Anda di halaman 1dari 38

Skenario 3

Rona Merah Di Pipi


(Blok MPT)

Kelompok : A.15

Ketua : Arif Rahman (1102014038)

Sekertaris : Amanda Putri (1102014017)

Anggota : Annisa Yunita Rani (1102014035)

Deni Rizki Kurniawan (1102014067)

Diah Ayu Kusuma Wardani (1102014072)

Dwi Puteri (1102011084)

Farizal Arief (1102014095)

Hanna Kumari D. (1102014120)

Khaula Nurul Fadhilah (1102014144)

Laksmi R. Afiani (1102011140)

1
Skenario 3

Rona Merah di Pipi

Seorang perempuan berusia 30 tahun, datang ke Rumah Sakit dengan keluhan


demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu
makan, mulut sariawan, nyeri pada persendian, rambut rontok dan pipi bewarna
merah bila terkena sinar matahari.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat


sariawan di mulut. Pada wajah terlihat malar rash. Pemeriksaan fisik lain tidak
didapatkan kelainan. Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Eritematosus.

Kemudian dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium hematologi, urin


dan marker autoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan
untuk dirawat dan dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan agar
pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan
seumur hidup.

2
Kata Sulit

1. Malar rash: Bercak kemerahan yang melintas diatas hidung dan menyebar ke
kedua pipi yang gambarannya menyerupai kupu-kupu dan merupakan tanda
khas Lupus.
2. Sistemic Lupus Eritematosus: Penyakit automun multisystem dengan
manifestasi dan sifat yang sangat berubah ubah. Dan mengakibatkan
peradangan dan kerusakan jaringan.
3. Marker Autoimun: Kompleks antibody yang dihasilkan akibat adanya
inflamasi
4. Suhu subfebris: Suhu hangat 37,5°C-38°C
5. Anti ds-DNA: Untuk mengetahui keberadaan auto antibody igG dari ds-DNA
yang dapat ditemukan secara spesifik pada individu yang menderita SLE.

3
Pertanyaan

1. Mengapa dapat timbul Malar rash disekitar hidung dan pipi? Karena kulit
penderita lupus sensitive dan sinar UV meningkatkan apoptosis sel dan terjadi
pembentukan anti-DNA. Dan menimbulkan reaksi epidermal.
2. Mengapa jika terkena sinar matahari pipi dapat memerah? Karena kulit
penderita lupus sensitive dan sinar UV meningkatkan apoptosis sel dan terjadi
pembentukan anti-DNA. Dan menimbulkan reaksi epidermal.
3. Bagian tubuh apa saja yang diserang penyakit lupus? Bisa menyerang organ
apa saja. Tapi terutama; kulit, ginjal, membrane serosa, sendi dan jantung.
4. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan SLE? Genetik, lingkungan,
hormone (biasanya hormone esterogen), obat-obatan dan sistem imunitas.
5. Kenapa gejalanya bisa demam yang hilang timbul? Jadi, sel mast melepaskan
mediator inflamasi seperti sitokin dan prostaglandin dan merangsang
termoregulator di hipotolamus.
6. Mengapa dokter menyarankan melakukan pemeriksaan laboratorium
hematologi, urin dan marker autoimun? Karena pada pemeriksaan lab tersebut
dapat ditemukan leukopenia, trombositopenia, limfopenia dan laju endap
darah cepat yang merupakan manifestasi penyakit Lupus. Dan karena
kerusakan pada ginjal, urin pada penderita Lupus mengandung darah dan
protein > 0,5gr/hari. Marker autoimun sebagai identifikasi adanya inflamasi.
7. Mengapa penanganan penyakit Lupus membutuhkan waktu yang lama?
Karena sampai saat ini belum ditemukan obat untuk Lupus dan biasanya pada
penderita Lupus diberikan obat-obat non-Steroid dan kortikosteroid.
8. Apa penyebab nyeri di persendian? Karena adanya inflamasi di sendi
9. Apa penyebab SLE? Penyebab pasti dari SLE belum diketahui. Tetapi
biasanya diturunkan secara genetik. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan
toleransi diri.
10. Mengapa kekebalan tubuh dalam kasus ini dapat menyerang sel tubuh sendiri?
Karena antibody membentuk kompleks autoimun yang disebut auto antibody.
Auto antibody mengendap atau tersimpan dijaringan atau organ. Mereka inilah
yang menimbulkan kerusakan jaringan.
11. Bagaimana pandangan Islam dalam menghadapi suatu cobaan? Menghadapi
suatu cobaan harus ikhlas dan sabar. Seperti yang tertera pada Al-Qur’an
surat: Al-Baqarah ayat 155-157 dan akan datang kabar gembira bagi orang
yang sabar.

4
Hipotesis

Toleransi imunitas adalah respon tubuh untuk menjaga respon imun yang berlebihan
yang dapat menyerang tubuh sendiri. Dimana bila terjadi kegagalan akan terjadi
reaksi autoimun. Salah satu dari contoh reaksi autoimun yang bersifat sistemik adalah
Lupus Eritematosus Sistemik. Yang dapat menimbulkan malar rash, nyeri sendi dan
gangguan beberapa organ lainnya. Penyakit ini dapat dikendalikan dengan pengobatan
seumur hidup sehingga harus sabar dalam menerima cobaan.

5
LI. 1. Memahami dan menjelaskan autoimun

LO 1.1 Definisi

LO 1.2 Etiologi

LO 1.3 Klasifikasi

LO 1.4 Patogenesis

LI 2. Memahami dan menjelaskan Lupus Eritematosus Sistemik

LO 2.1 Definisi

LO 2.2 Etiologi

LO 2.3 Manifestasi

LO 2.4 Patofisiologi

LO 2.5 Diagnosis dan diagnosis banding

LO 2.6 Tatalaksana

LO 2.7 Komplikasi

LO 2.8 Prognosis

LI 3. Memahami dan menjelaskan sabar dalam menghadapi cobaan menurut


pandangan Islam

6
LI.1. Memahami dan menjelaskan autoimun

Definisi

Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang


disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-
tolerance sel Bm sel T dan keduanya.

Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis


yang ditimbulkan oleh respon autoimun. (Bratawidjaja,2012)

Etiologi

1. Genetik

Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan


gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan
DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada
yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa
penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung
membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop
HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B.
Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5
memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.

2. Defisiensi komplemen

Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan


atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi
komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan
manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada
komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi
menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan
menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan
predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun
selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi
komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi
interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam

7
sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan
eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat
oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada
permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi
kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan
berada dalam sirkulasi lebih lama.

3. Hormon

Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns


sedangkan estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita
dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis
lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like
syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit.

4. Lingkungan

Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-
obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat
melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau
II.

Klasifikasi

Penyakit Autoimun Organ-Specific

Penyakit autoimun yang melibatkan kerusakan seluler terjadi ketia sel limfosit
atau antibodi berikatan dengan antigen membran sel, sehingga menyebabkan lisis
ataupun respon inflamasi pada organ terkait. Lama kelamaan, struktur sel yang rusak
itu diganti oleh jaringan penyambung (scar tissue), dan fungsi organ nya menurun.
Contoh : Anemia pernisiosa, pemfigoid bulosa (salah satu penyakit kulit
melepuh), tiroiditis hashimoto, miksedem primer, tirotoksikosis, penyakit Addison,
dll. 

Penyakit Autoimun Sistemik (non organ-specific)

Pada penyakit autoimun sistemik, respon imunnya diarahkan kepada banyak antigen
target, sehingga melibatkan banyak jaringan dan organ. Penyakit ini disebabkan oleh

8
kerusakan pada regulasi imun, sehingga menyebabkan munculnya sel T dan sel B
yang hiperaktif. Kerusakan jaringan terjadi di banyak bagian tubuh. Kerusakan
tersebut dapat disebabkan oleh cell-mediated immune respone maupun direct cellular
damage (seperti yang sudah disebutkan pada penyakit autoimun organ-specific).
Contoh : Artritis rheumatoid, SLE, LE discoid, scleroderma, Dermatomiositis, dll.

Patogenesis

Ada empat dasar mekanisme yang menyebabkan kejadian penyakit autoimun :

1) Mediasi Antibodi :Keberadaan antibodi spesifik melakukan


perlawanan terhadap antigen tertentu (protein) mendorong kerusakan
dan timbulnya tanda-tanda penyakit. Contohnya ; auto-immune
mediated hemolytic anemia, dimana targetnya adalah permukaan sel
darah merah ; myesthenia gravis dimana targetnya adalah
acetylcholine receptor pada neuromuscular junction ;
hypoadrenocorticism (Addisons’s) dimana targetnya adalah sel dari
kelenjar adrenal (Aronson, 1999 : Mims, 1982).

2) Mediasi Immune Kompleks:Antibodi diproduksi melawan protein


didalam tubuh, komplek ini dalam bentuk molekul besar yang
bersikulasi keseluruh tubuh. Pada systemic lupus erythematosus
(SLE), antibodi dibentuk justru merusak beberapa komponen-
komponen didalam inti selnya ( sehingga anti-nuclear antibody test
(ANA) dilakukan untuk SLE). Sebagian besar antibodi-antibodi yang
diproduksi merusak double stranded DNA, dan membentuk komplek
terlarut yang tersirkulasi yang akan memecah kulit dan menyebabkan
peningkatan sensitivitas pada ultraviolet dan berbagai gejala lainnya.
Karena darah tersaring melalui ginjal, maka kompleks tersebut akan
tertahan dalam glomeruli dan pembuluh darah yang menyebabkan
ginjal kekuarangan protein sehingga mengalami glomeulonephritis.
Kondisi ini juga merusak pembuluh darah lainnya, dan dimungkinkan
terjadinya haemorhagi, sebagaimana akumulasi dari cairan synovial
dan menyebabkan tanda-tanda arthritis dan kesakitan persendian.
Rheumatoid arthritis diakibatkan dari immune complexes (kelompok
antibodi IgM mengikat rheumatoid factor) merusak bagian dari sistem
kekebalan hewan (bagian dari molekul Ig G). Bentuk komplek ini
dideposit di ruang persendian synovial yang menyebabkan respon
peradangan, pembengkakan persendian dan kesakitan. Kolagen dan
cartilage dirusak dan seringkali digantikan dengan fibrin sehingga
menyebabkan fuses dari persendian – ankylosis (Aronson, 1999).

9
3) Mediasi Antibodi dan sel T cell :Sel T adalah salah satu dari dua
tipe (yang satunya disebut sel B) sel darah putih yang memediasi
reaksi immune. Ketika dihadapkan pada suatu antigen tertentu, sel T
terprogram untuk mencari dan merusak protein tertentu itu pula
dikemudian hari. Jika seekor hewan terekspose pada suatu antigen,
maka menjadi lebih berkemampuan untuk memberikan respon lebih
banyak dan lebih cepat dalam memberikan perlawanan terhadap
antigen tertentu itu dikemudian hari. Inilah dasar pelaksanaan
vaksinasi. Pada kejadian Thyroiditis (autoimmune hypothyroidism)
tampaknya memberikan dampak mixed ethiology, dimana beberapa
antigen yang menjadi target dan juga sekaligus hormon penting
thyroglobulin yang diproduksi oleh tyroid menjadi dikenali.
Autoantibodi terhadap antigen-antigen pada ephitel sel thyroid juga
dikenali. Thyroid menjadi terinvasi oleh sejumlah besar sel T, sel B
demikian pula sel Makrophage yang akan "menelan" dan
menghancurkan sel-sel lainnya. Sel T yang terprogram secara spesifik
terhadap thyroglobulin ini telah diidentifikasi (Aronson, 1999 :
Salyers dan Whitt, 1994 : Madigan dkk, 1997).

4) Difisiensi complemen :Ketika antigen dan antibodi bereaksi, maka


akan mengaktivasi kelompok enzime serum (sistem komplemen) yang
memberikan hasil akhir berupa lisis dari molekul antigen atau
memungkinkan sel phagosite seperti macrophage untuk lebih mudah
melakukan perusakan. Hewan yang mengalami defisiensi enzimes
activated pada awal sistem komplemen akan penderita penyakit
autoimmune, seperti pada kasus penyakit SLE (Aronson, 1999 : Roitt,
1991).

Memahami dan menjelaskan Lupus Eritematosus Sistemik

Definisi

Sistemic Lupus Eritematosis merupakan penyakit autoimun yang ditandai


oleh produksi antibodi yang berlebih terhadap komponen - komponen inti sel
yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Penyakit ini multi
sistim dengan etiologi dan patogenesis yang belum jelas. Terdapat banyak bukti
bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor yang melibatkan faktor lingkungan
(terpapar oleh matahari), genetik (keturunan) dan hormonal (berkaitan dengan
hormon testosteron dan LH untuk laki-laki dan estrogen untuk perempuan, dengan
penderita lebih banyak pada wanita). Terganggunya mekanisme pengaturan imun
seperti eliminasi dari sel-sel yang mengalami apoptosis dan kompleks imun
berperan penting terhadap terjadinya SLE. Hilangnya toleransi imun,

10
banyaknya antigen, meningkatnya sel T helper, terganggunya supresi sel B dan
perubahan respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan hiperreaktivitas sel B
dan terbentuknya autoantibody.

Penyakit Lupus secara umum merupakan kelainan yang bersifat kronik pada
masalah imunitas tubuh.Manusia memiliki sistem kekebalan tubuh yang berfungsi
untuk menyerang benda asing, virus, bakteri atau kuman yang dapat menyebabkan
penyakit.Tetapi, pada penderita penyakit Lupus, sistem kekebalan yang harusnya
berfungsi sebagai pelindung tubuh mengalami kelainan.Tubuh tidak dapat
membedakan antara benda asing yang harus dimusnahkan dengan jaringan tubuh
sendiri yang bermanfaat untuk kelangsungan hidup.

Etiologi

1. Genetik:
a. Sering pada anggota keluarga dan saudara kembar monozigot (25%)
dibanding kembar dizigotik (3%), berkaitan dengan HLA seperti DR2,
DR3 dari MHC kelas II.
b. Individu dengan HLA DR2 dan DR3 risiko 2-3 kali dibanding dengan
HLA DR4 dan HLA DR5.
c. Gen HLA diperlukan untuk proses pengikatan dan presentasi antigen,
serta aktivasi sel T.
d. Haploptip (pasangan gen yang terletak dalam sepasang kromosom
yang menetukan ciri seseorang), HLA menggangu fungsi sistem imun
yang menyebabkan peningkatan autoimunitas.
Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya
10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara
kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik
menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang
akan menderita penyakit ini.

2. Defisiensi komplemen
a. Defisiensi C3 / C4 jarang pada yang manifestasi kulit dan SSP.
b. Defisiensi C2 pada LES dengan predisposisi genetik.
c. 80% penderita defisiensi komplemen herediter cenderung LES.

11
d. Defisiensi C3 menyebabkan kepekaan tehadap infeksi meningkat, yang
akan menyebabkan predisposisi penyakit kompleks imun.
Defisiensi komplemen menyebabkan eliminasi kompleks imun terhambat,
menaikkan jumlah kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi lebih
lama, lalu mengendap di jaringan yang menyebabkan berbagai macam
manifestasi LES.

3. Hormon
a. Estrogen : imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral yang
akan menekan fungsi sel Ts dengan mengikat reseptor menyebabkan
peningkatan produksi antibodi.
b. Androgen akan induksi sel Ts dan menekan diferensiasi sel B
(imunosupresor).
c. Imunomodulator adalah zat yang berpengaruh terhadap keseimbangan
sistem imun.
3 jenis imunomodulator :
 Imunorestorasi
 Imunostimulasi
 Imunosupresi
4. Autoantibodi
Antigen Spesifik Prevalensi (%) Efek Klinik Utama

Anti ds-DNA 70 – 80 % Gangguan ginjal, kulit

Nukleosom 60 – 90 % Gangguan ginjal, kulit

Ro 30 – 40 % Gangguan ginjal, kulit

Gangguan jantung fitus

La 15 – 20 % Gangguan jantung fetus

Sm 10 – 30 Gangguan ginjal

Reseptor NMDA 33 – 50 % Gangguan otak

Fosfolipid 20 – 30 % Trombosis, abortus

α Actinin 20 % Gangguan ginjal

C1q 40 – 50 % Gangguan ginjal

5. Lingkungan

12
a. Bakteri atau virus yang mirip antigen atau berubah menjadi neoantigen.
b. Sinar UV akan meningkatkan apoptosis, pembentukan anti DNA
kemudian terjadi reaksi epidermal lalu terjadi kompleks imun yang
akan berdifusi keluar endotel setelah itu terjadi inflamasi.
Faktor fisika / kimia

 Amin aromatik
 Hydrazine
 Obat – obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid,
fenitoin, penisilamin)
 Merokok
 Pewarna rambut
 Sinar ultra violet (UV)

Faktor makanan

 Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan


 L – canavenine (kuncup dari alfalfa)

Agen infeksi

 Retrovirus
 DNA bakteri / endotoksin

Hormon dan estrogen lingkungan (environmental oestrogen)

 Terapi sulih hormone (HRT), pil kontrasepsi oral


 Paparan estrogen prenatal

Etiologi penyakit SLE berdasarkan pada:


a. Jenis Kelamin
Wanita lebih banyak menderita lupus dibandingkan pria (10:1)
b. Hormon estrogen
Hormon wanita ini menjadi salah satu faktor penyebab lupus,
hampir pada semua wanita yang menderita lupus pada usia
produktif

13
c. Ras/Suku
Lupus sering terjadi pada wanita afrika (kulit hitam) dan asia
(kulit kuning langsat) di banding wanita berkulit putih
d. Genetik
10% dari penderita lupus memiliki anggota keluarga yang juga
menderita lupus
e. Stress/infeksi
Jika seseorang memiliki kecendrungan genetik untuk menderita
lupus, maka stress atau adanya infeksi dapat memacu penyakit
ini.

Patofisiologi

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang
mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal
terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen.

Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan


induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang
berupa sel memori. Pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga
termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam
infeksi. Pada SLE,  autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat
dalam bentuk agregat protein danatau kompleks protein RNA yang disebut partikel
ribonukleoprotein (RNA). Ciri khasautoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-
spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara
bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody).  

Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang


beredar dalam sirkulasi.Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada
SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemprosesan kompleks imundalam hati, dan penurun uptake kompleks
imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit
kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan
mengendap pada berbagai maca organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen
pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang
menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan
seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.

14
4 Manifestasi

Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ terlibat


dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan
perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh
serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada
keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena
manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan.
Hence, manifestasi ini dibagi menjadi:

a. Manifestasi konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak
sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan
seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta
pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh
aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar
C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan.

Penurunan berat badan dijumpai pada sebagaian penderita LES dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.Penurunan berat badan
ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala
gastrointestinal.

Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari
sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa adanya
bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak
disertai menggigil.

b. Manifestasi Muskuloskeletal

Pada penderita LES, manifestasi pada Muskuloskeletal ditemukan


poliarthritis, biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90%
kasus.Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering
terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi.Selain itu,
ditemukan juga mialgia pada 60% kasus.Miopati juga dapat ditemukan,
biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin.Osteoporosis
sering didapatkan dan berhubungan dengan aktivitas penyakit dan
penggunaan steroid.

15
c. Manifestasi Kulit

Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas,


butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi
psoriaform, dll. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda tanda
vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari,
gangrene.

d. Manifestasi Kardiovascular

Diantara lain penyakit perikardial, dapat berupa perikarditis ringan, efusi


perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada
15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang,
kardiomegali sampai gagal jantung.

e. Manifestasi Paru-paru

Kelainan paru-paru pada LES sering kali bersifat subklinik sehingga foto
torax dan spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak
nafas atau kelainan respirasi lainnya.Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat
ditemukan pada 60% kasus.Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus,
tetapi biasanya ringan dan secara klinik tidak bermakna.

f. Manifestasi ginjal

Penilaian keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan


menilai ada tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan
silinderuria, ureum dan kreatinin, proterinuria kuantitative dan klirens
kreatinin.

g. Manifestasi Hemopoetik

Pada SLE, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat
penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan pendarahan
dan anemia hemolitik autoimun. Selain itu ditemukan juga lekopenia dan
limfopenia pada 50-80% kasus.Adanya leukositosis harus dicurigai

16
kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20%
kasus,

h. Manifestasi susunan saraf

Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,


neuropati perifer, sampain kejang dan psikosis.Kelainan tromboembolik
dengan antibody anti-phospholipid dapat merupakan penyebab terbanyak
kelainan serebrovascular pada LES.Neuropati perifer, terutama tipe sensorik
ditemukan pada 10% kasus.Keterlibatan saraf otak, jarang
ditemukan.Kelainan psikiatrik sering ditemukan mulai dari anxiety, depresi
sampai psikosis.Kelainan psikiatrik juga dapat dipice oleh terapi
steroid.Analisis cairan serebrospinal sering kali tidak memberikan gambaran
yang specifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.

i. Manifestasi gastrointestinal

Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak specifik, splenomegali,


peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pancreatitis.Selain itu ditemukan
juga peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan
hepatitis autoimun.

Gejala yang lain:

1. Sakit pada sendi (arthralgia) 95 %


2. Demam di atas 38oC 90 %
3. Bengkak pada sendi (arthriis) 90 %
4. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatigue) berkepanjangan 81 %
5. Ruam pada kulit 74 %
6. Anemia 71 %
7. Gangguan ginjal 50 %
8. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam 45 %
9. Ruam bebentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42 %

17
10. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30 %

11. Rambut rontok 27 %

12. Gangguan abnormal pembekuan darah 20 %

13. Jari menjadi putih/biru saat dingin (Fenomena Raynaud’s) 17 %

14. Stroke 15 %

15. Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan 12 %

16. Selera makan hilang > 60 %

2.5 Diagnosis dan diagnosis banding

Karena pasien dengan lupus eritematosus sistemik bisa memiliki gejala


yang sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda, tidak
ada pengujian tunggal yang dapat mendiagnosa lupus sistemik.Untuk
membantu keakuratan diagnosis lupus eritematosus sistemik, sebelas kriteria
diterbitkan oleh asosiasi reumatik Amerika.Kesebelas kriteria tersebut
berkaitan dengan gejala-gejala yang di diskusikan diatas.Beberapa pasien
yang dicurigai menderita lupus eritematosus sistemik mungkin tidak pernah
memenuhi kriteria yang cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien yang lain
mungkin mengumpulkan kriteria yang cukup hanya dalam beberapa bulan
atau tahun setelah observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau lebih
kriteria berikut, diagnosis lupus eritematosus sistemik sangat
mungkin.Namun demikian, diagnosis lupus eritematosus sistemik dapat
ditegakkan pada pasien dengan kondisi tertentu dimana hanya sedikit kriteria
yang dapat dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang lain dapat
berkembang kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian.

NO. Kriteria Definisi

1. Eritema/bercak malar Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah


(butterfly rash) pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial

2. Bercak/ruam diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic


scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat
terjadi parut atrofi

3. Fotosensitivitas Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari,

18
pada anamnesis atau pemeriksaan fisik

4. Ulkus mulut/Ulserasi Ulkus mulut/nasofaring,biasanya tidak nyeri


mukokutaneus oral atau
nasal

5. Artritis non erosif Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer,
ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi

6. Serositif a. Pleuritis

Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub


atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik

b. Perikarditis

Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial


friction rub atau terdapat efusi perikardial pada
pemeriksaan fisik

7. Gangguan ginjal/Nefritis a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3


jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan

b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau


campuran

8. Gangguan saraf/Ensefalopati Kejang

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik


(uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

Psikosis

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik


(uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

8999
Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darah

Anemia hemolitik à dengan retikulositosis

Leukopenia à < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan

19
Limfopenia à < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan

Trombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya


intervensi obat
10
Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainan

Anti ds-DNA diatas titer normal

Anti-Sm(Smith) (+)

Antibodi fosfolipid (+) berdasarkankadar serum IgG atau


IgM antikardiolipin yang abnormal

antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes


standartes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan
dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema
palidum atau antibodi treponema

11. Antibodi antinuklear Tes ANA (+)

*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas

Sebagai tambahan dari sebelas kriteria tersebut, pengujian lainnya dapat


membantu mengevaluasi pasien dengan lupus eritematosus sistemik untuk
menentukan keparahan organ-organ yang terlibat.Termasuk diantaranya darah rutin
dengan laju endap darah, pengujian kimia darah, analisa langsung cairan tubuh
lainnya, serta biopsi jaringan.Kelainan cairan tubuh dan sampel jaringan dapat
membantu diagnosis lanjut lupus eritematosus sistemik.

Pemeriksaan penunjang

Darah tepi lengkap, LED, urinalisis, sel LE, ANA*, antibodi anti
doublestranded-DNA*, antibodi antifosfolipid, antibodi lain (anti-Ro, anti-La, anti-
RNP), faktor rheumatoid, titer komplemen C3, C4,dan CH50*, titer IgM ,IgG, dan
IgA, uji Coombs, kreatinin, ureum darah*, protein urin >0.5 gram/24 jam (Nefritis)*,
dan pencitraan (foto Rontgen toraks*, USG ginjal, MRI kepala).

20
Dalam menegakkan diagnosis tidak semua pemeriksaan laboratorium ini harus ada,
tetapi pemeriksaan awal (diberi tanda*) sebaiknya dilakukan.

Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk


membuatdiagnosa SLE, antara lain :

1.Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)

Yaitu :pemeriksaan untuk menentukan apakah auto-antibodi terhadap inti


selsering muncul di dalam darah.

2.Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ).

Yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap


materigenetik di dalam sel.

3.Pemeriksaan anti-Sm antibodi

Yaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein yangditemukan


dalam sel protein inti).

4. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes


(kekebalan) didalam darah

5. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelompok  pro
tein yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk
menilaitingkat spesifik dari C3 dan C4 – dua jenis protein dari kelompok
pemeriksaanini.

6. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)yaitu : pemeriksaan darah untuk mencari


keberadaan jenis sel tertentu yangdipengaruhi membesarnya antibodi terhadap
lapisan inti sel lain –pemeriksaanini jarang digunakan jika dibandingkan dengan
pemeriksaan ANA,
karena pemeriksaan ANA lebih peka untuk mendeteksi penyakit Lupus dibandingk
an dengan LE cell prep.

21
7. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit

8. Urine Rutin

9. Antibodi Antiphospholipid

10. Biopsy Kulit

11. Biopsy Ginjal

Diagnosis Banding SLE

Dengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang


didiagnosis banding banyak sekali.Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan LES
mempunyai gejala-gejala yang dapat menyerupai LES, yaitu arthritis reumatika,
sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.

2.6 Tatalaksana

Penyuluhan dan intervensi psikososial merupakan hal penting dalam


penatalaksanaan penderita yang baru terdiagnosis SLE. Sistemik Lupus Eritematosus
merupakan golongan penyakit yang dapat relaps dan remisi. Penatalaksanaan
ditujukan pada manifestasi yang terjadi pada penyakit imun ini dan pada strategi-
strategi pencegahan seperti :

 Perlindungan terhadap sinar UV (penderita mengalami


fotosensitifitas)
 Profilaksis antibiotik (penderita menjalani tindakan-tindakan
invasif)

22
 Pengaturan kehamilan (terutama pada penderita nefritis
lupus/penderita mendapat terapi antimalaria atau
siklifosfamid)
 Evaluasi serta terapi terhadap infeksi

Pemantauan klinis yang ketat, dengan penilainan perkembangan penyakit


secara rutin, penting untuk menentukan kebutuhan terapi antiinflamasi dan
imunosupresi, terutama untuk meminimalkan kerusakan ginjal dan sistem saraf pusat.
Penderita SLE mendapat terapi tergantung tingkat keparahan yang dialami:

Terapi konservatif

Diberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan
dengan kerusakan organ.Bila dipertimbangkan pemberian glukokortikoid dapat
diberikan prednison 0.5 mg/kgBB/hari.

 Arthritis, arthralgia, myalgia


Merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan
ringan seperti ini dapat diberikan analgetik sederhana/obat antiinflamasi
nonsteroid, tetapi pemberiannya dihentikan bila menunjukkan efek
samping yang memperberat keadaan umum penderita, seperti pada sistem
gastrointestinal, hepar, dan ginjal sehingga diperlukan pemantauan
kreatinin serum berkala. Bila pemberian analgetik dan OAINS tidak
berespon baik, pertimbangkan pemberian obat antimalaria :
Hidroksiklorokuin 400mg/hari (bila hingga 6 bulan tidak memberikan
respon baik, maka pemberian dihentikan).Hidroksiklorokuin (> 6 bulan
pemakaian) dan klorokuin (> 3 bulan pemakaian) perlu diperiksa
oftalmologik karena beresiko toksik terhadap retina.
Bila pemberian OAM tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian
kortikosteroid dosis rendah (< 15 mg/pagi hari).Metotreksat (7.5-15
mg/minggu) dan diberikan berdampingan dengan obat anti artritis.
Bila terjadi artralgia pada 1 atau 2 sendi yang “menetap” dan bukan
merupakan bukti tambahan peningkatan aktivitas penyakit, kemungkinan
penderita mengalami osteonekrosis (terutama pada penderita terapi
kortikosteroid). Osteonekrosis awal, sering tidak menunjukkan gambaran

23
bermakna pada foto radiologik konvensional, sehingga memerlukan
pemeriksaan MRI.

 Lupus kutaneus
Sekitar 70% mengalami fotosensitifitas.Eksaserbasi akut SLE timbul
bila penderita terpapar sinar UV, inframerah, fluoresensi. Sehingga perlu
diberikan sunscreen berupa cream, minyak, lotion, atau gel yang
mengandung PABA (ρ-aminobenzoit acid) dan esternya, benzofenon,
salisilat, sinamat yang kesemuanya dapat menyerap sinar UV α dan β
(pemakaian diulang setelah mandi dan berkeringat).

Glukokortikosteroid lokal (cream, salep, atau injeksi) dapat dipertimbangkan


pada dematitis lupus, pemilihan preparat harus diperhatikan karena bersifat diflorinasi
(atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan fragilitis), anjuran preparat steroid
untuk kulit :

 Muka [steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi


(hidrokortison)]
 Badan dan lengan [steroid lokal berkekuatan sedang
(betametason valerat dan triamsinolon asetonid)]
 Palmar dan plantar pedis dengan lesi hipertrofik
(glukokortikoid berkekuatan tinggi contohnya betametason
dipropionat, penggunaan cream dibatasi selama 2 minggu dan
diganti dengan yang berkekuatan rendah)

OAM sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik subakut maupun
diskoid. OAM mempunyai efek :

o Sunblocking
Mengikat melanin
o Antiinflamasi
o Imunosupresan
Berhubungan dengan ikatannya pada membran lisosomal sehinggga mengganggu
metabolisme rantai α dan β HLA II.

24
o Mengurangi pelepasan IL-1, IL-6, TNF-α oleh makrofag, IL-2
dan IFN-γ oleh sel T.

Pada penderita resisten OAM, dapat dipertimbangkan pemberian


glukokortikoid sistemik dan obat eksperimental lainnya.

Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,


vaskulitis, lesi LE berbula, selain itu perhatikan efek sampingnya seperti :

o Methemoglobinemia
o Sulfhemoglobinemia
o Anemia hemolitik (memperburuk ruam LE kulit)

 Fatigue dan keluhan sistemik


Fatigue merupakan keluhan yang sering terjadi, demikian juga penurunan
berat badan, dan demam.Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid,
sedangkan penurunan berat badan dan demam diakibatkan oleh pemberian
quinakrin.Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup dengan
menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja.Pada keadaan yang berat dapat
menunjukkan peningkatan akitivitas SLE dan pemberian glukokortikoid sistemik
dapat dipertimbangkan.

 Serositis (radang membran serosa)


Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis.Keadaan ini dapat diatasi
dengan salisilat, OAINS, OAM, atau glukokortikoid dosisi rendah (< 15
mg/hari).Pada keadaan berat diberikan glukokortikoid sistemik.

Terapi agresif

Pemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat mulai timbul manifestasi


serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya :

 Vaskulitis
 Lupus kutaneus berat
 Poliartritis
 Poliserositis

25
 Miokarditis pneumonitis lupus
 Glomerulonefritis (bentuk proliferatif)
 Anemia hemolitik
 Trombositopenia
 Sindrom otak organik
 Defek kognitif berat
 Mielopati
 Neuropati perifer
 Krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)

Dosis glukokortikoid lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan


jenisnya yang akan diberikan. Sebaiknya hindari pemberian deksametason karena
berefek panjang, lebih baik menggunakan prednison karena lebih mudah untuk
mengatur dosisnya.Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan pada pagi
hari.Pada manifestasi berat dapat diberikan prednison 1-1.5 mg/kgBB/hari.

Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB/hari


selama 3-5 hari, dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid dosis
tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1.5 mg/kgBB/hari. Efek terapi
dapat terlihat secepat mungkin atau mungkin 6-10 minggu kemudian.Toksisitas SLE
merupakan masalah tersendiri pada penatalaksanaan SLE.

Setelah pemerian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus


dilakukan penurunan dosis bertahap (5-10%) setiap minggu agar tidak timbul
ekserbasi akut.Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis
dilakukan 2.5 mg/minggu.Setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari,
penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu.Bila timbul ekserbasi akut, naikkan dosis
hingga dosis efektif sampai beberapa minggu, kemudian turunkan dosis kembali.

Bila dalam 4 minggu pemberian glukokortikoid tidak menunjukkan perbaikan


yang nyata, maka pertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi
agresif lainnya. Obat sitotoksik adalah bolus siklofosfamid intravena 0.5-1 gr/m 2
dalam 250 ml NaCl 0.9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3
liter/24 jam setelah pemberian obat. Siklofosfamid diindikasikan pada :

26
 Penderita SLE dengan terapi steroid dosis tinggi (steroid
sparing agent)
 Penderita SLE dengan kontraindikasi terhadap steroid dosis
tinggi
 Penderita yang kambuh setelah diterapi dengan steroid jangka
panjang lama atau berulang
 Glomerulonefritis difus awal
 SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid
 Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya
faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
 SLE dengan manifestasi SSP
Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis
siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2.Setelah pemberian siklofosfamid,
segera pantau jumlah leukosit darah, bila mencapai 1500/ml maka dosis siklofosfamid
berikutnya diturunkan 25%.Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml
menunjukkan dosis yang tidak adekuat, sehingga harus ditingkatkan 10% pada
pemberian berikutnya.Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1
bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun.Selama pemberian siklofosfamid
diberikan, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas
lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi :

 Nausea
 Vomitus alopesia
 Sistitis hemoragika
 Keganasan kulit
 Penekanan fungsi ovarium dan azoospermia

Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang lebih rendah dari
siklofosfamid adalah azatioprin yang merupakan analog purin yang dapat digunakan
sebagai alternatif siklofosfamid dengan dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini dapat
diberikan selama 6-12 bulan pada penderita SLE, setelah penyakitnya dapat dikontrol
dengan steroid seminimal mungkin, maka dosis azatioprin dapat diturunkan perlahan
dan dihentikan. Toksisitas dari azatioprin meliputi :

27
 Penekanan sistem hemopoetik
 Peningkatan enzim hati
 Mencetuskan keganasan

Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A dosis rendah


(3-6 mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan pada
SLE baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama
pemberian harus diperhatikan tekanan darah dan kada kreatinin darah, bila kadar
kreatinin darah meningkat 20% dari kadar sebelum pemberian siklosporin maka dosis
harus diturunkan.

Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu :

 Terapi hormonal
 Imunoglobulin
 Afaresis
o Plasmafaresis
o Leukofaresis
o Kriofaresis
Yang paling banyak digunakan yaitu danazol, merupakan androgen yang dapat
mengatasi trombositopenia pada SLE.Mekanismenya tidak diketahui secara pasti.
Pemberian Ig intravena juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400
mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharan setiap bulan
untuk mencegah kekambuhan. Pemberian Ig kontraindikasi mutlak dengan penderita
defisiensi IgA pada penderita SLE.

Penatalaksanaan non-farmako :

 Edukasi

Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan

28
 penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang
berbagai

macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit


yang

 berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa


cemas yang

 berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan


pemahaman bahwa

 bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit


sedang remisi,

sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin
maupun

 penderita selama hamil.

 Dukungan sosial dan psikologis.

Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan
peer 

group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2


organisasi

pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus
Indonesia di

Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan


masyarakat

mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan


finansial

untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.

 Istirahat

Penderita LES sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup,
selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan
depresi.

 Tabir surya

Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar


sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar
matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30

29
pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.

 Monitor ketat

Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila


terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya.Risiko infeksi juga meningkat
sejalan denganpemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid.Risiko
kejadian penyakit kejadiankardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga
meningkat pada penderita SLE,sehingga perlu pengendalian faktor risiko
seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.

Penatalaksanaan SLE keadaan khusus

Trombosis

Merupakan manifesatasi SLE dan berhubungan dengan adanya antibodi


antifosfolipid. Antikoagulan merupakan obat pilihan untuk mengatasinya (warfarin)
dan mempertahankan nilai INR (international normalization ratio) 3–3,5, terutama
pada trombosis arteri karotis interna. Antikoagulan lupus berespon baik terhadap
glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan sedangkan antibodi antikardiolipin sangat
resisten terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lainnya.

Abortus berulang pada SLE

Disebabkan oleh aktivitas SLE atau adanya antibodi antifosfolipid, untuk


menekan aktivitas SLE, glukokortikoid cukup aman dan tidak mempengaruhi janin
kecuali betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin dalam bentuk
aktif.Pada penderita yang belum pernah mengalami abortus, dapat dipertimbangkan
untuk tidak diberikan terapi apapun.Makin sering terjadi abortus, kemungkinan
mempertahankan kehamilan makin kecil, sehingga terapi perlu diberikan.

Pilihan terapi :

 Aspirin dosis rendah


 Kombinasi aspirin dosis rendah dengan glukokortikoid dosis
sedang
 Glukokortikoid dosis tinggi
 Glukokortikoid dosis tinggi dengan aspirin

30
 Heparin (warfarin bersifat teratogenik pada kehamilan trimester
I)
Semua regimen ini meningkatkan keberhasilan kehamilan secara bermakna,
pemantauan pada ibu dan janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan.

Lupus neonatal

Merupakan sindrom pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita
SLE.Gejala paling sering adalah ruam kemerahan dikulit disertai plakat.Lesi ini
berhubungan dengan transmisi antibodi Anti Ro (SS-A) melalui plasenta. Kelainan
yang serius seperti blok jantung kongenital jarang terjadi. Sehingga pada wanita hamil
perlu diperiksa kemungkinan adanya antibodi anti-Ro.

Trombositopenia

Pertama-tama cari penyebab terjadinya trombositopenia :

 Efek samping obat


 Purpura trombositopenia trombotik
 Infeksi virus (HIV, HBV, CMV)
 Infeksi bakteri (Endokarditis bakterialis, sepsis gram-negatif)

Berikan prednison 0.5-1 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu, bila jumlah


trombosit < 50.000/ml kemudian turunkan dosis secara perlahan, target terapi ini
trombosit > 50.000/ml. Bila prednison tidak berefek baik, berikan danazol 400-800
mg/hari, Ig atau splenektomi.

Pada penderita yang resisten atau penderita dengan keterlibatan organ mayor
dapat diberikan bolus siklofosfamid tiap bulan sampai 6 bulan.

SLE pada susunan saraf pusat

Penderita SLE pada susunan saraf pusat dibagi menjadi dua, yaitu :

 Penderita dengan strok

31
Pemberian antikoagulan lebih berguna dibandingkan pemberian
imunosupresan
 Penderita dengan kelainan SSP yang lebih luas
Apabila disertai vaskulitis perifer, maka imunosupresan menjadi pilihan utama.

Pada penderita SLE dengan kejang-kejang tanpa aktivitas pada organ lain,
dapat diberikan antikonvulsan tanpa imunosupresan. Pada penderita psikotik tanpa
manifestasi SLE lain cukup diberikan obat psikoaktif. Kelainan kognitif ringan dapat
diberikan prednison 30mg/hari selama beberapa minggu lalu dosis diturunkan secara
bertahap.Pada sindrom otak organik berat, koma, mielopati diberikan terapi agresif
dengan glukokortikoid dosis tinggi, dengan atau tanpa obat sitotoksik.

Nefritis lupus

Penatalaksanaan umum :

1. Penderita yang diduga menderita nefritis lupus, harus dilakukan


biopsi ginjal (bila tidak ada kontraindikasi) guna menentukan
strategi penatalaksanaan lebih lanjut.
2. Kurangi asupan :
a. Garam (bila ada hipertensi)
b. Lemak (bila ada dislipidemia)
c. Protein (bila fungsi ginjal mulai terganggu)
3. Perhatikan asupan kalsium untuk mencegah osteoporosis akibat
steroid
4. Berikan loop diuretics untuk mengatasi edema
5. Hindari penggunaan salisilat dan OAINS
6. Terapi agresif terhadap hipertensi
7. Hindrai kehamilan, karena beresiko tinggi untuk mengalami
kegagalan ginjal
8. Penderita nefritis lupus dengan manifestasi SLE kulit, dapat
diberikan OAM
9. Pemantauan berkala aktifitas penyakit dan fungsi ginjal
meliputi :
a. Tekanan darah
b. Sedimen urin

32
c. Kreatinin serum
d. Albumin serum
e. Protein urin 24 jam
f. Komplemen C3

2.7 Komplikasi

Komplikasi LES pada anak meliputi:

 Hipertensi (41%)
 Gangguan pertumbuhan (38%)
 Gangguan paru-paru kronik (31%)
 Abnormalitas mata (31%)
 Kerusakan ginjal permanen (25%)
 Gejala neuropsikiatri (22%)
 Kerusakan muskuloskeleta (9%) dan Gangguan fungsi gonad (3%)

2.8 Prognosis

Angka harapan hidup :

 5 tahun : 85-88%
 10 tahun : 76-87%

Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat :

 Infeksi penyakit
 Nefritis lupus
 Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya)
• Penyakit kardiovaskular
 Lupus sistem saraf pusat

33
Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal
merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada SLE, dikarenakan
tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan
keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.

Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin


membaik, banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan.Wanita
penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan
bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang
berat dan penyakitnya dapat dikendalikan.Angka harapan hidup 10 tahun
meningkat sampai 85%.Prognosis yang paling buruk ditemukan pada
penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang
berat.

LI.3. Memahami dan Menjelaskan sabar dalam menghadapi cobaan dalam


pandangan islam

Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan).

Kata “shabara” berarti “rabatha” (mengikat) atau “autsaqa” (menguatkan).

Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan


sesuatu ataumeninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah.

Hakikat sabar adalah ketika kita mampu mengendalikan diri untuk tidak
berbuat keji dan dosa, ketika mampu menaati semua perintah Alloh, ketika mampu
memegang teguh akidah islam, dan serta tidak mengeluh atas musibah dan keburukan
apapun yang menimpa kita.

Allah berfirman:

“Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146).

34
“Dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam
peperangan.Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-
orang yang bertaqwa.”

(Al-Baqarah: 177).

‫والذين صبروا ابتغاء وجه ربهم‬

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya” (Ar-Ra’d:


22)

Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah menggambarkan dalam


sebuah haditsnya; Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullan saw. bersabda, “Tidaklah
seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya
dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan
menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut.” (HR. Bukhari & Muslim).

Sabar terbagi kepada tiga macam:

1.) Sabar dalam menjalankan perintah-perintah dalam agama

Sebagaimana Allah sebutkan dalam firman-Nya:

َ ‫َوأَ ِطيعُوا هَّللا َ َو َرسُولَهُ َواَل تَنَا َزعُوا فَتَ ْف َشلُوا َوت َْذه‬
]46/‫َب ِري ُح ُك ْم َواصْ بِرُوا إِ َّن هَّللا َ َم َع الصَّابِ ِرينَ [األنفال‬

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan,
yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Dalam ayat yang mulia ini Allah memerintahkan untuk bersabar setelah perintah
untuk berbuat taat kepada-Nya dan kepada rasul-Nya. Ini menunjukkan bahwa dalam
melakukan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya amat butuh pada kesabaran.

2.) Sabar dalam mengendalikan diri dari hal-hal yang diharamkan dalam agama

Untuk hal ini Allah sebutkan dalam firman-Nya:

35
“kamu sungguh – sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga)
kamu sungguh – sungguh akan mendengar dari orang – orang yang diberi kitab
sebelum kamu dan dari orang – orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang
banyak yang menyakitkan hati .jika kamu bersabar dan bertakwa, maka
seseungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut di utamakan.”(Ali
Imran : 186).

3.) Sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian (musibah) dari Allah

Seperti Allah sebutkan dalam firman-Nya:

ٌ ‫صلَ َو‬
‫ات ِم ْن‬ َ ِ‫) أُولَئ‬156( َ‫صيبَةٌ قَالُوا إِنَّا هَّلِل ِ َوإِنَّا إِلَ ْي ِه َرا ِجعُون‬
َ ‫ك َعلَ ْي ِه ْم‬ َ َ‫) الَّ ِذينَ إِ َذا أ‬155( َ‫َوبَ ِّش ِر الصَّابِ ِرين‬
ِ ‫صابَ ْتهُ ْم ُم‬
]157-155/‫ك هُ ُم ْال ُم ْهتَ ُدونَ [البقرة‬ َ ِ‫َربِّ ِه ْم َو َرحْ َمةٌ َوأُولَئ‬

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi
raaji’uun.” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat
dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”(Al-
Baqarah:155-157).

36
Daftar Pustaka

Baratawidjaja, K. G., & Rengganis, I. (2010). Imunologi Dasar (IX ed.). Jakarta:
Balai Penerbit FKUI 

Akib,Arwin,dkk.2010.Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Edisi Kedua. Jakarta: IDAI.

Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Setiati, S., & K, M. S. (Penyunt.). (2009 ).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (V ed.). Jakarta: Interna Publishing 

Davey P. (2002). Medicine at a Glance. England : Blackwell Science Ltd.

http://medicastore.com/penyakit/538/Lupus_Eritematosus_Sistemik.html

http://www.anneahira.com/sabar-dan-ikhlas.htm

37
38

Anda mungkin juga menyukai