Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

Untuk memenuhi laporan profesi di Departemen Medical


Ruang 28 RSSA Malang

Miftakhul Jannah
180070300111019
Kelompok 3A

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
LAPORAN PENDAHULUAN

SLE (SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS)

A. Anatomi Fisiologi
Imunologi adalah suatu ilmu yang mempelajari antigen, antibody, dan fungsi
pertahanan tubuh penjamu yang diperantarai oleh sel, terutama berhubungan imunitas
terhadap penyakit, reaksi biologis hipersensitif, alergi dan penolakan jaringan.
Sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi
dari makromolekul asing atau serangan organism, termasuk virus, bakteri, protozoa dan
parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh molekul
lain seperti yang terjadi pada autoimunitas dan melawan sel yang teraberasi menjadi
tumor
Letak sistem imun

Fungsi sistem imun


1. Sumsum
Semua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel induk dalam sumsum tulang.
Sumsum tulang adalah tempat asal sel darah merah, sel darah putih, (termasuk limfosit
dan makrofag) dan platelet. Sel-sel dari sistem kekebalan tubuh juga terdapat di
tempat lain.
2. Thymus
Glandula thymus memproduksi dan mematurasi/mematangkan T limfosit yang
kemudian bergerak ke jaringan limfatik yang lain, dimana T limfosit dapat berrespon
terhadap benda asing. Thymus mensekresi 2 hormon thymopoetin dan thymosin yang
menstimulasi perkembangan dan aktivitas T limfosit.
a. Limfosit T sitotoksik
Limfosit yang berperan dan imunitas yang diperantarai sel. Sel T sitotoksik
memonitor sel di dalam tubuh dan menjadi aktif bila menjumpai sel dengan
antigen permukaan yang abnormal. Bila telah aktif sel T sitotoksik menghancurkan
sel abnormal.
b. Limfosit T helper
Limfosit yang dapat meningkatkan respon sistem imun normal. Ketika distimulasi
oleh antigen presenting sel seperti makrofag, T helper melepas faktor yang
menstimulasi proliferasi sel B limfosit.
c. Limfosit B
Tipe sel darah putih atau leukosit penting untuk imunitas yang diperantarai
antibody/humoral. Ketika di stimulasi oleh antigen spesifik limfosit B akan
berubah menjadi sel memori dan sel plasma yang memproduksi antibody.
d. Sel plasma
Klon limfosit dari sel B yang terstimulasi. Plasma sel berbeda dari limfosit lain,
memiliki reticulum endoplamik kasar dalam jumlah yang banyak, aktif
memproduksi antibody.
3. Getah bening
Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di sepanjang perlanan
limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, axillae, selangkangan, dan para-
aorta daerah.
4. Nodus limfatikus
Nodus limfatikus (limfonodi) terletak sepanjang sistem limfatik. Nodus limfatikus
mengandung limfosit dalam jumlah banyak dan makrofag yang berperan melawan
mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Limfe bergerak melalui sinus, sel
fagosit menghilangkan benda asing. Pusat germinal merupakan produksi limfosit.
5. Tonsil
Tonsil adalah sekumpulan besar limfonodi terletak pada rongga mulut dan nasofaring.
Tiga kelompok tonsil adalah tonsil palatine, tonsil lingual dan tonsil pharyngeal.
6. Limpa/spleen
Limpa mendeteksi dan merespon terhadap benda asing dalam darah, merusak eritrosit
dan sebagi penyimpan darah. Parenkim limpa terdiri dari 2 tipe jaringan yaitu pulpa
merah dan pulpa putih.
a. Pulpa merah terdiri dari sinus dan di dalamnya terisi eritrosit.
b. Pulpa putih terdiri dari limfosit dan makrofag.
Benda asing di dalam darah yang melalui pulpa putih dapat menstimulasi limfosit.

B. Definisi

SLE merupakan penyakit autoimun kronik yang akan berpengaruh pada sistem organ
tubuh dan biasanya autoantibodi bersirkulasi terhadap beberapa komponen sel yang dapat
mengakibatkan peradangan yang menyebar secara luas, deposisi kompleks dan vaskulitis
(Kim dan Mahon, 2013).

Rasidah (2015) mengatakan bahwa SLE terjadi karena sistem kekebalan tubuh yang
bereaksi secara tidak terkendali sehingga mengakibatkan peradangan pada sistem ogan dan
jaringan. Pada orang normal antibodi dan sel darah putih berfungsi untuk melindungi tubuh
dari serangan virus, kuman dan bakteri, namun sebaliknya pada penderita SLE sistem imun
justru menyerang ke organ-organ yang normal sehingga fungsinya terganggu.

C. Epidemiologi
Menurut Syamsi Dhuha Foundation tahun 2017, angka kejadian SLE di dunia yaitu
sekitar 5 juta penyandang dengan setiap tahunnya bertambah 100.000 kasus baru. Di Asia
rata-rata angka kejadian SLE yaitu sekitar 1-25 kesakitan per 100.000 penduduk (Pons et
al., 2010). Jumlah penderita SLE di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun
diperkirakan mencapai 1,5 juta orang (Kemenkes, 2017). Pada tahun 2016, rata-rata angka
kejadian kasus baru SLE di rumah sakit Saiful Anwar Malang sejumlah 14,5%
(Perhimpunan SLE Indonesia, 2017). Sedangkan di kota Malang pada tahun 2017 jumlah
penderita SLE yaitu sekitar 350 orang yang tersebar di kota Malang dan sekitarnya
(Yayasan Kupu Parahita Indonesia, 2017).

D. Etiologi
Menurut Kim dan Mahon tahun 2013, etiologi SLE tidak diketahui, namun ada

faktor-faktor penyebab yaitu gender, genetik, etnis, hormonal, dan lingkungan.

Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia tahun 2016 faktor penyebab SLE

sebagai berikut:

1. Faktor Lingkungan

a. Paparan Cahaya Matahari

Pada penderita SLE jika sering terpapar sinar matahari secara langsung

maka akan menyebabkan kekambuhan atau bertambah berat. Hal ini akan

menyebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga akan

terjadi peradangan sistemik melalui peredaran darah.

b. Stres

Ketika penderita SLE mengalami stres berat maka akan memperberat

kondisinya. Hal ini terjadi karena respon imun tubuh akan terganggu. Namun stres

tidak akan menyebabkan SLE pada orang yang memiliki autoantibodinya normal.

c. Infeksi

Penyebab infeksi dalam hal ini adalah virus dan bakteri yaitu Epstein Barr

Virus (EBV), Streptococcus, Clebsiella, Rubella dan Cikungunya. Hal tersebut

terjadi karena ketika seseorang sudah pernah terkenan infeksi maka dapat

mengakibatkan adanya penyakit SLE.

d. Penggunaan Obat-obatan

Dalam hal ini adalah obat-obatan yang diminum dalam jangka waktu lama

seperti isoniazid, hydralazine, procainamide, metildopa, captopril, klorpromazine

yang dapat meningkatkan angka kejadian SLE.

2. Faktor Genetik

Genetik sangat berperan penting dalam penyebab SLE. Namun tidak semua

orang yang kecenderungan genetik akan menderita SLE. Biasanya hanya sekitar 10%
penderita SLE mempunyai orang tua atau saudara kembar yang menderita SLE.

Menurut Alexis tahun 2013, faktor penyebab dari SLE yaitu:

a. Hormonal

Ketika hormon dalam tubuh mengalami peningkatan maka dapat memicu

terjadinya SLE. Hal ini diakibatkan karena metabolisme estrogen yang abnormal

dapat dipertimbangkan sebagai faktor terjadinya SLE.

b. Imunologi

1) Antigen

Pengalihan informasi normal dalam tubuh tidak dapat dikenali karena

reseptor yang berada di permukaan sel T struktur dan fungsinya mengalami

perubahan. Hal tersebut yang dapat menyebabkan reseptor yang telah berubah

di permukaan sel T akan salah mengenali perintahnya.

2) Kelainan Instrinsik Sel T dan Sel B

Produksi imunoglobin dan autoantibodi abnormal karena sel T dan sel B

mengalami apoptosis.

3) Kelainan Antibodi

Substrat antibodi yang terlalu banyak akan menyebabkan idiotipe dikenali

sebagai antigen dan memicu limfosit T memproduksi autoantibodi. Sel T

akan mempengaruhi peningkatan produksi autoantibodi dan kompleks imun

akan lebih mudah mengendap pada jaringan.

E. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan

peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh

kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan

penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,

luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,


klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah

alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada

SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor

yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.

Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan

siklus tersebut berulang kembali.

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan


peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti
kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-
obatan.
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa
faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan
menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen. Sebagai akibatnya munculah sel T
autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi
autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas.
Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan
berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon
dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk
agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein
(RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan
komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-
nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun
yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada
SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun
Uptake  kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun
ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang
menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah
yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan
seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting
dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan
normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

F. Manifestasi Klinis
Menurut National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases tahun 2014,
menyebutkan manifestasi SLE adalah sebagai berikut:
1. Nyeri atau bengkak pada sendi
2. Nyeri otot
3. Demam tanpa penyebab yang diketahui
4. Ruam kemerahan diwajah
5. Nyeri dada ketika nafas dalam
6. Rambut rontok
7. Jari-jari pucat atau ungu
8. Sensitiv terhadap cahaya matahari
9. Pembengkakan di kaki dan sekitar mata
10. Ulkus mulut
11. Pembengkakan pada kelenjar
12. Kelelahan
13. Anemia (penurunan sel darah merah)
14. Sakit kepala
15. Kebingungan dan merasa sedih.

G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Rasidah tahun 2015, penderita SLE perlu melakukan pemeriksaan yaitu

sebagai berikut:

1. Tes Darah Lengkap


Hitung jenis yang akan memperlihatkan adanya anemia dan jumlah sel darah

putih yang mengalami penurunan.

2. Tes Urinalisis

Hasil dari tes ini akan menunjukkan adanya sel darah merah dan sel darah

putih silinder, sedimen urine dan kehilangan protein yang khas.

3. Pemeriksaan ANA (Anti Nuclear Antibody)

Pada penderita SLE akan didapatkan hasil positif pada saat pemeriksaan ANA.

4. X-Ray Dada

Pada pemeriksaan ini akan didapatkan hasil yang menunjukkan pleuritis maupun

pneumonitis SLE.

5. Biopsi Ginjal

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui stadium penyakit serta luas lesi

pada ginjal.

Menurut Kowalak et al., 2011, pemeriksaan penunjang pada SLE adalah sebagai

berikut:

1. Antibodi Anti-dDNA (Anti-Double-Stranded Deoxyriba-Nucleic-Acid)

Tes ini digunakan dalam pemeriksaan SLE karena sangat spesifik dan

memiliki korelasi dengan aktivitas penyakit terutama jika terjadi gangguan pada

ginjal serta dapat memantau hasil terapi. Namun pada keadaan remisi kadarnya

rendah atau tidak ada.

2. Pemeriksaan Komplemen Serum

Pada pemeriksaan ini akan menunjukkan penurunan pada komplemen (C3 dan

C4) yang berarti penyakit SLE aktif.

Menurut Kim dan Mahoon tahun 2013, kriteria SLE berdasarkan American
College of Rheumatology (ACR) 1997 adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1. Kriteria Systemic Lupus Erithematosus ACR
No. Klasifikasi Definisi
1. Malar Rash - Terdapat eritema
- Datar
- meninggi yang cenderung tidak mengenai
lipatan nasolabial
2. Discoid Rash - Bercak eritema menonjol dengan skuama
keratosis
- Sumbatan folike
- Parut atrofi muncul pada lesi yang sudah
timbul
3. Fotosensitivitas Ruam kulit yang muncul akibat reaksi
karena terpapar oleh sinar UV A maupun
UV B
4. Ulser Mulut - Ulserasi oral atau pada orofaring
- Tidak nyeri jika sudah kronis
5. Artritis Nonerosiv - Terjadi pada dua atau lebih sendi perifer
- Adanya nyeri tekan
- Pembengkakan dan efusi
6. Pleuritis atau - Pleuritis yaitu nyeri dada pada pleura
Perikarditis sebagai bukti adanya efusi pleura.
- Pericarditis yaitu diliat dengan EKG sebagai
bukti adanya efusi perikardial.
7. Kelainan Ginjal - Protein urea persisten >0,5 g/ hari atau > 3+
jika kuantisasi tidak dilakukan.
- Cellular gips yaitu berupa sel darah merah,
Hb, butiran, tubular maupun campuran.
8. Kelainan - Kejang
Neurologi - Psikosis
9. Kelainan - Anemia hemolitik yaitu dengan
Hematologi retikulositosis.
- Leukopenia yaitu <4000/ mm3 pada dua
pemeriksaan.
- Limfopenia yaitu <1500/ mm3 pada dua
pemeriksaan.
- Trombositopenia yaitu <100.000/ mm3
dengan tidak adanya obat yang berkaitan.
10. Gangguan Imun - Antibodi anti DNA pada DNA asli terhadap
titer abnormal.
- Anti Sm yaitu adanya antibodi terhadap
antigen nuklir Sm.
- Antibodi antifosfolipid ditemukan positif
pada: (abnormal pada tingkat serum IgG
atau antibodi IgM cardiolipin;
menggunakan metode standar pada tes
positif untuk koagulan SLE; atau dengan tes
positif palsu paling sedikit 6 bulan
dikonfirmasi dengan imobilisasi Treponema
Pallidum atau tes absorpsi antibodi
Treponemal neon).
11. Antibodi - Dengan menggunakan imunofluoresensi
Antinuklear atau uji setara pada setiap titik waktu dan
positif dengan tidak adanya obat ditemukan titer
antibodi antinuclear tidak normal.

Kriteria SLE menurut Systemic Lupus International Collaborating Clinics


(SLICC) (2012) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Kriteria Systemic Lupus Erithematosus SLICC
Kriteria Klinis Kriteria Laboratorium
1. Kelainan kulit yang akut 1. Uji ANA positif
2. Kelainan kulit yang kronis 2. Uji Anti-dsDNA positif
3. Sariawan pada hidung atau rongga 3. Uji Anti-SM positif
mulut 4. Komplemen yang rendah
4. Rambut rontok 5. Uji Coomb langsung yang
5. Athritis positif
6. Serositis
7. Gangguan ginjal
8. Gangguan neurologi
9. Anemia hemolitik
10. Leukopenia
11. Trombositopenia

H. Penatalaksanaan
Menurut Cunha dan Seibert (2016) penatalaksanaan SLE adalah sebagai berikut:
1. Terapi Dasar

a. Pada terapi ini penderita SLE disarankan untuk menghindari cahaya matahari

langsung dan penggunaan tabir surya SPF tinggi yaitu >35.

b. Diskusi keluarga berencana pada penderita SLE usia reproduksi dibutuhkan.

c. Mengkonsumsi suplemen kalsium dan vitamin D.

2. Antimalaria

Obat antimalaria yaitu Hydroxychloroquine (HCQ) bermanfaat dalam

mengobati tanda dan gejala SLE seperti dermatitis, artritis dan gejala konstitusional.

3. Penggunaan Kortikosteroid

Kortikosteroid mempunyai keuntungan yang besar dalam pengendalian

aktivitas penyakit SLE secara cepat dan mencegah komplikasi yang parah dan

mengancam kehidupan seperti vaskulitis dan nefritis. Pada terapi kortikosteroid sering

diberikan secara oral dan jika terjadi komplikasi yang mengancam jiwa dapat

diberikan secara intravena. Jenis kortikosteroid yang sering diberikan adalah

prednisone.

4. Immunosupresan

Obat ini digunakan untuk mengobati manifestasi SLE yang mengancam jiwa

seperti neuropskiatri, perdarahan paru dan vaskulitis sistemik. Ada beberapa jenis obat

yang biasa dikonsumsi oleh penderita SLE yaitu azathioprine (imuran),

mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan

Rituximab.

5. INF (Interferon Blocking Agents)

Terapi ini digunakan untuk mengurangi adanya mukokutan SLE sedang sampai

berat serta menurunkan adanya arthritis dan kelelahan.


I. Komplikasi
Menurut Kaufman et al., 2016, komplikasi SLE terjadi pada beberapa organ tubuh

adalah sebagai berikut:

1. Pada Rheumatologi

Komplikasi yang biasanya terjadi yaitu polyarthralgias, myalgia, tenosinovitis

dan rupture tendon yang diakibatkan karena penggunaan obat steroid jangka panjang

sehingga tendon menjadi lemah.

2. Pada Dermatologi

Komplikasi pada dermatologi ditemukan adanya ruam wajah, adanya sisik pada

wajah, leher dan kepala, adanya ulserasi membran mukosa dan lesi vaskulitis.

Komplikasi tersebut akan semakin memburuk jika sering terpapar sinar matahari.

3. Pada Ginjal

Komplikasi pada ginjal yaitu lupus nefritis, gagal ginjal, hipertensi, edema

perifer. Pada komplikasi tersebut ditemukan adanya proteinuria persisten pada ginjal

penderita.

4. Pada Neurologi

Komplikasi yang sering terjadi yaitu kejang, stroke, gangguan kejiwaan,

neuropati perifer, gangguan kognitif, ensefalopati organik seperti bingung, lesu,

depresi, mania, psikosis bahkan koma. Hal tersebut terjadi karena adanya deposisi

kompleks imun pada pembuluh darah dan efek mediasi dari sitokin pada parenkim

otak.

5. Pada Jantung

Penderita SLE rentan mengalami komplikasi pada jantung diantaranya

endokarditis, miokarditis, perikariditis. Selain itu juga adanya antibodi anti fosfolipid

yang dikaitkan dengan arteri koroner, katup jantung dan pembuluh miokard. Namun

yang paling sering terjadi sebagai komplikasi pada SLE yaitu arterosklerotik.
6. Pada Paru-Paru

Komplikasi pada paru-paru yang sering terjadi yaitu nyeri dada pada pleura

dengan atau tanpa efusi; komplikasi akut seperti pneumonitis biasanya ditandai dengan

batuk, dyspnea, nyeri pleura, hipoksemia dan demam; nodul paru; emboli paru;

perdarahan alveolar karena cedera endotel; bronkiolitis obliterans. Semua komplikasi

tersebut disebabkan karena penggunaan steroid dosis tinggi.

7. Pada Gastrointestinal

Komplikasi yang umum terjadi seperti disfagia yang ditandai dengan adanya

nyeri dada retrosternal, mules, regurditas akibat dari dismotilitas esophagus. Selain itu

juga pada penderita SLE mengalami komplikasi gastritis yang disebabkan karena

penggunaan obat anti inflamasi jangka panjang. Ada juga komplikasi lain seperti

obstruksi pseudo usus, peritonitis karena bakteri secara spontan, pankreatitis, disfungsi

hati dan vaskulitis pada intestinal.

8. Pada Hematologi

Komplikasi hematologi yang sering ditemukan yaitu trombositopenia, anemia

hemolitik, neutropenia, sindrom katastropik anti fosfolipid, tromobotik

trombositopenia purpura. Pada komplikasi sindrom katastropik anti fosfolipid

disebabkan karena adanya infeksi, pembedahan, trauma, kehamilan, penggunaan

kontrasepsi oral, sedangkan pada trombotik trombositopenia purpura tanda gejalanya

yaitu demam, trombositopenia, anemia hemolitik mikroangiopati, disfungsi ginja.


ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORI

A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses
pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi
status kesehatan klien. (Nursalam, 2011) Pengkajian pada pasien stroke meliputi:
1. Identitas klien: Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor registrasi, dan diagnose medis.
2. Keluhan utama: Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Penyakit sekarang: Anamnesis riwayat kesehatan sekarang difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri,
kaku, demam, anoreksia, dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup, serta citra diri
pasien.
4. Riwayat penyakit dahulu: Menceritakan tentang riwayat penyakit terdahulu yang
pernah diderita klien.
5. Riwayat penyakit keluarga: Apakah dari anggota keluarga ada yang menderita
penyakit seperti klien ( penyakit genetic atau menular)
6. Pemeriksaan Fisik

a. Sendi
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri saat bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
b. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala muka dan leher. Lesi akut
pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pada
pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum
durum.
c. Jantung
Friction rub pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vascular terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
d. Paru-Paru
Pleuritis dan efusi pleura.
e. Ginjal
Edema dan hematuria
f. Saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang.
Pemeriksaan fisik menggunakan empat langkah mendapatkan hasil sebagai
berikut:
a. Inspeksi (pengamatan secara seksama mengenai status kesehatan klien dari kepala
sampai kaki). Pada klien SLE mungkin akan ditemukan hasil antara lain:
1) Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) pada daerah pipi dan
hidung
2) Lesi dan kebiruan diujung jari akibat buruknya sirkulasi dan hipoksia kronik
3) Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung, pada beberapa penderita
ditemukan eritema dan sikatrik
4) Luka-luka di selaput lendir dan pharing
5) Dapat terlihat tanda peradangan satu atau lebih persendian yaitu
pembengkakan, warna kemerahan, dan rentang gerak yang terbatas
6) Perdarahan sering terjadi terutama dari mulut dan urine berwarna
kemerahan
7) Gerakan dinding toraks mungkin tidak simetris atau tampak tanda-tanda
sesak (bernapas menggunakan cuping hidung, retrasi supra sterna, bahkan
intercostals apabila terdapat gangguan pada organ paru)
b. Palpasi (pemeriksaan dengan menggunakan sentuhan atau rabaan guna
mengetahui ciri jaringan dan organ):
1) Sklerosis, yaitu yaitu terjadi pangencangan dan pengerasan kulit jari-jari
tangan
2) Nyeri tekan pada daerah sendi yang meradang
3) Oedema mata kaki, mungkin menandakan hipertensi dan gangguan pada
ginjal
c. Perkusi (pemeriksaan dengan cara mengetuk bagian tubuh tertentu untuk
mengetahui reflek atau untuk mengetahui kesehatan suatu organ tubuh, misalnya:
perkusi organ dada untuk mengetahui keadaan paru dan jantung
d. Auskultasi (pemeriksaan dengan cara mendengarkan, biasanya menggunakan
stetoskop. Untuk mendengarkan bunyi jantung dan paru sehingga dapat
mengetahui ada tidaknya ketidaknormalan dari pada organ.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

2. Ganggun integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi, ballier kulit,


penumpukan, kompleks imun.

3. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktifitas penyakit, rasa nyeri, depresi.

4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan d penurunan rentang gerak, kelemahan


otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.

5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta
fisiologis yang di akibatkan penyakit kronik.

6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ulkus oral
sehingga nafsu makan menurun.

7. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan dispnea.

8. Kelurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif.

9. Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imun.


C. Intervensi
1. Diagnosa Keperawatan: Nyeri Akut
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tingkat nyeri berkurang
yang yang ditujukan dengan sekala sbb:
Tingkat nyeri :
1. Berat
2. Cukup berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
No Indicator 1 2 3 4 5
1 Nyeri yang dilaporkan
2 Panjang episode nyeri
3 Ekspresi nyeri wajah
4 Frekuensi nafas
5 Penekanan darah
6 Nadi
Intervensi
1. manajemen lingkungan
a. Ciptakan lingkungan tenang dan mendukung
b. Hindari papasan dan aliran udara yang tidak perlu, terlalu panas maupun
dingin
2. manajemen nyeri
a. Lakukan pengkajian nyeri kompherensif
b. Observasi adanya petunjuk non verbal mengenai ketidaknyamanan
c. Dukung istirahat atau tidur yang adekuat untuk membantu menurunkan nyeri
d. Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi
2. Diagnosa Keperawatan: Hambatan Mobilitas fisik.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
pergerakan menjadi normal yang ditunjukkan dengan skala, sbb:
1: Sangat terganggu 4: sedikit terganggu
2: Banyak terganggu 5: tidak terganggu
3: Cukup terganggu

No. Code Indikator 1 2 3 4 5


1. 020801 Keseimbangan 1 2 3 4 5
2. 020810 Cara berjalan 1 2 3 4 5
3. 020803 Gerakan otot 1 2 3 4 5
4. 020806 Berjalan 1 2 3 4 5
5. 020814 Bergerak dengan mudah 1 2 3 4 5

Intervensi:
1) Perawatan tirah baring
a. Jelaskan alasan diperlukannya tirah baring.
b. Jaga kain linen agar tetap bersih, kering, dan bebas kerutan.
c. Berikan pasien yang tidak dapat mobilisasi palin tidak setiap 2 jam sekali,
sesuai dengan jadwal yang spesifik.
d. Ajarkan latihan di tempat tidur dengan cara yang tepat.
2) Terapi latihan: Mobilitas sendi
a. Jelaskan pada pasien atau keluarga manfaat dan tujuan melakukan latihan
sendi.
b. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan latihan ROM pasif dengan
bantuan, dan ROM aktif.
3. Diagnosa Keperawatan: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam diharapkan status
nutrisi terpenuhi dengan skala sebagai berikut:
1. Sangat menyimpang dari rentang normal
2. Banyak emnyimpang dari rentang normal
3. Cukup menyimpang dari rentang normal
4. Sedikit menyimpang dari rentang normal
5. Tidak menyimpang dari rentang normal
No Outcome 1 2 3 4 5
1. Asupan gizi 1 2 3 4 5
2. Asupan makanan 1 2 3 4 5
3. Asupan cairan 1 2 3 4 5
4. Rasio berat badan/tinggi bedan 1 2 3 4 5
Intervensi:
1. Manajemen nutrisi
a. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan (pasien) untuk memenuhi
kebutuhan gizi
b. Identifikasi adanya alergi atau intoleransi makanan yang dimiliki pasien
c. Instruksikan pasien mengenai kebutuhan nutrisi
2. Manajemen saluran cerna
a. Monitor BAB termasuk frekuensi, konsistensi, bentuk, volume, dan warna,
dengan cara yang tepat
b. Monitor bising usus
3. Terapi intravena
a. Verifikasi perintah untuk terapi
b. Instruksikan pasien tentang prosedur
c. Jaga teknik aseptik dengan ketat
d. Lakukan prinsip lima benar sebelum memulai infus atau pemberian
pengobatan
e. Monitor tanda vital

D.    Implementasi Keperawatan


Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan spesifik.
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing
order untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan dari pelaksanaan
adalah mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, memfasilitasi koping. Pendekatan tindakan
keperawatan meliputi independent (suatu tindakan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa
petunjuk/ perintah dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya). Dependent (suatu tindakan
dependent berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis, tindakan tersebut
menandakan suatu cara dimana tindakan medis dilaksanakan) dan interdependent suatu
tindakan yang memerlukan kerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya, misalnya tenaga
social, ahli gizi, fisioterapi dan dokter (Nursalam, 2011).

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan keberhasilan dari diagnosa keperawatan, rencana keperawatan dan
implementasi keperawatan. Tahap evaluasi yang memungkinkan perawat untuk
memonitor yang terjadi selama tahap pengkajian, perencanaan dan implementasi.
(Nursalam, 2011)
DAFTAR PUSTAKA

Alexis F.A. dan Barbosa H.V., 2013. Skin Of Color : A Practical Guide To Dermatologic
Diagnosis And Treatment, Springer Science. hal.52-53.

Balsamo, S et al., Low Dynamic Muscle Strength And Its Associations With Fatigue,
Functional Performance, And Quality Of Life In Premenopausal Patients With
Systemic Lupus Erythematosus And Low Disease Activity: Case Contrrol Study.
BMC Muscoloskeletal Disorder, 2013, 14 (1471–247).

Barnado, A et al., Quality of Life in Patient with Systemic Lupus Erythematosus


compared with related controls within a unique African American population. Journal
of Lupus, 2012, 21 (563–569).

Cunha, S.J. dan Seibert, K.G. Systemic Lupus Erythematosus: A Review Of The Clinical
Approach to Diagnosis And Update On Current Targeted Therapies, Medical Journal,
2016.

Cyprina, E.D.T. dan Cahyanti, Ika Yuniar. Proactive Coping pada Orang dengan Lupus
(Odapus) Remaja, Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 2013, 2(2).
Bulechek, Gloria M.; Butcher, Howard K.; Dochterman, Joanne M.; Wagner, Cheryl
M. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC) (Edisi 6). Elsevier.

Moorhead, Sue; Johnson, Marion; Maas, Meridean L.; Swanson, Elizabeth. 2016. Nursing
Outcomes Classification (NOC) (Edisi 5). Elsevier.

Nursalam. 2011. Manajemen Asuhan Keperawatan. Salemba medika: jakarta

Anda mungkin juga menyukai