PENDAHULUAN
mempunyai
sasaran
terhadap
suatu
jaringan
tertentu
dan
1.3. Tujuan
a. Agar kita mengetahui apa itu SLE
b. Agar kita mengetahui tanda dan gejala SLE
c. Agar kita mengethaui patofisiologi dari SLE
d. Agar kita mengetahui rumusan asuhan keperawatan dari SLE
BAB II
PEMBAHASAN
manusia
sebagai
perlindungan
terhadap
infeksi
dari
2.2. Defenisi
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisystem yang
disebabkan
oleh
banyak
faktor
(Isenberg
and
Horsfall,1998)
dan
imun
dan
produksi
autoantibodi
yang
(Albar, 2003).
intraseluler,
sel-sel
darah,
dan
fosfolipid
dapat
Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas
eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia.
Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan
dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini
memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta
hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2.4. Etiologi
Hingga kini faktor yang merangsang sistem pertahanan diri untuk
menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik,
kuman, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap
ditemui di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang
terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun
perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita
saat ini masih dalam kajian. Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE)
bukanlah suatu penyakit keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi
gabungan gen tertentu meningkatkan lagi risiko seseorang itu mengidap
penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE).
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka
kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada
saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan
HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi
pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen
yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV
yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga
menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi
apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu
khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di
tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh
tersebut.
Peristiwa
ini
menyebabkan
aktivasi
komplemen
yang
timbul
ruam
kulit
yang
terjadi
karena
hipersensitivitas
mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi
usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer
berupa gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara
(Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif,
psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).
Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat
inflamasi kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien
dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik.
Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan
terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan
trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada
5%
antibodi
atau hipertensi
yang
disebabkan
kehamilan
juga
dapat
memperparah
penyakitnya
(Delafuente, 2002). Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari
tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada
pasien SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat
dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I
(normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal
proliferative), kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous
glomerulonephritis). Selama perjalanan penyakit pasien dapat mengalami
progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain. Pada pasien dengan lupus
nefritis terutama ras Afrika Amerika dapat terjadi peningkatan serum
kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi,
dan sindrom nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002).
Tanda atau gejala lainnya dari SLE telah dinyatakan oleh American
College of Rheumatology yaitu 11 kriteria untuk klasifikasi SLE. Kesebelas
kriteria tersebut antara lain:
Ruam malar
Ruam discoid
Artritis
penurunan berat badan, demam, dan kelainan tulang seperti pada arthritis.
2.7. Komplikasi
Hypertensi
Gangguan Pertumbuhan
Pemeriksaan
untuk
mendeteksi
keberadaan
immune
complexes
Urine Rutin
Antibodi Antiphospholipid
Biopsy Kulit
Biopsy Ginjal
2.9.2. Keperawatan
Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian
besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang
diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak,
dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen
makanan dan obat tradisional.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi
oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun
dan produksi
2. Saran
Sebagai seorang calon perawat kita diaharapkan mampu memberikan
asuhan keperawatan terhadap penderita SLE sesuai dengan standar prosedur.
DAFTAR PUSTAKA