“LEPTOSPIROSIS”
Pembimbing :
dr. Mursida Syarifuddin Kamran, Sp.PD
Disusun Oleh :
Aisyah Muthia Rasyida
1910221058
Disusun oleh :
Aisyah Muthia Rasyida
1910221058
Mengetahui,
Pembimbing
Segala puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan atas berkat rahmat dan
anugerahnya sehingga penyusunan presentasi kasus dengan judul “Leptospirosis”
ini dapat diselesaikan. Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF
Ilmu Penyakit Dalam. Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus
ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang. Tidak lupa penyusun
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Mursida Syarifuddin Kamran, Sp.PD, selaku dosen pembimbing
2. Rekan-rekan Dokter Muda Bagian Ilmu Penyakit Dalam atas semangat dan
dorongan serta bantuannya.
Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di
dalam maupun diluar lingkungan RSUD Pasar Minggu.
Jakarta, 2019
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Leptospira
2.1.1 Biologi
Leptospira termasuk genus Leptospira, famili Leptospiraceae, ordo
Spirochaetales. Ciri khas organism ini adalah berbelit, tipis, fleksibel panjangnya 5
– 15 μm, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1- 0,2μm. Sel bakteri ini
dibungkus oleh membran luar yang mempunyai 3-5 lapis. Di bawah membran luar
terdapat lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan helikal, serta membran
sitoplasma. Ciri khas Spirochaeta ini adalah lokasi flagelnya, yang terletak di
antara membran luar dan lapisan peptidoglikan.27
Dua filamen aksial (flagella periplasma) dengan kutubnya terletak dalam
ruang periplasma. Struktur protein flagellar adalah komplek. Leptospira
menunjukkan dua bentuk pergerakan yang berbeda yaitu translasional dan non-
translasional. Secara morfologi, semua spesies Leptospira tidak dapat dibedakan,
akan tetapi Leptospira yang dibiakkan di laboratorium bervariasi dan dapat
disuntikkan kembali ke dalam tubuh tikus. Leptospira mempunyai struktur
membran ganda yang khas, dimana membran sitoplasma dan dinding sel
peptidoglikan erat berhubungan dan dilapisi oleh membran terluar.
Lipopolisakarida Leptospira mempunyai komposisi yang mirip dengan bakteri
gram negatif lain, tetapi mempunyai aktifitas endotoksik yang paling rendah.
Leptospira diwarnai dengan menggunakan pewarna carbol fuchsin. 27
Gambar 1 Leptospira8
Leptospira bersifat aerob dengan suhu pertumbuhan optimum antara 28 0 C –
30 0 C. Leptospira memproduksi katalase dan oksidasi dan tumbuh dalam media
sederhana yang diperkaya dengan vitamin-vitamin (vitamin B2 dan B12), asam
lemak rantai panjang, dan garam-garam ammonium. Asam lemak rantai panjang
dimanfaatkan sebagai satu-satunya sumber karbon dan dimetabolisme oleh
oksidasi β. 11. 27
2.1.2 Patofisiologi
Leptospira dapat masuk tubuh melalui kulit yang tidak intak atau
menembus jaringan mukosa seperti mukosa mulut, saluran cerna, saluran hidung
dan konjungtiva mata. Setelah menembus kulit atau mukosa, leptospira akan ikut
aliran darah sistemik dan terjadi replikasi serta menyebar ke berbagai jaringan dan
organ tubuh. Kemudian terjadi respon imun baik seluler maupun humoral
(membentuk antibodi spesifik) yang bertujuan membunuh leptospira.26
Ada 2 hipotesis yang diduga berperan dalam pathogenesis
Leptospirosis ini. Pertama, adanya kontak langsung antara Leptospirosis yang
menyebabkan reaksi jaringan, karena Leptospira tipis dan mempunyai motilitas
yang tinggi sehingga dapat penetrasi membran mukus intak atau luka kecil
dikarenakan flagella periplasmic.26
Kedua, pathogenesis leptospirosis melalui reaksi imunologi. Invasi
Leptospira ini akan menimbulkan reaksi imun non spesifik berupa inflamasi yang
diikuti dengan pelepasan mediator kimiawi berupa sitokin dan reaksi imun
spesifik. Kemampuan invasi kuman Leptospira disebabkan oleh sifatnya yang
motil dan kemampuan kuman memproduksi hemolisin, ensim seperti katalase,
lipase, oksidase, hialuronidase, transaminase, endotoksin dan spingomielinase
yang berperan dalam menentukan virulensinya.26
Tingkat keparahan Leptospirosis juga tergantung dari jumlah organisme
yang menginfeksi pertahanan respon imun manusia atau hewan dan virulensi
strain Leptospira yang menginfeksi. Kemudian Leptospira akan menyebar
keseluruh tubuh melalui peredaran darahsampai ke cairan cerebrospinalis dan
humour aqueus dalam bola mata. Terdapat tujuh antigen leptospira yaitu p32,
p37, p41, p45, p48, p62, p78. Hemolisis pada leptospira dapat terjadi karena
hemolisin yang ada di sirkulasi darah diserap oleh eritrosit sehingga eritrosit
tersebut lisis. Diatesis hemoragik pada umumnya terbatas pada mukosa dan kulit.
Beberapa saat kemudian Leptospira akan difagositosis oleh sel monosit makrofag
dengan akibat jumlah leptospira dalam peredaran darah menjadi semakin sedikit
dan beberapa akhirnya akan habis.26
Pada tubulus kolektivus biasanya kuman ini tidak terbasmi dan membentuk
koloni pada dinding lumen yang sewaktu waktu dapat keluar bersama urin. Di
dalam urin pada umumnya dapat diketemukan setelah hari kedelapan sampai
beberapa minggu setelah sakit. Diduga endotoksin dan ensim tertentu yang
dihasilkan oleh leptospira memegang peranan penting terjadinya Leptospirosis.
Dugaan ini diperkuat dengan adanya kemiripan gambaran histo-patologi jaringan
antara penderita Leptospirosis dengan jaringn yang terinfeksi bakteri Gram
negatip penghasil endotoksin. Walaupun demikian sampai sekarang bukti dapat
diisolasi endotoksin tersebut. Bukti lain bahwa pathogenesis Leptospirosis
melalui invasi kuman langsung pada jaringan ditunjukan dengan hasil biopsi pada
otot gastroknemius yang diambil pada stadium leptospiremia. Jaringan biopsi
tersebut menunjukan vakuolisasi pada sitoplasma dari myofibril. Kadang juga
ditemukan adanya infiltrasi sel polimorfonuklear (PMN). Gambaran miositis ini
bersifat tidak khas dan segera menghilang setelah memasuki minggu kedua.26
Pada keadaan lain yaitu bagaimana terjadinya meningitis pada leptospirosis
belum banyak diketahui. Gejala dan tanda meningitis timbul pada minggu kedua.
Pada saat ini leptospira sudah ditemukan di peredaran darah dan liquor cerebro
spinalis akan tetapi yang ditemukan hanyalah IgM yang spesifik dari Leptospira.
Keadaan ini menimbulkan dugaan bahwa meningitis aseptik pada leptospirosis
dapat terjadi melalui proses imunologi. Dugaan tersebut diperkuat dengan tidak
adanya bukti jaringan yang lesi pada jaringan otak pada stadium leptosperemia.26
Virulensis
Leptospirosis diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor virulensi yang masih
belum diketahui dengan pasti. Faktor faktor virulensi dibawah ini dapat untuk
menjelaskan perkembangan virulensi dari Leptospirosis:26
a. Produksi toksin
Aktifitas endotoksisn dilaporkan pada beberapa serovar leptospira.
Hemolisin diproduksi oleh serovar ballum, harjo, pomona, tarrassovi dan
canicola, yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membrane sel lain
yang mengandung fosfolipid. Serovar pomona dan copenhageni
memproduksi sitotoksin protein yang secara in vivo berhubungan dengan
inflitrasi sel polimorfonuklear dan sel makrofag.
b. Attachment
Leptospira yang virulen secara in vitro akan menempel pada sel
epitel ginjal dan proses adesi ditingkatkan oleh adanya aglutinasi
antibody. Liposasakarida (LPS) leptospira memacu perlekatan netrofil
pada sel endotel dan agregasi trombosit, serta berperan dalam terjadinya
trobositopenia.
c. Mekanisme immunologic
Teori aspek imunitas leptospira yang dirangsang oleh antigen
serovar spesifik yang diektraksi dari LPS leptospira antigen serupa yang
mampu menghambat aglutinasi oleh antisera homolog serta ekstraksi
sodium dodecyl sulfat yang terdapat pada seluruh dinding sel leptospira
yang juga mampu merangsang pembentukan antibodiyang mana antibodi
yang terbentuk juga berefek aglutinasi dan mengikat komplemen.
Imunitas yang terbentuk berpengaruh kuat merestriksi serovar homolog
atau yang mirip dengan itu.
Imunitas terhadap leptospira terutama merupakan imunitas
humoral, namun imunitas seluler juga turut berperan dalam
imunopathogenesis leptospirosis. Respon imun seluler terjadi pada phase
initial infeksi, yaitu 7 hari setelah inokulasi. Respon imun seluler yang
terjadi berupa opsonisasi makrophag dan aktifasi netrophil.
Secara simultan bakteri akan mulai menghilang dari sirkulasi
seiring dengan terbentuknya antibodi dan respon imun seluler akan
digantikan dengan imunitas humoral yang mengindikasikan terdapat
faktor inhibitor sehingga terjadi penekanan terhadap respon imun seluler
ditandai dengan penurunan jumlah limfosit CD4+ dan responnya
terhadap sejumlah mitogen. Respon imun humoral ditandai dengan
terbentuknya antibodi dan beberapa sitokin ( IL-6, TNF-α, dan
transforming growth factor-β), Nitrit Oxide dan H2O2.
Berdasarkan antibodi yang diproduksi, dibagi menjadi 2 strain,
yaitu strain Low (L), dan High (H). Strain H menunjukkan tendensi yang
lebih tinggi terhadap respon Th2, dengan produksi antibodi yang lebih
besar, lesi jaringan yang lebih luas serta adanya sintesis IL-4. Strain L
menunjukkan respon Th1, dengan produksi yang lebih besar dari
interferon (TFN) serta aktivasi makrofag.
Reaksi imunologis terhadap leptospirosis merupakan salah satu
faktor yang memperberat infeksi leptospira yang. Komplek imun yang
diproduksi menyebabkan inflamasi setempat termasuk di sistem saraf
pusat. Jumlah kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sebanding
dengan berat ringannya gejala klinik infeksi leptospira yang muncul,
sedangkan pada pasien yang mampu bertahan, perbaikan klinis sebanding
dengan penurunan jumlah kompleks imun di peredaran darah.
Berdasarkan beberapa penelitian, antigen leptospira terlokalisasi di
sel interstitium ginjal, sedangkan Ig G serta C3 terdeposit di glomerulus
dan dinding pembuluh darah kecil. Antibodi leptosopira yang diproduksi
menimbulkan reaksi silang (cross reaction ) dengan jaringan setempat,
seperti pada mata, sehingga menimbulkan uveitis. Kerusakan retina dapat
pula terjadi sehubungan dengan terdapatnya limfosit B di retina.
Pada leptospirosis dapat juga terbentuk antibodi anti platelet.
Antibodi yang terbentuk akan menekan cryptantigen yang dipaparkan
oleh platelet yang rusak. Autoantibodi lain yang ditemukan, antara lain
adalah anticardiolipin antibodi serta antineutrofil citoplasmic antibodi.
Leptospira yang virulen juga mampu merangsang munculnya apoptosis.
Apoptosis yang terjadi muncul akibat induksi TNF-α oleh LPS
leptospira. Peningkatan jumlah sitokin inflamasi seperti TNF-α
ditemukan dalam infeksi leptospirosis.
Teori lain mengatakan bahwa adanya infeksi akan diikuti oleh
respon imun spesifik yang dimulai dari sensitisasi sel B dan pengaktifan
komplemen. Aktifasi komplemen ini akan meningkatkan fagositosis dan
memudahkan destruksi bakteri melalui :
1) Reaksi lisis untuk menghancurkan membrane sel bakteri
2) Kemotaktik, yaitu suatu bahan yang merangsang makrofag menuju
ketempat bakteri
3) Opsonisasi, yaitu suatu proses untuk mengedapkan dan melapisi
dinding bakteri sehingga bakteri mudah dikenali oleh makrofag.
Sensitisasi sel B mengakibatkan terjadinya proliferasi dan
diferensiasi sel tersebut menjadi sel plasma. Sel Plasma akan meproduksi
antibodi berupa makroglobulin berbentuk pentamer dengan berat molekul
900.000 dlton yang disebut IgM. Pembentukan Ig M dibantu oleh sel T.
Makroglobulin pada penderita leptospirosis mulai terbentuk setelah
memasuki fase imun, yaitu sekitar 4 – 9 hari setelah onset penyakit.
Pembentukan Ig M pada penderita leptospirosis dihambat oleh keadaan
tertentu seperti pemberian antibiotik, immunocompromised, penggunaan
kortikosteroid, imunosupresan, dan keadaan respon lambat.
Kadar Ig M spesifik pada leptospira di dalam darah akan mencapai
puncaknya sekitar 10-30 hari setelah infeksi. Kadang kadang sampai 90
hari atau 100 hari Ig M masih dapat ditemukan didalam darah.
Imunoglobulin M berperan untuk mencegah gerakan mikroorganisme
yang patogen , memudahkan fagositosis dan sebagai aglutinator kuat
terhadap antigen.
Peranan Ig M yang lain adalah untuk mengaktifkan komplemen.
Aktifasi komplemen akan mengakibatkan pelepasan mediator berupa
anafilaktosis ( C3a dan C5a), kemotaktor ( C3a dan C5a ) kemotaktor
( C3a, C5a, C6 dan C7) dan selajutnya mengalami aderen imun serta
proses opsonisasi. Dengan demikian Ig M mampu berperan sebagai imun
spesifik dan dapat untuk mengaktifkan komplemen untuk
menghancurkan kuman Leptospira.
2.2 Leptospirosis
2.2.1 Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang spesifik serotipenya.
Penyakit ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1886 oleh Weil, sehingga
bentuk beratnya dikenal sebagai Weil’s disease. Penyakit ini dikenal juga dengan
berbagai nama, seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever,
infectious jaundice, field fever, cane cutter fever, dan lain-lain.8
Leptospira sering luput didiagnosa karena memiliki gejala klinis yang
tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium.
Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah
membuat leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk dalam the
emerging infectious disease.8
2.2.2 Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae,
suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas dari organisme ini yaitu berbelit,
tipis, fleksibel, panjangnya 5 – 15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya
0,1 – 0,2 um (Gambar1).
Gambar 2 Leptospira
28
interrogans.
Gambar 3 Bakteri Leptospira sp. menggunakan
mikroskop elektron tipe scanning.28
Salah satu ujung oraganisme ini sering mengalami pembengkakan dan lalu
membentuk suatu kait. Teradapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan ada
flagella. Dalam mikroskop lapangan gelap, spirochaeta yang memiliki tubuh
sangat halus ini hanya terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil. Dengan
pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop biasa, morfologi leptospira secara
umum dapat dilihat. Untuk mengamati lebih jelas gerakan leptospira dapat diamati
dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap (darkfield microscope).
Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan
mungkin membutuhkan waktu hingga berminggu-minggu untuk membuat kultur
yang positif. Pada medium Fletcher’s, leptospira dapat tumbuh dengan baik
sebagai obligat aerob.8
Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies: L.interrogans
yang pathogen dan L. biflexa yang non pathogen / saprofit. Tujuh spesies dari
leptospira pathogen sekarang ini telah diketahui dasar ikatan DNAnya, namun
lebih praktis dalam klinik dan epidemiologi menggunakan klasifikasi yang
didasarkan oleh perbedaan tes serologis. Spesies L.interrogans dibagi menjadi
beberapa serogrup, dan serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut
komposisi antigennya, Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang
tergabung dalam 23 serogrup. Beberapa serovar L. interrogans yang dapat
menginfeksi manusia diantaranya adalah: L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L.
Pomona, L.grippothyphosa, L. javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L.
automnaslis, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, L. andamana,
L. shermani, L. ranarum, L. bufonis, L. coenhageni, L. australis, L. cynopteri,
dan lain-lain. Menurut beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia
ialah L. icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, L. canicola dengan reservoir
anjing dan L. ponoma dengan reservoir sapi dan babi. 8
Leptospira merupakan Spirochaeta yang paling mudah dibiakkan, tumbuh
paling baik pada keadaan aerob pada suhu 28-30ºC dan pada pH 7,4. Media yang
bisa digunakan adalah media semisolid yang kaya protein, misalnya media Fletch
atau Stuart. Lingkungan yang sesuai untuk hidup leptospira adalah lingkungan
lembab seperti kondisi pada daerah tropis.9,12
2.2.3 Epidemiologi
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, di semua benua kecuali benua
Antartika, namun terbanyak didapati di daerah tropis. Leptrospira bisa terdapat
pada binatang peliharaan seperti anjing, babi, lembu, kuda, anjing, babi, lembu,
kuda, kucing, marmut atau binatang-binatang pengerat lainnya seperti tupai,
musang, kelelawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut,
leptospira hidup di dalam ginjal/air kemihnya. Tikus merupakan vektor yang
utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam
tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang
biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus secara terus menerus lalu ikut mengalir
dalam filtrat urine. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang
dengan masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur
karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup
leptospira, sedangkan didaerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim
hujan.8
Leptospirosis mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Terdapat
berbagai jenis pejamu leptospira, mulai dari mamalia berukuran kecil seperti
landak, kelinci, tikus sawah, tikus rumah, tupai, musang, hingga reptile, bibi, sapi,
kucing, dan anjing. Binatang pengerat, terutama tikeus merupakan reservoir
paling banyak. Leptospira membentuk hubungan symbiosis dengan penjamunya
dan dapat menetap dalam tubulus renalis selama berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun. Beberapa serovar berhubungan dengan binatang tertentu, seperti L.
icterohaemoragiae/ copenhageni dengan tikus, L. grippothphosa dengan voles
(sejenis tikus), L. hardjo dengan sapi, L. canicola dengan anjing, dan L. Pomona
dengan babi.8
Di Amerika Serikat (AS) tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus
leptospirosis setiap tahun yang sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai,
sedangkan Internasional Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai
negara dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk
mortalitas. Di Indonesia, Leptospirosis dapat ditemukan di DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Pada kejadian
banjir besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus
leptospirosis dengan 20 kematian.2,8
Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis adalah kesulitan dalam
melakukan diagnositik awal. Sementara dengan pemeriksaan sederhana
menggunakan mikroskop biasa dapat dideteksi adanya gerakan leptospira dalam
urine. Diagnostik pasti ditegakkan dengan ditemukannya leptospira pada darah
atau urine, atau ditemukannya hasil serologi positif. Untuk dapat berkembang
biak, leptospira membutuhkan lingkungan optimal serta tergantung pada suhu
yang lembab, hangat, PH air/tanah yang netral, dimana kondisi ini ditemukan
sepanjang tahun di daerah tropis.8
Case fatality rate (CFR) leptospirosis di beberapa bagian dunia dilaporkan
berkisar antara <5% - 30%. Angka ini memang tidak terlalu reliabel mengingat
masih banyak daerah di dunia yang angka kejadian leptospirosisnya tidak
terdokumentasi dengan baik. Penemuan kasus leptospirosis pada umumnya
underdiagnosed, unrreported dan underreported sejak beberapa laporan
menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah diagnosis
dan nonfatal.1
Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%.
Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori
ini. Anak balita, orang lanjut usia dan penderita immunocompromised mempunyai
resiko tinggi terjadinya kematian. Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko
kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah
mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko
kematiannya lebih tinggi lagi.4
Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus.
Kelompok yang berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual
hewan, bidang agrikultur, rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara,
militer, tukang susu, dan tukang jahit. Risiko ini berlaku juga bagi yang
mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai, seperti berenang atau
rafting.8
Meskipun penyakit ini sering terjadi pada para pekerja, ternyata dilaporkan
peningkatan sebagai penyakit saat rekreasi. Aktifitas yang beresiko meliputi
perjalanan rekreasi ke daerah tropis seperti berperahu kano, mendaki, memancing,
selancar air, berenang, ski air, berkendara roda dua melalui genangan, dan
kegiatan olahraga lain yang berhubungan dengan air yang tercemar. Berkemah
dan bepergian ke daerah endemik juga menambahkan resiko.8
Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan
mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat
melalui kontak dengan kulit sehat (intak) terutama bila kontak lama dengan air.6
Selain melalui kulit atau mukosa, infeksi leptospira bisa juga masuk melalui
konjungtiva.17 Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak
menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang
menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme masuknya
leptospira ke dalam tubuh.6
Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di
darah dan jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi
dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari infeksi.
Leptospira virulen mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer
adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis
serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan kebocoran dan
ekstravasasi sel.10,18,19
Gambar 5 Leptospirosis pathway dan gambaran klinisnya
*antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik (± 1-3 hari)
Sumber: M. Hussein Gassem (2002), dimodifikasi dari Farr RW (1995)
2.2.6 Diagnosis
a. Diagnosis Klinik
Leptospirosis dipertimbangkan pada semua kasus dengan riwayat
kontak terhadap binatang atau lingkungan yang terkontaminasi urin
binatang, disertai dengan gejala akut demam, menggigil, mialgia,
conjunctival suffusion, nyeri kepala, mual, atau muntah.20 Selain itu
penting juga untuk mempertimbangkan jenis pekerjaan penderita dan
riwayat adanya kontak dengan air sebelumnya.24
Sebelumnya klinisi menggunakan kriteria diagnosis menurut The
Center for Disease Control of Leptospirosis Report. Akan tetapi kriteria
diagnosis ini mempunyai beberapa kelemahan. Pemberian nilai pada
faktor-faktor epidemiologik dalam kriteria diagnosis tersebut sangat
subjektif dan tidak spesifik. Hasil pemeriksaan serologik dalam kriteria
diagnosis tersebut menjadi kendala bagi klinisi karena pemeriksaan
serologik tersebut jarang tersedia dan jika ada maka hasilnya diperoleh
setelah beberapa hari. Aplikasi kriteria diagnosis secara berlebihan dapat
menyesatkan para klinisi.18
Tabel 4 Kriteria diagnosis leptospirosis Faine
A. Apakah penderita Jawab Nilai
Sakit kepala mendadak Ya/ tidak 2/0
Conjunctival suffusion Ya/ tidak 4/0
Demam Ya/ tidak 2/0
Demam ≥ 38ºC Ya/ tidak 2/0
Meningismus Ya/ tidak 4/0
Meningismus, nyeri otot, conjunctival suffusion bersama-sama Ya/ tidak 10/0
Ikterik Ya/ tidak 1/0
Albuminuria atau azotemia Ya/ tidak 2/0
b. Diagnosis Laboratorium
Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada penemuan
laboratorium. Pada sindrom Weil dapat ditemukan leukositosis dan
netropenia, terutama selama fase awal penyakit. Anemia tidak biasa
ditemukan pada leptospirosis anikterik, tetapi dapat terjadi anemia berat
pada sindrom Weil. Kadar enzim hati, kreatinin, dan ureum dapat sedikit
meningkat pada leptospirosis anikterik, dan meningkat secara ekstrim pada
sindrom Weil.20
Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis terdiri dari:
pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan, dan serologi.9
1) Pemeriksaan mikrobiologik
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di
mikroskop lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan mikroskop
lapangan gelap atau mikroskop fase kontras. Spesimen pemeriksaan
dapat diambil dari darah atau urin.9,20
2) Kultur
Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal
hanya pada 10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya
dijumpai di dalam urin pada 10 hari pertama penyakit. Media Fletcher
dan media Tween 80-albumin merupakan media semisolid yang
bermanfaat pada isolasi primer leptospira. Pada media semisolid,
leptospira tumbuh dalam lingkaran padat 0,5-1 cm dibawah permukaan
media dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi. Untuk kultur
harus dilakukan biakan multipel, sedangkan jenis bahan yang dibiakkan
bergantung pada fase penyakit.9
Baru-baru ini dideskripsikan suatu metode radiometrik untuk
mendeteksi organisme leptopira secar cepat dengan menggunakan
sistem BACTEC 460 (Johnson Laboratories). Dengan sistem ini,
leptospira dideteksi pada darah manusia setelah inkubasi 2-5 hari.9
3) Inokulasi hewan
Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi
intraperitoneal pada marmot muda. Dalam beberapa hari dapat
ditemukan leptospira di dalam cairan peritoneal; setelah hewan ini mati
(8-14 hari) ditemukan lesi hemoragik pada banyak organ.9
4) Serologi
Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas
pemeriksaan serologi. Macroscopic slide agglutination test merupakan
pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid screening. Pemeriksaan
gold standart untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospia
interrogans yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT) yang
menggunakan organisme hidup. Pada umumnya tes aglutinasi tersebut
tidak positif sampai minggu pertama sejak terjadi infeksi, kadar puncak
antibodi 3-4 minggu setelah onset gejala dan menetap selama beberapa
tahun, walaupun konsentrasinya kemudian akan menurun.20
Tes MAT ini mendeteksi antibodi pada tingkat serovar sehingga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi strain Leptospira pada manusia
dan hewan dan karena itu membutuhkan sejumlah strain (battery of
strains) Leptospira termasuk stock-culture, disamping sepasang sera
dari pasien dalam periode sakit akut dan 5-7 hari sesudahnya.
Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika terjadi serokonversi berupa
kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau lebih antigen tanpa
kenaikan titer (untuk daerah non endemik leptospirosis digunakan nilai ≥
1:160) .17
Pemeriksaan serodiagnosis leptospirosis yang lain adalah
Macroscopic Agglutination Test (MA Test), Microcapsule
Agglutination Test (MCAT), rapid latex agglutination assay (RLA
assay), enzyme linked immune sorbent assay (ELISA), immuno-
fluorescent antibody test, dan immunoblot.17,21
Selain uji serologi yang telah disebutkan di atas, terdapat pula uji
serologis penyaring yang lebih cepat dan praktis sebagai tes leptospirosis. Uji
serologis penyaring yang sering digunakan di Indonesia adalah Lepto Dipstick
Assay, LeptoTek Dri Dot, dan Leptotek Lateral Flow. Saat ini juga telah
dikembangkan pemeriksaan molekuler untuk diagnosis leptospirosis. DNA
leptospirosis dapat dideteksi dengan metode PCR (Polymerase Chain
Reaction) dengan menggunakan spesimen serum, urin, humor aqueous, cairan
serebrospinal, dan jaringan biopsi.17,18
2.1.7 Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi dari leptospirosis, diantaranya
adalah gagal ginjal akut (95% dari kasus), gagal hepar akut (72% dari
kasus), gangguan respirasi akut (38% dari kasus), gangguan
kardiovaskuler akut (33% dari kasus), dan pankreatitis akut (25% dari
kasus).8
a. Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut yang ditandai dengan oliguria atau poliuria dapat
timbul 4-10 hari setelah gejala leptospirosis terlihat.23
b. Gagal hepar akut
Di hepar terjadi nekrosis sentrilobuler fokal dengan proliferasi sel
Kupfer disertai kolestasis. Terjadinya ikterik pada leptospirosis
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena kerusakan sel hati,
gangguan fungsi ginjal yang akan menurunkan ekskresi bilirubin
sehingga meningkatkan kadar bilirubin darah, terjadinya perdarahan
pada jaringan dan hemolisis intravaskuler akan meningkatkan kadar
bilirubin, proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intra
hepatik.8
c. Gangguan respirasi dan perdarahan paru
Adanya keterlibatan paru biasanya ditandai dengan gejala yang
bervariasi, diantaranya: batuk, dispnea, dan hemoptisis sampai dengan
Adult Respiratory Distress Syndrome ( ARDS ) dan Severe Pulmonary
Haemorrhage Syndrome ( SPHS ). Paru dapat mengalami perdarahan
dimana patogenesisnya belum diketahui secara pasti. Perdarahan paru
terjadi diduga karena masuknya endotoksin secara langsung sehingga
menyebabkan kerusakan kapiler dan terjadi perdarahan. Perdarahan
terjadi pada pleura, alveoli, trakeobronkial, kelainan berupa kongesti
septum paru, perdarahn alveoli multifokal, dan infiltrasi sel
mononuklear.25 Pada pemeriksaan histologi ditemukan adanya kongesti
pada septum paru, oedem dan perdarahan alveoli multifokal, esudat
fibrin.16 Perdarahan paru dapat menimbulkan kematian pada penderita
leptospirosis.25
d. Gangguan kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa
gangguan sistem konduksi, miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan
arteritis koroner. Manifestasi dari gangguan kardiovaskuler ini sangat
bervariasi dari tanpa keluhan sampai bentuk yang berat berupa gagal
jantung kongestif yang fatal. Selama fase septikemia, terjadi migrasi
bakteri, endotoksin, produk enzim atau antigen karena lisisnya bakteri,
akan meningkatkan permeabilitas endotel dan memberikan manifestasi
awal penyakit vaskuler.15
e. Pankreatitis akut
Sebenarnya pankreatitis akut adalah komplikasi yang jarang
ditemui pada pasien leptospirosis berat. Pankreatitis terjadi karena
adanya nekrosis dari sel-sel pankreas akibat infeksi bakteri leptospira
(acute necrotizing pancreatitis). Selain itu, terjadinya pankreatitis akut
pada leptospirosis bisa disebabkan karena komplikasi dari gagalnya
organ-organ tubuh yang lain (multiple organ failure), syok septik, dan
anemia berat (severe anemia).23
2.1.8 Penatalaksanaan
Leptospirosis terjadi secara sporadik, pada umumnya bersifat self-
limited disease dan sulit dikonfirmasi pada awal infeksi. Pengobatan
harus dimulai segera pada fase awal penyakit. 20 Secara teori, Leptospira
sp. adalah mikroorganisme yang sensitif terhadap antibiotik.14
2.1.9 Pencegahan
Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil
studi faktor-faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu
pengendalian leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan
sekunder. Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai
sasaran bisa terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat
promotif, termasuk disini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi.
Sedangkan pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang yang
sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar dari
komplikasi yang nantinya dapat menyebabkan kematian.13
Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar
tidak terjadi kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi:24
a. Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi
Para pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira,
misalnya pekerja irigasi, petani, pekerja laboratorium, dokter hewan,
harus memakai pakaian khusus yang dapat melindungi kontak
dengan air atau tanah yang terkontaminasi leptospira. Misalnya
dengan menggunakan sepatu bot, masker, sarung tangan.
b. Melindungi sanitasi air minum penduduk
Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, dilakukan
filtrasi dan deklorinai untuk mencegah invasi leptospira.
c. Pemberian vaksin
Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut,
akan memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai
pencegahan bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum
imun spesifik telah terbukti melindungi pekerja laboratorium.
Vaksinasi terhadap hewan peliharaan efektif untuk mencegah
leptospirosis.
d. Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis
e. Pengendalian hospes perantara leptospira
Roden yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adalah tikus.
Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,
pemasangan jebakan, penggunaan bahan rodentisida, dan menggunakan
predator roden.
f. Usaha promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan
cara edukasi, dimana antara daerah satu dengan daerah yang lain
mempunyai serovar dan epidemi leptospirosis yang berbeda. Untuk
mendukung usaha promotif ini diperlukan peningkatan kerja antar
sektor yang dikoordinasikan oleh tim penyuluhan kesehatan
masyarakat Dinas Kesehatan setempat.
Pokok- pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan
hasil studi faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain usia, jenis
kelamin, higiene perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat ada luka,
keadaan lingkungan yang tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial
ekonomi, populasi tikus, dan lain-lain. Perlu diperhatikan bahwa
leptospirosis lebih sering terjadi pada laki-laki dewasa, mungkin
disebabkan oleh paparan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari.13,24
Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap
pasien yang didiagnosis menderita leptospirosis. Salah satu hal yang
menguntungkan dalam pengobatan ini ialah pengobatan kausal tidak
tergantung pada subgrup maupun serotipe leptospira. Untuk pengobatan
Leptospirosis ringan (mild illness/ suspect case) dapat menggunakan
Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7 hari; atau Amoxicillin atau
Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari. Sedangkan untuk
Leptospirosis berat (severe case/ probable case) dapat menggunakan
Injeksi Penicillin G 2 juta unit IV / 6 jam selama 7 hari; Injeksi
Ceftrioxine 1 gr IV/ hari selama 7 hari.3,24
Pengelolaan secara umum penderita leptospirosis sama dengan
penyakit sistemik akut yang lain. Rasa sakit diobati dengan analgetika,
gelisah, dan cemas dikendalikan dengan sedatif, demam diberi antipiretik,
jika terjadi kejang pemberian sesuai dengan keparahan penyakit dan
komplikasi yang timbul.24
DAFTAR PUSTAKA