Anda di halaman 1dari 27

TUGAS INDIVIDU

DOSEN : A.D.WAKANO,S.Kep;NS

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN REAKSI ALERGI PADA SISTEM IMUN

DISUSUN OLEH

HELLI RUMAREATE
NIM : PO 720311041

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALUKU

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN MASOHI

2012-2013

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sistem imun terbentuk dari sel-sel darah putih, sumsum tulang dan jaringan limfoid
yang mencakup kelenjar timus, kelenjar limfe, lien, tonsil serta adenoid. Diantara sel-sel darah
putih yang terlibat dalam imunitas terdapat limfotik B (sel B) dan limfosit limfosit T (sel T).
Kedua sel ini berasal dari limfoblast yang dibuat dalam sumsum tulang. Limfosit B mencapai
maturitasnya dalam sumsum tulang dan kemudian memasuki sirkulasi darah, limfosit T bergerak
dari sumsum tulang ke kelenjar timus tempat sel-sel tersebut mencapai maturitasnya menjadi
beberapa jenis sel yang dapat melaksanakan berbagai fungsi yang berbeda.

Struktur yang signifikan lainya adalah kelenjar limfe, lien, tonsil dan adenoid. Kelenjar
limfe yang tersebar diseluruh tubuh menyingkirkan benda asing dari sistem limfe sebelum
benda asing tersebut memasuki aliran darah dan juga berfungsi sebagai pusat poliferasi sel imun.
Lien yang tersusun dari pulpa rubra dan alba bekerja sebagai jaringan. Pulpa rubra
merupakan lokasi tempat sel-sel darah merah yang tua dan mengalami cedera dihancurkan.
Pulpa alba mengandung kumpulan limfosit. Limfosit lainnya, seperti tonsil dan adenoid serta
jaringan limfatik mukoid, mempetahankan tubuh terhadap serangan mikroorganisme.

Imunitas mengacu pada respon protektif tubuh yang spesifik terhadap benda asing atau
mikroorganisme yang menginvasinya. Kelainan pada sistem imun dapat berasal dari kelebihan
atau kekurangan sel-sel imunokompeten, serangan imunoligik terhadap antigen sendiri, atau
respon yang yang tidaktepat atau yang berlebihan terhadap antigen spesifi. Kelainan yang
berhubungan dengan autoimunitas adalah penyakit dimana respon imun protektif yang normal
secara paradoksal berbalik melawan atau menyerang tubuh sendiri sehingga terjadi kerusakan
jaringan.

BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Imunitas
Sistem imun membentuk sistem pertahanan badan terhadap bahan asing seperti
mikroorganisma (bakteria, kulat, protozoa, virus dan parasit), molekul-molekul berpotensi
toksik, atau sel-sel tidak normal (sel terinfeksi virus atau malignan). Sistem ini menyerang bahan
asing atau antigen dan juga mewujudkan peringatan tentang kejadian tersebut supaya
pendedahan yang berkali-kali terhadap bahan yang sama akan mencetuskan gerak balas yang
lebih cepat dan tertingkat. Keimunan merujuk kepada keupayaan sesuatu individu yang telah
sembuh dari sesuatu penyakit untuk kekal sihat apabila terdedah kepada penyakit yang sama
untuk kali kedua dan seterusnya.
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh
terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor.
Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan
melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat
asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat
berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru
agar dapat menginfeksi organisme. ( http://id.wikipedia.org/wiki/Imunitas)
Suatu ciri sistem imun ialah keupayaan untuk membedakan bahan-bahan yang wujud
secara semula jadi atau normal (diri) dari bahan-bahan atau agen-agen yang masuk ke dalam
tubuh dari luar (bukan diri) dan menghasilkan gerak balas terhadap bahan bukan diri saja.
Ketidakwujudan khusus suatu gerak balas terhadap diri dikenali sebagai toleransi. Pentingnya
keupayaan untuk membedakan (mendiskriminasi) antara diri dan bukan diri, serta toleransi diri,
ditunjukkan dalam penyakit-penyakit autoimun, apabila fungsi-fungsi tersebut gagal. Penyakit-
penyakit ini berhasil apabila bahan normal tubuh dicam sebagai asing dan gerak balas imun
dihasilkan terhadap bahan-bahan tersebut. Walau bagaimananpun, sistem imun lazimnya amat
berkesan membezakan antara diri dan bukan diri.

B. Fungsi Sistem Imun


Sistem imun adalah perlu untuk kemandirian karena ia membekalkan keupayaan untuk
sembuh dari penyakit serta keimunan yang melindungi untuk masa yang lama. Dalam keadaan
biasa apabila sistem imun terdedah kepada organisma asing ia bertindak-balas dengan
menghasilkan antibody dan rangsangan limfosit spesifik-antigen, adapun peran dari antibody
yaitu:
1. Antibodi merupakan senjata yang tersusun dari protein dan dibentuk untuk melawan sel-sel
asing yang masuk ke tubuh manusia.
2. Senjata ini diproduksi oleh sel-sel B, sekelompok prajurit pejuang dalam sistem kekebalan.
3. Antibodi akan menghancurkan musuh-musuh penyerbu. Antibodi mempunyai dua fungsi,
pertama untuk mengikatkan diri kepada sel-sel musuh, yaitu antigen. Fungsi kedua adalah
membusukkan struktur biologi antigen tersebut lalu menghancurkannya.,yang membawa kepada
pemusnahan mikroorganisma dan peneutralan produk-produk toksik (toksin).
Suatu fungsi penting sistem imun ialah mengawasi sel-sel tubuh supaya ia tidak abnormal.
Sel-sel terinfeksi virus, sel-sel malignan atau sel-sel individu lain dari spesies yang sama,
mempunyai penanda- penanda protein pada permukaan luar yang memberi isyarat kepada sistem
imun supaya memusnahkannya. Protein-protein ini tergolong dalam sistem yang dipanggil
kompleks kehistoserasian utama (Major histocompatibility complex; MHC).
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Sistem Imun
Seperti halnya system tubuh yang lain, sistem imun akan berfungsi pada taraf yang
dikehendaki menurut fungsi sistem tubuh yang lain, factor-faktor yang ada hubungannya sebagai
berikut:
a. Usia
Frekuensi dan intensitas infeksi akan meningkat pada orang yang berusia lanjut dan
peningkatan ini disebabkan oleh penurunan untuk bereaksi secara memadai terhadap
mikroorganisme yang menginveksinya. Produksi dan fungsi limfosit Tdan B dapat terganggu
kemungkinan penyabab lain adalah akibat penurunan antibody untuk membedakan diri sendiri
dan bukan diri sendiri
Penurunan fungsi system organ yang berkaita dengan pertambahan usia juga turut
menimbulkan gangguan imunitas. Penurunan sekresi serta motilitas lambung memungkinkan
flora normal intestinal untuk berploriferasi dan menimbulkan infeksi sehingga terjadfi
gastroenteritis dan diare.
b. Jender
Kemampuan hormone-hormon seks untuk memodulasi imunitas telah diketahui dengan
baik. Ada bukti yang menunjukan bahwa esterogen memodulasi aktifitas limfosit T (khususnya
sel-sel supresor) sementara androgen berfungsi untuk mempertahankan produksi interleukin dan
aktifitas sel supresor. Efek hormon seks tidak begitu menonjol, esterogen akan memgaktifkan
populasi sel B yang berkaitan dengan autoimun yang mengekspresikan marker CD5 (marker
antigenic pada sel B). Esterogen cenderung menggalakkan imunitas sementara androgen bersifat
imunosupresif. Umumnya penyakit autoimun lebih sering ditemui pada wanita ketimbang pad
pria.
c. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat sangat esensial untuk mencapai fungsi imun yang optimal.
Gangguan imun dikarenakan oleh defisiensi protein kalori dapat terjadi akibat kekurangan
vitamin yang diperlukan untuk mensintesis DNA dan protein. Vitamin juga membantu dalam
pengaturan poliferasi sel dan maturasi sel-sel imun. Kelebihan atau kekurangan unsur-unsur
renik (tembaga, besi, mangan, selenium atau zink) dalam makanan umumnya akan mensupresi
fungsi imun Asam-asam lemam merupakan unsure pembangun (building blocks) yang
membentuk komponen structural membrane sel. Lipid merupakan precursor vitamin A,D,E, dan
K disamping prekursir kolesterol. Bak kelebihan maupun kekurangan asam lemak ternyata akan
mensupresi fungsi imun.
Deplesi simpanan protein tubuh akan mengakibatkan atrofi jaringan limfoid, depresi
respon anti body, penurunan jumlah sel T yang beredar dan gangguan fungsi fagositosik sebagai
akibatnya, kerentanan terhadap infeksi sangat meningkat. Selama periode infeksi dan sakit yang
serius, terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi yang potensialuntuk menimbulkan deplesi protein,
asam lemak, vitamin, serta unsure unsure renik dan bahkan menyebabkan resiko terganggunya
respon imun serta terjadinya sepsis yang lebih besar.
d. Factor Factor Psikoneuro Imunologik.
Limfosit dan makrofag memiliki reseptor yang dapat bereaksi terhadap neurotransmitter
serta hormone hormone endokrin. Limfosit dapat memproduksi dan mengsekresikan ACTH
serta senyawa senyawa yang mirip endofrin. Neuron dalam otak, khususnya khusunya dalam
hipotalamus, dapat mengenali prostaglandin, interferon dan interleukin di samping histamine dan
serotininyang dilepaskan selama proses inflamasi. Sebagaimana sisitem biologic lainnya yang
berfungsi untuk kepentingan homoestasis, system imun di integrasikan dengan berbagai proses
psikofisiologic lainnya dan diatur serta dimodulasikan oleh otak.
Di lain pihak, proses imun ternyata dapat mempengaruhi fungsi neural dan endokrin
termasuk prilaku. Jadi, interaksi sitem saraf dan system imun tampaknya bersifat dua arah.
e. Kelainan organ yang lain
Keadaan seperti luka bakar atau cedera lain, infeksi dan kanker dapat turut mengubah fungsi
system imun. Luka bakar yang luas atau factor factor lainnya menyebabkan gangguan
integritas kulit dan akan mengganggu garis pertama pertahanan tubuh ilangnya serum dalam
jumlah yang besar pada luka bakar akan menimbulkan deplesi protein tubuh yang esensial,
trmasuk immunoglobulin. Stresor fisiologi dan psilkologik yang disertai dengan stress karena
pembedahan atau cidera kan menstimulasi pelepasan kortisol saerum juga turut menyebabkan
supresi respon imun yang normal.
Keadaan sakit yang kronis dapat turut mengganggu system imun melalui sejumlah cara.
Kegagalan ginjal berkaitan dengan defisiensi limfosit yang beredar. Fungsi imun untuk
pertahanan tubuh dapat berubah karena asidosis dan toksin uremik. Peningkatan insidensi infeksi
pada diabetes uga berkaitan dengan isufisiensi vaskuler, neuropati dan pengendalian kadar
glukosa darah yang buruk. Infeksi saluran nafas yang rekuren berkaitan dengan penyakit paru
obstruksi menahun sebagai akibat dari berubahnya fungsi inspirasi dan ekspirasi dan tidak
efektifnya pembersihan saluran nafas.
f. Penyakit kanker
Imunosekresi turut menyebabkan terjadinya penyakit kanker. Namun, penyakit kanker sendiri
bersifat imunosupresif. Tumor yang besar dapat melepaskan antigen ke dalam darah, antigen ini
akan mengikat antibody yang beredar dan mencegah antibody tersebut agar tidak menyerang sel
sel tumor. Lebih lanjut, sel sel tumor dapat memiliki factor penghambat yang khusus yang
menyalut sel sel tumor dan mencegah pengahancurannya oleh limposit T killer. Dalam stadium
awal pertumbuhan tumor, tubuh tidak mampu mengenali antigen tumor sebagai unsure yang
asing dan selanjutnya tidak mampu memulai distruksi sel sel yang maligna tersebut.kanker
darah seperti leukemia dan limpoma berkaitan dengan berubahnya produksi serta fungsi sel
darah putih dan limposit.
g. Obat-obatan
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan perubahan yang dikehendaki maupun yang tidak
dikehendaki pada fungsi system imun. Ada empat klasifikasi obat utama yang memiliki potensi
untuk menyebabkan imunosupresi: antibiotic, kortikostreoid, obat-obat anti inflamasi nonsteroid
(NSAID; Nonsteroidal anti inflamatori drugs) dan preparat sitotoksik. Penggunaan preparat ini
bagi keperluan terapeutik memerlukan upaya untuk mencari kesinambungan yang sangat tipis
antara manfaat terapi dan supresi system pertahanan tubuh resipien yang berbahaya.
h. Radiasi
Terapi radiasi dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kanker atau pencegahan rejeksi
allograft. Radiasi akan menghancurkan limposit dan menurunkan populasi sel yang diperlukan
untuk menggantikannya. Ukuran atau luas daerah yang akan disinari menetukan taraf
imunosupresi. Radiasi seluruh tubuh dan dapat mengakibatkan imunosupresi total pada orang
yang menerimannya.

i. Genetic
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik
respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen
tertentu.
Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain
tinggi sehingga mungkin ditemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Faktor genetik
dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada kompleks MHC dengan non
MHC.
1. Gen kompleks MHC
Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc akan mengenal antigen yang
berasosiasi dengan molekul MHC kelas I, dan sel Td serta sel Th akan mengenal antigen yang
berasosiasi dengan molekul MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga
dapat dimengerti bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun. Secara klinis terlihat juga
bahwa penyakit tertentu terdapat lebih sering pada HLA tertentu, seperti spondilitis ankilosing
terdapat pada individu dengan HLA-B27.
2. Gen non MHC
Secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan dengan gen tertentu, misalnya
agamaglobulinemia tipe Bruton yang terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada
anak laki-laki. Demikian pula penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan perbedaan
respons imun terhadap antigen tertentu merupakan penyakit yang diturunkan. Faktor-faktor ini
menyokong adanya peran genetik dalam respons imun, namun mekanisme yang sebenarnya
belum diketahui.
j. Kehamilan
Salah satunya yaitu Infeksi : beberap infeksi yang terjadi secara kebetulan selama kehamilan
dapat menyebabkan cacat sejak lahir. Campak jerman (rubella) bisa menyebabkan cacat sejak
lahir, terutama sekali pada jantung dan bagian dalam mata. Infeksi cytomegalovirus bisa
melewati plasenta dan merusak hati dan otak janin. Infeksi virus lainnya yang bisa
membahayakan janin atau menyebabkan kerusakan kelahiran termasuk herpes simplex, dan
cacar air (varicella). Toksoplasma, infeksi protozoa, bisa menyebabkan keguguran, kematian
janin, dan cacat sejak lahir serius. Listeriosis, infeksi bakteri, juga bisa membahayakan janin.
Infeksi bakteri pada vagina (seperti bakteri vaginosis) selama kehamilan bisa menyebabkan
persalinan sebelum waktunya atau membran yang berisi janin gugur sebelum waktunya.
Pengobatan pada infeksi dengan antibiotik bisa mengurangi kemungkinan masalah-masalah ini.
D. Jenis-Jenis Imunitas
Ada dua tipe imunitas, yaitu:
a. Imunitas Alami (Natural)
Merupakan kekebalan nonspesifik yang ditemukan pada saat lahir, imunitas alami akan
memberikan respon nonspesifik terhadap setiap benda asing tanpa memperhatikan komposisi
penyerang tersebut. Dasar mekanisme tersebut pertahanan alami semata-mata berupa
kemampuan untuk membedakan antar sahabat dan musuh.

b. Imunitas yang didapat


Imuitas yang didapat (aqquired imunity) terdiri atas respon imun yang tidak didapat pada saat
lahir tetapi akan diperoleh kemudian dalam hidup seseorang. Imunitas didapat setelah seseorang
terjangkit suatu penyakit atau mendapat imunisasiyang menghasilkan respon imun yang bersifat
protektif.
c. Stadium Respon Imun

Ada empat stadium yang batasnya jelas dalam suatu respon imun, yaitu:

1) Stadium Pengenalan

Dasar setiap reaksi imun adalah pengenalan (recognition) yang merupakan tahap yang
paling pertama. Tahap atau stadium ini merupakan kemampuan dari sistem imunitas untuk
mengenali antigen sebagai unsur yang asing atau bukan bagian dari dirinya sendiri dan dengan
demikian merupakan kejadian pendahulu dalam setiap reaksi imun.Tubuh harus mengenali
penyerang nya sebagai unsure asing sebelum bereaksi terhadap penyrang tersebut.

2) Stadium Proliferasi

Limfosit yang beredar dan mengandung pesan antigenic akan kembali ke nodus
limfikatikus terdekat. Begitu berada dalam nodus limfatikus, limfosit yang sudah disentisasi akan
menstimulasi sebagian limfotik nonaktif (dormant) yang menghuni nodus tersebut untuk
membesar, membelah diri, mengadakan poliferasi dan berdiferensiasi menjadi limfosit T atau B.
Pembesaran nodus limfatikus dalam leher yang menyertai sakit leher merupakan salah satu
contoh dari respon imun.

3) Stadium Respon

Dalam stadium respon, limfosit yang sudah berubah akan berfungsi dengan cara humoral
atau seluler.Respon humoral inisial, produksi antibody oleh limfosit B sebagai reaksi terhadap
suatu antigen spesifik akan memulai respon humoral .Humoral mengacu kepada kenyataan
bahwa antibody dilepas ke dalam aliran darah dan dengan demikian akan berdiam di dalam
p;asma atau fraksi darah berupa cairan.

Respon seluler inisial, limfosit yang sudah disensitisasi dan kembali ke nodus limfatikus
(yang bukan daerah yang mengandung limfosit yang sudah deprogram untuk menjadi sel-sel
plasma) tempat sel-sel tersebut untuk menstimulasi limfotik yang berada dalam nodus ini
menjadi sel-sel yang akan menyerang langsung mikroba dan bukan menyerangnya lewat kerja
antibody.
4) Stadium Efektor
Dalam stadium ini , antibody dari respon humoral atau sel T sitotoksik dari respon seluler
akan menjangkau antigen dan terangkai dengan antigen tersebut pada permukaan objek yang
asing. Perangkaian ini memulai suatu seri kejadian yang pada sebagian besar kasus akan
mengakibatkan penghancuran mikroba yang menginvasi tubuh atau menetralisis toksin secara
total. Kejadian tersebut meliputi interaksi antibody (imunitas humoral), komplemen dan kerja
sel-sel T sitotoksik (imunitas seluler)
E. Antibody dan Penghasilannya
Antibodi merupakan molekul-molekul dalam plasma yang berfungsi mengcam dan bergabung
dengan antigen asing. Antibodi tergolong ke dalam kumpulan protein yang dipanggil
imunoglobulin (Ig). Terdapat lima kelas imunoglobulin berdasarkan perbedaan struktur, yaitu
IgG, IgM, IgA, IgD dan IgE. Antibodi membanteras infeksi melalui berbagai cara. Organisma
ataupun toksin-toksin yang dihasilkan boleh dineutralkan oleh antibodi yang menghalang bahan-
bahan tersebut dari bergabung kepada sel. Antibodi juga membantu sel-sel fagosit (makrofaj,
neutrofil) menelan bakteria atau menyebabkan lisis organisma dan sel terinfeksi. Ini terhasil dari
kerjasama antibodi dengan pelengkap atau sel NK.
IgG merupakan antibodi yang paling banyak, terdapat terutamanya dalam serum, serta cecair
dalam badan. IgG adalah benteng pertahanan penting terhadap bakteria, virus atau kulat yang
telah memasukki badan. Dalam manusia, IgG merupakan satu-satunya imunoglobulin yang boleh
melintas plasenta, oleh itu penting untuk pertahanan bayi baru lahir terhadap infeksi bakteria dan
virus.
IgM ialah imunoglobulin berukuran paling besar dan terdiri dari lima unit yang digabungkan.
IgM ialah kelas antibodi yang dihasilkan paling awal dalam gerak balas primer dan ia merupakan
pengaktif sistem pelengkap yang efisyen. Sistem pelengkap terdiri dari satu set protein plasma
yang apabila diaktifkan dalam urutan yang betul membentuk laluan (lobang) pada membran sel
sasaran dan membawa kepada kematian sel. IgM dan pelengkap amat efisyen memusnahkan
bakteria Gram negatif atau parasit protozoa yang telah memasukki saluran darah. Pelengkap juga
menyebabkan gerak balas keradangan apabila diaktifkan.
IgA merupakan benteng terhadap organisma patogen dalam usus, saluran pernafasan dan
saluran urogenital. Sel B penghasil antibodi yang terdapat di kawasan-kawasan ini menghasilkan
molekul IgA dimer, yang diangkut melintasi selaput epitelium dan dirembeskan pada permukaan
mukosa. IgA rembesan menghalang pergabungan bakteria dan virus kepada epitelium, dan oleh
yang demikian mencegah penyakit setempat atau patogen dari merebak ke bahagian tubuh yang
lain. Keseluruhannya, IgA adalah antibodi yang banyak di dalam tubuh.
IgE boleh mencetuskan tindak balas alergi cepat seperti asma (lelah). Antibodi ini bergabung
dengan permukaan sel-sel mast yang terdapat berhampiran saluran darah. Sel-sel ini
mengandungi granul-granul yang terdiri dari histamina dan bahantara keradangan lain dan
bahan-bahan ini dibebaskan dengan cepat apabila partikel-partikel seperti debunga atau bulu
haiwan bergabung dengan molekul IgE yang tergabung pada permukaan sel mast. Histamina dan
bahan-bahan lain yang dibebaskan oleh sel mast menyebabkan gejala-gejala yang dikaitkan
dengan tindak balas alergi.
IgD beroperasi bersama IgM sebagai reseptor untuk antigen pada permukaan sel amat sedikit
IgD dirembeskan. Input dari sel T penolong lazimnya diperlukan untuk sel B berkembang
menjadi sel plasma penghasil antibodi. Sel T penolong menghasilkan protein-protein larut, atau
sitokina, yang dipanggil interleukin (IL) 4, 5 dan 6 yang menyebabkan sel B membahagi dan
membeza selepas bergabung dengan antigen. Keperluan sel T penolong menerangkan mengapa
penghasilan antibodi berkurangan dalam penyakit AIDS, di mana sel T penolong dimusnahkan
oleh infeksi HIV.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Dalam asuhan keperawatan ini penulis akan membahas dari pengkajian diagnose, dan
rencana tindakan / imlementasi yang dapat timbul dari penyakit gangguan imunologi tentang
SLE (Sistemisc lupus erythematosus)
1. Pengertian
SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya
belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.

2. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit
yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam
penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi
autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya
serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

3. Manifestasi Klinis
a. System muskuloskletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

b. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum
durum.

c. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.

d. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.

e. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura
di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
dan berlanjut nekrosis.

f. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.

g. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit
neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

4. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan
darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan dan
kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis. Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga
berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan antibodi antinukleus yang positif. Tes
imunologi diagnostic lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.

5. Penatalaksanaan Medis

a. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid,
secara topikal untuk kutaneus.

b. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
c. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.

6. Pengkajian
a. Anamnesa
Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang
dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.

b. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

c. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler
dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan,
siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.

d. System musculoskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

e. System integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung
serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
f. System pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.

g. System vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di
ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.
h. System renal
Edema dan hematuria.

i. System saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP
lainnya.

7. Diagnose keperawatan dan intervensi


- Nyeri b.d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup
sehari-hari yang diperlukan untuk mengubah.
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (komprespanas /dingin;
masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi,
aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan
nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik
penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering
membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai
metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

- Keletihan b.d peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.


Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin;
masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi,
aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan
nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik
penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering
membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai
metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

- Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa
nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi
1) Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
2) Meningkatkan pemakaian alat bantu
3) Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman
4) Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat
c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.
1) Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
2) Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
3) Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
- Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta
psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang
ditimbulkan penyakit.
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
1) Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
2) Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
3) Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif

- Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan
kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b. Hilangkan kelembaban dari kulit
c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat
d. penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.
e. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.

A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian (data subjektif dan data objektif)
1.1. Data dasar, meliputi :
a. Identitas pasien (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnose medis, sumber biaya, dan sumber informasi)
b. Identitas penanggung jawab (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan pasien)
1.2. Riwayat keperawatan, meliputi :
a. Riwayat kesehatan sekarang
Mengkaji data subjektif yaitu data yang didapatkan dari klien, meliputi:
a) Alasan masuk rumah sakit :
Pasien mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, timbul kemerahan pada
kulit, mual muntah, dan terasa gatal.
b) Keluhan utama
1. Pasien mengeluh sesak nafas
2. Pasien mengeluh bibirnya bengkak
3. Pasien mengaku tidak ada nafsu makan, mual dan muntah
4. Pasien mengeluh nyeri di bagian perut
5. Pasien mengeluh gatal- gatal dan timbul kemerahan di sekujur tubuhnya
6. Pasien mengeluh diare
7. Pasien mengeluh demam
c) Kronologis keluhan
Pasien mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, timbul kemerahan pada
kulit, mual muntah dan terasa gatal tertahankan lagi sehingga pasien dibawa ke rumah sakit.
b.
Riwayat kesehatan masa lalu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang sama atau yang berhubungan
dengan penyakit yang saat ini di derita. Misalnya, sebelumnya pasien mengatakan pernah
mengalami nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, timbul kemerahan pada kulit,
mual muntah, dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/ tidak yang mengalami penyakit yang sama
d. Riwayat Psikososial dan spiritual
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien
terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stress,
persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat ini, dan system
nilai kepercayaan.
a) Dikaji berdasarkan 14 kebutuhan dasar menurut Virginia Handerson, yaitu :
1. Bernafas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan pernafasan, sesak, atau batuk, serta ukur respirasi
rate.
2. Makan
Dikaji apakah klien menghabiskan persi makan yang telah disediakan RS, apakah pasien
mengalami mual atau muntah ataupun kedua-duanya.
3. Minum
Dikaji kebiasaan minum pasien sebelum dan saat berada di RS, apakah ada perubahan (lebih
banyak minum atau lebih sedikit dari biasanya)
4. Eliminasi (BAB/ BAK)
Dikaji pola buang air kecil dan buang air besar.
5. Gerak dan aktifitas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan /keluhan dalam melakukan aktivitasnya saat
menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah didiagnosa mengalami alergi) atau saat
menjalani perawatan di RS.
6. Rasa nyaman
Dikaji kondisi pasien yang berhubungan dengan gejala-gejala penyakitnya, misalnya pasien
merasa nyeri di perut bagian kanan atas (dikaji dengan PQRST : faktor penyebabnya,
kualitas/kuantitasnya, lokasi, lamanya dan skala nyeri)
7. Kebersihan diri
Dikaji kebersihan pasien saat dirawat di RS
8. Rasa aman
Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya,
dan apakah pasien merasa lebih aman saat ditemani keluarganya selama di RS
9. Social dan komunikasi
Dikaji bagaimana interaksi pasien terhadap keluarga, petugas RS dan lingkungan sekitar
(termasuk terhadap pasien lainnya)
10. Pengetahuan
Dikaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya yang diderita saat ini dan terapi yang
akan diberikan untuk kesembuhannya
11. Rekreasi
Dikaji apakah pasien memiliki hobi ataupun kegiatan lain yang ia senangi
12. Spiritual
Dikaji bagaimana pendapat pasien tentang penyakitnya, apakah pasien menerima penyakitnya
adalah karena murni oleh penyakit medis ataupun sebaliknya
1.3. Pemeriksaan fisik
1.3.1. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Tingkat kesadaran GCS
b. Tanda-tanda vital
c. Keadaan fisik
d. Kepala dan leher
e. Dada
f. Payudara dan ketiak
g. Abdomen
h. Genitalia
i. Integument
j. Ekstremitas
k. Pemeriksaan neurologis
1.4. Pemeriksaan penunjang
1.4.1. Uji kulit : sebagai pemeriksaan penyaring (misalnya dengan allergen hirup tungau, kapuk, debu
rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau allergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan)
1.4.2. Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml
disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan
1.4.3. IgE total dan spesifik : harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE
lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami
infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler
1.4.4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya
1.4.5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitive
1.4.6. Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan
inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan
mikroskop imunofluoresen )
1.4.7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
1.4.8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
1.5. Analisa data
1.5.1. Data subjektif
a. Sesak nafas
b. Mual, muntah
c. Meringis, gelisah
d. Terdapat nyeri pada bagian perut
e. Gatal- gatal
f. Batuk
1.5.2. Data objektif
a. Penggunaan O2
b. Adanya kemerahan pada kulit
c. Terlihat pucat
d. Pembengkakan pada bibir
e. Demam (suhu tubuh diatas 37,5oC )
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Analisa data
N Symptom Etiologi Problem
o
1

2. Rumusan diagnose
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
b. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal sekunder
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
e. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan)

C. RENCANA KEPERAWATAN
Tgl/jam Diagnose Tujuan/kriteria Rencana Rasional
kep. hasil tindakan
Pola nafas Setelah diberikan 1. Kaji frekuensi, 1. Kecepatan
tidak asuhan kedalaman biasanya
efektif keperawatan pernafasan dan meningkat.
selama x 15 ekspansi paru. Dispenea dan
menit. Diharapkan Catat upaya terjadi
pasien pernafasan, peningkatan
menunjukkan pola termasuk kerja nafas.
nafas efektif penggunaan otot Kedalaman
dengan frekuensi bantu/ pelebaran pernafasan
dan kedalaman masal. berfariasi
rentang normal. 2. Auskultasi tergantung
kriteria hasil : bunyi napas dan derajat gagal
1. Frekuensi catat adanya nafas. Ekspansi
pernafasan pasien bunyi napas dada terbatas
nolmal (16-20 adventisius yang
kali/ menit) seperti krekels, berhubungan
2. Pasien tidak mengi, gesekan dengan
merasa sesak pleura. atelektasis atau
3. Pasien tidak 3. Tinggi kepala nyeri dada
tampak memakai dan bantu pleuritik.
alat bantu mengubah 2. bunyi napas
pernafasan posisi. menurun/ tak
4. Tidak terdapat Bangunkan ada bila jalan
tanda-tanda pasien turun dari napas obstruksi
sianosis tempat tidur dan sekunder
ambulansi terhadap
sesegera pendarahan,
mungkin. bekuan/ kolaps
4. Observasi pola jalan napas kecil
batuk dan (atelektasis).
karakter secret. Ronci dan
5. Berikan oksigen mengi menyertai
tambahan. obstruksi jalan
6. Berikan napas/
humidifikasi kegagalan
tambahan, mis: pernapasan.
nebulizer 3. duduk tinggi
ultrasonic. memungkinkan
ekspansi paru
dan
memudahkan
pernapasan.
Pengubahan
posisi dan
ambulansi
meningkatkan
pengisian udara
segmen paru
berbeda
sehingga
memperbaiki
difusi gas.
4. kongesti
alveolar
mengakibatkan
batuk kering
atau iritasi.
Sputum
berdarah dapat
diakibatkan oleh
kerusakan
jaringan atau
antikoagulan
berlebihan.
5. memaksimalkan
bernapas dan
menurunkan
kerja napas.
6. memberikan
kelembaban
pada membran
mukosa dan
membantu
pengenceran
secret untuk
memudahkan
pembersihan
Hipertermi setelah diberikan 1. Pantau suhu 1. Suhu 38,9-
askep selama pasien ( derajat 41,1C
.x24 jam dan pola menunjukkan
diharapkan suhu 2. Pantau suhu proses penyakit
tubuh pasien lingkungan, infeksius akut
menurun batasi atau 2. Suhu
kriteria hasil : tambahkan linen ruangan/jumlah
1. suhu tubuh tempat tidur selimut harus
pasien kembali sesuai indikasi diubah untuk
normal (36,5 oC - 3. Berikan mempertahanka
37,5 oC) kompres mandi n mendekati
2. Bibir pasien hangat; hindari normal
tidak bengkak lagi penggunaan 3. Dapat
alcohol membantu
mengurangi
demam
Kerusakan setelah diberikan 1. Lihat kulit, 1. Kulit berisiko
integritas askep selama adanya edema, karena gangguan
kulit .x24 jam area sirkulasinya sirkulasi perifer
diharapkan pasien terganggu atau 2. Edema
tidak akan pigmentasi interstisial dan
mengalami 2. Hindari obat gangguan
kerusakan intramaskular sirkulasi
integritas kulit memperlambat
lebih parah absorpsi obat
kriteria hasil : dan predisposisi
1. Tidak terdapat untuk kerusakan
kemerahan,bentol- kulit
bentol dan odema
2. Tidak terdapat
tanda-tanda
urtikaria,pruritus
dan angioderma
3. Kerusakan
integritas kulit
berkurang
Kekuranga setelah diberikan 1. Ukur dan pantau1. peningkatan
n volume askep selama TTV, contoh suhu atau
cairan .x24 jam peningakatan memanjangnya
diharapkan suhu/ demam demam
kekurangan memanjang, meningkatkan
volume cairan takikardia, laju metabolic
pada pasien dapat hipotensi dan kehilangan
teratasi ortostatik cairan melalui
kriteria hasil : 2.Kaji turgor kulit, evaporasi. TD
1. Pasien tidak kelembaban ortostatik
mengalami diare membrane berubah dan
lagi mukosa (bibir, peningkatan
2. Pasien tidak lidah) takikardia
mengalami mual 3. Monitor intake menunjukkan
dan muntah dan output kekurangan
3. Tidak terdapat cairan cairan sistemik
tanda-tanda 4.Beri obat sesuai2. indicator
dehidrasi indikasi langsung
4. Turgor kulit misalnya keadekuatan
kembali normal antipiretik, volume cairan,
antiemetic meskipun
5. Berikan cairan membrane
tambahan IV mukosa mulut
sesuai keperluan mungkin kering
karena napas
mulut dan
oksigen
3. mengetahui
keseimbangan
cairan
4. berguna
menurunkan
kehilangan
cairan
5. pada adanya
penurunan
masukan/
banyak
kehilangan,
penggunaan
parenteral dapat
memperbaiki
atau mencegah
kekurangan
Nyeri akut Setelah dilakukan1. Ukur TTV 1. untuk
tindakan 2. Kaji tingkat mengetahui
keperawatan nyeri (PQRST) kondisi umum
selama x 24 jam3. Berikan posisi pasien
diharapkan nyeri yang nyaman 2. Untuk
pasien teratasi sesuai dengan mengetahui
kriteria hasil : kebutuhan faktor pencetus
1. Pasien 4. Ciptakan nyeri
menyatakan dan suasana yang 3. memberikan
menunjukkan tenang rasa nyaman
nyerinya hilang 5. Bantu pasien kepada pasien
2. Wajah tidak melakukan 4. membantu
meringis teknik relaksasi pasien lebih
3. Skala nyeri 0 6. Observasi relaks
4. Hasil pengukuran gejala-gejala 5. membantu
TTV dalam batas yang dalam
normal, TTV berhubungan, penurunan
normal yaitu : seperti dyspnea, persepsi/respon
a. Tekanan mual muntah, nyeri.
darah : palpitasi, Memberikan
140-90/90-60 keinginan kontrol situasi
mmHg berkemih meningkatkan
b. 7. Kolaborasi perilaku positif
Nadi dengan dokter 6. tanda-tanda
: 60-100 dalam tersebut
kali/menit pemberian menunjukkan
c. analgesik gejala nyeri
Pernapasan yang dialami
: 16-20 pasien
kali/menit 7. Analgesik dapat
d. meredakan nyeri
Suhu yang dirasakan
: Oral (36,1- oleh pasien
37,50C), Rektal
(36,7-38,10C),
Axilla (35,5-
36,40C)

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Tgl/jam No. dx. Kep. Tindakan Respon Paraf
keperawatan pasien/ hasil

E. EVALUASI
Nama : .. No Regristasi
Umur : ... No Kamar :
Hari/tgl/jam No. Dx. Kep. Catatan perkembangan/ evaluasi
1. S : pasien mengeluh tidak sesak lagi
O : pasien bernafas normal (16-24
x/menit),tidak terdapat tanda-tanda
sianosis,pasien tidak mengalami gangguan
pola nafas,pasien tidak tampak
menggunakan alat bantu pernapasan
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
2. S : Pasien mengatakan kulitnya sudah tidak
merah-merah lagi
O : kerusakan integritas kulit pada pasien
berkurang,tanda-tanda angioderma,pruritus
dan urtikaria sudah mulai berkurang,kulit
pasien tidak terdapat kemerahan
A : Tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
3. S : Pasien mengatakan kulitnya sudah tidak
merah-merah lagi
O : kerusakan integritas kulit pada pasien
berkurang,tanda-tanda angioderma,pruritus
dan urtikaria sudah mulai berkurang,kulit
pasien tidak terdapat kemerahan
A : tujuan tercapai sebagian
P : lanjutkan intervensi ( no 1 dan 2)
4. S : pasien mengatakan tidak merasa
mual,muntah dan mencret lagi
O : intake & output pasien seimbang,TTV
dalam batas normal(TD : 120/80-
140/90,Suhu aksila: 36,5 oC -
37,5 oC,Frekuensi pernapasan : 16-24 x /
menit,Nadi: 60-100x/menit),tidak terdapat
tanda-tanda sianosis,turgor kulit kembali
normal
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
5. S : pasien mengatakan nyerinya sudah
berkurang
O : wajah pasien tampak tenang dan tidak
meringis
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien

BAB IV
PENUTUP

a. Saran
Mengingat begitu kompleksnya masalah yang ditemukan akibat dari penyakit system
imun , maka diharapkan kepada seluruh pihak-pihak medis terkait dapat memperhatikan kondisi
atau gejala-gejala dari penyakit ini serta dapat segera melakukan pembangunan yang tepat dalam
memberikan terapi dan pengobatan yang bagi pasien yang terserang penyakit tersebut. Kepada
pihak rumah sakit diharapkan untuk lebih meningkatkan mutu dan kualitas dari pelayanan
kesehatan yang telah ada untuk memudahkan dalam penanganan kasus tersebut.

b. Kesimpulan
Sistem imun terbentuk dari sel-sel darah putih, sumsum tulang dan jaringan limfoid yang
mencakup kelenjar timus, kelenjar limfe, lien, tonsil serta adenoid. Diantara sel-sel darah putih
yang terlibat dalam imunitas terdapat limfotik B (sel B) dan limfosit limfosit T (sel T). Kedua sel
ini berasal dari limfoblast yang dibuat dalam sumsum tulang. Limfosit B mencapai maturitasnya
dalam sumsum tulang dan kemudian memasuki sirkulasi darah, limfosit T bergerak dari sumsum
tulang ke kelenjar timus tempat sel-sel tersebut mencapai maturitasnya menjadi beberapa jenis
sel yang dapat melaksanakan berbagai fungsi yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia A., dan Lorraine M. Wilson. 1994. Patofisiologi Edisi 4.


Jakarta: EGC.
Sodeman. 1991. Patofisiologi Edisi 7 Jilid II. Jakarta: Hipokrates

Waspadji, Soeparman Sarwono. 1994. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.


Jakarta: FKUI
Brunner & Suddarth. 1997. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 2.
Jakarta: EGC
Reevers, Charlene J., dkk. 2001. Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: Salemba Medika
Leukimia and lymphoma society.lymphoma.2007.www.leukimia-lymphoma.org
Description: Asuhan keperawatan SISTEM IMUN
Rating: 4.5
Reviewer: haris rati
ItemReviewed: Asuhan keperawatan SISTEM IMUN

Anda mungkin juga menyukai