MODUL 4.1
Disusun oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2020
SKENARIO 2
Seorang wanita usia 26 tahun datang ke klinik dengan keluhan adanya ruam
kemerahan di wajah sejak 1 bulan yang lalu, ruam dirasakan semakin memberat
saat terkena sinar matahari. Pasien juga merasakan cepat lelah, rambut mudah
rontok, dan nyeri pada sendi yang berpindah-pindah. 1 bulan terakhir ini pasien
merasakan berat badanya menurun.
Step 1
1. Ruam adalah Kondisi kulit yang dapat ditandai dengan adanya iritasi,
bengkak, perubahan warna merah maupun perubahan tekstur kulit yang tidak
normal.
Step 2
1. Apa pengaruh sinar matahari terhadap ruam?
2. Mengapa ada keluhan rambut rontok pada pasien?
3. Mengapa pasien cepat lelah?
4. Mengapa pasien mengalami nyeri sendi yang berpindah pindah?
Step 3
1. Pengaruh sinar matahari terhadap ruam karena dokter ingin mengurangi
gejala yg di keluhkan pasian nyeri sendi dan ruam.
2. Bahwa terdapat dua jenis rambut yang sering rontok karena penyakit
lupus, yaitu rambut rontok dengan jaringan parut (scar) dan tanpa jaringan
parut. Ternyata, rambut rontok tanpa jaringan parut/ bekas luka dapat
diakibatkan oleh peradangan dari penyakit lupus.
3. Bila di lihat hb pasien rendah, yg mana hb berfungsi dlm proses
eritropoesis, krn hb rendah menyebabkan kadar SDM juga rendah
sehingga akan terjadi hipoksemia/rendahnya kemampuan membawa o2
sehingga akan menyebabkan hipoksia jaringan saat hal ini terjadi akan
timbul gg metabolisme tubuh dalam menghasilkan ATP. Selanjutnya
tubuh akan memberikan reaksi kompensasi berupa perubahan
metabolisme dari aerob ke anaerob. Hal ini dikarenakan untuk menghemat
pasokan o2 yg semakin berkurang di jaringan. Krn pada metabolisme
anaerob menghasilkan energi yg sedikit dan asam laktat yg
mengakibatkan otot lelah.
4. Nyeri sendi terjadi akibat penumpukan kompleks antigen-antibodi yg
memancing pembentukkan komplemen sehingga menarik fagosit dan
memicu proses peradangan
Step 4
Onset : 1 bulan
Step 5
1. Mahasiswa mampu mengetahui,memahami dan menjelaskan definisi dan
etiologi SLE
2. Mahasiswa mampu mengetahui,memahami dan menjelaskan Epidemiologi
SLE
3. Mahasiswa mampu mengetahui,memahami dan menjelaskan Patofisiologi SLE
4. Mahasiswa mampu mengetahui,memahami dan menjelaskan manifestasi klinis
5. Mahasiswa mampu mengetahui,memahami dan menjelaskan Penegakan
diagnosis SLE
6. Mahasiswa mampu mengetahui,memahami dan menjelaskan Tatalaksana SLE
7. Mahasiswa mampu mengetahui,memahami dan menjelaskan Prognosis SLE
Step 6
Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada
jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa sistem imun menyerang jaringan tubuh
sendiri. Pada SLE ini, sistem imun terutama menyerang inti sel .Lupus atau SLE
berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan. Istilah ini mulai dikenal sejak
abad ke-10. Sedang eritematosus berarti merah. Ini untuk menggambarkan ruam
merah pada kulit yang menyerupai gigitan anjing hutan di sekitar hidung dan
pipi. Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan untuk penyakit Systemic
Lupus Erythematosus. Gejala awalnya sering memberikan keluhan rasa nyeri di
persendian. Tak hanya itu, seluruh organ pun tubuh terasa sakit bahkan terjadi
kelainan pada kulit, serta tak jarang tubuh menjadi lelah berkepanjangan dan
sensitif terhadap sinar matahari.
Etiologi
Penyakit lupus lebih banyak menyerang wanita usia 15-45 tahun dengan
perbandingan mengenai perempuan antara 10-15 kali lebih sering dari pria.
Artinya, penyakit ini sering mengenai wanita usia produktif tetapi jarang
menyerang laki-laki dan usia lanjut. Sebetulnya terdapat tiga jenis penyakit lupus,
yaitu lupus diskoid, lupus terinduksi obat dan lupus sistemik atau SLE ini.
Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang
penyakit LES dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel
T, atau pada interaksi antara kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan
aktivasi selsel B poliklonal, akibatnya terjadi pembentukan autoantibodi secara
berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi patologik yang terbentuk akibat sistem
imun tubuh tidak dapat membedakan antara “self” dan “nonself ”. Selain itu
banyak faktor lain yang berperan terhadap timbulnya penyakit LES, antara lain
faktor genetik, defisiensi komplemen, hormon, lingkungan, stress, obat-obatan
dan faktor lain.
Patofisiologi
2. Discoid rash
3. Photosensitivity
5. Arthritis
7. Renal disorder
8. Neurologic disorder
9. Hematologic disorder
Penegakan Diagnosis
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)
merupakan penyakit in lamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum
diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat
beragam.Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta
lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.
Diagnosis Banding
b. Sindroma Sjögren
h. Vaskulitis
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
3. Serositis mayor
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
Tatalaksana SLE
a. Pengobatan SLE Ringan Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara
bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang
penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu: Obat-obatan
. - Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor
sekurangkurangnya 15 (SPF 15)
Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu
serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang
refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara. Lihat algoritme terapi SLE.
Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan
obatobatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-
obatan sebagaimana tercantum di bawah ini.
Glukokortikoid Dosis
d. Terapi Lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE
mencakup:
- Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari,
terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis,
neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter
dengan terapi konvensional.
- Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter
dengan obat lainnya. - Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat
diberikan pada SLE yang berat.
Prognosis
Angka 5-year survival dan 10-year survival SLE telah membaik selama
beberapa dekade terakhir. Penyakit ginjal telah dapat diterapi dengan lebih
efektif, namun SLE yang melibatkan sistem saraf pusat, paru, jantung, dan
saluran cerna masih merupakan masalah besar hingga saat ini. Prognosis untuk
masing-masing individu bergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala klinis,
sistem organ yang terlibat, dan kondisi komorbid. Konsekuensi jangka panjang
SLE, termasuk pada late lupus syndrome, merupakan salah satu perhatian. Angka
bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95% setelah 2 tahun, 82
sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63 sampai
75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10 tahun)
dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 µmol/l (>1,4
mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g), anemia
[hemoglobin <124 g/l (12,4 g/dl)], hipoalbuminemia, hipokomplemenemia, dan
aPL pada saat diagnosis. Pasien yang menjalani terapi transplantasi ginjal
memiliki angka kejadian penolakan graft yang relatif tinggi (sekitar dua kali
pasien dengan penyebab lain gagal ginjal tahap akhir), namun secara umum
angka bertahan hidup pasien masih dapat diperbandingkan (85% setelah 2 tahun).
Nefritis lupus terjadi pada 10% ginjal yang ditransplantasi. Hendaya pada pasien
dengan SLE sering ditemukan terutama disebabkan oleh penyakit ginjal kronik,
kelelahan, artritis, dan nyeri. Sebanyak 25% pasien dapat mengalami remisi,
terkadang untuk beberapa tahun, namun jarang sekali bersifat permanen.
Penyebab mortalitas utama pada dekade pertama penyakit adalah aktivitas
penyakit sistemik, gagal ginjal, dan infeksi; selain itu, kejadian tromboemboli
semakin sering menjadi penyebab mortalitas. Prognosis pada kasus ini bisa
digolongkan dalam kategori dubius ad malam karena penglibatan system saraf
pusat.
Kesimpulan
Dikutip dar : Syarah Riyadhus Shalihin Jilid 4 dalam hadits nomor 1484
Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauseer SL, Jameson JL.
Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill; 2005.