Anda di halaman 1dari 25

Laporan Pendahuluan SLE

1. Pengertian
Menurut dokter umum RS Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Fajar Rudy
Qimindra (2008) secara lengkap nama dari penyakit “Lupus” ini adalah “Systemik
Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus berasal dari bahasa latin yang berarti
anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata Erythematosus dalam bahasa yunani
berarti kemerah-merahan. Pada saat itu diperkirakan, penyakit kelainan kulit
kemerahan di sekitar hidung dan pipi itu disebabkan oleh gigitan anjing hutan.
Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan untuk penyakit Systemic Lupus
Erythematosus.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan gangguan multisistem
autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dan
berbagai manifestasi klinis (Krishnamurthy, 2011).
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES)
adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena
adanya perubahan sistem imun (Albar, 2013).
Systemic lupus erytematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada jaringan
ikat. Autoimun berarti bahwa system imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Pada
SLE ini, system imun terutama menyerang inti sel ( Matt, 2013).
2. Etiologi
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada beberapa factor yang
terlibat seperti factor genetic,obat-obatan,hormonal dan lingkungan ikut berperan
pada patofisiologi SLE. System imun tubuh kehilangan kemampuan untuk
membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi
imunologi ini dapat menghasilkan antibody secara terus menerus. Antibody ini juga
berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun
sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan
mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat
terjadi sekunder terhadap beberapa factor :
a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
b. Hiperaktivitas sel T helper
c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor

Factor penyebab yang terlibat dalam timbulnya penyakit SLE

a. Factor genetic
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita
SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-
5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar
monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada
individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi
dibandingkan pada populasi umum. Studi mengenai genome telah
mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE.
MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2
(Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain
itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor
risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan
defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan
berisiko lebih tinggi menderita SLE. Diketahui peneliti dari Australian National
University (ANU) di Canberra berhasil mengidentifikasikan untuk pertama
kalinya penyebab genetik dari penyakit lupus. Dengan pendekatan yang
digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil mengidentifikasi
penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang diteliti. Penyebabnya
adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu yang disebut interferon-
alpha.
b. Faktor Imunologi
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan
pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak
dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
auto antibodi menjadi tidak normal.
3) Kelainan antibody
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan
memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih
mudah mengendap di jaringan.
c. Factor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri
dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya
SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah
berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik
melalui peredaran pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh
akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
d. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
e. Factor farmakologi
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.Musai (2010)
3. Anatomi & Fisiologi Sistem Imunitas
a. System pertahanan tubuh atau sistem kekebalan tubuh
Diartikan sebagai semua mekanisme yang digunakan oleh tubuh untuk menangkal
pengaruh faktor atau zat yang berasal dari lingkungan, yang asing bagi tubuh kita.
b. Organ yang berperan dalam system pertahanan tubuh

Gambar 2.1Organ imunitas

Organ-organ yang berperan dalam system pertahanan tubuh meliputi organ-organ


penghasil sel-sel pertahanan tubuh. Organ-organ tersebut adalah sumsum tulang,
kelenjar timus, limpa, dan tonsil.

1) Sumsum tulang
Sumsum tulang merupakan “pabrik” pembuatan sel-sel penting bagi tubuh. Di
dalam sumsum tulang dihasilkan berbagai jenis sel yang berperan dalam
pertahanan tubuh. Sejumlah sel yang dihasilkan oleh sumsum tulang berperan
dalam produksi sel-sel fagosit, sebagian berperan dalam penggumpalan darah,
dan sebagian lagi berperan dalam penguraian senyawa.
2) Kelenjar timus
Kelenjar timus terletak di atas thoraks, sebagian di atas jantung dan paru-paru.
Dalam system limfatik, kelenjar timus merupakan organ yang penting,
terutama pada bayi yang baru lahir karena organ tersebut mengatur
perkembangan limpa dan nodus limpa. Setelah pubertas, kelenjar timus akan
mengecil, tetapi tetap merupakan organ kekebalan yang penting. Menurut
pengamatan biologis,kelenjar timus tampak seperti organ biasa tanpa suatu
fungsi khusus. Meskipun demikian, kelenjar timus sebenarnya memiliki
fungsi yang teramat penting. Di dalam kelenjar timus, limfosit T di bentuk dan
mendapat semacam “pelatihan” yang berupa transfer informasi. Informasi ini
berguna untuk mengenali karakteristik khusus sel-sel tubuh. Di dini, limfosit
dilatih untuk mengenal identitas sel-sel dalam tubuh dan diprogram untuk
membentuk antibody melawan mikroorganisme spesifik. Terakhir, limfosit
yang bermuatan informasi itu meninggalkan kelenjar timus. Dengan demikian,
ketika limfosit bekerja dalam tubuh, mereka tidak menyerang sel-sel yang
identitasnya telah dikenali, tetapi hanya menyerang dan membinasakan sel-sel
lain yang bersifat asing.
3) Limpa
Limpa adalah organ terbesar dalam system limfatik dan terletak di sisi kiri
bagian atas abdomen, di antara rusuk terbawah serta lambung. Di dalam limpa
terdapat pembuluh limpa dan pembuluh darah. Fungsi utama limpa adalah
menghancurkan sel-sel darah merah yang rusak, bakteri, dan benda-benda
asing dalam darah, serta menghasilkan limfosit dan antibody. Limfosit yang
telah dibuat limpa akan mengikuti aliran darah.
Limpa mengandung sejumlah besar sel makrofag ( sel pembersih ).
Makrofag menelan dan mencerna sel-sel darah merah atau sel-sel darah
lainnya yang rusak dan tua, serta bahan-bahan lain, yang dibawa darah ke
limpa. Di dalam limpa, makrofag mengubah protein hemoglobin dalm sel-sel
darah merah yang ditelannya menjadi bilirubin ( pigmen empedu ).
4) Tonsil

Gambar 2.2
Tonsil
Tonsil merupakan bagian dari system limfatik dan berperan penting dalam
pertahanan tubuh terhadap penyakit. Tonsil ada yang terletak di dekat dasar
lidah, di bagian kiri dan kanan pangkal tenggorok ( disebut amandel ) serta di
rongga hidung ( disebut polip ). Tonsil berperan dalam pertahanan tubuh
terhadap infeksi ( sebagai penghasil limfosit ) yang dapat tersebar dari hidung,
mulut dan tenggorok. Tonsil dapat meradang jika sedang “ bertempur “
melawan bibit penyakit.
c. Mekanisme system pertahanan tubuh
System pertahanan tubuh kita dibagi menjadi dua, yaitu system pertahanan tubuh
nonspesifik dan system pertahanan tubuh spesifik
1) Pertahanan tubuh nonspesifik
Pertahanan tubuh nonspesifik bertujuan untuk menangkal masuknya
segala macam zat atau bahan asing ke dalam tubuh, yang dapat menimbulkan
kerusakan tubuh ( penyakit ) tanpa membedakan jenis zat atau bahan asing
tersebut. Contoh zat-zat asing itu, antara lain bakteri,virus, atau zat-zat yang
berbahaya bagi tubuh. Yang termasuk pertahanan tubuh nonspesifik antara
lain pertahanan fisik ( kulit dan selaput lendir ), kimiawi ( enzim dan
keasaman lambung ), mekanis ( gerakan usus dan rambut getar selaput lendir
), fagositosis ( penelanan kuman atau zat asing oleh sel darah putih ), serta zat
komplemen yang berfungsi pada berbagai proses pemusnahan kuman atau zat
asing.
Pertahanan tubuh nonspesifik terdiri atas pertahanan eksternal dan
pertahanan internal. Pertahanan eksternal merupakan pertahanan tubuh
sebelum mikroorganisme atau zat asing memasuki jaringan tubuh. Pertahanan
internal merupakan pertahanan tubuh yang terjadi di dalam jaringan tubuh
setelah mikroorganisme atau zat asing masuk ke dalam tubuh.
a) Pertahanan tubuh nonspesifik eksternal
Pertahanan tubuh nonspesifik eksternal meliputi kulit dan lapisan mukosa
berbagai organ
(1) Kulit

Gambar 2.3
Pertahanan tubuh terhadap infeksi ketika suatu bagian kulit terluka dan
dua kapiler pecah
Fungsi kulit bagi pertahanan tubuh adalah ibarat banteng
pertahanan yang kuat dalam peperangan. Di samping berfungsi
melindungi tubuh dari panas, dingin, dan sinar matahari, kulit juga
memiliki kemampuan untuk melindungi tubuh dari mikroorganisme
yang merugikan. Fungsi perlindungan utama kulit diwujudkan lewat
lapisan sel mati yang merupakan bagian terluar kulit. Setiap sel baru
yang dihasilkan oleh pembelahan sel bergerak dari bagian dalam kulit
menuju ke permukaan luar.
Selain itu, sel-sel kulit juga mampu menghasilkan suatu protein
kuat yang disebut keratin. Senyawa keratin mempunyai struktur yang
sangat kuat dan keras sehingga kulit didekomposisi oleh berbagai
mikroorganisme pathogen. Keratin tersebut terdapat pada sel-sel mati
yang selalu lepas dari permukaan kulit dan digantikan oleh sel-sel
berkeratin yang baru. Sel-sel baru yang berasal dari bawah
menggantikan sel-sel yang sudah using sehingga membentuk
penghalang yang tidak dapat tembus.
Di samping memberikan perlindungan secara fisik, kulit juga
member perlindungan secara kimia. Kulit menghasilkan keringat dan
minyak yang memberikan suasana asam pada kulit. Hal itu dapat
mencegah tumbuhnya mikroorganisme pathogen pada kulit. Keringat
menyediakan zat makanan bagi bakteri dan jamur tertentu yang hidup
sebagai mikroflora normal pada kulit dan menghasilkan bahan-bahan
sisa bersifat asam, seperti asam laktat, yang membantu menurunkan
tingkat pH ( keasaman ) kulit. Media bersifat asam di permukaan kulit
ini menciptakan lingkungan yang tidak bersahabat bagi
mikroorganisme berbahaya.
Kulit yang terluka merupakan salah satu jalan masuknya mikroba
asing ke dalam tubuh. Meskipun demikian, kulit juga memiliki respon
untuk segera memperbaiki jaringan kulit yang terluka secara cepat.
Ketika terjadi luka, sel-sel pertahanan tubuh akan segera bergerak ke
daerah luka untuk menerangi mikroba asing serta membuang sisa-sisa
jaringan yang sudah rusak. Kemudian, sejumlah sel pertahanan lainnya
akan memproduksi benang-benang fibrin, yaitu suatu protein yang
berfungsi untuk menutup kembali luka.
(2) Membran Mukosa
Semua saluran tubuh yang memiliki kontak langsung dengan
lingkungan luar, seperti saluran pernafasan, saluran pencernaan,
saluran ekresi, ataupun saluran reproduksi selalu memiliki organ-organ
yang dilapisi oleh lapisan mukosa. Lapisan mukosa yang terdapat pada
berbagai saluran tadi memiliki fungsi penting dalam mencegah
masuknya berbagai mikroba asing yang berbahaya. Berikut ini adalah
beberapa contoh pertahanan yang dilakukan lapisan mukosa.

Saluran pencernaan merupakan salah satu pintu gerbang masuknya


berbagai mikroba asing ke dalam tubuh. Mereka masuk ke dalam tubuh
bersama dengan makanan yang kita makan. Mikroba yang masuk
bersama makanan dan sampai di lambung akan mendapat “kejutan”
yang berupa asam klorida (HCI) atau asam lambung yang di hasilkan
oleh lapisan mukosa lambung. Asam lambung menyebabkan sebagian
besar mikroba asing yang masuk ke lambung tidak dapat bertahan
hidup. Sebagian mikroba asing tersebut mungkin berhasil selamat dari
pengaruh asam lambung karena mereka tidak terpapar langsung oleh
asam lambung atau karena mereka mempunyai daya tahan terhadap
asam lambung. Meskipun begitu, mikroba yang lolos itu akan segera
menghadapi berbagai enzim pencernaan di usus halus.

Lapisan mukosa yang terdapat pada saluran respirasi, misalnya


trakea, juga merupakan pertahanan tubuh yang sangat penting. Lapisan
mukosa pada trakea menghasilkan mucus yang berupa cairan kental
yang berguna untuk menjerat mikroba asing ataupun partikel asing
lainnya yang masuk bersama udara pernafasan. Di samping itu, pada
lapisan mukosa trakea terdapat sel-sel epitel bersilia yang dapat
bergerak untuk mengeluarkan mukus yang sudah membawa mikroba
agar tidak menuju paru-paru.

Pada mata terdapat kelenjar penghasil air mata yang banyak


mengandung enzim lisozim. Enzim ini dapat merusak dinding sel
bakteri sehingga bakteri tidak dapat masuk menginfeksi mata.

Di samping menyediakan pertahanan fisik dan kimiawi, pada kulit


dan lapisan mukosa juga terdapat mikroorganisme yang secara alami
menempati bagian tertentu tubuh kita. Mikroorganisme ini di kenal
dengan istilah mikroflora normal. Mereka tidak membahayakan tubuh
kita, justru secara tidak langsung menguntungkan karena turut
membantu sistem pertahanan tubuh kita. Banyak mikroorganisme lain
yang tidak merugikan yang hidup dalam tubuh manusia.

Mikroorganisme tersebut memberikan dukungan bagi system


pertahanan tubuh dengan cara mencegah mikroba asing berdiam dan
berkembang biak di dalam tubuh karena masuknya mikroba asing
tersebut merupakan ancaman bagi mikroflora normal tubuh.

b) Pertahanan Nonspesifik Internal

tidak semua mikroorganisme atau mikroba asing dapat di tahan


oleh kulit ataupun lapisan mukosa sehingga mereka dapat lolos masuk ke
dalam tubuh. Selanjutnya, mikroba asing tersebut akan bertemu dengan
pertahanan tubuh nonspesifik internal yang terdiri dari atas aksi
fagositosis, respon peradangan, sel natural killer (NK), dan senyawa anti
mikroba.

(1) Fagosistosis
Fagosistosis merupakan mekanisme penelanan benda asing, terutama
mikroba, oleh sel-sel tertentu. Khususnya sel-sel darah putih. Berbagai
sel yang dapat melakukan fagositosis, antara lain neotrofil,monosit,
makrofag, dan eosinofil.
(2) Respon Peradangan
Pernahkah salah satu bagian tubuh anda terluka dan pada bagian
yang terluka tersebut terjadi pembengkakan yang berwarna
kemerahan? Itulah yang di sebut dengan peradangan (inflamasi).
Peradangan adalah tanggapan atau respon cepat setempat terhadap
krusakan jaringan yang di sebabkan oleh teriris, tergigih, tersengat,
ataupun infeksi mikroorganisme. Tanda-tanda suatu bagian tubuh
mengalami peradangan, antara lain berwarna kemerahan, terasa nyeri,
panas, dan membengkak. Mengapa respons peradangan juga
merupakan salah satu bentuk pertahanan tubuh dan bagaimanakah
terjadinya peristiwa peradangan tersebut?
Adanya daerah yang terluka dan terinfeksi mikroba akan
menyebabkan pembuluh darah arteriola prakapiler mengalami dilatasi
(pelebaran serta peningkatan permeabilitas)dan pembuluh venula
pascakapiler menyempit. Hal itu akan meningkatkan aliran darah
pada pada daerah yang terluka sehingga bagian tersebut meningkat
suhunya dan berwarna kemerahan. Sementara itu, pembekakan
(edema) pada bagian yang meradang disebabkan oleh meningkatnya
cairan yang keluar dari jaringan akibat peningkatan permeabilitas
kapiler darah. Pelebaran dan peningkatan pemeabilitas pembuluh
darah itu di picu oleh senyawa kimia histamin. Sumber utama
histamin adalah sel-sel mast (sel-sel besar pada jaringan ikat) dan
basofil dalam darah. Keduanya bersama-sama dengan keping-keping
darah melekat pada pembuluh darah yang rusak.
Pelebaran diameter dan permeabilitas pembuluh darah akan
meningkatkan laju aliran darah dan unsure-unsur pembekuan darah (
keping-keping darah) ke darah yang mengalami luka atau infeksi.
Pembekuan darah tersebut berfungsi untuk melokalisir mikroba
penginfeksi agar tidak menyebar ke bagian tubuh yang lain.
Kerusakan jaringan juga mengirimkan senyawa kimia kemokin yang
berfungsi memanggil sel-sel fagosis untuk segera dating ke daerah
yang terluka tersebut.
Pada respons peradangan, fagosis yang pertama kali berperan
adalah neutrofil dan diikuti monosit yang berubah menjadi makrofag.
Neurofil akan memangsa mikroba pathogen. Neurofil dapat
mendeteksi kehadiran mikroba itu telah diselubungi oleh opsonin.
Opsosin adalah anti bodi lain yang di bentuk dalam aliran darah atau
protein komplemen khusus yang di aktifkan oleh kehadiran mikroba.
Begitu opsonin melekat pada mikroba, mikroba tersebut di telan dan
di cerna oleh neurofil. Sementara itu, disamping memangsa mikroba
pathogen, makrofag juga berfungsi membersihkan sisa-sisa jaringan
yang rusak dan sisa-sisa neurofil yang mati.
(3) Sel Neurofil kaller (sel pembunuh alami)
Sel natural killer (Sel NK) adalah suatu limfosit granular yang
berespons terhadap mikroba intra seluler dengan dengan cara
membunuh sel yang terinfeksi dan memproduksi sitokin untuk
memgaktivasi makrofag. Sel NK menyerang sel-sel parasit dengan
cara mengeluarka senyawa penghancur yang disebut profin. Sel NK
dapat melisiskan dan membunuh sel-sel kanker serta virus sebelum
kekebalan adaptis diaktifkan.
(4) Senyawa Antimikroba
Sel-sel tertentu pada tubuh memiliki kemampuan menghasilkan
senyawa, khususnya protein yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh
nonspesifik. Cara kerja protein antimikroba ini terutama adalah untuk
menghancurkan sel-sel mikroba yang masuk atau atau untuk
menghambat agar mikroba asing tersebut tidak dapat berproduksi.
Protein antimikroba yang berperan dalam pertahanan non spesifik ini
adalah protein komplemen dan interferon.
(5) Protein Komplemen
Protein komplemen merupakan agen antimikroba yang terdiri atas
sekitar 20 protein serum. Peotein komplemen dihasilkan oleh hati dan
beredar di dalam pembuluh darah dalam keadaan tidak aktif. Adanya
infeksi mikroba akan mengaktifkan protein pertama dan selanjutnya
akan mengaktifkan protein kedua, demikian seterusnya, melalui
serangkaian reaksi yang berurutan. Protein komplemen yang telah
aktif akan bekerja secara sistematis untuk melisiskan berbagai
mikroba penginfeksi.
(6) Interferon
Interferon merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh makrofag
sebagai respon adanya erangan virus yang masuk ke dalam tubuh.
Interferon merupakan senyawa antivirus yang bekerja
menghancurkan virus dengan cara menghambat perbanyakan virus
dalam sel-sel tubuh.

Gambar 2.4
Mekanisme interferon melawan virus
2) Pertahanan tubuh spesifik
Mikroorganisme asing yang berhasil melewati pertahanan tubuh
nonspesifik akan berhadapan dengan pertahanan tubuh yang lebih canggih,
yaitu pertahanan tubuh spesifik. Pada pertahanan tubuh spesifik, sel-sel
pertahanan dapat merespon keberadaan sel-sel asing, molekul asing, ataupun
sel yang abnormal dengan cara yang spesifik. Pertahanan tubuh spesifik
dikenal juga dengan nama sistem kekebalan.
Respons kekebalan ini meliputi produksi protein pertahanan tubuh
spesifik, disebut antibodi, yang dilakukan oleh limfosit. Limfosit merupakan
sel utama dalam system kekebalan. Limfosit dapat ditemukan di dalam
sumsum tulang., pusat limfatik, kelenjar ludah, limpa, tonsil, dan persendian.
Limfosit memiliki peran sangat penting untuk melawan penyakit-penyakit
menular yang utama, seperti AIDS, kanker, rabies, dan TBC. Bahkan, pilek
tidak lain adalah perang yang dikobarkan limfosit untuk mengusir virus flu
dari tubuh.
Kebanyakan mikroba asing dapat dikalahkan dengan antibody yang
dihasilkan oleh limfosit. Ada dua macam limfosit, yaitu limfosit B dan
limfosit T, keduanya mengalami pembelahan sel yang cepat dalam
menanggapi kehadiran antigen spesifik, tetapi fungsi keduanya berbeda (
walaupun saling bergantung )
Limfosit B dihasilkan oleh sel-sel punca ( stem cells ) di dalam sumsum
tulang. Limfosit B dinamakan juga sel-sel B ( berasal dari kata Bone Marrow /
sumsum tulang ) jika diibaratkan Negara, sel-sel B ini identik dengan “ pabrik
senjata “ di dalam tubuh. Pabrik ini memproduksi antibody yang nantinya
akan digunakan untuk menyerang musuh. Jumlah limfosit B atau sel B adalah
25% dari jumlah total limfosit tubuh.
Setelah diproduksi di sumsum tulang, sebagian limfosit bermigrasi ke
kelenjar timus. Di dalam kelenjar timus, limfosit tersebut akan membelah diri
dan mengalami pematangan. Karena berasal dari kelenjar timus, limfosit ini
dinamakan limfosit T ( dari timus ). Limfosit T disebut juga sel T. jumlahnya
mencapai 70% dari seluruh jumlah limfosit tubuh. Sel T berfungsi sebagai
bagian dari sistem pengawasan kekebalan.
Ada tiga macam sel T, bergantung pada peran mereka setelah diaktifkan
oleh antigen. Berdasarkan perannya setelah diaktifkan oleh antigen, sel T
dibedakan menjadi 3 macam, yaitu
a) Sel T sitotoksik ( cytotoxic T cell )
sel T pembunuh yang menghancurkan sel yang memiliki antigen asing,
misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker, dan sel
cangkokan.
b) Sel T penolong ( helper T cell )
sel T yang membantu sel B mengenali dan menghasilkan antibody untuk
melawan antigen, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T penekan
yang sesuai, serta mengaktifkan makrofag.
c) Sel T penekan ( suppressor T cell )
sel T yang menekan produksi antibody sel B dan aktivitas sel T sitotoksik
serta sel T penolong untuk mengakhiri reaksi kekebalan ( Pujiyanto,
2014).
4. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan
(cahaya matahari, stress, infeksi ). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia
atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi
sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangan
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini
menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh, yaitu :
a. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
b. Pembentukan sitokin yang berlebihan
c. Hilangnya regulasi control pada system imun yaitu :
1) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun maupun
sitokin dalam tubuh
2) Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
3) Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen
karena adanya mimikri molekuler

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody di dalam tubuh
yang disebut sebagai autoantibody. Selanjutnya antibody-antibodi yang tersebut
membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan
atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.

5. Manifestasi klinik
Perjalanan penyakit SLE sangat berfariasi. Penyakit dapat timbul mendadak
disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai system tubuh. Dapat juga menahun
dengan gejala pada satu system yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya
system imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin
berlangsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor
presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus atau bakteri dan obat.
Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu
makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling
menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala musculoskeletal berupa
arthritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal,
peradangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, selain
pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Arthritis biasanya
simetris, tanpa menyebabkan deformitas, konfraktur atau ankilosis. Adakala
terdapat nodul rheumatoid. Nekrosis vaskuler dapat terjadi pada berbagai tempat,
dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan steroid dosis
tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.
b. Gejala integument
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus
SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut,
subakut, discoid dan livido retikulkaris. Ruam kulit yang dianggap khas dan
banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu ( butterfly rash ) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung
dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa
bekas. Pada bagian tubuh yabg terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit
yang terjadi karena hipersensitivitas . lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit
subakut yang khas berbentuk anular .

Lesi discoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hyperkeratosis,


dan atrofil. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup
sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama
akan berbentuk sikatriks.

Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil


sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.
Livido retikularis, suatu bentuk vaskutitis ringan , sangat sering ditemui pada
SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla ( dapat menjadi
mehoragik), ekimosis, petekie dan purpura. Kadang-kadang terdapat urtikaria
yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya
menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis
dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi.
Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak
nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen
raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas
penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.

c. Kardiovaskuler

Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat ( efusi kerikard),
iskemia miokard dan endokarditis verukosa ( libman sacks)

d. Paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada yang bilateral.
Mungkin ditemukan sel LE ( lamp dalam cairan pleura ) biasanya efusi
menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis
penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi virus,
jamur, tuberculosis dan sebagainya telah disingkirkan.
e. Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,


eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
f. Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan
darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli
paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan
faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.
6. Pathway
Genetic Lingkungan ( cahaya matahari,infeksi stress) Hormonal Obat-obatan

System regulasi kekebalan terganggu

Mengaktivasi sel T dan B

Fungsi sel T supresor abnormal

Peningkatan produksi auto antibodi

Penumpukan kompleks imun

Kerusakan jaringan

Muskuloskeletal Integumen Kardiovaskuler Respirasi Vaskuler Darah

Perikarditis Penumpukan Inflamasi


Pembengkakan sendi Lesi akut pd Jumlah
cairan pd pd arterior
kulit trombosit
pleura terminalis
berkurang
Penumpukan
Nyeri tekan,
Pasien merasa cairan efusi
rasa nyeri
malu dg pada Efusi Lesi
ketika Anemia
kondisinya perikardium pleura popular di
bergerak
ekstremitas

Penebalan Ketidakefekti
Gangguan Ekspansi
perikardium fan perfusi
citra tubuh dada tidak
Nyeri akut Kerusakan jaringan
adekuat
integritas perifer
Kontraksi kulit
jantung Ketidake
Resiko
infeksi fektifan
pola
Penurunan nafas
curah jantung
7. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan secara penurunan
berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1
terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia,
leukositosis atau leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi
diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostic
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus
Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil
pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate
(ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG
mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat.
Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme
granular atau sel darah merah pada urin
b. Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan
spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada
penderita dengan penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi
mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan
pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama
Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit SLE yang
tenang.
Antibodi anti-DNA merupakan subtype dari antibody antinukleus (ANA).
Ada dua tipe dari antibody anti DNA yaitu yang menyerang double stranded DNA
( anti ds-DNA ) dan yang menyerang single stranded DNA ( anti ss-DNA ). Anti
ss-DNA kurang sensitive dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit
autoimun yang lain. Kompleks antibody-antigen pada penyakit autoimun tidak
hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam
perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi system
komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik local maupun
sistemik ( Pagana and Pagana, 2002 ).
c. Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA
adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti dari suatu sel.
Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada
95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah
pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA
diperkirakan menurun. Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ
terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium
yang lain, jika hasil test positif maka sebaiknya dilakukan test serologi yang lain
untuk menunjang diagnose bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat
meliputi anti-Smith ( anti-Sm ), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti –SSA
(Ro) atau anti-SSB (La) ( Pagana and Pagana, 2002 ).
8. Penatalaksanaan
Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia
(2011 : 10-11) :
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh
pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal
perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami,
perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti
melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika
terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan,
displidemia atau terjadinya osteoporosis.
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien
SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan
modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain. (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011 : 10-11)
c. Terapi Medikasi
Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini. Terapi gen adalah
cara yang efisien dan menguntungkan dengan memberikan imunomodulator dan
mediator anti-inflamasi, yang meliputi alami atau rekayasa genetika inhibitor
sitokin inflamasi (anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi kuat seperti TGF β.
Oleh karena itu adanya kebutuhan besar untuk menemukan lebih banyak
perawatan effective, jika memungkinkan dengan efek samping yang rendah.
Dengan perkembangan yang sedang berlangsung, berikut adalah beberapa macam
terapi gen yang dilakukan pada penyakit lupus erythematosus :
1) NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs (obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang
efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan
secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan
darah dan merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat
meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga
mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam kehamilan (setelah 20 minggu),
dapat mengganggu fungsi ginjal janin. (Syamsi dhuha, 2012 : 5-6)
2) Kortikosteroid
Syamsi dhuha (2012 : 6) menyatakan bahwa penggunaan dosis steroid yang
tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan
dapat terlalu rendah untuk pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering
terjadi adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama.
Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang umumnya
terjadi pada Odapus. Sehingga dibutuhkan penatalaksanaan osteoprotektif seperti
pemeriksaan serial kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif
seperti kalsium dan bifosfonat. Terapi hormon tidak lagi digunakan untuk
pencegahan atau pengobatan osteoporosis karena meningkatkan risiko kanker
payudara dan penyakit jantung. Bifosfonat tidak baik digunakan selama
kehamilan dan dianjurkan bahwa kehamilan harus ditunda selama enam bulan
setelah penghentian bifosfonat. Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan
perhatian utama dalam terapi steroid, terutama pada mereka yang juga
mengkonsumsi obat imunosupresan. Steroid juga dapat memperburuk hipertensi,
memprovokasi diabetes dan memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin
berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid
dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada
pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis
(nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan tampaknya terkait
terutama dengan penggunaan steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon
intravena. Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap
merupakan obat yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit.
Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan dosis yang
tepat merupakan kunci pengobatan yang baik.
3) Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding kloroquin
karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah. Toksisitas pada
mata berhubungan baik dengan dosis harian dan kumulatif, Selama dosis tidak
melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa
ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama
pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi hydroxychloroquine diajurkan untuk
semua kasus lupus dan diberikan untuk jangka panjang. Obat ini memiliki
manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan
dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada
kehamilan.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
a) Nyeri
b) Gatal-gatal
c) Butterfly rash
2) Riwayat kesehatan dahulu
a) Riwayat terekspos sinar radiasi UV yang parah
b) Riwayat pemakaian obat-obatan hidralazin, prokainamid, isoniazid,
kontrasepsi oral dll
c) Riwayat terinfeksi virus
d) Terekspos bahan kimia
3) Riwayat kesehatan keluarga
a) Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
b) Riwayat keluarga dengan infeksi berulang
4) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan:
a) nyeri sendi karena gerakan
b) kekakuan pada sendi
c) kesemutan pada tangan dan kaki
d) sakit kepala
e) Demam
f) merasa letih, lemah
g) limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang,
pekerjaan
h) keputusasaan dan ketidakberdayaan
i) kesulitan untuk makan
j) nausea, vomitus
k) sesak nafas
l) nyeri dada
m) ancaman pada konsep diri, citra diri
b. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas dan latihan
a) Keterbatasan rentang gerak
b) Deformitas
c) Kontraktur
2) Nyeri dan kenyamanan
a) Pembengkakan sendi
b) Nyeri tekan
c) Perubahan gaya berjalan/pincang
d) Gerak otot melindungi yang sakit
3) Kardiovaskuler
a) Fenomena raynoud
b) Hipertensi
c) Edeme
d) Pericardial friction rub
e) Aritmia
f) Murmur
g) Nutrisi dan metabolic
h) Lesi pada mulut
i) Penurunan berat badan
4) Pola eliminasi
a) Peningkatan pengeluaran urin
b) Konstipasi /diare
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernapasan
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubngan dengan gangguan aliran
arteri atau vena.
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas jantung.
d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
f. Kerusakkan integritas kulit berhubungan dengan imunodefisiensi.
g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit
3. Perencanaan Keperawatan
a. Ketidakefektifan Pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan
1) Tujuan : pola nafas kembali efektif
2) KH : Frekuensi, irama, kedalaman pernapasan dalam batas normal,
Tidak menggunakan otot-otot bantu pernapasan, Tanda Tanda vital dalam
rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan) (TD 120-90/90-60
mmHg, nadi 80-100 x/menit, RR : 18-24 x/menit, suhu 36,5 – 37,5 C)
3) Intervensi
Intervensi rasional
Monitor kecepatan, ritme, Untuk mengetahui keadekuatan
kedalaman,dan usaha pasien saat pernapasan
bernafas
Monitor suara nafas seperti Mengetahui adanya sumbatan pada
snoring jalan nafas
Posisikan pasien semi fowler Untuk memaksimalkan potensial
ventilasi
Berikan HE tentang pengobatan : Informasi ini dapat membantu
indikasi , dosis, frekuensi , dan pasien dalam mengonsumsi obat
kemungkinan efek samping. dengan aman dan benar
Kolaborasi dalam pemberian terapi Meningkatkan ventilasi dan asupan
oksigen oksigen

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan


aliran arteri atau vena
1) Tujuan : perfusi jaringan perifer efektif
2) KH : Waktu pengisian kapiler < 3 detik, Tekanan sistol dan diastol
dalam rentang yang diharapkan, Tingkat kesadaran membaik
3) Intervensi
Intervensi rasional
Kaji secara komprehensif sirkulasi Sirkulasi perifer dapat
perifer menunjukkan tingkat keparahan
penyakit
Monitor laboratorium ( Hb, hmt ) Milai laboratorium dapat
menunjukkan komposisi darah
evaluasi nadi perifer dan edema Pulsasi yang lemah menimbulkan
penurunan kardiak output
Ubah posisi pasien setiap 2 jam Mencegah komplikasi dekubitus
Dorong latihan ROM sebelum Menggerakkan otot dan sendi agar
bedrest tidak kaku
Kolaborasi pemberian anti platelet Meminimalkan adanya bekuan
atau anti perdarahan dalam darah

c. Penurunan curah jantung berhubungan kontraktilitas jantung


1) Tujuan : curah jantung mengalami peningkatan
2) KH : Menunjukkan curah jantung yang memuaskan dibuktikan
oleh efektifitas pompa jantung, status sirkulasi, perfusi jaringan, dan
status TTV, Tidak ada edema paru, perifer, dan asites.
3) Intervensi
intervensi Rasional
Kaji suara nafas dan suara jantung Data dasar dalam menentukan
intervensi lebih lanjut
Ukur CVP pasien Mengetahui kelebihan atau
kekurangan cairan tubuh
Monitor aktivitas pasien Mengurangi kebutuhan oksigen
Monitor saturasi oksigen Mengetahui manifestasi penurunan
curah jantung
Kolaborasi pemberian laksatif Mengejan dapat memperparah
penurunan curah jantung
d. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
1) Tujuan : Nyeri dapat berkurang
2) KH : Ekspresi wajah klien tidak menunjukkan ketegangan, klien tidak
gelisah,klien dapat beristirahat, klien tidak mengalami kesulitan dalam
berkonsentrasi.
3) Intervensi
Intervensi Rasional
Lakukan pengkajian nyeri Untuk mengetahui tingkat nyeri
komprehensif yang meliputi pasien
lokasi,karakteristik,onset atau
durasi,frekuensi,kualitas,intensitas
atau beratnya nyeri dan factor
pencetus.
Observasi reaksi ketidaknyamanan Untuk mengetahui tingkat
secara nonverbal ketidak nyamanan yang
diirasakan oleh pasien
Ajarkan cara penggunaan terapi non Agar klien mampu
farmakologi ( distraksi, relaksasi) menggunakan teknik
nonfarmakologi dalam
memanajemen nyeri yang
dirasakan
Berikan informasi tentang nyeri Pemberian HE dapat
termasuk penyebab nyeri,berapa lama mengurangi tingkat kecemasan
nyeri akan hilang, antisipasi terhadap dan membantu klien dalam
ketidaknyamanan dari prosedur membentuk mekanisme koping
terhadap rasa nyeri
Kolaborasi pemberian analgetik Pemberian analgetik dapat
mengurangi rasa nyeri pasien

e. Resiko infeksi berhubungan dengan integritas kulit


1) Tujuan : pasien dapat terhindar dari resiko infeksi
2) KH : integritas kulit klien normal, temperature kulit klien
normal, tidak ada lesi pada kulit
3) Intervensi
Intervensi Rasional
Monitor karakteristik, warna, Untuk mengetahui keadaan luka
ukuran, cairan, dan bau luka dan perkembangannya
Bersihkan luka dengan normal Normal salin merupakan cairan
salin isotonis yang sesuai dengan
cairan dalam tubuh
Ajarkan klien dan keluarga Memandirikan keluarga dan
untuk melakukan perawatan pasien
luka
Rawat luka dengan konssep Agar tidak terjadi infeksi dan
steril terpapar oleh kuman atau bakteri
Gunakan sabun anti mikroba Mengurangi mikroba bakteri yang
untuk cuci tangan dapat menyebabkan infeksi
Berikan penjelasan kepada klien Agar keluarga pasien mengetahui
dan keluarga mengenai tanda tanda dan gejala dari infeksi
dan gejala dari infeksi
Kolaborasi pemberian antibiotic Pemberian antibiotic untuk
mencegah timbulnya infeksi
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imunodefisiensi
1) Tujuan : Mencegah terjadinya kerusakan pada kulit dan jaringan
didalamnya
2) KH : Tidak terdapat tekanan, tidak menunjukkan adanya kelainan pada
persendian
3) Intervensi
Intervensi rasional
Monitor kulit yang memerah dan Dengan memonitoring area kulit
terjadi kerusakan yang merah dan terjadi kerusakan
untuk mengurangi resiko dekubitus
Mobilisasi klien setiap 2 jam Dengan memobilisasi klien dapat
mengurangi penekanan
Lakukan perawatan kulit secara Untuk meningkatkan proses
aseptic 2 kali sehari penyembuhan lesi kulit serta
mencegah terjadinys infeksi
sekunder
Berikan pendidikan kesehatan Meningkatkan pengetahuan pasien
kepada klien dan keluarganya dan keluarganya mengenai
tentang pentingnya menjaga pentingnya menjaga kebersihan
kebersihan kulit sekitar luka guna kulit serta supaya pasien lebih
mempercepat penyembuhan dan kooperatif
ajarkan teknik perawatannya
Kolaborasi pemberian NSAID dan Mempercepat penyembuhan
kortikosteroid.

g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh (


kehamilan ), perubahan persepsi diri
1) Tujuan : gangguan citra tubuh klien teratasi
2) KH : Citra tubuh positif, Mendeskripisikan secara faktual
perubahan fungsi tubuh. Mempertahankan interaksi social
3) Intervensi
Intervensi Rasional
Monitor frekuensi kalimat Untuk mengetahui
yang mengkritik diri sendiri seberapa besar klien
mampu menerima keadaan
dirinya
Bantu klien untuk Untuk meningkatkan
mengenali tindakan yang percaya diri klien
akan meningkatkan
penampilannya
Anjurkan kontak mata Agar klien lebih percaya
dalam berkomunikasi diri
dengan orang lain
Gunakan gambaran Mekanisme evaluasi dari
mengenai gambaran diri persepsi citra diri
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito and Moyet, (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Kowalak. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan. Jakarta:EGC
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi
8. Volume 3. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai