Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN SYSTEMIC LUPUS


ERHYTHEMATOSUS (SLE)
DI RUANG MELATI 4 RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
PERIODE 29 MEI 2017-29 JUNI 2017

Untuk Memenuhi Tugas Individu


Praktik Profesi Ners
Stase Keperawatan Anak

Disusun Oleh:
IVO FRIDINA
16/406334/KU/19340

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
I. KONSEP SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
A. Pengertian SLE
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun multisistem
yang berat. Autoimun berarti bahwa sistem imun menyerang jaringan tubuh
sendiri. Pada SLE ini, sistem imun terutama menyerang inti sel (Matt, 2003). Pada
keadaan ini tubuh membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibodi terhadap
antigen nuklear (ANAs) sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ.
Penyakit ini ditandai dengan adanya periode remisi dan episode serangan akut
dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang
terlibat (Anggraini, 2016).
Menurut dokter umum Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Fajar
Rudy Qimindra (2008), Lupus atau SLE berasal dari bahasa latin yang berarti
anjing hutan. Istilah ini mulai dikenal sejak abad ke-10. Sedang eritematosus
berarti merah. Ini untuk menggambarkan ruam merah pada kulit yang menyerupai
gigitan anjing hutan di sekitar hidung dan pipi. Sehingga dari sinilah istilah lupus
tetap digunakan untuk penyakit Systemic Lupus Erythematosus. Gejala awalnya
sering memberikan keluhan rasa nyeri di persendian. Tak hanya itu, seluruh organ
pun tubuh terasa sakit bahkan terjadi kelainan pada kulit, serta tak jarang tubuh
menjadi lelah berkepanjangan dan sensitif terhadap sinar matahari. Dikatakan
Qimindra, batasan penyakit ini adalah penyakit autoimun, sistemik, kronik, yang
ditandai dengan berbagai macam antibodi tubuh yang membentuk komplek imun,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan di seluruh tubuh. Autoimun maksudnya,
tubuh penderita lupus membentuk daya tahan tubuh (antibodi) tetapi salah arah,
dengan merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah dan lain-
lain. Padahal antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri atau virus yang
masuk tubuh. Sedangkan sistemik memiliki arti bahwa penyakit ini menyerang
hampir seluruh organ tubuh. Sementara kronis, maksudnya adalah sakit lupus ini
bisa berkepanjangan, kadang ada periode tenang lalu tiba-tiba kambuh lagi.
Faktor genetik, imunologik, hormonal serta lingkungan berperan dalam proses
patofisiologi penyakit ini. Penyakit lupus lebih banyak menyerang wanita usia 15-
45 tahun dengan perbandingan mengenai perempuan antara 10-15 kali lebih sering
dari pria. Artinya, penyakit ini sering mengenai wanita usia produktif tetapi jarang
menyerang laki-laki dan usia lanjut. Sebetulnya terdapat tiga jenis penyakit lupus,
yaitu lupus diskoid, lupus terinduksi obat dan lupus sistemik atau SLE ini (Sierra,
2008).
B. Gejala SLE
Pada awal perjalanannya, penyakit ini ditandai dengan gejala klinis yang tak
spesifik, antara lain lemah, kelelahan yang sangat, lesu berkepanjangan, panas,
demam, mual, nafsu makan menurun, dan berat badan turun. Gejala awal yang
tidak khas ini mirip dengan beberapa penyakit yang lain. Oleh karena gejala
penyakit ini sangat luas dan tidak khas pada awalnya, maka tidak sembarangan
untuk mengatakan seseorang terkena penyakit lupus. Akibat gejalanya mirip
dengan gejala penyakit lainnya, maka lupus dijuluki sebagai penyakit peniru.
Julukan lainnya adalah si penyakit seribu wajah. Karena itu, biasanya pasien
melakukan shopping doctor (berpindah-pindah dokter) sebelum diagnosis
penyakitnya dapat ditegakkan (Roviati, 2013).
Menurut American College Of Rheumatology 1997, yang dikutip Qiminta,
diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun
penjelasan singkat dari 11 gejala tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada
bentukan kupukupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya
jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya.
3. Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar
matahari
4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini
dijumpai pada 90% odapus
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi
cairan.
7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
8. Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-
lain.
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia
10. Tes ANA (antinuclear Antibody) positif
11. Gangguan sistem kekebalan tubuh.
Gejala awal penyakit lupus pada ibu yang memeriksakan dirinya pada seorang
dokter yang diceritakan di depan telah memenuhi sebagian dari gejala penyakit
lupus. Dari pemeriksaan jasmani didapatkan keadaan umum dan kesadaran baik,
tekanan darah normal, nadi normal baik dari jumlah denyut maupun isi nadi,
fekwensi pernafasan normal, dan suhu sedikit meningkat. Selain itu didapatkan
adanya radang pada tenggorokan dan kelainan seperti kupu-kupu yang berwarna
merah coklat “Butterfly Rash”, di pipi kedua dan hidung dan radang amandel
(Christopher&Stine, 2006).
Gejala klinis penyakit lupus ini, menurut Qimindra, sangat luas dan tergantung
bagian tubuh mana yang terkena. Mulai dari yang ringan berupa bintik-bintik
merah di kulit yang terasa gatal dan sakit, kerontokan tambut, sensitifitas terhadap
cahaya terutama sinar matahari, serta nyeri sendi sampai yang berat karena
menyerang organ tubuh yang vital seperti otak, jantung, paru-paru dan ginjal
(Christopher&Stine, 2006).
C. Komplikasi SLE
SLE menyebabkan peradangan jaringan dan masalah pembuluh darah yang
parah di hampir semua bagian tubuh, terutama menyerang organ ginjal. Jaringan
yang ada pada ginjal, termasuk pembuluh darah dan membran yang
mengelilinginya mengalami pembengkakan dan menyimpan bahan kimia yang
diproduksi oleh tubuh yang seharusnya dikeluarkan oleh ginjal. Hal ini
menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Penderita
biasanya tidak menyadari adanya gangguan pada ginjalnya, hingga kerusakannya
menjadi parah, bahkan mungkin baru disadari setelah ginjal mengalami kegagalan.
Peradangan pada penderita SLE juga dapat terjadi pada selaput dalam, selaput
luar dan otot jantung. Jantung dapat terpengaruh meskipun tidak pernak mengalami
gejala gangguan jantung. Masalah yang paling umum adalah terjadi pembengkakan
pada endokardium dan katup jantung. SLE juga menyebabkan peradangan dan
kerusakan kulit berupa ruam merah terutama di bagian pipi dan hidung. Hampir
seluruh penderita SLE mengalami rasa sakit dan peradangan sendi. SLE dapat
mempengaruhi semua jenis sendi, namun yang paling umum adalah tangan,
pergelangan tangan dan lutut. Terkadang sendi-sendi mengalami pembengkakan.
Selain itu otot juga tidak luput dari serangan SLE. Biasanya penderita
mengeluhkan rasa sakit dan melemahnya otot-otot atau jaringan otot mengalami
pembengkakan. Pada stadium lanjut, SLE dapat menyebabkan kematian tulang
yang disebut dengan osteonekrosis. Hal ini dapat menyebabkan cacat yang serius.

Gambar 1. Peradangan pada sendi dan otot


SLE dapat menyerang sistem syaraf dengan gejala sakit kepala, pembuluh
darah di kepala yang tidak normal dan organic brain syndrome, yaitu masalah yang
serius pada memori, konsentrasi dan emosi serta halusinasi. Selain itu, serangan
pada paru-paru dan darah juga biasanya terjadi. Masalah pada jantung dapat berupa
peradangan, perdarahan, penggumpalan darah pada arteri, kontraksi pembuluh
darah dan pembengkakan paru-paru. Sedangkan penurunan jumlah sel darah merah
dan sel darah putih sehingga menyebabkan anemia (Matt, 2003).
D. Diagnosa SLE
Untuk memastikan adanya penyakit Systemic Lupus Erythematosus
dibutuhkan pemeriksaan laboratorium khusus yang disebut sebagai Antinuclear
Antibody (ANA) dan Anti Double Stranded DNA. Test ANA akan meningkat pada
penderita Rheumatoid dan Systemic Lupus Erythematosus, sedangkan pemeriksaan
anti body Anti Double Stranded DNA sangat spesifik bagi penderita Systemic
Lupus Erythematosus. Ternyata hasilnya dari Ibu K positif dengan tinggi yang
memastikan ibu K menderita penyakit Systemic Lupus Erythematosus, dan untuk
pengobatan secara intensif, pasien tersebut dirujukkan ke ahli penyakit dalam yang
khusus menangani pegobatan penyakit Systemic Lupus Erythematosus.
Pada kasus penyakit lanjut, sering didapatkan adanya cairan di rongga paru
atau di rongga jantung yang menyebabkan penderita sesak nafas. Gejala ini mirip
dengan penyakit jantung kronis atau penyakit paru kronis, sehingga menyebabkan
salah diagnosa dan berakhir dengan kematian. Kebocoran ginjal akan segera terjadi
bila penyakit ini tidak diobati dengan tepat, dan ditandai dengan meningkatnya
kadar albumin pada pemeriksaan air seni serta bengkak-bengkak di seluruh tubuh.
Organ lain yang juga diserang adalah sistem saraf penderita sehingga berakibatkan
penderita merasa kesemutan dan dapat mengalami kelumpuhan.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan kadar ANA, Anti
Double Stranded DNA, disertai dengan kurangnya sel darah merah (anemia),
menurunnya jumlah sel darah putih, dan menurunnya sel pembeku darah. Selain itu
sering didapatkan adanya test syphilis palsu akibat penurunan kekebalan tubuh,
walaupun yang bersangkutan tidak menderita penyakit syphilis dan menyebabkan
salah pengobatan bila sang dokter kurang teliti. Penyakit ini akan lebih mudah
diobati bila segera ditemukan pada stadium dini, diobati dengan tepat dan
meminum obat secara teratur. Kasus di atas merupakan bukti bahwa dalam waktu
dua bulan dengan minum obat teratur sesuai resep dokter, penderita saat ini sudah
dalam keadaan terkontrol, test-test darah sudah negatif, ruam ruam merah di kulit
menghilang namun tetap penderita harus tetap minum obat sesuai resep dokter
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011; Petri, et al., 2012).
E. Penyebab SLE
Para dokter dan peneliti belum dapat mengetahui secara pasti apa yang
menyebabkan penyakit ini. Hereditas memegang peranan yang cukup besar, karena
jika kita memiliki kerabat yang menderita SLE ada potensi pada tubuh kita untuk
menderita SLE. Namun faktor gen ini bukan satu-satunya penyebab, karena
sepertinya timbulnya penyakit ini dipicu dengan cara yang belum diketahui.
Beberapa pemicu yang banyak diajukan oleh peneliti sebagai pemicu SLE
diantaranya adalah infeksi virus, stress, diet, toksin, termasuk beberapa jenis obat-
obatan yang diresepkan dokter. Pemicu-pemicu ini, sedikit dapat menjelaskan
mengapa penyakit ini timbul dan hilang silih berganti (Sierra, 2008).
F. Mekanisme Penyakit SLE
Pada penderita lupus, sistem imun tubuh memproduksi antibodi yang melawan
tubuhnya sendiri, terutama protein yang terdapat di nukleus. SLE juga dipicu oleh
faktor lingkungan yang tidak diketahui (mungkin termasuk virus) pada orang-orang
yang memiliki kombinasi gen-gen tertentu dalam sistem imunnya.
Gambar 2. Terbentuknya kompleks imun pada peredaran darah penderita SLE
Semua komponen kunci dalam sistem imun terlibat dalam mekanisme yang
melandasi terjadinya SLE. SLE adalah prototipe penyakit autoimun. Sistem imun
seharusnya memiliki keseimbangan (homeostasis) agar dapat cukup sensitif
terhadap infeksi dan dapat mengenali tubuh sendiri sehingga tidak terlalu sensitif
dan menyerang tubuh sendiri. Beberapa faktor lingkungan yang menjadi pemicu
munculnya SLE diantaranya adalah sinar ultraviolet, obat-obatan dan virus, yaitu
Epstein-Barr Virus (EBV). Stimuli ini menyebabkan kerusakan sel dan
menyebabkan DNA, histon dan protein lain terutama bagian-bagian yang ada di
dalam inti sel terekspos. Karena variasi genetik dalam komponen imun sistem yang
berbeda, pada beberapa orang sistem imun menyerang protein yang berhubungan
dengan inti sel dan membentuk antibodi untuk menyerang mereka. Akhirnya,
kompleks antibodi ini merusak pembuluh darah di area kritis tubuh, seperti
glomerulus pada ginjal, dan menyebabkan SLE.
Mekanisme pertama yang dicurigai sebagai penyebab SLE adalah faktor
genetis. Beberapa gen yang paling penting dalam kejadian SLE adalah yang
terdapat pada Major Histocompatibility Complex (MHC). Gen-gen ini
berhubungan dengan respons imun pada sel limfosit T, sel B, makrofag dan sel
dendritik, karena mengkode peptida pada molekul reseptor di permukaan sel
(Rahman & Isenberg, 2008). Beberapa gen yang diduga memiliki peran dalam
insiden lupus diantaranya terdapat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Lokasi gen yang diduga berkaitan dengan insiden SLE

Gambar 3. Struktur glikoprotein pada permukaan membran sel (limfosit)


Akar penyebab lupus adalah disfungsional sistem imun. Pada orang sehat, sel-
sel limfositnya memiliki permukaan yang tertutup molekul glikoform dan protein
komplemen yang akan membentuk struktur glikoprotein (gambar 3). Pada
penderita SLE, sel-sel ini kehilangan struktur glikoprotein tertentu, sehingga
bentuk permukaan sel menjadi berbeda dibandingkan dengan sel-sel sehat yang
mengakibatkan sel-sel imun melakukan kesalahan dengan menganggap sel-sel
tubuhnya sendiri sebagai musuh dan melakukan penyerangan terhadapnya (gambar
4). Hal inilah yang menyebabkan gejala-gejala seperti peradangan kulit dan sendi,
kelelahan yang ekstrim, kerusakan ginjal dan seterusnya.
Gambar 4. Sel yang sehat (kiri) dan sel yang kehilangan glikoprotein tertentu
pada permukaan selnya (kanan).
Organ yang paling banyak terpengaruh pada penderita SLE adalah ginjal dan
kulit. Pada ginjal penderita lupus terdapat antibodi yang mengikat DNA utas ganda
yang berasal dari tubuh sendiri. Reaksi ini adalah reaksi autoimun, dan pentingnya
antibodi anti Double-Stranded DNA (anti DS-DNA) ini telah diteliti dan terdapat
pada 70% pasien lupus. Antibodi ini juga yang menyebakan kerusakan jaringan-
jaringan tubug lain, terutama karena sifatnya yang menyerang inti sel. Selain itu
ditemukan pula antibodi lain yang mengikat protein-protein yang berhubungan
dengan inti sel seperti yang terlihat pada tabel 2 berikut ini. Kehadiran antibodi
anti-Ro dan anti-La menyebabkan komplikasi jantung fetus pada ibu hamil. Ini
yang menyebabkan SLE berbahaya bagi bayi yang dikandung ibu yang menderita
SLE. Selain itu juga, kedua antigen ini bertanggunng jawab pada gejala SLE yang
berupa lesi kulit.
Tabel 2. Antigen yang membentuk autoantibodi pada penderita SLE
Autoantibodi dapat terjadi pada seseorang yang sehat dengan tidak
membahayakan dan justru memegang peranan dan memproteksi tubuh. Namun
autoantibodi pada SLE tidaklah sama dan menyebabkan kerusakan jaringan. Proses
terbentuknya antibodi Ig-G berafinitas tinggi yang mengikat DS-DNA dengan
sangat kuat disebabkan oleh antigen. Permukaan sel yang membawa antigen
(antigen presenting cel-APC), memiliki molekul major histocmpatibility complex
(MHC) yang mengikat antigen, berikatan dengan Sel T pada reseptor sel-T (TCR)
(Gambar 5). Hal ini menstimulasi interaksi antara B7 dan CD28 yang
mengakibatkan pelepasan sitokin, sel B help dan peradangan atau penghambatan
interaksi antara B7 dengan CTLA yang menekan aktivasi.

Gambar 5. Interaksi antara sel T dan sel yang memiliki antigen


Pada penderta lupus, sel B berperan sebagai sel yang memiliki antigen,
berikatan dengan sel T pada situs CD 40. Sel T dan sel B saling mempengaruhi, sel
T menghasilkan TNF-α, interferon-γ dan interleukin-10 yang menstimulasi sel B
untuk menghasilkan antibodi terhadap antigen yang terikat tersebut (Gambar 6).
Mekanisme ini diketahui dan membuka peluang untuk pengembangan pengobatan
lupus dengan mencari molekul yang menghambat interaksi kedua sel tersebut.

Gambar 6. Interaksi antara sel T dan sel B


Pada proses apoptosis yang normal, sel yang rusak mengeluarkan/mengekspos
antigen untuk dikenali oleh antibodi, yang selama ini terkubur/tertutup oleh
kepingankepingan sel penutup antigen. Pada penderita lupus hal ini terjadi secara
tidak normal pada sel sehat yang yang distimulasi oleh faktor pemicu dari
lingkungan, sehingga mengakibatkan pemusnahan sel sejenis oleh produksi
antibodi.

Gambar 7. Mekanisme komunikasi antar komponen sistem antibodi dalam


kasus SLE
Jalur-jalur ini membuka peluang untuk tritmen pengobatan pada penderita
lupus. Selama ini, tritmen dokter pada penderita SLE biasanya dengan pemberian
obat-obatan yang hanya mengurangi gejalanya saja, tidak pada peyebabnya.
Misalnya pemberian obatobatan antiinflamasi, antimalaria dan immunosupressant.
Kini, sudah ada obat yang dapat digunakan untuk membantu meringankan
serangan SLE yang disebut Lymphostat-B, yang berfungsi menghambat protein
yang menstimulasi limfosit B (BLyS= B lymphocyte stimulator). Limfosit B
adalah sel yang berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Jadi
dapat memulihkan aktivitas autoimun menjadi normal, kemudian menghambat
aktivitas protein tersebut sehingga limfosit B tidak bisa berkembang menjadi sel
plasma yang memproduksi antibodi. Berkurangnya produksi antibodi
menyebabkan aktivitas penyakit lupus mudah dikontrol (Price,& Mc Carty, 2006;
Rishnan, et al., 2007; Corwin, 2009)
G. Penatalaksanaan SLE
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai terapi utama pada pasien SLE.Meski
dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap
merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.
Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah
interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan
patofisiologi dan farmakokinetiknya (Bertsias, et al., 2008).
Tabel 3.Dosis Kortikosteroid yang dianjurkan

Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik.


Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis
sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi
pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nefritis
lupus, lupus cerebral. Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang
mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan.19 Tapering tergantung dari
penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis.22
Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka
dapat dilakukan penurunan 5- 10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan
5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-
2,5 mg/hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison (Bertsias, et al., 2008).
Obat-obatan lain yang dapat digunakan pada terapi SLE antara lain obat anti
inflamasi nonsteroid (OAINS) dan imunosupresan atau sitotoksik. Selain diberikan
obat, pada pasien juga perlu diberikan edukasi mengenai penyakit pasien untuk
menjaga kepatuhan terhadap konsumsi obat, dan juga terapi rehabilitasi.23,24 Pada
keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau
sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan
imunosupresan/sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Algoritma penatalaksanaan SLE
dapat dilihat pada bagan 1
Derajat Beratnya SLE

Ringan Sedang Berat


⁻ Manifestasi kulit ⁻ Nefritis ringan sampai ⁻ Nefritis berat (kelas IV, III+V, IV+V
⁻ Arthritis berat atau III-V dengan gangguan fungsi
⁻ Trombositopenia ginjal
(trombosit 20-50 x ⁻ Trombositopenia refrakter berat
103/mm3) (trombosit < 20x103 /mm3 )
⁻ Serositis mayor ⁻ Anemia hemolitik refrakter berat
⁻ Ketrelibatan paru-paru (hemoragik)
⁻ NPSLE (serebritis, mielitis)
⁻ Vaskulitis abdomen

Terapi Terapi Induksi


Hidroksiklorokui MP iv 0,5-1gr/hari selama 3
n/klor okuin atau hari diikuti oleh AZA
MTX ± KS (dosis (mg/kg/hari) atau MMF (2-3
rendah) OAINS gr/hari)
+
KS (0,5-0,6 mg/kg/hari
selama 4-6 minggu lalu
diturunkan bertahap)
Terapi Induksi
MP iv 0,5-1gr/hari selama 3 hari
+
TR CYC (0,5-0,75 gr/m2 /bulan x 7 dosis)

Terapi Pemeliharaan
AZA (1-2 mg/kg/hari) atau MMF (1-2 gr/hari)
+
KS (diturunkan sampai dosis 0,125 mg/kg/hari RP RS TR
selang sehari)

Terapi Pemeliharaan Tambahkan Rituximab


CYC iv (0,5-0,75 gr/m2 /3 Inhibitor calcineurin
bulan selama satu tahun) (siklosporin) IVig
(immunoglobulin
intravena)

Singkatan: TR, tidak respon; RS, respon sebagian; RP, respon penuh; KS, kortikosteroid setara
prednisone; MP, metilprednisolon; AZA, azatioprin; OAINS, obat anti-inflamasi nonsteroid; CYC,
siklofosfamid; NPSLE, neuropsikiatri SLE.
Bagan 1. Algoritma Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik.
II. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
A. Identitas
Penyakit SLE (sistemik lupus eritematosus) kebanyakan menyerang wanita, bila
dibandingkan dengan pria perbandingannya adalah 8:1. Penyakit ini lebih sering
dijumpai pada orang berkulit hitam dari pada orang yang berkulit putih.
B. Keluhan utama
Pada SLE (sistemik lupus eritematosus) kelainan kulit meliputi eritema malar
(pipi) ras seperti kupu-kupu, yang dapat mengenai seluruh tubuh, sebelumnya
pasien mengeluh demam dan kelelahan.
C. Riwayat penyakit sekarang
Pada penderita SLE, di duga adanya riwayat penyakit anemia hemolitik,
trombositopeni, abortus spontan yang unik. Kelainan pada proses pembekuan darah
(kemungkinan sindroma, antibody, antikardiolipin)
D. Riwayat penyakit keluarga
Faktor genetik keluarga yang mempunyai kepekaan genetik sehingga cenderung
memproduksi auto antibody tertentu sehingga keluarga mempunyai resiko tinggi
terjadinya lupus eritematosus.
E. Pola–pola fungsi kesehatan
1. Pola nutrisi
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya sampai beberapa kg,
penyakit ini disertai adanya rasa mual dan muntah sehingga
mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun.
2. Pola aktivitas
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa.
3. Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial,
namun, secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
4. Pola sensori dan kognitif
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada jari –
jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik.
5. Pola persepsi dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan bekas
seperti luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan membuat
penderita merasa malu dengan adanya lesi kulit yang ada.
F. Pemeriksaan fisik
1. Sistem integument
Pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema molar yang
bersifat irreversibel.
2. Kepala
Pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan yang
sifatnya reversibel dan rambut yang hilang akan tumbuh kembali.
3. Muka
Pada penderita SLE lesi tidak selalu terdapat pada muka/wajah
4. Telinga
Pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga.
5. Mulut
Pada penderita SLE sekitar 20% terdapat lesi mukosa mulut.
6. Ekstremitas
Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan dan
jari jari-jari kaki, juga sering merasakan nyeri sendi.
7. Paru – paru
Penderita SLE mengalami pleurisy, pleural effusion, pneumonitis, interstilsiel
fibrosis.
8. Leher
Penderita SLE tiroidnya mengalami abnormal, hyperparathyroidisme,
intoleransi glukosa.
9. Jantung
Penderita SLE dapat mengalami perikarditis, myokarditis, endokarditis,
vaskulitis.
10. Gastro intestinal
Penderita SLE mengalami hepatomegaly/pembesaran hepar, nyeri pada perut.
11. Muskuluskletal
Penderita mengalami arthralgias, symmetric polyarthritis, efusi dan joint
swelling.
12. Sensori
Penderita mengalami konjungtivitis, photophobia.
13. Neurologis
Penderita mengalami depresi, psychosis, neuropathies.
G. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis dapat ditemukan dengan melakukan biopsi kulit. Pada pemeriksaan
histologi terlihat adanya infiltrat limfositik periadneksal, proses degenerasi berupa
mencairnya lapisan basal epidermis penyumbatan folikel, dan hyperkeratosis.
Imunofluoresensi langsung pada kulit yang mempunyai lesi memberikan gambaran
pola deposisi immunoglobulin seperti yang terlihat pada SLE. Pemeriksaan
laboratorium yang penting adalah pemeriksaan serologis terhadap autoantibodi/
antinuklear antibodi/ANA yang diproduksi pada penderita SLE. Skrining tes ANA
ini dilakukan dengan teknik imunofluoresen indirek, dikenal dengan fluorescent
antinuclear antibody test (FANA).
III. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL
A. Nyeri Akut
B. Keletihan
C. Hambatan Mobilitas Fisik
D. Gangguan Citra Tubuh
IV. PERENCANAAN KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
1 Nyeri akut Pain Level Pain Management
Definisi: Sensori yang tidak Setelah dilakukan tindakan Aktivitas:
menyenangkan dan pengalaman keperawatan selama 3x24 jam, - Mengkaji tingkat nyeri, meliputi: lokasi, karakteristik,
emosional yang muncul secara aktual diharapakan: dan onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya
atau potensial kerusakan jaringan atau - Klien melaporkan skala nyeri nyeri, faktor-faktor presipitasi
menggambarkan adanya kerusakan berkurang - Mengontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat
(Asosiasi Studi Nyeri Internasional): - Klien melaporkan episode nyeri mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
serangan mendadak atau pelan berkurang - Mengajarkan pasien untuk melakukan terknik non-
intensitasnya dari ringan sampai berat - Tanda-tanda vital klien dalam farmakologi untuk mengurangi rasa nyeri (distraksi,
yang dapat diantisipasi dengan akhir batas normal relaksasi, hipnosis, guided imagery, terapi musik, dan
yang dapat diprediksi. Pain control massage)
Batasan Karakteristik: Setelah dilakukan tindakan - Meningkatkan tidur/istirahat yang cukup
- Perubahan tekanan darah keperawatan selama 3x24 jam, - Menurunkan dan menghilangkan faktor yang dapat
- Perubahan frekuensi jantung diharapakan: meningkatkan nyeri
- Perubahan frekuensi pernapasan - Klien dapat mengetahui onset Analgetik Administration
- Diaforesis nyeri Aktivitas:
- Laporan isyarat - Klien dapat mendeskripsikan - Menentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat
- Melaporkan nyeri secara verbal penyebab nyeri nyeri sebelum pemberian obat
- Perilaku distraksi - Klien dapat mengenal reaksi - Memonitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
- Mengekspresikan perilaku (misal: serangan nyeri analgetik
gelisah) - Klien mampu menggunakan - Memberikan analgetik yang tepat sesuai dengan resep
- Masker wajah (misal: mata kurang tehnik nonfarmakologi untuk - Mencatat reaksi analgetik dan efek buruk yang
bercahaya) mengurangi nyeri ditimbulkan
- Sikap melindungi area nyeri - Klien dapat melaporkan gejala - Mengecek instruksi dokter tentang jenis obat,dosis,dan
- Perubahan posisi untuk yang dirasakan kepada tenaga frekuensi
menghindari nyeri. kesehatan
Faktor yang Berhubungan: - Klien melaporkan nyeri
- Agen cedera fisik terkontrol
- Agen cedera biologis
- Agen cedera kimia
2 Fatigue Energy Energy Management
Definisi: Rasa letih luar biasa dan Setelah dilakukan tindakan Aktivitas:
penurunan kapasitas kerja fisik dan keperawatan selama 3x24 jam, ⁻ Monitor intake nutrisi terhadap keadekuatan energi.
jiwa pada tingkat yang biasanya klien dapat menyelesaikan ⁻ Monitor kelelahan pasien baik secara emosional
secara terus menerus. masalah ini, dengan kriteria hasil: maupun fisik.
Batasan Karakteristik: ⁻ Mempertahankan nutrisi yang ⁻ Monitor pola tidur pasien dan waktu tidur pasien
⁻ Gangguan Konsentrasi adekuat ⁻ Mengajarkan pengaturan aktivitas dan teknik
⁻ Penurunan performa ⁻ Keseimbangan antara aktivitas manajemen waktu yang baik untuk mencegah
⁻ Kurang minat terhadap sekitar dan istirahat kelelahan
⁻ Mengantuk ⁻ Menggunakan teknik ⁻ Mengurangi stimulus lingkungan untuk memfasilitasi
⁻ Peningkatan keluhan fisik penghematan energi releksasi
⁻ Peningkatan kebutuhan istirahat ⁻ Mengadaptasi gaya hidup ⁻ Menganjurkan untuk bedrest/ pengurangan aktivitas
⁻ Kurang energi dengan tingkat energi ⁻ Menganjurkan pasien untuk membiat periode jadwal
⁻ Lesu ⁻ Melaporkan ketahanan yang istirahat
⁻ Mengatakan kurang energi adekuat untuk aktivitas ⁻ Monitor pemberian obat dan efek dari stimulant dan
⁻ Mengatakan perasaan lelah Sleep depresant
⁻ Mengatakan tidak mampu Setelah dilakukan tindakan ⁻ Menginstruksikan pasien untuk menggunakan
melakukan aktivitas fisik keperawatan selama 3x24 jam, intervensi koping dan stress untuk mencegah kelelahan
Faktor yang berhubungan: klien dapat menyelesaikan Sleep Enhancement
1. Psikologis masalah ini, dengan kriteria hasil: Aktivitas:
⁻ Ansietas ⁻ Menyediakan cukup waktu ⁻ Monitor pola tidur pasien dan waktu tidur pasien
⁻ Depresi untuk tidur ⁻ Menginformasikan tentang teknik sleep enhancement
⁻ Stress ⁻ Mengobservasi waktu tidur ⁻ Mendiskusikan dengan pasien dan keluarga tentang
2. Fisiologis ⁻ Menjaga pola tidur teknik sleep enhancement
⁻ Anemia ⁻ Menjaga kualitas dan efisiensi ⁻ Melakukan pengukuran kenyamanan pasien dan posisi
⁻ Status penyakit tidur pasien pasien saat tidur
⁻ Peningkatan kelelahan fisik ⁻ Menjaga kenyamanan tempat ⁻ Memberikan pengobatan dan jadwal pemberian untuk
⁻ Malnutrisi tidur dan suhu lingkungan mendukung tidur pasien
⁻ Kondisi fisik buruk pasien ⁻ Menghilangkan penyebab stress sebelum waktu tidur
⁻ Kehamilan dimulai
⁻ Deprivasi tidur
3. Lingkungan
⁻ Kebisingan
⁻ Suhu
4. Situasional
⁻ Peristiwa hidup negatif
⁻ Pekerjaan
3 Hambatan Mobilitas Fisik Mobility Exercise Therapy: Ambulation
Definisi: Keterbatasan pada Setelah dilakukan tindakan Aktivitas:
pergerakan fisik tubuh atau satu atau keperawatan selama 5x24 jam, ⁻ Instrusikan klien atau keluarga mengenai teknik
lebih ekstremitas secara mandiri dan klien dapat menyelesaikan berpindah dan teknik ambulasi yang aman.
terarah. masalah ini, dengan kriteria hasil: ⁻ Dorong klien untuk melakukan ambulasi secara mandiri
Batasan Karakteristik: ⁻ Klien dapat bergerak dengan dengan batasan yang aman.
⁻ Kesulitan membolak-balik posisi pelan-pelan ⁻ Instrusikan klien bagaimana untuk memposisikan diri
⁻ Dispnea setelah beraktivitas ⁻ Klien dapat memperlihatkan seluruhnya saat proses berpindah.
⁻ Keterbatasan kemampuan kemampuan berpindah ⁻ Konsultasi dengan terapis mengenai rencana ambulasi
melakukan keterampilan motorik ⁻ Klien dapat memperlihatkan jika diperlukan.
halus perubahan posisi ⁻ Bantu klien untuk berpindah jika diperlukan.
⁻ Keterbatasan kemampuan ⁻ Klien dapat melakukan ⁻ Anjurkan klien untuk mengenakan pakaian yang tidak
melakukan keterampilan motorik pergerakan otot dan sendi membatasi aktivitas.
kasar ⁻ Klien dapat berjalan ⁻ Bantu klien menggunakan pelindung kaki yang
⁻ Keterbatasan rentang pergerakan Transfer Performance memfasilitasi berjalan dan mencegah cidera.
sendi Setelah dilakukan tindakan ⁻ Sediakan atau gunakan alat bantu (tongkat, walker atau
⁻ Pergerakan lambat keperawatan selama 5x24 jam, kursi roda) untuk ambulasi jika klien dalam keadaan
⁻ Pergerakan tidak terkoordinasi klien dapat menyelesaikan tidak seimbang atau kokoh.
Faktor yang berhubungan: masalah ini, dengan kriteria hasil: Exercise Therapy: Joint Mobility
⁻ Intoleran aktivitas ⁻ Klien dapat berpindah dari Aktivitas:
⁻ Ansietas tempat tidur ke kursi ⁻ Tentukan tingkat motivasi klien untuk memelihara atau
⁻ Kontraktur ⁻ Klien dapat berpindah dari kursi memulihkan pergerakan sendi.
⁻ Fisik tidak bugar ke tempat tidur ⁻ Informasikan kepada klien atau keluarga mengenai
⁻ Penurunan masa otot ⁻ Klien dapat berpindah dari kursi tujuan dan rencana untuk latihan sendi.
⁻ Penurunan kekuatan otot ke kursi ⁻ Monitor lokasi ketidaknyamanan atau nyeri saat
⁻ Gangguan muskuloskeletal pergerakan atau latihan.
⁻ Gangguan neuromuskular ⁻ Kaji level nyeri sebelum latihan sendi dimulai.
⁻ Nyeri ⁻ Anjurkan klien untuk mengenakan pakaian yang tidak
membatasi aktivitas.
⁻ Lindungi klien dari trauma selama latihan.
⁻ Ajarkan pasif atau aktif latihan jika dibutuhkan
4 Gangguan Citra Tubuh Body Image Body Image Enhancement
Definisi: Konfusi dalam gambaran Setelah perawatan selama 3x24 Aktivitas:
mental tentang diri fisik individu jam pasien menunjukkan secara ⁻ Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap
Batasan Karakteristik: positif indikator-indikator di bawah tubuhnya
⁻ Perilaku mengenali tubuh individu ini: ⁻ Identifikasi efek budaya, agama, ras, usia dan jenis
⁻ Perilaku menghindari tubuh ⁻ Gambaran diri internal kelamin terhadap citra tubuh
individu ⁻ Kesesuaian antara realitas ⁻ Bantu pasien mengidentifikasi langkah yang akan
⁻ Perilaku memantau tubuh individu tubuh, ideal tubuh, dan digunakan untuk meningkatkan penampilan
⁻ Respons nonverbal terhadap perwujudan tubuh ⁻ Dorong pasien mengungkapkan perasaannya
perubahan aktual pada tubuh (mis., ⁻ Kepuasan terhadap penampilan ⁻ Identifikasi support grup yang tersedia bagi pasien
penampilan, struktur, fungsi) ⁻ Kepuasan terhadap fungsi tubuh ⁻ Tentukan gambaran tubuh yang diinginkan klien sesuai
⁻ Respons nonverbal terhadap ⁻ Klien mampu menerima adanya dengan tingkat perkembangannnya.
persepsi perubahan pada tubuh perubahan dalam tubuhnya. ⁻ Gunakan penjelasan untuk mengantisipasi dan
(mis., penampilan, struktur, fungsi) ⁻ Klien menyatakan puas dengan menyiapkan klien menerima perubahan citra tubuh yang
⁻ Mengungkapkan perasaan yang gambaran tubuhnya. diprediksikan.
mencerminkan perubahan ⁻ Klien mampu menyesuaikan diri ⁻ Ajak klien untuk mendiskusikan perubahan yang terjadi
pandangan tentang tubuh individu dengan perubahan bentuk karena proses proses penyakit atau pembedahan.
dalam penampilan. tubuhnya. ⁻ Bantu klien mengungkapkan perubahan citra tubuh atau
Faktor yang berhubungan: ⁻ Klien mampu menyesuaikan diri fungsi tubuh saat ini.
⁻ Psikososial. dengan perubahan fungsi ⁻ Bantu klien untuk memisahkan antara perubahan citra
⁻ Biofisik. tubuhnya. tubuh dengan rasa tidak berharga.
⁻ Persepsi/kognisi. ⁻ Klien menyatakan keinginannya ⁻ Bantu klien mengungkapkan pengaruh pergaulan
⁻ Penyakit untuk menggunakan strategi kelompok terhadap keadaan tubuh klien.
⁻ Perubahan perkembangan. untuk meningkatkan penampilan ⁻ Dorong klien untuk mendiskusikan stressor yang
⁻ Trauma atau cedera. dan fungsi tubuhnya. mempengaruhi citra tubuh
⁻ Pembedahan. ⁻ Dorong klien untuk mengidentifikasi bagian tubuh yang
disukai.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, N.S. 2016. Lupus Eritematosus Sistemik. J Medula Unila, 4(4); 124-131.

Bertsias, G.K., Ioannidis, J.P.A., Boletis, J., Bombardieri, S., Cervera, R., Dostal, C., et al
2008. Recommendations for The Management of Systemic Lupus Erythematosus
(SLE). Report of a Task Force of the European Standing Committee for International
Clinical Studies Including Therapeutics (ESCISIT). Ann Rheum Dis, 67; 195–205.

Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. 2013. Nursing


Interventions Classification (NIC) 6th Edition. USA: Elsevier Mosby.

Christopher-Stine, L. 2006. Systemic Lupus Erythematosus. A.D.A.M. Medical


Encyclopedia. Departement of Medicine, John Hopkins University, Baltimore

Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC.
Herdman, T. H., Kamitsuru, S. 2015. NANDA International Nursing Diagnoses: Definition &
Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blakwell.

Matt. 2003. Systemic Lupus Erythematosus. A Patien’s Giude To Systemic Lupus


Erythematosus. Diakses di
http://www.eorthopod.com/public/patient_education/6590/systemic_lupus_erythemat
osus.html pada tanggal 28 Mei 2017.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC) 5th Edition. SA: Elsevier Mosby.

Nurjannah, I. 2014. ISDA: Intan’s Screening Diagnoses Assesment. Versi Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Moco Media.

Price, S.A., Wilson, & Mc Carty, L. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta:EGC.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus


Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia.

Petri, M., Orbai, A.M., Alarcón, G.S., Gordon, C., Merrill, J.T., Fortin, P.R., et al. Derivation
and Validation of The Systemic Lupus International Collaborating Clinics
Classification Criteria for Systemic Lupus Erythematosus. Arthritis Rheum. 2012;
64(8):2677-86.

Qimindra, FR. 2008. Lupus, Penyakit Seribu Wajah. Diakses di


http://konsultasikesehatan.net/index.php/2008/03/25/lupus-si-penyakit-seribuwajah/
pada tanggal 28 Mei 2017.

Rishnan, S., Chowdhury, B., Juang, Y-T, Tsokos, G.C. 2007. Overview of the Pathogenesis
of Systemic Lupus Erythematosus. Philadelphia: Mosby.
Roviati, E. 2013. Systemic Lupus Erithematosus (SLE): Kelainan Autoimun Bawaan Yang
Langka dan Mekanisme Molekulernya. Jurnal Scientiae Educatia, 2(1); 20-32.

Sierra, X. 2008. The History of Lupus Erithematosus. Diakses di


www.chez.com/sfhd/ecrits/histle1.htm pada tanggal 28 Mei 2017.

Wilkinson, J.M. & Ahern, N.R. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai