Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit yang penyebabnya
tidak diketahui, dengan terjadinya kerusakan pada jaringan atau sel akibat
autoantibodi atau imun kompleks langsung terhadap satu atau lebih komponen
inti. Kejadinnya 90% pada wanita, sekitar 500 pada masa subur. Masa hidup
akibat penyakit ini dengan lam 10 tahun sebesar 75% dan dengan lama 20
tahun sebesar 50%. Penyebab kematiannya adalah infeksi samapi sepsis,
lupusflares (serangan mendadak), kegagalan organ vital, atau penyakit
jantung.
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang
seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke
dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati,
sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang
diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang
tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak
pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah
(Sukmana, 2004).
Faktor pencetusnya adalah faktor keturunan, akibat pengaruh lingkungan,
atau keadaan abnormal hormone seksual. Bukti faktor keturunannya adalah
kejadiannya lebih besar pada monozigot dibandingkan dizigot. Sekitar 10%
dapat terjadi pada lingkungan keluarga.
Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini
disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui
sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas
pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE.
Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita
SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang
2

terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan
kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap
kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk
penderita maupun keluarganya. Kurangnya prioritas di bidang penelitian
medik untuk menemukan obat-obat penyakit SLE yang baru, aman dan
efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga merupakan masalah tersendiri
(Yayasan Lupus Indonesia).

1.2 Rumusan Masalah
Adapun beberapa masalah yang dirumuskan dari penulisan makalah ini antara
lain :
1. Apa itu sistemik lupus eritematosus ?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari sistem imun ?
3. Apa saja etiologi dari sistemik lupus eritematosus ?
4. Bagaimana patofisiologi dari sistemik lupus eritematosus ?
5. Bagaiamana WOC pada penyakit sistemik lupus eritematosus ?
6. Apa saja manifestasi klinis dari sistemik lupus eritematosus ?
7. Apa saja komplikasi yang terjadi pada penyakit sistemik lupus
eritematosus ?
8. Bagaimana penatalaksanaan yang dilakukan pada klien sistemik lupus
eritematosus?
9. Apa saja pemeriksaan penunjang pada sistemik lupus eritematosus ?
10. Bagaimana asuhan keperawatan teoritis pada pasien SLE dan aplikasi
NANDA, NOC, dan NIC?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
1. Untuk mengetahui pengertian dari sistemik lupus eritematosus.
2. Untuk mengetahui Anatomi dan fisiologi dari sistem imun.
3. Untuk mengetahui Untuk mengetahui Etiologi dari sistemik lupus
eritematosus.
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari sistemik lupus eritematosus.
3

5. Untuk mengetahui WOC pada penyakit sistemik lupus eritematosus
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari sistemik lupus eritematosus
7. Untuk mengetahui komplikasi yang terjadi pada penyakit sistemik lupus
eritematosus
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan yang dilakukan pada klien sistemik
lupus eritematosus
9. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada sistemik lupus
eritematosus
10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan teoritis pada pasien SLE dan
aplikasi NANDA, NOC, dan NIC

1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan memberi manfaat yang luas, baik bagi
penulis sendiri maupun pembaca umumnya :
1. Bagi penulis, sebagai pemenuhan tugas keperawatan sistem imun dan
hematologi, penulisan makalah ini banyak memberi manfaat baik langsung
maupun tidak langsung, diantaranya penulis mendapatkan pengetahuan
mengenai penyakit sistemik lupus eritematosus yang biasa disebut dengan
lupus saja. Disamping itu penulis merasa dilatih untuk menulis dan
menjadikannya sebagai bahan referensi serta kajian untuk meningkatkan
wawasan dan pengetahuan.
2. Bagi pembaca, tidak jauh beda dengan yang penulis sampaikan diatas,
diharapkan melalui tulisan ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih
banyak tentang penyakit sistemik lupus eritematosus yang biasa disebut
dengan lupus ini.





4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi mulitisistem yang
disebabkan oleh banyaka faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa
peningkatan sistem imun dan produksi aotoantibodi yang berlebihan (Albar,
2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap DNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Imun dan Hematologi
2.2.1 Sistem Imun
1. Pengertian
Imunologi adalah suatu ilmu yang mempelajari antigen, antibodi,
dan fungsi pertahanan tubuh penjamu yang diperantarai oleh sel, terutama
berhubungan imunitas terhadap penyakit, reaksi biologis hipersensitif,
alergi dan penolakan jaringan.
Sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai
perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan
organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan
juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain
seperti yg terjadi pd autoimunitas dan melawan sel yang teraberasi mjd
tumor.



5

2. Letak Sistem Imun


3. Fungsi Sistem Imun
a. Sumsum
Semua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel induk dalam
sumsum tulang. Sumsum tulang adalah tempat asal sel darah merah,
sel darah putih, (termasuk limfosit dan makrofag) dan platelet. Sel-sel
dari sistem kekebalan tubuh juga terdapat di tempat lain.
b. Thymus
Glandula thymus memproduksi dan mematurasi/mematangkan
T limfosit yang kemudian bergerak ke jaringan limfatik yang
lain,dimana T limfosit dapat berespon terhadap benda asing. Thymus
mensekresi 2 hormon thymopoetin dan thymosin yang menstimulasi
perkembangan dan aktivitas T limfosit.
1) Limfosit T sitotoksik
limfosit yang berperan dan imunitas yang diperantarai sel.
Sel T sitotoksik memonitor sel di dalam tubuh dan menjadi aktif
bila menjumpai sel dengan antigen permukaan yang abnormal.
Bila telah aktif sel T sitotoksik menghancurkan sel abnormal.
2) Limfosit T helper
Limfosit yang dapat meningkatkan respon sistem imun
normal. Ketika distimulasi oleh antigen presenting sel sepeti
6

makrofag, T helper melepas faktor yang yang menstimulasi
proliferasi sel B limfosit.
3) Limfosit B
Tipe sel darah putih ,atau leukosit penting untuk imunitas yang
diperantarai antibodi/humoral. Ketika di stimulasi oleh antigen
spesifik limfosit B akan berubah menjadi sel memori dan sel
plasma yang memproduksi antibodi.
4) Sel plasma
Klon limfosit dari sel B yang terstimulasi. Plasma sel berbeda
dari limfosit lain ,memiliki retikulum endoplamik kasar dalam
jumlah yang banyak ,aktif memproduksi antibodi
c. Getah Bening
Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di sepanjang
perjalanan limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher,
axillae, selangkangan, dan para- aorta daerah.
d. Nodus limfatikus
Nodus limfatikus (limfonodi) terletak sepanjang sistem limfatik.
Nodus limfatikus mengandung limfosit dalam jumlah banyak dan
makrofag yang berperan melawan mikroorganisme yang masuk ke
dalam tubuh. Limfe bergerak melalui sinus,sel fagosit menghilangkan
benda asing. Pusat germinal merupakan produksi limfosit.
e. Tonsil
Tonsil adalah sekumpulan besar limfonodi terletak pada rongga
mulut dan nasofaring. Tiga kelompok tonsil adalah tonsil palatine,
tonsil lingual dan tonsil pharyngeal.
f. Limpa/ Spleen
Limpa mendeteksi dan merespon terhadap benda asing dalam
darah ,merusak eritrosit tua dan sebagai penyimpan darah. Parenkim
limpa terdiri dari 2 tipe jaringan: pulpa merah dan pulpa putih
1) Pulpa merah terdiri dari sinus dan di dalamnya terisi eritrosit
2) Pulpa putih terdiri limfosit dan makrofag
7

Benda asing di dalam darah yang melalui pulpa putih dapat
menstimulasi limfosit .
4. Mekanisme Pertahanan
a. Mekanisme Pertahanan Non Spesifik
Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non
spesifik disebut juga respons imun alamiah. Terdiri dari kulit dan
kelenjarnya, lapisan mukosa dan enzimnya, serta kelenjar lain beserta
enzimnya, contoh kelenjar air mata. Kulit dan silia merupakan system
pertahan tubuh terluar.
Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit,
polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme
pertahanan non spesifik.

b. Mekanisme Pertahanan Spesifik
Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi
mikroorganisme, maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme
pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yg diperankan oleh
limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya
seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari cara diperolehnya,
mekanisme pertahanan spesifik disebut juga sebagai respons imun
didapat.
1) Imunitas humoral adalah imunitas yg diperankan oleh limfosit B
dengan atau tanpa bantuan dari imunokompeten lainnya. Tugas sel
B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yg disekresi oleh plasma.
Terdapat 5 kelas imunoglobulin yg kita kenal, yaitu IgG, IgM, IgA,
IgD, dan IgE.
8

Antibodi (antibody, gamma globulin) adalah glikoprotein
dengan struktur tertentu yang disekresi dari pencerap limfosit-B
yang telah teraktivasi menjadi sel plasma, sebagai respon dari
antigen tertentu dan reaktif terhadap antigen tersebut. Pembagian
Immunglobulin.
a) Antibodi A (Immunoglobulin A, IgA) adalah antibodi yang
memainkan peran penting dalam imunitas mukosis.
b) Antibodi D (Immunoglobulin D, IgD) adalah sebuah monomer
dengan fragmen yang dapat mengikat 2 epitop.
c) Antibodi E (antibody E, immunoglobulin E, IgE) adalah jenis
antibodi yang hanya dapat ditemukan pada mamalia.
d) Antibodi G (Immunoglobulin G, IgG) adalah antibodi
monomeris yang terbentuk dari dua rantai berat dan rantai
ringan, yang saling mengikat dengan ikatan disulfida, dan
mempunyai dua fragmen antigen-binding.
e) Antibodi M (Immunoglobulin M, IgM, macroglobulin) adalah
antibodi dasar yang berada pada plasma B.
2) Imunitas seluler didefinisikan sbg suatu respon imun terhadap
suatu antigen yg diperankan oleh limfosit T dg atau tanpa bantuan
komponen sistem imun lainnya.
2.2.2 Sistem Hematologi
1. Pengertian
Hematologi adalah cabang ilmu kesehatan yg mempelajari darah,
organ pembentuk darah dan penyakitnya.
Hematologi berasal dari bahasa Yunani haima yang artinya darah.
Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah
mengangkut oksigen yg diperlukan oleh se-sel di seluruh tubuh. Darah
juga menyuplai tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa
metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun yg
bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit. Hormon-
hormon dari sistem endokrin juga diedarkan melalui darah.
9

Hematopoisis adalah proses pembentukan darah dan system imun,
menghasilkan semua sel darah tubuh, termasuk sel darah unutk pertahanan
imunologis. Terjadi di sumsum tulang, dimana sel batang multipotensial
memunculkan 5 jenis sel yang berbeda yang dikenal sebagai sel batang
unipotensial.

2. Macam - Macam Darah
a. Sel darah merah
b. Sel darah putih
1) Granulosit
a) Neutrofil. Merupakan granulosit terbanyak. Fagosit kuat
menangkap, mencerna, membuang benda asing.
b) Eosinofil merupakan sejenis fagositik yang mengatur respon
alergi dan bertahan melawan parasit.
c) Basofil normalnya bukanlah fagositik tetapi dapat melepaskan
histamine dan amin vasoaktif lain pada reaksi alergi akut.
2) Agranulosit
a) Limfosit meliputi sel T yang matang di dalam thymus, dan sel
B yang mungkin matang di sumsum tulang. Keduanya bertahan
melawan antigen.
b) Monosit. Monosit dibedakan kedalam macrofag yang sangat
fagositik. Monosit merupakan sel terbesar dari kelima sel darah
putih.
c. Trombosit (keping darah)
Trombosit melindungi permukaan vascular dan agregasi untuk
meningkatkan koagulasi, yang menghentikan kehilangan darah.
2.3 Etiologi
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV
yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan
perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel
keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada
10

asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon
sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi
antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al.,
2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino
L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga
dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan
bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme
menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B
limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al.,
2000).
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka
kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada
saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan
HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi
pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen
yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
2.4 Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan
aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi,
hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks
imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena
adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-
bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang
berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh
antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada
permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida
11

dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan
teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk
membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta
APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4
(Epstein, 1998).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2.
sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2
menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada
pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel
Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated
immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya
produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2
yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat
berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel
B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T.
Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya
hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen.
Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1
menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock
protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi
pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun.
Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+
(inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama
berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu
menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+
(Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga
menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke
CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel
B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut
double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi
12

(Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak
spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari
semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara
luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun
(misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan
mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua,
autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak
di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan.
Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan
menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau
autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan
menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya
terhadap kerusakan jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens
kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan
penurunan up-take kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan
klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga
fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan
reseptor FcRIIA dan FcRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi
komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan
meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi
kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga
terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan
aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang
menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti
ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat
menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti
klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan
jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami
apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma.
13

Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel,
pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi
ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan
berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter
ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor V3, CD36, CD14, lektin,
dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi.
Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang
kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcR yang akan menghasilkan
sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh
makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan
oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).
2.5 WOC (terlampir)
2.6 Manifestasi Klinis
SLE adalah salah satu dari beberapa penyakit yang dikenal sebagai "
peniru hebat "karena sering meniru atau keliru untuk penyakit lainnya. SLE
adalah barang klasik dalam diagnosis diferensial, karena gejala lupus sangat
bervariasi dan datang dan pergi tak terduga. Diagnosis demikian dapat sulit
dipahami, dengan beberapa orang yang menderita gejala yang tidak jelas
dari SLE yang tidak diobati selama bertahun-tahun.
Keluhan awal dan kronis umum termasuk demam, malaise, nyeri
sendi, mialgia, kelelahan, dan hilangnya kemampuan kognitif sementara.
Karena mereka begitu sering terlihat dengan penyakit lain, tanda-tanda dan
gejala bukan merupakan bagian dari kriteria diagnostik untuk SLE. Ketika
terjadi dalam hubungannya dengan tanda-tanda lain dan gejala (lihat di
bawah), namun, mereka dianggap sugestif.
1. Dermatologis manifestasi
Sebanyak 30% dari penderita memiliki beberapa gejala
dermatologi (dan 65% menderita gejala seperti di beberapa titik),
dengan 30% sampai 50% menderita dari klasik ruam malar (atau ruam
14

kupu-kupu ) yang berhubungan dengan penyakit. Beberapa mungkin
menunjukkan tebal, bersisik bercak merah di kulit (disebut sebagai
lupus diskoid). Alopecia , mulut , hidung, saluran kemih dan vagina
bisul, dan lesi pada kulit juga manifestasi mungkin. Air mata kecil
dalam jaringan halus di sekitar mata bisa terjadi setelah menggosok
bahkan minim.
2. Musculoskeletal
Perhatian medis yang paling sering dicari adalah untuk nyeri sendi,
dengan sendi-sendi kecil dari tangan dan pergelangan tangan biasanya
terpengaruh, meskipun semua sendi beresiko. The Lupus Foundation of
America memperkirakan lebih dari 90 persen dari mereka yang terkena
akan mengalami nyeri sendi dan / atau otot pada beberapa waktu selama
perjalanan penyakit mereka. Tidak seperti rheumatoid arthritis , arthritis
lupus kurang mematikan dan biasanya tidak menyebabkan kerusakan
parah sendi. Kurang dari sepuluh persen orang dengan arthritis lupus
akan mengembangkan kelainan bentuk tangan dan kaki. SLE pasien
berada pada risiko tertentu mengembangkan osteoarticular tuberkulosis.
Sebuah hubungan yang mungkin antara rheumatoid arthritis dan
lupus telah menyarankan, dan SLE mungkin berhubungan dengan
peningkatan risiko patah tulang pada wanita yang relatif muda.
3. Hematologi
Anemia dapat berkembang pada sampai dengan 50% kasus.
Rendah trombosit dan sel darah putih jumlah mungkin karena penyakit
atau efek samping pengobatan farmakologi. Orang dengan SLE
mungkin memiliki hubungan dengan sindrom antifosfolipid antibodi
(gangguan trombotik), dimana autoantibodi untuk fosfolipid yang hadir
dalam serum mereka. Kelainan yang berhubungan dengan sindrom
antifosfolipid antibodi termasuk berkepanjangan paradoks waktu
tromboplastin parsial (yang biasanya terjadi dalam gangguan
15

hemoragik) dan tes positif untuk antibodi antifosfolipid, kombinasi dari
temuan tersebut telah mendapatkan "istilah lupus antikoagulan positif ".
Temuan lain autoantibody pada SLE adalah antibodi anticardiolipin ,
yang dapat menyebabkan tes positif palsu untuk sifilis .
4. Jantung
Seseorang dengan SLE mungkin memiliki peradangan berbagai
bagian jantung , seperti perikarditis , miokarditis , dan endokarditis .
Para endokarditis dari SLE adalah bersifat noninfective ( Libman-Sacks
endokarditis ), dan melibatkan baik katup mitral atau katup trikuspid .
Aterosklerosis juga cenderung terjadi lebih sering dan kemajuan lebih
cepat dibandingkan pada populasi umum.
[13]

[14]

[15 ]

5. Paru
Paru-paru dan radang pleura dapat menyebabkan pleuritis , efusi
pleura , pneumonitis lupus, penyakit paru kronis interstisial difus,
hipertensi pulmonal , emboli paru , perdarahan paru , dan sindrom paru-
paru menyusut.
6. Ginjal
Painless hematuria atau proteinuria mungkin sering menjadi gejala
ginjal hanya presentasi. Gangguan ginjal akut atau kronis dapat
berkembang dengan nefritis lupus , yang mengarah ke akut atau
stadium akhir gagal ginjal . Karena pengenalan dini dan manajemen
dari SLE, stadium akhir gagal ginjal terjadi dalam waktu kurang dari
5% kasus.
Sebuah tanda histologis membran SLE adalah glomerulonefritis
dengan "loop kawat" kelainan. Temuan ini karena endapan komplek
imun di sepanjang membran basal glomerulus, yang mengarah ke
penampilan granular khas di immunofluorescence pengujian.
16

7. Neuropsikiatri
Neuropsikiatri sindrom bisa terjadi ketika lupus mempengaruhi
pusat atau sistem saraf perifer . The American College of
Rheumatology mendefinisikan sindrom neuropsikiatri 19 dalam lupus
eritematosus sistemik. Diagnosis sindrom neuropsikiatri bersamaan
dengan SLE adalah salah satu tantangan paling sulit dalam pengobatan,
karena dapat melibatkan pola yang berbeda begitu banyak gejala,
beberapa di antaranya mungkin keliru untuk tanda-tanda penyakit
menular atau stroke.
Gangguan neuropsikiatri paling umum orang dengan SLE miliki
adalah sakit kepala, meskipun keberadaan tertentu sakit kepala lupus
dan pendekatan optimal untuk sakit kepala dalam kasus lupus masih
controversial, manifestasi neuropsikiatri umum lainnya dari SLE
termasuk disfungsi kognitif, gangguan mood, penyakit serebrovaskular,
kejang, polineuropati, gangguan kecemasan, dan psikosis . Jarang sekali
bisa hadir dengan sindrom hipertensi intrakranial, ditandai dengan
peningkatan tekanan intrakranial, papiledema, dan sakit kepala dengan
sesekali abducens saraf paresis, adanya lesi menempati ruang-atau
pembesaran ventrikel, dan normal cairan serebrospinal kimia dan
hematologi konstituen.
Manifestasi lebih jarang adalah negara confusional akut , sindrom
Guillain-Barr, meningitis aseptik, gangguan otonom, sindrom
demielinasi, mononeuropati (yang mungkin bermanifestasi sebagai
multipleks mononeuritis), gangguan gerakan (lebih spesifik, chorea),
myasthenia gravis, myelopathy, tengkorak neuropati dan plexopathy.
8. Neurologis
Gejala saraf berkontribusi pada persentase yang signifikan dari
morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan lupus. Sebagai hasilnya,
sisi saraf lupus sedang dipelajari dengan harapan mengurangi angka
17

morbiditas dan mortalitas. Para manifestasi saraf lupus dikenal sebagai
lupus erythematosus neuropsikiatri yang sistematis (NPSLE). Salah satu
aspek dari penyakit ini adalah kerusakan parah pada sel-sel epitel dari
penghalang darah-otak .
Lupus memiliki berbagai gejala yang rentang tubuh. Gejala-gejala
neurologis termasuk sakit kepala, depresi, kejang, disfungsi kognitif,
gangguan mood, penyakit serebrovaskular, polineuropati, gangguan
kecemasan, psikosis, dan dalam beberapa kasus yang ekstrim, gangguan
kepribadian. Di daerah tertentu, depresi dilaporkan mempengaruhi
hingga 60% dari wanita yang menderita lupus.
9. Reproduksi
SLE menyebabkan tingkat peningkatan kematian janin dalam
rahim dan aborsi spontan (keguguran). Tingkat kelahiran hidup-
keseluruhan pada pasien SLE telah diperkirakan 72%. hasil Kehamilan
tampaknya lebih buruk pada pasien SLE yang penyakit flare up selama
kehamilan.
Neonatal lupus adalah terjadinya gejala-gejala lupus di bayi lahir
dari seorang ibu dengan SLE, paling sering menyajikan dengan ruam
yang menyerupai lupus eritematosus diskoid, dan kadang-kadang
dengan kelainan sistemik seperti blok jantung atau hepatosplenomegali.
Lupus neonatal biasanya jinak dan diri terbatas.
10. Sistemik
Kelelahan pada SLE mungkin multifaktorial dan telah terkait
dengan aktivitas penyakit tidak hanya atau komplikasi seperti anemia
atau hipotiroidisme, tetapi juga untuk rasa sakit, depresi, miskin tidur
yang berkualitas, miskin kebugaran fisik dan dirasakan kurangnya
dukungan sosial

18

2.7 Komplikasi
Yang menjadi komplikasi dari SLE adalh sebagai berikut.
1. Vaskulitis (radang pembuluh)
2. Perikarditis
3. Myokarditis
4. Anemia hemolitik
5. Intravascular thrombosis
2.8 Penatalaksanaan pada Pasien SLE
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala
penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan,
memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien,
memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta
memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari
terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi
klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual
tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi
terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000).
1. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun
dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari
tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi
yang timbul pada setiap pasien.
2. Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga
diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang
terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena
hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang
dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk
19

penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada
pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat
menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-
10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999).
Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk
penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV
yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah
(Delafuente, 2002).
3. NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan
termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID
memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002).
NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan
selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat
enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2
muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk
interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1
merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti
produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan
hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel
endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung,
2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran
cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya.
Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki
efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi
lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi
pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan
biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2
minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang
20

digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih
NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih
dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan
efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila
terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti
kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang
muncul (Herfindal et al., 2000).
Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk
pengobatan demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang
digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (6080
mg sehari selama kehamilan minggu ke-1326) yang dikombinasikan
dengan heparin dapat digunakan pada pasien SLE yang mengalami
kehamilan dengan sindrom antifosfolipid antibodi melalui hambatan
pembentukan tromboksan-A
2
Pemberian aspirin dapat dilakukan
bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau susu untuk
mengurangi efek samping pada saluran cerna. Aspirin diabsorpsi di
dalam saluran cerna sebesar 80-100% dari dosis oral. Di dalam tubuh,
aspirin mengalami hidrolisis menjadi metabolitnya yaitu salisilat. Obat
ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan
tubuh dan mempunyai ikatan yang lemah dengan protein plasma. t
1/2

aspirin 15 20 menit. Apirin diekskresi di dalam urin dalam bentuk
metabolit salisilat, hanya 1% dari dosis oral yang diekskresikan sebagai
aspirin tidak terhidrolisis melalui urin (McEvoy,2002).
Efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat
prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator
kuat yang disintesa di dalam medulla dan glomerolus ginjal berfungsi
mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi garam dan air. Adanya
hambatan dalam sintesis prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi
natrium, penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID
juga dapat menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia (Neal,
2002). Oleh karena itu penggunaan NSAID sebaiknya dihentikan pada
21

pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat merusak
mukosa gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan
sintesa prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal secara
langsung. Dengan menghambat prostaglandin, NSAID merusak barier
perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh asam lambung dan
menyebabkan ulserasi. (Neal, 2002). Karena efek samping tersebut di
atas maka pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat
gastroprotektif (Rahman, 2001).
4. Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau
sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan
kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat
antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat
pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan
antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien,
penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing
factor (TNF- ).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal
terapi dan kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada
2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik maka
dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai
manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan
sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria
dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh
setelah 3 tahun penghentian obat. (Herfindal et al., 2000).
Obat malaria yang sering digunakan adalah :
a. Klorokuin
b. Hidroksiklorokuin

22

5. Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak
memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau
antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang
mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut
lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau
intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai
antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah
fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator
mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan
tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial
terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga
mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi.
6. Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan
obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan
mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi
sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan
kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi.
Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung
pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi.
Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang
meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi.
7. Obat lain
8. Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain
adalah azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi,
terapi hormon, mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi.

23

Selain dari pengobatan dengan terapi yang dilakukan diatas, ada
beberapa penatalaksanaan medis dalam pengobatang penyakit lupus ini, yaitu
sebagai berikut.
1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai
bersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.
2. Obat antimalaria untuk gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik
ringan SLE.
3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
2.9 Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter
untuk membuat diagnosaSLE, antara lain :
1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)
yaitu : pemeriksaan untuk menentukan apakah autoantibodi terhadap inti
sel sering muncul di dalam darah.
2. Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ).
yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap mater
i genetik di dalam sel.
3. Pemeriksaan anti-Sm antibody
yaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein
yang ditemukandalam sel protein inti).
4. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes
(kekebalan) di dalam darah
5. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelomp
ok proteinyang dapat terjadi pada reaksi kekebalan)
6. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)
yaitu : pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yan
g dipengaruhi membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain
pemeriksaan ini jarang digunakanjika dibandingkan dengan pemeriksaan
ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka untukmendeteksi penyakit Lu
pus dibandingkan dengan LE cell prep.
24

7. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit
8. Urine Rutin
9. Antibodi Antiphospholipid
10. Biopsy Kulit
11. Biopsy Ginjal





























25

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Klien
Meliputi nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur, alamat, asal
suku bangsa, pekerjaan, status.
3.1.2 Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama : penyebab utama klien dibawa ke rumah sakit.
Mengeluhkan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra
diri pasien
b. Riwayat kesehatan saat ini : adanya tanda dan gejala klinis berupa
demam, malaise, nyeri sendi, mialgia, kelelahan, dan hilangnya
kemampuan kognitif sementara.
c. Riwayat penyakit dahulu : mengidentifikasi adanya faktor-faktor
penyulit atau faktor yang membuat kondisi pasien menjadi lebih
parah.
d. Riwayat penyakit keluarga : adakah penyakit yang diderita oleh
anggota keluarga yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit
klien sekarang. Adanya anggota keluarga yang menderita penyakit
lupus.
e. Kondisi lingkungan tempat tinggal : apakah tempat tinggal klien
langsung terpapar dengan sinar UV atau matahari.
3.1.3 Pola Fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan penanganan kesehatan
26

Keluhan utama demam, adanya sesak nafas, pembengkakan sendi,
inspeksi adanya ruam kupu-kupu di bagian pipi dan hidung
b. Pola nutrisi dan metabolik
Adanya kehilangan berat badan sampai beberapa kg, adanya rasa
mual dan muntah sehingga mengakibatkan nafsu makan menurun
c. Pola eliminasi
Ada perubahan pola eliminasi (adanya diare), dan juga sebagian
penderita SLE ini juga mengalami nefritis proliferative mesangial
d. Pola aktivitas dan latihan
Sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa dan sering
mengalami nyeri pada persendiannya, sering merasa lelah dan
lemah sehingga aktivitas terganggu
e. Pola istirahat dan tidur
Keluhan mengalami gangguan dalam tidur karena nyeri yang
dirasakan
f. Pola kognitif dan persepsi
Adanya perubahan pada daya perabaan yang mana pada jari-jari
tangannya terdapat lesi vaskultik. Pada sistem neurologis,
penderita bisa mengalami depresi, psychosis, neuropathies
g. Pola persepsi diri dan konsep diri
Karena terjadinya lesi pada kulit yang bersifat irreversible yang
menimbulkan bekas seperti luka dan warna yang buruk pada kulit
penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan
adanya lesi kulit yang ada, seperti timbulnya kemerahan pada pipi
dan kulit
h. Pola peran hubungan
Penderita tidak dapat melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan
selama sakit. Namun masih dapat berkomunikasi. Selama sakit,
tidak dapat melakukan perannya dengan baik
i. Pola reproduksi dan seksualitas
Tidak ada gangggua dalam pola seksualitas dan reproduksi
j. Pola koping dan toleransi stress
27

Timbulnya rasa depresi karena penyakitnya dan juga stress karena
nyeri yang dihadapi. Untuk itu, dukungan dari keluarga dan
tetangga sangat diperlukan sehingga penderita semanagat untuk
smebuh.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Biasanya aktivitas ibadah penderita terganggu karena keterbatasan
aktivitas akibat kelemahan dan nyeri sendi yang dirasakan
3.1.4 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda-tanda vital :
Terlebih dahulu perlunya pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi
tekanan darah (TD), nadi, respiratory rate (RR) dan suhu. Ini sangat
penting untuk dilakukan untuk mengetahui tanda awal ketidakstabilan
hemodinamik tubuh, gambaran dari tanda bital yang tidak stabil
merupakan indikasi dari peningkatan atau penurunan kondisi perfusi
jaringan.
Adapun pemeriksaan fisik selanjutunya adalah sebagai berikut.
Sistem Integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu
yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat
mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
Sistem Kardiovaskuler
Friction rub pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura. Lesi eritematosus papuler dan purpura yang menjadi
nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari
tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan.
Sistem Muskoloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeriketika bergerak,
rasa kaku pada pagi hari.
28

Sistem Paru
Pleuritis atau efusi pleura
Sistem Vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematosus dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku sreta
permukaan ekstensor bawah.
Sistem Renal
Edema dan hematuria.
Sistem Saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang,
korea ataupun manifestasi SSP lainnya.





















29

3.2. Aplikasi NANDA, NOC, dan NIC
No Diagnosa
keperawatan
NOC NIC
1 Nyeri akut b.d
inflamasi



kontrol nyeri
indicator :

Mengenali faktor
penyebab
Mengenali onset
(lamanya sakit)
Menggunakan metode
pencegahan
Menggunakan metode
nonanalgetik untuk
mengurangi nyeri
Menggunakan analgetik
sesuai kebutuhan
Mencari bantuan tenaga
kesehatan
Melaporkan gejala pada
tenaga kesehatan
Menggunakan sumber-
sumber yang tersedia
Mengenali gejala-gejala
nyeri
Mencatat pengalaman
nyeri sebelumnya
Manajemen nyeri

lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi
observasi reaksi non verbal dari
ketidaknyamanan
gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
mengetahui pengalaman nyeri pasien
kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan
lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri
masa lampau
bantu pasien dan keluarga untuk mencari
dan menemukan dukungan
kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
kurangi faktor presipitasi
pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi dan inter
personal)
30

Melaporkan nyeri sudah
terkontrol










kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
ajarkan tentang teknik non farmakologi
berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
evaluasi keefektifan kontrol nyeri
tingkatkan istirahat



31

Tingkat nyeri
Indicator :

melaporkan adanya nyeri
luas bagian tubuh yang terpengaruh
frekuensi nyeri
panjangnya episode nyeri
pernyataan nyeri
ekspresi nyeri pada wajah
posisi tubuh protektif
kurangnya istirahat
ketegangan otot
perubahan pada
frekuensi pernafasan
perubahan nadi
perubahan tekanan
darah
perubahan ukuran
pupil
keringat berlebih
kehilangan selera
makan


2 Gangguan mobilitas
fisik
Definisi :
Ketahanan
Mobilitas
Fungsi rangka
Terapi Aktifitas
- Tentukan komitmen pasien untuk peningkatan
frekuensi -kegiatan
32

keterbatasan dalam
melakukan tindakan
secara mandiri


Kriteria Hasil :
- Ketahanan untuk
mempertahankan
aktivitas
- kinerja rutin biasa
- aktivitas
- konsentrasi
- daya tahan otot
- pola makan
- libido
- energi di kembalikan
setelah istirahat.
- Keseimbangan
- Koordinasi
- Kiprah
- gerakan tulang
- kinerja posisi tubuh
- berjalan
- melompat
- crawling
- Bergerak dengan
mudah
- integritas tulang
- kepadatan tulang
- penyelarasan rangka


Membantu untuk mengeksplorasi makna
pribadi aktivitas biasa (misalnya, bekerja) dan
atau kegiatan rekreasi favorit
- Membantu untuk memilih kegiatan sesuai
dengan fisik, kemampuan psikologis, dan social
- Membantu untuk fokus pada apa yang pasien
dapat lakukan, bukan pada defisit
- Membantu untuk mengidentifikasi dan
memperoleh sumber daya yang diperlukan
untuk kegiatan yang diinginkan
- Membantu pasien untuk mengidentifikasi
preferensi untuk kegiatan
- Membantu pasien untuk mengidentifikasi
kegiatan yang berarti
- Membantu pasien untuk jadwal waktu tertentu
untuk tingkat aktivitas pengalihan
- Membantu pasien dan keluarga untuk
mengidentifikasi tingkat defisit kegiatan
- Anjurkan pasien dan keluarga bagaimana
melakukan aktivitas yang diinginkan atau
ditetapkan
- Membantu pasien / keluarga untuk beradaptasi
lingkungan untuk mengakomodasi aktivitas
yang diinginkan
- Menyediakan kegiatan untuk meningkatkan
rentang perhatian dalam konsultasi dengan PL
- Membantu dengan kegiatan fisik secara teratur
(e, g, perawatan pribadi), sesuai kebutuhan.
33

- Menyediakan aktivitas motorik untuk
meredakan ketegangan otot.
- Membantu pasien untuk mengembangkan
motivasi diri dan penguatan.
- Memantau respon emosional, fisik, sosial, dan
spiritual dengan aktivitas.
- Membantu pasien / keluarga untuk memantau
kemajuan menuju pencapaian tujuan sendiri.
Penahan Fisisk
- Membatasi aktivitas fisik untuk mengurangi
gangguan.
- Menyediakan staf yang cukup untuk
membantu klien dengan perangkat aplikasi
yang aman.
- Menunjuk salah satu anggota staf perawat
untuk staf langsung dan berkomunikasi
dengan pasien selama penerapan
pengekangan fisik.
- Gunakan hal yang sesuai ketika pasien
dalam situasi darurat
- Monitor respon pasien untuk prosedur.
Hindari mengikat hambatan di luar
jangkauan pasien.
- Memberikan tingkat yang tepat dari
pengawasan / memantau pasien dan untuk
memungkinkan tindakan terapi, sesuai
kebutuhan.
- Menyediakan untuk kenyamanan pasien
34

phychological, sesuai kebutuhan.
- Memberi obat PRN untuk kegelisahan atau
agitasi.
- Memantau kondisi kulit pada saat menahan
diri.
- Monitor suhu, dan sensasi di ekstremitas
terkendali.
- Menyediakan alat untuk gerakan dan
latihan, sesuai dengan tingkat kondisi, dan
kemampuan pasien.
- Memfasilitasi pasien untuk kenyamanan
posisi dan mencegah aspirasi dan kerusakan
kulit.
- Memberikan informasi pada pasien cara
memanggil bantuan ketika pengasuh tidak
hadir.
- Membantu kebutuhan yang berkaitan
dengan gizi, eliminasi, hidrasi, dan
kebersihan pribadi.
- Libatkan pasien dalam kegiatan untuk
meningkatkan kekuatan, koordinasi,
penilaian, dan orientasi.
- Dokumen alasan untuk menggunakan
intervensi terbatas, respon pasien terhadap
intervensi, kondisi fisik pasien, asuhan
keperawatan yang diberikan seluruh
intervensi, dan dasar pemikiran untuk
mengakhiri intervensi.
35

3 Pola Nafas tidak
efektif
Definisi :
Pertukaran udara
inspirasi dan/atau
ekspirasi tidak
adekuat

Re Respiratory status :
Ventilation
Airway patency
Vital sign Status
Kriteria Hasil :
Mendemonstrasikan
batuk efektif dan
suara nafas yang
bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu
(mampu
mengeluarkan sputum,
mampu bernafas
dengan mudah, tidak
ada pursed lips)
Menunjukkan jalan
nafas yang paten
(klien tidak merasa
tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan
dalam rentang normal,
tidak ada suara nafas
abnormal)
Tanda Tanda vital
dalam rentang normal
(tekanan darah, nadi,
pernafasan)
Airway Management
- Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau
jaw thrust bila perlu
- Posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi
- Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
jalan nafas buatan
- Pasang mayo bila perlu
- Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
- Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
tambahan
- Lakukan suction pada mayo
- Berikan bronkodilator bila perlu
- Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
Lembab
- Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
- Monitor respirasi dan status O2
Terapi oksigen
- Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
- Pertahankan jalan nafas yang paten
- Atur peralatan oksigenasi
- Monitor aliran oksigen
- Pertahankan posisi pasien
- Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi
- Monitor adanya kecemasan pasien terhadap
36




















oksigenasi
Vital sign Monitoring
- Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
- Catat adanya fluktuasi tekanan darah
- Monitor VS saat pasien berbaring, duduk,
atau berdiri
- Auskultasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
- Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama,
dan setelah aktivitas
- Monitor kualitas dari nadi
- Monitor frekuensi dan irama pernapasan
- Monitor suara paru
- Monitor pola pernapasan abnormal
- Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
- Monitor sianosis perifer
- Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi
yang melebar, bradikardi, peningkatan
sistolik)
- Identifikasi penyebab dari perubahan vital
sign
37

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor .dan karaktersasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan imun dan produksi autoantibody
yang berlebihan.
Manifestasi yang ditimbulkan berupa demam, malaise, nyeri sendi,
mialgia, kelelahan, dan hilangnya kemampuan kognitif sementara. Karena
mereka begitu sering terlihat dengan penyakit lain, tanda-tanda dan gejala
bukan merupakan bagian dari kriteria diagnostik untuk SLE.
SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria,manifestasi klinik
secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasalelah,
malaise,demam,penurunan napsu makan,dan penurunan BB.Tidak ada satu
testlaboratorium tunggal yang dapat memastikan diagnostik SLE.pengobatan
yangdigunakan pada SLE adalah nonsteroidal anti-inflammatory
drugs(NSAIDs),corticosteroids dan lain lain yang dapat mendukung
pengobatan penyakit SLE.

4.2 Saran
Dalam menerapkan Asuhan Keperawatan pada klien dengan SLE
diperlukan pengkajian,konsep dan teori oleh seorang perawat. Sehingga tidak
terjadi kesalahan dalam pemberian asuhan keperawatan. Karena dengan
memberikan asuhan keperawatan yang tepat kesehatan baik fisik maupun
psikologis pasien dapat membaik dengan cepat.

Anda mungkin juga menyukai