Anda di halaman 1dari 35

SPINAL CORD INJURY

A. Anatomi Medulla Spinalis dan Dermatom


Medulla Spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang
terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1. Medula spinalis terletak
di kanalis vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu duramater,
arakhnoid dan piamater. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligament,
meningen spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal). LCS
mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang subarachnoid. Bagian superior
dimulai dari bagian foramen magnum pada tengkorak, tempat bergabungnya
dengan medulla oblongata. Medula spinalis berakhir di inferior di region
lumbal. Dibawah medulla spinalis menipis menjadi konus medularis dari
ujungnya yang merupakan lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang
berjalan kebawah dan melekat dibagian belakang os coccygea. Akar saraf
lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap
pasangan syaraf keluar melalui foramen intervertebral. Syaraf Spinal
dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal
dan LCS (liquor cerebrospinal).1,2

Gambar 1. Anatomi Medula spinalis 3


Disepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui
radiks anterior atau radiks motorik dan radiks posterior atau radiks sensorik.
Masing-masing radiks melekat pada medulla spinalis melalui fila radikularia

1
yang membentang disepanjang segmen-segmen medulla spinalis yang sesuai.
Masing-masing radiks saraf memiliki sebuah ganglion radiks posterior, yaitu
sel-sel yang membentuk serabut saraf pusat dan tepi. 31 pasang saraf spinal
diantaranya yaitu : 1,2
a. 8 pasang saraf servikal
b. 12 pasang saraf torakal
c. 5 pasang saraf lumbal
d. 5 pasang saraf sakral
e. 1 pasang saraf koksigeal

Gambar 1. 31 pasang saraf spinal.3


Struktur medulla spinalis terdiri dari substansi abu abu (substansia grisea)
yang dikelilingi substansia putih (substansia alba). Pada potongan melintang,
substansia grisea terlihat seperti hurup H dengan kolumna atau kornu anterior
atau posterior substansia grisea yang dihubungkan dengan commisura grisea
yang tipis. Didalamnya terdapat canalis centralis yang kecil. Keluar dari
medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf spinal. Substansi
grisea mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak
bermyelin, saraf sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron. Bagian
posterior sebagai input atau afferent, anterior sebagai Output atau efferent,
comissura grisea untuk refleks silang dan substansi alba merupakan
kumpulan serat saraf bermyelin.

Fungsi medula spinalis :1,4,5


a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu
ventralis.
b. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks
merupakan respon bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus internal
ataupun eksternal untuk mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh.
Refleks yang melibatkan otot rangka disebut dengan refleks somatis dan
refleks yang melibatkan otot polos, otot jantung atau kelenjar disebut
refleks otonom atau visceral.
c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum.
d. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.
Berkaitan dengan masukan sensorik, setiap daerah spesifik di tubuh yang
dipersarafi oleh saraf spinal tertentu yang disebut area dermatom. Saraf spinal
juga membawa serat-serat yang bercabang untuk mempersarafi organ-organ
dalam, dan kadang-kadang nyeri yang berasal dari salah satu organ tersebut
dialihkan ke dermatom yang dipersarafi oleh saraf spinal yang sama.5

3
Gambar 3. Standard Neurological Clasification of Spinal Cord
Injury7

B. Definisi Spinal Cord Injury


Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis
akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem
motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Kelainan motorik yang timbul berupa
kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik
berupa hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang
dipersyarafi oleh level vertebra yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif
berupa gangguan pada fungsi bladder, bowel dan juga adanya gangguan fungsi
seksual.1,5,6

C. Epidemiologi Spinal Cord Injury


Berdasarkan data dari National Spinal Cord Injury Statistical Centre dari
University of Alabama yang dipublikasikan pada Februari 2013, insiden
eidera medulla spinalis diperkirakan sekitar 40 kasus per satu juta populasi di
Amerika Serikat atau 12.000 kasus per tahun. Cedera medulla spinalis
seringkali diderita oleh dewasa muda, dengan hampir setengah dari seluruh
kasus terjadi pada usia 16-30 tahun. Sejak tahun 2010, disabilitas neurologis
yang diderita adalah tetraplegia inkomplit sebesar 40,6%, paraplegia inkomplit
18,7%, paraplegia komplit 18% dan tetraplegia komplit 11,6%.7

D. Klasifikasi Spinal Cord Injury

American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan


Internasional Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan
dan mempublikasikan standart internasional untuk klasifikasi fungsional dan
neurologis cedera medula spinalis. Klasifikasi ini berdasarkan pada Frankel
pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/ IMSOP dipakai di banyak negara karena
sistem tersebut dipandang akurat dan komperhensif.

Skala kerusakan menurut ASIA/ IMSOP adala sebagai berikut:


• Grade (A) Fraktur komplit. Tidak ada fungsi motorik maupun sensorik di
seluruh segmen dermatom dari titik lesi hingga S4-S5.
• Grade (B) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi (termasuk
segmen S4-S5) terganggu, namun fungsi sensorik masih berjalan dengan
baik.

5
• Grade (C) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik di bawah lesi masih
berfungsi dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai kurang dari
3.
• Grade (D) Fraktur Inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi masih berfungsi
dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai lebih dari 3.
• Grade (E) Normal. Fungsi motorik dan sensorik normal.

Skala kerusakan berdasarkan American Spinal Injury Association


(ASIA) / International Medical Society of Paraplegia (IMSOP)
Grade Tipe Gangguan spinalis
ASIA/IMSOP
A Komplit Tidak ada fungsi
sensorik dan motorik
sampai S4-5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih
baik tapi fungsi motorik
terganggu sampai
segmen sakral S4-5
C Inkomplit Fungsi motorik
terganggu dibawah level,
tapi otot-otot motorik
utama masih punya
kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik
terganggu dibawah level,
otot-otot motorik
utamanya punya
kekuatan > 3
E Normal Fungsi sensorik dan
motorik normal

Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi
atas:5
a. Paraplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.
b. Quadriplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment cervikal.
Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak
komplit berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.
Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet
menurut American Spinal Cord Injury Association yaitu :
(1) Central Cord Syndrome
(2) Brown Sequard Syndrome
(3) Anterior Cord Syndrome
(4) Posterior Cord Syndrome
(5) Cauda Equina Syndrome

Nama Sindroma Pola dari lesi saraf Kerusakan


Central cord syndrome Cedera pada posisi Menyebar ke daerah sacral.
sentral dan sebagian Kelemahan otot
daerah lateral. ekstremitas atas lebih berat
Sering terjadi pada dari ekstremitas bawah.
trauma daerah servikal
Brown- Sequard Cedera pada sisi Kehilangan proprioseptif
Syndrome anterior dan posterior dan kehilangan fungsi
dari medula spinalis. motorik secara ipsilateral
Cedera akan
menghasilkan
gangguan medulla
spinalis unilateral
Anterior cord syndrome Kerusakan pada Kehilangan funsgsi
anterior dari daerah motorik dan sensorik
putih dan abu- abu secara komplit.
medulla spinalis
Posterior cord syndrome Kerusakan pada Kerusakan proprioseptif
posterior dari daerah diskriminasi dan getaran.
putih dan abu- abu Fungsi motorik juga
medulla spinalis terganggu
Cauda equine syndrome Kerusakan pada saraf Kerusakan sensori dan
lumbal atau sacral lumpuh flaccid pada
sampai ujung medulla ekstremitas bawah dan
spinalis kontrol berkemih dan
defekasi.

7
Selain itu, Spinal Cord Injury juga dibagi menjadi 3 fase yaitu:
1) Fase akut / spinal shock (2-3 minggu), cirinya:
a. Gangguan motorik
Bila terjadi pada daerah cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke
empat extremitas yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di
bawah daerah cervical akan terjadi kelumpuhan pada anggota gerak
bawah yang disebut paraplegi.
b. Gangguan sensorik
Sensasi yang terganggu sesuai dengan deramtom di bawah lesi, hal
yang terganggu berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi temperatur
ataupun sensasi dalam.
c. Gangguan fungsi autonom (bladder, bowel, dan seksual)
Bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran
pencernaan, fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus
pembuluh darah di bawah lesi. Pada fase ini urine akan terkumpul di
dalam kandung kemih sampai penuh sekali dan baru dapat keluar
apabila sudah penuh.
d. Gangguan respirasi (tergantung letak lesi)
Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level
C4 yaitu cabang dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang
mempersarafi tractus respiratorius, jika terkena maka diafragma pasien
tidak akan bekerja secara maksimal sehingga dapat terkena gangguan
pernafasan.
e. Hipotensi orthostatik
Tidak adanya tonus otot di daerah abdomen dan extremitas inferior
menyebabkan darah terkumpul di daerah tersebut, akibatnya terjadi
penurunan tekanan darah. Problem ini timbul pada saat pasien bangkit
dari posisi terlentang ke posisi tegak atau perubahan posisi tubuh yang
terlalu cepat. Hal ini terjadi pada pasien yang bed rest lama dan
endurancenya menurun.
2) Fase sub akut / recovery (3 minggu – 3 bulan)
Dibagi dalam kriteria:
a. Kriteria 1
Komplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,
motorik, vegetatif, flacciditas dan arefleksia.
b. Kriteria 2
Komplit lesi UMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,
motorik, vegetatif, spastik, dan hiperrefleksia.
c. Kriteria 3
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/ motorik/ vegetatif, lalu ada hiporefleksia dan hipotonus.
d. Kriteria 4
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/motorik, vegetatif, lalu ada hiperrefleksia, dan spastis.
3) Fase kronik (di atas 3 bulan)
Cirinya apabila setelah fase recovery kondisi pasien menjadi complete /
incomplete maka akan timbul gambaran klinis lain, yaitu:
Setelah fase recovery kondisi pasien complete/incomplete vital sign pasien
menurun dan autonomic disrefleksia, yaitu suatu kondisi yang berlebihan
pada sistem autonom. Fenomena ini tampak pada cedera medula spinalis
di atas Th6. Hal ini disebabkan aksi relatif dari sistem saraf otonom
sebagai respon dari beberapa stimulus, seperti kandung kemih, fesces yang
mengeras (konstipasi), iritasi kandung kemih, manipulasi rectal, stimulus
suhu atau nyeri dan distensi visceral. Tandanya yaitu hipertensi mendadak,
berkeringat, kedinginan, muka memerah, dingin dan pucat dibawah level
lesi, hidung buntu, sakit kepala, pandangan kabur, nadi cepat lalu menjadi
lambat.

E. Etiologi Spinal Cord Injury


Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:
a. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal
seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau
kekerasan, merusak medula spinalis. Sebagai lesi traumatik pada medula

9
spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai
dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation
Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula
spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum
vertebra. 1,5,6,8
b. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan
seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada
medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang
bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera
medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik,
penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,
kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
1,5,6,8

F. Patofisiologi Spinal Cord Injury


Patofisiologi yang mendasari cedera medula spinalis penting untuk
dipahami, sehingga dapat segera dilakukan intervensi farmakologi yang tepat
dengan tujuan untuk mengurangi atau mencegah efek dari cedera sekunder.9
Pada skema (Gambar), menggambarkan kombinasi dari berbagai macam
tipe cedera medula spinalis. Banyak sel di medula spinalis mati seketika
secara progresif setelah terjadinya cedera. Kista biasanya terbentuk setelah
cedera memar. Setelah mengalami luka tusuk, sel dari sistem saraf perifer
seringkali menyebabkan daerah yang terkena tusuk membentuk jaringan parut
yang bergabung bersama astrosit, sel progenitor, dan mikroglia.
A. B

Gambar Skema medula spinalis potongan sagital, A. Medula spinalis intak


(sebelum trauma), B. Medula spinalis setelah cedera.13

Akson asending dan desending banyak yang terganggu dan gagal


memperbaiki diri. Beberapa akson membentuk sirkuit baru, akson dapat
menembus kedalam trabekula dan dibentuk oleh sel ependim. Segmen akson
bermielin yang terputus difagosit oleh makrofag. Sebagian remielinasi
muncul spontan, yang terbanyak dari sel schwan.13

11
Pada umumnya, cedera medula spinalis disertai kompresi dan angulasi
vertebra yang parah, misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark
dari medula atau distraksi aksial dari unsur kolumna vertebralis akan
mengakibatkan tarikan (stretch) pada medula. Biasanya cedera medula
spinalis disertai subluksasi dengan atau tanpa rotasi dari vertebra yang
menekan medula diantara tulang yang dislokasi. Kompresi aksial tulang
belakang jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan pada vertebra, dan
tulang lain atau fragmen diskus intervertebralis dapat menekan ke dalam
kanalis spinalis dan menjepit medula dan arteri spinalis. Cedera seringkali
terjadi pada orang tua dengan artritis degeneratif dan stenosis vertebra
servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai ligantum flavum yang terletak
di kanalis vertebra posterior dari medula. Medula spinalis terjepit diantara
spurs (osteofit) anterior dari tulang yang mengalami artritis dan posterior dari
ligamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang dikenal dengan
sebutan sindroma medula sentral.10
Patofisiologi terjadinya cedera medula spinalis meliputi mekanisme cedera
primer dan sekunder.9 Terdapat empat mekanisme cedera primer pada medula
spinalis, pertama adalah dampak cedera disertai kompresi persisten, pada
umumnya terjadi akibat fragmen tulang yang menyebabkan kompresi pada
spinal, fraktur dislokasi, dan ruptur diskus akut. Kedua, Dampak cedera
disertai kompresi sementara, dapat terjadi misalnya pada seseorang dengan
penyakit degeneratif tulang cervikal yang mengalami cedera hiperekstensi.
Ketiga adalah distraksi, terjadi jika kolumna spinalis teregang berlebihan
pada bidang aksial akibat distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi,
ekstensi, rotasi atau adanya dislokasi yang menyebabkan pergeseran atau
peregangan dari medula spinalis dan atau asupan darahnya. Biasanya
mekanisme seperti ini tanpa disertai kelainan radiologis dan pada umumnya
terjadi pada anak-anak dimana vertebranya masih terdiri dari tulang rawan,
ototnya masih belum berkembang sempurna, dan ligamennya masih lemah.
Pada orang dewasa, cedera medula spinalis tanpa disertai kelainan radiologis
umumnya terjadi pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang
belakang. Keempat yaitu laserasi atau transeksi, dapat terjadi akibat luka
tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau distraksi yang parah. Laserasi
dapat terjadi mulai dari cedera yang ringan sampai transeksi lengkap.9
Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan
sebagian mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi
substansia grisea lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer,
tahap awal akan terjadi perdarahan pada medula spinalis dilanjutkan dengan
terganggunya aliran darah medula spinalis menyebabkan hipoksi dan iskemia
sehingga terjadi infark lokal. Hal ini menyebabkan substansia grisea rusak.9
Kerusakan terutama pada gray matter (substansia grisea) karena
kebutuhan metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami trauma secara
fisik terganggu dan ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro
(mikrohemorrages) atau edema di sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat
menyebabkan saraf tersebut semakin terganggu. Hal tersebut yang mendasari
pemikiran bahwa substansia grisea mengalami kerusakan yang ireversibel
selama satu jam pertama, sedangkan substansia alba mengalami kerusakan
selama 72 jam setelah cedera.9
Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan
patologis akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera
memicu timbulnya kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino,
neurotransmiter, eikosanoid vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari
peroksidasi lipid. Program jalur kematian sel juga teraktivasi. Terjadi
kehilangan darah dari barier medula akibat edema dan peningkatan tekanan
jaringan.2 Selama berlangsungnya perdarahan pada medula, maka suplai
darah menjadi terbatas, sehingga menyebabkan iskemia yang mengakibatkan
kerusakan medula lebih lanjut sehingga timbul cedera sekunder.9,10 Cedera
sekunder meliputi syok neurogenik, gangguan vaskular seperti perdarahan
dan reperfusi-iskemia, eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi kalsium
dan gangguan cairan elektrolit, trauma imunologik, apoptosis, gangguan
fungsi mitokondria, dan proses lainnya. 9

13
G. Gejala Klinis Spinal Cord Injury
Tanda dan Gejala
Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan
kehilangan fungsi saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu,
hilangnya reflek pada segment dibawah lesi, termasuk bulbokavernosus,
kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter ani) dan reflek tendon
dalam. Fenomena ini terjadi sementara karena perubahan aliran darah dan
kadar ion pada lesi. Pada trauma medula spinalis inkomplit, masih terdapat
beberapa fungsi di bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi
medula spinalis dapat kembali seperti semula segera setelah syok spinal
teratasi, atau fungsi kembali membaik secara bertahap dalam beberapa bulan
atau tahun setelah trauma.10
Cedera medula spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik
dapat menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi
dari terjadinya cedera. Defisit neurologis yang timbul (fungsi yang hilang
atau tersisa) dapat digambarkan dari pola kerusakan medula dan radiks
dorsalis demikian juga sebaliknya, antara lain:10,14,15
1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medula yang luas akibat anatomi dan
fungsi transeksi medula disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik
dibawah lesi. Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang
parah mereduksi diameter kanalis spinalis dan menghancurkan medula.
Konsekuensinya bisa terjadi paraplegia atau quadriplegia (tergantung dari
level lesinya), rusaknya fungsi otonomik termasuk fungsi bowel, bladder
dan sensorik.
2. Lesi Inkomplit
a. Sindroma medula anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada
separuh bagian ventral medula (traktus spinotalamikus dan traktus
kortikospinal) dengan kolumna dorsalis yang masih intak dan sensasi
raba (propioseptif), tekan dan posisi masih terjaga, meskipun terjadi
paralisis motorik dan kehilangan persepsi nyeri (nosiseptif dan
termosepsi) bilateral. Hal tersebut disebabkan mekanisme herniasi
diskus akut atau iskemia dari oklusi arteri spinal.
b. Brown Squard's syndrome. Lesi terjadi pada medula spinalis secara
ekstensif pada salah satu sisi sehingga menyebabkan kelemahan
(paralisis) dan kehilangan kontrol motorik, perasaan propioseptif
ipsilateral serta persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi) kontralateral
di bawah lesi. Lesi ini biasanya terjadi akibat luka tusuk atau tembak.
c. Sindrom medula sentral. Sindroma ini terjadi akibat dari cedera pada
sentral medula spinalis (substansia grisea) servikal seringkali disertai
cedera yang konkusif. Cedera tersebut mengakibatkan kelemahan pada
ekstremitas atas lebih buruk dibandingkan ekstremitas bawah disertai
parestesi. Namun, sensasi perianal serta motorik dan sensorik
ekstrimitas inferior masih terjaga karena distal kaki dan serabut saraf
sensorik dan motorik sakral sebagian besar terletak di perifer medula
servikal. Lesi ini terjadi akibat mekanisme kompresi sementara dari
medula servikal akibat ligamentum flavum yang tertekuk selama
trauma hiperekstensi leher. Sindroma ini muncul pada pasien stenosis
servikal.
Sindroma konus medularis. Cedera pada regio torakolumbar dapat
menyebabkan sel saraf pada ujung medula spinalis rusak, menjalar ke
serabut kortikospinal, dan radiks dorsaliss lumbosakral disertai
disfungsi upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).
Sindrom kauda ekuina. Sindrom ini disebabkan akibat dislokasi tulang
atau ekstrusi diskus pada regio lumbal dan sakral, dengan radiks
dorsalis kompresi lumbosakral dibawah konus medularis. Pada
umumnya terdapat disfungsi bowel dan bladder, parestesi, dan
paralisis.

15
Gambar. Pola Cedera medula spinalis.14
Jika medula spinalis mengalami cedera, maka saraf-saraf yang berada pada
daerah yang mengalami cedera dan yang di bawahnya akan mengalami
gangguan fungsi, yang menyebabkan hilangnya kontrol otot dan juga
hilangnya sensasi. Hilangnya kontrol otot atau sensasi dapat bersifat
sementara atau menetap, sebagian atau menyeluruh, tergantung dari beratnya
cedera yang terjadi. Cedera yang menyebabkan putusnya medula spinalis atau
merusak jalur jalannya saraf di medula spinalis menyebabkan hilangnya
fungsi yang menetap, tetapi trauma tumpul yang mengguncang medula
spinalis dapat menyebabkan hilangnya fungsi sementara, yaitu bisa sampai
beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan. Hilangnya kontrol otot
sebagian menyebabkan timbulnya kelemahan pada otot. Sedangkan kontrol
otot yang hilang seluruhnya menyebabkan kelumpuhan. Ketika otot
mengalami kelumpuhan, maka otot tersebut seringkali kehilangan tonus
ototnya sehingga menjadi lemas (flaccid). Beberapa minggu kemudian,
kelumpuhan dapat berkembang menjadi spasme otot yang involunter (tidak
disadari) dan lama (paralysis spastik). 1,5,6,8
Kerusakan hebat dari medula spinalis di pertengahan punggung bisa
menyebabkan kelumpuhan pada tungkai, tetapi lengan masih tetap berfungsi
secara normal. Gerakan refleks tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak
akan tetap utuh atau bahkan meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap ada
atau bahkan meningkat. Meningkatnya refleks ini dapat menyebabkan spasme
pada tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang
terkena menjadi memendek, sehingga dapat terjadi kelumpuhan jenis spastik.
Otot yang spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan.
1,5,6,8

Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot
flaksid, refleks hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster
dan hipestesia. Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus
vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering
dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan
tulang. Spingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi
(disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat sistem saraf pusat yang lebih
tinggi. 1,5,6,8
Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga
fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh
refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang
baik refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi spinal
shock ini terjadi 2-3 minggu setelah cedera medula spinalis. Fase selanjutnya
setelah spinal shock adalah keadaan dimana aktifitas refleks yang meningkat
dan tidak terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis
tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih
ringan atau bahkan tidak melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang
timbul pada cidera medula spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada
UMN lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas, hyperefleksia, dan
disertai hypertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga
L1. Dan pada LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaccid, hyporefleksia,
yang disertai hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L3
sampai kauda ekuina, di samping itu juga masih ada gangguan lain seperti
gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan fungsi
pernapasan. 1,5,6,8
Dapat dirumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis
yaitu : 1,5,6,8
a. Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia, parastesia.

17
b. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot
dan reflek tendon myotome.
c. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaccid dan
sapstic blader dan bowel.
d. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan diri.
e. Gangguan mobilisasi yaitu Miring kanan dan kiri, Transfer dari tidur ke
duduk, Duduk, Transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed.
f. Penurunan Vital sign yaitu penurunan ekspansi thorax, kapasitas paru dan
hipotensi.
g. Skin problem menyangkut adanya dekubitus.
Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital yaitu
diantaranya disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera
pada C1-C2 akan mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi
C5-8 akan mempengaruhi m. intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot
abdominal, otot-otot abdominal. Selain itu mempengaruhi intaknya
diafragma, trafezius dan sebagian m. pectoralis mayor. Lesi setinggi thoracal
mempengaruhi otot-otot intercostalis dan abdominal, dampak umumnya yaitu
efektifitas kinerja otot pernafasan menurun. 1,5,6,8

H. Diagnosis Spinal Cord Injury


Pemeriksaan Fisik
Evaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi truma. Deteksi
awal cedera medula spinalis akan mencegah timbulnya gejala sisa (sequele)
pada fungsi neurologik. Pasien yang diduga mengalami cedera medula spinalis
harus dilakukan imobilisasi dengan menggunakan collar servikal (collar
brace) dan papan (backboards).10

A. B.
Gambar. A. Collar servikal, B. backboards.
Di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit/ puskesmas) dilakukan
penanganan terhadap hipoventilasi, hipoksia, dan hiperkanea (yang biasanya
ditemukan pada cedera medula servikal tinggi). Selain itu juga dapat terjadi
hipotensi yang disertai bradikardi, akibat hilangnya inervasi simpatik pada
jantung saat terjadi cedera medula servikal yang disebut syok neurogenik.
Hilangnya inervasi simpatik juga dapat menyebabkan ileus paralitik disertai
sekuestrasi cairan abdomen, distensi kandung kemih, dan hipotermi.10
Setiap pasien tidak sadar harus dipikirkan adannya fraktur vertebra yang
tidak stabil hingga dibuktikan sebaliknya dengan x-rays (foto rontgen).
Resusitasi terhadap hipotensi dan hipoventilasi harus segera dilakukan. Jika
pasien sadar, riwayat kejadian harus ditanyakan, termasuk mekanisme
terjadinya cedera, dan adanya nyeri dan gejala neurologik lain yang timbul.
Adanya keluhan berupa parestesi harus di perhatikan. Sakit kepala hebat,
terutaama sakit kepala daerah oksipital, biasanya disertai fraktur odontoid
atau hangman's fracture (fraktur bilateral dari pedikel C2). Palpasi pada
pasien dengan menggerakan vertebra minimal didapatkan nyeri tekan atau
deformitas. Untuk mengetahui adanya paralisis, pasien diminta untuk
menggerakkan tangannya sendiri dan diberikan tahanan. Refleks tendon
dalam harus dievaluasi pada lengan dan kaki, berkurang atau hilangnya reflek
tersebut dapat membantu pemeriksa mengetahui letak lesi.

19
Gambar. Tingkat sensorik dan motorik dari medula spinalis.10
Hilangnya reflex abdomen (kontraksi akibat stimulasi kulit abdomen
bagian bawah), menunjukkan adanya lesi di region T9-11. Hilangnya reflek
kremasterika (kontraksi otot skrotal sebagai respon dari rangsangan yang
diberikan di paha medial) menunjukkan adany lesi di medula T12-L1.
Adanya reflek bulbokavernosus (kontraksi sphincter ani dengan melakukan
kompresi pada penis atau klitoris atau dengan menurunkan tekanan trigonum
bladder dengan balon kateter foley ketika kateter secara gentle ditarik keluar)
menunjukkan bahwa jalur sensorik dan motorik sacral masih berfungsi.
Hilangnya reflek bulbokavernosus terjadi pada syok spinal atau cedera radiks
dorsalis. Pemeriksaan sensoris pada ekstrimitas, dada, leher, dan wajah harus
dilakukan untuk mengetahui tingkat sensasi sensorik yang berkurang atau
hilang. Sensasi pada sebagian region sakral hampir selalu disebabkan cedera
inkomplit.10
Jika pasien perlu dipindahkan, maka harus menggunakan tekhnik
fireman’s carry atau log-roll, yaitu dibutuhkan minimal tiga orang pada
masing-masing sisi dengan orang keempat yang memimpin gerakan sekaligus
mempertahankan posisi kepala dengan traksi aksial secara gentle (4-7 kg)
menggunakan satu tangan pada dagu (chin) dan tangan lainnya pada
oksiput.10

Gambar Metode log-roll untuk memindahkan korban dengan cedera medula


spinalis.16

Pemeriksaan Reflex Bulbo Cavernous


Reflex bulbocavernosus adalah suatu reflex yang ditandai dengan
kontraksi dari otot bulbospongiosus (otot spingter ani) ketika dorsum penis
ditarik atau glans penis dikompresi. Juga disebut refleks penis.19
Bulbo Cavernosus Refleks atau BCR adalah salah satu cara untuk
mengetahui apakah seseorang menderita shock spinal. Refleks ini merupakan
refleks polysynaptic yang berguna selain untuk mengetahui adanya syok
spinal juga memperoleh informasi tentang adanya cedera sumsum tulang
belakang / Spinal Cord Injury (SCI).

21
Tes ini melibatkan pemantauan kontraksi sfingter anal sebagai respon
terhadap gerakan meremas pada glans penis/klitoris atau tertariknya kateter
Foley19. Refleks ini dimediasi oleh syaraf tulang belakang S2-S4.
Tidak adanya refleks tanpa trauma sumsum tulang belakang sakral
menunjukkan syok spinal. Biasanya ini adalah salah satu refleks pertama
yang kembali setelah syok spinal. Tidak adanya fungsi motorik dan fungsi
sensorik setelah refleks telah kembali menunjukkan adanya cidera spinal
yang lengkap. Tidak adanya refleks ini dalam kasus di mana syok tulang
belakang tidak dicurigai dapat menunjukkan lesi atau cedera medullaris konus
atau cauda euina syndrome. Bulbokavernosus adalah istilah awal untuk
m.bulbospongiosus, sehingga refleks ini seharusnya disebut
"Bulbospongiosus refleks".20
Tidak adanya sacral sparing setelah BCR kembali mengindikasikan
bahwa cedera komplit dari Conus Medullaris Sindrom. Di sisi lain tidak
adanya BCR pada keadaan dimana diduga tidak terjadi shok spinal,
mengindikasikan adanya lesi pada cedera pada conus medullaris atau cauda
equina.

Ilustrasi reflex bulbo cavernosus


Dikutip dari : Spector et all, Cauda equina syndrome. JAAOS 16:2008
Jika refleks telah kembali tapi masih ada kurangnya fungsi sensorik dan
motorik maka ini hanya menunjukkan Spinal Cord Injury komplit. Dalam hal
ini tidak mungkin bahwa fungsi neurologis penting yang pernah akan
kembali. Jika syok spinal tidak terlibat, belum ada atau tidak adanya refleks
ini maka bisa mengindikasikan cedera akar saraf sakral. Hal ini juga dapat
diuji secara electrophysiologik melalui ransangan listrik pada penis dan
rekaman dari kontraksi anus. Tes ini biasanya dilakukan untuk
mengkonfirmasi jika ada motor atau fungsi sensorik dari akar sakral dan di
medullaris konus.21
Syok spinal biasanya berlangsung 48 jam dan pengakhiran shock spinal
sinyal itu datang belakang bulbokavernosus refleks. Tetapi harus diingat
bahwa shock spinal tidak diamati pada cedera yang terjadi di bawah lesi
injurynya. Karena ini tidak menyebabkan shock spinal sehingga tidak adanya
refleks bulbokavernosus menunjukkan adanya cedera cauda equina atau
cedera conus medullaris.21
Berikut ini adalah kegunaan memeriksa refleks bulbocavernosus:
• Bulbocaverosus refleks menunjuk pada kontraksi sfingter anal sebagai
respon terhadap meremas pada glans penis atau menarik pada Foley
kateter
• Refleks mencakup S-1, S-2, dan S-3 akar saraf dan lengkung refleks
sumsum tulang belakang yang dimediasi;
• Setelah trauma tulang belakang, ada atau tidak adanya refleks ini
membawa makna prognostik yang signifikan
• Periode syok spinal biasanya sembuh dalam waktu 48 jam dan kembalinya
BCR menandai berakhirnya shock spinal itu sendiri.
• Syok spinal tidak terjadi untuk lesi yang terjadi di bawah spinal cord, dan
karenanya, fraktur daerah lumbal bagian bawah seharusnya tidak
menyebabkan spinal syok (dan dalam situasi ini, tidak adanya refleks
bulbocaveronsus menunjukkan bahwa adanya cauda equina syndrome
• Hilangnya refleks persisten bulbokavernosus mungkin akibat dari conus
medullary syndrome, misalnya berasal dari suatu Burst fracture V lumbal
Kegunaan Reflex Bulbocavernosus untuk Prognostik:
Absennya fungsi motorik dan fungsi sensorik bagian distal atau sensasi
perirectal, bersama dengan pemulihan refleks bulbokavernosus, menunjukkan

23
SCI yang komplit, dan dalam kasus seperti itu jarang terjadi pemulihan fungsi
neurologis yang signifikan. Oleh karena itu, jika tidak ada pemulihan fungsi
motorik atau sensorik dibawah fraktur site, pasien dicurigai memiliki cedera
saraf tulang belakang yg komplit dan kita tidak lagi mengharapkan pemulihan
fungsi motorik.
Di sisi lain, adanya fungsi motorik sensorik dibawah level dari trauma,
kita anggap sebagai SCI yang incomplete dimana pemulihannya ditentukan
oleh bagian dari spinal cord yang paling terkena.

Pemeriksaan Sacral Sparing


Sacral sparing diuji dengan sentuhan ringan dan sensasi pin di
persimpangan mukokutan anal (S4/5 dermatom), di kedua sisi, serta
pengujian kontraksi anal dan sensasi anal yang mendalam sebagai bagian dari
pemeriksaan dubur. Jika ada salah satu yang hadir, baik utuh atau gangguan,
individual memiliki hasil sakral sparing (+) dan karena cedera sumsum tulang
belakang yang inkomplit.

Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada
trauma vertebra.10 Foto anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk
penilaian cepat tentang kondisi tulang spinal.14 Foto lateral paling dapat
memberikan informasi dan harus dilakukan pemeriksaan terhadap alignment
(kelurusan) dari aspek anterior dan posterior yang berbatasan dengan vertebra
torakalis serta pemeriksaan angulasi spinal di setiap level. Jaringan lunak
paravertebra atau prevertebral yang bengkak biasanya merupakan indikasi
perdarahan pada daerah yang fraktur atau ligamen yang rusak. Foto
anterioposterior regio thoraks dan level lainnya dapat menunjukkan vertebra
torakalis yang bergeser ke lateral atau menunjukkan luasnya pedikel yang
rusak.10 Visualisasi adekuat dari spinal servikal bawah dan torak atas
seringkali tidak mungkin karena adanya korset bahu. Foto polos komplit pada
spinal servikal meliputi gambaran mulut terbuka yang menunjukkan adanya
proses odontoid dan masa lateral C1 pada pasien yang diduga mengalami
trauma servikal.10,14 Gambaran oblik dari servikal atau lumbal akan
menunjukkan adanya fraktur atau dislokasi.
Computed tomography (CT scan) potongan sagital dan koronal dapat
menggambarkan anatomi tulang dan fraktur terutama C7-T1 yang tidak
tampak pada foto polos,10,14 MRI memberikan gambaran yang sempurna dari
vertebra, diskus, dan medula spinalis serta merupakan prosedur diagnostik
pilihan pada pasien dengan cedera medula spinalis.10,14 Kanalis yang
mengalami subluksasi, herdiasi diskus akut atau rusaknya ligamen jelas
tampak pada MRI. Selain itu, MRI juga dapat mendeteksi EDH atau
kerusakan medula spinalis itu sendiri, termasuk kontusio atau daerah yang
mengalami iskemi. 14
Tanda penting untuk diagnosis antara lain: 10
1. Nyeri leher atau punggung pasca trauma
2. Mati rasa atau kesemutan (parestesi) anggota badan atau ekstrimitas
3. Kelemahan atau paralisis
4. Kehilangan fungsi pencernaan dan kandung kencing
5. Gambaran radiologis

I. Tata Laksana Spinal Cord Injury


Cedera pada tulang dan saraf spinalis sering terjadi bersamaan sehingga
terapi keduanya juga harus bersamaan untuk memperoleh hasil yang terbaik.

25
Transeksi anatomikal dari medula spinalis hampir tidak pernah terjadi pada
cedera medula spinalis pada manusia. Oleh karena itu, penting sekali untuk
melindungi jaringan spinal yang masih bertahan. Pertama, didapatkan riwayat
cedera. Kedua, dilakukan perawatan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
(cedera sekunder) dan mendeteksi fungsi neurologik yang memburuk sehingga
dapat dilakukan tindakan koreksi. Ketiga, pasien dirawat hingga kondisi
optimal supaya memungkinkan dilakukan perbaikan dan penyembuhan sistem
saraf. Keempat, evaluasi dan rehabilitasi pasien harus dilakukan secara aktif
untuk memaksimalkan fungsi yang masih bertahan meskipun jaringan saraf
tidak berfungsi. Prinsip tersebut harus disertai dengan meminimalisir biaya
secara ekonomi, sosial dan dan emosional dari cedera medula spinalis.10

Steroid Dosis Spinal


Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-2) dan
NASCIS-3, pasien dewasa dengan akut, nonpenetrating cedera medula
spinalis dapat diterapi dengan metilprednisolon segera saat diketahui
mengalami cedera medula spinalis. Pasien diberikan metilprednisolon 30
mg/kgBB secara IV dalam 8 jam, dan terutama dalam 3 jam setelah cedera,
dilanjutkan dengan infus metilprednisolon 5,4 mg/kgBB tiap 45 menit setelah
pemberian pertama. Jika pasien mendapatkan bolus metilprednisolon antara 3-
8 jam setelah cedera, maka seharusnya pasien tersebut menerima infus
metilprednisolon selama 48 jam sedangkan jika pemberian metilprednisolon
dalam 3 jam setelah cedera, maka pemberian infus prednisolon diberikan
selama 24 jam.10,14 Penelitian menunjukkan akan terjadi pemulihan motorik
dan sensorik dalam 6 minggu, 6 bulan dan 1 tahun pada pasien yang menerima
metilprednisolon. Akan tetapi, penggunaan kortikosteroid belum jelas
kesepakatannya. Steroid dosis spinal juga kontra indikasi untuk pasien dengan
luka tembak atau cedera radiks dorsalis (kauda ekuina), atau hamil, kurang
dari 14 tahun, atau dalam pengobatan steroid jangka panjang, serta hipotermi
(salah satu gejala yang timbul pada cedera medula spinalis).14
Bila terjadi spastisitas otot, berikan: Diazepam 3x5/ 10 Mg/Hari, Baklopen
3x5 Mg hingga 3x 20 Mg sehari. Spasmolitik otot atau relaksan secara
tradisional digunakan untuk mengobati gangguan muskuloskeletal yang
menyakitkan. Efek samping sedasi dan pusing yang umum terjadi.6,8,22
Bila ada rasa nyeri bisa diberikan: Analgetika golongan NSAIDs (anti
inflamasi). Uji klinis menunjukan analgetik ini berguna sebagai pengobatan
untuk nyeri, namun penggunaan jangka panjang harus dihindari karena sering
terjadi efek samping yang merugikan pada fungsi ginjal dan gastrointestinal.
Antidepresan trisiklik: digunakan dalam pengobatan nyeri kronik untuk
mengurangi insomnia, dan juga mengurangi sakit kepala.

Alat Ortotik
Alat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal dengan
cara mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan beban pada
spinal. Pada umumnya penggunaan cervical collars (colar brace) tidak
adekuat untuk C1, C2 atau servikotorak yang instabil. Cervicothoracic
orthoses brace diatas torak dan leher, meningkatkan stabilisasi daerah
servikotorak. Minerva braces meningkatkan stabilisasi servikal pada daerah
diatas torak hingga dagu dan oksiput. Pemasangan alat yang disebut halo-vest
paling banyak memberikan stabilisasi servikal eksternal. Empat buah pin di
pasangkan pada skul (tengkorak kepala) untuk mengunci halo ring. Stabilisasi
lumbal juga dapat digunakan sebagai torakolumbal ortose.14

A. B. C.
Gambar 10. Alat ortose rigid, A. Cervicothoracic orthoses brace, B. Minerva
brace, C. Halo ring.17
Fiksasi skeletal dengan Gardner-Wells tongs atau halo traction dapat
dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau halter traction dapat
digunakan sementara. Thoraciter tractions anhald lumbar fractures dilakukan
dengan mempertahankan pasien pada posisi netral, log rol diperlukan untuk
penatalaksanaan dalam merawat kulit dan pulmonary.10

27
A. B.
Gambar 11. Fiksasi, A. Gardner wells tongs, B. Cervical Halter skin traction.18

Operasi
Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama adalah
untuk dekompresi medula spinalis atau radiks dorsalis pada pasien dengan
defisit neurologis inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi cedera yang terlalu
tidak stabil untuk yang hanya dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi terbuka
(open fixation) dibutuhkan untuk pasien trauma spinal dengan defisit
neurologis komplit tanpa sedikitpun tanda pemulihan, atau pada pasien yang
mengalami cedera tulang atau ligament spinal tanpa defisit neurologis.
Operasi stabilisasi dapat disertai mobilisasi dini, perawatan, dan terapi fisik.14
Indikasi lain operasi yaitu adanya benda asing atau tulang di kanalis spinalis
disertai dengan defisit neurologis yang progresif sehingga menyebabkan
terjadinya epidural spinal atau subdural hematoma. Penatalaksanaan vertebra
yang tidak stabil meliputi, spinal fusion menggunakan metal plates, rods, dan
screws dikombinasi dengan bone fusion.10

Perawatan Berkelanjutan
Sangat penting untuk melakukan pencegahan dan perawatan dari
thrombosis vena dalam, hiperfleksi autonomik dan pembentukan ulkus
dekubitus.14 Banyak pasien dengan cedera medula servikal atau torak tinggi
membutuhkan bantuan ventilasi sampai dinding dada cukup kuat untuk
bernafas. Pasien dengan cedera medula spinalis biasanya bernafas dengan
menggunakan diafragma. Jika terjadi ileus paralitik disertai distensi abdomen
atau pasien tampak lemah maka ventilasi akan memburuk. Pasien akan
mengalami hipoksik, sehingga perlu diberikan intubasi atau ventilasi
mekanik.10 Pasien dengan cedera medula servikal tinggi (diatas C4) seringkali
membutuhkan bantuan ventilasi permanen.14
Akibat hilangnya jalur simpatik medula spinalis, tekanan darah menjadi
rendah dan menyebabkan cedera sekunder. Tekanan darah arteri rata-rata 85-
90 mmHg harus dipertahankan selama 7 hari pertama setelah terjadinya
cedera medula spinalis untuk meningkatkan perfusi pada medula yang cedera.
Jika produksi urin tidak adekuat setelah pemasangan kateter, pasien dengan
hipotensi sedang akan merespon terhadap pemberian konstriktor seperti
efedrin, akan tetapi hal tersebut hanya boleh diberikan setelah dipastikan
tidak ada perdarahan pada rongga dada atau abdomen.10

J. Komplikasi Spinal Cord Injury


Penyebab utama kematian setelah cedera medula spinalis secara potensial
dapat dicegah. Cara terbaik mencegah terjadinya gagal ginjal disertai infeksi
saluran kencing berulang adalah dengan melakukan kateterisasi bladder
intermiten secara hati-hati. Ulkus dekubitus mudah terbentuk pada tulang
yang menonjol pada area yang teranestesi, hal tersebut dapat dicegah
dengan dengan cara turning of patients dan memutar tempat tidur. Pasien
dengan defisit motorik disertai cedera medula spinalis memiliki resiko
tinggi thrombosis vena dalam. Pasien sebaiknya mendapatkan low-
molecular-weight heparin, pneumatic compression stockings atau keduanya
sebagai profilaksis.
Berikut ini adalah komplikasi yang sering terjadi:
a. Ulkus dekubitus: Merupakan komplikasi paling utama pada cedera
medulla spinalis. Terjadi karena tekanan yang pada umumnya terjadi
pada daerah pinggul (ischial tuberositas dan trochanter pada femur).
Pada cedera medulla spinalis tidak hanya terjadi perubahan dari tonus
otot dan sensasi saja, tapi juga peredaran darah ke kulit dan jaringan
subkutan berkurang. 1,5,6,8

29
b. Osteoporosis dan fraktur : Kebanyakkan pasien dengan cedera medulla
spinalis akan mengalami komplikasi osteoporosis. Pada orang normal,
tulang akan tetap sehat dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang
menumpu. Ketika aktifitas otot berkurang atau hilang dan tungkai tidak
melakukan aktifitas menumpu berat badan, maka mulai terjadi
penurunan kalsium, phospor sehingga kepadatan tulang berkurang. 1,5,6,8
c. Pneumonia, atelektasis, aspirasi : Pasien dengan cedera medula spinalis
di bawah Th4, akan beresiko tinggi untuk berkembangnya restriksi
fungsi paru. Terjadi pada 10 tahun dalam cedera medulla spinalis dan
dapat progresif sesuai keadaan. 1,5,6,8
d. Deep Vein Trombosis (DVT) : Merupakan komplikasi terberat dalam
cedera medula spinalis, yaitu terdapat perubahan dari kontrol neurologi
yang normal daripada pembuluh darah.
e. Cardiovasculer disease: Komplikasi dari sistem kardiorespirasi
merupakan resiko jangkapanjang pada cedera medulla spinalis.
f. Neuropatic pain : Merupakan masalah yang penting dalam cedera medulla
spinalis. Berbagai macam nyeri hadir dalam cedera medulla spinalis.
Kerusakan pada daerah tulang belakang dan jaringan lunak di
sekitarnya dapat berakibat rasa nyeri pada daerah cedera. Biasanya
pasien akan merasakan terdapat phantom limb pain atau nyeri yang
menjalar pada level lesi ke inervasinya. 1,5,6,8
g. Perubahan Tonus Otot : Akibat yang paling terlihat pada SCI adalah
paralisis dari otot-otot yang dipersarafi oleh segmen yang terkena.
Kerusakan dapat mengenai traktus descending motorik, AHC, dan saraf
spinalis, atau kombinasi dari semuanya. Saat mengenai traktus
descending, akan terjadi flaccid dan hilangnya refleks. Kemudian
kondisi tersebut akan diikuti dengan gejala autonom seperti berkeringat
dan inkontinensia dari bladder dan bowel. Dalam beberapa minggu akan
terjadi peningkatan tonus otot saat istirahat, dan timbulnya refleks. 1,5,6,8
h. Komplikasi Sistem respirasi : Bila lesi berada di atas level C4 akan
menimbulkan paralisis otot inspirasi sehingga biasanya penderita
membutuhkan alat bantu pernafasan, hal tersebut disebabkan gangguan
pada n. intercostalis. Komplikasi pulmonal yang terjadi pada lesi
disegmen C5 – Th 12, timbul karena adanya gangguan pada otot
ekspirasi yang mendapat persarafan dari level tersebut, seperti m.
adbominalis dan m. intercostalis. Paralysis pada m. obliques eksternalis
juga menghambat kemampuan penderita untuk batuk dan mengeluarkan
sekret. 1,5,6,8
i. Kontrol Bladder dan Bowel : Pusat urinaris pada spinal adalah pada
konus medullaris. Kontrol refleks yang utama berasal dari segmen
sekral. Selama fase spinal syok, bladder urinary menjadi flaccid.
Semua tonus otot dan refleks pada bledder hilang. Lesi di atas conus
medullaris akan menimbulkan refleks neurogenic bladder berupa
adanya spastisitas, kesulitan menahan BAK, hipertrophy otot detrusor,
dan refluks urethral. Lesi pada conus medullaris menyebabkan tidak
adanya refleks bladder, akbiat dari flaccid dan menurunnya tonus otot
perineal dan sphincter utethra. Gangguan pada bowel sama seperti pada
bladder ditambah dengan adanya lesi pada cauda equina. 1,5,6,8
j. Respon Seksual : Respon seksual berhubungan langsung dengan level
dan komplit atau inkompletnya trauma. Terdapat dua macam respon,
reflekogenik atau respon untuk stimulasi eksternal yang terlihat pada
penderita dengan lesi UMN dan psikogenik, dimana timbul melalui
aktifitas kognisi seperti fantasi, yang berhubungan dengan lesi pada
LMN. Pria dengan level lesi yang tinggi dapat mencapai refleksif
ereksi, tapi bukan ejakulasi. Pada lesi yang lebih ke bawah ia dapat
lebih cepat untuk ejakulasi, tetapi kemampuan ereksinya sulit. Lesi
pada kauda ekuina tidak memungkinkan terjadinya ejakulasi ataupun
ereksi. 1,5,6,8
k. Menstruasi biasanya terhambat 3 bulan, fertilasi dan kehamilan tidak
terhambat, tapi kehamilan harus segera diakhiri, terutama pada
trisemester terakhir. Persalinan akan terjadi tanpa sepengetahuan ibu
hamil akibat dari hilangnya sensasi, dan persalinan diawali dengan
disrefleksia autonomik. 1,5,6,8

31
K. Prognosis Spinal Cord Injury
Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang
mempengaruhi lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas
cedera medula spinalis sebesar 20%. Dalam jangka lama, pasien dengan
kehilangan fungsi motorik dan sensorik komplit dalam 72 jam, fungsinya
tidak mungkin kembali, namun hingga 90% pasien dengan lesi inkomplit
dapat mulai berjalan 1 tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda
lebih mudah mengalami penyembuhan. Sindroma medula anterior
prognosisnya tidak sebaik sindroma medula inkomplit, sindroma medula
sentral, dan Brown Squard’s sindrome. Penyebab utama kematian sindroma
medula spinalis meliputi penyakit respiratorik dan kardiak. Rehabilitasi juga
termasuk dukungan emosional dan edukasi pasien tentang aktifitas harian
dan latihan bekerja.10
DAFTAR PUSTAKA

1. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian


Rakyat; 2003.h. 35-36.

2. Snell RS. Neuroanatomi klinik : pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi
ke-5. Jakarta : EGC; 2007.h.1-16.

3. Blumenfeld H. Neuroanatomy through Clinical Cases. Inc: Sanauer


Assiciates; 2002.h.23-36, 277-283.

4. DeGroot J. Chusid JG. Corelative Neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h.30-


42.

5. ASIA. Spinal cord injury. Diunduh dari : http://sci.rutgers.edu.

6. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan


tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h.19-23.

7. National spinal cord injury statistical centre. Spinal cord injury:


Facts and figures at a glance.
http://www.nscisc.uab.edu/PublicDocuments/fact_figures_docs/Facts%20213.
pdf.

8. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives.


Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical
Practice Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord
Medicine. Vol. 31. 2006.

9. Dumont, Randall J; Okonkwo, David O; Verma, Subodh ; Hurlbert, C John ;


Boulos, Paul T; Dumont, Aaron S;. (2001). Acute Spinal Cord Injury, Part I:

33
Pathophysiologic Mechanisms. Clinical Neuropharmacology , 24 (5), 254-
264.
10. Manley , Geoffrey T; Rosenthal, Guy; Papanastasio, Alexande M; Pitts, Larry
H;. (2006). Spinal Cord Injury. In G. M. Doherty, Current Surgical Diagnosis
& Treatment (Vol. 37). California: McGraw-Hill.

11. Liverman, Catharyn, T., Altevogt, Bruce, M., Joy, Janet, E., and Johnson,
Richard, T. Editors. 2005. Spinal Cord Injury: Progress, Promise, and
Priorities. Washington, D.C.:The National Academies Press. [serial online].
http://www.nap.edu/openbook.php?record_id=11253&page=R1.

12. Feneis, Heinz; Dauber, Wolfgang;. (2000). Pocket Atlas of Anatomy Based on
the International Nomenclature Fourth Edition, fully rivised. Ney York:
Thieme.

13. Thuret, Sandrine; Moon, Lawrence D.F; Gage, Fred H. (2006). Therapeutic
Intervention After Spinal Cord Injury. Nature Publishing Group , 7, 628-640.

14. Schwartz, S. I., Shires, G. T., Spencer, F. C., Daly, J. M., Fischer, J. E., &
Galloway, A. C. (2010). Principles of Surgery Companion Handbook. USA:
McGraw-Hill.

15. Kaye, Andrew H. (2006). Nerve injuries, peripheral nerve entrapments and
spinal cord compression. In J. J. Tjandra, G. J. Clunie, A. H. Kaye, & J. A.
Smith, Text Book of Surgery Third Edition (Vol. 51). Massachusetts:
Blackwell Publishing.

16. Anonim. Management of Bone Injuries. [Serial Online]. http://www.free-


ed.net/sweethaven/MedTech/MedTech/default.asp?iNum=0411&uNum=2.

17. Miller-Keane. 2003. Encyclopedia and Dictionary of Medicine, Nursing, and


Allied Health, Seventh Edition. by Saunders, an imprint of Elsevier, Inc. All
rights reserved. [Serial Online]. http://medical-dictionary.thefreedictionary
.com/Cervico-Thoraco-Lumbo-Sacral+Orthosis.

18. Anonim. Primary Surgery Vol.2 – Trauma : The spine : Skeletal traction.
[Serial Online]. http://www.primary-surgery.org/ps/vol2/html/sect0232.html.

19. Bulbocavernosus Reflex - Wheeless' Textbook of Orthopaedics


Dikutip dari http//www.wheelessonline.com\ortho.

20. Vodusek, David B.; Deletis, Vedran (2002). "Intraoperative


Neurophysiological monitoring of the Sacral Nervous System".
Neurophysiology in Neurosurgery, a Modern Intraoperative Approach
(Academic Press): 153–165.

21. Spector et all, Review Article: Cauda equina syndrome. JAAOS 16:2008.

22. Sidharta P. Tatalaksana Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta: Dian


Rakyat; 2005.h.115-116.

35

Anda mungkin juga menyukai