Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN Tn. S
DENGAN DIAGNOSA MEDIS HIV/AIDS
Di Ruang Melati 2 RSUP SOERADJI TIRTONEGORO

Disusun oleh :
Nama

: Anisa Risky Wulandari

NIM

: 2520142426

Kelas

: II A

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2016

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN Tn.


S
DENGAN HIV/AIDS
Di Ruang Melati 2 RSUP SOERADJI TIRTONEGORO

Disusun oleh :
Nama

: Anisa Risky Wulandari

NIM

: 2520142426

Kelas

: II A

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2016

LEMBAR PENGESAHAN
Asuhan Keperawatan pada Tn. S Dengan HIV/AIDS di bangsal Melati 2
RSUP Soeradji Tirtonegoro disusun untuk memenuhi Tugas Asuhan
Keperawatan Individu PKK KMB 2 Semester IV pada :
Hari

: Senin

Tanggal

: 25 April 2016

Tempat

: RSUP Soeradji Tirtonegoro

Praktikan,

(........................................................)

Mengetahui,

CI Lahan,

(..............................................)

CI Akademik,

(.............................................)

LAPORAN PENDAHULUAN
HIV/AIDS

A. DEFINISI
1. HIV
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang
termasuk dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan
menggunakan RNA nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA
dan dikenali selama masa inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus
lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik laten), dan
utamanya penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan
beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal ini terjadi
dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasikan
diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit
(Nursalam 2007).
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu
HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi
HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan HIV-2 banyak
ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan
lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah RNA, yang
mereplikasi dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk
menginfeksi sel mamalia (Finch, Moss, Jeffries dan Anderson, 2007 ).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan
AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang
bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang

seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh


manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4
berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem
kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai
CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus
bisa sampai nol) (KPA, 2007).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau
retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang
tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel
mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara
lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masingmasing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe
secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup
tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di
seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup
dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh
ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan
AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus,
bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan
infeksi oportunistik (Zein, 2006).
2. AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,
yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan
tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai
kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus,
dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh
ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim,
2006).
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler
pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat
menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat

supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya


(Laurentz, 2005).
AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome
dan menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan
menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV
(Brooks, 2009). Virus HIV ini akan menyerang sel-sel sistem imun
manusia, yaitu sel T dan sel CD4 yang berperan dalam melawan infeksi
dan penyakit dalam tubuh manusia. Virus HIV akan menginvasi sel-sel ini,
dan menggunakan mereka untuk mereplikasi lalu menghancurkannya.
Sehingga pada suatu tahap, tubuh manusia tidak dapat lagi mengatasi
infeksi akibat berkurangnya sel CD4 dan rentan terhadap berbagai jenis
penyakit lain. Seseorang didiagnosa mengalami AIDS apabila sistem
pertahanan tubuh terlalu lemah untuk melawan infeksi, di mana infeksi
HIV pada tahap lanjut (AVERT, 2011).
B. ETIOLOGI
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab
AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae.
Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang
berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang
dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6
gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis
penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam
transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional
dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk
menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi
protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas
dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag,
yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).
C. PATOFISIOLOGI

Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah selsel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus (
HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan
bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4
terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus
( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya
kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam
usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan
melakukan pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi
untuk membuat double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam
nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang
permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali
virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh
tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang
menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali
antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi,
menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang
serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah
secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan
menurunnya fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala
(asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat
berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar
200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.

Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster


dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat
timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya
terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila
jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi
opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.

D. PATHWAY

E. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2
gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum
terjadi):
1. Gejala mayor:
a.

Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan

b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan


c.

Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan

d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis


e.

Demensia/ HIV ensefalopati

2. Gejala minor:
a.

Batuk menetap lebih dari 1 bulan

b. Dermatitis generalisata
c.

Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang

d. Kandidias orofaringeal
e.

Herpes simpleks kronis progresif

f.

Limfadenopati generalisata

g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita


h. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research
(MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
1. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda
infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam,
sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah
bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS
dapat menularkan virus kepada orang lain.
2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau
lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel
imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang
kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala
yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan
pendek.
3. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan
berakhir pada penyakit yang disebut AIDS. Gejala Minor
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat
dibagikan mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6
minggu selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul
adalah demam, faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia,
letargi, malaise, anorexia, penurunan berat badan, mual, muntah,

diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy,


mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash.
Gejala-gejala ini muncul bersama dengan ledakan plasma viremia.
Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan mialgia jarang terjadi jika
seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba daripada kontak
seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat
respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita
HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh
sendiri.
2.

Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus
HIV akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat
pengembangan penyakit secara langsung berkorelasi dengan tingkat
RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang tinggi
lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien dengan
tingkat RNA virus HIV yang rendah.

3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi
tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
F. CARA PENULARAN
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang
berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan
air susu ibu (KPA, 2007).
Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual,
kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa
kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu). (Zein, 2006)
1. Seksual

Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan


dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat
terjadi selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan
laki-laki. Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal
(anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi
vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan
virus HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau
tertusuk ke dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti
jarum tato atau pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga
terjadi ketika melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai
kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya
dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda
tersebut disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke anak
7. Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung,
dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
8. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas
laboratorium.
Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif,
yaitu pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja
dengan spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda
tajam (Fauci, 2000).
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan
infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja
pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas
HIV (Fauci, 2000). Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana
HIV tidak dapat ditularkan antara lain:

1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS,
bernapas dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu
ruangan dengan pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan
maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan
menyebabkan seseorang tertular.
Dari keringat, ludah, air mata, pakaian, telepon, kursi toilet atau melalui
hal-hal sehari-hari seperti berbagi makanan, tidak akan menyebabkan
seseorang tertular.
2. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun
peralatan kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jika seseorang terinfeksi, semakin cepat dia tahu lebih baik. Pasien dapat
tetap sehat lebih lama dengan pengobatan awal dan dapat melindungi orang
lain dengan mencegah transmisi. Tes-tes ini mendeteksi keberadaan virus dan
protein yang menghasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus.
Protein ini yang dikenal sebagai antibodi, biasanya tidak terdeteksi sampai
sekitar 3-6 minggu setelah infeksi awal. Maka jika melakukan tes 3 hingga 6
minggu selepas paparan akan memberi hasil tes yang negatif (Swierzewski,
2010).
Menurut University of California San Francisco (2011), ELISA (enzymelinked immunosorbent assay) adalah salah satu tes yang paling umum
dilakukan untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi HIV. ELISA sensitif
pada infeksi HIV.

kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi, maka
hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu setelah infeksi. Walaupun
hasil tes negatif pada waktu jendela, seseorang itu mempunyai risiko yang
tinggi dalam menularkan infeksi. Jika hasil tes positif, akan dilakukan tes
Western blot sebagai konfirmasi. Tes Western blot adalah diagnosa definitif
dalam mendiagnosa HIV. Di mana protein virus ditampilkan oleh acrylamide
gel electrophoresis, dipindahkan ke kertas nitroselulosa, dan ia bereaksi
dengan serum pasien. Jika terdapat antibodi, maka ia akan berikatan dengan
protein virus terutama dengan protein gp41 dan p24. Kemudian ditambahkan
antibodi yang berlabel secara enzimatis terhadap IgG manusia. Reaksi warna
mengungkapkan adanya antibodi HIV dalam serum pasien yang telah
terinfeksi (Shaw dan Mahoney, 2003) Tes OraQuick adalah tes lain yang
menggunakan sampel darah untuk mendiagnosis infeksi HIV. Hasil tes ini
dapat diperoleh dalam masa 20 menit. Hasil tes positif harus dikonfirmasi
dengan tes Western blot (MacCann, 2008).
Tes ELISA dan Western blot dapat mendeteksi antibodi terhadap virus,
manakala polymerase chain reaction (PCR) mendeteksi virus HIV. Tes ini
dapat mendeteksi HIV bahkan pada orang yang saat ini tidak memproduksi
antibodi terhadap virus. Secara khusus, PCR mendeteksi proviral DNA.
HIV terdiri dari bahan genetik yang dikenal RNA. Proviral DNA adalah
salinan DNA dari RNA virus. PCR digunakan untuk konfirmasi kehadiran
HIV ketika ELISA dan Western blot negatif; dalam beberapa minggu pertama
setelah infeksi, sebelum antibodi dapat dideteksi; jika hasil Western blot tidak
tentu dan pada bayi baru lahir dimana antibodi ibunya merumitkan tes lain
(Swierzewski, 2010).
H. KOMPLIKASI
Komplikasi primer :
1.
2.
3.
4.

MCMD (Minor Cognitive Motor Disorder


Neurobiologi (meningitis, mylopati, neuropati )
Infeksi (toxoplasmosis, ensefalitis, cytomegalovirus/CMV
Leikoencepalopati multifoksl progresif (neoplasma dan delirium)

I. PENCEGAHAN
Menurut The National Womens Health Information Center (2009), tiga
cara untuk pencegahan HIV/AIDS secara seksual adalah abstinence (A),
artinya tidak melakukan hubungan seks, be faithful (B), artinya dalam
hubungan seksual setia pada satu pasang yang juga setia padanya, penggunaan
kondom (C) pada setiap melakukan hubungan seks. Ketiga cara tersebut
sering disingkat dengan ABC.
Terdapat cara-cara yang efektif untuk motivasikan masyarakat dalam
mengamalkan hubungan seks aman termasuk pemasaran sosial, pendidikan
dan konseling kelompok kecil. Pendidikan seks untuk remaja dapat
mengajarkan mereka tentang hubungan seksual yang aman, dan seks aman.
Pemakaian kondom yang konsisten dan betul dapat mencegah transmisi HIV
(UNAIDS, 2000).
Bagi pengguna narkoba harus mengambil langkah-langkah tertentu untuk
mengurangi risiko tertular HIV, yaitu beralih dari NAPZA yang harus
disuntikkan ke yang dapat diminum secara oral, jangan gunakan atau secara
bergantian menggunakan semprit, air atau alat untuk menyiapkan NAPZA,
selalu gunakan jarum suntik atau semprit baru yang sekali pakai atau jarum
yang secara tepat disterilkan sebelum digunakan kembali, ketika
mempersiapkan NAPZA, gunakan air yang steril atau air bersih dan gunakan
kapas pembersih beralkohol untuk bersihkan tempat suntik sebelum disuntik
(Watters dan Guydish, 1994).
Bagi seorang ibu yang terinfeksi HIV bisa menularkan virus tersebut
kepada bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui.
Seorang ibu dapat mengambil pengobatan antiviral ketika trimester III yang
dapat menghambat transmisi virus dari ibu ke bayi. Seterusnya ketika
melahirkan, obat antiviral diberi kepada ibu dan anak untuk mengurangkan
risiko transmisi HIV yang bisa berlaku ketika proses partus. Selain itu,
seorang ibu dengan HIV akan direkomendasikan untuk memberi susu formula

karena virus ini dapat ditransmisi melalui ASI ( The Nemours Foundation,
1995).
Para pekerja kesehatan hendaknya mengikuti Kewaspadaan Universal
(Universal Precaution) yang meliputi, cara penanganan dan pembuangan
barang-barang tajam , mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan
sesudah dilakukannya semua prosedur, menggunakan alat pelindung seperti
sarung tangan, celemek, jubah, masker dan kacamata pelindung (goggles) saat
harus bersentuhan langsung dengan darah dan cairan tubuh lainnya,
melakukan desinfeksi instrumen kerja dan peralatan yang terkontaminasi dan
penanganan seprei kotor/bernoda secara tepat.Selain itu, darah dan cairan
tubuh lain dari semua orang harus dianggap telah terinfeksi dengan HIV, tanpa
memandang apakah status orang tersebut baru diduga atau sudah diketahui
status HIV-nya (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010-2011).
J. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Obatobatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk
HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang
mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan
dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika
jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau
lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau
lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi
Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut
ini dapat mengunakan:
a.

Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'),


mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam
mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA

(contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).


b. Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's)
memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan
reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut

sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan


kedalam selsel. Obatobatan NNRTI termasuk: Nevirapine,
c.

delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).


Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan
menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada
sel tuan rumah dan dilepaskan.

2. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang


mengidap HIV(+) dapatmenularkan HIV kepada bayinya selama masa
kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari
intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita
yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kirakira 25%35%. Dua pilihan
pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke
anak. Obatobatan tersebut adalah:
a.

Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang


dari 1428 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan
bahwa hal ini menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu
rangkaian pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36
minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai
pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki
pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan

Lamivudine (3TC)
b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa
persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 23 hari.
Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV
sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan
membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba,
sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
3. Postexposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa
obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling
kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan
HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi
occupational. Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP,

maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang
yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk
memungkinkan orang tersebut mengerti obatobatan, keperluan untuk
mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan
memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk
PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC
telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai
bagian dari PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati.
Sesudah terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu
dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk
mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka
keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak
merekomendasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS
sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan
efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak
aman.
4. Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi
untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula
kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang
terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong respon imun
anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda
onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat
bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan tidak
tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi
primer (Brooks, 2005).
5. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi
yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi
penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan
perawatan kritis.
K. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

1. Riwayat : Tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan


obat-obat.
2. Penampilan umum : pucat dan kelaparan
3. Gejala Subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat
malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, dan
sulit tidur.
4. Kepala: Sakit kepala, edem muka, ulser pada bibir atau mulut, mulut
kering, suara berubah, epsitaksis.
5. Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo,
ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia.
6. Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan
ADL.
7. Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi.
8. Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, menggunakan otot bantu
pernapasan, batuk produktif atau non produktif.
9. GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun,
diare, inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
10. Genital : lesi atau eksudat pada genital.
11. Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.

L.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :

1. Nyeri b.d agen injury biologis


2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d
ketidakmampuan pemasukan atau mencerna makanan atau mengabsorpsi
zat-zat gizi berhubungan dengan faktor biologis, psikologis
3. Resiko kekurangan volume cairan b.d diare berat
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan produksi
metabolisme

M. INTERVENSI KEPERAWATAN
N
O
1.

DIAGNOSA

TUJUAN

INTERVENSI

Nyeri berhubungan dengan

Setelah dilakukan

inflamasi/ kerusakan jaringan

tindakan keperawatan

perhatikan lokasi,

untuk intervensi dan juga

ditandai dengan keluhan nyeri,

selama 3x24 jam

intensitas, frekuensi dan

tanda-tanda perkembangan

perubahan denyut nadi, kejang

diharapkan nyeri hilang

waktu. Tandai gejala

komplikasi.

otot, ataksia, lemah otot dan

dengan kriteria hasil :

nonverbal misalnya

gelisah.

Kaji keluhan nyeri,

RASIONAL

1. Pasien tidak mengeluh

gelisah, takikardia,

nyeri.
2. Menunjukkan ekspresi -

meringis.
Instruksikan pasien untuk

wajah tenang.
3. Dapat istirahat/tidur

menggunakan visualisasi

Mengindikasikan kebutuhan

Meningkatkan relaksasi dan


perasaan sehat.

atau imajinasi, relaksasi

dengan adekuat.

progresif, teknik nafas


-

dan rasa sakit, sehingga

dalam.
Motivasi pengungkapan

persepsi akan intensitas rasa

perasaan.
-

Berikan analgesik atau


antipiretik narkotik.

Dapat mengurangi ansietas

sakit.
Memberikan penurunan
nyeri/tidak nyaman,
mengurangi demam. Obat

Gunakan ADP (analgesic

yang dikontrol pasien

yang dikontrol pasien)

berdasar waktu 24 jam dapat

untuk memberikan

mempertahankan kadar

analgesia 24 jam.

analgesia darah tetap stabil,


mencegah kekurangan atau

Lakukan tindakan paliatif

misal pengubahan posisi,

kelebihan obat-obatan.
Meningkatkan relaksasi atau
menurunkan tegangan otot.

masase, rentang gerak


2.

Setelah dilakukan

kurang dari kebutuhan tubuh

tindakan keperawatan

mengunyah, perasakan

esophagus dapat

berhubungan dengan gangguan

selama 3x24 jam

dan menelan.

menyebabkan disfagia,

intestinal ditandai dengan

diharapkan berat badan

penurunan kemampuan pasien

penurunan berat badan,

kembali normal dengan

untuk mengolah makanan dan

penurunan nafsu makan,

kriteria hasil :

kejang perut, bising usus


hiperaktif, keengganan untuk
makan, peradangan rongga
bukal.

pada sendi yang sakit.


Kaji kemampuan untuk

Ketidakseimbangan nutrisi

mengurangi keinginan untuk

Auskultasi bising usus

1. Menunjukkan
peningkatan berat
badan.
2. Nafsu makan pasien

Lesi mulut, tenggorok dan

makan.
Hopermotilitas saluran
intestinal umum terjadi dan
dihubungkan dengan muntah

kembali normal.
3. Tidak ada tanda-tanda
malnutrisi
4. Berat badan ideal

Rencanakan diet dengan

dan diare, yang dapat

orang terdekat, jika

mempengaruhi pilihan diet

memungkinakan sarankan

atau cara makan.


Melibatkan orang terdekat

makanan dari rumah.

sesuai dengan tinggi

dalam rencana member

Sediakan makanan yang

badan.

perasaan control lingkungan

sedikit tapi sering berupa

dan mungkin meningkatkan

makanan padat nutrisi,

pemasukan. Memenuhi

tidak bersifat asam dan

kebutuhan akan makanan

juga minuman dengan

nonistitusional mungkin juga

pilihan yang disukai

meningkatkan pemasukan.

pasien. Dorong konsumsi


makanan berkalori tinggi
yang dapat merangsang
-

nafsu makan.
Batasi makanan yang
menyebabkan mual atau
muntah. Hindari
menghidangkan makanan
yang panas dan yang

Rasa sakit pada mulut atau


ketakutan akan mengiritasi

susah untuk ditelan.

lesi pada mulut mungkin akan


menyebabakan pasien enggan
untuk makan. Tindakan ini

Tinjau ulang pemerikasaan

akan berguna untuk

laboratorium, misal BUN,

meningkatakan pemasukan

Glukosa, fungsi hepar,


elektrolit, protein, dan
-

makanan.
Mengindikasikan status nutrisi
dan fungsi organ, dan

albumin.
Berikan obat anti emetic

mengidentifikasi kebutuhan

misalnya metoklopramid.

pengganti.

Mengurangi insiden muntah


dan meningkatkan fungsi

3.

Pantau pemasukan oral

gaster
Mempertahankan

Resiko tinggi kekurangan

Setelah dilakukan

volume cairan berhubungan

tindakan keperawatan

dan pemasukan cairan

keseimbangan cairan,

dengan diare berat

selama 3x24 jam

sedikitnya 2.500 ml/hari.

mengurangi rasa haus dan

diharapkan resiko tinggi

melembabkan membrane

kekurangan volume

mukosa.

cairan tidak terjadi

dengan kriteria hasil :

Buat cairan mudah

Meningkatkan pemasukan

diberikan pada pasien;

cairan tertentu mungkin

gunakan cairan yang

terlalu menimbulkan nyeri

urine output sesuai

mudah ditoleransi oleh

untuk dikomsumsi karena lesi

dengan usia dan BB,

pasien dan yang

pada mulut.

BJ urine normal, HT

menggantikan elektrolit

1. Mempertahankan

normal.
2. Tekanan darah, nadi,
suhu tubuh dalam

yang dibutuhkan, misalnya


-

batas normal.
3. Tidak ada tanda-tanda
dehidrasi, elastisitas
turgor kulit baik.

Gatorade.
Kaji turgor kulit,

membrane mukosa dan


-

Indicator tidak langsung dari


status cairan.

rasa haus.
Hilangakan makanan yang
potensial menyebabkan
diare, yakni yang pedas,
berkadar lemak tinggi,
kacang, kubis, susu.
Mengatur kecepatan atau
konsentrasi makanan yang
diberikan berselang jika
dibutuhkan.

Mungkin dapat mengurangi


diare

4.

Menurunkan jumlah dan

diare misalnya

keenceran feses, mungkin

ddifenoksilat (lomotil),

mengurangi kejang usus dan

loperamid Imodium,

peristaltis.

paregoric.
Kaji pola tidur dan catat

Intoleransi aktivitas

Setelah dilakukan

berhubungan dengan

tindakan keperawatan

perunahan dalam proses

meningkatkan kelelahan,

penurunan produksi

selama 3x24 jam

berpikir atau berperilaku

termasuk kurang tidur,

metabolisme ditandai dengan

diharapkan intoleransi

kekurangan energy yang tidak

aktivitas dapat teratasi

berubah atau berlebihan,

dengan kriteria hasil :

ketidakmampuan untuk

1. berpartisipasi dalam

Berikan obat-obatan anti

Rencanakan perawatan

istirahat. Atur aktifitas

sehari-hari, kelesuan, dan

diinginkan dalam

pada waktu pasien sangat

ketidakseimbangan

tingkat

berenergi

memperbaiki atau menghemat


energi. Perencanaan akan
membuat pasien menjadi aktif
saat energy lebih tinggi,

kemampuannya.
2. Mampu melakukan

sehingga dapat memperbaiki

aktivitas sehari-hari
dengan mandiri,
3. Tanda-tanda vital

efeksamping obat-obatan
Periode istirahat yang sering
sangat yang dibutuhkan dalam

untuk menyediakan fase

aktivitas yang

berkonsentrasi.

Berbagai factor dapat

tekanan emosi, dan

mempertahankan rutinitas

kemampuan untuk

perasaan sehat dan control


-

diri.
Memungkinkan penghematan

normal.

Dorong pasien untuk

energy, peningkatan stamina,

melakukan apapun yang

dan mengijinkan pasien untuk

mungkin, misalnya

lebih aktif tanpa

perawatan diri, duduk

menyebabkan kepenatan dan

dikursi, berjalan, pergi

rasa frustasi.
Toleransi bervariasi

makan
Pantau respon psikologis

tergantung pada status proses

terhadap aktifitas, misal

penyakit, status nutrisi,

perubahan TD, frekuensi

keseimbangan cairan, dan tipe

pernafasan atau jantung


-

Rujuk pada terapi fisik


atau okupasi

penyakit.
Latihan setiap hari terprogram
dan aktifitas yang membantu
pasien mempertahankan atau
meningkatkan kekuatan dan
tonus otot.

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran . Jakarta : Media Sculapius


Marilyn , Doenges , dkk . 1999 . Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien . Jakarta : EGC
Price , Sylvia A dan Lorraine M.Wilson . 2005 . Patofissiologis Konsep Klinis
Proses Proses Penyakit . Jakarta : EGC
UGI.2012.Diet Penyakit HIV/AIDS,(Online),(http://ugiuntukgiziindonesia.
blogspot.com/2012/05/diet-penyakit-hivaids.html, diakses 20 Oktober 2012)

Anda mungkin juga menyukai