Kelompok 4 :
WARDIANA 180204079
TAHUN AJARAN
2020
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyusun makalah “ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA
ANAK KORBAN KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Tim penulis menyadari bahwa penyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari isi
maupun susunannya, untuk tim penulis akan membuka diri terhadap kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak dami kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat dari pembaca dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khusunya
dibidang keperawatan. Akhir kata tim penulis mengucapkan terimaksih.
Kelompok 4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekerasan dalam rumah tAangga merupakan fenomena yang terjadi dalamsebuah komunitas
sosial.Seringkali tindakan kekerasan disebut hidden crime(kejahatan yang tersembunyi).
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)adalah setiap perbuatan seseorang terutama perempuan
yang berakibattimbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,dan atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawanhukum dalam
lingkup rumah tangga.Potensi pengaiayaan kekerasan terdapat dalam keluarga, masyarakat,
tempatkerja, dan lembaga lainnya.Penganiayaan atau kekerasan dapat terjadi diantara individu,
pasangan intim, anggota keluarga, atau dewasa dan anak anak dalam masyarakat.Kekerasan
dalam keluarga telah menjadi isunasional dan tidak dapat dianggap ringan.Kekerasan dalam
keluarga, termasuk penelantaran anak dan penganiayaan fisik dan penyerangan pasangan
intim .adalah ancaman bagi keamanan dan kesejahteraan seluruh anggota keluarga, kekerasan
dalam rumah tangga di bagi menjadi tiga bentuk yaitu kekerasan pada pasangan intim,
penganiayan anak, dan lansia.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Menurut Sutanto (2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa/anak yang lebih
tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang
seharusnya menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat penderitaan, kesengsaraan,
cacat atau kematian. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan
terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.
Jika kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut
dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di
dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik
maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah;
seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di
dalam rumah.
Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan
oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki
kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat,
dan guru.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan terhadap anak sebagai bentuk penganiayaan baik fisik
maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan anak, dan
segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah
semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak. Alva menambahkan bahwa penganiayaan
pada anak-anak banyak dilakukan oleh orangtua atau pengasuh yang seharusnya menjadi seorang
pembimbing bagi anaknya untuk tumbuh dan berkembang.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala
bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak. .
Child abuse atau perlakuan yang salah terhadap anak didefinisikan sebagai segala perlakuan
buruk terhadap anak ataupun adolens oleh orang tua, wali, atau orang lain yang seharusnya
memelihara, menjaga, dan merawat mereka.
Child abuse adalah suatu kelalaian tindakan atau perbuatan orangtua atau orang yang merawat
anak yang mengakibatkan anak menjadi terganggu mental maupun fisik, perkembangan
emosional, dan perkembangan anak secara umum.
Sementara menurut U.S Departement of Health, Education and Wolfare memberikan definisi
Child abuse sebagai kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual dan penelantaran terhadap
anak dibawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan anak, sehingga keselamatan dan kesejahteraan anak terancam.
1. Emotional Abuse,
Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak anak, meneror, mengabaikan
anak, atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan membuat anak merasa dirinya tidak dicintai, atau
merasa buruk atau tidak bernilai. Hal ini akan menyebabkan kerusakan mental fisik, sosial,
mental dan emosional anak.
Indikator fisik kelainan bicara, gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan. Indikator
perilaku kelainan kebiasaan ( menghisap, mengigit, atau memukul-mukul )
2. Physical Abuse
Cedera yang dialami oleh seorang anak bukan karena kecelakaan atau tindakan yang
dapat menyebabkan cedera serius pada anak, atau dapat juga diartikan sebagai tindakan yang
dilakukan oleh pengasuh sehingga mencederai anak. Biasanya berupa luka memar, luka bakar
atau cedera di kepala atau lengan.
Indikator fisik – luka memar, gigitan manusia, patah tulang, rambut yang tercabut, cakaran.
Indikator perilaku – waspada saat bertemu degan orang dewasa, berperilaku ekstrem seerti
agresif atau menyendiri, takut pada orang tua, takut untuk pulang ke rumah, menipu, berbohong,
mencuri.
3. Neglect
Kegagalan orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi anak, seperti tidak
memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian, pengobatan, atau meninggalkan anak
sendirian atau dengan seseorang yang tidak dapat merawatnya.
Indikator fisik–kelaparan, kebersihan diri yang rendah, selalu mengantuk, kurangnya perhatian,
masalah kesehatan yang tidak ditangani.
Indikator kebiasaan. Meminta atau mencuri makanan, sering tidur, kurangnya perhatian pada
masalah kesehatan, masalah kesehatan yang tidak ditangani, pakaian yang kurang memadai
( pada musim dingin ), ditinggalkan.
1. Sexual Abuse
Indikator kebiasaan pengetahuan tentang seksual atau sentuhan seksual yang tidak sesuai dengan
usia, perubahan pada penampilan, kurang bergaul dengan teman sebaya, tidak mau berpartisipasi
dalam kegiatan fisik, berperilaku permisif / berperilaku yang menggairahkan, penurunan
keinginan untuk sekolah, gangguan tidur, perilaku regressif ( misal: ngompol ).
C. ETIOLOGI
Menurut Helfer dan Kempe dalam Pillitery ada 3 faktor yang menyebabkan child abuse, yaitu:
1. Orang tua memiliki potensi untuk melukai anak-anak. Orang tua yang memiliki
kelainan mental, atau kurang kontrol diri daripada orang lain, atau orang tua tidak
memahami tumbuh kembang anak, sehingga mereka memiliki harapan yang tidak
sesuai dengan keadaan anak. Dapat juga orang tua terisolasi dari keluarga yang lain,
bisa isolasi sosial atau karena letak rumah yang saling berjauhan dari rumah lain,
sehingga tidak ada orang lain yang dapat memberikan support kepadanya.
2. Menurut pandangan orang tua anak terlihat berbeda dari anak lain. Hal ini dapat terjadi
pada anak yang tidak diinginkan atau anak yang tidak direncanakan, anak yang cacat,
hiperaktif, cengeng, anak dari orang lain yang tidak disukai, misalnya anak mantan
suami/istri, anak tiri, serta anak dengan berat lahir rendah (BBLR). Pada anak BBLR
saat bayi dilahirkan, mereka harus berpisah untuk beberapa lama, padahal pada
beberapa hari inilah normal bonding akan terjalin.
3. Adanya kejadian khusus : Stress. Stressor yang terjadi bisa jadi tidak terlalu
berpengaruh jika hal tersebut terjadi pada orang lain. Kejadian yag sering terjadi
misalnya adanya tagihan, kehilangan pekerjaan, adanya anak yang sakit, adanya
tagihan, dll. Kejadian tersebut akan membawa pengaruh yang lebih besar bila tidak ada
orang lain yang menguatkan dirinya di sekitarnya Karena stress dapat terjadi pada siapa
saja, baik yang mempunyai tingkat sosial ekonomi yag tinggi maupun rendah, maka
child abuse dapat terjadi pada semua tingkatan.
Menurut Rusel dan Margolin, wanita lebih banyak melakukan kekerasan pada anak, karena
wanita merupakan pemberi perawatan anak yang utama. Sedangkan laki-laki lebih banyak
melakukan sex abuse, ayah tiri mempunyai kemungkinan 5 sampai 8 kali lebih besar untuk
melakukannya daripada ayah kandung (Smith dan Maurer).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami kekerasan. Baik kekerasan fisik
maupun kekerasan psikis, diantaranya adalah:
Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban
penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi
negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak
mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula
yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga
menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya
sistem syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku
menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang
anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk
membunuh ibunya.
1. Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child
abuse), antara lain;
a. Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya
akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam
kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif,
yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson
(dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental
ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia
masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka
waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas
luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia
b. Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering
dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru
perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan
makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk),
kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut
Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena
tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan
ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam
beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina
persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan
obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri;
c. Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara
korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa
rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah
dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami
semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam
prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh
buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi
mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak
beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit,
dll (dalam Nadia, 1991);
d. Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami
hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak,
Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua
menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan
perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada
masa yang akan datang.
e. Dampak yang lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam
mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan
baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak
mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh
anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
E. MANIFESTASI KLINIS
Akibat pada fisik anak, antara lain: Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah
tulang, perdarahan retinaakibat dari adanya subdural hematom dan adanya kerusakan organ
dalam lainnya. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan saraf,
gangguan pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya. Kematian.
Akibat pada tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami
perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu:
1. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak2 sebayanya yang tidak
mendaapat perlakuan salah.
2. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:
a) Kecerdasan
a. Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam
perkembangan kognitif, bahasa, membaca, dan motorik.
b. Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga
karena malnutrisi.
c. Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh tidak adanya
stimulasi yang adekuat atau karena gangguan emosi.
b) Emosi
a. Terdapat gangguan emosi pada: perkembangan kosnep diri yang positif,
atau bermusuh dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan
sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri.
b. Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau
bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik
diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh,
kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, tempretantrum, dsb.
c) Konsep diri
a. Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai,
tidak dikehendaki, muram, dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi
aktifitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
d) Agresif
b. Anak yang mendapat perlakuan salah secara badani, lebih agresifterhadap
teman sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan
orangtua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman
sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep diri.
e) Hubungan social
a. Pada anak sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau
dengan orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman dan suka
mengganggu orang dewasa, misalnya dengan melempari batu atau
perbuatan2 kriminal lainnya.
f) Akibat dari penganiayaan seksual
a. Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret
vagina, dan perdarahan anus.
b. Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis,
enkopresis, anoreksia, atau perubahan tingkah laku.
c. Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan
umurnya. Pemeriksaan alat kelamin dilakuak dengan memperhatikan
vulva, himen, dan anus anak.
F. MEKANISME KOPING.
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress, termasuk
upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien untuk melindungi diri
antara lain :
1. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal.
Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain
seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi :Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang
tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya
tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
3. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam
sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil
bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan,
sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai
rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu.
Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari
ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan
dengan temannya.
A. PENGKAJIAN
Perawat seringkali menjadi orang yang pertamakali menemui adanya tanda adanya kekerasan
pada anak (lihat indicator fisik dn kebiasaan pada macam-macam child abuse di atas). Saat abuse
terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan seluruh gambarannya, bicaralah dahulu dengan
orang tua tanpa disertai anak, kemudian menginterview anak.
1. Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di rumah orang lain
atau saudaranya untuk beberapa waktu.
2. Identifikasi adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu, depresi, atau
masalah psikiatrik.
3. Identifikasi situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse
4. Identifikasi bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan ketergantungan
tinggi (seperti prematur, bayi berat lahir rendah, intoleransi makanan,
ketidakmampuan perkembangan, hiperaktif, dan gangguan kurang perhatian)
5. Monitor reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau kecewa dengan
jenis kelamin anak yang dilahirkan.
6. Kaji pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan perawatan anak.
7. Kaji respon psikologis pada trauma
8. Kaji keadekuatan dan adanya support system
9. Situasi Keluarga.
1) Psikososial
2) Muskuloskeletal
· Fraktur
· Dislokasi
· Keseleo (sprain)
1) Genito Urinaria
2) Integumen
· Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena rokok)
· Bengkak.
Evaluasi diagnostik
Diagnostik perlakuan salah dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik
yang teliti, dokumentasi riwayat psikologik yang lengkap, dan laboratorium.
· Luka memar, terutama di wajah, bibir, mulut, telinga, kepala, atau punggung.
· Luka bakar yang patogomonik dan sering terjadi: rokok, pencelupan kaki-tangan dalam air
panas, atau luka bakar berbentuk lingkaran pada bokong. Luka bakar akibat aliran listrik seperti
oven atau setrika.
· Trauma kepala, seperti fraktur tengkorak, trauma intrakranial, perdarahan retina, dan
fraktur tulang panjang yang multipel dengan tingkat penyembuhan yang berbeda.
· Trauma abdomen dan toraks lebih jarang dibanding trauma kepala dan tulang pada
penganiayaan anak. Penganiayaan fisik lebih dominan pada anak di atas usia 2 tahun.
2) Pengabaian
· Pengabaian non organic failure to thrive, yaitu suatu kondisi yang mengakibatkan
kegagalan mengikuti pola pertumbuhan dan perkembangan anak yang seharusnya, tetapi respons
baik terhadap pemenuhan makanan dan kebutuhan emosi anak.
· Pengabaian medis, yaitu tidak mendapat pengobatan yang memadai pada anak penderita
penyakit kronik karena orangtua menyangkal anak menderita penyakit kronik. Tidak mampu
imunisasi dan perawatan kesehatan lainnya. Kegagalan yang disengaja oleh orangtua juga
mencakup kelalaian merawat kesehatan gigi dan mulut anak sehingga.
3) Penganiayaan seksual. Tanda dan gejala dari penganiayaan seksual terdiri dari:
· Nyeri vagina, anus, dan penis serta adanya perdarahan atau sekret di vagina.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kekerasan terhadap anak adalah segalah tindakan baik yang disengaja maupun tidak
disengaja yang dapat merusak anak baik berupa serangan fisik, mental sosial, ekonomi maupun
seksual yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma
dalam masyarakat. Beberapa faktor memicu kekerasan terhadap anak Menurut Komnas
Perlindungan Anak pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya: struktur keluarga,
pewarisan kekerasan dari generasi ke generasi, stress sosial dan isolasi sosial, serta keterlibatan
masyarakat bawah. Bentuk- bentuk kekerasan terhadap anak yaitu: kekerasan fisik, kekerasan
emosional, kekerasan verbal, kekerasan seksual, dan kekerasan secara sosial. Adapun cara yang
dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak yaitu: pendidikan dan
pengetahuan orang tua yang cukup, keluarga yang hangat dan demokratis, adanya komunikasi
yang efektif, dan mengintegrasikan isu mengenai hak anak kedalam peraturan perundang-
undangan. Peraturan perundang- undangan yang mengatur perlindungan anak yaitu Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan aAnak, Undang- Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang System Peradilan Pidana Anak, dan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Anak Dan Pemberdayaan Anak dan Perempuan Dalam Konflik
Sosial.·
DAFTAR ISI