Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Penyakit Tuberculosis (TBC) merupakan masalah yang serius bagi dunia, karena
menjadi penyebab kematian terbanyak dibanding dengan penyakit infeksi lain.
Diperkirakan 95% dari kasus TBC, terbanyak di negara berkembang. Indonesia
merupakan penyumbang penyakit TBC terbesar ketiga di dunia setelah India dan
China.
Di Indonesia TBC merupakan penyebab kematian peringkat ketiga setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit pernafasan serta menjadi peringkat pertama dari golongan
penyakit infeksi. Tuberculosis (TBC) adalah penyakit menular yang dapat menyerang
siapa saja dan dimana saja. Setiap tahunnya, WHO memperkirakan terjadi 583.000
kasus TBC baru di Indonesia dan kematian karena TBC sekitar 140.000 orang. TBC
adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis.
Sumber penularan adalah penderita TBC BTA (Basil Tahan Asam) positif. Pada
waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet.
Orang dapat terinfeksi kalau droplet terhirup ke dalam saluran pernafasan. Penularan
kuman TBC dipengaruhi oleh perilaku penderita, keluarga serta masyarakat dalam
mencegah penularan penyakit TBC. Perilaku dalam mencegah penularan penyakit TBC
antara lain, menutup mulut pada waktu batuk dan bersin, meludah pada tempat tertentu
yang sudah diberi desinfektan, imunisasi BCG pada bayi, mengusahakan sinar matahari
masuk ke tempat tidur, serta makan makanan yang tinggi karbohidrat dan tinggi
protein.
Mengingat penyakit TBC dapat berakibat fatal dan kematian, sudah seharusnya
masyarakat mengetahui dan memahami berbagai masalah dan dampak dari penyakit
ini, sehingga mereka dapat melindungi diri, keluarga dan lingkungannya dari
penyebaran penyakit ini. Dengan kata lain bahwa perilaku keluarga dalam pencegahan
sangat berperan
penting dalam mengurangi resiko penularan kuman TBC. Dalam upaya
penanggulangan penyakit TBC peran serta keluarga dalam kegiatan pencegahan
merupakan faktor yang sangat penting. Peran serta keluarga dalam penanggulangan
TBC harus diimbangi dengan pengetahuan yang baik. Pengetahuan adalah hal apa yang
diketahui oleh orang terkait dengan sehat dan sakit atau kesehatan, misal pengertian,
penyebab, cara penularan serta cara pencegahan suatu penyakit.
Pengetahuan merupakan domain terbentuknya suatu perilaku. Sebelum seseorang
mengadopsi perilaku (berperilaku baru), ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau
manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Orang akan melakukan
pencegahan TBC apabila ia tahu apa tujuan dan manfaatnya bagi kesehatan atau
keluarganya, dan apa bahayanya bila tidak melakukannya. Prilaku keluarga dalam
rangka pencegahan penularan TBC selama ini masih kurang, hal ini dapat kita lihat
masih banyaknya pengunjung yang datang ke Puskesmas jika batuk tidak menutup
mulut dengan sapu tangan dan masih banyak yang meludah di sembarang tempat.
Priaku yang demikian akan dapat mempercepat penularan kuman TBC. Jumlah kasus
TBC di Kota Jakarta hampir menyebar di seluruh wilayah Puskesmas. Keberhasilan
pengobatan seorang penderita TB sangat dipengaruhi oleh dukungan keluarga dan
orang-orang terdekat, karena penderita TB perlu adanya kepatuhan minum dalam
minum obat. Penderita cenderung bosan untuk mengkonsumsi obat tuberkulosis
karena jangka waktu pengobatan yang cukup lama dan efek samping obat yang
menganggu kenyamanan penderita. Kegagalan pengobatan inilah yang sering
menyebabkan terjadinya kasus (Multidrug Resistance Tuberculosis atau MDR-TB).
Menurut WHO dalam laporan Global Tuberculosis Control 2009, terdapat lebih dari
500.000 kasus tuberkulosis di Indonesia yang resisten terhadap berbagai jenis obat anti
tuberkulosis.
Berangkat dari latar belakang tinggi angka kejadian tuberkulosis di Indonesia dan
permasalahan yang ada, maka diperlukan pembahasan lebih lanjut mengenai
tuberkulosis dilihat dari sisi kedokteran keluarga, dimana melihat individu sebagai satu
kesatuan dalam keluarga.
BAB II
KASUS

I. IDENTITAS
 Nama : Tn. Ambar Suseno
 Usia : 28 tahun
 TTL : Jakarta, 06 Februari1989
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Pekerjaan :-
 Status Perkawinan : Belum Menikah
 Alamat : Kp. Parigi RT 006/006, Kelurahan Parigi, Kecamatan
Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan
 Tanggal Kunjungan : 15 Desember 2017

II. ANAMNESIS
Dilakukan alloanamnesis dan autoanamnesis dengan keluarga pasien pada tanggal 15
Desember 2017 Pukul 09.00 WIB.
 Keluhan Utama
Batuk sejak ± 1 tahun yang lalu. (sebenernya gak tau keluhan utama dia dateng berobat
soalnya ga ada direkaman jadi yang keluhan batuk berdahak disertai bercak
kemerahan nebak aja hehehee, klo ada yang tau tolong digantiin yaaaa)

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan batuk berdahak disertai bercak darah
berwarna merah segar sejak ± 1 tahun yang lalu. Pasien mengatakan bahwa keluhan
tersebut disertai nyeri dada sebelah kanan yang dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan
demam yang disertai keringat dingin pada malam hari. Selain itu, pasien juga mengalami
penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan sebesar 11 kg (dari 44 kg menjadi 33
kg) selama 1 bulan terakhir sejak awal keluhan tersebut timbul. Keluhan sesak, mual,
muntah tidak ada. BAK dan BAB dalam batas normal.
 Riwayat Penyakit Dahulu
o Riwayat penyakit paru, hati, jantung disangkal.
o Riwayat DM disangkal.
o Riwayat Hipertensi disangkal.

 Riwayat Penyakit Keluarga


o Riwayat penyakit paru disangkal.
o Riwawayat DM disangkal.
o Riwayat penyakit hipertensi dan stroke : Bapak (sudah meninggal sejak 1 tahun yang
lalu karena stroke).

 Riwayat Alergi
Alergi obat, makanan, cuaca dan debu disangkal.

 Riwayat Pengobatan
Pasien awalnya berobat ke RS EMC ± 1 tahun yang lalu dengan keluhan batuk yang
disertai dengan nyeri dada. Setelah pasien menjalani serangkaian pemeriksaan di RS
tersebut (laboratorium, dahak, rontgen) pasien dinyatakan terkena penyakit Tuberkulosis
Paru. Selanjutnya pasien diberikan obat OAT dan diharuskan menjalani pengobatan selama
minimal 6 bulan. Namun, setelah menjalani pengobatan secara teratur selama 4 bulan,
pasien berhenti berobat karena pasien beserta keluarganya tidak memiliki biaya lagi untuk
berobat (belum mendaftar sebagai peserta BPJS).
Setelah putus pengobatan OAT selama 2 bulan, kemudian pasien kejang-kejang
dan mengalami penurunan kesadaran. Selanjutnya pasien dibawa ke RS Fatmawati dan
dirawat selama 21 hari. Setelah 21 hari dan keadaan pasien sudah membaik, pasien
dipulangkan diberikan obat OAT jenis lain (Kategori II) dan selanjutnya pasien setiap hari
diharuskan ke Puskesmas terdekat (Puskesmas Parigi) untuk disuntik obat yang termasuk
salah satu obat dari serangkaian pengobatan tersebut.

 Riwayat Psikososial
Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Ayah pasien bernama Kerto
Dinomo (sudah meninggal 1 tahun yang lalu karena stroke) dan ibu pasien bernama Jumini
yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Kakak pasien bernama Susilawati yang merupakan
kakak dari ibu yang berbeda. (Isna aku gatau silsilah keluarganya tolong diisiin ya).
Pasien merupakan sarjana S1 lulusan Universitas Pamulang Jurusan Ekonomi???
Pasien saat ini sedang tidak bekerja. Pasien sudah mengaggur sejak ± 6 bulan yang lalu
karena sakit, pasien juga sudah mencoba melamar pekerjaan namun tidak diterima karena
penyakit yang sedang diderita pasien. Sebelumnya pasein bekerja sebagai karyawan
Indomaret namun pasien berhenti dari pekerjaan karena….. Pasien mengatakan bahwa
ditempat kerjanya tersebut terdapat beberapa temannya yang mengalami batuk-batuk
namun tidak berobat.
Sebelumnya, pasien merupakan perokok aktif, dalam sehari pasien merokok
sebanyak 1 bungkus per hari. Pasien mengatakan sudah mulai merokok sejak 8 tahun yang
lalu. Namun saat ini pasien sudah tidak merokok lagi semenjak sakit. Pasien mengatakan
jarang berolahraga dan memiliki pola makan yang tidak teratur.
Menurut keluarganya, pasien merupakan sosok pekerja keras, saat masih memiliki
pekerjaan pasien giat sekali bekerja sampai seringkali lupa makan. Pasien merupakan
seorang muslim dan cukup rajin dalam beribadah.
Pasien tinggal di tempat yang padat penduduknya. Pasien tinggal bersama ibu dan
adiknya di rumah. Rumah pasien ukuran……….terdapat beberapa ruangan yaitu ruang
tamu, ……..kamar tidur, 1 kamar mandi, 1 dapur. Pencahayaan dirumah pasien……….dan
ventilasinya…………. Pasien tidur sendiri, ukuran kamar pasien ……x…..
BAB III
ANALISA MASALAH

A. Keadaan dan Prilaku pasien


1. Keluhan pasien pada saat dikunjungi pusing, lemas. 4 minggu sebelumnya mengalami
batuk berdahak yang sertai darah.
Pasien diantar kakaknya untuk berobat ke Rumah Sakit Fatmawati, disana pasien
didiagnosis menderita penyakit Tuberculosis.
Adapuan hasil pemeriksaan laboratoriumnya sebagai berikut:
a. Hasil pemerikasaan radiologi pasien

2. Pasien merasa malas untuk meminum obat anti-TBC yang harus diminum setiap hari.
3. Kencing pasien berwarna merah.
B. Permasalahan Anggota keluarga dan lingkungan rumah
1. Panghasilan keluarga yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
2. Debu yang terlihat menempel diventilasi udara.
3. Baju yang tidak disimpan dengan baik di dalam almari pakaian.
4. Tempat tidur yang tidak dibereskan.
C. Kriteria rumah sehat
1. Kebutuhan ruang untuk setiap orang dihitung berdasarkan aktivitas dasar manusia di dalam
rumah, luas rumah bagian bawah 5x3m2, bagian atas 3x3m2
2. Dinding rumah tampak lembab, dan berlumut.
3. Bagian atas menggunakan papan agak goyang.
4. Jendela kamar tidak terbuka, cahaya matahari tidak memasuki kamar tidur hanya bagian
ruang depan.
5. Ventilasi rumah kurang, ruangan rumah dan kamar terasa pengap.
6. Tidak adanya sarana pembuangan asap dapur.
7. Cahaya matahari masuk kurang: pada ruang tamu dan sebagian kamar
BAB IV
TEORI TUBERCULOSIS

1. EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini.
Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai “
Global Emergency” . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah
terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila
dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali
lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk.

Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun.
Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di
Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.
Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi
HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di
Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada
seluruh kalangan usia.

Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh dunia


Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia

2. DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.

3. MIKROBIOLOGI

A. Morfologi dan Struktur Bakteri

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak


berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm.
Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun
utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi.
Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur
lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan
dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.
tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam–alkohol.

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul
14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang
berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam
kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya
dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.

B. Biomolekuler

Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin
(G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan
penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA
mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen
DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti
elemen sisipan.

Gen pab dan gen groEL masing-masing menyandi protein berikatan posfat misalnya
protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG
menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12
sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.

Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam
mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen
tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP.
Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen

4. PATOGENESIS

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang
sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai
alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian
besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran
ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar
limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang
meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa
inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu
dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB


sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami
perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi,
uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap
TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu
sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman
TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi,
tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB
dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar
dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar
yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru
atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk
koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak langsung
berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di
apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh
pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ
terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan
beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi
klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman
TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena
tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai
ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang
menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa
nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya,
sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB
akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Hal ini dapat terjadi secara berulang.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering
terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran
limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran
limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan
setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru
kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya
terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi
ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB
tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun
tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.
Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan
Penyembuhannya

Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis


5. KLASIFIKASI

A. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura.

1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil


pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan
BTA positif dan biakan positif.

b. Tuberkulosis paru BTA (-)

1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan
radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis
positif.

2. Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
pasien yaitu :

a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan.

b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif /
perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik
selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.

c. Kasus defaulted atau drop out

Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.

d. Kasus gagal

1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir
bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif
pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang
kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

Catatan:

a. Kasus pindahan (transfer in):


Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah
berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah.

b. Kasus Bekas TB:


1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik
paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT
2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologic.9

B. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.

Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-
kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat
dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.

6. DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan


fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

A. Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala
lokal sesuai organ yang terlibat).

1. Gejala respiratorik

a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu


b. batuk darah
c. sesak napas
d. nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila
bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk
yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang
dahak ke luar.

2. Gejala sistemik

a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.

3. Gejala tuberkulosis ekstra paru

Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai
tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di


daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”
Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior

C. Pemeriksaan Bakteriologik

1. Bahan pemeriksasan

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang


sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH)

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):

a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)


b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot


yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan
tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek
(difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk
kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke
laboratorium.

Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak
sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang
sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.

Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien,
spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan
pengiriman dahak dengan kertas saring:

a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring
sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak
mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di
dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong
yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.

3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan
jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :

a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen

Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)


lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks,
kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO).


Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst

Skala Bronkhorst (BR) :

1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.


2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional


ialah dengan cara :

1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.


2) Agar base media : Middle brook.

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi
Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk
mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya
pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.
D. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed Lung ) :

1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara
klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/
multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit.

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb
(terutama pada kasus BTA negatif) :

1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih
dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua
depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta
tidak dijumpai kavitas
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
E. Pemeriksaan Khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini
ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih
cepat.

1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji
kepekaan.

2. Polymerase chain reaction (PCR)


Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA
M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan
ketelitian dalam pelaksanaannya.

Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang


pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional.
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah
diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB.

Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal
dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.

3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :


a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa
proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.

b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk
mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB yang
menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis,
diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis
melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1
garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke
bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum
mengandung antibody IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan
antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.

c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang
berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila
di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai
sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat
dideteksi dengan mudah.

d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)


Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi dalam
menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena
banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.

e. Uji serologi yang baru / IgG TB


Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.

F. Pemeriksaan Lain

1. Analisis Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien
efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung
diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan
pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.


Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui
biopsi atau otopsi, yaitu :

a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal
biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam
larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua
difiksasi untuk pemeriksaan histologi.

3. Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator
penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang
normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

4. Uji tuberkulin

Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang
berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau
apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji
tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru

7. PERJALANAN PENYAKIT

Cara penularan

1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.


2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan
dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut.
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

A. Risiko penularan
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB
paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun.
ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap
tahun.
3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

B. Risiko menjadi sakit TB


1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
2. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar
50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan
tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
4. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB.
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka
yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bias mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:

1. 50% meninggal
2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

Gambar 7. Faktor Risiko Kejadian TB

8. PENATALAKSANAAN

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)

a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung
untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang
lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :

1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk

1) TB paru BTA (+), kasus baru

2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)

Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang fase
lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke
ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji
resistensi

b. TB paru kasus kambuh


Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif selama 3
bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama
pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat yang diberikan : 2 RHZES /
1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama tergantung dari
perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).

c. TB Paru kasus gagal pengobatan


Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 5 OAT
(minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan. Lama pengobatan
minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan obat 2
RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi

1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

d. TB Paru kasus putus berobat


Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria
sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai
jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan,
pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih lanjut
untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati
dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati
dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik positif:
pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT.

e. TB Paru kasus kronik


1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika
telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 3
macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah
dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus

Paket Kombipak.

Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol
yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO.
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan
untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB
primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti
terlihat pada tabel 3.

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.


2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang
tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi.

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT

Dosis (mg) / BB (kg)


Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis
(mg/kgBB/Har Harian Intermitten Maksimu
i) (mg/kgBB/Har (mg/kgBB/Har m < 40 40-60 > 60
i) i)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan


tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

Dosis per hari / kali Jumlah


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

a. Pasien baru TB paru BTA positif.


b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru

Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Berat Tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomis Jumlah/


Pengobat Pengobata Isoniasi Rifampisi Pirazinami Tablet Tablet in Injeksi kali
an n d n d @ 250 @ 400 menelan
@ 300 @ 450 @ 500 mg mg mg obat
mg mg
Tahap
Intenif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian
Tahap
Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu
)

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya:

a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Catatan:

a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak
3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol hari/kali
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg menelan obat
Tahap
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi
dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami
efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu
menanganinya.

B. Tatalaksana TB Anak

Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis
maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan
dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan
sistem skor .

Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional


Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan
terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh
program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak. Lihat tabel 8. tentang
sistem pembobotan (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang.

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,


maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama
dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis).
Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan
pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi
lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi,

funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.


Tabel 8. Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan
penunjang TB

Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak Laporan BTA (+)
jelas keluarga, BTA
(-) atau tidak
tahu, BTA tidak
jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan/ Bawah garis merah Klinis gizi buruk
keadaan gizi (KMS) atau BB/U (BB/U < 60%)
< 80 %
Demam tanpa ≥ 2 minggu
sebab
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran ≥ 1 cm, jumlah > 1,
kelenjar linfe tidak nyeri
koli, aksila,
inguinal
Pembengkakan Ada pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto toraks Normal/ Kesan TB
tidak jelas
Jumlah

Catatan :

a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.


b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti
Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung didiagnosis
tuberkulosis.
d. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan badan.
e. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan) harus
dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:

1. Tanda bahaya:

a. kejang, kaku kuduk


b. penurunan kesadaran
c. kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura

3. Gibbus, koksitis

Gambar 8. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak Pada Unit Pelayanan

Kesehatan Dasar
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah
pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi
klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan
perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.

Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6
bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis
obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Tabel 9. Dosis OAT Kombipak pada anak

Jenis Obat BB < 10 kg BB 10 - 19 kg BB 2 - 32 kg


Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel 10. Dosis OAT KDT pada anak

Berat badan (kg) 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari


RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-19 2 tablet 2 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:

a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit


b. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
c. Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
e. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum
diminum.
Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak

Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita
TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil
evaluasi dengan skoring system didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH)
dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat
imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.

C. Efek Samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)

Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa
terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis
100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat
diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin

(syndrom pellagra).

Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih
0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai
dengan pedoman TB pada keadaan khusus

2. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik
ialah :

a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang


b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah
menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur.
Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus
diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan
penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit
yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman,


buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari
atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal
dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak
karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan
peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien
dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini
dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan
diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit
kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti
kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila
reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus barrier
plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.

Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya

Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana


Minor OAT diteruskan
Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur
sakit perut
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai dengan INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari
rasa terbakar di kaki
Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
seni apa-apa

Tabel 12. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya

Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana


Mayor Hentikan pengobatan
Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
ganti etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol
Ikterik/Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
(penyebab lain disingkirkan) sampai ikterik menghilang
dan boleh diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan bingung Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan
(suspect drug-induced pre- lakukan uji fungsi hati
icteric hepatitis)
Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan Etambutol
Kelainan sistemik, termasuk Rifampisin Hentikan Rifampisin
syok dan purpura

Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:

1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara simptomatik
2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya disebabkan oleh
INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi
dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat.
Desensitisasi ini tidak bias dilakukan terhadap obat lainnya
3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal ginjal
karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll karena
streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon
4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu pengobatan
perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.

D. Pengobatan Suportif / Simptomatik

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik
dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu
pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan.

1. Pasien rawat jalan

a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada
prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit
komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan
lain.
2. Pasien rawat inap

Indikasi rawat inap :

TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :

a. Batuk darah (profus)


b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :

a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat.

E. Terapi Pembedahan

lndikasi operasi

1. Indikasi mutlak

a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif

a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang


b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)

1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh

1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah
mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

F. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat,
serta evaluasi keteraturan berobat.

Evaluasi klinik

1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)

1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak


2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
c. Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensiEvaluasi radiologik (0
- 2 – 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan
dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengob

Evaluasi efek samping secara klinik

1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta asam
urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada
keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang
paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada
evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman

Evalusi keteraturan berobat

1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat
tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit
dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga
dan lingkungannya.
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evaluasi pasien yang telah sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama
setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah
mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.

Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah
dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

9. RESISTEN GANDA (MULTI DRUG RESISTANCE)


A. Definisi

Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH


dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi
:

1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB.
2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat
pengobatan sebelumnya atau tidak.
3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada
pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% –90% dalam waktu hanya 4 sampai
16 minggu. Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah
terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik
sering disebabkan oleh MDR

Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :

1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis


2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau
karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang
digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi
terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop,
setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua
atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
4. Fenomena “ addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
paduan
5. pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten
pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan
menambah panjang nya daftar obat yang resisten
6. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga
7. mengganggu bioavailabiliti obat
8. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti
9. pengirimannya sampai berbulan-bulan
10. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan kebosanan
11. Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
12. Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru

B. Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)

Klasifikasi OAT untuk MDR

Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:

1. Obat dengan aktivitas bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja pada
pH asam
2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: fluorokuinolon
3. Obat dengan akivitas bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS

Fluorokuinolon

Secara invitro fluorokuinolon dapat digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap
lini-1 yaitu moksifloksasin konsentrasi hambat minimal paling rendah dibandingkan
fluorokuinolon lainnya dengan urutan berikutnya gatifloksasin, sparfloksasin, levofloksasin,
ofloksasin dan siprofloksasin. Siprofloksasin harus dihindari

pemakainnya karena efek samping pada kulit yang berat (foto sensitif).

Resistensi silang

Tionamid dan tiosetason

Etionamid pada kelompok tionamid komplit resistensi silang dengan

a. Aminoglikosid
b. Fluorokuinolon
c. Sikloserindan terizidon
Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi
untuk pasien menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif dan obat tambahan lain.
Obat tambahan yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan
siprofloksasin),aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan kapreomisin), etionamid, sikloserin,
klofazimin, amoksilin, klavulanat.

Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 –3 OAT lini 1
ditambah dengan obat lini 2, yaitu Ciprofloksasin dengan dosis 1000 – 1500 mg atau ofloksasin
600 – 800 mg (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari).

Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang
lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24 bulan.

Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan. Pada pasien
non-HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat pada
65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus.

Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan salah
satu kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short Course
(DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat. Prioriti yang
dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetetapi pencegahan MDR-TB.

10. PENGOBATAN PADA KEADAAN KHUSUS

A. TB Milier
1. Rawat inap
2. Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan evaluasi
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan :
a. Tanda / gejala meningitis
b. Sesak napas
c. Tanda / gejala toksik
d. Demam tinggi
e. Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari, lama
pemberian 4 – 6 minggu.

B. Pleuritis Eksudativa TB(Efusi Pleura TB)

1. Paduan obat: 2RHZE/4RH.


2. Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan berikan
kortikosteroid
3. Dosis steroid : prednison 3 x 10 mg selama 3 minggu
4. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
5. Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan

C. TB Ekstra Paru (Selain TB Milier Dan Pleuritis TB)

1. Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH.


2. Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan untuk TB
tulang, TB sendi dan TB kelenjar.
3. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah dilakukan
untuk :
a. Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
b. Pengobatan :
1) perikarditis konstriktiva
2) kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's
4. Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk mencegah konstriksi jantung, dan
pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologik. Dosis yang dianjurkan ialah
0,5 mg/kg /hari selama 3-6 minggu.

D. TB Paru Dengan Diabetes Melitus (DM)

1. Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol


2. Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan dianggap belum
cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan (bila perlu konsult ke ahli paru)
3. Gula darah harus dikontrol
4. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata;
sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
5. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisi karena akan mengurangi efektiviti obat oral anti
diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
6. Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi
dini bila terjadi kekambuhan

E. TB Paru Dengan HIV / AIDS

Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau menderita
AIDS. Indikasi untuk melakukan tes HIV dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini. Pemeriksaan tes
HIV disertai dengan konseling sebelum dan sesudah tes (Voluntary Counseling and Testing/VCT)

Tabel 13. Indikasi Tes Darah HIV

Kombinasi dari A dan B (1 kelompok A dan 1 dari B)


A. Berat badan turun drastic
TB paru
Sariawan / stomatitis berulang
Sarkoma Kaposi
B. Riwayat perilaku risiko tinggi
Pengguna NAZA suntikan
Homoseksual
Waria
Pekerja seks
Pramuria panti pijat

1. Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.


2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah
cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat
3. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan
efek toksik berat pada kulit
4. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril.
5. Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik
yang serius pada hati
6. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan,
selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya
malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/ AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat
dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal
sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum
7. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH diberikan
sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak
8. INH diberikan terus menerus seumur hidup.
9. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi / sesuai pedoman pengobatan MDR-TB

Waktu Memulai Terapi

1. Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan
sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 6)

Tabel 14. Pedoman pemberian ARV pada koinfeksi TB-HIV

Kondisi Rekomendasi Kondisi Rekomendasi


TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB toleransi terhadap AOT telah tercapai
ekstrapulmonal Mulai terapi OAT, segera
mulai terapi ARV jika
TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 atau hitung total < 1200 sel/mm3
limfosit
Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung
setelah 2 bulan limfosit
simptomatik, AIDS (+Kaposi/ Ca cervix / limfoma / wasting syndrome / pneumonia P. Carinii/
toksoplasmosis otak / retinitis virus sitomegalo / kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, sel/mm3),
asimptomatik + viral load > 55.000 kopi/ml) Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)

2. Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan terjadinya


efek toksik OAT
3. Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer
antasida
4. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida dan inhibitor
protease.Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat
menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin
sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang
direkomendasikan
F. TB Paru Pada Kehamilan dan Menyusui

1. Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan


2. Obat antituberkulosis tetap dapat diberikan kecuali streptomisin, karena efek samping
streptomisin pada gangguan pendengaran janin
3. Pada pasien TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walaupun beberapa
OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan
toksik pada bayi
4. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat pengobatan
OAT, dianjurkan tidak menyusui bayinya agar bayi tidak mendapat dosis berlebihan
5. Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin, dianjurkan
untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi interaksi obat yang
menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.

G. TB Paru dan Gagal Ginjal

1. Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomycin


2. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya memanjang dan terjadi
akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan
pengawasan kreatinin
3. Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreatnin)
4. Rujuk ke ahli Paru

H. TB Paru dengan Kelainan Hati


1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan
2. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
3. Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2 SHE/10 HE
4. Pada pasien hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis
akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan
E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
5. Sebaiknya rujuk ke ahli Paru
I. Hepatitis Imbas Obat

Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced
hepatitis)

Penatalaksanaan

1. Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) ® OAT Stop
2. Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop
3. Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2 ® OAT Stop
4. SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
5. SGOT, SGPT > 3 kali : teruskan pengobatan, dengan pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan :

1. Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)


2. Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal kembali
(bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis
penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium saat INH dosis
penuh , bila klinik dan laboratorium normal , tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai
dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES
3. Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

11. KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau
dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungikin
timbul adalah :

1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
3. Luluh paru
4. Gagal napas
5. Gagal jantung
6. Efusi pleura

12. DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program


penanggulangan tuberculosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut
oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting
agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.

DOTS mengandung lima komponen, yaitu :

1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional


2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT
(Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik Istilah DOT diartikan
sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan
Obat (PMO)

A. Tujuan

1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi


2. Mencegah putus berobat
3. Mengatasi efek samping obat jika timbul
4. Mencegah resistensi

B. Pengawasan

Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :

1. Pasien berobat jalan


Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial dapat
berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur, sebaiknya
dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah pasien
TB untuk pelaksanaan DOT ini.

Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO

a. Petugas kesehatan
b. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
c. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah

2. Pasien dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas RS, selesai
perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.

C. Langkah Pelaksanaan DOT

Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan
penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk
mendapat penjelasan tentang DOT

D. Persyaratan PMO

1. PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama pengobatan
dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.
2. PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma,
kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien

E. Tugas PMO

1. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik


2. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
3. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan
4. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai
5. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan obat
6. Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
7. Melakukan kunjungan rumah
8. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB

F. Penyuluhan

Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan
secara :

1. Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan,
di apotik saat mengambil obat dll

2. Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga pasien,
masyarakat pengunjung RS dll

Cara memberikan penyuluhan :

a. Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada


b. Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai
bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya
c. Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
d. Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan
alat peraga (brosur, leaflet dll)
G. DOTS Plus

1. Merupakan strategi pengobatan dengan menggunakan 5 komponen DOTS


2. Plus adalah menggunakan obat antituberkulosis lini 2
3. DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang tidak menggunakan strategi DOTS
4. Strategi DOTS Plus merupakan inovasi pada pengobatan MDR-TB

13. PENCEGAHAN

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :

1. Terapi pencegahan
2. Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan

Terapi pencegahan :

Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada
kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg / kg BB (tidak lebih dari 300 mg )
sehari selama minimal 6 bulan.

14. PENCATATAN DAN PELAPORAN

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem
informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu
sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan
klasifikasi & tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula.

Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir


yaitu :

1. Kartu pengobatan TB (01)

2. Kartu identitas penderita TB (TB02)

3. Register laboratorium TB (TB04)


4. Formulir permohonan pemeriksaan dahak (TB05)

5. Daftar tersangka penderita TB (TB06)

6. Formulir pindah penderita TB (TB09)

7. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)

Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB Nasional


(P2TB). Untuk pembuatan laporan, data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam
formulir Register TB (TB03) dan direkap ke dalam formulir rekapan yang ada di tingkat
kabupaten/kota

Catatan :

1. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan
pencatatan pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
2. Bila seorang pasien ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstra paru pada
organ yang penyakitnya paling berat
3. Contoh formulir terlampir

15. INTERNATIONAL STANDART FOR TUBERCULOSIS CARE

International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi
guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang konsisten dengan rekomendasi
WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan baru di launching pada bulan februari 2006 serta
akan segera dilaksanakan di Indonesia.

International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu 6 estándar untuk
diagnosis , 9 stándar untuk pengobatan dan 2 standar yang berhubungan dengan kesehatan
masyarakat. Adapun ke 17 standar tersebut adalah :

1. Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang tidak dapat
dipastiklan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberculosis
2. Semua pasien yang diduga tenderita TB paru(dewasa, remaja dan anak anak yang dapat
mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara mikroskopis sekurang-
kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan minimal 1 kali pemeriksaan
berasal dari sputum pagi hari
3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstra paru (dewasa, remaja dan anak) harus
menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila tersedia fasiliti
dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan pemeriksaan histopatologi
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus menjalani
pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling kurang
pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari), foto toraks
menunjukkan kelainan TB, tidak ada respon terhadap antibiotik spektrum luas (hindari
pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.Tb sehingga memperlihatkan
perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan.
Pada pasien denagn atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan.
6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak dengan BTA
negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat riwayat kontak atau uji
tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada pasien demikian, bila ada fasiliti harus
dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang berasal daribatuk, bilasan lambung atau
induksi sputum.
7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan masyarakat
yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat memantau kepatuhan
berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan.
Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai.
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan obat
lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang biovaibilitinya
sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH,Rifampisin, Pirazinamid dan etambutol diberikan
selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4
bulan. Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternative untuk
fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan
dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut diatas
kususnya pada pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi
internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan Rifampisin, yang
terdiri dari 3 obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan
pengawasan langsung saat menelan obat.
9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu dikembangkan suatu
pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan kebutuhan pasien dan hubungan yang
saling menghargai antara pasien dan pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan harus
memperhatikan kesensitifan gender dan kelompok usia tertentu dan sesuai dengan intervensi
yang dianjurkan dan pelayanan dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan konseling
pasien. Elemen utama pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah penggunaan
pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat menemukan bila
terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat khusus untuk keadaan
masing masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan.
Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung minum obat oleh PMO
yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien
dan sistem kesehatan
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik adalah
dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2
bulan), bulan ke lima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan ke lima
pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat
(sesuai standar 14 dan 15). Penilaian respons terapi pada pasien TB paru ekstra paru dan anak-
anak, paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak diperlukan
dan dapat menyesatkan (misleading)
11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons bakteriologik dan
efek samping harus ada untuk semua pasien
12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan co
infeksi TB-HIV, maka konseling dan testing HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien
sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah,
konseling dan testing HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda
yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat berisiko tinggi
terpajan HIV.
13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai indikasi untuk
diberi terapi anti retroviral dalam masa pemberian OAT.Perencanaan yang sesuai untuk
memperoleh obat antiretroviral harus dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat
terdapat kompleksiti pada pemberian secara bersamaan antara obat antituberkulosis dan obat
antiretroviral maka dianjurkan untuk berkonsultasi kepada pakar di bidang tersebut sebelum
pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan penyakit apa yang muncul lebih dahulu.
Meskipun demikian pemberian OAT jangan sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus
mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk infeksi lainnya.
14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua pasien yang
berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan sumber yang
mungkin sudah resisten danprevalens resistensi obat pada komuniti. Pada pasien dengan
kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan kultur dan uji sensitifity terhadap INH,
Rifampisin dan etambutol.
15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obat-obat lini kedua.
Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau dianggap sensitif dan diberikan
selama paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang
berorientasi kepada pasien. Konsultasi dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.
16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang punya
kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5 tahun dan
penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Anak usia
dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya kontak dengan kasus infeksius harus
dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif
17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus pengobatan ulang dan
keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan
hukum dan kebijakan yang berlaku
BAB 5
KESIMPULAN

Kesimpulan
Tuberculosis paru sampai saat ini masih merupakan problem kesehatan yang masih sulit
terpecahkan..Penyakit TBC dianggap menakutkan karena bila menyerang paru-paru dan tidak
diobati dapat menyebabkan kerusakan permanen pada paru-paru sehingga dapat menyebabkan
kematian. Selain itu penularannya sangat mudah, yaitu melalui dahak penderita yang keluar
bersama batuknya, kemudian mengering dan menjadi droplet di udara sehingga dapat mengenai
siapa saja. Penyakit TBC semakin banyak menjangkiti populasi karena semakin rendah daya tahan
tubuh. Selain itu kurangnya perhatian terhadap kebersihan linkungan(udara) dan gizi yang
seimbang semakin memperberat angka kejadiannya.

Saran
Kasus penyakit TB paru sangat terkait dengan faktor prilaku dan lingkungan,karena faktor
lingkungan, sanitasi dan hygiene terutama terkait dengan keberadaan kuman, dan proses penularan
penyakit TBC. Sedangkan faktor perilaku sangat berpengaruh pada kesembuhan dan bagaimana
mencegah untuk tidak terinfeksi kuman TB.
Pola hidup sehat adalah kuncinya, karena kita tidak tahu kapan kita bisa terpapar dengan kuman
TBC. Dengan pola hidup sehat maka daya tahan tubuh kita diharapkan cukup untuk memberikan
perlindungan, sehingga walaupun kita terpapar dengan kuman TBC tidak akan timbul gejala.
Dimulai dari perilaku hidup sehat yaitu:
- makan-makanan yang bergizi dan seimbang.
- istirahat yang cukup.
- olah raga teratur.
- hindari rokok, alkohol, obat bius, dan hindari stress.
- tidak meludah sembarangan tempat(meludah di tempat yang terkena sinar
matahari atau tempatyang diisikarbol/lisol).
- menutup mulut dengan tissue apabila batuk atau bersin.
- membuang tissue yang sudah digunakan ke tempat sampah
Penatalaksanaan lingkungan terutama pada pengaturan syarat -syarat rumah sehat
diantaranya:
- ventilasi dengan pencahayaan yang baik
- luas hunian dengan jumlah anggota keluarga
- kebersihan rumah dan lingkungan tempat tinggal
- penanaman pohon untuk program green & clean, untuk memperoleh udara yang
bersih.

Anda mungkin juga menyukai