PASIEN Tn. S
DENGAN DIAGNOSA MEDIS HIV/AIDS
Di Ruang Melati 2 RSUP SOERADJI TIRTONEGORO
Disusun oleh :
Nama
NIM
: 2520142426
Kelas
: II A
Disusun oleh :
Nama
NIM
: 2520142426
Kelas
: II A
LEMBAR PENGESAHAN
Asuhan Keperawatan pada Tn. S Dengan HIV/AIDS di bangsal Melati 2
RSUP Soeradji Tirtonegoro disusun untuk memenuhi Tugas Asuhan
Keperawatan Individu PKK KMB 2 Semester IV pada :
Hari
: Senin
Tanggal
: 25 April 2016
Tempat
Praktikan,
(........................................................)
Mengetahui,
CI Lahan,
(..............................................)
CI Akademik,
(.............................................)
LAPORAN PENDAHULUAN
HIV/AIDS
A. DEFINISI
1. HIV
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang
termasuk dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan
menggunakan RNA nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA
dan dikenali selama masa inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus
lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik laten), dan
utamanya penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan
beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal ini terjadi
dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasikan
diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit
(Nursalam 2007).
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu
HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi
HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan HIV-2 banyak
ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan
lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah RNA, yang
mereplikasi dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk
menginfeksi sel mamalia (Finch, Moss, Jeffries dan Anderson, 2007 ).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan
AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang
bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah selsel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus (
HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan
bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4
terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus
( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya
kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam
usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan
melakukan pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi
untuk membuat double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam
nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang
permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali
virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh
tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang
menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali
antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi,
menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang
serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah
secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan
menurunnya fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala
(asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat
berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar
200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
D. PATHWAY
E. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2
gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum
terjadi):
1. Gejala mayor:
a.
2. Gejala minor:
a.
b. Dermatitis generalisata
c.
d. Kandidias orofaringeal
e.
f.
Limfadenopati generalisata
Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus
HIV akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat
pengembangan penyakit secara langsung berkorelasi dengan tingkat
RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang tinggi
lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien dengan
tingkat RNA virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi
tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
F. CARA PENULARAN
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang
berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan
air susu ibu (KPA, 2007).
Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual,
kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa
kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu). (Zein, 2006)
1. Seksual
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS,
bernapas dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu
ruangan dengan pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan
maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan
menyebabkan seseorang tertular.
Dari keringat, ludah, air mata, pakaian, telepon, kursi toilet atau melalui
hal-hal sehari-hari seperti berbagi makanan, tidak akan menyebabkan
seseorang tertular.
2. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun
peralatan kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jika seseorang terinfeksi, semakin cepat dia tahu lebih baik. Pasien dapat
tetap sehat lebih lama dengan pengobatan awal dan dapat melindungi orang
lain dengan mencegah transmisi. Tes-tes ini mendeteksi keberadaan virus dan
protein yang menghasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus.
Protein ini yang dikenal sebagai antibodi, biasanya tidak terdeteksi sampai
sekitar 3-6 minggu setelah infeksi awal. Maka jika melakukan tes 3 hingga 6
minggu selepas paparan akan memberi hasil tes yang negatif (Swierzewski,
2010).
Menurut University of California San Francisco (2011), ELISA (enzymelinked immunosorbent assay) adalah salah satu tes yang paling umum
dilakukan untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi HIV. ELISA sensitif
pada infeksi HIV.
kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi, maka
hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu setelah infeksi. Walaupun
hasil tes negatif pada waktu jendela, seseorang itu mempunyai risiko yang
tinggi dalam menularkan infeksi. Jika hasil tes positif, akan dilakukan tes
Western blot sebagai konfirmasi. Tes Western blot adalah diagnosa definitif
dalam mendiagnosa HIV. Di mana protein virus ditampilkan oleh acrylamide
gel electrophoresis, dipindahkan ke kertas nitroselulosa, dan ia bereaksi
dengan serum pasien. Jika terdapat antibodi, maka ia akan berikatan dengan
protein virus terutama dengan protein gp41 dan p24. Kemudian ditambahkan
antibodi yang berlabel secara enzimatis terhadap IgG manusia. Reaksi warna
mengungkapkan adanya antibodi HIV dalam serum pasien yang telah
terinfeksi (Shaw dan Mahoney, 2003) Tes OraQuick adalah tes lain yang
menggunakan sampel darah untuk mendiagnosis infeksi HIV. Hasil tes ini
dapat diperoleh dalam masa 20 menit. Hasil tes positif harus dikonfirmasi
dengan tes Western blot (MacCann, 2008).
Tes ELISA dan Western blot dapat mendeteksi antibodi terhadap virus,
manakala polymerase chain reaction (PCR) mendeteksi virus HIV. Tes ini
dapat mendeteksi HIV bahkan pada orang yang saat ini tidak memproduksi
antibodi terhadap virus. Secara khusus, PCR mendeteksi proviral DNA.
HIV terdiri dari bahan genetik yang dikenal RNA. Proviral DNA adalah
salinan DNA dari RNA virus. PCR digunakan untuk konfirmasi kehadiran
HIV ketika ELISA dan Western blot negatif; dalam beberapa minggu pertama
setelah infeksi, sebelum antibodi dapat dideteksi; jika hasil Western blot tidak
tentu dan pada bayi baru lahir dimana antibodi ibunya merumitkan tes lain
(Swierzewski, 2010).
H. KOMPLIKASI
Komplikasi primer :
1.
2.
3.
4.
I. PENCEGAHAN
Menurut The National Womens Health Information Center (2009), tiga
cara untuk pencegahan HIV/AIDS secara seksual adalah abstinence (A),
artinya tidak melakukan hubungan seks, be faithful (B), artinya dalam
hubungan seksual setia pada satu pasang yang juga setia padanya, penggunaan
kondom (C) pada setiap melakukan hubungan seks. Ketiga cara tersebut
sering disingkat dengan ABC.
Terdapat cara-cara yang efektif untuk motivasikan masyarakat dalam
mengamalkan hubungan seks aman termasuk pemasaran sosial, pendidikan
dan konseling kelompok kecil. Pendidikan seks untuk remaja dapat
mengajarkan mereka tentang hubungan seksual yang aman, dan seks aman.
Pemakaian kondom yang konsisten dan betul dapat mencegah transmisi HIV
(UNAIDS, 2000).
Bagi pengguna narkoba harus mengambil langkah-langkah tertentu untuk
mengurangi risiko tertular HIV, yaitu beralih dari NAPZA yang harus
disuntikkan ke yang dapat diminum secara oral, jangan gunakan atau secara
bergantian menggunakan semprit, air atau alat untuk menyiapkan NAPZA,
selalu gunakan jarum suntik atau semprit baru yang sekali pakai atau jarum
yang secara tepat disterilkan sebelum digunakan kembali, ketika
mempersiapkan NAPZA, gunakan air yang steril atau air bersih dan gunakan
kapas pembersih beralkohol untuk bersihkan tempat suntik sebelum disuntik
(Watters dan Guydish, 1994).
Bagi seorang ibu yang terinfeksi HIV bisa menularkan virus tersebut
kepada bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui.
Seorang ibu dapat mengambil pengobatan antiviral ketika trimester III yang
dapat menghambat transmisi virus dari ibu ke bayi. Seterusnya ketika
melahirkan, obat antiviral diberi kepada ibu dan anak untuk mengurangkan
risiko transmisi HIV yang bisa berlaku ketika proses partus. Selain itu,
seorang ibu dengan HIV akan direkomendasikan untuk memberi susu formula
karena virus ini dapat ditransmisi melalui ASI ( The Nemours Foundation,
1995).
Para pekerja kesehatan hendaknya mengikuti Kewaspadaan Universal
(Universal Precaution) yang meliputi, cara penanganan dan pembuangan
barang-barang tajam , mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan
sesudah dilakukannya semua prosedur, menggunakan alat pelindung seperti
sarung tangan, celemek, jubah, masker dan kacamata pelindung (goggles) saat
harus bersentuhan langsung dengan darah dan cairan tubuh lainnya,
melakukan desinfeksi instrumen kerja dan peralatan yang terkontaminasi dan
penanganan seprei kotor/bernoda secara tepat.Selain itu, darah dan cairan
tubuh lain dari semua orang harus dianggap telah terinfeksi dengan HIV, tanpa
memandang apakah status orang tersebut baru diduga atau sudah diketahui
status HIV-nya (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010-2011).
J. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Obatobatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk
HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang
mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan
dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika
jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau
lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau
lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi
Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut
ini dapat mengunakan:
a.
Lamivudine (3TC)
b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa
persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 23 hari.
Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV
sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan
membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba,
sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
3. Postexposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa
obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling
kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan
HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi
occupational. Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP,
maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang
yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk
memungkinkan orang tersebut mengerti obatobatan, keperluan untuk
mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan
memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk
PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC
telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai
bagian dari PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati.
Sesudah terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu
dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk
mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka
keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak
merekomendasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS
sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan
efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak
aman.
4. Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi
untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula
kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang
terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong respon imun
anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda
onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat
bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan tidak
tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi
primer (Brooks, 2005).
5. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi
yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi
penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan
perawatan kritis.
K. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
L.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
M. INTERVENSI KEPERAWATAN
N
O
1.
DIAGNOSA
TUJUAN
INTERVENSI
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
perhatikan lokasi,
tanda-tanda perkembangan
komplikasi.
nonverbal misalnya
gelisah.
RASIONAL
gelisah, takikardia,
nyeri.
2. Menunjukkan ekspresi -
meringis.
Instruksikan pasien untuk
wajah tenang.
3. Dapat istirahat/tidur
menggunakan visualisasi
Mengindikasikan kebutuhan
dengan adekuat.
dalam.
Motivasi pengungkapan
perasaan.
-
sakit.
Memberikan penurunan
nyeri/tidak nyaman,
mengurangi demam. Obat
untuk memberikan
mempertahankan kadar
analgesia 24 jam.
kelebihan obat-obatan.
Meningkatkan relaksasi atau
menurunkan tegangan otot.
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
mengunyah, perasakan
esophagus dapat
dan menelan.
menyebabkan disfagia,
kriteria hasil :
Ketidakseimbangan nutrisi
1. Menunjukkan
peningkatan berat
badan.
2. Nafsu makan pasien
makan.
Hopermotilitas saluran
intestinal umum terjadi dan
dihubungkan dengan muntah
kembali normal.
3. Tidak ada tanda-tanda
malnutrisi
4. Berat badan ideal
memungkinakan sarankan
badan.
pemasukan. Memenuhi
meningkatkan pemasukan.
nafsu makan.
Batasi makanan yang
menyebabkan mual atau
muntah. Hindari
menghidangkan makanan
yang panas dan yang
meningkatakan pemasukan
makanan.
Mengindikasikan status nutrisi
dan fungsi organ, dan
albumin.
Berikan obat anti emetic
mengidentifikasi kebutuhan
misalnya metoklopramid.
pengganti.
3.
gaster
Mempertahankan
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
keseimbangan cairan,
melembabkan membrane
kekurangan volume
mukosa.
Meningkatkan pemasukan
pada mulut.
BJ urine normal, HT
menggantikan elektrolit
1. Mempertahankan
normal.
2. Tekanan darah, nadi,
suhu tubuh dalam
batas normal.
3. Tidak ada tanda-tanda
dehidrasi, elastisitas
turgor kulit baik.
Gatorade.
Kaji turgor kulit,
rasa haus.
Hilangakan makanan yang
potensial menyebabkan
diare, yakni yang pedas,
berkadar lemak tinggi,
kacang, kubis, susu.
Mengatur kecepatan atau
konsentrasi makanan yang
diberikan berselang jika
dibutuhkan.
4.
diare misalnya
ddifenoksilat (lomotil),
loperamid Imodium,
peristaltis.
paregoric.
Kaji pola tidur dan catat
Intoleransi aktivitas
Setelah dilakukan
berhubungan dengan
tindakan keperawatan
meningkatkan kelelahan,
penurunan produksi
diharapkan intoleransi
ketidakmampuan untuk
1. berpartisipasi dalam
Rencanakan perawatan
diinginkan dalam
ketidakseimbangan
tingkat
berenergi
kemampuannya.
2. Mampu melakukan
aktivitas sehari-hari
dengan mandiri,
3. Tanda-tanda vital
efeksamping obat-obatan
Periode istirahat yang sering
sangat yang dibutuhkan dalam
aktivitas yang
berkonsentrasi.
mempertahankan rutinitas
kemampuan untuk
diri.
Memungkinkan penghematan
normal.
mungkin, misalnya
rasa frustasi.
Toleransi bervariasi
makan
Pantau respon psikologis
penyakit.
Latihan setiap hari terprogram
dan aktifitas yang membantu
pasien mempertahankan atau
meningkatkan kekuatan dan
tonus otot.
DAFTAR PUSTAKA