Anda di halaman 1dari 23

REFERAT ILMU PENYAKIT DALAM

LEPTOSPIROSIS

Disusun oleh:
Theresia Loelita
01073170047

Preceptor:
dr. Nata Pratama, SpPD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE SEPTEMBER-NOVEMBER 2018

TANGERANG
DAFTAR ISI

I. DEFINISI ...................................................................................................... 3

II. EPIDEMIOLOGI ............................................................................................ 3

III. ETIOLOGI ..................................................................................................... 4

IV. FAKTOR RESIKO ........................................................................................... 4

V. PATOGENESIS .............................................................................................. 5

VI. PATOFISIOLOGI............................................................................................ 6

IX. DIAGNOSIS BANDING ................................................................................ 16

X. TATALAKSANA ........................................................................................... 16

XI. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS ................................................................... 18

i
BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang endemic terhadap penyakit infeksi
leptospirosis. Hal ini dikarenakan di Indonesia masih cukup sering terjadi banjir. Selain itu
faktor-faktor lain yang juga menjadi faktor risiko terjadinya infeksi ini di Indonesia yaitu,
angka kemiskinan yang masih cukup tinggi, pemukiman warga yang padat dengan sanitasi
buruk, serta tingkat edukasi yang masih cenderung rendah. Sebagai negara agraris, di
Indonesia juga masih banyak penduduk Indonesia yang juga bekerja sebagai petani, yang
merupakan salah satu profesi yang rentan untuk terkena infeksi ini.4

Gejala awal dari infeksi leptospira tidak begitu khas, sehingga menyebabkan seringkali
tidak terdiagnosis dengan baik. Apabila tidak mendapatkan tatalaksana dini, infeksi ini dapat
berubah menjadi berat dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Angka mortalitas dari
infeksi leptospirosis ini cukup tinggi, bahkan mencapai 50% pada usia diatas 50 tahun.
(Masniari poengan, peneliti dari Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor 2007)

Maka dari itu, sangat penting untuk dapat mengetahui lebih dalam mengenai infeksi
leptospirosis ini sehingga dapat menatalaksana dengan baik dan mencegah terjadinya
kematian akibat infeksi leptorspirosis.

ii
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Leptospirosis adalah penyakit zoonotic yang disebabkan oleh pathogen


Spirochaeta genus Leptospira1. Leptospirosis banyak terjadi di daerah endemik
tropis, terutama pada musim hujan dan banjir. Nama lain penyakit ini adalah slime
fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, dan lain lain.1,2,3

Spirochaeta ini pertama kali diisolasi di Jepang oleh Inada setelah sebelumnya
digambarkan oleh Adolf Weil pada tahun 1886. Weil menemukan bahwa penyakita
ini menyerang manusia dengan gejala demam, icterus, pembesaran hati dan limpa,
serta kerusakan ginjal.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Leptospirosis terjadi di seluruh dunia dan paling banyak didapati terjadi di


daerah-daerah beriklim tropis. Menurut WHO, Leptospirosis Burden Epidemiology
Group, diperkirakan sekitar 0,1 sampai 1 per 100.000 orang yang tinggal di daerah
beriklim sedang terkena setiap tahunnya, dengan angka yang meningkat menjadi 10
atau lebih per 100.000 orang pada daerah iklim tropis. Ketika terjadi epidemic,
inisidens dapat meningkat hingga 100 atau lebih per 100.000 orang.1 Pada tahun
2011, Leptospirosis terjadi 5-15 kasus per 100.000 penduduk, dengan angka
kejadian memuncak pada musim hujan dan keadaan banjir.

Di Indonesia, Internasional Leptospirosis Society menyebutkan bahwa


Indonesia merupakan negara dengan insidensi Leptospirosis tertinggi ketiga di
dunia, dengan angka kematian sebesar 16.7%4, tersebar di seluruh daerah di
Indonesia, terutama di DKI Jakarta dan Jawa Tengah, yang merupakan daerah yang
rentan terhadap banjir. Pada tahun 2002, terjadi outbreak Leptospirosis akibat
terjadinya banjir besar di Jakarta, dilaporkan dari 100 kasus dengan 20 kematian
Case Fatality Rate Leptospirosis sebesar 9.57% pada tahun 20114,5. Angka-angka
ini masih belum menggambarkan keseluruhan insidens leptospirosis di Indonesia

3
maupun di dunia, karena masih banyak kejadian yang belum terdokumentasi
dengan baik.

2.3 ETIOLOGI

Kuman Leptospira terdapat pada 160 spesies hewan, terutama hewan pengerat
serta hewan ternak lainnya seperti anjing, kuda, kambing, dan domba tanpa
manifestasi klinis yang fatal. Tikus adalah reservoir utama pada transmisi kuman
leptospira, tikus yang paling sering menjadi reservoir adalah tikus coklat Rattus
norvegicus2.

Leptospirae spp. Bersifat patogenik dan saprofit. Genus leptospira terdiri dari
L. interrogans (pathogen) dan L.biflexa (non-patogen, saprofit). L. Interrogans
hidup pada tubulus ginjal reservoirnya, menyebabkan penyakit pada hewan atau
manusia. Spesis L. Interrogans terdiri dari beberapa serogrup dan serovar menurut
komposisi antigen. Pembagian tersebut dikelompokan menurut Lipopolisakarida
(LPS, struktur patogenik) pada dinding bakteri3,6. Serovar L. interrogans yang
bersifat patogenik paling sering adalah L. Icterohemorrhagiae, dan yang lainnya
seperti L. borgpetersenii, L. weilli, L. santarosai, merupakan beberapa genus
lainnya dari 24 serogrup yang bersifat patogenik.

Leptospira adalah bakteri aerobic, spiral, bergerak dengan 2 endoflagel. Bakteri


ini tidak menyerap warna, sehingga dapat diamati dengan dark field microscopy,
silver stain, atau pewarnaan fluoresen. Morfologi yang khas pada Leptospira adalah
spiroseta ini terdapat tanda tanya atau kait pada ujungnya. Leptospira dapat tumbuh
dengan baik pada spesimen darah, urin, dan likuor serebrospinal7. Struktur
Lipopolisakarida, protein pada permukaan membrane, hemolisin, dan molekul
adhesi adalah faktor virulensi. Molekul adhesi dapat membuat bakteri dapat
berikatan dengan matriks ekstraseluler seperti sel fibroblast, makrofat, endotel,
serta epitel tubulus ginjal, sedangkan Hemolisin memampukan bakteri memecah
membrane eritrosit7.

2.4 FAKTOR RESIKO

Faktor resiko Leptospirosis terbagi menjadi faktor epidemiologi, faktor


penjamu, dan faktor pathogen. Faktor epidemiologi adalah keadaan sanitasi, tempat

4
tinggal, kondisi cuaca, musim, dan kepadatan penduduk. Faktor penjamu adalah
faktor usia, kerentanan genetic, integritas kulit, dan bahan protektif (sarung tangan,
baju, dll). Faktor pathogen adalah faktor pada Leptospira penginfeksi, termasuk
jumlah dan cara penularan, tergantung faktor virulensi dan kemampuan survival
pathogen pada inang.

Faktor resiko Leptospirosis pada umumnya tergantung dari aktivitas inang,


faktor pekerjaan yang berhubungan dengan air atau hewan yang bersangkutan
seperti petani, peternal, pembersih selokan. Aktivitas seperti kano, kayak, bakti
social, atau paparan dengan hewan seperti anjing, kucing, disertai sistem sanitasi
yang buruk atau kontak dengan hewan pengerat yang terinfeksi juga dapat
meningkatkan faktor resiko terjadinya Leptospirosis2,3. Faktor lainnya adalah
edukasi, kepadatan pemukiman, kemiskinan, dan buruknya sanitasi. Outbreak pada
umumnya terjadi pada bulan-bulan dengan curah hujan yang tinggi, atau berpergian
ke daerah endemis. Transmisi vertikal dari ibu ke janin juga dapat menularkan
Leptospirosis melalui placenta3.

2.5 PATOGENESIS

Kuman leptospira masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka terbuka, abrasi,
ataupun melalui membran mukus seperti konjungtiva, oral, atau genital. Kuman
juga dapat masuk melalui kontak tidak langsung dengan air dan tanah yang
terkontaminasi. Infeksi melalui selaput lendir lambung jarang terjadi, karena ada
asam lambung yang mematikan kuman leptospira. Individu dengan pekerjaan
seperti petani, peternak, pekerja tambang, ilmuan(8) terhadap hewan memiliki risiko
terpapar secara langung leptospirosis. Kuman leptospira yang tidak virulen gagal
bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah
satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan
jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal
pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan penyakit1-3.

5
2.6 PATOFISIOLOGI

Tahap awal setelah memasuki inang adalah penyebaran hematogen. Pada fase
leptosperemia, Leptospira bertahan di dalam darah, dan dapat diinokulasi dan
dibiakan pada medium khusus. Analisa PCR kuantitatif akan positif dalam 8 hari
pertama onset demam.
Pada PCR kuantitatif, level patogen leptospirosis yang terdeteksi cukup tinggi,
yaitu dapat mencapai 106/ml darah. Level patogen yang tinggi baru bisa terdeteksi
dikarenakan respon imun manusia terhadap Leptospiral. Pada leptospirosis,
komponen lipid leptospiral (LPS) memiliki residu metil fosfat yang unik, sehingga
sulit untuk terdeteksi dengan TLR4 dalam jumlah sedikit. Pada tikus, TLR4 jauh
lebih responsif sehingga membuat tikus menjadi resisten terhadap infeksi
leptospira. Perbedaan patogenesis antara manusa dengan tikus membuat manusia
menjadi penjamu kebetulan yang memiliki akibat fatal. Selain TLR 4, terdapat juga
TLR2 dan TLR5 yang berperan sebagai respon imun tubuh. Ketika level
leptospiremia tinggi saat infeksi, sistem innate immune dalam tubuh memicu
terjadinya respon infeksi secara sistemik yang mengakibatkan sepsis-like syndrome
atau organ failure.
Fase imunitas terjadi setelah minggu ke dua paska infeksi, mekanisme resistensi
6
pada inang diperantarai oleh sistem imun humoral (IgM dan IgG). TLR4 dapat
memicu produksi IgM oleh sel B dan akan muncul terlebih dahulu dan menyerang
LPS pada leptospira. Serokonversi terjadi 5 hingga 10 hari setelah onset penyakit.
IgG dan IgM dapat terdeteksi hingga 6 tahun setelah infeksi Leptospira, dan akan
terus berfungsi selama titer antibody cukup.

Multiorgan Failure
Target infeksi adalah ginjal, hati, paru-paru, mata, pembuluh darah, jantung dan
otot lurik. Sindroma Weil’s mendandakan adanya keterlibatan ginjal. Berkurangnya
absorbs sodium dan cairan akibat berkurangnya ekspresi sodium hydrogen
exchanger 3 dapat menyebabkan polyuria. Perubahan histologi pada tubuls
proksimal ginjal juga dapat terjadi, menyebabkan nefritis interstisial, sehingga
terjadi penipisan dan nekrosis pada epitel tubulus dan distensi lumen oleh cast hialin
dan epitel. Dikenalinya struktur LPS oleh TLR2 pada epitel tubulus ginjal, akan
menyebabkan pelepasan nitrous oksida dan protein kemotraktan monosit dan
berakhir dengan terjadinya inflamasi pada tubulus, edema interstisial akibat
berkumpulnya sel limfosit, monosit, sel plasma, dan neutrofil. Hal ini akan berujung
pada kerusakan yang permanen akibat fibrosis apabila tidak mendapatkan terapi
yang tepat8,9.
Kongesti pada sinusoid, serta distensi di ruang Disse yang terdapat diantara
sinusoid dan hepatosit akan menyebabkan kerusakan pada hati. Invasi kuman dan
infiltrasi hepatosit menyebabkan apoptosis pada sel hepar. Kerusakan hepatos akan
berlanjut pada kebocoran empedu dari kanal menuju pembuluh darah sinusoid,
sehingga menyebabkan peningkatan kadar bilirubin direk dalam darah. Peningkatan
bilirubin indirek dapat terjadi akibat hemolysis8.
Dampak pada paru ditandai oleh petechiae pada pleura. 60% pasien yang di
biopsy terdapat gross hemorrhage di permukaan paru, yang dapat juga ditemukan
pada alveolar septum serta ruang antar alveoli. Secara histologis, perdarahan
ditemukan pada septum alveola dan ruang intra-alveolar. Pasien dengan severe
pulmonary hemorrhage syndrome (SPHS) melakukan immunohistokimia pada
jaringan paru-paru, dan menemukan material granular yang menunjukkan antigen
leptospira pada makrofag di septum dan alveoli. Petechiae dapat ditemukan pada
lapisan pleura dan menandakan keterlibatan paru-paru, perdarahan sering terjadi

7
pada kasus diluar paru, dapat juga terjadi abnormalitas koagulasi yang sering terjadi
pada leptospirosis berat. Gejala-gejala SPHS adalah menurunnya kalium,
meningkatnya kreatinin, syok, dan juga Glasgow Coma Scale8.
Weil Disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan icterus, biasanya
disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran, demam tipe kontinu
dan berkurangnya kemampuan pembekuan darah sehingga terjadi perdarahan
dalam jaringan. Gejala awal dari Weil Disease lebih ringan dari leptospirosis.
Pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia. Pada kari ke 3 sampai hari ke-7,
muncul tanda-tanda kerusakan ginjal dan hati. Penderita akan merasakan sakit saat
berkemih atau air kemihnya berdarah. Kerusakan hati biasanya ringan dan akan
sembuh total. Weil Disease ini biasanya terdapat pada 1-6 kasus dengan
leptospirosis. Penyebab Weil Disease adalah serotipe icterohaemorragica, pernah
juga dilaporkan oleh serotipe copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis berupa
gangguan renal, hepatik atau disfungsi vaskular.

2.7 MANIFESTASI KLINIS


Masa inkubasi leptospirosis berlangsung selama 2-30 hari, pada umumnya 7-12
hari dan rata-rata 10 hari, dengan gejala tidak khas. Pada umumnya keluhan
leptospirosis berlangsung dari dari gejala yang ringan hingga berat. Pasien datang
dengan keluhan non spesifik demam mendadak, menggigil dan sakit kepala. Sakit
kepala seringkali sangat berat di daerah frontal, nyeri retro-orbital, serta
photophobia. Gejala seperti myalgia, nyeri pada betis, conjunctival suffusion,
menggigil, nyeri abdomen, sakit kapala, ikterik, oligouria dapat menjadi penanda
gejala leptospira10. Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas (bifasik)
yaitu fase leptospiremia/septikemia dan fase imun.

Fase Leptosperemia / Fase Septikemia (4-7 hari)


Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira di dalam darah cairan
serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala
biasanya di frontal, rasa sakit disertai nyeri tekan pada otot terutama pada paha,
betis dan pingang. Mialgia dapat di ikuti demam tinggi yang disertai mengigil, juga
didapati mual dengan atau tanpa muntah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan

8
keadaan umum pasien tampak sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%).
Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtivitis dan fotophobia. Pada kulit
dapat dijumpai rash yang berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria.
Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini
berlangsung 4-7 hari. Jika cepat di tangani pasien akan membaik, suhu akan
kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali
normal 3-6 minggu setelah onset2,3,9.
Ruam jarang terjadi pada leptospirosis, sehingga dapat menyingkirkan
diagnosis banding seperti dengue atau demam chikungunya. Ruam eritematosa
pada area pretibial pada kedua tungkai bawah akan muncul merupakan sebuah fitur
“Fort Bragg Fever” yang termasuk nyeri kepala, malaise, splenomegaly.8 Sekitar
25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada keadaan sakit berat, dapat didapati
bradikardi relatif, dan ikterus (50%).

Fase imun (minggu ke-2)


Fase imun terjadi 2 minggu setelah onset yang ditandai dengan membaiknya
gejala setelah 1-2 hari fase leptosperemia dengan diikuti berulangnya gejala pada
hari berikutnya. Fase ini disebut fase imun atau leptospiruric sebab antibodi dapat
terdeteksi dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin, namun
tidak dapat ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini muncul
sebagai konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi. Fase ini ditandai
dengan peningkatan titer antibody disertai dengan timbulnya demam hingga
mencapai 40ºC. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut, dan otot
kaki terutama otot betis. Terdapat perdarahn berupa epistaksis, gejala kerusakan
pada ginjal dan hati, uremia dan ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase
ikterik seperti purpura, petekie, epistaksis, dan perdarahan gusi merupakan
manifestasi perdarahan paling sering. Conjunctiva infection dan conjunctival
suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomonis untuk leptospirosis.
Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50% gejala
dan tanda meningitis, tetapi pleiositosos pada CSS dijumpai pada 50% - 90%
pasien. Tanda-tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi
biasanya menghilang dalam 1-2 hari. Pada fase ini, leptospira dapat dijumpai di
dalam urin.

9
2.8 DIAGNOSIS

Anamnesis
Pada saat anamnesis keluhan yang dirasakan dan data epidemiologis penderita
harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan pasien. Identitas pasien
ditanyakan: nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan
terpenting ialah menanyakan hewan peliharaan maupun hewan liar di
lingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis. Tempat tinggal; dari
alamat dapat diketahui apakah tempat tinggal termasuk wilayah padat penduduk,
banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang air maupun lingkungan
kumuh. Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada musim pengujan
lebih-lebih dengan adanya banjir. Keluhan-keluhan khas yang dapat ditemukan,
yaitu: demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu
makan menurun dan merasa mata makin lama bertambah kuning dan sakit otot
hebat terutama daerah betis dan paha(10).

10
Pemeriksaan Fisik
a) Gejala klinik menonjol: ikterik, demam, bradikardia, mialgia, nyeri tekan otot
serta conjungtival suffusion.
b) Gejala klinik yang paling sering ditemukan: conjungtival suffusion dan mialgia
Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hari ke-3
selambatnya hari ke-7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva
unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring, faring
terlihat merah dan bercak-bercak
c) Hepatomegali dan Splenomegali

Pemeriksaan Penunjang1,10

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin


untuk mencari tahu leukocytosis normal atau menurun, hitung jenis leukocyte –
pada leptospirosis seringkali adanya peningkatan neutrofil. Trombosit juga dapat
menurun dengan peningkatan LED. Akibat perdarahan, anemia dapat terjadi berupa
anemia hipokrom mikrositik pada stadium lanjut. Pemeriksaan fungsi hati seperti
SGOT, SGPT, hepatic transaminase, serta serum bilirubin dapat meningkat hingga
mencapai 60-80mg/dL. Kerusakan jaringan otot dapat menyebabkan peningkatan
kreatinin fosfokinase yang dapat mencapai 5 kali dari nilai normal. Pemeriksaa
fungsi ginjal juga harus dilakukan seperti peningkatan ureum kreatinin pada gagal
ginjal akut, disertai pemeriksaan elektrolit untuk melihat gangguan elektrolit pada
stadium lanjut seperti hiponatremia dan hipokalemia.

Pada urinalisis dapat ditemukan proteinuria, pyuria, granular cast, serta


hematuria mikroskopis. Pada pungsi lumbal untuk memeriksa likuor serebrospinal,
dapat ditemukan neutrophilic atau lymphocytic pleiocytosis disertai peningkatan
protein minimal dan konsentrasi glukosa yang normal atau rendah. Pada
pemeriksaan radiologi dapat ditemukan apabila sudah sampai stadium lanjut seperti
komplikasi pada paru, yang dapat ditemukan konsolidasi, ground-glass
appearance, diserta infiltrasi pada perdarahan alveolar, ARDS, dan edema
pulmonal.

11
Pemeriksaan Penunjang Khusus

Diagnosis leptospirosis ditegakkan apabila ada deteksi organisme pada cairan


tubuh atau jaringan, atau dengan isolasi leptospirosis pada kultur, atau mendeteksi
antibody tertentu. Pengambilan spesimen dan uji diagnostic sangatlah bergantung
pada waktu pengambilan dan durasi gejala.

a) Isolasi dan Identifikasi


Isolasi dan identifikasi leptospirosis memerlukan media khusus saat terjadi
fase akut penyakit. Leptosperemia terjadi saat stage awal penyakit, yang dimulai
dari sebelum onset gejala dan biasanya menurun saat akhir dari minggu pertama
pada serangan akut. Waktu pengambilan kultur pada spesimen berbeda
bergantung pada hari akurat saat dimulainya gejala, sehingga history taking
harus dilakukan dengan cermat. Kultur darah harus diambil se-segera mungkin
setelah presentasi gejala. Diagnosa pasti dapat ditegakkan jika dalam waktu 2-
4 minggu terdapat leptospira dalam kultur.

Selain kultur darah, pada minggu pertama dapat juga diambil likuor
serebrospinal dan peritoneal dialysate. Urine dapat diambil pada awal minggu
kedua saat gejala muncul, ekskresi urine dapat berlangsung beberapa minggu,
biasanya menggunakan sterile phosphate buffered saline atau media selektif
yang mengandung 5-fluorouracyl atau antimicrobial agents. Metode molecular
untuk mengidentifkiasi dan subtype dapat dilakukan dengan diagnostic PCR2.

b) Serologi

Pada umumnya, setiap kasus leptospirosis dapat didiagnosis melalui


serologi karena kapasitas kultur dan PCR sangat terbatas. IgM dapat di deteksi
5-7 hari setelah onset gejala.

1. Microscopic Agglutination Test (MAT) ;


Gold standard pemeriksaan serologi adalah MAT (Mikroskopik
Aglutination Test), suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk
mendeteksi titer antibodi aglutinasi. Pemeriksaan serologis ini dilakukan
pada fase akut (hari ke 1-14) dan fase kovalesen (hari ke 14-21). Dugaan
12
diagnosis leptospirosis didapatkan jika titer antibodi > 1:200 dengan gejala
klinis yang mendukung.

Serum pasien direaksikan dengan suspense antigen hidup dari serovar


leptospira. Setelah di inkubasi, campuran serum/antigen diperiksa secara
mikroskopik secara mikroskopik untuk aglutinasi dan titer akan ditentukan.
MAT dapat dilakukan pada hari ke 6-12, dimana fase penyakit masuk ke
fase ke-2. Peningkatan titer 4 kali lipat atau lebih mengkonfirmasi diagnosis
dan tidak bergantung pada interval pengambilan sampel. Apabila gejala
tipikal leptospirosis muncul, maka interval pengabilan sampel adalah 3-5,
namun apabila kejadian onset tidak diketahui secara pasti, maka interval
sampel yang lebih baik adalah diantara 10-14 hari. Serologi MAT tidak
begitu sensitive pada fase akut awal2.

2. IgM Leptospira
IgM ELISA merupakan tes yang berguna untuk mendiagnosis secara
dini, tes akan positif pada hari ke-5 ketika manifestasi klinis mungkin tidak
khas. Tes ini sangat sensitive dan efektif (93%). Diagnosis leptospirosis
didapatkan jika anti-IgM (>15 IU/mL) Tes penyaring yang sering dilakukan
di Indonesia adalah Lepto Dipstik asay, Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek
Lateral Flow(12).

3. Nonspesific Rapid Diagnostic Tests seperti Leptospira Antigen-Antibody


Agglutination Test (LAATS – Leptospira Serology Biorad)
Dapat mendeteksi antibody leptospira pada serum manusia melalui
aglutinasi yang dapat berlangsung bertahun-tahun. Digunakan untuk
screening test namun tidak sensitive dan harus dikonfirmasi melalui MAT.

Mengingat sulitnya konfirmasi diagnosis leptospirosis, dibuatlah sistem skor


yang mencakup parameter klinis, epidemiologis, dan laboratorium yaitu Kriteria
Faine(13). Berdasarkan kriteria Faine yang dimodifikasi, diagnosis presumtif
leptospirosis dapat ditegakkan jika:
1. Part A atau Part A & Part B score: 26 atau lebih
2. Part A, B, C (Total): 25 atau lebih

13
3. Skor 20 – 25 menunjukkan kemungkinan diagnosis leptospirosis tetapi belum
terkonfirmasi

Diagnosis Leptospirosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan


laboratorium. Pembagian kasus dapat dibagi dalam 3 klasifikasi, yaitu :
 Kasus Suspek
Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala, disertai nyeri otot, lemah
(malaise), conjungtival suffision, dan ada riwayat terpapar dengan lingkungan
yang terkontaminasi atau aktifitas yang merupakan faktor risiko leptospirosis
dalam kurun waktu 2 minggu. Faktor risiko tersebut antara lain:

14
 Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman leptospira atau urine tikus
saat terjadi banjir
 Kontak dengan sungai atau danau dalam aktifitas mandi, mencuci atau
bekerja di tempat tersebut
 Kontak dengan persawahan ataupun perkebunan (berkaitan dengan
pekerjaan) yang tidak menggunakan alas kaki
 Pekerjaan atau melakukan kegiatan yang berisiko kontak dengan sumber
infeksi, seperti dokter, dokter hewan, perawat, tim penyelamat atau SAR,
tentara, pemburu, dan para pekerja di rumah potong hewan, toko hewan
peliharaan, perkebunan, pertanian, tambang, serta pendaki gunung, dan lain-
lain.

 Kasus Probable
Dinyatakan kasus probable di mana kasus suspect memiliki dua gejala klinis
di antara tanda-tanda berikut:
 Nyeri betis
 Ikterus atau jaundice merupakan kondisi medis yang ditandai dengan
menguningnya kulit dan sklera (bagian putih pada bola mata)
 Manifestasi pendarahan
 Sesak nafas
 Oliguria atau anuria, yakni ketidakmampuan untuk buang air kecil
 Aritmia jantung

Selain itu, memiliki gambaran laboratorium:


 Trombositopenia < 100.000 sel/mm;
 Leukositosis dengan neutropilia > 80%
 Kenaikan jumlah bilirubin total > 2 gr% atau peningkatan SGPT, amilase,
lipase, dan creatin phosphokinase (CPK)
 penggunaan rapid diagnostic test (RDT) untuk mendeteksi imunoglobulin
M (IgM) anti leptospira.

15
 Kasus Konfirmasi

Dinyatakan sebagai kasus konfirmasi di saat kasus probable disertai salah


satu dari gejala berikut:
 Isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik
 Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) positif
 Sero konversi microscopic agglutination test (MAT) dari negatif menjadi
positif.

2.9 DIAGNOSIS BANDING

Leptospirosis dapat di diagnosis banding dengan(14):


 Influenza
 Demam berdarah dengue
 Malaria
 Pielonefritis
 Meningitis aseptik viral
 Demam tifoid
 Hepatitis virus

2.10 TATALAKSANA

Leptospirosis pada umumnya berlangsung ringan dan membaik secara spontan.


Inisiasi antibiotik dapat mencegah keadaan pasien memburuk. Identifikasi
leptospirosis pada fase awal merupakan langkah diagnosis yang penting dan
bergantung pada kecurigaan berdasarkan faktor risiko pasien, riwayat pajanan, serta
tanda dan gejala yang muncul. Rapid diagnostic test sangat berkembang, namun
hasil negatif tidak dapat menyingkirkan infeksi awal. Dengan alasan tersebut, terapi
empiris harus dimulai secepatnya setelah diagnosis leptospirosis menjadi
kecurigaan.

Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin apabila kemungkinan


diagnosis leptospirosis sudah dapat ditegakkan. Biasanya pemberian obat dalam 7
hari setelah onset cukup efektif dan memberikan hasil yang baik. Untuk
16
leptospirosis ringan, dapat diberikan doksisiklin 100 mg 2 kali sehari, dan jika tidak
tersedia dapat diberikan pilihan alternatif yaitu amoksisilin 500 mg diberikan 4 kali
sehari atau ampisilin 500 – 750 mg diberikan 4 kali sehari. Terapi pada kasus
leptospirosis berat dapat diberikan pencillin G 1.5 juta unit setiap 6 jam secara
intravena, ampicillin 1 gram secara intravena setiap 6 jam, atau amoksisilin 1 gram
secara intravenasetiap 6 jam. Pencegahan infeksi dengan pemberian antibiotic
profilaksis dapat menggunakan doksisiklin 200 mg 1 kali seminggu, dapat
bermanfaat pada orang-orang berisiko tinggi untuk periode singkat, misalnya
anggota militer dan pekerja agrikultur tertentu. Antibiotic diberikan 1-2 hari
sebelum paparan dan dilanjutkan selama periode paparan.

Leptospirosis Ringan Leptospirosis Berat

Doksisiklin oral 2 x 100mg selama 7 hari Penisilin G IV 1,5 juta unit/6 jam selama 7
hari

Amoksisilin oral 4 x 500mg selama 7 hari Seftriakson IV 1gr/24 jam selama 7 hari

Ampisilin oral 4 x 500-750mg selama 7 hari Doksisiklin IV 100 mg/12 jam selama 7 hari

Azitromisin oral 1 x 1 gr pada hari hari Amoksisilin IV 1gr/6 jam selama 7 hari
pertama, selanjutnya 1x 500mg pada hari
kedua dan ketiga

Ampisilin IV 1gr/6 jam selama 7 hari

Sefotaksim IV 1 gr/6 jam selama 7 hari

Terapi suportif dibutuhkan oleh pasien yang menderita gejala sistemik seperti
gejala gagal organ. Monitor tanda-tanda vital, status volume, fungsi jantung,
koagulopati, koreksi keadaan elektrolit. Pasien gagal napas membutuhkan ventilasi
mekanik. Pasien dengan masalah dinjal akut membutuhkan dialisis untuk mengatasi
kelebihan cairan, asidosis, dan hiperkalemia. Pemeriksaan fungsi jantung juga harus
dilakukan untuk melihat tanda-tanda aritmia dan gagal jantung.

Pencegahan

17
Pencegahan terhadap infeksi leptospirosis dapat dilakukan dengan
meningkatkan kewaspadaan terhadap penularan, dan faktor-faktor epidemiologi
dari leptospirosis. Leptospirosis berhubungan erat dengan kemiskinan dan paparan
terhadap kondisi lingkungan seperti hama tikus, banjur, sampah, dan genangan air.
Pengendalian hama tikus dapat dilakukan dengan penggunaan zat-zat yang dapat
membunuh hama sehingga mengurangi resiko transmisi. Aliran air di daerah
perumahan padat harus dilakukan pemeriksaan untuk menghindari terjadinya
penyumbatan yang dapat menyebabkan genangan air. Program penanggulangan
banjir melibatkan pemerintah dan strategi penanggulangan banjir harus dipikirkan.
Pada pekerja yang beresiko tinggi seperti peternak dan petani harus menggunakan
perlengkapan pelindung ang baik seperti sarung tangan, sepatu boot, dan kacamata.

Penccegahan leptospirosispada daerah tropis sulit dilakukan karena banyaknya


hewan perantara serta jenis serotype untuk dihapuskan. Bagi mereka yang memiliki
resiko tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan khusus yang
dapat melindungi dari kontak dengan bahan-bahan yang terkontaminasi dengan
kemih binatang reservoir. Pemberian doksisiklin 2x100 mg dikatakan bermanfaat
untuk mengurangi serangan leptospirosis bagi mereka yang resiko tinggi dan
terpapar dalam waktu singkat(15).

Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka reservoir sudah lama


direkomendasikan, tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil dilakukan,
masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

2.11 KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

Komplikasi yang dapat terjadi pada leptospirosis adalah gagal ginjal akut,
perdarahan paru, syok, perdarahan gastrointestinal, gagal hati, miokarditis,
ensefalopati, dan uveitis. Komplikasi disebabkan baik oleh destruksi secara
langsung oleh bakteri dan reksi imun terhadap bakteri tersebut2,3. Pada penyakit
ringan mortalitas leptospirosis rata-rata 15% dan dapat meningkat menjadi 50%
pada usia diatas 50 tahun. Prognosis bergantung pada tingkat keparahan penyakit.
Penyakit yang ringan biasanya akan sembuh sendiri tanpa meninggalkan gejala sisa.
Berbagai prediktor yang memprediksi morbiditas dan mortalitas pada pasien adalah

18
status mental dengan gejala defisit fokal, oligouria, usia diatas 36 tahun, gagal
nafas, infiltrat pada paru, ketidak normalan pada ekg, WBC diatas 12.000/mm3,
gagal ginjal akut, hipotensi, dan aritmia.

19
BAB III
KESIMPULAN

Leptospirosis merupakan suatu penyakit zoonotic yang disebabkan oleh kuman


Leptospira yang bersifat endemic di negara beriklim tropis. Prevalensinya di Indonesia masih
cukup tinggi, Indonesia menduduki posisi ketiga insidens terbanyak di dunia. Dalam
penularannya, hewan pengerat terutama tikus menjadi reservoir utamanya. Faktor resiko
Leptospirosis dibagi menjadi faktor epidemiologi seperti sanitasi dan kepadatan penduduk,
faktor penjamu seperti usia dan kerentanan individu, serta faktor pathogen seperti faktor
virulensi dan kemampuan survival pathogen pada inang. Kuman leptospira dapat masuk ke
dalam tubuh pejamu melalui luka terbuka, abrasi, ataupun melalui membran mukus seperti
konjungtiva, oral, atau genital. Kuman juga dapat masuk melalui kontak tidak langsung dengan
air dan tanah yang terkontaminasi.
Masa inkubasi leptospirosis berlangsung selama 2-30 hari, pada umumnya 7-12 hari
dan rata-rata 10 hari, dengan gejala tidak khas. Gejala seperti myalgia, nyeri pada betis,
conjunctival suffusion, menggigil, nyeri abdomen, sakit kapala, ikterik, oligouria dapat
menjadi penanda gejala leptospira. Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas
(bifasik) yaitu fase leptospiremia/septikemia dan fase imun. Tatalaksana untuk penyakit ini
terdiri dari pemberian antibiotic dan tatalaksana suportif. Penting untuk dapat mendiagnosis
dan menatalaksana penyakit ini sedini mungkin, karena apabila tidak ditangani dengan tepat
sejak dini maka dapat menyebabkan multiorgan failure dan bahkan kematian.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. “Human Leptospirosis: Guadiance For Diagnostic, Survilance, And


Control”. International Leptospirosis society. 2003. Web. 23 July 2017. Diakses di:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/42667/1/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23
.pdf
2. Haake, David A., and Paul N. Levett. “Leptospirosis in Humans.” Current topics in
microbiology and immunology 387 (2015): 65–97. PMC. Web. 23 July 2017.
3. Dat, Nick. “ Epidemiology, Microbiology, Clinical Manifestation, and Diagnosis of
Leptospirosis”. Uptodate. Web. 23 July 2017
4. Costa, Federico et al. “Global Morbidity and Mortality of Leptospirosis: A
Systematic Review.” Ed. Pamela L. C. Small. PLoS Neglected Tropical Diseases
9.9 (2015): e0003898. PMC. Web. 23 July 2017.
5. WHO. “Leptospirosis Situation in the WHO-South East Asia Region”. International
. 2011. Web. 23 July 2017. Diakses di:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/42667/1/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23
.pdf
6. Mohammed H, Nozha C, Hakim K, Abdelaziz F, Rekia B (2011) LEPTOSPIRA:
Morphology, Classification and Pathogenesis. J Bacteriol Parasitol 2:120. doi:
10.4172/2155-9597.1000120
7. Evangelista, Karen V, and Jenifer Coburn. “Leptospira as an Emerging Pathogen:
A Review of Its Biology, Pathogenesis and Host Immune Responses.” Future
microbiology 5.9 (2010): 1413–1425. PMC. Web. 23 July 2017.
8. Viriyakosol, Suganya et al. “Toll-Like Receptor 4 Protects against Lethal
Leptospira Interrogans Serovar Icterohaemorrhagiae Infection and Contributes to
In Vivo Control of Leptospiral Burden .” Infection and Immunity 74.2 (2006): 887–
895. PMC. Web. 23 July 2017.Gonçalves-de-Albuquerque, C. F. et al. “ Leptospira
and Inflammation.” Mediators of Inflammation 2012 (2012): 317950. PMC. Web.
23 July 2017.
9. Faridah S. “ Guidlines for the Diagnosis, Management, Prevention, and Control Of
Leptospirosis in Malaysia”. 1st ed. 2011: Malaysia. Web. 23 July 2017. Diakses di:
http://philchest.org/v3/wp-content/uploads/2013/05/Leptospirosis-CPG-2010.pdf

21
10. Sandra G Gompf. “Leptospirosis”. Emedicine. 2017. Web. 23 july 2017. Diakses
di: http://emedicine.medscape.com/article/220563-overview
11. Guzman N. “Leptospirosis”. Epocrates. 2017. Web. 23 July 2017. Diakses di:
https://online.epocrates.com/diseases/91342/Leptospirosis/Treatment-Options

22

Anda mungkin juga menyukai