LEPTOSPIROSIS
Disusun oleh:
Theresia Loelita
01073170047
Preceptor:
dr. Nata Pratama, SpPD
TANGERANG
DAFTAR ISI
I. DEFINISI ...................................................................................................... 3
V. PATOGENESIS .............................................................................................. 5
VI. PATOFISIOLOGI............................................................................................ 6
X. TATALAKSANA ........................................................................................... 16
i
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang endemic terhadap penyakit infeksi
leptospirosis. Hal ini dikarenakan di Indonesia masih cukup sering terjadi banjir. Selain itu
faktor-faktor lain yang juga menjadi faktor risiko terjadinya infeksi ini di Indonesia yaitu,
angka kemiskinan yang masih cukup tinggi, pemukiman warga yang padat dengan sanitasi
buruk, serta tingkat edukasi yang masih cenderung rendah. Sebagai negara agraris, di
Indonesia juga masih banyak penduduk Indonesia yang juga bekerja sebagai petani, yang
merupakan salah satu profesi yang rentan untuk terkena infeksi ini.4
Gejala awal dari infeksi leptospira tidak begitu khas, sehingga menyebabkan seringkali
tidak terdiagnosis dengan baik. Apabila tidak mendapatkan tatalaksana dini, infeksi ini dapat
berubah menjadi berat dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Angka mortalitas dari
infeksi leptospirosis ini cukup tinggi, bahkan mencapai 50% pada usia diatas 50 tahun.
(Masniari poengan, peneliti dari Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor 2007)
Maka dari itu, sangat penting untuk dapat mengetahui lebih dalam mengenai infeksi
leptospirosis ini sehingga dapat menatalaksana dengan baik dan mencegah terjadinya
kematian akibat infeksi leptorspirosis.
ii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Spirochaeta ini pertama kali diisolasi di Jepang oleh Inada setelah sebelumnya
digambarkan oleh Adolf Weil pada tahun 1886. Weil menemukan bahwa penyakita
ini menyerang manusia dengan gejala demam, icterus, pembesaran hati dan limpa,
serta kerusakan ginjal.
2.2 EPIDEMIOLOGI
3
maupun di dunia, karena masih banyak kejadian yang belum terdokumentasi
dengan baik.
2.3 ETIOLOGI
Kuman Leptospira terdapat pada 160 spesies hewan, terutama hewan pengerat
serta hewan ternak lainnya seperti anjing, kuda, kambing, dan domba tanpa
manifestasi klinis yang fatal. Tikus adalah reservoir utama pada transmisi kuman
leptospira, tikus yang paling sering menjadi reservoir adalah tikus coklat Rattus
norvegicus2.
Leptospirae spp. Bersifat patogenik dan saprofit. Genus leptospira terdiri dari
L. interrogans (pathogen) dan L.biflexa (non-patogen, saprofit). L. Interrogans
hidup pada tubulus ginjal reservoirnya, menyebabkan penyakit pada hewan atau
manusia. Spesis L. Interrogans terdiri dari beberapa serogrup dan serovar menurut
komposisi antigen. Pembagian tersebut dikelompokan menurut Lipopolisakarida
(LPS, struktur patogenik) pada dinding bakteri3,6. Serovar L. interrogans yang
bersifat patogenik paling sering adalah L. Icterohemorrhagiae, dan yang lainnya
seperti L. borgpetersenii, L. weilli, L. santarosai, merupakan beberapa genus
lainnya dari 24 serogrup yang bersifat patogenik.
4
tinggal, kondisi cuaca, musim, dan kepadatan penduduk. Faktor penjamu adalah
faktor usia, kerentanan genetic, integritas kulit, dan bahan protektif (sarung tangan,
baju, dll). Faktor pathogen adalah faktor pada Leptospira penginfeksi, termasuk
jumlah dan cara penularan, tergantung faktor virulensi dan kemampuan survival
pathogen pada inang.
2.5 PATOGENESIS
Kuman leptospira masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka terbuka, abrasi,
ataupun melalui membran mukus seperti konjungtiva, oral, atau genital. Kuman
juga dapat masuk melalui kontak tidak langsung dengan air dan tanah yang
terkontaminasi. Infeksi melalui selaput lendir lambung jarang terjadi, karena ada
asam lambung yang mematikan kuman leptospira. Individu dengan pekerjaan
seperti petani, peternak, pekerja tambang, ilmuan(8) terhadap hewan memiliki risiko
terpapar secara langung leptospirosis. Kuman leptospira yang tidak virulen gagal
bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah
satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan
jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal
pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan penyakit1-3.
5
2.6 PATOFISIOLOGI
Tahap awal setelah memasuki inang adalah penyebaran hematogen. Pada fase
leptosperemia, Leptospira bertahan di dalam darah, dan dapat diinokulasi dan
dibiakan pada medium khusus. Analisa PCR kuantitatif akan positif dalam 8 hari
pertama onset demam.
Pada PCR kuantitatif, level patogen leptospirosis yang terdeteksi cukup tinggi,
yaitu dapat mencapai 106/ml darah. Level patogen yang tinggi baru bisa terdeteksi
dikarenakan respon imun manusia terhadap Leptospiral. Pada leptospirosis,
komponen lipid leptospiral (LPS) memiliki residu metil fosfat yang unik, sehingga
sulit untuk terdeteksi dengan TLR4 dalam jumlah sedikit. Pada tikus, TLR4 jauh
lebih responsif sehingga membuat tikus menjadi resisten terhadap infeksi
leptospira. Perbedaan patogenesis antara manusa dengan tikus membuat manusia
menjadi penjamu kebetulan yang memiliki akibat fatal. Selain TLR 4, terdapat juga
TLR2 dan TLR5 yang berperan sebagai respon imun tubuh. Ketika level
leptospiremia tinggi saat infeksi, sistem innate immune dalam tubuh memicu
terjadinya respon infeksi secara sistemik yang mengakibatkan sepsis-like syndrome
atau organ failure.
Fase imunitas terjadi setelah minggu ke dua paska infeksi, mekanisme resistensi
6
pada inang diperantarai oleh sistem imun humoral (IgM dan IgG). TLR4 dapat
memicu produksi IgM oleh sel B dan akan muncul terlebih dahulu dan menyerang
LPS pada leptospira. Serokonversi terjadi 5 hingga 10 hari setelah onset penyakit.
IgG dan IgM dapat terdeteksi hingga 6 tahun setelah infeksi Leptospira, dan akan
terus berfungsi selama titer antibody cukup.
Multiorgan Failure
Target infeksi adalah ginjal, hati, paru-paru, mata, pembuluh darah, jantung dan
otot lurik. Sindroma Weil’s mendandakan adanya keterlibatan ginjal. Berkurangnya
absorbs sodium dan cairan akibat berkurangnya ekspresi sodium hydrogen
exchanger 3 dapat menyebabkan polyuria. Perubahan histologi pada tubuls
proksimal ginjal juga dapat terjadi, menyebabkan nefritis interstisial, sehingga
terjadi penipisan dan nekrosis pada epitel tubulus dan distensi lumen oleh cast hialin
dan epitel. Dikenalinya struktur LPS oleh TLR2 pada epitel tubulus ginjal, akan
menyebabkan pelepasan nitrous oksida dan protein kemotraktan monosit dan
berakhir dengan terjadinya inflamasi pada tubulus, edema interstisial akibat
berkumpulnya sel limfosit, monosit, sel plasma, dan neutrofil. Hal ini akan berujung
pada kerusakan yang permanen akibat fibrosis apabila tidak mendapatkan terapi
yang tepat8,9.
Kongesti pada sinusoid, serta distensi di ruang Disse yang terdapat diantara
sinusoid dan hepatosit akan menyebabkan kerusakan pada hati. Invasi kuman dan
infiltrasi hepatosit menyebabkan apoptosis pada sel hepar. Kerusakan hepatos akan
berlanjut pada kebocoran empedu dari kanal menuju pembuluh darah sinusoid,
sehingga menyebabkan peningkatan kadar bilirubin direk dalam darah. Peningkatan
bilirubin indirek dapat terjadi akibat hemolysis8.
Dampak pada paru ditandai oleh petechiae pada pleura. 60% pasien yang di
biopsy terdapat gross hemorrhage di permukaan paru, yang dapat juga ditemukan
pada alveolar septum serta ruang antar alveoli. Secara histologis, perdarahan
ditemukan pada septum alveola dan ruang intra-alveolar. Pasien dengan severe
pulmonary hemorrhage syndrome (SPHS) melakukan immunohistokimia pada
jaringan paru-paru, dan menemukan material granular yang menunjukkan antigen
leptospira pada makrofag di septum dan alveoli. Petechiae dapat ditemukan pada
lapisan pleura dan menandakan keterlibatan paru-paru, perdarahan sering terjadi
7
pada kasus diluar paru, dapat juga terjadi abnormalitas koagulasi yang sering terjadi
pada leptospirosis berat. Gejala-gejala SPHS adalah menurunnya kalium,
meningkatnya kreatinin, syok, dan juga Glasgow Coma Scale8.
Weil Disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan icterus, biasanya
disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran, demam tipe kontinu
dan berkurangnya kemampuan pembekuan darah sehingga terjadi perdarahan
dalam jaringan. Gejala awal dari Weil Disease lebih ringan dari leptospirosis.
Pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia. Pada kari ke 3 sampai hari ke-7,
muncul tanda-tanda kerusakan ginjal dan hati. Penderita akan merasakan sakit saat
berkemih atau air kemihnya berdarah. Kerusakan hati biasanya ringan dan akan
sembuh total. Weil Disease ini biasanya terdapat pada 1-6 kasus dengan
leptospirosis. Penyebab Weil Disease adalah serotipe icterohaemorragica, pernah
juga dilaporkan oleh serotipe copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis berupa
gangguan renal, hepatik atau disfungsi vaskular.
8
keadaan umum pasien tampak sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%).
Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtivitis dan fotophobia. Pada kulit
dapat dijumpai rash yang berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria.
Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini
berlangsung 4-7 hari. Jika cepat di tangani pasien akan membaik, suhu akan
kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali
normal 3-6 minggu setelah onset2,3,9.
Ruam jarang terjadi pada leptospirosis, sehingga dapat menyingkirkan
diagnosis banding seperti dengue atau demam chikungunya. Ruam eritematosa
pada area pretibial pada kedua tungkai bawah akan muncul merupakan sebuah fitur
“Fort Bragg Fever” yang termasuk nyeri kepala, malaise, splenomegaly.8 Sekitar
25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada keadaan sakit berat, dapat didapati
bradikardi relatif, dan ikterus (50%).
9
2.8 DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada saat anamnesis keluhan yang dirasakan dan data epidemiologis penderita
harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan pasien. Identitas pasien
ditanyakan: nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan
terpenting ialah menanyakan hewan peliharaan maupun hewan liar di
lingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis. Tempat tinggal; dari
alamat dapat diketahui apakah tempat tinggal termasuk wilayah padat penduduk,
banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang air maupun lingkungan
kumuh. Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada musim pengujan
lebih-lebih dengan adanya banjir. Keluhan-keluhan khas yang dapat ditemukan,
yaitu: demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu
makan menurun dan merasa mata makin lama bertambah kuning dan sakit otot
hebat terutama daerah betis dan paha(10).
10
Pemeriksaan Fisik
a) Gejala klinik menonjol: ikterik, demam, bradikardia, mialgia, nyeri tekan otot
serta conjungtival suffusion.
b) Gejala klinik yang paling sering ditemukan: conjungtival suffusion dan mialgia
Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hari ke-3
selambatnya hari ke-7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva
unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring, faring
terlihat merah dan bercak-bercak
c) Hepatomegali dan Splenomegali
Pemeriksaan Penunjang1,10
11
Pemeriksaan Penunjang Khusus
Selain kultur darah, pada minggu pertama dapat juga diambil likuor
serebrospinal dan peritoneal dialysate. Urine dapat diambil pada awal minggu
kedua saat gejala muncul, ekskresi urine dapat berlangsung beberapa minggu,
biasanya menggunakan sterile phosphate buffered saline atau media selektif
yang mengandung 5-fluorouracyl atau antimicrobial agents. Metode molecular
untuk mengidentifkiasi dan subtype dapat dilakukan dengan diagnostic PCR2.
b) Serologi
2. IgM Leptospira
IgM ELISA merupakan tes yang berguna untuk mendiagnosis secara
dini, tes akan positif pada hari ke-5 ketika manifestasi klinis mungkin tidak
khas. Tes ini sangat sensitive dan efektif (93%). Diagnosis leptospirosis
didapatkan jika anti-IgM (>15 IU/mL) Tes penyaring yang sering dilakukan
di Indonesia adalah Lepto Dipstik asay, Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek
Lateral Flow(12).
13
3. Skor 20 – 25 menunjukkan kemungkinan diagnosis leptospirosis tetapi belum
terkonfirmasi
14
Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman leptospira atau urine tikus
saat terjadi banjir
Kontak dengan sungai atau danau dalam aktifitas mandi, mencuci atau
bekerja di tempat tersebut
Kontak dengan persawahan ataupun perkebunan (berkaitan dengan
pekerjaan) yang tidak menggunakan alas kaki
Pekerjaan atau melakukan kegiatan yang berisiko kontak dengan sumber
infeksi, seperti dokter, dokter hewan, perawat, tim penyelamat atau SAR,
tentara, pemburu, dan para pekerja di rumah potong hewan, toko hewan
peliharaan, perkebunan, pertanian, tambang, serta pendaki gunung, dan lain-
lain.
Kasus Probable
Dinyatakan kasus probable di mana kasus suspect memiliki dua gejala klinis
di antara tanda-tanda berikut:
Nyeri betis
Ikterus atau jaundice merupakan kondisi medis yang ditandai dengan
menguningnya kulit dan sklera (bagian putih pada bola mata)
Manifestasi pendarahan
Sesak nafas
Oliguria atau anuria, yakni ketidakmampuan untuk buang air kecil
Aritmia jantung
15
Kasus Konfirmasi
2.10 TATALAKSANA
Doksisiklin oral 2 x 100mg selama 7 hari Penisilin G IV 1,5 juta unit/6 jam selama 7
hari
Amoksisilin oral 4 x 500mg selama 7 hari Seftriakson IV 1gr/24 jam selama 7 hari
Ampisilin oral 4 x 500-750mg selama 7 hari Doksisiklin IV 100 mg/12 jam selama 7 hari
Azitromisin oral 1 x 1 gr pada hari hari Amoksisilin IV 1gr/6 jam selama 7 hari
pertama, selanjutnya 1x 500mg pada hari
kedua dan ketiga
Terapi suportif dibutuhkan oleh pasien yang menderita gejala sistemik seperti
gejala gagal organ. Monitor tanda-tanda vital, status volume, fungsi jantung,
koagulopati, koreksi keadaan elektrolit. Pasien gagal napas membutuhkan ventilasi
mekanik. Pasien dengan masalah dinjal akut membutuhkan dialisis untuk mengatasi
kelebihan cairan, asidosis, dan hiperkalemia. Pemeriksaan fungsi jantung juga harus
dilakukan untuk melihat tanda-tanda aritmia dan gagal jantung.
Pencegahan
17
Pencegahan terhadap infeksi leptospirosis dapat dilakukan dengan
meningkatkan kewaspadaan terhadap penularan, dan faktor-faktor epidemiologi
dari leptospirosis. Leptospirosis berhubungan erat dengan kemiskinan dan paparan
terhadap kondisi lingkungan seperti hama tikus, banjur, sampah, dan genangan air.
Pengendalian hama tikus dapat dilakukan dengan penggunaan zat-zat yang dapat
membunuh hama sehingga mengurangi resiko transmisi. Aliran air di daerah
perumahan padat harus dilakukan pemeriksaan untuk menghindari terjadinya
penyumbatan yang dapat menyebabkan genangan air. Program penanggulangan
banjir melibatkan pemerintah dan strategi penanggulangan banjir harus dipikirkan.
Pada pekerja yang beresiko tinggi seperti peternak dan petani harus menggunakan
perlengkapan pelindung ang baik seperti sarung tangan, sepatu boot, dan kacamata.
Komplikasi yang dapat terjadi pada leptospirosis adalah gagal ginjal akut,
perdarahan paru, syok, perdarahan gastrointestinal, gagal hati, miokarditis,
ensefalopati, dan uveitis. Komplikasi disebabkan baik oleh destruksi secara
langsung oleh bakteri dan reksi imun terhadap bakteri tersebut2,3. Pada penyakit
ringan mortalitas leptospirosis rata-rata 15% dan dapat meningkat menjadi 50%
pada usia diatas 50 tahun. Prognosis bergantung pada tingkat keparahan penyakit.
Penyakit yang ringan biasanya akan sembuh sendiri tanpa meninggalkan gejala sisa.
Berbagai prediktor yang memprediksi morbiditas dan mortalitas pada pasien adalah
18
status mental dengan gejala defisit fokal, oligouria, usia diatas 36 tahun, gagal
nafas, infiltrat pada paru, ketidak normalan pada ekg, WBC diatas 12.000/mm3,
gagal ginjal akut, hipotensi, dan aritmia.
19
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
21
10. Sandra G Gompf. “Leptospirosis”. Emedicine. 2017. Web. 23 july 2017. Diakses
di: http://emedicine.medscape.com/article/220563-overview
11. Guzman N. “Leptospirosis”. Epocrates. 2017. Web. 23 July 2017. Diakses di:
https://online.epocrates.com/diseases/91342/Leptospirosis/Treatment-Options
22