Anda di halaman 1dari 19

SKENARIO 2

MODUL 4.1

Disusun oleh :

Nama :Diana Ayu Permata


NIM : 18109011033
Kelompok : 4

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2020
SKENARIO 2

Seorang wanita usia 26 tahun datang ke klinik dengan keluhan adanya ruam
kemerahan di wajah sejak 1 bulan yang lalu, ruam dirasakan semakin memberat
saat terkena sinar matahari. Pasien juga merasakan cepat lelah, rambut mudah
rontok, dan nyeri pada sendi yang berpindah-pindah. 1 bulan terakhir ini pasien
merasakan berat badanya menurun.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD normal, pada wajah tampak eritema


yang menyebar pada batang hidung dan kedua pipi. konjungtiva anemis (+),
sklera ikterik(-), pemeriksaan jantung, paru, dan abdomen dalam batas normal,
ektremitas akral hangat, oedema(-). Dokter meminta pasien untuk diperiksa darah
rutin dan didapatkan hasil :Hb 7 gr/dl, Hematokrit 22 %, leukosit 3200/ul,
trombosit 110.000/ul, kemudian dokter memberikan obat ibuprofen 3x400 mg ke
pasien dan merujuk pasien ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Step 1

1. Ruam adalah Kondisi kulit yang dapat ditandai dengan adanya iritasi,
bengkak, perubahan warna merah maupun perubahan tekstur kulit yang tidak
normal.

2. Eritema adalah kondisi munculnya bercak kemerahan pada kulit yang


disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah di bawah kulit. Munculnya eritema
bisa diakibatkan oleh reaksi peradangan akibat paparan sinar matahari, alergi
terhadap beberapa jenis zat atau obat-obatan, hingga infeksi.

Step 2
1. Apa pengaruh sinar matahari terhadap ruam?
2. Mengapa ada keluhan rambut rontok pada pasien?
3. Mengapa pasien cepat lelah?
4. Mengapa pasien mengalami nyeri sendi yang berpindah pindah?

Step 3
1. Pengaruh sinar matahari terhadap ruam karena dokter ingin mengurangi
gejala yg di keluhkan pasian nyeri sendi dan ruam.
2. Bahwa terdapat dua jenis rambut yang sering rontok karena penyakit
lupus, yaitu rambut rontok dengan jaringan parut (scar) dan tanpa jaringan
parut. Ternyata, rambut rontok tanpa jaringan parut/ bekas luka dapat
diakibatkan oleh peradangan dari penyakit lupus.
3. Bila di lihat hb pasien rendah, yg mana hb berfungsi dlm proses
eritropoesis, krn hb rendah menyebabkan kadar SDM juga rendah
sehingga akan terjadi hipoksemia/rendahnya kemampuan membawa o2
sehingga akan menyebabkan hipoksia jaringan saat hal ini terjadi akan
timbul gg metabolisme tubuh dalam menghasilkan ATP. Selanjutnya
tubuh akan memberikan reaksi kompensasi berupa perubahan
metabolisme dari aerob ke anaerob. Hal ini dikarenakan untuk menghemat
pasokan o2 yg semakin berkurang di jaringan. Krn pada metabolisme
anaerob menghasilkan energi yg sedikit dan asam laktat yg
mengakibatkan otot lelah.
4. Nyeri sendi terjadi akibat penumpukan kompleks antigen-antibodi yg
memancing pembentukkan komplemen sehingga menarik fagosit dan
memicu proses peradangan
Step 4

Perempuan 26 tahun datang ke klinik

KU : ruam kemerahan diwajah

Onset : 1 bulan

FP : memberat ketika terkena sinar


matahari

Keluhan lain : cepat lelah,rambut


rontok,nyeri sendi berpindah

PF : tanda vital normal,wajah tampak


eritema,konjungtiva anemis,sklera tidak

SLE ( Syndroma Lupus Eritematosa)

Step 5
1. Mahasiswa mampu mengetahui,memahami dan menjelaskan definisi dan
etiologi SLE
2. Mahasiswa mampu mengetahui,memahami dan menjelaskan Epidemiologi
SLE
3. Mahasiswa mampu mengetahui,memahami dan menjelaskan Patofisiologi SLE
4. Mahasiswa mampu mengetahui,memahami dan menjelaskan manifestasi klinis
5. Mahasiswa mampu mengetahui,memahami dan menjelaskan Penegakan
diagnosis SLE
6. Mahasiswa mampu mengetahui,memahami dan menjelaskan Tatalaksana SLE
7. Mahasiswa mampu mengetahui,memahami dan menjelaskan Prognosis SLE

Step 6
Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada
jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa sistem imun menyerang jaringan tubuh
sendiri. Pada SLE ini, sistem imun terutama menyerang inti sel .Lupus atau SLE
berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan. Istilah ini mulai dikenal sejak
abad ke-10. Sedang eritematosus berarti merah. Ini untuk menggambarkan ruam
merah pada kulit yang menyerupai gigitan anjing hutan di sekitar hidung dan
pipi. Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan untuk penyakit Systemic
Lupus Erythematosus. Gejala awalnya sering memberikan keluhan rasa nyeri di
persendian. Tak hanya itu, seluruh organ pun tubuh terasa sakit bahkan terjadi
kelainan pada kulit, serta tak jarang tubuh menjadi lelah berkepanjangan dan
sensitif terhadap sinar matahari.

Etiologi

Penyakit lupus lebih banyak menyerang wanita usia 15-45 tahun dengan
perbandingan mengenai perempuan antara 10-15 kali lebih sering dari pria.
Artinya, penyakit ini sering mengenai wanita usia produktif tetapi jarang
menyerang laki-laki dan usia lanjut. Sebetulnya terdapat tiga jenis penyakit lupus,
yaitu lupus diskoid, lupus terinduksi obat dan lupus sistemik atau SLE ini.
Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang
penyakit LES dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel
T, atau pada interaksi antara kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan
aktivasi selsel B poliklonal, akibatnya terjadi pembentukan autoantibodi secara
berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi patologik yang terbentuk akibat sistem
imun tubuh tidak dapat membedakan antara “self” dan “nonself ”. Selain itu
banyak faktor lain yang berperan terhadap timbulnya penyakit LES, antara lain
faktor genetik, defisiensi komplemen, hormon, lingkungan, stress, obat-obatan
dan faktor lain.

Patofisiologi

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : Adanya satu atau


beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4 + ,
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya
muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B,
baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud
pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya
ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi. Pada SLE,
autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak
pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non
histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk
agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel
ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak
tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini
secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya
yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.
Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu.
Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan
pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun uptake kompleks imun
pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit
kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan
mengendap pada berbagai maca organ dengan akibat terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen
yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang
inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan
sebagainya.

Manifestasi Klinis SLE


Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (Sumber: Harrison’s
PrinciplesofInternalMedicine,17th edition)
1. Malar rash / Butterfly rash

Fixed erythema, flat or raised, over the malar eminences.

2. Discoid rash

Erythematous circular raised patches with adherentkeratotic scaling and


follicular plugging; atrophic scarringmay occur.

3. Photosensitivity

Exposure to ultraviolet light causes rash.


4. Oral ulcers

Includes oral and nasopharyngeal ulcers, observed byphysician.

5. Arthritis

Nonerosive arthritis of two or more peripheral joints, withtenderness,


swelling, or effusion.
6. Serositis

Pleuritis or pericarditis documented by ECG or rub orevidence of effusion.

7. Renal disorder

Proteinuria >0.5 g/d or ≥3+, or cellular casts.

8. Neurologic disorder

Seizures or psychosis without other causes.

9. Hematologic disorder

Hemolytic anemia or leukopenia (<4000/µL) or lymphopenia (<1500/µL)


or thrombocytopenia(<100,000/µL) in the absence of offending drugs.

10. Immunologic disorder

Anti-dsDNA, anti-Sm, and/or anti-phospholipid.

11. Antinuclear antibodies

An abnormal titer of ANA by immunofluorescence or anequivalent assay at any


point in time in the absence of drugsknown to induce ANAs

Penegakan Diagnosis
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)
merupakan penyakit in lamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum
diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat
beragam.Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta
lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.

Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini


diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria (de initif) atau banyak kriteria
terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of
Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997. Namun, mengingat dinamisnya
keluhan dan tanda SLE dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis,
neuropskiatrik lupus (NPSLE), maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi.
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini
tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi
sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia,
dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit
SLE menjadi penting.
Keterangan: a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis
harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau
dengan tenggang waktu. b. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki


sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.

Diagnosis Banding

Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis


akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa,
yaitu:

a. Undifferentiated connective tissue disease

b. Sindroma Sjögren

c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)

d. Fibromialgia (ANA positif)

e. Purpura trombositopenik idiopatik

f. Lupus imbas obat 9

g. Artritis reumatoid dini

h. Vaskulitis

Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE

Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama


menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan
pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya
yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah
dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.

Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.

Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:

1. Secara klinis tenang

2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa


3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh SLE dengan manifestasi
arthritis dan kulit.

Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:

1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)

2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)

3. Serositis mayor

Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan


sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:

a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,


tamponade jantung, hipertensi maligna.

b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,


infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.

c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.

d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.

e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).

f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,


mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.

g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit < 20.000/mm3 , purpura


trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.

Tatalaksana SLE

Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya

a. Pengobatan SLE Ringan Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara
bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang
penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu: Obat-obatan

- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.


- Obat anti in lamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan in lamasi.

- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi


ringan)

- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin


250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal
akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin
dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12
bulan

. - Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.

Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor
sekurangkurangnya 15 (SPF 15)

b. Pengobatan SLE Sedang

Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu
serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang
refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara. Lihat algoritme terapi SLE.

c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan
obatobatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-
obatan sebagaimana tercantum di bawah ini.

Glukokortikoid Dosis

Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60 mg / hari (1


mg/kgBB) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian
diturunkan secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intra
vena 500 mg sampai 1 g / hari selama 3 hari bertutut-turut.

Obat Imunosupresan atau Sitotoksik


Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa
digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin,
mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis,
perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara
kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik.

d. Terapi Lain

Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE
mencakup:

- Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari,
terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis,
neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter
dengan terapi konvensional.

- Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus


serberitis.
- Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.

- Danazol pada trombositopenia refrakter.

- Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring eff ect


pada SLE ringan.39

- Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter
dengan obat lainnya. - Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat
diberikan pada SLE yang berat.

- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator


limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE42 (saat ini belum tersedia
di Indonesia)

- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40


(CD40LmAb). - Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.

Prognosis

Angka 5-year survival dan 10-year survival SLE telah membaik selama
beberapa dekade terakhir. Penyakit ginjal telah dapat diterapi dengan lebih
efektif, namun SLE yang melibatkan sistem saraf pusat, paru, jantung, dan
saluran cerna masih merupakan masalah besar hingga saat ini. Prognosis untuk
masing-masing individu bergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala klinis,
sistem organ yang terlibat, dan kondisi komorbid. Konsekuensi jangka panjang
SLE, termasuk pada late lupus syndrome, merupakan salah satu perhatian. Angka
bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95% setelah 2 tahun, 82
sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63 sampai
75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10 tahun)
dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 µmol/l (>1,4
mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g), anemia
[hemoglobin <124 g/l (12,4 g/dl)], hipoalbuminemia, hipokomplemenemia, dan
aPL pada saat diagnosis. Pasien yang menjalani terapi transplantasi ginjal
memiliki angka kejadian penolakan graft yang relatif tinggi (sekitar dua kali
pasien dengan penyebab lain gagal ginjal tahap akhir), namun secara umum
angka bertahan hidup pasien masih dapat diperbandingkan (85% setelah 2 tahun).
Nefritis lupus terjadi pada 10% ginjal yang ditransplantasi. Hendaya pada pasien
dengan SLE sering ditemukan terutama disebabkan oleh penyakit ginjal kronik,
kelelahan, artritis, dan nyeri. Sebanyak 25% pasien dapat mengalami remisi,
terkadang untuk beberapa tahun, namun jarang sekali bersifat permanen.
Penyebab mortalitas utama pada dekade pertama penyakit adalah aktivitas
penyakit sistemik, gagal ginjal, dan infeksi; selain itu, kejadian tromboemboli
semakin sering menjadi penyebab mortalitas. Prognosis pada kasus ini bisa
digolongkan dalam kategori dubius ad malam karena penglibatan system saraf
pusat.

Kesimpulan

Dari skenario diatas dapat disimpulkan bahwa seorang wanita usia 26


tahun menderita kelainan autoimun lebih tepatnya Systemic Lupus
Erythematosus. Hal ini ditunjukkan dari gejala yang dialami oleh pasien yaitu
adanya ruam kemerahan di wajah ,cepat lelah, rambut mudah rontok, dan nyeri
pada sendi yang berpindah-pindah. Pasien ini dapat diberikan terapi berupa
edukasi dan pemberian obat-obatan yang tepat.
Dalil

Dikutip dar : Syarah Riyadhus Shalihin Jilid 4 dalam hadits nomor 1484

Artinya: Dari Anas radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallahu


allahi wasallam mengucapkan doa: Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-
Mu dari penyakit belang (kulit), gila, lepra, dan dari keburukan segala macam
penyakit.
Daftar pustaka

Muthusamy, Vikneshwaran. 2017. Systemic Lupus Erythematous (SLE).FK


Universitas Udayana Denpasar

Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauseer SL, Jameson JL.
Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill; 2005.

Cervera R, Espinosa G, D’Cruz D. Systemic Lupus Erythematous: Pathogenesis,


Clinical Manifestation and Diagnosis. Eular On-line Course on Rheumatic
Diseases – module n°17. 2007-2009.

Anda mungkin juga menyukai