Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

“LEPTOSPIROSIS”

Pembimbing :
dr. Mursida Syarifuddin Kamran, Sp.PD

Disusun Oleh :
Aisyah Muthia Rasyida
1910221058

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PASAR MINGGU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus yang berjudul :


“Leptospirosis”

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Pasar Minggu

Disusun oleh :
Aisyah Muthia Rasyida
1910221058

Disetujui dan disahkan:


Jakarta, 2019

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Mursida Syarifuddin Kamran, Sp.PD


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan atas berkat rahmat dan
anugerahnya sehingga penyusunan presentasi kasus dengan judul “Leptospirosis”
ini dapat diselesaikan. Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF
Ilmu Penyakit Dalam. Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus
ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang. Tidak lupa penyusun
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Mursida Syarifuddin Kamran, Sp.PD, selaku dosen pembimbing
2. Rekan-rekan Dokter Muda Bagian Ilmu Penyakit Dalam atas semangat dan
dorongan serta bantuannya.
Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di
dalam maupun diluar lingkungan RSUD Pasar Minggu.

Jakarta, 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri berbentuk


spiral dari genus Leptospira yang menyerang hewan dan manusia. Penyakit ini
terjadi di seluruh dunia. Di daerah endemis, puncak kejadian leptospirosis
terutama terjadi pada saat musim hujan dan banjir. Kasus leptospirosis 1000 kali
lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan dengan negara
subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat. Negara dengan iklim tropis
seperti Indonesia merupakan tempat yang sesuai untuk perkembangan Leptospira
karena memiliki udara yang hangat, tanah yang basa, dan pH alkalis. WHO
menyebutkan kejadian leptospirosis berkisar 0,1-1 kejadian per 100.000 penduduk
per tahun di daerah beriklim subtropis, sedangkan di daerah beriklim tropis
meningkat menjadi ≥10 kejadian per 100.000 penduduk per tahun. Selama wabah,
≥100 orang dari kelompok beresiko tinggi di antara 100.000 penduduk dapat
terinfeksi.27
Angka kejadian penyakit Leptospira sebenarnya sulit diketahui. Penemuan
kasus leptospirosis pada umumnya adalah underdiagnosed, unrreported dan
underreported sejak beberapa laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala
ringan, self limited, salah diagnosis dan nonfatal. 2
Di Amerika Serikat (AS) tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus leptospirosis
setiap tahun yang sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai, sedangkan
Internasional Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan
insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas. Di
Indonesia, Leptospirosis dapat ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera
Barat, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Pada kejadian banjir besar di
Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan 20
kematian.2,8
Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%.
Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori
ini. Anak balita, orang lanjut usia dan penderita immunocompromised mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya kematian. Penderita berusia di atas 50 tahun
memiliki risiko kematian mencapai 56 persen, sedangkan pada penderita yang
sudah mengalami kerusakan hati memiliki risiko kematian yang lebih tinggi lagi.4
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah pemahaman kami
sebagai dokter muda tentang leptospirosis sehingga memudahkan dalam
penerapan diagnosis klinis. Kami sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan, dan membutuhkan perbaikan-perbaikan dari pembimbing.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Leptospira
2.1.1 Biologi
Leptospira termasuk genus Leptospira, famili Leptospiraceae, ordo
Spirochaetales. Ciri khas organism ini adalah berbelit, tipis, fleksibel panjangnya 5
– 15 μm, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1- 0,2μm. Sel bakteri ini
dibungkus oleh membran luar yang mempunyai 3-5 lapis. Di bawah membran luar
terdapat lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan helikal, serta membran
sitoplasma. Ciri khas Spirochaeta ini adalah lokasi flagelnya, yang terletak di
antara membran luar dan lapisan peptidoglikan.27
Dua filamen aksial (flagella periplasma) dengan kutubnya terletak dalam
ruang periplasma. Struktur protein flagellar adalah komplek. Leptospira
menunjukkan dua bentuk pergerakan yang berbeda yaitu translasional dan non-
translasional. Secara morfologi, semua spesies Leptospira tidak dapat dibedakan,
akan tetapi Leptospira yang dibiakkan di laboratorium bervariasi dan dapat
disuntikkan kembali ke dalam tubuh tikus. Leptospira mempunyai struktur
membran ganda yang khas, dimana membran sitoplasma dan dinding sel
peptidoglikan erat berhubungan dan dilapisi oleh membran terluar.
Lipopolisakarida Leptospira mempunyai komposisi yang mirip dengan bakteri
gram negatif lain, tetapi mempunyai aktifitas endotoksik yang paling rendah.
Leptospira diwarnai dengan menggunakan pewarna carbol fuchsin. 27
Gambar 1 Leptospira8
Leptospira bersifat aerob dengan suhu pertumbuhan optimum antara 28 0 C –
30 0 C. Leptospira memproduksi katalase dan oksidasi dan tumbuh dalam media
sederhana yang diperkaya dengan vitamin-vitamin (vitamin B2 dan B12), asam
lemak rantai panjang, dan garam-garam ammonium. Asam lemak rantai panjang
dimanfaatkan sebagai satu-satunya sumber karbon dan dimetabolisme oleh
oksidasi β. 11. 27
2.1.2 Patofisiologi
Leptospira dapat masuk tubuh melalui kulit yang tidak intak atau
menembus jaringan mukosa seperti mukosa mulut, saluran cerna, saluran hidung
dan konjungtiva mata. Setelah menembus kulit atau mukosa, leptospira akan ikut
aliran darah sistemik dan terjadi replikasi serta menyebar ke berbagai jaringan dan
organ tubuh. Kemudian terjadi respon imun baik seluler maupun humoral
(membentuk antibodi spesifik) yang bertujuan membunuh leptospira.26
Ada 2 hipotesis yang diduga berperan dalam pathogenesis
Leptospirosis ini. Pertama, adanya kontak langsung antara Leptospirosis yang
menyebabkan reaksi jaringan, karena Leptospira tipis dan mempunyai motilitas
yang tinggi sehingga dapat penetrasi membran mukus intak atau luka kecil
dikarenakan flagella periplasmic.26
Kedua, pathogenesis leptospirosis melalui reaksi imunologi. Invasi
Leptospira ini akan menimbulkan reaksi imun non spesifik berupa inflamasi yang
diikuti dengan pelepasan mediator kimiawi berupa sitokin dan reaksi imun
spesifik. Kemampuan invasi kuman Leptospira disebabkan oleh sifatnya yang
motil dan kemampuan kuman memproduksi hemolisin, ensim seperti katalase,
lipase, oksidase, hialuronidase, transaminase, endotoksin dan spingomielinase
yang berperan dalam menentukan virulensinya.26
Tingkat keparahan Leptospirosis juga tergantung dari jumlah organisme
yang menginfeksi pertahanan respon imun manusia atau hewan dan virulensi
strain Leptospira yang menginfeksi. Kemudian Leptospira akan menyebar
keseluruh tubuh melalui peredaran darahsampai ke cairan cerebrospinalis dan
humour aqueus dalam bola mata. Terdapat tujuh antigen leptospira yaitu p32,
p37, p41, p45, p48, p62, p78. Hemolisis pada leptospira dapat terjadi karena
hemolisin yang ada di sirkulasi darah diserap oleh eritrosit sehingga eritrosit
tersebut lisis. Diatesis hemoragik pada umumnya terbatas pada mukosa dan kulit.
Beberapa saat kemudian Leptospira akan difagositosis oleh sel monosit makrofag
dengan akibat jumlah leptospira dalam peredaran darah menjadi semakin sedikit
dan beberapa akhirnya akan habis.26
Pada tubulus kolektivus biasanya kuman ini tidak terbasmi dan membentuk
koloni pada dinding lumen yang sewaktu waktu dapat keluar bersama urin. Di
dalam urin pada umumnya dapat diketemukan setelah hari kedelapan sampai
beberapa minggu setelah sakit. Diduga endotoksin dan ensim tertentu yang
dihasilkan oleh leptospira memegang peranan penting terjadinya Leptospirosis.
Dugaan ini diperkuat dengan adanya kemiripan gambaran histo-patologi jaringan
antara penderita Leptospirosis dengan jaringn yang terinfeksi bakteri Gram
negatip penghasil endotoksin. Walaupun demikian sampai sekarang bukti dapat
diisolasi endotoksin tersebut. Bukti lain bahwa pathogenesis Leptospirosis
melalui invasi kuman langsung pada jaringan ditunjukan dengan hasil biopsi pada
otot gastroknemius yang diambil pada stadium leptospiremia. Jaringan biopsi
tersebut menunjukan vakuolisasi pada sitoplasma dari myofibril. Kadang juga
ditemukan adanya infiltrasi sel polimorfonuklear (PMN). Gambaran miositis ini
bersifat tidak khas dan segera menghilang setelah memasuki minggu kedua.26
Pada keadaan lain yaitu bagaimana terjadinya meningitis pada leptospirosis
belum banyak diketahui. Gejala dan tanda meningitis timbul pada minggu kedua.
Pada saat ini leptospira sudah ditemukan di peredaran darah dan liquor cerebro
spinalis akan tetapi yang ditemukan hanyalah IgM yang spesifik dari Leptospira.
Keadaan ini menimbulkan dugaan bahwa meningitis aseptik pada leptospirosis
dapat terjadi melalui proses imunologi. Dugaan tersebut diperkuat dengan tidak
adanya bukti jaringan yang lesi pada jaringan otak pada stadium leptosperemia.26

Virulensis
Leptospirosis diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor virulensi yang masih
belum diketahui dengan pasti. Faktor faktor virulensi dibawah ini dapat untuk
menjelaskan perkembangan virulensi dari Leptospirosis:26
a. Produksi toksin
Aktifitas endotoksisn dilaporkan pada beberapa serovar leptospira.
Hemolisin diproduksi oleh serovar ballum, harjo, pomona, tarrassovi dan
canicola, yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membrane sel lain
yang mengandung fosfolipid. Serovar pomona dan copenhageni
memproduksi sitotoksin protein yang secara in vivo berhubungan dengan
inflitrasi sel polimorfonuklear dan sel makrofag.
b. Attachment
Leptospira yang virulen secara in vitro akan menempel pada sel
epitel ginjal dan proses adesi ditingkatkan oleh adanya aglutinasi
antibody. Liposasakarida (LPS) leptospira memacu perlekatan netrofil
pada sel endotel dan agregasi trombosit, serta berperan dalam terjadinya
trobositopenia.
c. Mekanisme immunologic
Teori aspek imunitas leptospira yang dirangsang oleh antigen
serovar spesifik yang diektraksi dari LPS leptospira antigen serupa yang
mampu menghambat aglutinasi oleh antisera homolog serta ekstraksi
sodium dodecyl sulfat yang terdapat pada seluruh dinding sel leptospira
yang juga mampu merangsang pembentukan antibodiyang mana antibodi
yang terbentuk juga berefek aglutinasi dan mengikat komplemen.
Imunitas yang terbentuk berpengaruh kuat merestriksi serovar homolog
atau yang mirip dengan itu.
Imunitas terhadap leptospira terutama merupakan imunitas
humoral, namun imunitas seluler juga turut berperan dalam
imunopathogenesis leptospirosis. Respon imun seluler terjadi pada phase
initial infeksi, yaitu 7 hari setelah inokulasi. Respon imun seluler yang
terjadi berupa opsonisasi makrophag dan aktifasi netrophil.
Secara simultan bakteri akan mulai menghilang dari sirkulasi
seiring dengan terbentuknya antibodi dan respon imun seluler akan
digantikan dengan imunitas humoral yang mengindikasikan terdapat
faktor inhibitor sehingga terjadi penekanan terhadap respon imun seluler
ditandai dengan penurunan jumlah limfosit CD4+ dan responnya
terhadap sejumlah mitogen. Respon imun humoral ditandai dengan
terbentuknya antibodi dan beberapa sitokin ( IL-6, TNF-α, dan
transforming growth factor-β), Nitrit Oxide dan H2O2.
Berdasarkan antibodi yang diproduksi, dibagi menjadi 2 strain,
yaitu strain Low (L), dan High (H). Strain H menunjukkan tendensi yang
lebih tinggi terhadap respon Th2, dengan produksi antibodi yang lebih
besar, lesi jaringan yang lebih luas serta adanya sintesis IL-4. Strain L
menunjukkan respon Th1, dengan produksi yang lebih besar dari
interferon (TFN) serta aktivasi makrofag.
Reaksi imunologis terhadap leptospirosis merupakan salah satu
faktor yang memperberat infeksi leptospira yang. Komplek imun yang
diproduksi menyebabkan inflamasi setempat termasuk di sistem saraf
pusat. Jumlah kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sebanding
dengan berat ringannya gejala klinik infeksi leptospira yang muncul,
sedangkan pada pasien yang mampu bertahan, perbaikan klinis sebanding
dengan penurunan jumlah kompleks imun di peredaran darah.
Berdasarkan beberapa penelitian, antigen leptospira terlokalisasi di
sel interstitium ginjal, sedangkan Ig G serta C3 terdeposit di glomerulus
dan dinding pembuluh darah kecil. Antibodi leptosopira yang diproduksi
menimbulkan reaksi silang (cross reaction ) dengan jaringan setempat,
seperti pada mata, sehingga menimbulkan uveitis. Kerusakan retina dapat
pula terjadi sehubungan dengan terdapatnya limfosit B di retina.
Pada leptospirosis dapat juga terbentuk antibodi anti platelet.
Antibodi yang terbentuk akan menekan cryptantigen yang dipaparkan
oleh platelet yang rusak. Autoantibodi lain yang ditemukan, antara lain
adalah anticardiolipin antibodi serta antineutrofil citoplasmic antibodi.
Leptospira yang virulen juga mampu merangsang munculnya apoptosis.
Apoptosis yang terjadi muncul akibat induksi TNF-α oleh LPS
leptospira. Peningkatan jumlah sitokin inflamasi seperti TNF-α
ditemukan dalam infeksi leptospirosis.
Teori lain mengatakan bahwa adanya infeksi akan diikuti oleh
respon imun spesifik yang dimulai dari sensitisasi sel B dan pengaktifan
komplemen. Aktifasi komplemen ini akan meningkatkan fagositosis dan
memudahkan destruksi bakteri melalui :
1) Reaksi lisis untuk menghancurkan membrane sel bakteri
2) Kemotaktik, yaitu suatu bahan yang merangsang makrofag menuju
ketempat bakteri
3) Opsonisasi, yaitu suatu proses untuk mengedapkan dan melapisi
dinding bakteri sehingga bakteri mudah dikenali oleh makrofag.
Sensitisasi sel B mengakibatkan terjadinya proliferasi dan
diferensiasi sel tersebut menjadi sel plasma. Sel Plasma akan meproduksi
antibodi berupa makroglobulin berbentuk pentamer dengan berat molekul
900.000 dlton yang disebut IgM. Pembentukan Ig M dibantu oleh sel T.
Makroglobulin pada penderita leptospirosis mulai terbentuk setelah
memasuki fase imun, yaitu sekitar 4 – 9 hari setelah onset penyakit.
Pembentukan Ig M pada penderita leptospirosis dihambat oleh keadaan
tertentu seperti pemberian antibiotik, immunocompromised, penggunaan
kortikosteroid, imunosupresan, dan keadaan respon lambat.
Kadar Ig M spesifik pada leptospira di dalam darah akan mencapai
puncaknya sekitar 10-30 hari setelah infeksi. Kadang kadang sampai 90
hari atau 100 hari Ig M masih dapat ditemukan didalam darah.
Imunoglobulin M berperan untuk mencegah gerakan mikroorganisme
yang patogen , memudahkan fagositosis dan sebagai aglutinator kuat
terhadap antigen.
Peranan Ig M yang lain adalah untuk mengaktifkan komplemen.
Aktifasi komplemen akan mengakibatkan pelepasan mediator berupa
anafilaktosis ( C3a dan C5a), kemotaktor ( C3a dan C5a ) kemotaktor
( C3a, C5a, C6 dan C7) dan selajutnya mengalami aderen imun serta
proses opsonisasi. Dengan demikian Ig M mampu berperan sebagai imun
spesifik dan dapat untuk mengaktifkan komplemen untuk
menghancurkan kuman Leptospira.

2.2 Leptospirosis
2.2.1 Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang spesifik serotipenya.
Penyakit ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1886 oleh Weil, sehingga
bentuk beratnya dikenal sebagai Weil’s disease. Penyakit ini dikenal juga dengan
berbagai nama, seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever,
infectious jaundice, field fever, cane cutter fever, dan lain-lain.8
Leptospira sering luput didiagnosa karena memiliki gejala klinis yang
tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium.
Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah
membuat leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk dalam the
emerging infectious disease.8
2.2.2 Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae,
suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas dari organisme ini yaitu berbelit,
tipis, fleksibel, panjangnya 5 – 15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya
0,1 – 0,2 um (Gambar1).

Gambar 2 Leptospira
28
interrogans.
Gambar 3 Bakteri Leptospira sp. menggunakan
mikroskop elektron tipe scanning.28

Salah satu ujung oraganisme ini sering mengalami pembengkakan dan lalu
membentuk suatu kait. Teradapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan ada
flagella. Dalam mikroskop lapangan gelap, spirochaeta yang memiliki tubuh
sangat halus ini hanya terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil. Dengan
pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop biasa, morfologi leptospira secara
umum dapat dilihat. Untuk mengamati lebih jelas gerakan leptospira dapat diamati
dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap (darkfield microscope).
Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan
mungkin membutuhkan waktu hingga berminggu-minggu untuk membuat kultur
yang positif. Pada medium Fletcher’s, leptospira dapat tumbuh dengan baik
sebagai obligat aerob.8
Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies: L.interrogans
yang pathogen dan L. biflexa yang non pathogen / saprofit. Tujuh spesies dari
leptospira pathogen sekarang ini telah diketahui dasar ikatan DNAnya, namun
lebih praktis dalam klinik dan epidemiologi menggunakan klasifikasi yang
didasarkan oleh perbedaan tes serologis. Spesies L.interrogans dibagi menjadi
beberapa serogrup, dan serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut
komposisi antigennya, Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang
tergabung dalam 23 serogrup. Beberapa serovar L. interrogans yang dapat
menginfeksi manusia diantaranya adalah: L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L.
Pomona, L.grippothyphosa, L. javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L.
automnaslis, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, L. andamana,
L. shermani, L. ranarum, L. bufonis, L. coenhageni, L. australis, L. cynopteri,
dan lain-lain. Menurut beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia
ialah L. icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, L. canicola dengan reservoir
anjing dan L. ponoma dengan reservoir sapi dan babi. 8
Leptospira merupakan Spirochaeta yang paling mudah dibiakkan, tumbuh
paling baik pada keadaan aerob pada suhu 28-30ºC dan pada pH 7,4. Media yang
bisa digunakan adalah media semisolid yang kaya protein, misalnya media Fletch
atau Stuart. Lingkungan yang sesuai untuk hidup leptospira adalah lingkungan
lembab seperti kondisi pada daerah tropis.9,12

Beberapa seropati menyebabkan penyakit dengan gejala yang berat,


bahkan dapat berakhir fatal seperti L.icterohaemorrhagiae. Sebaliknya, ada
seropati dengan gejala yang ringan, misalnya infeksi L. automnalis, L. bataviae,
dan L. pyrogenes.8

Tabel 1 Beberapa serogrup dan serovar L. Interrogans


Serogrup Serovar

Icterohaemorrhagiae Icterohaemorrhagiae,Copenhageni , Lai, Zimbabwe


Hebdomadis Hebdomadi s, Jules, Krematos
Autumnalis Autumnalis , Fortbragg, Bim, Weerasinghe
Pyrogenes Pyrogenes
Bataviae Bataviae
Grippotyphosa Grippotyphosa ,Ccanalzonae, Ratnapura
Canicola Canicola
Australis Australis, Bratislava , Lord
Pomona Pomona
Javanica Javanica
Sejroe Sejroe, Saxcoebing, Hardjo
Panama Panama, Mangus
Cynopteri Cynopteri
Djasiman Djasiman
Sarmin Sarmin
Mini Mini, Georgia
Tarassovi Tarassovi
Ballum Ballum , Aroborea
Celledoni Celledoni
Louisiana Louisiana , Lanka
Ranarum Ranarum
Manhao Manhao
Sumber: Levett 14 (2) : 296 – Clinical Microbiologi Reviews, 2001

2.2.3 Epidemiologi
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, di semua benua kecuali benua
Antartika, namun terbanyak didapati di daerah tropis. Leptrospira bisa terdapat
pada binatang peliharaan seperti anjing, babi, lembu, kuda, anjing, babi, lembu,
kuda, kucing, marmut atau binatang-binatang pengerat lainnya seperti tupai,
musang, kelelawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut,
leptospira hidup di dalam ginjal/air kemihnya. Tikus merupakan vektor yang
utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam
tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang
biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus secara terus menerus lalu ikut mengalir
dalam filtrat urine. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang
dengan masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur
karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup
leptospira, sedangkan didaerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim
hujan.8
Leptospirosis mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Terdapat
berbagai jenis pejamu leptospira, mulai dari mamalia berukuran kecil seperti
landak, kelinci, tikus sawah, tikus rumah, tupai, musang, hingga reptile, bibi, sapi,
kucing, dan anjing. Binatang pengerat, terutama tikeus merupakan reservoir
paling banyak. Leptospira membentuk hubungan symbiosis dengan penjamunya
dan dapat menetap dalam tubulus renalis selama berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun. Beberapa serovar berhubungan dengan binatang tertentu, seperti L.
icterohaemoragiae/ copenhageni dengan tikus, L. grippothphosa dengan voles
(sejenis tikus), L. hardjo dengan sapi, L. canicola dengan anjing, dan L. Pomona
dengan babi.8
Di Amerika Serikat (AS) tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus
leptospirosis setiap tahun yang sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai,
sedangkan Internasional Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai
negara dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk
mortalitas. Di Indonesia, Leptospirosis dapat ditemukan di DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Pada kejadian
banjir besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus
leptospirosis dengan 20 kematian.2,8
Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis adalah kesulitan dalam
melakukan diagnositik awal. Sementara dengan pemeriksaan sederhana
menggunakan mikroskop biasa dapat dideteksi adanya gerakan leptospira dalam
urine. Diagnostik pasti ditegakkan dengan ditemukannya leptospira pada darah
atau urine, atau ditemukannya hasil serologi positif. Untuk dapat berkembang
biak, leptospira membutuhkan lingkungan optimal serta tergantung pada suhu
yang lembab, hangat, PH air/tanah yang netral, dimana kondisi ini ditemukan
sepanjang tahun di daerah tropis.8
Case fatality rate (CFR) leptospirosis di beberapa bagian dunia dilaporkan
berkisar antara <5% - 30%. Angka ini memang tidak terlalu reliabel mengingat
masih banyak daerah di dunia yang angka kejadian leptospirosisnya tidak
terdokumentasi dengan baik. Penemuan kasus leptospirosis pada umumnya
underdiagnosed, unrreported dan underreported sejak beberapa laporan
menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah diagnosis
dan nonfatal.1
Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%.
Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori
ini. Anak balita, orang lanjut usia dan penderita immunocompromised mempunyai
resiko tinggi terjadinya kematian. Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko
kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah
mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko
kematiannya lebih tinggi lagi.4
Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus.
Kelompok yang berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual
hewan, bidang agrikultur, rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara,
militer, tukang susu, dan tukang jahit. Risiko ini berlaku juga bagi yang
mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai, seperti berenang atau
rafting.8
Meskipun penyakit ini sering terjadi pada para pekerja, ternyata dilaporkan
peningkatan sebagai penyakit saat rekreasi. Aktifitas yang beresiko meliputi
perjalanan rekreasi ke daerah tropis seperti berperahu kano, mendaki, memancing,
selancar air, berenang, ski air, berkendara roda dua melalui genangan, dan
kegiatan olahraga lain yang berhubungan dengan air yang tercemar. Berkemah
dan bepergian ke daerah endemik juga menambahkan resiko.8

2.2.4 Patogenesis dan Patofisiologi


Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah, lumpur
yang telah terkontaminasi oleh urine binatang yang telah terinfeksi leptospira.
Infeksi tersebut terjadi jika terjadi luka/erosi pada kulit ataupun selaput lendir. Air
tergenang atau mengalir lambat yang terkontaminasi urine binatang infeksius
memainkan peranan dalam penularan penyakit ini, bahkan air yang deras juga
dapat berperan. Terkadang penyakit ini terjadi akibat gigitan binatang yang
sebelumnya terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira di
laboratorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap
kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospira. Orang-orang yang beresiko
tinggi terinfeksi penyakit ini adalah pekerja-pekerja sawah, pertanian, perkebunan,
peternakan, pekerja tambang, pekerja di rumah potong hewan atau orang-orang
yang mengadakan perkemahan di hutan, juga dokter hewan.8
Secara garis besar, proses penularan Leptospira dimulai ketika bakteri
masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran darah
dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi
respon imunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat
ditekan dan terbentuk antibody spesifik. Walaupun demikian, beberapa organisme
ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam
ginjal, dimana sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules,
bertahan disana dan dilepaskan melalui urin.8
Gambar 4 Siklus penularan Leptospira.29

Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan
mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat
melalui kontak dengan kulit sehat (intak) terutama bila kontak lama dengan air.6
Selain melalui kulit atau mukosa, infeksi leptospira bisa juga masuk melalui
konjungtiva.17 Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak
menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang
menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme masuknya
leptospira ke dalam tubuh.6
Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di
darah dan jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi
dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari infeksi.
Leptospira virulen mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer
adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis
serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan kebocoran dan
ekstravasasi sel.10,18,19
Gambar 5 Leptospirosis pathway dan gambaran klinisnya

Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan


sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira
mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram
negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel
dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.
Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang
mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung
fosfolipid.18
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan
lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi
mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran
cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan
permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak
pembesaran ginjal disertai edema dan perdarahan subkapsular, serta nekrosis
tubulus renal. Sementara
perubahan yang terjadi pada hati bisa tidak tampak secara nyata. Secara
mikroskopik tampak perubahan patologi berupa nekrosis sentrolobuler disertai
hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.10,18,19
Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa
minggu setelah infeksi dan hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme
humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya
aglutinin. Setelah fase leptospiremia 4 – 7 hari, mikroorganisme hanya dapar
ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiruria berlangsung 1 – 4
minggu.8
Tiga mekanisme yang terlibat pada pathogenesis leptospirosis: invasi
bakteri langsung, factor inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi. Dalam
perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang
menimbulkan keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi
karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis, terdapat
perbedaan, antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara
histologik. Pada leptospirosis lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal
dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur organ. Lesi
inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit, dan sel plasma.
Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan
disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal, leptospira juga dapat
bertahan di otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan
cerebrospinalis pada fase leptospiremia. Hal tersebut akan menyebabkan
meningitis yang merupakan gangguan neurologi yang paling banyak terjadi
sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering diserang oleh
leptospira adalah8:
a. Ginjal: Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan
bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi
ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya peranan
nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan invasi
langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan gijal.
b. Hati: Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel
limfosit fokal dan proliferasi sel Kupfer dengan kolestatis. Pada kasus-
kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar.
Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim.
c. Jantung: Epikardium, endocardium dan miokardium dapat terlihat.
Kelainan miokardium dapat fokal atau difus, berupa intersitial edema
dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan
dengan infiltrasi neutrophil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada
miokadium dan endocarditis.
d. Otot Rangka: pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa
local nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang
terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat
juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
e. Mata: Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase
leptospiremia dan bertahan beberapa bulan walaupun antibody yang
terbentuk cukup tinggi . Ha ini dapat menyebabkan uveitis.
f. Pembuluh darah: Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat
terjadinya vasculitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering
ditemukan perdarahan/pteki pada mukosa, permukaan serosa dan alat-
alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
g. Susunan saraf pusat: Leptospira mudah masuk ke dalam cairan
serebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan terjadinya meningitis.
Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak pada
saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis diperantarai
oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan
sedikit peningkatan sel mononuclear arachnoid. Meningitis yang terjadi
adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L.
canicola.8

2.2.5 Gambaran Klinik


Masa inkubasi 2 – 26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari.
Gambaran klinis dapat dilihat pada table 2.8

Tabel 2 Gambaran Klinis Leptospirosis


Frekuensi terjadi Gambaran Klinis pada Leptospirosis
Sering Demam, menggigil, sakit kepala, meningitismus,
anoreksia, myalgia, conjunctival suffusion, mual, muntah,
nyeri abdomen, icterus, hepatomegaly, ruam kulit,
fotofobia
Jarang Pneumonitis, hemaptosis, delirium, perdarahan, diare,
edema, spleenomegali, artalgia, gagal ginjal, peroferal
neuritis, pankreatitis, parotitis, epididimytis, hematemesis,
asites, miokarditis
Sumber: Interna Publishing. 2010

Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase


leptospiremia/septicemia dan fase imun.8
1. Fase leptospiremi atau septikemia
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan
serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala
biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis,
dan pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi
kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga mual dengan atau tanpa
muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus, disertai dengan
penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, dapat ditemukan
bradikardi relative, dan icterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai
konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang
berbentuk macular, maculopapular atau urtikaria. Fase ini berlangsung 4-7
hari. Jika cepat ditangani, kondisi pasien akan membaik, suhu akan kembali
normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali
normal pada 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat,
demam turun setelah 7 hari yang diikuti oleh keadaan bebas demam selama 1-
3 hari, dan setelah itu demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai fase
kedua atau fase imun.8
Pada fase ini mungkin dijumpai adanya hepatomegali, akan tetapi
splenomegali kurang umum dijumpai. Pada hitung jumlah platelet, ditemukan
adanya penurunan jumlah platelet dan trombositopeni purpura. Pada urinalisis
ditemukan adanya proteinuri, tetapi kliren kreatinin biasanya masih dalam
batas normal sampai terjadi nekrosis tubular atau glomerulonefritis. Tes
serologi menunjukkan hasil yang negatif sampai setidaknya 5 hari setelah
onset gejala.10
2. Fase imun
Fase kedua ini ditandai dengan leptospiuria dan berhubungan dengan
timbulnya antibodi IgM dalam serum penderita. Pada kasus yang ringan (mild
case) fase kedua ini berhubungan dengan tanda dan gejala yang minimal,
sementara pada kasus yang berat (severe case) ditemukan manifestasi
terhadap gangguan meningeal dan hepatorenal yang dominan.10,20
Pada kasus yang berat, perubahan fase pertama ke fase kedua mungkin
tidak terlihat, tetapi dapat timbul demam yang mencapai suhu 40oC, disertai
menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada
leher, perut, dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat perdarahan,
gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, dan ikterik. Perdarahan paling
jelas terlihat pada fase ikterik. Purpura, ptechiae, epistaksis, dan perdarahan
gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling sering terjadi.
Conjungtiva injection dan conjungtival suffusion dengan icterus merupakan
tanda patognomosis untuk leptospirosis. Gagal ginjal, oliguria, syok, dan
miokarditis juga bisa terjadi dan berhubungan dengan mortalitas penderita.8,10
Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya
50% gejala dan tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada
50-90% pasien. Pada manifestasi meningeal akan timbul gejala meningitis
yang ditandai dengan sakit kepala, fotofobia, dan kaku kuduk. Keterlibatan
sistem saraf pusat pada leptospirosis sebagian besar timbul sebagai meningitis
aseptik. Pada fase ini dapat terjadi berbagai komplikasi, antara lain neuritis
optikus, uveitis, iridosiklitis, dan neuropati perifer. Tanda-tanda meningeal
dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setelah 1-
2 hari. Pada fase ini leptospira dapat dijumpai dalam urin.8,10

Gambar 5 Sifat bifasik leptospirosis

Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan (non-


ikterik) dan berat (ikterik). Ikterik merupakan indikator utama dari leptospirosis
berat.

1. Leptospirosis ringan (non-ikterik)


Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik.
Gejala leptospirosis timbul mendadak ditandai dengan viral- like illness, yaitu
demam, nyeri kepala, dan mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi
pada infeksi dengue, disertai nyeri retro orbital dan fotofobia. Nyeri otot
diduga terjadi karena adanya kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase
(CPK) pada sebagian besar kasus meningkat, dan pemeriksaan CPK ini dapat
membantu penegakan diagnosis klinik leptospirosis. Dapat juga ditemukan
nyeri perut, diare, anoreksia, limfadenopati, splenomegali, rash
makulopapular, kelainan mata (uveitis, iridosiklitis), meningitis aseptik dan
conjunctival suffusion.17,20
Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri
tekan di daerah betis. Gambaran klinik terpenting leptospirosis non-nikterik
adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan
diagnosisnya.17 Sebanyak 80-90% penderita leptospirosis anikterik akan
mengalami pleositosis pada cairan serebrospinal selama minggu ke-2
penyakit dan 50% diantaranya akan menunjukkan tanda klinis meningitis.
Karena penderita memperlihatkan penyakit yang bersifat bifasik atau
memberikan riwayat paparan dengan hewan, meningitis tersebut kadang salah
didiagnosis sebagai kelainan akibat virus.9
Pasien dengan leptospirosis non-ikterik pada umumnya tidak berobat
karena keluhan bisa sangat ringan.21 Pada sebagian pasien, penyakit ini bisa
sembuh sendiri (self-limited) dan biasanya gejala kliniknya menghilang dalam
waktu 2 sampai 3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip dengan penyakit
demam akut yang lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam akut,
leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis banding,
terutama di daerah endemik leptospirosis seperti Indonesia.7,17
2. Leptospirosis berat (ikterik)
Bentuk leptospirosis yang berat ini pada mulanya dikatakan sebagai
Leptospira ichterohaemorrhagiae, tetapi ternyata dapat terlihat pada setiap
serotipe leptospira yang lain.9 Manifestasi leptospirosis yang berat memiliki
angka mortalitas sebesar 5-15%.22
Leptospirosis ikterik disebut juga dengan nama Sindrom Weil. Tanda
khas dari sindrom Weil yaitu jaundice atau ikterik, azotemia, gagal ginjal,
serta perdarahan yang timbul dalam waktu 4-6 hari setelah onset gejala dan
dapat mengalami perburukan dalam minggu ke-2. Ikterus umumnya dianggap
sebagai indikator utama leptospirosis berat.17,20 Pada leptospirosis ikterik,
demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak
overlapping dengan fase leptospiremia.17

Tabel 3 Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik


Sindroma, Fase Gambaran Klinik Spesimen
Laboratorium
Leptospirosis anikterik*
Fase leptospiremia Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, Darah, LCS Urin
nyeri perut, mual, muntah,
conjunctival suffusion
Fase imun Demam ringan, nyeri kepala, muntah,
meningitis aseptik
Leptospirosis ikterik
Fase leptospiremia Demam, nyeri kepala, mialgia, ikterik, Darah, LCS
dan fase imun (sering gagal ginjal, hipotensi, manifestasi (minggu 1)
overlapping) perdarahan, pneumonitis hemorrargik, Urin (minggu ke-
leukositosis 2)

*antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik (± 1-3 hari)
Sumber: M. Hussein Gassem (2002), dimodifikasi dari Farr RW (1995)

Beratnya berbagai komponen sindrom Weil kemungkinan


mencerminkan beratnya vaskulitis yang mendasarinya. Ikterus biasanya tidak
terkait dengan nekrosis hepatoselular, dan setelah sembuh tidak terdapat
gangguan fungsi hati yang tersisa. Kematian pada sindrom Weil jarang
disebabkan oleh gagal hati.9

2.2.6 Diagnosis
a. Diagnosis Klinik
Leptospirosis dipertimbangkan pada semua kasus dengan riwayat
kontak terhadap binatang atau lingkungan yang terkontaminasi urin
binatang, disertai dengan gejala akut demam, menggigil, mialgia,
conjunctival suffusion, nyeri kepala, mual, atau muntah.20 Selain itu
penting juga untuk mempertimbangkan jenis pekerjaan penderita dan
riwayat adanya kontak dengan air sebelumnya.24
Sebelumnya klinisi menggunakan kriteria diagnosis menurut The
Center for Disease Control of Leptospirosis Report. Akan tetapi kriteria
diagnosis ini mempunyai beberapa kelemahan. Pemberian nilai pada
faktor-faktor epidemiologik dalam kriteria diagnosis tersebut sangat
subjektif dan tidak spesifik. Hasil pemeriksaan serologik dalam kriteria
diagnosis tersebut menjadi kendala bagi klinisi karena pemeriksaan
serologik tersebut jarang tersedia dan jika ada maka hasilnya diperoleh
setelah beberapa hari. Aplikasi kriteria diagnosis secara berlebihan dapat
menyesatkan para klinisi.18
Tabel 4 Kriteria diagnosis leptospirosis Faine
A. Apakah penderita Jawab Nilai
Sakit kepala mendadak Ya/ tidak 2/0
Conjunctival suffusion Ya/ tidak 4/0
Demam Ya/ tidak 2/0
Demam ≥ 38ºC Ya/ tidak 2/0
Meningismus Ya/ tidak 4/0
Meningismus, nyeri otot, conjunctival suffusion bersama-sama Ya/ tidak 10/0
Ikterik Ya/ tidak 1/0
Albuminuria atau azotemia Ya/ tidak 2/0

B. Faktor- faktor epidemiologik


Riwayat dengan kontak binatang pembawa leptospira, pergi ke Ya/ tidak 10/0
hutan, rekreasi, tempat kerja, diduga atau diketahui kontak dengan
air yang terkontaminasi
C. Hasil laboratorium pemeriksaan serologik
Serologik (+) dan daerah endemik
Serum tunggal (+) titer rendah Ya/ tidak 2/0
Serum tunggal (+) titer tinggi Ya/ tidak 10/0
Serum sepasang (+), titer meningkat Ya/ tidak 25/0
Serologik (+) dan bukan daerah endemik
Serum tunggal (+) titer rendah Ya/ tidak 5/0
Serum tunggal (+) titer tinggi Ya/ tidak 15/0
Serum sepasang (+), titer meningkat Ya/ tidak 25/0
Sumber : Faine S (1982)
Berdasarkan kriteria di atas, leptospirosis dapat ditegakkan jika: Presumptive leptospirosis,
bila A atau A+B>26 atau A+B+C>25 Sugestive leptospirosis, bila A+B antara 20-25

Untuk menegakkan diagnosis klinik, klinisi membutuhkan kriteria


diagnosis baru yang lebih sesuai dan memudahkan dalam menegakkan
diagnosis leptospirosis. Kriteria diagnosis tersebut adalah Kriteria
Diagnosis Leptospirosis WHO SEARO 2009.

Tabel 5 Kriteria diagnosis leptospirosis WHO SEARO 2009


KASUS SUSPECT
Demam Akut (≥38,5ºC) dan/atau sakit kepala hebat dengan
 Myalgia
 Kelemahan dan/atau
 Conjunctival suffusion, dan
 Riwayat terpajan dengan lingkungan yang terkontaminasi leptospira
KASUS PROBABLE
(Di pelayanan kesehatan primer)
Kasus suspect dengan 2 gejala di bawah ini:
 Nyeri betis
 Batuk dengan atau tanpa batuk darah
 Ikterik
 Manifestasi perdarahan
 Iritasi meningeal
 Anuria/ oliguria dan/ atau proteinuria
 Sesak napas
 Aritmia jantung
 Rash di kulit
(Di pelayanan kesehatan sekunder dan tersier)
 Berdasarkan ketersediaan fasilitas laboratorium kasus probable leptospirosis
adalah kasus suspect dengan tes rapid IgM positif.
DAN/ATAU
 Temuan serologis pendukung (yaitu titer MAT sama dengan 200 dalam sampel
tunggal)
DAN/ATAU
 Ditemukan 3 dari di bawah ini:
o Temuan pada urin : proteinuria, pus, darah
o Neutrofilia relatif (>80%) dengan limfopenia
o Trombosit < 100.000/mm³
o Peningkatan bilirubin > 2 mg% ; peningkatan enzim hepar yang meningkat
moderat (serum alkali fosfatase, serum amilase, CPK)
KASUS CONFIRMED
Kasus confirmed leptospirosis adalah kasus suspect atau kasus probable dengan salah
satu gejala dibawah ini:
 Isolasi leptospirosis dari specimen klinis
 Hasil PCR positif
 Sero-konfersi dari negative ke positif atau 4x lipat peningkatan titer MAT
 Titer MAT > 400 dalam sebuah sampel.
Ketika kapasitas laboratorium tidak mendukung:
Positif pada 2 tes diagnostic cepat yang berbeda dapat dianggap sebagai kasus
yang dikonfirmasi laboratorium.

b. Diagnosis Laboratorium
Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada penemuan
laboratorium. Pada sindrom Weil dapat ditemukan leukositosis dan
netropenia, terutama selama fase awal penyakit. Anemia tidak biasa
ditemukan pada leptospirosis anikterik, tetapi dapat terjadi anemia berat
pada sindrom Weil. Kadar enzim hati, kreatinin, dan ureum dapat sedikit
meningkat pada leptospirosis anikterik, dan meningkat secara ekstrim pada
sindrom Weil.20
Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis terdiri dari:
pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan, dan serologi.9
1) Pemeriksaan mikrobiologik
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di
mikroskop lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan mikroskop
lapangan gelap atau mikroskop fase kontras. Spesimen pemeriksaan
dapat diambil dari darah atau urin.9,20
2) Kultur
Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal
hanya pada 10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya
dijumpai di dalam urin pada 10 hari pertama penyakit. Media Fletcher
dan media Tween 80-albumin merupakan media semisolid yang
bermanfaat pada isolasi primer leptospira. Pada media semisolid,
leptospira tumbuh dalam lingkaran padat 0,5-1 cm dibawah permukaan
media dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi. Untuk kultur
harus dilakukan biakan multipel, sedangkan jenis bahan yang dibiakkan
bergantung pada fase penyakit.9
Baru-baru ini dideskripsikan suatu metode radiometrik untuk
mendeteksi organisme leptopira secar cepat dengan menggunakan
sistem BACTEC 460 (Johnson Laboratories). Dengan sistem ini,
leptospira dideteksi pada darah manusia setelah inkubasi 2-5 hari.9
3) Inokulasi hewan
Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi
intraperitoneal pada marmot muda. Dalam beberapa hari dapat
ditemukan leptospira di dalam cairan peritoneal; setelah hewan ini mati
(8-14 hari) ditemukan lesi hemoragik pada banyak organ.9

4) Serologi
Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas
pemeriksaan serologi. Macroscopic slide agglutination test merupakan
pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid screening. Pemeriksaan
gold standart untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospia
interrogans yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT) yang
menggunakan organisme hidup. Pada umumnya tes aglutinasi tersebut
tidak positif sampai minggu pertama sejak terjadi infeksi, kadar puncak
antibodi 3-4 minggu setelah onset gejala dan menetap selama beberapa
tahun, walaupun konsentrasinya kemudian akan menurun.20
Tes MAT ini mendeteksi antibodi pada tingkat serovar sehingga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi strain Leptospira pada manusia
dan hewan dan karena itu membutuhkan sejumlah strain (battery of
strains) Leptospira termasuk stock-culture, disamping sepasang sera
dari pasien dalam periode sakit akut dan 5-7 hari sesudahnya.
Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika terjadi serokonversi berupa
kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau lebih antigen tanpa
kenaikan titer (untuk daerah non endemik leptospirosis digunakan nilai ≥
1:160) .17
Pemeriksaan serodiagnosis leptospirosis yang lain adalah
Macroscopic Agglutination Test (MA Test), Microcapsule
Agglutination Test (MCAT), rapid latex agglutination assay (RLA
assay), enzyme linked immune sorbent assay (ELISA), immuno-
fluorescent antibody test, dan immunoblot.17,21
Selain uji serologi yang telah disebutkan di atas, terdapat pula uji
serologis penyaring yang lebih cepat dan praktis sebagai tes leptospirosis. Uji
serologis penyaring yang sering digunakan di Indonesia adalah Lepto Dipstick
Assay, LeptoTek Dri Dot, dan Leptotek Lateral Flow. Saat ini juga telah
dikembangkan pemeriksaan molekuler untuk diagnosis leptospirosis. DNA
leptospirosis dapat dideteksi dengan metode PCR (Polymerase Chain
Reaction) dengan menggunakan spesimen serum, urin, humor aqueous, cairan
serebrospinal, dan jaringan biopsi.17,18
2.1.7 Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi dari leptospirosis, diantaranya
adalah gagal ginjal akut (95% dari kasus), gagal hepar akut (72% dari
kasus), gangguan respirasi akut (38% dari kasus), gangguan
kardiovaskuler akut (33% dari kasus), dan pankreatitis akut (25% dari
kasus).8
a. Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut yang ditandai dengan oliguria atau poliuria dapat
timbul 4-10 hari setelah gejala leptospirosis terlihat.23
b. Gagal hepar akut
Di hepar terjadi nekrosis sentrilobuler fokal dengan proliferasi sel
Kupfer disertai kolestasis. Terjadinya ikterik pada leptospirosis
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena kerusakan sel hati,
gangguan fungsi ginjal yang akan menurunkan ekskresi bilirubin
sehingga meningkatkan kadar bilirubin darah, terjadinya perdarahan
pada jaringan dan hemolisis intravaskuler akan meningkatkan kadar
bilirubin, proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intra
hepatik.8
c. Gangguan respirasi dan perdarahan paru
Adanya keterlibatan paru biasanya ditandai dengan gejala yang
bervariasi, diantaranya: batuk, dispnea, dan hemoptisis sampai dengan
Adult Respiratory Distress Syndrome ( ARDS ) dan Severe Pulmonary
Haemorrhage Syndrome ( SPHS ). Paru dapat mengalami perdarahan
dimana patogenesisnya belum diketahui secara pasti. Perdarahan paru
terjadi diduga karena masuknya endotoksin secara langsung sehingga
menyebabkan kerusakan kapiler dan terjadi perdarahan. Perdarahan
terjadi pada pleura, alveoli, trakeobronkial, kelainan berupa kongesti
septum paru, perdarahn alveoli multifokal, dan infiltrasi sel
mononuklear.25 Pada pemeriksaan histologi ditemukan adanya kongesti
pada septum paru, oedem dan perdarahan alveoli multifokal, esudat
fibrin.16 Perdarahan paru dapat menimbulkan kematian pada penderita
leptospirosis.25
d. Gangguan kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa
gangguan sistem konduksi, miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan
arteritis koroner. Manifestasi dari gangguan kardiovaskuler ini sangat
bervariasi dari tanpa keluhan sampai bentuk yang berat berupa gagal
jantung kongestif yang fatal. Selama fase septikemia, terjadi migrasi
bakteri, endotoksin, produk enzim atau antigen karena lisisnya bakteri,
akan meningkatkan permeabilitas endotel dan memberikan manifestasi
awal penyakit vaskuler.15
e. Pankreatitis akut
Sebenarnya pankreatitis akut adalah komplikasi yang jarang
ditemui pada pasien leptospirosis berat. Pankreatitis terjadi karena
adanya nekrosis dari sel-sel pankreas akibat infeksi bakteri leptospira
(acute necrotizing pancreatitis). Selain itu, terjadinya pankreatitis akut
pada leptospirosis bisa disebabkan karena komplikasi dari gagalnya
organ-organ tubuh yang lain (multiple organ failure), syok septik, dan
anemia berat (severe anemia).23
2.1.8 Penatalaksanaan
Leptospirosis terjadi secara sporadik, pada umumnya bersifat self-
limited disease dan sulit dikonfirmasi pada awal infeksi. Pengobatan
harus dimulai segera pada fase awal penyakit. 20 Secara teori, Leptospira
sp. adalah mikroorganisme yang sensitif terhadap antibiotik.14

Tabel 6 Manajemen kasus dan kemoprofilaksis leptospirosis berdasarkan


Kriteria Diagnosis WHO SEARO 2009
Indikasi Regimen dan dosis

Leptospirosis ringan (mild Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7


illness/ suspect case) hari; atau
Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari
selama 7 hari

Leptospirosis berat (severe Penicillin G (injeksi) 2 juta unit IV / 6 jam


case/ probable case) selama 7 hari;
Ceftrioxine (injeksi) 1 gr IV/hari selama 7 hari
Kemoprofilaksis Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7
hari; atau
Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2gr/ hari
selama 7 hari

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam manajemen kasus


leptospirosis adalah segera merujuk penderita leptospirosis bila adanya
indikasi pada disfungsi organ ginjal, hepar, paru, terjadi perdarahan dan
gangguan saraf.3

2.1.9 Pencegahan
Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil
studi faktor-faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu
pengendalian leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan
sekunder. Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai
sasaran bisa terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat
promotif, termasuk disini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi.
Sedangkan pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang yang
sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar dari
komplikasi yang nantinya dapat menyebabkan kematian.13
Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar
tidak terjadi kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi:24
a. Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi
Para pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira,
misalnya pekerja irigasi, petani, pekerja laboratorium, dokter hewan,
harus memakai pakaian khusus yang dapat melindungi kontak
dengan air atau tanah yang terkontaminasi leptospira. Misalnya
dengan menggunakan sepatu bot, masker, sarung tangan.
b. Melindungi sanitasi air minum penduduk
Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, dilakukan
filtrasi dan deklorinai untuk mencegah invasi leptospira.
c. Pemberian vaksin
Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut,
akan memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai
pencegahan bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum
imun spesifik telah terbukti melindungi pekerja laboratorium.
Vaksinasi terhadap hewan peliharaan efektif untuk mencegah
leptospirosis.
d. Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis
e. Pengendalian hospes perantara leptospira
Roden yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adalah tikus.
Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,
pemasangan jebakan, penggunaan bahan rodentisida, dan menggunakan
predator roden.
f. Usaha promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan
cara edukasi, dimana antara daerah satu dengan daerah yang lain
mempunyai serovar dan epidemi leptospirosis yang berbeda. Untuk
mendukung usaha promotif ini diperlukan peningkatan kerja antar
sektor yang dikoordinasikan oleh tim penyuluhan kesehatan
masyarakat Dinas Kesehatan setempat.
Pokok- pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan
hasil studi faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain usia, jenis
kelamin, higiene perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat ada luka,
keadaan lingkungan yang tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial
ekonomi, populasi tikus, dan lain-lain. Perlu diperhatikan bahwa
leptospirosis lebih sering terjadi pada laki-laki dewasa, mungkin
disebabkan oleh paparan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari.13,24
Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap
pasien yang didiagnosis menderita leptospirosis. Salah satu hal yang
menguntungkan dalam pengobatan ini ialah pengobatan kausal tidak
tergantung pada subgrup maupun serotipe leptospira. Untuk pengobatan
Leptospirosis ringan (mild illness/ suspect case) dapat menggunakan
Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7 hari; atau Amoxicillin atau
Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari. Sedangkan untuk
Leptospirosis berat (severe case/ probable case) dapat menggunakan
Injeksi Penicillin G 2 juta unit IV / 6 jam selama 7 hari; Injeksi
Ceftrioxine 1 gr IV/ hari selama 7 hari.3,24
Pengelolaan secara umum penderita leptospirosis sama dengan
penyakit sistemik akut yang lain. Rasa sakit diobati dengan analgetika,
gelisah, dan cemas dikendalikan dengan sedatif, demam diberi antipiretik,
jika terjadi kejang pemberian sesuai dengan keparahan penyakit dan
komplikasi yang timbul.24

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Human leptospirosis: guidance for diagnosis,


surveillance, and control [internet]. 2003. Available from:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf
2. Suharto, Soewandojo E, Hadi U, Nasronudin .2007. Leptospirosis. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : Airlangga University Press. Hal : 307-309.
3. World Health Organization (Regional Office for South-East Asia). Informal Expert
Consultation on Surveillance, Diagnosis, and Risk Reduction of Leptospirosis
[internet]. 2009. Available from:
http://www.searo.who.int/entity/emerging_diseases/topics/Communicable
_Diseases_Surveillance_and_response_SEA-CD-217.pdf
4. Fauci et all. 2008. Leptospirosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17 th
edition. United States of America : McGraw-Hill’s.
5. Faine S. Guideline for The Control of Leptospirosis, Geneva WHO, 1982.
6. Widoyono. Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasan). Jakarta : Penerbit Erlangga; 2008.
7. Gasem MH, Wageenar JFP, Goris MGA, Adi MS, Isbandrio BB, Hartskeerl RA, et al.
Murine Typhus and Leptospirosis as causes of Acute Undifferentiated Fever,
Indonesia [internet]. 2009. Available from: http://www.cdc.gov/eid/article/15/6/08-
1404_article.htm
8. Zein U. Leptospirosis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Vol 3.5 th ed. Jakarta: Interna
Publishing; 2010.
9. Muliawan, Sylvia Y. Bakteri Spiral Patogen (Treponema, Leptospira, dan
Borrelia). Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.
10. Cook, Gordon C dan Alimuddin I.Zumla. Tropical Diseases. China: Elsevier;
2009.
11. Mandal, Bibhat K. Penyakit Infeksi. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.
12. Jawetz, Melnick, dan Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2007.
13. Bobby Setadi, Andi Setiawan, Daniel Effendi, Sri Rezeki S Hadinegoro. Petunjuk
praktis leptospirosis. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001: 163 – 167.
Available from: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/3-3-10.pdf
14. Setiawan, I Made. Clinical and Laboratory Aspect of Leptospirosis in Humans
volume.27- No.28. Universa Medicina; 2008.
15. Sarwandi Dukut AH. Kelainan Kardiovaskuler Pada Leptospirosis Berat. Semarang ;
2004
16. Thales de Brito, Vera Demarchi Aiello, Luis Vernando Ferras da Silva, Ana
Maria Goncalves da Silva, Wellington Luiz Ferreira da Silva, Jussara Bianchi
Castelli, Antonio Carlos Seguro. Human Hemorrhagic Pulmonary
Leptospirosis: Pathological Findings and Pathophysiological Correlations.
PLoS One. 2013; 8(8): e71743. Published online 2013 August 12. doi:
10.1371/journal.pone.0071743. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3741125/
17. Gassem M.Hussein. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis: Gambaran
Klinik Dan Diagnosis Leptospirosis Pada Manusia. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro; 2002
18. Sarwani Dwi Sri Rejeki. Faktor Risiko Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Leptospirosis Berat. Semarang; 2005
19. Lestariningsih. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis: Gagal Ginjal Akut
Pada Leptospirosis. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002
20. Garna, H Herry. Buku Ajar Divisi Infeksi Dan Penyakit Tropis.Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran, RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung; 2012.
21. Levett, P.N. Leptospirosis Clinical Microbiology Review 14 (2):296-326; 2001.
22. Fauci, Anthony S, Dennis L. Kasper, Dan L. Longo, Joseph Loscalzo, Eugene
Braunwald, Stephen L.Hauser, dkk. Harrison Manual Kedokteran. Tangerang
Selatan: Karisma Publishing Group; 2009.
23. D.Popa, D.Vasile, A.Ilco. Severe acute pancreatitis-a serious complication of
leptospirosis. J Med Life. 2013 September 15; 6(3): 307–309. Published online
2013 September 25. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3786492/
24. Soeharyo Hadisaputro. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis: Faktor-
Fator Risiko Leptospirosis. 2002. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro
25. Wagenaar JFP. What role do coagulation disorders play in pathogenesis of
leptospirosis.J Travel Med 2007; 12 (1) :111-122
26. Muhammad Mustafa. Patogenesis dan Virulensi Leptospira pada Manusia. Bagian
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta: 2016
27. Asyhar Tunissea. Analisis Spasial Faktor Risiko Lingkungan Pada Kejadian
Leptospirosis di Kota Semarang (Sebagai Sistem Kewaspadaan Dini). Tesis.
Semarang: Magister Epidemiologi Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro.
Semarang: 2008
28. Gompf SG. Leptospirosis. http://emedicine.medscape.com/article/220563-overview
updated: Apr 14, 2015
29. Faisal SM, McDonough SP, and Chang YF. Leptospira: Strategies for evasion of host
immunity and persistence. In: Pathogenic Spirochetes: strategies for evasion of host
immunity and persistence Springer Science and Business Media; 2012. pp. 143–172.

Anda mungkin juga menyukai