Disusun oleh :
M. Fourta Lasocto
2007730077
Diajukan Kepada :
dr.Camelia, Sp.PD
BAB I
PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic lupus
erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif autoimun yang belum
diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis
dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan
akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang
terlibat. SLE merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita usia
reproduksi. Faktor genetik, imunologik, dan hormonal serta lingkungan berperan dalam
proses patofisiologi. 1,5,6,7
Prevalensi SLE di Amerika adalah 1:1000 dengan rasio wanita : laki-laki antara
9-14 : 1. Data tahun 2002 di RSUP Cipto mangunkusumo Jakarta, didapatkan 1,4% kasus
SLE dari total kunjungan pasien poliklinik Reumatologi. Belum terdapat data
epidemiologi yang mencakup semua wilayah Indonesia, namun insidensi SLE dilaporkan
cukup tinggi di Palembang.1,5
Survival rate SLE berkisar antara 85% dalam 10 tahun pertama dan 65% setelah
20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan
dengan aktivitas penyakit dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan
penyakit vascular aterosklerotik.5,6
BAB II
PEMBAHASAN
I.
DEFINISI
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri
yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau
beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah
dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi. Berdasarkan
sumber lain, sistemik lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit multisistem
yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat deposisi immune kompleks.
Terdapat spektrum manifestasi klinis yang luas dengan remisi dan eksaserbasi.
Respons imun patogenik mungkin berasal dari pencetus lingkungan serta
adanya gen tertentu yang rentan.2,3
II.
ETIOLOGI 2,3,4
1. Autoimun ( kegagalan toleransi diri)
2. Cahaya matahari ( UV)
3. Stress
4. Agen infeksius seperti virus, bakteri (virus Epstein Barr, Streptokokus,
klebsiella)
5. Obat obatan : Procainamid, Hidralazin, Antipsikotik, Chlorpromazine,
Isoniazid
6. Zat kimia : merkuri dan silikon
7. Perubahan hormon
III.
EPIDEMIOLOGI
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik
utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi
pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa
negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografik tidak
mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua
usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi
pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara
(5,5-9) : 1. 1
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di
rumah sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, yang
melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai
berikut : 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali); 1972-1976 ditemukan
1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat; 1988-1990 insidensi rata-rata
ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan.1
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000
perawatan (Purwanto, dkk). Di medan antara tahun 1984-1986 didapatkan
insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan (Tarigan).1
IV. PATOFISIOLOGI
Tidak diketahui etiologi pasti. Ada faktor keluarga yang kuat terutama
pada keluarga dekat. Resiko meningkat 2550% pada kembar identik dan 5%
pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta
bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi
genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat
4
Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus Eritematous
Probable
Hormon sex
rasio penderita wanita : pria = 9:1; rasio penderita menarche : menopause = 3:1
Possible
Faktor diet
Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine; Pristane atau bahan
yang sama; Diet tinggi saturated fats
Faktor Infeksi
DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri
Faktor paparan dengan obat tertentu :
Hidralazin;
Prokainamid;
Isoniazid;
Hidantoin;
Klorpromazin;
Methyldopa;
D-
Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta faktor
lingkungan yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal. Respon tersebut
terdiri dari pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif pula, dengan aktivasi
poliklonal stimulasi antigenik spesifik pada kedua sel tersebut. Pada penderita SLE
mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti itu, mengalami gangguan. Hasil dari
respon imun abnormal tersebut adalah produksi autoantibodi dan pembentukan imun
kompleks. Subset patogen autoantibodi dan deposit imun kompleks di jaringan serta
kerusakan awal yang ditimbulkannya merupakan karakteristik SLE.
Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan berbagai
keadaan seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen
tubuh tidak dikenal (self antigen) contoh: nucleosomes, U1RP, Ro/SS-A. Antigen tersebut
diproses seperti umumnya antigen lain oleh makrofag dan sel B. Peptida ini akan
menstimulasi sel T dan akan diikat sel B pada reseptornya sehingga menghasilkan suatu
antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk peptida ini dan antibodi yang
terbentuk oleh antigen external akan merusak target organ (glomerulus, sel endotel,
trombosit). Di sisi lain antibodi juga berikatan dengan antigennya sehingga terbentuk
imun kompleks yang merusak berbagai organ bila mengendap.
Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan protein
RNA, DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat
meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat berikatan dengan
glikoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Pada sisi lain antibodi dapat
bereaksi dengan antigen cytoplasmic trombosit dan eritrosit yang menyebabkan proses
apoptosis.
Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada SLE dan ini menyebabkan
kerusakan jaringan bila mengendap. Imun kompleks juga berkaitan dengan komplemen
yang akhirnya menimbulkan hemolisis karena ikatannya pada receptor C3b pada eritrosit.
Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit imun kompleks
yang melibatkan berbagai aktivasi komplemen , PMN dan berbagai mediator inflamasi.
6
atau
stabil,
yaitu:
ginjal, paru,
jantung,
10
menjadi normal pada remisi. Anti-Ds DNA juga berhubungan dengan aktivitas
dari perjalanan penyakit SLE , tetapi anti-Sm tidak.
Suatu varietas antibody antinuclear lain dan juga anticytoplasmic
(Ro,La,Sm,RNP,Jo-1) berguna secara diagnostik pada penyakit jaringan ikat
dan kadang ditemukan pada SLE dengan negatif ANA.
Serologi Tes Siphillis false positive dapat ditemukan 5-10% penderita.
Mereka disertai antikoagulan lupus,yang manifestasi sebagai perpanjangan
Partial Thrombiplastin (PTT).
Kadar complemen serum menurun pada fase aktif dan paling rendah
kadarnya pada SLE dengan nefritis aktif. Urinalisis dapat normal walaupun
telah terjadi proses pada ginjal. Untuk menilai perjalanan SLE pada ginjal
dilakukan biopsy ginjal dengan ulangan biopsy tiap 4-6 bulan. Adanya
silinder eritrosit dan silinder granuler menandakan adanya nefritis yang aktif.
Berikut tabel dibawah, jenis autoantibody yang berperan dalam SLE dan
prevalensinya.
Tabel 2. Autoantibody pada penderita SLE. 4,5,6
Antinuclear
antibodies
Anti-DNA
Anti-Sm
Anti-RNP
Incidence Antigen
Clinical importance
%
detected
98
Multiple nuclearSubstrat sel manusia lebih sensitive dari
murine. Pemeriksaan negatif yang berturutturut menyingkirkan SLE.
70
DNA(ds)
Spesifik untuk SLE;Anti-ssDNA
tidak.Titer yang tinggi berkorelasi dengan
nephritis dan tingkat aktivitas SLE.
30
Protein
Spesifik untuk SLE.
complexed to 6
species or small
nuclear RNA
40
Protein
Titer tinggi pada sindrom dengan
complexed to manifestasi polimyositis,scleroderma,lupus
U1RNA
dan mixed connective tissue disease.Jika +
tanpa anti-DNA,resiko untuk nephritis
12
Anti-Ro(SS-A)
30
Anti-La(SS-B)
10
Antihistone
70
Antiphospholipid 50
Antierythrocyte 60
Antiplatelet
30
Antilymphocyte 70
Antiribosomal
20
rendah.
Protein
Berhubungan dengan Sjorgens
complexed to Syndrome,subacute cutaneus
y1-y5 RNA.
lupus,inherited C deficiencies,ANAnegative lupus,lupus in eldery,neonatal
lupus,congenital heart block.Dapat
menyebabkan nephritis.
Phosphoprotein Selalu berhubungan dengan anti-Ro.Resiko
nephritis rendah bila +.Berhubungan
dengan Sjorgens Synd.
Histones
Lebih banyak pada drug induced
lupus(95%) daripada spontaneous lupus.
Phospholipid 3 tipe- lupus
anticoagulan(LA),anticardiolipin(aCL),dan
false-positive test for syphilis(BFP).LA
dan aCL berhubungan dengan clotting,fetal
loss,thrombocytopenia,valvular heart
disease.Antibodi pada 2-glycoprotein I
bagian dari grup ini.
Erythrocyte
Jumlah sedikit dari antibody ini dapat
mrnnyebabkan hemolisis.
Platelet surface Berhubungan dengan thrombocytopenia
+ cytoplasma pada 15% penderita.
Lymphocyte
Kemungkinan berhubungan dengan
surface
leukopenia dan abnormal fungsi sel T.
Ribosomal P
Berhubungan dengan psikosis atau depresi
protein
dengan CNS SLE.
ANA AntiNative
DNA
Rheumatoid Arthritis 30-60 0-5
SLE
95-100 60
Sjorgen Syndrome 95
0
Diffuse scleroderma 80-95 0
Limited
80-95 0
scleroderma(CREST
syndrome)
Polymiositis
80-95 0
Wegeners
0-15 0
granulomatosis
Anti
Anti- ANCA
Centromere Jo-1
0
0
0
1
50
0
0
0
0
0
33
50
0
0
20-30 0
0
93-96
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0-1
0
0
0
14
Obat-obat yang dapat memicu timbulnya SLE terhadap orang dengan predisposisi
genetik :
Definite ascociation
Chlorpromazine
Methyldopa
Hydralazine
Procainamide
Isoniazid
Quinidine
Possible ascociation
Beta-blocker
Methimazole
Captopril
Nitrofurantion
Carbamazepine
Penicillinamine
Cimetidine
Phenitoin
Ethosuximide
Propylthiouracil
Hydrazine
Sulfasalazine
Levodopa
Sulfonamide
Lithium
Trimethadione
Unlikely ascociation
Allopurinol
Penicillin
Chlortalidone
Phenylbutazone
Gold salt
Reserpine
15
Griseofulvin
Streptomycin
Methysergide
Tetracycline
Oral contraceptive
16
17
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis SLE harus dipikirkan pada :
1. Wanita muda
2. Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari
3. Manifestasi sendi
4. Depresi dari hemoglobin, sel darah putih, sel darah merah,trombosit
5. Tes serologi yang positif (ANA, anti-native DNA, serum komplemen yang
rendah)
Diagnosis mengacu pada kriteria yang dibuat oleh the American College
of Rheumatology revisi tahun 1997.7,9
Interpretasi:
Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan, diagnosa SLE bisa ditegakkan dengan
spesifitas 98% dan sensitivitas 97%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosa bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan gejala lain tidak ada, maka bukan SLE.
18
19
IX. PENGELOLAAN
Tujuan
Meningkatkan kualitas hidup pasien dengan pengenalan dini dan
pengobatan paripurna. Tujuan khusus : a) mendapatkan masa remisi yang
panjang, b) menurunkan aktifitas penyakit seringan mungkin, c) mengurangi rasa
nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktifitas hidup keseharian baik
Pilar Pengobatan
I.
II.
Latihan/program rehabilitasi
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
III.
Anti analgetik
klorokuin
(250mg/hari),
kuinarkrin
(100mg/hari).
poliarthritis,
poliserosistis,
myokarditis,
lupus
pneumonitis,
daily oral
short
acting
(prednison,
prednisolon,
dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10
hari untuk manifestasi hematologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 310 minggu untuk glomerulonephritis.
2. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari,
selama 3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin
dapat mengontrol penyakit lebih cepat daripada terapi oral setiaap hari,
tetapi efek yang menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga
tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama.
3. Regimen III : kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik
azayhioprine atau cyclophosphamide.
Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan
kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
4. Methoreksat
Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis
untuk penyakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat
alkilating atau azathrioprin. Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15
mg, efektif sebagai steroid spring agent dan dapat diterima baik oleh
penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Gansarge
dkk. melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada
kegagalan steroid dan antimalaria.
Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah: lekopenia, ulkus
oral, toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek
samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal dan
hepar. Pada penderita dengan efek samping gastrointestinal, pemberian
asam folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.
25
metabolisme
folat
dan
menghambat
asam
para
26
ini
bekerja
dengan
menghambat
TNF
alfa.
Obat
ini
Immunoglobulin intravena
Immunoglobulin intravena (IVIg) bekerja dengan menghambat
reseptor Fc reikuloendotelial. Terapi ini berguna untuk mengatasi
trombositopenia, dan pada keadaan mengamcam jiwa, dengan dosis 2
k/kgBB/hari. 5 hari berturut-turut setiap bulan. IVIg sangat mahal, oleh
karena itu hanya digunakan pada SLE yang resisten terhadap terapi
standar, atau pada keadaan SLE yang berat. 11,12
27
External Device
Terdapat beberapa teknik eksternal yang kegunaannya pada SLE
agak terbatas, yaitu: plasmapheresis, photopheresis, immunoabsorption,
UVA1light (panjang gelombang: 340-400nm), and iradiasi limfoid total.
8. Transplantasi Sumsum Tulang11,12
Hanya diberikan pada kasus SLE yang paling agresif dan rekfrakter.
Terapi ini masih merupakan eksperimental untuk saat ini.
X. KOMPLIKASI 9,10
Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa
psikosis, epilepsi, sindroma otak organik, periferal dan cranial neuropati,
transverse myelitis, stroke. Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari
obat kortikosteroid. Perbedaan antara keduanya dapat diketahui dengan
menurunkan atau menaikkan dosis steroid. Psikosis lupus membaik bila dosis
steroid dinaikkan, dan pada psikosis steroid membaik bila dosisnya diturunkan.
Komplikasi renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik.
Manifestasi yang paling sering berupa proteinuria. Histopatologi lesi renal
bervariasi
mulai
glomerulonefritis
fokal
sampai
glomerulonfritis
kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus dan nefritis lupus
membranosa. Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat. Klinis berupa
sebagai sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal kronik.
XI. PROGNOSIS
Bervariasi ,tergantung dari komplikasi dan keparahan keradangan.Perjalanan SLE
kronis dan kambuh-kambuhan seringkali dengan periode remisi yang lama.
Dengan pengendalian yang baik pada fase akut awal prognosis dapat baik.
29
DAFTAR PUSTAKA
1.
Isbagio
Harry,
Albar
Zuljasri,
Yoga,
Bambang.
Lupus
Eritematosus
Sistemik. Dalam Sudoyo Aru, dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai
Penerbit FK UI Jakarta; 2006. h.1214.
2. Symposium National Immunology Week 2004, Surabaya 9-10 Oktober
2004;
hal201-213.
3. Current Medical Diagnosis and Treatment 2004; Chapter 20; Arthritis and
Musculosceletal disorder ; page 805-807.
4. Harrissons Principle of Internal Medicine 15th Edition; Volume 2; page 19221928.
5. Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004 ; hal.27-30.
6. Klippel JH, ed. Primer on the rheumatis disease. 12 th ed. Atlanta: Arthritis
Foundation. 2001: 329-334
7. Hochberg Mc. Updating the Ameican College of Rheumatology revised criteria for
the classification of systemic lupus erythematosus [letter]. Arthritis Rheum 1997;
40: 1725
8. American college of rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus
erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999; 42(9): 1785-96
9. Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge CB, editors. Textbook of rheumatology.
5th ed. Philadelphia: WB Saunders. 1997
10. Boumpas DT, Austin HA, Fessler BJ. Systemic lupus erythematosus : Renal,
neuropsychiatric, cardiovascular, pulmonary and hematologic disease. Ann Intern
Med 1995; 122 : 94050.
30
11. Wallace DJ. Antilamarial agents and lupus. Rheum Dis Clin North Am 1994;
20 : 243-263.
12. Bansal VK, Beto JA. Treatment of lupus nephritis: a meta-analysis of clinical
trials. Am J Kidney Dis 1997; 29 : 193-199
31