Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ULKUS DIABETES


DI RUANG DAHLIA 1 RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

Tugas Mandiri
Stase Praktek Keperawatan Medikal Bedah

Disusun Oleh:
Ivo Fridina
16/406334/KU/19340

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
I. KONSEP ULKUS DIABETES
A. Pengertian Ulkus Diabetes
Ulkus diabetik adalah salah satu komplikasi DM yang paling serius dan
melumpuhkan (Mahfud, 2012). Ulkus diabetes adalah suatu luka terbuka pada
lapisan kulit sampai ke dalam dermis, yang biasanya terjadi di telapak kaki (Hariani
& Perdanakusuma, 2008). Ulkus diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan
kulit yang terjadi karena adanya komplikasi makroangiopati, sehingga terjadi
vaskuler insufisiensi dan neuropati yang lebih lanjut dan dapat berkembang menjadi
infeksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob maupun bakteri aerob (Hastuti, 2008).
Ulkus Kaki Diabetes (UKD) memberi dampak luar biasa kepada penderitanya.
Selain amputasi, infeksi, yang terjadi seringkali mengharuskan penderita dirawat
inap dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan komplikasi DM lainnya,
sehingga biaya perawatan yang dibutuhkan lebih besar dan penderita UKD
mempunyai risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan penderita DM tanpa UKD
(Sundari, et al., 2009).
B. Klasifikasi Ulkus Diabetes
Klasifikasi Ulkus diabetik pada penderita DM menurut Wagner dikutip oleh
Waspadji (2002), terdiri dari 6 tingkatan meliputi:
0 : tidak ada luka terbuka, kulit utuh
1 : ulkus superfisialis, terbatas pada kulit
2 : ulkus lebih dalam seringdikaitkan dengan inflamasi jaringan
3 : ulkus dalam yang melibatkan tulamg, sendi dan formasi abses
4 : ulkus dengan kematian jaringan tubuh terlokalisir seperti pada ibu jari kaki,
bagian depan depan kaki atau tumit
5 : ulkus dengan kematian jaringan tubuh seluruh kaki
C. Tanda dan Gejala Ulkus Diabetes
Tanda dan gejala ulkus diabetes (Hastuti, 2008), yaitu:
1. Sering kesemutan.
2. Nyeri kaki saat istirahat.
3. Sensasi rasa berkurang.
4. Kerusakan jaringan (nekrosis).
5. Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis, dan popliteal.
6. Kaki menjadi artrofi dingin, dan kuku menebal.
7. Kulit kering.
D. Patofisiologi Ulkus Diabetes
Sirkulasi darah adalah aliran darah yang dipompakan jantung ke pembuluh
darah dan dialirkan oleh arteri ke seluruh organ-organ tubuh salah satunya pada organ
kaki. Normal sirkulasi darah pada kaki menurut adalah 1,0 yang diperoleh dari rumus
ABPI (An ankle Brachial Pressure Index). Sedangkan keadaan yang tidak normal
dapat diperoleh bila nilai ABPI <0,9 diindikasikan ada resiko tinggi luka di kaki,
ABPI> 0,5 dan <0,9 pasien perlu perawatan tindak lanjut, dan ABPI <0,5
diindikasikan kaki sudah mengalami kaki nekrotik, gangren, ulkus, borok yang perlu
penanganan dokter ahli bedah Vaskular. Dasar terjadinya luka atau kelainan pada kaki
pasien penderita diabetes adalah adanya suatu kelainan pada saraf, kelainan pembuluh
darah dan kemudian adanya infeksi (Santy, 2013).
Dari ketiga hal tersebut, yang paling berperan adalah kelainan pada saraf,
sedangkan kelainan pembuluh darah lebih berperan nyata pada penyembuhan luka
sehingga menentukan nasib kaki. Keadaan kelainan saraf dapat mengenai saraf
sensorik, saraf motorik, dan saraf otonom. Bila mengenai saraf sensoris akan terjadi
hilang rasa yang menyebabkan penderita tidak dapat merasakan rangsang nyeri
sehingga kehilangan daya kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsang dari luar.
Akibatnya, kaki lebih rentan terhadap luka meskipun terhadap benturan kecil. Bila
sudah terjadi luka, akan memudahkan kuman masuk yang menyebabkan infeksi. Bila
infeksi ini tidak diatasi dengan baik, hal itu akan berlanjut menjadi pembusukan
(gangren) bahkan dapat diamputasi. Gangguan pada serabut saraf motorik (serabut
saraf yang menuju otot) dapat mengakibatkan pengecilan atrofi otot interosseus pada
kaki. Akibat lanjut dari keadaan ini terjadi ketidakseimbangan otot kaki, terjadi
perubahan bentuk deformitas pada kaki seperti jari menekuk cock up toes,
bergesernya sendi luksasi pada sendi kaki depan metatarsofalangeal dan terjadi
penipisan bantalan lemak di bawah daerah pangkal jari kaki kaput metatarsal. Hal ini
menyebabkan adanya perluasan daerah yang mengalami penekanan, terutama di
bawah kaput metatarsal. Selain itu, terjadi perubahan daya membesar-mengecil
pembuluh darah vasodilatasi-vasokonstriksi di daerah tungkai bawah, akibatnya sendi
menjadi kaku. Keadaan lebih lanjut terjadi perubahan bentuk kaki, yang menyebabkan
perubahan daerah tekanan kaki yang baru dan berisiko terjadinya luka. Kelainan
pembuluh darah berakibat tersumbatnya pembuluh darah sehingga menghambat aliran
darah, mengganggu suplai oksigen, bahan makanan atau obat antibiotika yang dapat
menggagu proses penyembuhan luka. Bila pengobatan infeksi ini tidak sempurna
dapat menyebabkan pembusukan gangren. Gangren yang luas dapat pula terjadi
akibat sumbatan pembuluh darah yang luas sehingga kemungkinannya dilakukan
amputasi kaki di atas lutut (Denekamp & Folcarelli, 2006).

Gambar 1. Patogenesis Ulkus Diabetes


E. Faktor Risiko Ulkus Diabetes
Faktor risiko terjadi ulkus diabetikum pada penderita penyakit DM (Roza, et al.,
2015), meliputi:
1. Jenis kelamin
Laki-laki menjadi faktor predominan berhubungan dengan terjadinya ulkus.
Menurut Prastica dkk pasien ulkus diabetikum yang diteliti di RSUD Dr. Saiful
Anwar Malang adalah laki-laki (56,3%).
2. Lama Penyakit Diabetes Melitus (DM)
Lamanya durasi DM menyebabkan keadaan hiperglikemia yang lama.
Keadaan hiperglikemia yang terus menerus menginisiasi terjadinya hiperglisolia
yaitu keadaan sel yang kebanjiran glukosa. Hiperglosia kronik akan mengubah
homeostasis biokimiawi sel tersebut yang kemudian berpotensi untuk terjadinya
perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik DM. Seratus pasien penyakit
DM dengan ulkus diabetikum, ditemukan 58% adalah pasien penyakit DM yang
telah menderita penyakit DM lebih dari 10 tahun. Hasil analisis regression
kepada semua pasien rawat jalan di klinik penyakit dalam Veteran Affairs,
Washington menyimpulkan bahwa rerata lama pasien penyakit DM ulkus
diabetikum sebanyak 162 orang adalah 11.40 tahun dengan RR 1.18 (95% CI).
3. Neuropati
Neuropati menyebabkan gangguan saraf motorik, sensorik dan otonom.
Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot, deformitas kaki, perubahan
biomekanika kaki dan distribusi tekanan kaki terganggu sehingga menyebabkan
kejadian ulkus meningkat. Gangguan sensorik disadari saat pasien mengeluhkan
kaki kehilangan sensasi atau merasa kebas. Rasa kebas menyebabkan trauma
yang terjadi pada pasien penyakit DM sering kali tidak diketahui. Gangguan
otonom menyebabkan bagian kaki mengalami penurunan ekskresi keringat
sehingga kulit kaki menjadi kering dan mudah terbentuk fissura. Saat terjadi
mikrotrauma keadaan kaki yang mudah retak meningkatkan risiko terjadinya
ulkus diabetikum. Menurut Boulton AJ pasien penyakit DM dengan neuropati
meningkatkan risiko terjadinya ulkus diabetikum tujuh kali dibanding dengan
pasien penyakit DM tidak neuropati.
4. Peripheral Artery Disease
Penyakit arteri perifer adalah penyakit penyumbatan arteri di ektremitas
bawah yang disebakan oleh atherosklerosis. Gejala klinis yang sering ditemui
pada pasien PAD adalah klaudikasio intermitten yang disebabkan oleh iskemia
otot dan iskemia yang menimbulkan nyeri saat istirahat. Iskemia berat akan
mencapai klimaks sebagai ulserasi dan gangren. Pemeriksaan sederhana yang
dapat dilakukan untuk deteksi PAD adalah dengan menilai Ankle Brachial
Indeks (ABI) yaitu pemeriksaan sistolik brachial tangan kiri dan kanan
kemudian nilai sistolik yang paling tinggi dibandingkan dengan nilai sistolik
yang paling tinggi di tungkai. Nilai normalnya dalah O,9 - 1,3. Nilai dibawah
0,9 itu diindikasikan bawah pasien penderita DM memiliki penyakit arteri
perifer.
5. Perawatan kaki
Edukasi perawatan kaki harus diberikan secara rinci pada semua orang
dengan ulkus maupun neuropati perifer atau peripheral Artery disease (PAD).
Perawatan kaki terdiri dari perawatan perawatan kaki setiap hari, perawatan kaki
reguler, mencegah injuri pada kaki, dan meningkatkan sirkulasi.
F. Diagnosis Klinis Ulkus Diabetes
Penyebab ulkus diabetes dapat ditentukan secara tepat melalui anamnesa riwayat
dan pemeriksaan yang cermat (Hariani & Perdanakusuma, 2008).
1. Riwayat
Gejala neuropati perifer meliputi hipesthesia, hiperesthesia, paresthesia,
disesthesia, radicular pain dan anhidrosis. sebagian besar orang yang menderita
penyakit atherosklerosis pada ekstremitas bawah tidak menunjukkan gejala
(asimtomatik), Penderita yang menunjukkan gejala didapatkan claudicatio, nyeri
iskemik saat istirahat, luka yang tidak sembuh dan nyeri kaki yang jelas. Kram,
kelemahan dan rasa tidak nyaman pada kaki sering dirasakan oleh penderita
diabetes karena kecenderungannya menderita oklusi aterosklerosis
tibioperoneal.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita dengan ulkus diabetes dibagi menjadi 3
bagian yaitu:
a. Pemeriksaan ulkus dan keadaan umum ekstremitas
Ulkus diabetes mempunyai kecenderungan terjadi pada beberapa
daerah yang menjadi tumpuan beban terbesar, seperti tumit, area kaput
metatarsal di telapak, ujung jari yang menonjol (pada jari pertama dan
kedua). Ulkus dapat timbul pada malleolus karena pada daerah ini sering
mendapatkan trauma. Kelainan-kelainan lain yang ditemukan pada
pemeriksaa fisik: callus hipertropik, kuku yang rapuh/pecah, hammer toes,
dan fissure.
b. Penilaian kemungkinan isufisiensi vaskuler
Pemeriksaan fisik rnemperlihatkan hilangnya atau menurunnya nadi
perifer dibawah level tertentu. Penemuan lain yang berhubungan dengan
penyakit aterosklerosis meliputi adanya bunyi bising (bruit) pada arteri
iliaka dan femoralis, atrofi kulit, hilangnya rambut pada kaki, sianosis jari
kaki, ulserasi dan nekrosis iskemia, kedua kaki pucat pada saat kaki
diangkat setinggi jantung selama 1-2 menit. Pemeriksaan vaskuler
noninvasif meliputi pengukuran oksigen transkutan, anklebrachial index
(ABI), tekanan sistolik jari kaki. ABI merupakan pemeriksaan noninvasif
yang dengan mudah dilakukan dengan menggunakan alat Doppler. Cuff
tekanan dipasang pada lengan atas dan dipompa sampai nadi pada
brachialis tidak dapat dideteksi Doppler (Gambar 2). Cuff kemudian
dilepaskan perlahan sampai Doppler dapat mendeteksi kembali nadi
brachialis. Tindakan yang sama dilakukan pada tungkai, dimana cuff
dipasang pada calf distal dan Doppler dipasang pada arteri dorsalis pedis
atau arteri tibialis posterior. ABI didapatkan dari tekanan sistolik ankle
dibagi tekanan sistolik brachialis.

Gambar 2. Pengukuran Ankle-Brachial Index (ABI)


c. Penilaian kemungkinan neuropati perifer
Tanda neuropati perifer meliputi hilangnya sensasi rasa getar dan
posisi, hilangnya reflek tendon dalam, ulserasi tropik, foot drop, atrofi otot,
dan pemembentukan calus hipertropik khususnya pada daerah penekanan
misalnya pada tumit. Status neurologis dapat diperiksa dengan
menggunakan monofilament Semmes-Weinsten untuk mengetahui apakah
penderita masih memiliki "sensasi protektif', Pemeriksaan menunjukkan
hasil abnormal jika penderita tidak dapat merasakan sentuhan monofilamen
ketika ditekankan pada kaki dengan tekanan yang cukup sampai
monofilamen bengkok (Gambar 3).
Gambar3. Pemeriksaan dengan monofilamen
Alat pemeriksaan lain adalah garputala 128C, dimana dapat digunakan
untuk rnengetahui sensasi getar penderita dengan memeriksanya pada
pergelangan kaki dan sendi metatarsophalangeal pertama. Pada neuropati
metabolik terdapat gradien intensitas dan paling parah pada daerah distal.
Jadi pada pasien yang tidak dapat merasakan getaran pada pergelangan
ketika garputala dipindahkan dari ibu jari kaki ke pergelangan menunjukkan
gardien intensitas karena neuropati metabolik. Pada umumnya, seseorang
tidak dapat merasakan getaran garputala pada jari tangan lebih dari 10 detik
setelah pasien tidak dapat merasakan getaran pada ibu jari kaki. Beberapa
penderita dengan sensasi normal hanya menunjukkan perbedaan antara
sensasi pada jari kaki dengan tangan pemeriksa kurang dari 3 detik.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah: lekositosis mungkin menandakan adanya abses atau
infeksi lainnya pada kaki. Penyembuhan luka dihambat oleh adanya
anemia. Adanya insufisiensi arterial yang telah ada, keadaan anemia
menimbulkan nyeri saat istirahat.
b. Profil metabolik : pengukuran kadar glukosa darah, glikohemoglobin dan
kreatinin serum membantu untuk menentukan kecukupan regulasi glukosa
dan fungsi ginjal
c. Pemeriksaan laboratorium vaskuler noninvasif : Pulse Volume Recording
(PVR), atau plethymosgrafi.
4. Pemeriksaan Radiologis
a. Pemeriksaan foto polos pada kaki diabetik dapat menunjukkan
demineralisasi dan sendi Charcot serta adanya ostomielitis.
b. Computed Tomographic (CT) scan dan Magnetic Resonance Imanging
(MRI): meskipun pemeriksa yang berpengalaman dapat mendiagnosis abses
dengan pemeriksaan fisik, CT scan atau MRI dapat digunakan untuk
membantu diagnosis abses apabila pada pemeriksaan fisik tidak jelas.
c. Bone scaning masih dipertanyakan kegunaannya karena besarnya hasil false
positif dan false negatif. Penelitian mutakhir menyebutkan 99mTc-IabeIed
ciprofolxacin sebagai penanda (marker) untuk osteomielitis.
d. Arteriografi konvensional: apabila direncanakan pembedahan vaskuler atau
endovaskuler, arteriografi diperlukan untuk memperlihatkan luas dan
makna penyakit atherosklerosis. Resiko yang berkaitan dengan injeksi
kontras pada angiografi konvensional berhubungan dengan suntikan dan
agen kontras.
5. Klasifikasi Patologi
Penilaian dan klasifikasi ulkus diabetes sangat penting untuk membantu
perencanaan terapi dari berbagai pendekatan dan membantu memprediksi hasil.
Beberapa sistem klasifikasi ulkus telah dibuat yang didasarkan pada beberapa
parameter yaitu luasnya infeksi, neuropati, iskemia, kedalaman atau luasnya
luka, dan lokasi. Sistem klasifikasi yang paling banyak digunakan pada ulkus
diabetes adalah Sistem Klasifikasi Ulkus Wagner-Meggit yang didasarkan pada
kedalaman luka dan terdiri dari 6 grade luka (Tabel 1).
Tabel 1. Sistem Klasifikasi Ulkus Eagner-Meggit
University of Texas membagi ulkus berdasarkan dalamnya ulkus dan
membaginya lagi berdasarkan adanya infeksi atau iskemi. Adapun sistem Texas
ini meliputi:
Tabel 2. Sistem Klasifikasi University of Texas

Setiap tingkatan dibagi menjadi 4 stadium, meliputi:


A : luka bersih
B : luka iskemik
C : luka terinfeksi non iskemik
D : luka terinfeksi dan iskemik
Klasifikasi SAD (Size, Sepsis, Arteriopathy, Depth and Denervation)
mengelompokkan ulkus ke dalam 4 skala berdasarkan 5 bentukan ulkus
(ukuran, kedalaman, sepsis, arteriopati, dan denervasi). The International
Working Group on the Diabetic Foot telah mengusulkan Klasifikasi PEDIS
dimana membagi luka berdasarkan 5 ciri berdasarkan: Perfusion, Extent, Depth,
Infection dan Sensation. Berdasarkan Guideline The Infectious Disease of
America, mengelompokkan kaki diabetik yang terinfeksi dalam beberapa
kategori, yaitu:
Mild: terbatas hanya pada kulit dan jaringan subkutan
Moderate: lebih luas atau sampai jaringan yang lebih dalam
Severe: disertai gejala infeksi sistemik atau ketidakstabilan metabolik
G. Penatalaksanaan Ulkus Diabetes
Tujuan utama pengelolaan UKD yaitu untuk mengakses proses kearah
penyembuhan luka secepat mungkin karena perbaikan dari ulkus kaki dapat
menurunkan kemungkinan terjadinya amputasi dan kematian pasien diabetes. Secara
umum pengelolaan UKD meliputi penanganan iskemia, debridemen, penanganan
luka, menurunkan tekanan plantar pedis (off-loading), penanganan bedah,
penanganan komorbiditas dan menurunkan risiko kekambuhan serta pengelolaan
infeksi (Langi, 2011).
1. Penanganan iskemia
Perfusi arteri merupakan hal penting dalam proses penyembuhan dan harus
dinilai awal pada pasien UKD. Penilaian kompetensi vaskular pedis pada UKD
seringkali memerlukan bantuan pemeriksaan penunjang seperti MRI angiogram,
doppler maupun angiografi. Pemeriksaan sederhana seperti perabaan pulsasi
arteri poplitea, tibialis posterior dan dorsalis pedis dapat dilakukan pada kasus
UKD kecil yang tidak disertai edema ataupun selulitis yang luas. Ulkus atau
gangren kaki tidak akan sembuh bahkan dapat menyerang tempat lain di
kemudian hari bila penyempitan pembuluh darah kaki tidak diatasi. Bila
pemeriksaan kompetensi vaskular menunjukkan adanya penyumbatan, bedah
vaskular rekonstruktif dapat meningkatkan prognosis dan selayaknya diperlukan
sebelum dilakukan debridemen luas atau amputasi parsial. Beberapa tindakan
bedah vaskular yang dapat dilakukan antara lain angioplasti transluminal
perkutaneus (ATP), tromboarterektomi dan bedah pintas terbuka (by pass).
Berdasarkan penelitian, revaskularisasi agresif pada tungkai yang mengalami
iskemia dapat menghindarkan amputasi dalam periode tiga tahun sebesar 98%.
Bedah bypass dilaporkan efektif untuk jangka panjang. Kesintasan (survival
rate) dari ekstremitas bawah dalam 10 tahun pada mereka yang memakai
prosedur bedah bypass lebih dari 90%.15 Penggunaan antiplatelet ditujukan
terhadap keadaan insufisiensi arteri perifer untuk memperlambat progresifitas
sumbatan dan kebutuhan rekonstruksi pembuluh darah.
2. Debridemen
Debridemen merupakan upaya untuk membersihkan semua jaringan
nekrotik, karena luka tidak akan sembuh bila masih terdapat jaringan nonviable,
debris dan fistula. Tindakan debridemen juga dapat menghilangkan koloni
bakteri pada luka. Saat ini terdapat beberapa jenis debridemen yaitu autolitik,
enzimatik, mekanik, biologik dan tajam. Debridemen dilakukan terhadap semua
jaringan lunak dan tulang yang nonviable. Tujuan debridemen yaitu untuk
mengevakuasi jaringan yang terkontaminasi bakteri, mengangkat jaringan
nekrotik sehingga dapat mempercepat penyembuhan, menghilangkan jaringan
kalus serta mengurangi risiko infeksi lokal. Debridemen yang teratur dan
dilakukan secara terjadwal akan memelihara ulkus tetap bersih dan merangsang
terbentuknya jaringan granulasi sehat sehingga dapat mempercepat proses
penyembuhan ulkus.
3. Perawatan luka
Prinsip perawatan luka yaitu menciptakan lingkungan moist wound healing
atau menjaga agar luka senantiasa dalam keadaan lembab. Bila ulkus
memroduksi sekret banyak maka untuk pembalut (dressing) digunakan yang
bersifat absorben. Sebaliknya bila ulkus kering maka digunakan pembalut yang
mampu melembabkan ulkus. Bila ulkus cukup lembab, maka dipilih pembalut
ulkus yang dapat mempertahankan kelembaban. Disamping bertujuan untuk
menjaga kelembaban, penggunaan pembalut juga selayaknya
mempertimbangkan ukuran, kedalaman dan lokasi ulkus. Untuk pembalut ulkus
dapat digunakan pembalut konvensional yaitu kasa steril yang dilembabkan
dengan NaCl 0,9% maupun pembalut modern yang tersedia saat ini. Beberapa
jenis pembalut modern yang sering dipakai dalam perawatan luka, seperti:
hydrocolloid, hydrogel, calcium alginate, foam dan sebagainya. Pemilihan
pembalut yang akan digunakan hendaknya senantiasa mempertimbangkan cost
effective dan kemampuan ekonomi pasien.
4. Menurunkan tekanan pada plantar pedis (off-loading)
Tindakan off-loading merupakan salah satu prinsip utama dalam
penatalaksanaan ulkus kronik dengan dasar neuropati. Tindakan ini bertujuan
untuk mengurangi tekanan pada telapak kaki. Tindakan offloading dapat
dilakukan secara parsial maupun total. Mengurangi tekanan pada ulkus
neuropati dapat mengurangi trauma dan mempercepat proses penyembuhan
luka. Kaki yang mengalami ulkus harus sedapat mungkin dibebaskan dari
penekanan. Sepatu pasien harus dimodifikasi sesuai dengan bentuk kaki dan
lokasi ulkus. Metode yang dipilih untuk off-loading tergantung dari karakteristik
fisik pasien, lokasi luka, derajat keparahan dan ketaatan pasien. Beberapa
metode off loading antara lain: total non-weight bearing, total contact cast, foot
cast dan boots, sepatu yang dimodifikasi (half shoe, wedge shoe), serta alat
penyanggah tubuh seperti cruthes dan walker.
5. Penanganan bedah
Jenis tindakan bedah tergantung dari berat ringannya UKD. Tindakan
elektif ditujukan untuk menghilangkan nyeri akibat deformitas seperti pada
kelainan spur tulang, hammertoes atau bunions. Tindakan bedah profilaktif
diindikasikan untuk mencegah terjadinya ulkus atau ulkus berulang pada pasien
yang mengalami neuropati dengan melakukan koreksi deformitas sendi, tulang
atau tendon. Bedah kuratif diindikasikan bila ulkus tidak sembuh dengan
perawatan konservatif, misalnya angioplasti atau bedah vaskular. Osteomielitis
kronis merupakan indikasi bedah kuratif. Bedah emergensi adalah tindakan
yang paling sering dilakukan, dan diindikasikan untuk menghambat atau
menghentikan proses infeksi, misalnya ulkus dengan daerah infeksi yang luas
atau adanya gangren gas. Tindakan bedah emergensi dapat berupa amputasi atau
debridemen jaringan nekrotik. Penanganan komorbiditas diabetes merupakan
penyakit sistemik multiorgan sehingga komorbiditas lain harus dinilai dan
dikelola melalui pendekatan tim multidisiplin untuk mendapatkan hasil yang
optimal. Komplikasi kronik lain baik mikro maupun makroangiopati yang
menyertai harus diidentifikasi dan dikelola secara holistik. Kepatuhan pasien
juga merupakan hal yang penting dalam menentukan hasil pengobatan.
6. Mencegah kambuhnya ulkus
Pencegahan dianggap sebagai elemen kunci dalam menghindari amputasi
kaki. Pasien diajarkan untuk memperhatikan kebersihan kaki, memeriksa kaki
setiap hari, menggunakan alas kaki yang tepat, mengobati segera jika terdapat
luka, pemeriksaan rutin ke podiatri, termasuk debridemen pada kapalan dan
kuku kaki yang tumbuh ke dalam. Sepatu dengan sol yang mengurangi tekanan
kaki dan kotak yang melindungi kaki berisiko tinggi merupakan elemen penting
dari program pencegahan.
7. Pengelolaan infeksi
Infeksi pada UKD merupakan faktor pemberat yang turut menentukan
derajat agresifitas tindakan yang diperlukan dalam pengelolaan UKD. Dilain
pihak infeksi pada UKD mempunyai permasalahan sendiri dengan adanya
berbagai risiko seperti status lokalis maupun sistemik yang imunocompromised
pada pasien DM, resistensi mikroba terhadap antibiotik, dan jenis mikroba yang
adakalanya memerlukan antibiotik spesifik yang mahal dan berkepanjangan.
Dasar utama pemilihan antibiotik dalam penatalaksanaa UKD yaitu berdasarkan
hasil kultur sekret dan sensitivitas sel. Cara pengambilan dan penanganan
sampel berpengaruh besar terhadap ketepatan hasil kultur kuman. Telah
dilaporkan bahwa terdapat perbedaan jenis kuman yang didapat pada bahan
sekret yang diambil superfisial dengan yang deep swab. Sambil menunggu hasil
kultur, pada UKD yang terinfeksi penggunaan antibiotik dapat dipilih secara
empirik. Terdapat berbagai klasifikasi pengelolaan kaki diabetes mulai dari
yang sederhana sampai kompleks yang mencantumkan tuntunan penggunaan
antibiotika. Beberapa klasifikasi tersebut yaitu klasifikasi Wagner, The
University of Texas classification, klasifikasi PEDIS oleh International
Consensus on the Diabetic Foot, dan klasifikasi berdasarkan derajat keparahan
oleh Infectious Disease Society of America (IDSA). Secara klinis, infeksi yang
tidak mengancam tungkai biasanya terlihat sebagai ulserasi yang dangkal, tanpa
iskemia yang nyata, tidak mengenai tulang atau sendi, dan area selulitis tidak
lebih dari 2 cm dari pusat ulkus. Pasien tampak stabil serta tidak
memperlihatkan tanda dan gejala infeksi sistemik. Pengelolaan pasien dilakukan
sebagai pasien rawat jalan. Perawatan di rumah sakit hanya bila tidak ada
perbaikan setelah 48-72 jam atau kondisi memburuk. Antibiotik langsung
diberikan disertai pembersihan dan debridemen ulkus. Penanganan ulkus ini
selanjutnya seperti yang diuraikan sebelumnya, koreksi hiperglikemia dan
kontrol komorbid lainnya. Respon terhadap pengobatan dievaluasi setelah 48-72
jam untuk menilai tindakan yang mungkin perlu dilakukan. Aspek pencegahan,
pendidikan pasien, perawatan dan penanganan ortotik juga dilakukan secara
terpadu. Infeksi disebut mengancam bila UKD berupa ulkus yang dalam sampai
mengenai tulang dengan selulitis yang lebih dari 2 cm dan/atau disertai
gambaran klinis infeksi sistemik berupa demam, edema, limfangitis,
hiperglikemia, leukositosis dan iskemia. Perlu diperhatikan, tidak semua pasien
diabetes dengan infeksi yang relatif berat akan menunjukkan tanda dan gejala
sistemik seperti tersebut diatas. Jika ulkus mencapai tulang atau sendi,
kemungkinan besar akan terjadi osteomielitis. Pasien dengan infeksi yang
mengancam ekstremitas harus dirawat di rumah sakit untuk manajemen yang
tepat. Debridemen dilakukan sejak awal dengan tetap memperhitungkan
ada/tidaknya kompetensi vaskular tungkai. Jaringan yang diambil dari luka
dikirim untuk kultur. Tindakan ini mungkin perlu dilakukan berulang untuk
mengendalikan infeksi. Terapi empiris untuk infeksi berat harus berspektrum
luas dan diberikan secara intravena dengan mempertimbangkan faktor lain
seperti biaya, toleransi pasien, alergi, potensi efek yang merugikan ginjal atau
hati, kemudahan pemberian dan pola resistensi antibiotik setempat. Infeksi
kronik dan berat yang mengancam tungkai umumnya disebabkan oleh infeksi
polimikroba yang mencakup organisme aerob gram positif dan negatif serta
anaerob. Pseudomonas sering diperoleh dari isolasi luka yang menggunakan
pembalutan basah; enterokokus umumnya dibiakkan dari pasien yang
sebelumnya telah diterapi sefalosporin; kuman anaerob sering ditemukan pada
luka dengan keterlibatan jaringan yang dalam dan nekrosis; dan methicillin-
resistant Staphylococcy aureus (MRSA) sering diperoleh pada pasien yang
sebelumnya pernah di rawat inap atau diberikan terapi antibiotika. Bila terjadi
infeksi berulang meskipun terapi antibiotik tetap diberikan, perlu dilakukan
kultur ulang jaringan untuk menyingkirkan infeksi superimposed. Lamanya
pemberian antibiotik tergantung pada gejala klinis, luas dan dalamnya jaringan
yang terkena serta beratnya infeksi. Pada infeksi ringan sampai sedang
antibiotik dapat diberikan 1-2 minggu, sedangkan pada infeksi yang lebih berat
antibiotik diberikan 2-4 minggu. Debridemen yang adekuat, reseksi atau
amputasi jaringan nekrosis dapat mempersingkat waktu pemberian antibiotik.
Pada kasus osteomielitis, jika tulang terinfeksi tidak dievakuasi, maka antibiotik
harus diberikan selama 6-8 minggu, bahkan beberapa literatur menganjurkan
sampai 6 bulan. Jika semua tulang yang terinfeksi dievakuasi, antibiotik dapat
diberikan lebih singkat, yaitu 1-2 minggu dan ditujukan untuk infeksi jaringan
lunak. Efektivitas terapi dievaluasi dengan beberapa parameter, antara lain
respon klinis pasien, suhu, leukosit dan hitung jenis, laju endap darah dan
penanda inflamasi lainnya, kontrol gula darah dan parameter metabolik, serta
tanda-tanda penyembuhan luka dan peradangan. Pada keadaan kompetensi
vaskular yang baik, pengukuran suhu kaki merupakan parameter klinis inflamasi
yang dapat dipegang. Jika terdapat iskemi jaringan luka, antibiotik mungkin
tidak dapat mencapai lokasi yang terinfeksi. Oleh karena itu, prosedur
rekonstruksi vaskular mungkin harus dilakukan untuk meningkatkan aliran
darah ke jaringan yang terinfeksi.
8. Terapi Lain
Terapi ajuvan yang sering digunakan dalam pengelolaan UKD ialah terapi
oksigen hiperbarik (TOH). TOH merupakan pemberian oksigen untuk pasien
dengan tekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer normal. Hal ini
menyebabkan peningkatan konsentrasi oksigen dalam darah dan peningkatan
kapasitas difusi jaringan. Tekanan parsial oksigen dalam jaringan yang
meningkat akan merangsang neovaskularisasi dan replikasi fibroblas serta
meningkatkan fagositosis dan leucocyte-mediated killing dari bakteri. Indikasi
pemberian TOH yaitu UKD yang memenuhi kriteria luka derajat 3 dalam
klasifikasi Wagner dan luka yang gagal sembuh setelah 30 hari pengobatan
standar, dan terutama ditujukan pada ulkus kronis dengan iskemia. Penggunaan
granulocyte colony stimulating factors (GCSF) merupakan terapi alternatif yang
masih dalam penelitian. GSCF diketahui dapat meningkatkan aktivitas neutrofil
pada pasien DM. Pemberian suntikan GSCF subkutan selama satu minggu pada
UKD yang disertai infeksi terbukti mempercepat eradikasi kuman,
memperpendek waktu pemberian antibiotik serta menurunkan angka amputasi.
Terapi ajuvan lain dalam pengelolaan UKD yang masih dalam tahap penelitan
yaitu penggunaan faktor pertumbuhan (growth factor therapy) dan
bioengineered tissue. Platelet-derived growth factor becaplermin (PDGF-b,
becaplermin) digunakan untuk merangsang penyembuhan luka dan dianjurkan
pada neuropati kaki diabetes. Pemakaian bahan ini secara topikal dikatakan
efektif dan aman, namun belum terdapat data yang memadai. Produk
bioengineered tissue seperti bioengineered skin (Apligraf) dan human dermis
(Dermagraf) merupakan implan biologik aktif untuk mempercepat
penyembuhan ulkus kronik. Produk bioengineered ini bekerja pada sistem
penghantaran growth factor dan komponen matriks dermal melalui aktifitas
fibroblas yang merangsang pertumbuhan jaringan dan penutupan luka.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Kerusakan Integritas Jaringan
2. Nyeri Akut
3. Defisiensi Pengetahuan
4. Risiko Infeksi

III. RENCANA KEPERAWATAN


No Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
1. Kerusakan Wound Healing: Secondary Wound care
Integritas Intention Aktivitas:
Jaringan Setelah dilakukan tindakan a. Catat karakteristik luka:
keperawatan minimal 7x24 tentukan ukuran dan
jam diharapkan: kedalaman luka, dan
a. Ukuran luka berkurang klasifikasi pengaruh ulcers
b. Peningkatan granulasi b. Catat karakteristik cairan/
jaringan drainase yang keluar
c. Tidak terdapat drainase c. Bersihkan dengan cairan anti
purulen bakteri
d. Tidak terdapat kemerahan d. Bilas dengan cairan NaCl
di kulit sekitar luka 0,9%
e. Tidak terdapat bau busuk e. Lakukan nekrotomi
pada luka f. Lakukan tampon yang sesuai
g. Dressing dengan kasa steril
sesuai kebutuhan
h. Lakukan pembalutan
i. Pertahankan tehnik dressing
steril ketika melakukan
perawatan luka
j. Amati setiap perubahan pada
balutan
k. Bandingkan dan catat setiap
adanya perubahan pada luka
l. Berikan posisi terhindar dari
tekanan
2. Nyeri Akut Pain Control Pain Management
Setelah dilakukan tindakan Aktivitas:
keperawatan minimal 3x24 a. Kaji secara komprehensif
jam pasien mampu untuk: tentang nyeri (lokasi,
a. Mengenal faktor-faktor karakteristik dan onset,
penyebab nyeri durasi, frekuensi, kualitas)
b. Mengenal onset nyeri b. Observasi isyarat-isyarat non
c. Melakukan teknik relaksasi verbal klien terhadap
d. Melaporkan gejala-gejala ketidanyamanan
pada tim kesehatan c. Gunakan komunikasi
e. Mengontrol nyeri terapeutik agar pasien dapat
Pain Level mengekspresikan nyeri
Setelah dilakukan tindakan d. Tentukan dampak dari
keperawatan minimal 3x24 jam ekspansi nyeri terhadap
pasien mampu untuk: kualitas hidup, pola tidur,
a. Melaporkan nyeri nafsu makan, mood,
berkurang pekerjaan, tanggung jawab
b. Melaporkan frekuensi nyeri e. Kaji pengalaman individu
berkurang tentang nyeri
c. Melaporkan lamanya f. Evaluasi tentang keefektifan
episode nyeri berkurang dari tindakan mengontrol
d. Kegelisahan menurun nyeri yang telah digunakan
e. Perubahan RR, TD, HR g. Berikan dukungan terhadap
pasien dan keluarga
h. Ajarkan penggunaan tenik
non farmakologis
i. Tingkatkan istirahat yang
cukup
Analgetik Administration
Aktivitas:
a. Tentukan lokasi nyeri,
karakteristik, kualitas dan
keparahan sebelum
pengobatan.
b. Berikan obat dengan prinsip
5 benar.
c. Cek riwayat alergi obat.
d. Libatkan pasien dalam
pemilihan analgesik yang aan
digunakan.
e. Pilih analgesik secara tepat.
f. Monitor reaksi dan efek
samping obat
Environment Management
Aktivitas:
a. Pilihlah ruangan dengan
lingkungan yang tepat
b. Batasi pengunjung
c. Tentukan hal-hal yang
menyebabkan
ketidaknyamanan pasien
seperti pakaian lembab
d. Sediakan tempat tidur yang
nyaman dan bersih
e. Tentukan temperatur ruangan
yang paling nyaman
f. Sediakan lingkungan yang
tenang
g. Perhatikan hygiene pasien
untuk menjaga kenyamanan
h. Atur posisi pasien yang
membuat nyaman
3. Defisiensi Knowledge: Treatment Teaching: Procedure
Pengetahuan Procedure Treatment
Setelah dilakukan tindakan Aktivitas :
keperawatan minimal 3x24 jam a. Informsikan pada klien atau
pasien mampu untuk: keluarga mengenai kapan dan
a. Memahami prosedur dimana tindakan akan
pengobatan dilakukan
b. Memahami tujuan b. Informsikan pada klien atau
prosedur keluarga mengenai lama
c. Memahami tahapan tindakan akan berlangsung
prosedur c. Informsikan pada klien atau
d. Memahami efek samping keluarga mengenai siapa yang
prosedur akan melakukan tindakan
d. Kaji pengalaman dan tingkat
pengetahuan klien terkait
tindakan yang akan dilakukan
e. Jelaskan tujuan tindakan yang
akan dilakukan.
f. Kenalkan klien pada tenaga
kesehatan yang akan
melakukan tindakan
g. Jelaskan pentingnya beberapa
peralatan beserta fungsinya.
h. Informasikan agar klien ikut
terlibat dalam proses
penyembuhannya.
i. Berikan kesempatan pada
klien untuk bertanya ataupun
mendiskusikan perasaannya.
j. Libatkan keluarga atau orang
terdekat jika memungkinkan
4. Risiko Infeksi Knowledge: Infection Infection Protection
Control Aktivitas:
a. Pantau tanda dan gejala
Setelah dilakukan tindakan
infeksi
perawatan selama minimal
b. Kaji tanda-tanda vital
3x24 jam pasien dapat
c. Kaji dan observasi daerah
mengetahui:
ulkus
a. Cara-cara penyebaran
d. Monitor angka leukosit
infeksi
e. Monitor jika ada infeksi di
b. Faktor-faktor yang
daerah lain
berkontribusi dengan
f. Kolaborasi pemberian
penyebaran
antibiotik: ceftriaxon 2 x 1
c. Tanda-tanda dan gejala
gr IV, metronidazol 3 x
infeksi
500 gr (IV)
d. Aktivitas yang dapat
g. Monitor jumlah
meningatkan resistensi
granulosit, leukosit dan
terhadap infeksi
bandingkan dengan angka
normal.
h. Gunakan sabun
antimikroba untuk cuci
tangan yang sesuai.
i. Gunakan sarung tangan
sesuai universal
precaution
j. Ganti IV line sesuai
aturan yang berlaku.
k. Pastikan perawatan
aseptik pd IV line.
l. Pastikan teknik perawatan
luka secara tepat.
m. Dorong pasien untuk
istirahat.
DAFTAR PUSTAKA

Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. 2013. Nursing


Interventions Classification (NIC) 6th Edition. USA: Elsevier Mosby.

Denekamp, L.J., & Folcarelli, P.H. 2006. Penyakit Pembuluh Darah. Dalam Price SA,
Wilson LM, 2006. Patofisiologi. Volume II. Edisi VI. Jakarta: EGC.

Hariani, L. & Perdanakusuma, D. 2008. Perawatan Ulkus Diabetes. Diakses di


http://journal.unair.ac.id/filerPDF/02.%20Perawatan%20Ulkus%20Diabetes.pdf pada
tanggal 23 Januari 2007.

Hastuti, R.T. 2008. Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika pada Penderita Diabetes Mellitus
(Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta). Tesis. Program Pasca Sarjana,
Universitas Diponegoro.

Herdman, T. H., Kamitsuru, S. 2015. NANDA International Nursing Diagnoses: Definition &
Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blakwell.

Langi, Y. A. 2011. Penatalaksanaan Ulkus Kaki Diabetes Secara Terpadu. Jurnal Biomedik,
3(2): 95-101.

Mahfud, M.U. 2012. Hubungan Perawatan Kaki Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan
Kejadian Ulkus Diabetik di RSUD Dr. Moewardi. Skripsi. Fakultas Kedokteran,
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC) 5th Edition. SA: Elsevier Mosby.

Roza, L., Afriant, R., & Edward, Z. 2015. Faktor Risiko Terjadinya Ulkus Diabetikum pada
Pasien Diabetes Mellitus yang Dirawat Jalan dan Inap di RSUP Dr. M. Djamil dan
RSI Ibnu Sina Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1): 243-248.

Santi, W.H. 2013. Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) For The Management Of
Diabetic Foot Wound. Diakses di
http://journal.unusa.ac.id/index.php/jhs/article/download/24/25 pada tanggal 23
Januari 2017.

Sundari, A., Aulawi, K., & Harjanto, D. 2009. Gambaran Pengetahuan tentang Ulkus
Diabetik dan Perawatan Kaki pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Ilmu
Keperawatan, 4 (3): 181-190.

Waspadji, S. 2002. Kaki Diabetik: Kaitannya dengan Neuropati Diabetik. Dalam:


Djokomoeljanto dkk. 1997. Kaki diabetik Patogenesiss dan Penatalaksanaannya.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Wilkinson, J.M. & Ahern, N.R. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai