Anda di halaman 1dari 15

DIFABE

L
DEFINISI DIFABEL

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyandang diartikan


dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan
disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata
serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat
atau ketidakmampuan. Dan difabel juga merupakan kata bahasa Indonesia
yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris different people are
merupakan manusia itu berbeda dan able yang berarti dapat, bisa,
sanggup, mampu.
Secara umum, disabilitas adalah ketidakmampuan seseorang untuk melakukan
suatu aktivitas tertentu. Terdapat beberapa jenis disabilitas, yaitu:

● Disabilitas fisik, seperti gangguan gerak yang menyebabkan tidak bisa berjalan
● Disabilitas sensorik, seperti gangguan pendengaran atau penglihatan
● Disabilitas intelektual, seperti kehilangan ingatan
● Disabiltas mental, seperti fobia, depresi, skizofrenia, atau gangguan kecemasan

Sementara itu, difabel adalah istilah yang lebih halus untuk menggambarkan
kondisi seseorang yang mengalami disabilitas. Difabel mengacu pada keterbatasan
peran penyandang disabilitas dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
karena ketidakmampuan yang mereka miliki.
B. Pendekatan Medical Model Dan Sejarah Sikap Dan Prespektif Terkait Difabel

Pandangan medis individual, yang melihat dan menempatkan kecacatan


sebagai sebuah permasalahan individu. Secara ringkas, pandangan ini menganggap
impairment (kecacatan) sebuah tragedi personal. Impairment selalu diposisikan
sebagai akar permasalahan serta penyebab atas hambatan aktifitas serta berbagai
bentuk ketidakberuntungan sosial yang dialami. Switzer seperti dikutip Ishak Salim,
perspektif medis memandang bahwa persoalan yang disebabkan oleh „disabilitas‟
dianggap berada dan bersumber dalam diri individu tersebut dan terlepas dari
konteks sosial, atau mengidentifiasi difabel sebagai masalah biologis. Tujuannya bagi
difabel kemudian adalah untuk menemukan obat medis demi menyembuhkan
“kecacatannya‟.Secara bersamaan, perspektif ini fokus pada disabilitas sebagai
sebuah masalah yang dapat ditangani melalui kemajuan medis dan teknologi.
LANJUTAN.....

Kelompok difabel adalah korban kuasa diskursus medis. Kedudukan


profesional medis (dokter), menurut Foucault, memang memiliki kedudukan
istimewa dibanding yang lain atau peradaban manapun. Menyandang status ini
adalah orang tidak bisa terdeferensiasi atau bertukar tempat (interchangeable).
Pernyataan medis tidak dikeluarkan oleh sembarang orang; nilai
pernyataanpernyataan tersebut, keampuhan, kekuatan terapi yang dimilikinya.
Eksistensinya sebagai pernyataan-pernyataan medis tidak bisa dipisahkan dari
status-status yang dimiliki orang tertentu yang punya hak untuk mengeluarkan
pernyataanpernyataan itu, seperti siapa yang sakit, rasa sakit atau kematian.
C. Pendekatan Social Model

Barton seperti dikutip Ro‟fah, dalam upaya untuk melemahkan dominasi


pendekatan medis dan individu dalam dunia disabilitas, dibutuhkan hampir satu
abad. Baru pada dekade 1960-an seiring dengan munculnya gerakan masyarakat
sipil diberbagai belahan Amerika dan Eropa. Kelompok-kelompok difabel mulai
mengkritisi bahwa model individual telah cukup lama meminggirkan peran mereka
dari kehidupan masyarakat. Asumsi-asumsi model individual yang menganggap
difabel adalah individu yang kurang dan tidak bisa menjalankan peran penuh dalam
masyarakat telah melahirkan opresif dari ketakutan sampai over-proteksi dan
kebijakan serta layanan yang parsial.
LANJUTAN.....

Kritik-kritik ini melahirkan apa yang disebut social model of disability atau
model sosial disabilitas yang mengubah fokus pembahasan disabilitas dari isu
individu ke isu sosial dan politik.10 Konseptualisasi disabilitas yang terlahir atas
dominasi konsepsi disabilitas dan bagaimana semestinya lingkungan sosial
memandang diri mereka. Pandangan ini disebut dengan social model, yang
belakangan kemudian berkembang menjadi pandangan yang melihat disabilitas
dalam pendekatan HAM, pendekatan ini dibangun atas sebuah prinsip dasar bahwa
kecacatan/impairment maupun keterbatasan fungsional sesungguhnya tidak pernah
mempunyai korelasi langsung terhadap apa yang dikatakan sebagai
disabilitas/ketidakmampuan aktifitas, maupun juga partisipasi sosial.
D. Issu Sosial Difabel Dan Kebijakan Public

Difabel dan keluarganya prihatin tentang masalah etika dan hukum


kontemporer yang sama yang menyangkut orang tidak di fabel. Namun, beberapa
isu terkait membawa kepentingan tertentu bagi difabel dan keluarga mereka,
termasuk pertanyaan dan masalah definisi kepribadian, menghormati manusia
sekitarnya, dan hak-hak difabel. Data angka yang menunjukkan jumlah kaum difabel
dari dulu hingga sekarang tidak pernah ada hitungan pasti (underrepresentative).
Referensi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada 15 persen dari
total penduduk dunia adalah penyandang cacat. Sedangkan di Indonesia, terdapat
informasi terbaru dari Biro Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan ada 4,45 persen
penyandang cacat dari total penduduk di Indonesia. Mereka, kaum difabel memiliki
gangguan fisik, sensorik, intelektual, ataupun mental dengan berbagai kondisi
berbeda.
LANJUTAN......

Populasi dunia yang semakin tua sangat berdampak pada meningkatnya


persentase penyandang disabilitas beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu,
masyarakat perlu menyadari tentang pentingnya peningkatan taraf hidup dan peran
serta penyandang disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat demi tercapainya
persamaan hak setiap manusia, penciptaan lingkungan yang lebih baik dan inklusif.
Pada faktanya, penyandang disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih besar
dibandingkan masyarakat normal pada umumnya, dikarenakan mereka memiliki
hambatan dalam mengakses layanan umum. Penyandang disabilitas seringkali tidak
memiliki akses untuk pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan, dan kegiatan
perekonomian.
 
Etika Membantu Difabel Secara Umum :

1. Ketahui terlebih dahulu jenis disabilitasnya


2. Tanyakan apakah ia membutuhkan bantuan
3. Perhatikan dengan seksama kontak fisik
4. Berfikirlah sebelum bicara
5. Jangan mengira-ngira kondisi atau kesulitan mereka
6. Bersikaplah positif terhadap permintaan mereka
7. Selalu ingat bahwa tujuan membantu mereka adalah untuk mengurangi hambatan
yang dihadapi, meningkatkan peran serta mereka
Yang Tidak boleh Anda Lakukan : Memandu tunanetra dengan memegang
tongkatnya. Atau, Andalah yang memegang tangan tunanetra.
 
Yang Sebaiknya Anda Lakukan :
a. Jika mereka memerlukan panduan berjalan maka berikanlah tangan BUKAN
mengambil tangan mereka. Berjalanlah disampingnya dan jelaskan secara lisan
mengenai keadaan sekitar selama berjalan.
b. Izinkan ia memegang lengan Anda. Bisa lengan kanan atau lengan kiri. Caranya,
bisa dengan mengatakan “Silakan pegang lengan saya”.
c. Berjalanlah bersamanya menuju tempat yang ia inginkan, dengan posisi Anda
berada satu langkah di depan si tunanetra. Dengan posisi seperti ini, si tunanetra
akan dapat merasakan gerak-gerik tubuh Anda jika naik atau turun tangga, berbelok
ke kanan atau ke kiri.
d. Tetaplah berkomunikasi dengannya, termasuk menginformasikan jika ada
halangan atau rintangan yang akan dilewati.
Yang Tidak Boleh Anda Lakukan:
a. Membantunya tanpa meminta ijin terlebih dahulu
b. Memaksa untuk membantunya
c. Tidak memperkenalkan diri terlebih dahulu
 
2. Etika Mengantar atau Memandu Tunanetra ke Suatu Tempat
Yang Sebaiknya Anda Lakukan :

a. Perkenalkan diri sebelum melakukan kontak fisik seperti menyentuh,


menggandeng, dan sebagainya.
b. Sapalah dia terlebih dahulu. Caranya, sentuhlah lengan atau bahunya, agar ia tahu
bahwa anda sedang berbicara dengannya. Akan lebih baik jika Anda menyebutkan
atau memperkenalkan siapa Anda. Misalnya, dengan menyebut nama Anda.
c. Tanyakan “Apa ada yang bisa dibantu?” atau, “Mau ke mana, bisa saya bantu?”.
pemenuhan hak mereka, bukan karena kemampuan mereka lebih rendah
Pandangan yang melekat terhadap kaum difabel dimata masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari, masih menganggap mereka merupakan aib bagi keluarga,
orang yang harus dikasihani dan dihormati, sebuah takdir Tuhan yang tak mungkin
dilawan. Disisi lain, masyarakat perlu diberi pengetahuan lebih jauh bahwa difabel
bukan sebatas mendapatkan bantuan dari Dinas Sosial, mendapat layanan dasar
dipusat rehabiltasi dari rumah sakit umum milik Pemerintah Daerah Ketentuan pada
Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Convention on The Rights of Person with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas), pada intinya difabel yang berhadapan dengan hukum
diberikan perlindungan secara khusus yang dikarenakan perbedaan secara fisik
mental dan/atau keduanya.
Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, penyandang cacat merupakan kelompok masyarakat rentan yang berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Kekurangan difabel baik secara fisik, mental dan/keduanya rentan menjadi korban
tindak pidana. Kenyataan yang terjadi dalam praktek, khususnya dalam proses
hukum masih jauh dari harapan, apalagi mendapatkan perlindungan yang lebih
karena kekhususannya. Difabel yang behadapan dengan hukum masih ada
diskriminasi khususnya difabel yang menjadi korban tindak pidana. Perempuan dan
anak adalah yang paling sering menjadi korban tindak pidana. Faktanya banyak
kasus kekerasan seksual bahkan pemerkosaan yang tidak diproses secara hukum,
dengan alasan lemahnya bukti, minimnya aksesibilitas hukum bagi difabel bahkan
difabel dianggap tidak mampu memberikan kesaksian dalam proses peradilan
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai