang paling sering menyebabkan kecacatan. Ditandai dengan
kelainan karakteristik yaitu sinovitis idiopatik dari sendi kecil, disertai dengan
pembengkakan dan efusi sendi. 2,3

I.
J.
K.

L.

Gambar 3.1 Gambaran Sendi pada ARJ


Sumber : http://www.ehow.com/about_4613621_who-discovered-rheumatoidarthritis.html

Ada 3 tipe JRA menurut awal penyakitnya yaitu: Oligoartritis

(pauciarticular disease), poliartritis, dan sistemik. Arthritis Rheumatoid Juvenile


(ARJ) merupakan penyakit arthritis kronis pada anak-anak umur di bawah 16 tahun.
Berdasarkan definisi, ARJ ditandai oleh menetapnya temuan peradangan secara
objektif di satu atau lebih sendi selama paling sedikit 6 minggu dengan eksklusi kausa
lain.
M.

Penyakit reumatik merupakan sekelompok penyakit yang sebelumnya

dikenal sebagai penyakit jaringan ikat. Menurut Kriteria American Rheumatism


Association (ARA) ARJ merupakan penyakit reumatik yang termasuk ke dalam
kelompok penyakit jaringan ikat yang terdiri dari beberapa penyakit. Ada beberapa
terminologi untuk mengelompokkan arthritis ini. Istilah ARJ lebih banyak dipakai di
Amerika Serikat yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut arthritis pada anak usia
dibawah 16 tahun yang tidak diketahui penyebabnya. Di AS lebih sering digunakan
istilah rematoid karena pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai orang tua atau
keluarga yang menderita arthritis rematoid dengan faktor rematoid yang positif.
Istilah arthritis kronik juvenil lebih banyak digunakan di Inggris (Eropa).4

N.

3.2 EPIDEMIOLOGI 2,3,4


O.
ARJ merupakan artritis yang lebih sering dijumpai pada anak-anak,
insidennya dilaporkan hanya sekitar 1% pertahunnya. Dengan perjalanan penyakit
ARJ bervariasi, 17% berkembang menjadi arthritis kronik, 20% dengan gangguan
mata. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa pasien ARJ yang berlangsung lebih dari
7 tahun, 60% mengalami kecacatan. Prevalensi ARJ dilaporkan sekitar 12/100.000/tahun dan Minnesota 35/100.000/tahun.
P.
ARJ banyak menyerang anak-anak dengan tingkat umur terbanyak
sekitar 4-5 tahun. Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 3:1. Faktor suku
diduga kuat sangat terkait pada ARJ, di Amerika, suku Afrika dibandingkan dengan
suku Amerika dan Kaukasia lebih sering terkena. Di AS Schwartz melaporkan bahwa
ARJ lebih sering menyerang anak-anak yang lebih dewasa, khususnya pada kelompok

Q. 3.3

Oligo-artritis, dengan RF positif.


ETIOLOGI
R.
Penyebab artritis reumatoid dan mekanisme untuk pengekalan radang
sinovial kronis belum diketahui. Ada dua hipotesis yaitu, bahwa penyakit disebabkan
oleh infeksi mikroorganisme yang tidak dikenali atau bahwa penyakit tersebut
menggambarkan reaksi hipersensitivitas atau autoimun terhadap rangsangan yang
tidak diketahui. Upaya untuk mengkaitkan agen infeksi seperti virus rubela pada JRA
tetap tak tersimpulkan. Infeksi dengan Borrelia burgdorferi , spirokheta penyakit
Lyme, menyebabkan pausiartritis berulang atau kronis pada beberapa anak tetapi
bukan merupakan agen etiologi dari JRA pausiartikuler. Parvovirus B19 dan
mikoplasma juga telah dihubungkan dengan artritis, pada anak. hubungan faktor
reumatoid (antibodi reaktif dengan IgG) dengan artritis reumatoid yang timbul pada
orang dewasa memberi kesan mekanisme autoimun. Namun, antibodi ini jelas tidak
menimbulkan

penyakit,

walaupun

kompleks

imun

faktor

reumatoid

dan

imunoglobulin dapat mengekalkan peradangan sinovia dan menimbulkan vaskulitis


reumatoid yang ditermukan pada penderita artritis reumatoid seropositif. 3,4
S.
Kadar komplemen yang rendah terdapat pada cairan sinovia beberapa
penderita vaskulitis reumatoid sesuai dengan mekanisme kompleks imun. Namun
mekanisme ini gagal menjelaskan sebagian besar keadaan artritis pada anak, karena
sebagian besar anak tidak mempunyai faktor reumatoid klasik. Upaya untuk
mengaitkan

faktor

reumatoid

tersembunyi

(antibodi

yang

reaktif

dengan

gammaglobulin yang dideteksi melalui berbagai macam metode) dengan patogenesis


JRA tidak memberikan kesimpulan. Kejadian artritis kronis pada penderita defisiensi

IgA dan hipogammaglobulinemia memberi kesan bahwa bagaimanapun untuk


menderita artritis kronis, namun, pada anak JRA, tidak ada imunodefisiensi yang
dapat dikenali (identifiable) yang dapat dideteksi. Timbulnya JRA secara klinis dapat
menyertai infeksi sistemik akut atau trauma fisik pada sendi, tetapi kaitan langsung
dengan kejadian demikian tidak terbukti. Eksaserbasi dapat menyertai penyakit atau
stres psikis yang datang diantaranya.
T.
Penyakit pausiartikuler tipe II seringkali disertai riwayat keluarga yang
positif dengan spondilitis ankilosis, sindrom Reiter, iridosiklitis akut, atau
pausiartikuler. Baik JRA pausiartikuler tipe I maupun poliartritis faktor reumatoid
positif kadang kadang terjadi pada satu atau lebih keluarga tingkat pertama dari anak
yang terkena. Setiap subkelompok ini mempunyai hubungan HLA yang berbeda,
menunjukkan beberapa kecenderungan genetik terhadap penyakit; penyakit
pausiartikuler tipe II dengan HLA-B27, penyakit pausiartikuler tipe I dengan HLADR28, -DR5, dan DR6, dan penyakit faktor reumatoid-positif dengan HLA-DR4.
tidak ada penyakit yang timbul secara sistemik atau poliartritis seronegatif, yang
diketahui mempunyai hubungan HLA atau kejadian familial.
U.
Dari keseluruhan hipotesa, saat ini ARJ sendiri diduga terjadi karena
respons yang abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan.
V.

Peran imunogenetik diduga sangat kuat mempengaruhi.


3.4 PATOFISIOLOGI 3,4,5
W.
Pada fase awal terjadi kerusakan mikrovaskuler serta proliferasi
sinovia. Tahap berikutnya terjadi sembab pada sinovia, proliferasi sel sinovia mengisi
rongga sendi. Sel radang yang dominan pada tahap awal adalah netrofil, setelah itu
limfosit, makrofag dan sel plasma. Pada tahap ini sel plasma memproduksi terutama
IgG dan sedikit IgM, yang bertindak sebagai faktor rheumatoid yaitu IgM anti IgG.
Belakangan terbukti bahwa anti IgG ini jaga bisa dari klas IgG. Reaksi antigenantibodi menimbulkan kompleks imun yang mengaktifkan sistem komplemen dengan
akibat timbulnya bahan-bahan biologis aktif yang menimbulkan reaksi inflamasi.
Inflamasi juga ditimbulkan oleh sitokin, reaksi seluler, yang menimbulkan proliferasi
dan kerusakan sinovia. Sitokin yang paling berperan adalah IL-18, bersama sitokin
yang lain IL-12, IL-15 menyebabkan respons Th1 berlanjut terus menerus, akibatnya
produksi monokin dan kerusakan karena inflamasi berlanjut.

X.
Z.

AA.

Y.
Gambar 3.2 Respon Inflamasi
Sumber : http://www.ehow.com/about_4613621_who-discovered-rheumatoidarthritis.html

Pada fase kronik, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol

disebabkan respons imun seluler. Kelainan yang khas adalah keruskan tulang rawan
ligamen, tendon, kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan oleh produk enzim,
pembentukan jaringan granulasi. Sel limfosit, makrofag, dan sinovia dapat
mengeluarkan sitokin, kolagenase, prostaglandin dan plasminogen yang mengaktifkan
sistem kalokrein dan kinin-bradikinin. Prosraglandin E2 (PGE2) merupakan mediator
inflamasi dari derivat asam arakidonat, menyebabkan nyeri dan kerusakan jaringan.
Produk-produk ini akan menyebabkan kerusakan lebih lanjut seperti yang terlihat
pada Artritis Reumatoid Kronik.
AB. Seperti yang telah dijabarkan diatas arthritis reumatoid ditandai dengan
peradangan sinovial kronis yang non supuratif. Jaringan sinovial yang terkena
edematosa, hiperemis, dan infiltrasi oleh limfosit dan sel plasma. Bertambahnya
sekresi cairan sendi menimbulkan efusi. Penonjolan dari membran sinovialis yang
menebal membentuk vili yang menonjol ke dalam ruang sendi; reumatoid sinovial
yang hiperplastik dapat menyebar dan melekat pada kartilago artikuler. Pada sinovitis
kronis dan proliferasi sinovial yang berkelanjutan, kartilago artikuler dan struktur
sendi lainnya dapat tererosi dan rusak secara progresif. Lamanya sinovitis sebelum
sendi menjadi rusak secara permanen, bervariasi pada umumnya, kerusakan kartilago
artikuler terakhir dalam perjalanan JRA terjadi lebih belakangan daripada penyakit
yang mulai timbul saat dewasa, dan banyak anak menderita JRA tidak pernah
mendapat cedera sendi permanen walaupun sinovitisnya lama. Penghancuran sendi
terjadi lebih sering pada anak dengan penyakit faktor reumatoid positif atau penyakit
yang timbul atau dimulai secara sistemik. Bila penghancuran sendi telah dimulai,
dapat terjadi erosi tulang subkhondral, penyempitan ruang sendi (kehilangan

kartilago artikulera), penghancuran atau fusi tulang, dan deformitas, subluksasio atau
ankilosis persendian. Mungkin dijumpai tenosinovitis dan miositis. Osteoporosis,
periostitis, perumbuhan epifiseal yang dipercepat, dan penutupan epifiseal yang
prematur dapat terjadi dekat dengan sendi yang terkena.
AC. Nodul reumatoid kurang sering terjadi pada anak daripada orang
dewasa, terutama pada penyakit reumatoid positif, dan memperlihatkan bahan
fibrinoid yang dikelilingi oleh sel radang kronis. Pleura, perikardium, dan peritoneum
dapat menampakkan serositis fibrinosa nonspesifik; yang jarang yaitu perikarditis
konstriktif kronis, jika pernah terjadi. Ruam reumatoid secara histologi tampak seperti
vaskulitis ringan, dengan sedikit sel radang yang mengelilingi pembuluh darah kecil
AD.

pada jaringan subepitel.


3.5
KLASIFIKASI 3,6
AE. Penyakit reumatik merupakan sekelompok penyakit yang sebelumnya
dikenal sebagai penyakit jaringan ikat. Menurut kriteria American Rheumatism
Association (ARA) artritis reumatoid juvenil (ARJ) merupakan penyakit reumatik
yang termasuk ke dalam kelompok penyakit jaringan ikat yang terdiri lagi dari
beberapa penyakit.
AF. Ada 2 klasifikasi yaitu klasifikasi yang dipakai AS dan klasifikasi
menurut EULAR, Klasifikasi yang dipakai di AS ditetapkan tahun 1973 dan telah
direvisi tahun 1977, sedangkan kriteria baru oleh EULAR ditetapkan tahun 1995.
Menurut kriteria ARJ yang dipakai di AS, arthritis ini dibagi dalam 3 subtipe
berdasarkan gejala penyakit yang berlangsung minimal terjadi selama 6 bulan.

AG.

3.6

Sistemik: ditandai dengan demam tinggi yang mendadak disertai bercak

kemerahan dan manifestasi ekstraartikular lainnya.


Pausiartikular (Oligoartritis) ditandai dengan arthritis yang mengenai 4 sendi
Poliartikular (Poliartritis) ditandai dengan nyeri sendi 5
DIAGNOSIS
AH. Klinis
AI.
Diagnosis terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering

terjadi pada umur 1-3 tahun. Gejala klinis utama yang secara objektif terlihat adalah
artritis. Sendi yang terkena terasa hangat pada palpasi, namun biasanya tidak terlihat
eritema. Secara klinis arthritis ditegakan dengan menemukan salah satu dari gejala
pembengkakan atau efusi sendi, atau dengan menemukan paling sedikit dua gejala
inflamasi sendi, yaitu gerakan sendi yang terbatas, nyeri pada pergerakan dan panas.

Rasa nyeri atau nyeri pada pergerakan seperti yang telah dijabarkan diatas, kurang
menonjol dibandingkan kekakuan sendi terutama di pagi hari.3

AJ.
AL.

AM.

AK.
Gambar 3.3 Gejala Klinis ARJ
Sumber : http://www.netterimages.com/image/2456.htm

Subtipe ARJ bergantung pada gejala sistemik penyakit dan jumlah

sendi yang terkena pada 6 bulan pertama perjalanan penyakit. Anak dikatakan
mengidap ARJ awitan sistemik apabila awitan penyakit disertai oleh demam tinggi
yang melonjak-lonjak (sedikitnya 39oC) sampai selama 2 minggu dan (biasanya) oleh
ruam yang cepat menghilang pada puncak demam tanpa dipengaruhi jumlah sendi
yang terkena selama 6 bulan pertama. Pada ARJ pausiartikular atau oligoartritis,
mengenai kurang dari 5 sendi pada 6 bulan pertama, penyakit poliartikular melibatkan
lima atau lebih sendi. Masing- masing subtype penyakit, walaupun hanya bersifat
deskriptif, memperlihatkan perjalanan penyakit, penyulit, dan prognosis yang
berlainan.
AN.

AO.

ARJ Sistemik (Penyakit Still) 4,5,7


Penyakit ini merupakan kelompok ARJ yang sangat serius dibanding

dengan kelompok lainnya, lebih sering dijumpai pada kelompok umur dibawah 4
tahun. Penyakit ini hanya terjadi pada 10% dari semua anak dengan ARJ, tetapi pasien
biasanya menderita sakit berat sehingga dirujuk ke pusat perawatan tersier. Subtipe ini
mengenai kedua jenis kelamin sama banyak dan pada semua kelompok usia, pada
orang dewasa penyakit ini disebut sebagai penyakit Still awitan-dewasa. Sementara
sebagian anak memang memperlihatkan bukti objektif adanya arthritis pada saat
awitan, pasien umumnya datang dengan demam tinggi yang melonjak-lonjak disertai
ruam-ruam yang cepat menghilang.
AP. Pada umumnya anak-anak ini dirujuk setelah menderita demam yang
tidak diketahui sebabnya selama beberapa minggu. Demam timbul setiap hari atau
dua kali sehari, sering melonjak hingga 49 sampai 41oC pada sore hari; suhu sering
menurun cepat sampai subnormal pada jam lain. Lonjakan demam sering disertai oleh

ruam macular berwarna salem yang cepat menghilang, terutama timbul dibadan dan
sebelah dalam paha. Tiap-tiap macula tidak kembali muncul di tempat yang sama
pada lonjakan demam berikutnya. Ruam sering memperlihatkan fenomena koebner,
yaitu kemampuan memicu timbulnya lesi dengan menggosok kulit secara lembut.
AQ. Anak-anak ini sering kehilangan nafsu makan. Apabila anak cukup
besar, mereka sering mengeluh artralgia dan mialgia yang parah (Rudolf) Gejala
lainnya berupa kelelahan, iritatif, nyeri otot dan hepatosplenomegali. Beberapa pasien
didapatkan serositis atau perikarditis. Pada tiga per empat kasus ditemukan
limpadenopati yang secara patologi anatomi hanya didapatkan gambaran hiperplasi.
Artritis mungkin dapat terus berlangsung beberapa minggu atau bulan, sehingga
diagnosis sangat sulit. Sendi yang sering terkena adalah lutut dan pergelangan kaki.
Temporomandibula dan jari-jari tangan dapat terkena tetapi jarang. Gambaran
laboratoriknya menunjukkan leukositosis dengan jumlah leukosit diatas 20.000nm3,
anemia non hemolitik yang berat. LED yang meningkat, tes ANA negatif dan kadar
feritin yang tinggi. Jumlah trombosit meningkat, seringkali tipe ini dengan komplikasi
KID. Gejala ini biasanya membaik setelah satu tahun, sedangkan 50% pasien jatuh ke
kronik arthritis dan 25% dengan gambaran erosi pada sendinya, komplikasi lainnya
yaitu karditis, hepatitis, anemia, infeksi dan sepsis. Diagnosis bandingnya leukemia
atau sepsis.
AR.

Demam tinggi mungkin berlangsung berbulan-bulan sebelum muncul

temuan sendi yang obyektif. Pada sebagian anak gejala sistemik akan berkurang
secara perlahan sementara mereka terus mengalami penyakit sendi poliartikular. Yang
lain mengalami serangan demam, ruam, dan keluhan sendi secara intermitten
sepanjang masa kanak-kanak dan bahkan sampai masa dewasa, tetapi diantara
serangan mereka mungkin terdapat massa normal.
AS. Informasi lain yang perlu diperhatikan pada arthritis tipe ini adalah,
pemeriksaan darah dilakukan beberapa minggu dan bulan awal penyakit untuk
menilai perkembangan anak. Pada beberapa anak gejala sistemik dari penyakit dan
demam, dapat terlihat jelas setelah beberapa minggu hingga bulan diawal penyakit,
meskipun gejala-gejala arthritis yang terkait sendi dapat dirasakan untuk waktu yang
lebih lama. Onset ARJ sistemik dapat hilang dalam setahun pada beberapa anak yang
terdiagnosis. Kekambuhan dapat terjadi tanpa peringatan sebelumnya, atau setelah
infeksi virus (contoh, cacar). Kebanyakan anak dengan ARJ tipe sistemik dapat
diobati dengan obat-obatan dalam sebulan hingga setahun, untuk mengontrol
perkembangan dari keduanya baik arthritis maupun gejala-gejala sistemik seperti

demam, ruam, anemia, dll. Uveitis atau peradangan mata, jarang terjadi pada ARJ tipe
sistemik, sehingga mata mereka hanya perlu di periksa setahun sekali.
AT.
Oligoartritis / Pausi-artikuler
AU. Bentuk penykit yang paling sering terjadi pada ARJ, Diartikan sedikit
sendi, pauciarticular mengenai 4 sendi atau kurang. Sekitar 50% persen dari anakanak dengan ARJ tergolong dalam tipe ini. , lebih sering mengenai satu sisi sendi
dibandingkan kedua sisi sendi pada saat yang bersamaan, tetapi sering pada dua, tiga,
sampai empat sendi dalam 6 bulan berikutnya. Sering ditemukan mengenai sendi
besar, paling banyak mengenai lutut, pergelangan kaki, siku. Jarang terjadi pada
sendi-sendi kecil, jemari tangan, sendi ibu jari. Sebanyak 40 70% mempunyai tes
ANA positif, lebih sering pada anak perempuan dengan umur 1-3 tahun. Dan sering
dengan komplikasi uveitis kronik., unilateral atau bilateral. Dari beberapa kasus
merupakan kelompok arthritis psoriatic atau ankilosing spondilitis. Sendi yang sering
terserang adalah lutut, pergelangan kaki, siku dan jari-jari tangan.Pada laki-laki lebih
sering terkait spondilitis ankilosing dengan HLA B27 positif.
AV.
Dikelompokkan dua yaitu persisiten dan eksten, persisiten ditandai
dengan arthritis yang tidak bertambah meskipun telah lebih 6 bulan. Sedangkan
kelompok eksten artritisnya semakin meluas setelah 6 bulan. Angka mortalitasnya
rendah dengan komplikasi yang tersering kerusakan artikuler maupun periartikuler
dan uveitis kronis. Sejumlah kecil anak yang menderita penyakit ini (8%) akan
mengalami bentuk poliartikular dengan prognosis serupa ARJ poliartikular. Namun
sebagian lagi menunjukkan kinerja yang baik dalam kaitanya dengan fungsi sendi.
AW. Dibagi juga menjadi dua tipe , tipe pertama mengenai anak perempuan
dengan umur dibawah 7 tahun. Beberapa anak dengan tipe ini juga disertai
peradangan mata (iridocyclitis kronis atau uveitis kronis). Anak-anak ini harus di tes
ANA (antinuclear antibody). Dari sini dapat diketahui, apakah anak tersebut memiliki
resiko tinggi terkena uveitis. Hasil positif ANA mengindikasikan resiko tinggi terkena
peradangan mata. Yang perlu diperhatikan, mata dalam kondisi tenang, artinya
kerusakan mungkin tidak nampak pada anak. Tipe kedua dari pauciarticular biasa
mengenai anak lelaki diatas 8 tahun. Sendi-sendi yang sering terkena pada tipe ini
adalah: sendi sakroiliaka, lutut, pergelangan kaki, tendon. Anak-anak yang
terdiagnosis dengan pauciarticular ARJ dan memiliki hasil positif ANA dan usianya
dibawah 7 tahun, memiliki resiko besar untuk terkena uveitis kronis.Mata mereka
harus diperiksa setiap 3 bulan, untuk beberapa tahun. Adapun penilaian kemungkinan
komplikasi uveitis tergambar dalam algoritma berikut.

AX.
AY.

Poliartritis
Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ, 75% menyerang perempuan,

gambaran artritisnya mirip arthritis rematoid dewasa, lebih banyak menyerang


perempuan umur 12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan, RF bisa
positif maupun negatif. Pasien seronegatif cenderung berusia lebih muda dan lebih
responsif terhadap pemberian terapi NSAID konvensional. Anak dengan ARJ
poliartikular mungkin memperlihatkan beberapa gambaran sistemik, tetapi lebih
ringan daripada yang tampak pada penyakit awitan sistemik.
AZ. Gejala lainnya lemah, demam, penurunan berat badan, dan anemia,
uveitis sangat jarang pada kelompok ini, artritisnya bersifat simetris, baik pada sendi
kecil maupun besar, tetapi dapat pula diawali dengan arthritis yang hanya pada
beberapa sendidan baru beberapa bulan kemudian menjadi poliartritis, sendi servikal
C1-2 seringkali terkena dan seringkali menimbulkan subluksasi. Pada kelompok RF
positif biasanya pada usia yang lebih muda ditandai dengan erosi sendi yang hebat,
dengan manifestasi ekstraartikuler jarang., 25% didapatkan tes ANA positif,pada RF
negative hanya terdapat 5%.
BA. Pemeriksaan Penunjang
BB.
Diagnosa ARJ dapat ditegakan secara klinis, beberapa pemeriksaan
imunologis tertentu dapat menyokong diagnosis. Perlu diingat bahwa tidak ada
pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk ARJ.4

Laboratorium3
BC.

Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagosis.

Bila diketemukan Anti Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid (RF) dan
peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis ARJ menjadi lebih sempurna.
Biasanya ditemukan anemia ringan atau sedang dengan kadar Hb antara 7-10
g/dl disertai lekositosis yang didominasi netrofil.
BD.

Hitung trombosit dapat meningkat hebat terdapat pada tipe

poliartritis dan sistemik berat, seringkali dipakai sebagai petanda reaktifasi


atau kekambuhan penyakit. Peningkatan LED dan CRP, gamma globulin
dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif dan sesuai dengan peningkatan
aktivitas penyakit. Beberapa peneliti mengemukakan peningkatan IgM dan
IgG sebagai petunjuk aktifitas penyakit. Pengkatan IgM merupakan
karakteristik tersendiri dari ARJ dan berbeda dengan arthritis rheumatoid pada

orang dewasa, sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak yang lebih
besar dan tidak dihubungkan dengan aktifitas penyakit. Berbeda dengan pada
dewasa C3 dan C4 dijumpai lebih tinggi.
BE.

Faktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada

anak. Bila positif , sering kali pada ARJ tipe poliartritis, anak yang lebih besar,
nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang buruk. Faktor
Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi,
sedangkan pada ARJ lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi
laboratorium.
BF.
Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada ARJ
dan lebih berarti dibanding pada SLE. Kekerapannya lebih tinggi pada
penderita wanita muda terutama pada tipe oligoartritis dengan komplikasi
uveitis. Oleh karena itu, pemeriksaan ANA perlu dilakukan untuk mengetahui
risiko setiap pasien ARJ terhadap kemungkinan uveitis. Pemeriksaan
imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe
oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan
BW35 lebih sering ditemukan di Australia.

Radiologis3
BG.

Pemeriksaan pencitraan ARJ dilakukan untuk mengetahui

seberapa jauh kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan
radiologik yang terlihat pada sendi biasanya adalah pembengkakan jaringan
lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kelainan yang
agak jarang seperti formasi tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut
(biasanya lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan
penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di
daerah sendi karpal dan tarsal. Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai
pada ARJ walaupun dengan pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang.

BH.
BI.
Gambar 3.4 Gambaran Radiografi ARJ
Sumber : http://www.rad.washington.edu/academics/academicsections/msk/teaching-materials/online-musculoskeletal-radiology-book/skeletal-dysplasias

BJ.

BK.

Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat

berupa erosi tulang pada fase lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, serta
atrofi jaringan lunak regional sekunder. Kauffman dan Lovell mengajukan
beberapa gambaran radiologik yang menurut mereka khas untuk ARJ sistemik,
yaitu a) tulang panjang yang memendek, melengkung, dan melebar, b)
metafisis mengembang, dan c) fragmentasi iregular epifisis pada masa awal
sakit yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis.
Pemeriksaan foto Rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang
atau manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto Rontgen
biasa kelainan tulang dan sendi ARJ dapat pula dideteksi lebih dini melalui
skintigrafi dengan technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif
namun kurang spesifik. Skintigrafi menunjukkan keadaan hemodinamik dan
aktivitas metabolik di tulang dan sendi saat pemeriksaan dilakukan, sehingga
dapat menunjukkan inflamasi sendi secara dini. Ultrasonografi merupakan
sarana paling baik untuk mengetahui keadaan cairan intra-artrikular, terutama
pada sendi-sendi yang susah dilakukan pemeriksaan cairan secara klinis,
seperti pinggul dan bahu.
BL. Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan
menilai penebalan membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan
pembungkus tendon. Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan gadolinium juga
dapat membedakan inflamasi sinovium dengan cairan sinovial. Sarana MRI
dapat digunakan untuk menilai aspek inflamasi dan destruktif dari penyakit
artritis. Berlawanan dengan foto Rontgen, pemeriksaan MRI dapat digunakan

untuk mendeteksi inflamasi jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase
awal, selain itu dapat menilai progresifitas penyakit.
BM. Pemeriksaan MRI danatau ultrasonografi dapat digunakan
dalam evaluasi suspek penyakit inflamasi sendi untuk menentukan ada atau
tidaknya sinovitis, tenosinovitis, entesitis atau erosi tulang. Ultrasonografi
dapat digunakan sebagai pedoman untuk punksi sendi, bursa dan pembungkus
tendon. Pada pemeriksaan radiologis biasanya terlihat adanya pembengkaan
jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis. Kelainan
yang lebih jarang adalah pembentukan tulang baru periostal. Pada stadium
lanjut, biasanya setelah 2 tahun, dapat terlihat adanya erosi tulang persendian
dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di
daerah sendi karpal dan tarsal. Pada tipe oligoartritis dapat ditemukan
gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter tulang panjang dan
atropi jaringan lunak regional sekunder. Hal ini terutama terdapat pada fase
lanjut. Pada tipe sistemik Kauffman dan Lovel menemukan gambaran
radiologis yang khas yaitu ditemukannya fragmentasi tidak teratur epifisis
BN.

pada fase awal yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis.
Kriteria diagnosis artritis reumatoid juvenil menurut American College of

Rheumatology (ACR) : 6
1. Usia penderita kurang dari 16 tahun.
2. Artritis pada satu sendi atau lebih (ditandai pembengkakan/efusi sendi atau
terdapat dua atau lebih gejala : kekakuan sendi, nyeri/sakit pada pergerakan, suhu
daerah sendi naik).
3. Lama sakit lebih dari 6 minggu.
4. Tipe awitan penyakit dalam masa 6 bulan terdiri dari :
a. Poliartritis (5 sendi atau lebih)
b. Oligoartritis (4 sendi atau lebih)
c. Penyakit sistemik dengan artritis atau demam intermiten
5. Penyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan
BO. Walaupun tidak ada yang patognomonik namun gejala klinis yang menyokong
kecurigaan ke arah ARJ yaitu kaku sendi pada pagi hari, ruam reumatoid, demam
intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul reumatoid,
tenosinovitis.
BP.3.7 PENATALAKSANAAN

BQ.

Pengobatan

utama

adalah

suportif.

Tujuan

utama

adalah

mengendalikan gejala klinis, mencegah deformitas, meningkatkan kualitas hidup.


Garis besar pengobatan Meliputi 4,5:
1. Program dasar yaitu pemberian : Asam asetil salisilat; Keseimbangan
aktifitas dan istirahat; Fisioterapi dan latihan; Pendidikan keluarga dan
penderita; Keterlibatan sekolah dan lingkungan;
2. Obat anti-inflamasi non steroid yang lain, yaitu Tolmetindan
Naproksen;
3. Obat steroid intra-artikuler;
4. Perawatan Rumah Sakit dan
5. Pembedahan profilaksis dan rekonstruksi.
BR.

Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan

pengobatan adalah mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang
gerakan

(range

of

motion),

mengatasi

komplikasi

sistemik,

memfasilitasi

perkembangan dan pertumbuhan yang normal. Karena itu pengobatan dilakukan


secara terpadu untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan
melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial, dan bila perlu
konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri.
BS.
Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri.
Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengatasi rasa nyeri, yaitu mencegah erosi
lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan
sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non
farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga tak kalah penting.
BT.
Mengontrol Nyeri
BU. Pengelolaan nyeri pada anak tidak mudah, masalahnya sangat
kompleks, karena pada umumnya anak-anak belum dapat mengutarakan nyeri. Obat
anti inflamasi non steroid (OAINS) digunakan pada sebagian besar anak dalam terapi
inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgesik dan antiinflamasi
serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak. Obat ini menghambat
sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan tipe oligoartritis dan sedikit
poliartritis mempunyai respons baik terhadap pengobatan AINS tanpa memerlukan
tambahan obat lini kedua. Efek samping yang sering dijumpai antara lain anoreksi,
nyeri perut, gangguan fungsi hati, ginjal dan gastrointestinal. Adanya peningkatan
SGOT dan SGPT maka dianjurkan evaluasi hati dilakukan secara teratur setiap 3-6
bulan sekali.

BV.

Macam OAINS yang sering digunakan: (1) Penggunaan aspirin

sebagai pilihan obat telah digantikan dengan AINS karena adanya peningkatan
toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai dengan transaminasemia. Dengan
adanya AINS yang menghambat siklus siklooksigenase (COX), khususnya COX-2
maka penggunaan AINS lebih dipilih daripada aspirin karena tidak menyebabkan
agregasi trombosit, sehingga dapat digunakan pada pasien yang mempunyai masalah
perdarahan. Namun demikian, aspirin masih mampu menekan demam dan aspek
inflamasi lainnya dan terbukti aman dalam penggunaan jangka panjang. Dosis yang
biasa dipakai adalah 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4 kali pemberian, diberikan
bersama dengan makanan untuk mencegah iritasi lambung. Dosis tinggi biasanya
untuk anak yang beratnya kurang dari 25 kg sedangkan untuk anak yang lebih besar
diberikan dosis lebih rendah. Aspirin diberikan terus sampai 1 atau 2 tahun setelah
gejala klinis menghilang. (2) Tolmetin 25 mg/Kg/hari dibagi dalam 4 dosis, (3)
Naproksen 15 mg/Kg/ hari dibagi dalam 2 dosis, bersama makanan. Dapat timbul efek
samping berupa ketidaknyamanan epigastrik dan pseudoporfiria kutaneus yang
ditandai dengan erupi bulosa pada wajah, tangan dan meninggalkan jaringan parut. (4)
Ibuprofen 35 mg/Kg/ hari dibagi 4 dosis, (4) Diklofenak 2-3 mg/Kg/hari terbagi
dalam 2 dosis.
BW. DMARD (Disease Modifying Antirheumatic Drugs)
BX. Digunakan untuk menekan inflamasi dan erosi lebih lanjut: (1)
Hidroksiklorokuin:

4-6

mg/Kg/hari,

maksimal

300

mg/hari.

Mermpunyai

imunomodilator dan menghambat enzim kolagenase. Efek samping yang sering


dilaporkan adalah toksik pada retina sehingga dianjurkan evaluasi retina setiap 6
bulan. Efek samping lainnya urtikaria, iritasi saluran cerna, dan supresi sum-sum
tulang. Angka kesembuhan berkisar antara 15 75%, (2) Preparat emas oral maupun
intramuscular dosis 5mg/minggu. Dosis dapat ditingkatkan 0,75 1mg/Kg/minggu.
Efek sampingnya adalah supresi sum-sum tulang dan ginjal, (3) Obat-obat sitotoksik:
Sulfasalazin dilaporkan efektif untuk mengontrol ARJ. Dosis yang dianjurkan
50mg/Kg/hari sampai. Tidak dianjurkan untuk anak yang sensitive sulfasalazin,
Metotreksat (MTX): Dosis 10 mg/m2luas permukaan tubuh/ minggu. MTX aman
digunakan jangka panjang. Saat ini MTX lebih banyak dipilih oleh rematologis oleh
karena efek sampingnya lebih ringan dan respon yang sangat tinggi. Efek samping
MTX yang tersering yaitu oral ulcer, gangguan gastrointestinal, supresi sumsum
tulang, gangguan fungsi hati. Dilaporkan kejadiannya sangat tinggi, hal ini dapat

dikurangi dengan cara mengurangi konsumsi alcohol dan mengurangi obat-obatan


hepatotoksik. (4) Glukokortikoid, baik untuk mengontrol gejala sistemik arthritis,
perikarditis, dan demam. Dosis yang dipakai 0,5-2mg/kg/hari. Dosis tinggi hanya
digunakan pada kasus-kasus yang berat. Injeksi intra- artikular bermanfaat untuk
arthritis yang tidak terlalu banyak menyerang sendi. Pada kasus dengan uveitis
anterior biasanya diberikan topikal. Bila berat dapat diberikan peroral dengan dosis 30
mg/Kg/hari selama 3 hari berturut-turut, pada kasus tertentu membutuhkan
imunosupresan, efek samping kortikosteroid, infeksi varisela.
BY. Pengobatan ARJ kadang-kadang memerlukan waktu cukup lama
sehingga menimbulkan keputusasaan dan ketidakpercayaan pada penderita maupun
orang tuanya. DMRAIDs akan memperpendek perjalanan penyakit dan masa rawat
inap. Obat-obat ini hanya boleh diberikan pada poliartritis progresif yang tidak
responsif terhadap Asam Asetil Salisilat Tabel 4 menunujukkan DMRAIDs, efek
samping dan pemantauannya.
BZ.
Tabel 2. : Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs

CA.

DMRAIDs

CB.

CD.

Hidroksiklo CE.

Efek Samping

CC.

Retinopati

CF.Cek

rokuin
CG.

Prednison

Pemantauan

Ophtalmologi
CH.

Gangguan pertumbuhan, penekanan CI. Kadar Cortisol

poros HPA
CJ.Garam emas

CK.

Supresi sumum tulang

CL.

Cek

Hematologi
CM.

Penisilamin

CN.

Lupus Eritematosus medikamentosa, CO.

Hematologi

Sindroma nefrotik
CP.Sufasalazin

CQ.

Nausea vomiting, Hemolitik anemi, CR.

Hematologi

supresi sumsum tulang


CS.

Metotreksat CT.

Supresi sumsum tulang, hepatotoksik

CU.

Hematologi,

LFT
CV.

Siklofosfa

CW.

Supresi susum tulang

CX.

Hematologi

CZ.

Supresi sumsum tulang, hepatotoksik

DA.

Hematologi,

mid
CY.

Azatioprin

LFT

DB.
DC.

Biologic Response Modifiers


Pendekatan terapi terbaru menggunakan etanercept sebagai agen

biologik yang berfungsi sebagai penghambat Tumor Necrosis Factor(TNF), sehingga


akan menghambat pengeluaran sitokin yang berperan dalam proses inflamasi.
Etanercept akan terikat pada komponen Fc imunoglobulin dan efektif dalam
mengontrol poliartritis yang tidak memberikan respon dengan terapi konvensional
ataupun imunosupresan. Sebelum diberikan terapi, data dasar laboratorium (darah
perifer, LED, CRP, urinalisis) harus diambil dan uji tuberkulin kulit dengan PPD
(purified protein derivative) menunjukkan hasil negatif. Dosis yang digunakan untuk
anak usia 4-17 tahun yaitu 0,4 mg/kgBB subkutan 2 kali dalam seminggu, minimal
dengan jangka waktu terpisah 72-96 jam (maksimum 25 mg/dosis). Obat sebelumnya,
baik AINS atau metotreksat tetap dilanjutkan. Sedangkan untuk usia 17 tahun keatas
diberikan dengan dosis dewasa, yaitu diberikan bersamaan dengan metotreksat dalam
infus intravena 3 mg/kgBB pada minggu 0, 2, 6 dan setelah itu setiap 8 minggu untuk
pemeliharaan. Pilihan lain adalah pemberian dosis tunggal etanercept setiap minggu
untuk dosis 25 mg atau kurang pada pasien baru atau usia 4-17 tahun. Apabila dosis
mingguan melebihi 25 mg, maka digunakan dua lokasi suntikan subkutan. Obat ini
tidak boleh digunakan pada anak dengan infeksi atau riwayat infeksi rekuren.
DD. Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIG) dalam mengatasi onset
poliartritis dan sistemik belum menunjukkan hasil klinis yang konsisten. Pada sebuah
studi, penggunaan IVIG pada onset sistemik tidak memberi banyak manfaat
dibanding plasebo, sedangkan pada poliartritis, dapat diberikan dalam dosis 1,5-2
mg/kgBB, 2x/bulan dalam 2 bulan pertama kemudian 1x/bulan untuk 6 bulan
selanjutnya (dosis maksimum 100 gr). Beberapa studi juga melaporkan siklosporin
untuk mengatasi artritis kronik dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis,

terpisah dalam 12 jam. Adapun pemberian terapi pada ARJ tergambar dalam
algoritma berikut.

DF.

DE.
Fisioterapi
DG. Banyak manfaat yang dapat diberikan oleh fisioterapi, antara lain:

mengontrol nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, hidroterapi dan
TENS. Selain dapat membantu mengurangi nyeri, fisioterapi berguna bagi anak-anak
untuk melakukan peregangan otot yang dapat berguna memperbaiki fungsi sendi.
Peregangan pasif sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan pengawasan.
Latihan aktif, dengan atau tanpa beban sangat membantu menambah massa otot.
Fisioterapi juga berguna mempertahankan fungsi gerak sendi serta mempertahankan
pertumbuhan normal.
DH. Pengelolaan nutrisi
DI.
Anak-anak dengan inflamasi kronis mempunyai resiko untuk terjadi
malnutrisi oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan menurun.
Dengan demikian jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut, efek
samping obat-obatan juga mempengaruhi penurunan nafsu makan . Obat-obatan yang
dapat menurunkan nafsu makan antara lain OAINS, klorokuin. Penyebab lain
penurunan nafsu makan adalah adanya keradangan pada temporo mandibula.
Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin, zat besi, dan kalsium sangat
dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet. Oleh

karena pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D 400IU dan

DL.

kalsium 400mg sedangkan kalsium 800mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.
DJ.
DK.
3.8
KOMPLIKASI 3,7
DM. Komplikasi ARJ terpenting adalah gangguan pertumbuhan dan
perkembangan akibat penutupan epifisis dini seperti yang sering terjadi pada
mandibula, metakarpal, dan metatarsal. Kelainan tulang dan sendi lain dapat pula
terjadi seperti angkilosis, luksasi, atau fraktur. Komplikasi ini biasanya berhubungan
dengan berat dan lamanya sakit, tetapi dapat pula akibat efek pengobatan steroid.
Adanya nyeri abdomen yang berhubungan dengan ulkus atau gastritis, hepatotoksik
atau nefrotoksik menandakan perlunya pemeriksaan laboratorium rutin. Kadang dapat
juga terjadi vaskulitis atau ensefalitis pada ARJ. Amiloidosis sekunder jarang terjadi,
tetapi dapat memberikan akibat lanjut yang berat sampai gagal ginjal.
DN. Selain komplikasi di atas, artritis tipe onset sistemik mempunyai
komplikasi berupa anemia hemolitik dan perikarditis. Oligoartritis mempunyai
komplikasi uveitis yang sering asimtomatik. Komplikasi lainnya yang cukup penting
adalah masalah psikologi anak akibat penyakit ini, seperti depresi, ansietas dan
masalah di sekolah.
DO. Komplikasi yang lain adalah vaskulitis, ensefalitis. Amiloidosis
sekunder dapat terjadi walaupun jarang dan dapat fatal karena gagal ginjal. Uveitis
merupakan penyakit peradangan pada mata,merupakan keadaan serius dari ocular
yang secara spesifik mengenai satu atau lebih dari tiga bagian yang membentuk uvea.
Iris, badan siliar, choroid,. Keadaan ini diperkirakan 10-15% menjadi penyebab dari
kebutaan di Negara berkembang. Dapat mengenai kedua mata, dapat berhubungan
dengan ifeksi atau penyakit sisitemik, uveitis adalah penyakit yang bisa ditangani,
meskipun apabila kejadiannya meninggalkan sisa, atau episode pengulangan dari
peradangan, ini dapat mengenai jaringan dan kebutaan. Adapun algoritma
pemeriksaan komplikasi uveitis pada ARJ :

DP.

DQ.
DR.

DT.

3.9

Gambar 3.5 Iridosiklitis Sebagai Komplikasi ARJ


Sumber : http://www.netterimages.com/image/7507.htm

DS.
PROGNOSIS
DU. Perjalanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang sangat

banyak tergantung umur saat onset penyakit serta tipe dari ARJ pada tipe sistremik
arthritis dengan demam tinggi, membutuhkan steroid dosis tinggi, dan trombositosis
menunjukkan prognosis yang jelek, hanya 25% tipe poliartikular remisi dalam 5
tahun dan 2/3 pasien ARJ mengalami erosi sendi.
DV. Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk: (1) tipe
sistemik yang aktif pada 6 bulan pertama, (2) Poliartritis, (3) Perempuan, (4) Faktor
rheumatoid positif, (5) Kaku sendi yang persisten, (6) Tenosinovitis, (7) Nodul
Subkutan, (8) Tes ANA +, (9) Artritis pada jari tangan dan kaki pada awal penyakit,
(10) erosi yang progresif, (11) Pausiartikuler tipe eksten
DW. Prognosis sangat ditentukan dari tipe onset penyakitnya

DX.

Tipe

DY.

Onset
EB.

DZ.

Klinis

EA.

Prognosis

EC. RF+
ED.
EE.
EF.
EG.
EH.
EI. ANA+
EJ.
EK. Serone

EL.
EM.
EN.

Wanita
Usia lebih tua
Tangan/pergelan

EU.
EV.
EW.
EX.
EY.
EZ.
FA.
FB.
FC.

Buruk

FU.
FV.
FW.
FX.
FY.
FZ.
GA.
GB.

Sangat baik

Poliartriti

Subtip

gatif
FD.

Oligoartri FE.
FF.
tis
FG.
FH.
FI.
FJ.
FK.

gan
EO. Erosi sendi
EP.Nodul
EQ. Non remisi
ER. Wanita
ES.Usia muda
ET. -

ANA+ FM. Wanita


FN. Usia muda
FO. Uveitis
RF+
FP.Poliartritis
FQ. Erosi
FR. Non Remisi
HLA- FS.Laki-laki
FT.B27+
FL. Serone

Baik
Tidak tentu

Kurang baik
Buruk
Baik
Baik

gatif

GC.
GD.

Sekitar 70-90% penderita ARJ sembuh tanpa cacat, 10% menderita

cacat sampai dewasa, sebagaian diantaranya akan berkembang menjadi bentuk


dewasa disertai kecacatan.
GE.
GF.
GG.

GH.
GI. BAB III
GJ. KESIMPULAN
GK.
GL.

Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu penyakit autoimun yang

dicirikan oleh adanya produksi antibodi yang tidak biasa dalam darah, yaitu antibodi
terhadap double stranded DNA. SLE delapan kali lebih banyak pada wanita daripada
pria. Penyebab SLE tidak diketahui, namun, keturunan, virus, sinar ultraviolet dan obatobatan, semuanya dapat berperan.
GM.
Lebih dari 10% pasien dengan lupus yang terbatas pada kulit akan
menjadi SLE. Sebelas kriteria dapat membantu dalam mendiagnosis SLE. Pengobatan
SLE secara langsung mengurangi peradangan dan/atau tingkat aktifitas autoimun.
GN.
Pasien dengan SLE dapat mencegah kekambuhan dengan menghindari
paparan cahaya matahari dan tidak menghentikan pengobatan dengan tiba-tiba serta
memonitor kondisinya pada dokter.
GO.
GP. Penyakit Graves (goiter difusa toksika) yang merupakan penyebab tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai predisposisi
genetik yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria, terutama
pada usia 20 40 tahun.
GQ. Gambaran klinik klasik dari penyakit graves adalah tri tunggal hipertiroidisme,
goiter difus dan eksoftalmus. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan
percepatan proses pematangan tulang. Pada penderita usia tua (>60 tahun), manifestasi
klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati,
ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat
badan.

GR. Daftar Pustaka


1. Alatas, Husein, dkk. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of Systemic
Lupus Erythematosus in Children. From: Journal of Pediatric and Child Health 18:2.
Published by Elsevier Ltd.
3. Gitelman, Marisa Klein, etc. 2002. Systemic Lupus Erythematosus in Childhood.
From Journal: Rheumatic Disease Clinics of North America. Published by WBS.
4. Rudolph, Abraham M, etc. 1996. Rudolph Pediatrics. USA: Appleton & Lange.
5. Webb, Nicholas and Robert Postlethwaite. 2003. Clinical Paediatric Nephrology 3rd
Edition. USA: Oxford University.
6. Kusuma, Anak Agung Ngurah Jaya. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik pada
Kehamilan. Dari: Jurnal Penyakit Dalam vol 8 no. 2. Diterbitkan oleh: Divisi Feto
Maternal SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar.
7. Panca, Widianto. 2009. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Available on:
http://widiantopanca.blogdetik.com/systemic-lupuserythematosus.

Accessed

at:

January, 17th 2010.


8. Judarwanto, Widodo. 2009. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Available on:
http://childrenclinic.wordpress.com/sle-anak. Accessed at: January, 17th 2010.
9. Nelson, Waldo E, etc. 2000. NELSON Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta: EGC
10. Anonim.
2008.
Lupus
Eritematosus
Sistemik.
Available
on:
http://www.klikdokter.com/sle. Accessed at: January, 17th 2010.
11. Molina Patricia E : Lange Endocrine Physiology : 2nd edition, The Mcgraw-Hill
companies Lange Medical series, CHTML e-Book, 2007 Available from :
www.indowebster.com/endocrinology
12. Ganong F William : Lange review of Medical Physiology: 22nd edition, The McgrawHill companies Lange Medical Series, CHTML e-Book, 2005 Avalibale from :
www.indowebster.com/physiology
13. Gardner, G.David, Shoback, Dolores : Greenspans basic And Clinical
Endocrinology, The Mcgraw-Hill Companies Lange Medical Series, CHTML eBook.,2007 Available from: www.indowebster.com/physiology
14. LeRoith Derek, : Diabetes Mellitus A fundamental And Clinical Text 3rd
edition ,Lippincots William and Wilkins, CHTML e-Book , 2004 Available from :
www.emedicine.com
15. Kliegman, M.Robert, :Endocrine System, Endocrine Disease, Diabetes Mellitus
Nelson textbook of pediatric 18th edition, CHTML e-Book , Saunders, an imprint of
Elsevier Inc. Philadelphia,2007 available from : www.netlibrary.com

16. Hay, W. William et al : Chapter 31 Diabetes Mellitus , Current Diagnosis And


Treatment 18th edition, McGraw-Hill Companies Lange Medical Series, CHTML eBook, 2007, available from digitallibrary
17. Kliegman, M.Robert, : Section XXIII, Endocrinology, Diabetes Mellitus, Nelsons
Pediatric Secret5th edition, Elseviere Saunders Inc, CHTML e-Book, 2007, available
from : www.indowebster.com
18. Warrell, David AJ et al : Oxford Textbook of Medicine, 4th Edition. CHTML e-Book ,
Oxford

University

Press.2003,

Available

from

www.indowebster.com/textbookofmedicine
19. Longo, L. Longo et al : Harrisons, Principal Of Internal Medicine 18th edition,
McGraw-Hill Companies , Medical Series,CHTML e-Book s , 2012, Available from :
www.indowebster.com
20. Provan, Drew : Oxford Handbook Of Clinical And Laboratory Investigation 2nd
edition, CHTML e-Book, Oxford University press, 2005, Available from :
www.indowebster.com
21. Boon,N.A, Cumming,A. D, John , G : Davidsons Principal And Practice Of
Medicine 20th edition, CHTML e-Book , Elsevier Inc, 2007 , available from :
www.indowebster.com
22. Simon, Chantal, Everrit, Hazel, Kendrick, Tony : Oxford Handbook Of General
Practice 2nd edition Oxford University Press, CHTML e-Book ,2005
23. David
DS.
Juvenile
Idiopathic
Arthritis.
Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1007276-overview#a0156, 2011.
GS.
24. Akib AAP. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N,
penyunting. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Jakarta: IDAI. 2008; hal 322-44.
GT.
25. Khan P. Juvenile Idiopathic Arthritis, An Update on Pharmacotherapy. Bulletin of the
NYU Hospital for Joint Diseases 2011; 69(3): 264-76.
GU.
26. Yuliasih. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing. 2010; 2520-5.
GV.
27. Pribadi A, Akib AAP, Taralan T. Profil Kasus Artritis Idiopatik Juvenil (AIJ)
Berdasarkan Klasifikasi International League Against Rheumatism (ILAR). Jakarta :
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr.
Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri.2008; 9 (6) : 40-8.
GW.

28. Rudolph MA. Artritis Reumatoid Juvenilis. Dalam: Buku Ajar Pediatrik Rudolph. Vol.
1. Ed : 20. Deborah Welt Kredich. Jakarta: EGC. 2006; 537-8.
GX.
29. Hahn YS, Kim JG. Pathogenesis and clinical manifestation of juvenile reumathoid
arthritis. Korean Journal of Pediatrics. 2010; 921-30.
GY.
30. Kliegman R, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE, Arvin A. Artritis
Reumatoid Juvenil. Juvenile Idiopathic Arthritis. Dalam: Kliegman Robert M ... [et
al.]. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier. 2011; 26712689.
GZ.
31. Saxena N. Is the enthesitis-related arthritis subtype of juvenile idiopathic arthritis a
form of chronic reactive arthritis?. Oxford University Press on behalf of the British
Society for Rheumatology. 2006; 1129-32.
HA.
32. Woo P, Laxer RM, Sherry DD. Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA). Dalam: Pediatric
Rheumatology in Clinical Practice. London: Springer. 2007; 23-46.
HB.
33. Schaller JG. Juvenil Reumatoid Artritis. American Academy of Pediatrics. 1997; 9-11.
HC.
34. Cantani A. Autoimmnune Diseases. Dalam: Dr. Ute Heilmann, Heidelberg, Germany.
Pediatric Allergy, Asthma and Immunology. Roma: Springer. 2007; 1075-84.
HD.
35. Shiel,
William
C.
Juvenile
Rheumatoid
Arthritis.
Diunduh

dari:

http://www.emedicinehealth.com/juvenile_rheumatoid_arthritis/article_em.htm
tanggal 19 September 2012
HE.
36. Cantani A. Juvenile Rheumatoid Arthritis. Dalam: Pediatric Allergy, Asthma, and
Immunology. Springer Berlin Heidelberg New York.2008:1085-100.
HF.
HG.

Anda mungkin juga menyukai