PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Penyakit Tuberculosis (TBC) merupakan masalah yang serius bagi dunia, karena
menjadi penyebab kematian terbanyak dibanding dengan penyakit infeksi lain.
Diperkirakan 95% dari kasus TBC, terbanyak di negara berkembang. Indonesia
merupakan penyumbang penyakit TBC terbesar ketiga di dunia setelah India dan
China.
Di Indonesia TBC merupakan penyebab kematian peringkat ketiga setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit pernafasan serta menjadi peringkat pertama dari golongan
penyakit infeksi. Tuberculosis (TBC) adalah penyakit menular yang dapat menyerang
siapa saja dan dimana saja. Setiap tahunnya, WHO memperkirakan terjadi 583.000
kasus TBC baru di Indonesia dan kematian karena TBC sekitar 140.000 orang. TBC
adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis.
Sumber penularan adalah penderita TBC BTA (Basil Tahan Asam) positif. Pada
waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet.
Orang dapat terinfeksi kalau droplet terhirup ke dalam saluran pernafasan. Penularan
kuman TBC dipengaruhi oleh perilaku penderita, keluarga serta masyarakat dalam
mencegah penularan penyakit TBC. Perilaku dalam mencegah penularan penyakit TBC
antara lain, menutup mulut pada waktu batuk dan bersin, meludah pada tempat tertentu
yang sudah diberi desinfektan, imunisasi BCG pada bayi, mengusahakan sinar matahari
masuk ke tempat tidur, serta makan makanan yang tinggi karbohidrat dan tinggi
protein.
Mengingat penyakit TBC dapat berakibat fatal dan kematian, sudah seharusnya
masyarakat mengetahui dan memahami berbagai masalah dan dampak dari penyakit
ini, sehingga mereka dapat melindungi diri, keluarga dan lingkungannya dari
penyebaran penyakit ini. Dengan kata lain bahwa perilaku keluarga dalam pencegahan
sangat berperan
penting dalam mengurangi resiko penularan kuman TBC. Dalam upaya
penanggulangan penyakit TBC peran serta keluarga dalam kegiatan pencegahan
merupakan faktor yang sangat penting. Peran serta keluarga dalam penanggulangan
TBC harus diimbangi dengan pengetahuan yang baik. Pengetahuan adalah hal apa yang
diketahui oleh orang terkait dengan sehat dan sakit atau kesehatan, misal pengertian,
penyebab, cara penularan serta cara pencegahan suatu penyakit.
Pengetahuan merupakan domain terbentuknya suatu perilaku. Sebelum seseorang
mengadopsi perilaku (berperilaku baru), ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau
manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Orang akan melakukan
pencegahan TBC apabila ia tahu apa tujuan dan manfaatnya bagi kesehatan atau
keluarganya, dan apa bahayanya bila tidak melakukannya. Prilaku keluarga dalam
rangka pencegahan penularan TBC selama ini masih kurang, hal ini dapat kita lihat
masih banyaknya pengunjung yang datang ke Puskesmas jika batuk tidak menutup
mulut dengan sapu tangan dan masih banyak yang meludah di sembarang tempat.
Priaku yang demikian akan dapat mempercepat penularan kuman TBC. Jumlah kasus
TBC di Kota Jakarta hampir menyebar di seluruh wilayah Puskesmas. Keberhasilan
pengobatan seorang penderita TB sangat dipengaruhi oleh dukungan keluarga dan
orang-orang terdekat, karena penderita TB perlu adanya kepatuhan minum dalam
minum obat. Penderita cenderung bosan untuk mengkonsumsi obat tuberkulosis
karena jangka waktu pengobatan yang cukup lama dan efek samping obat yang
menganggu kenyamanan penderita. Kegagalan pengobatan inilah yang sering
menyebabkan terjadinya kasus (Multidrug Resistance Tuberculosis atau MDR-TB).
Menurut WHO dalam laporan Global Tuberculosis Control 2009, terdapat lebih dari
500.000 kasus tuberkulosis di Indonesia yang resisten terhadap berbagai jenis obat anti
tuberkulosis.
Berangkat dari latar belakang tinggi angka kejadian tuberkulosis di Indonesia dan
permasalahan yang ada, maka diperlukan pembahasan lebih lanjut mengenai
tuberkulosis dilihat dari sisi kedokteran keluarga, dimana melihat individu sebagai satu
kesatuan dalam keluarga.
BAB II
KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Tn. Ambar Suseno
Usia : 28 tahun
TTL : Jakarta, 06 Februari1989
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan :-
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Kp. Parigi RT 006/006, Kelurahan Parigi, Kecamatan
Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan
Tanggal Kunjungan : 15 Desember 2017
II. ANAMNESIS
Dilakukan alloanamnesis dan autoanamnesis dengan keluarga pasien pada tanggal 15
Desember 2017 Pukul 09.00 WIB.
Keluhan Utama
Batuk sejak ± 1 tahun yang lalu. (sebenernya gak tau keluhan utama dia dateng berobat
soalnya ga ada direkaman jadi yang keluhan batuk berdahak disertai bercak
kemerahan nebak aja hehehee, klo ada yang tau tolong digantiin yaaaa)
Riwayat Alergi
Alergi obat, makanan, cuaca dan debu disangkal.
Riwayat Pengobatan
Pasien awalnya berobat ke RS EMC ± 1 tahun yang lalu dengan keluhan batuk yang
disertai dengan nyeri dada. Setelah pasien menjalani serangkaian pemeriksaan di RS
tersebut (laboratorium, dahak, rontgen) pasien dinyatakan terkena penyakit Tuberkulosis
Paru. Selanjutnya pasien diberikan obat OAT dan diharuskan menjalani pengobatan selama
minimal 6 bulan. Namun, setelah menjalani pengobatan secara teratur selama 4 bulan,
pasien berhenti berobat karena pasien beserta keluarganya tidak memiliki biaya lagi untuk
berobat (belum mendaftar sebagai peserta BPJS).
Setelah putus pengobatan OAT selama 2 bulan, kemudian pasien kejang-kejang
dan mengalami penurunan kesadaran. Selanjutnya pasien dibawa ke RS Fatmawati dan
dirawat selama 21 hari. Setelah 21 hari dan keadaan pasien sudah membaik, pasien
dipulangkan diberikan obat OAT jenis lain (Kategori II) dan selanjutnya pasien setiap hari
diharuskan ke Puskesmas terdekat (Puskesmas Parigi) untuk disuntik obat yang termasuk
salah satu obat dari serangkaian pengobatan tersebut.
Riwayat Psikososial
Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Ayah pasien bernama Kerto
Dinomo (sudah meninggal 1 tahun yang lalu karena stroke) dan ibu pasien bernama Jumini
yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Kakak pasien bernama Susilawati yang merupakan
kakak dari ibu yang berbeda. (Isna aku gatau silsilah keluarganya tolong diisiin ya).
Pasien merupakan sarjana S1 lulusan Universitas Pamulang Jurusan Ekonomi???
Pasien saat ini sedang tidak bekerja. Pasien sudah mengaggur sejak ± 6 bulan yang lalu
karena sakit, pasien juga sudah mencoba melamar pekerjaan namun tidak diterima karena
penyakit yang sedang diderita pasien. Sebelumnya pasein bekerja sebagai karyawan
Indomaret namun pasien berhenti dari pekerjaan karena….. Pasien mengatakan bahwa
ditempat kerjanya tersebut terdapat beberapa temannya yang mengalami batuk-batuk
namun tidak berobat.
Sebelumnya, pasien merupakan perokok aktif, dalam sehari pasien merokok
sebanyak 1 bungkus per hari. Pasien mengatakan sudah mulai merokok sejak 8 tahun yang
lalu. Namun saat ini pasien sudah tidak merokok lagi semenjak sakit. Pasien mengatakan
jarang berolahraga dan memiliki pola makan yang tidak teratur.
Menurut keluarganya, pasien merupakan sosok pekerja keras, saat masih memiliki
pekerjaan pasien giat sekali bekerja sampai seringkali lupa makan. Pasien merupakan
seorang muslim dan cukup rajin dalam beribadah.
Pasien tinggal di tempat yang padat penduduknya. Pasien tinggal bersama ibu dan
adiknya di rumah. Rumah pasien ukuran……….terdapat beberapa ruangan yaitu ruang
tamu, ……..kamar tidur, 1 kamar mandi, 1 dapur. Pencahayaan dirumah pasien……….dan
ventilasinya…………. Pasien tidur sendiri, ukuran kamar pasien ……x…..
BAB III
ANALISA MASALAH
2. Pasien merasa malas untuk meminum obat anti-TBC yang harus diminum setiap hari.
3. Kencing pasien berwarna merah.
B. Permasalahan Anggota keluarga dan lingkungan rumah
1. Panghasilan keluarga yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
2. Debu yang terlihat menempel diventilasi udara.
3. Baju yang tidak disimpan dengan baik di dalam almari pakaian.
4. Tempat tidur yang tidak dibereskan.
C. Kriteria rumah sehat
1. Kebutuhan ruang untuk setiap orang dihitung berdasarkan aktivitas dasar manusia di dalam
rumah, luas rumah bagian bawah 5x3m2, bagian atas 3x3m2
2. Dinding rumah tampak lembab, dan berlumut.
3. Bagian atas menggunakan papan agak goyang.
4. Jendela kamar tidak terbuka, cahaya matahari tidak memasuki kamar tidur hanya bagian
ruang depan.
5. Ventilasi rumah kurang, ruangan rumah dan kamar terasa pengap.
6. Tidak adanya sarana pembuangan asap dapur.
7. Cahaya matahari masuk kurang: pada ruang tamu dan sebagian kamar
BAB IV
TEORI TUBERCULOSIS
1. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini.
Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai “
Global Emergency” . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah
terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila
dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali
lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun.
Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di
Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.
Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi
HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di
Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada
seluruh kalangan usia.
2. DEFINISI
3. MIKROBIOLOGI
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul
14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang
berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam
kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya
dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.
B. Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin
(G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan
penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA
mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen
DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti
elemen sisipan.
Gen pab dan gen groEL masing-masing menyandi protein berikatan posfat misalnya
protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG
menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12
sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam
mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen
tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP.
Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen
4. PATOGENESIS
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang
sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai
alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian
besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran
ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar
limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang
meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa
inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu
dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi,
tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB
dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar
dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar
yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru
atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk
koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak langsung
berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di
apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh
pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ
terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan
beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi
klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman
TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena
tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai
ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang
menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa
nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya,
sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB
akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Hal ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering
terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran
limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran
limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan
setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru
kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya
terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi
ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB
tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun
tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.
Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan
Penyembuhannya
A. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura.
1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan
radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis
positif.
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan.
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif /
perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik
selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir
bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif
pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang
kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
Catatan:
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-
kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat
dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.
6. DIAGNOSIS
A. Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala
lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan.
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai
tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
C. Pemeriksaan Bakteriologik
1. Bahan pemeriksasan
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak
sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang
sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien,
spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan
pengiriman dahak dengan kertas saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring
sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak
mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di
dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong
yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan
jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi
Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk
mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya
pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.
D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura
1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara
klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/
multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb
(terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih
dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua
depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta
tidak dijumpai kavitas
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
E. Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini
ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih
cepat.
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji
kepekaan.
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal
dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk
mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB yang
menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis,
diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis
melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1
garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke
bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum
mengandung antibody IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan
antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang
berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila
di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai
sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat
dideteksi dengan mudah.
F. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien
efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung
diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan
pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal
biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam
larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua
difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator
penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang
normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang
berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau
apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji
tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru
7. PERJALANAN PENYAKIT
Cara penularan
A. Risiko penularan
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB
paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun.
ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap
tahun.
3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
1. 50% meninggal
2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular
8. PENATALAKSANAAN
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung
untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang
lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang fase
lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke
ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji
resistensi
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol
yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO.
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan
untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB
primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti
terlihat pada tabel 3.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak
3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi
dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami
efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu
menanganinya.
B. Tatalaksana TB Anak
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis
maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan
dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan
sistem skor .
Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak Laporan BTA (+)
jelas keluarga, BTA
(-) atau tidak
tahu, BTA tidak
jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan/ Bawah garis merah Klinis gizi buruk
keadaan gizi (KMS) atau BB/U (BB/U < 60%)
< 80 %
Demam tanpa ≥ 2 minggu
sebab
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran ≥ 1 cm, jumlah > 1,
kelenjar linfe tidak nyeri
koli, aksila,
inguinal
Pembengkakan Ada pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto toraks Normal/ Kesan TB
tidak jelas
Jumlah
Catatan :
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
3. Gibbus, koksitis
Kesehatan Dasar
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah
pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi
klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan
perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6
bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis
obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita
TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil
evaluasi dengan skoring system didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH)
dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat
imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa
terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis
100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat
diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih
0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai
dengan pedoman TB pada keadaan khusus
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik
ialah :
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur.
Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus
diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan
penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit
yang lain.
4. Etambutol
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan
peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien
dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini
dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan
diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit
kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti
kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila
reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus barrier
plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.
1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara simptomatik
2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya disebabkan oleh
INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi
dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat.
Desensitisasi ini tidak bias dilakukan terhadap obat lainnya
3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal ginjal
karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll karena
streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon
4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu pengobatan
perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik
dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu
pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan.
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada
prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit
komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan
lain.
2. Pasien rawat inap
a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat.
E. Terapi Pembedahan
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah
mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
F. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat,
serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan
dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengob
1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta asam
urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada
keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang
paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada
evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman
1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat
tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit
dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga
dan lingkungannya.
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama
setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah
mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah
dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB.
2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat
pengobatan sebelumnya atau tidak.
3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada
pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% –90% dalam waktu hanya 4 sampai
16 minggu. Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah
terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik
sering disebabkan oleh MDR
1. Obat dengan aktivitas bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja pada
pH asam
2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: fluorokuinolon
3. Obat dengan akivitas bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS
Fluorokuinolon
Secara invitro fluorokuinolon dapat digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap
lini-1 yaitu moksifloksasin konsentrasi hambat minimal paling rendah dibandingkan
fluorokuinolon lainnya dengan urutan berikutnya gatifloksasin, sparfloksasin, levofloksasin,
ofloksasin dan siprofloksasin. Siprofloksasin harus dihindari
pemakainnya karena efek samping pada kulit yang berat (foto sensitif).
Resistensi silang
a. Aminoglikosid
b. Fluorokuinolon
c. Sikloserindan terizidon
Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi
untuk pasien menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif dan obat tambahan lain.
Obat tambahan yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan
siprofloksasin),aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan kapreomisin), etionamid, sikloserin,
klofazimin, amoksilin, klavulanat.
Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 –3 OAT lini 1
ditambah dengan obat lini 2, yaitu Ciprofloksasin dengan dosis 1000 – 1500 mg atau ofloksasin
600 – 800 mg (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari).
Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang
lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24 bulan.
Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan. Pada pasien
non-HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat pada
65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus.
Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan salah
satu kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short Course
(DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat. Prioriti yang
dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetetapi pencegahan MDR-TB.
A. TB Milier
1. Rawat inap
2. Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan evaluasi
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan :
a. Tanda / gejala meningitis
b. Sesak napas
c. Tanda / gejala toksik
d. Demam tinggi
e. Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari, lama
pemberian 4 – 6 minggu.
Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau menderita
AIDS. Indikasi untuk melakukan tes HIV dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini. Pemeriksaan tes
HIV disertai dengan konseling sebelum dan sesudah tes (Voluntary Counseling and Testing/VCT)
1. Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan
sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 6)
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced
hepatitis)
Penatalaksanaan
1. Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) ® OAT Stop
2. Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop
3. Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2 ® OAT Stop
4. SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
5. SGOT, SGPT > 3 kali : teruskan pengobatan, dengan pengawasan
11. KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau
dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungikin
timbul adalah :
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
3. Luluh paru
4. Gagal napas
5. Gagal jantung
6. Efusi pleura
A. Tujuan
B. Pengawasan
a. Petugas kesehatan
b. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
c. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
2. Pasien dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas RS, selesai
perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.
Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan
penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk
mendapat penjelasan tentang DOT
D. Persyaratan PMO
1. PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama pengobatan
dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.
2. PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma,
kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien
E. Tugas PMO
F. Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan
secara :
1. Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan,
di apotik saat mengambil obat dll
2. Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga pasien,
masyarakat pengunjung RS dll
13. PENCEGAHAN
1. Terapi pencegahan
2. Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan
Terapi pencegahan :
Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada
kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg / kg BB (tidak lebih dari 300 mg )
sehari selama minimal 6 bulan.
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem
informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu
sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan
klasifikasi & tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula.
Catatan :
1. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan
pencatatan pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
2. Bila seorang pasien ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstra paru pada
organ yang penyakitnya paling berat
3. Contoh formulir terlampir
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi
guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang konsisten dengan rekomendasi
WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan baru di launching pada bulan februari 2006 serta
akan segera dilaksanakan di Indonesia.
International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu 6 estándar untuk
diagnosis , 9 stándar untuk pengobatan dan 2 standar yang berhubungan dengan kesehatan
masyarakat. Adapun ke 17 standar tersebut adalah :
1. Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang tidak dapat
dipastiklan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberculosis
2. Semua pasien yang diduga tenderita TB paru(dewasa, remaja dan anak anak yang dapat
mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara mikroskopis sekurang-
kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan minimal 1 kali pemeriksaan
berasal dari sputum pagi hari
3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstra paru (dewasa, remaja dan anak) harus
menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila tersedia fasiliti
dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan pemeriksaan histopatologi
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus menjalani
pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling kurang
pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari), foto toraks
menunjukkan kelainan TB, tidak ada respon terhadap antibiotik spektrum luas (hindari
pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.Tb sehingga memperlihatkan
perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan.
Pada pasien denagn atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan.
6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak dengan BTA
negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat riwayat kontak atau uji
tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada pasien demikian, bila ada fasiliti harus
dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang berasal daribatuk, bilasan lambung atau
induksi sputum.
7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan masyarakat
yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat memantau kepatuhan
berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan.
Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai.
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan obat
lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang biovaibilitinya
sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH,Rifampisin, Pirazinamid dan etambutol diberikan
selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4
bulan. Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternative untuk
fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan
dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut diatas
kususnya pada pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi
internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan Rifampisin, yang
terdiri dari 3 obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan
pengawasan langsung saat menelan obat.
9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu dikembangkan suatu
pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan kebutuhan pasien dan hubungan yang
saling menghargai antara pasien dan pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan harus
memperhatikan kesensitifan gender dan kelompok usia tertentu dan sesuai dengan intervensi
yang dianjurkan dan pelayanan dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan konseling
pasien. Elemen utama pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah penggunaan
pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat menemukan bila
terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat khusus untuk keadaan
masing masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan.
Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung minum obat oleh PMO
yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien
dan sistem kesehatan
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik adalah
dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2
bulan), bulan ke lima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan ke lima
pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat
(sesuai standar 14 dan 15). Penilaian respons terapi pada pasien TB paru ekstra paru dan anak-
anak, paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak diperlukan
dan dapat menyesatkan (misleading)
11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons bakteriologik dan
efek samping harus ada untuk semua pasien
12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan co
infeksi TB-HIV, maka konseling dan testing HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien
sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah,
konseling dan testing HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda
yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat berisiko tinggi
terpajan HIV.
13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai indikasi untuk
diberi terapi anti retroviral dalam masa pemberian OAT.Perencanaan yang sesuai untuk
memperoleh obat antiretroviral harus dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat
terdapat kompleksiti pada pemberian secara bersamaan antara obat antituberkulosis dan obat
antiretroviral maka dianjurkan untuk berkonsultasi kepada pakar di bidang tersebut sebelum
pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan penyakit apa yang muncul lebih dahulu.
Meskipun demikian pemberian OAT jangan sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus
mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk infeksi lainnya.
14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua pasien yang
berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan sumber yang
mungkin sudah resisten danprevalens resistensi obat pada komuniti. Pada pasien dengan
kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan kultur dan uji sensitifity terhadap INH,
Rifampisin dan etambutol.
15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obat-obat lini kedua.
Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau dianggap sensitif dan diberikan
selama paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang
berorientasi kepada pasien. Konsultasi dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.
16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang punya
kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5 tahun dan
penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Anak usia
dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya kontak dengan kasus infeksius harus
dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif
17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus pengobatan ulang dan
keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan
hukum dan kebijakan yang berlaku
BAB 5
KESIMPULAN
Kesimpulan
Tuberculosis paru sampai saat ini masih merupakan problem kesehatan yang masih sulit
terpecahkan..Penyakit TBC dianggap menakutkan karena bila menyerang paru-paru dan tidak
diobati dapat menyebabkan kerusakan permanen pada paru-paru sehingga dapat menyebabkan
kematian. Selain itu penularannya sangat mudah, yaitu melalui dahak penderita yang keluar
bersama batuknya, kemudian mengering dan menjadi droplet di udara sehingga dapat mengenai
siapa saja. Penyakit TBC semakin banyak menjangkiti populasi karena semakin rendah daya tahan
tubuh. Selain itu kurangnya perhatian terhadap kebersihan linkungan(udara) dan gizi yang
seimbang semakin memperberat angka kejadiannya.
Saran
Kasus penyakit TB paru sangat terkait dengan faktor prilaku dan lingkungan,karena faktor
lingkungan, sanitasi dan hygiene terutama terkait dengan keberadaan kuman, dan proses penularan
penyakit TBC. Sedangkan faktor perilaku sangat berpengaruh pada kesembuhan dan bagaimana
mencegah untuk tidak terinfeksi kuman TB.
Pola hidup sehat adalah kuncinya, karena kita tidak tahu kapan kita bisa terpapar dengan kuman
TBC. Dengan pola hidup sehat maka daya tahan tubuh kita diharapkan cukup untuk memberikan
perlindungan, sehingga walaupun kita terpapar dengan kuman TBC tidak akan timbul gejala.
Dimulai dari perilaku hidup sehat yaitu:
- makan-makanan yang bergizi dan seimbang.
- istirahat yang cukup.
- olah raga teratur.
- hindari rokok, alkohol, obat bius, dan hindari stress.
- tidak meludah sembarangan tempat(meludah di tempat yang terkena sinar
matahari atau tempatyang diisikarbol/lisol).
- menutup mulut dengan tissue apabila batuk atau bersin.
- membuang tissue yang sudah digunakan ke tempat sampah
Penatalaksanaan lingkungan terutama pada pengaturan syarat -syarat rumah sehat
diantaranya:
- ventilasi dengan pencahayaan yang baik
- luas hunian dengan jumlah anggota keluarga
- kebersihan rumah dan lingkungan tempat tinggal
- penanaman pohon untuk program green & clean, untuk memperoleh udara yang
bersih.