Anda di halaman 1dari 15

KULTUR JARINGAN

TANAMAN TRANSGENIK

Oleh :
Nur Rahmah Awaliyah

(14222123)

Okvita Sugiarti

(14222126)

Dosen Pembimbing :
Riri Novitasari Sunarti

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
RADEN FATAH PALEMBANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk dunia khususnya di Negara maju seperti,
Jerman, Jepang, dan Italia menunjukkan angka yang sangat rendah. Disisi
lain, Negara-negara yang sedang berkembang tingkat pertumbuhan
penduduknya relatif tinggi bahkan diperkirakan mencapai lebih setengah
milyar manusia Cina pada tahun 2030. Demikian juga di Negara-negara
seperti Pakistan dan India menyumbangkan jumlah penduduk yang cukup
tinggi. Sementara Indonesia diproyeksikan mempunyai jumlah penduduk
sekitar 307 juta. Gambaran tersebut tentunya akan menjadi perhatian yang
serius bagi kita semua jika penduduk tersebut mengkonsumsi bahan pangan
padi-padian.
Pada tahun 1950-an hampir semua Negara di dunia baik kala itu
berstatus sebagai Negara masih belum maju dan maju hampir boleh
dikatakan tidak mempunyai masalah tentang pangan mereka. Bahkan
Indonesia pada tahun 1984-an Negara kita swasembada pangan. Demikian
juga pada tahun 1990-an ada beberapa Negara mengalami kekurangan
pangan walaupun nampaknya kekurangan pangan tersebut terkonsentrasi di
Negara-negara Asia (Misal; India,China,Banglades) dan Negara-negara
Afrika. Kelanjutan akan difisit pangan dunia tersebut, nampaknya akan tetap
berlanjut pada tahun 2030, sehingga antisipasi tentang hal itu harus sedini
mungkin diantisipasi secara positif. Hal ini tidak boleh hanya menyangkut
departemen pertanian yang harus bertanggungjawab. Karena usaha
peningkatan produksi padi-padian tidak akan berarti apa-apa manakala laju
pertumbuhan penduduk tidak dapat dikendalikan (diatur) dengan baik. Ini
berarti jumlah penduduk harus tumbuh, tetapi dalam presentase (%) yang
tidak mengkhawatirkan.
Dengan demikian usaha-usaha nyata untuk meningkatkan kualitas
manusia Indonesia dari sisi pendidikan dan kesehatan juga harus dilakukan
secara bersama-sama dengan sektor atau bidang-bidang yang lain.Untuk
mengatasi kemungkinan terjadinya krisis pangan dikarenakan jumlah

penduduk yang akan meningkat dimasa datang, maka keluarga berencana


akan menjadi salah satu alternatif yang cukup menjanjikan untuk membantu
mengatasinya. Tetapi apabila usaha peningkatan kuantitas dan kualitas
produk padi-padian mengalami kendala misalnya timbul penyakit yang sulit
di basmi, seperti virus, maka kita sebaiknya tidak alergi untuk turut serta
menerapkan penerapan bioteknologi modern/ molekuler, disamping caracara klasik juga perlu terus dikembangkan.
Teknologi baru yang telah banyak diterapkan dalam pemuliaan tanaman
seperti kultur jaringan dan DNA rekombinan merupakan teknologi yang
memberikan harapan untuk memenuhi kebutuhan pangan di masa depan.
Perkembangan bio-teknologi ini sangat melaju pesat dengan banyaknya
penelitian yang di lakukan di pusat-pusat penelitian di luar negeri maupun
Indonesia (Henuhili, 2005).
Tanaman transgenik adalah salah satu produk bioteknologi yang
menguntungkan di sisi peningkatan kualitas, kualitas maupun keamanan
lingkungan, tetapi juga menimbulkan resikok pro dan kontra baik di negaranegara penghasil produk bioteknologi tersebut maupun negara pemakai
(Henuhili, 2005).
Jadi yang melatarbelakangi makalah ini adalah agar mahasiswa dapat
melakukan tahap optimasi bagi aplikasi kultur jaringan dengan cara
mengetahui optimasi, diversifikasi fungsi dan produksi pada tanaman
transgenik.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah dapat mengetahui:
1. Apa itu tanaman transgenik?
2. Bagaimana teknik rekayasa genetik untuk menghasilkan tanaman
transgenik?
3. Apa fungsi tanaman transgenik?
4. Dampak positif dan negatif dari tanaman transgenik?

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Transgenik

Tanaman transgenik adalah merupakan aplikasi bioteknologi pada


tanaman yang telah direkayasa bentuk maupun kualitasnya melalui
penyisipan gen atau DNA binatang, bakteri, mikroba, atau virus untuk
tujuan tertentu. Organisme transgenik adalah organisme yang mendapatkan
pindahan gen dari organisme lain.
Gen yang ditransfer dapat berasal dari jenis (spesies) lain seperti
bakteri, virus, hewan, atau tanaman lain. Untuk membuat suatu tanaman
transgenik, pertama-tama dilakukan identifikasi atau pencarian gen yang
akan menghasilkan sifat tertentu (sifat yang diinginkan). Gen yang
diinginkan dapat diambil dari tanaman lain, hewan, cendawan, atau bakteri.
Setelah gen yang diinginkan didapat maka dilakukan perbanyakan gen yang
disebut dengan istilah kloning gen. Pada tahapan kloning gen, DNA asing
akan dimasukkan ke dalam vektor kloning (agen pembawa DNA),
contohnya plasmid (DNA yang digunakan untuk transfer gen).Kemudian,
vektor kloning akan dimasukkan ke dalam bakteri sehingga DNA dapat
diperbanyak seiring dengan perkembangbiakan bakteri tersebut. Apabila gen
yang diinginkan telah diperbanyak dalam jumlah yang cukup maka akan
dilakukan transfer gen asing tersebut ke dalam sel tumbuhan yang berasal
dari bagian tertentu, salah satunya adalah bagian daun.
Menurut Herman (1996), Teknologi transfer gen dibedakan menjadi
dua, yaitu langsung dan tidak langsung. Contoh transfer gen secara langsung
adalah penembakan eksplan gen dengan gene gun atau divortex dengan
silicon carbide (karbid silikon) dan perlakuan pada protoplas tanaman
dengan elektroporasi atau dengan polyethylene glycol (PEG). Sedangkan
transfer gen secara tidak langsung adalah melalui vector Agrobacterium.
2.2 Transfer gen secara langsung
1. Penembakan Partikel
Metode ini sering digunakan pada spesies jagung dan padi.Untuk
melakukannya, digunakan senjata yang dapat menembakkan mikroproyektil berkecepatan tinggi ke dalam sel tanaman. Mikro-proyektil
tersebut akan mengantarkan DNA untuk masuk ke dalam sel tanaman.
Penggunaan senjata gen memberikan hasil yang bersih dan aman,
meskipun ada kemungkinan terjadi kerusakan sel selama penembakan

berlangsung. Teknik paling modern dalam transformasi tanaman adalah


penggunaan metode penembakan partikel atau gene gun. Metode
transfer gen ini dioperasikan secara fisik dengan menembakkan partikel
DNA-coated langsung ke sel atau jaringan tanaman (Klein et al., 1988).
Dengan cara demikian, partikel dan DNA yang ditambahkan
menembus dinding sel dan membran, kemudian DNA melarut dan
tersebar dalam sel secara independen. Telah didemonstrasikan bahwa
teknik ini efektif untuk mentransfer gen pada bermacam-macam
eksplan. Penggunaan penembakan partikel membuka peluang dan
kemungkinan lebih mudah dalam memproduksi tanaman transgenik dari
berbagai spesies yang sebelumnya sukar ditransformasi dengan
Agrobacterium, khususnya tanaman monokotil seperti padi, jagung, dan
turfgrass.

Tahap Metode Penembakan


2. Karbid silikon
Metode transfer gen lain yang kurang umum digunakan dalam
transformasi tanaman tetapi telah dilaporkan berhasil mentransformasi
jagung dan turfgraas adalah penggunaan karbid silikon. Suspensi sel
tanaman yang akan ditransformasi dicampur dengan serat karbid silikon
dan DNA plasmid dari gen yang diinginkan dimasukkan ke dalam

tabung Eppendorf kemudian dilakukan pencampuran dan pemutaran


dengan vortex (Kaeppler et al., 1990). Serat silicon carbide berfungsi
sebagai jarum injeksi mikro (microinjection) untuk memudahkan
transfer DNA ke dalam sel tanaman.
3. Elektroporasi
Metode transfer DNA yang umum digunakan pada tanaman
monokotil adalah elektroporasi dari protoplas, perlakuan poly-ethylene
glycol (PEG) pada protoplas dan kombinasi antara dua perlakuan
tersebut (Joersbo dan Brunstedt, 1991). PEG memudahkan presipitasi
DNA dan membuat kontak lebih baik dengan protoplas, juga melindungi
DNA plasmid mengalami degradasi dari enzim nuclease (Mass dan
Werr, 1989). Sedangkan elektroporasi dengan perlakuan listrik voltase
tinggi menyebabkan permiabilitas tinggi untuk sementara pada membran
sel dengan membentuk pori-pori sehingga DNA mudah penetrasi ke
dalam protoplas. Integritas membran kembali membaik seperti semula
dalam beberapa detik sampai semenit setelah perlakuan listrik. Jagung
dan padi telah berhasil ditransformasi melalui elektroporasi dengan
efisiensi antara 0,1-1%. Kelemahan penggunaan protoplas sebagai
explant untuk transformasi adalah sulitnya regenerasi dari protoplas, dan
ekstra komplikasi, serta variasi somaklonal akibat panjangnya periode
kultur.
Tahap elektroporasi berikutnya, yaitu dikejutkan dengan listrik
tegangan tinggi melalui larutan yang mengandung protoplas. Kejutan
listrik ini menyebabkan membran untuk sementara tidak stabil dengan
membentuk pori-pori kecil. Melalui pori-pori sementara ini, DNA gen
donor dapat disuntikkan. DNA diinjeksikan dalam bentuk transfer
plasmid yang dipindahkan ke kromosom dan menjadi satu dalam DNA
tanaman. Tidak lama setelah pemberian kejutan listrik dan injeksi, sel
membran terbentuk kembali. Dinding sel juga terbentuk kembali melalui
proses pembalikan. Sel-sel yang baru saja diubah tersebut kemudian
dikultur untuk menghasilkan jenis sel yang unik yang membentuk
organisme. Sel-sel yang dihasilkan kemudian dipindahkan ke dalam
lingkungan pertumbuhan biasa di mana gen baru akan diekspresikan.

Pada proses elektroporasi ini, dimana enzim khusus pendenaturasi


dinding sel melepaskan dinding sel dari selnya. Kemudian sel-sel akan
menjadi protoplas, yaitu sel-sel tumbuhan yang dilucut dinding selnya
tetapi masih dilapisi membran selular.
2.3 Transfer gen secara tidak langsung
Dari banyak teknik transfer gen yang berkembang, teknik melalui media
vektor Agrobacterium tumefaciens paling sering digunakan untuk
mentransformasi tanaman dikotil. A. tumefaciens mampu mentransfer gen
ke dalam genom tanaman melalui eksplan baik yang berupa potongan daun
(leaf discs) atau bagian lain dari jaringan tanaman yang mempunyai potensi
beregenerasi beregenerasi tinggi (Hinchee et al., 1988; Mullins et al., 1990).
Gen yang ditransfer terletak pada plasmid Ti (tumor inducing). Segmen
spesifik DNA plasmid Ti disebut DNA T (transfer DNA) yang berpindah
dari bakteri ke inti sel tanaman dan berintegrasi ke dalam genom tanaman.
Karena A. tumefaciens merupakan patogen tanaman maka Agrobacterium
sebagai vektor yang digunakan untuk transformasi tanaman adalah bakteri
dari jenis plasmid Ti yang dilucuti virulen-sinya (disarmed), sehingga sel tanaman yang ditransformasi oleh Agrobacterium dan yang mampu
beregenerasi akan membentuk suatu tanaman sehat hasil rekayasa genetik.
Tanaman tersebut akan menurunkan DNA T yang disarmed dan gen asing
(dari sifat yang diinginkan) ke keturunannya. Teknik transformasi melalui
media vector Agrobacterium pada tanaman dikotil telah berhasil tetapi
sebaliknya tidak umum digunakan pada tanaman monokotil. Meskipun
demikian, beberapa peneliti melaporkan bahwa beberapa strain
Agrobacterium berhasil mentransformasi tanaman monokotil seperti jagung
dan padi.
Ti Plasmid adalah vektor alamiah yang digunakan untuk mentransfer
DNA ke dalam sel tanaman. Bakteri yang membawa plasmid Ti (contohnya
Agrobacterium tumefaciens) dapat menyebabkan tumor pada tanaman yang
disebut crown gall, terutama tanaman dikotil. Pada sebagian besar plasmid
Ti, terdapat lima kompleks gen, yaitu T-DNA (bagian yang ditransfer dan
menyatu dengan genom tanaman), gen virulen (vir) yang terdiri dari 50 kilo
basa untuk mengatur proses transfer T-DNA ke dalam DNA tanaman, gen

tra/trb yang mengatur perpindahan plasmid Ti antar bakteri, bagian yang


mengatur sistem replikasi plasmid, dan bagian gen yang menyandikan
molekul opin. Molekul opin ini akan dihasilkan oleh jaringan tanaman yang
terinfeksi bakteri pembawa Ti plasmid . Ti Plasmid dapat digunakan dalam
pembuatan Tanaman Transgenik berikut ini tahapan pembuatan tanaman
transgenik :

Proses transfer gen secara lengkap :


1)

Melakukan skuensing pada DNA untuk gen yang akan diubah


diidentifikasi dan diperoleh dari organisme donor (bakteri). Skuensing ini
dapat dilakukan dengan mengacu pada informasi yang diketahui berkaitan
dengan urutan dari gen yang akan dipilih. Selanjutnya diikuti dengan
pemindahan gen dari organisme donor. Gen yang diinginkan dikeluarkan
dari organisme donor melalui penggunaan enzim spesifik yang dikenal

sebagai enzim restriksi.


2) Gen yang diinginkan kemudian dipolimer melalaui polimerase chain
reaction (PCR), yaitu metode untuk memperkuat DNA dan menghasilkan
sejumlah gen yang bisa diterapkan.
3) Setelah diperoleh, ada beberapa cara untuk mentransfer gen donor ke
dalam sel organisme target. Pada beras, digunakan proses yang lebih
canggih.
Proses Transfer gen melalui bakteri

Metode Transfer Gen melalui Bakteri


1. Ekstraksi DNA dari plasmid Agrobacterium tumafaciens menggunakan
teknik PCR (polymerase chain reaction). Pemotongan dan
penggabungan/penyisipan DNA yang dipilih melibatkan enzim restriksi
dan ligase.
2. Pengklonan gen oleh bacteria vektor sehingga dihasilkan DNA yang
diharapkan kemudian klon gen Agrobacterium tumafaciens
diintroduksi/ditransformasi ke dalam kultur sel tumbuhan.
3. Multifikasi dan regenerasi bagian-bagian tumbuhan sehingga terbentuk
tumbuhan dengan sifat yang baru berikut gambar lain yang bisa
mendukung pemahaman tahapan pembentukan tanaman transgenik.

2.4 Perkembangan Tanaman Transgenik Secara Global


Tahun 2001 merupakan tahun yang pertama di mana luas area pertanaman
transgenik di dunia melebihi 50 juta ha, yaitu 52,6 juta ha (James, 2001).
Luasan ini adalah kenaikan 8,4 juta atau 19 % dari luasan tahun 2000 dan
merupakan kenaikan hampir dua kali lipat peningkatan luas dari tahun 1999
ke tahun 2000 seluas 4,3 juta ha. Selama periode tujuh tahun dari 1996
sampai 2002, telah terjadi peningkatan luas area pertanaman yang begitu
tajam, yaitu luas yang hanya 1,7 juta ha pada tahun 1996 menjadi 58,7 juta ha
pada tahun 2002. Peningkatan luas tersebut melebihi dari 30 kali lipat. Pada

tahun 2001, distribusi luas pertanaman tanaman transgenik 26 % atau 13,5


juta ha berada di negara berkembang. Luasan tersebut meningkat 2,8 % dari
tahun 2000 yang 10,7 juta ha . Di negara berkembang, telah terjadi
peningkatan luas area tanaman transgenik yang konsisten sejak tahun 1997,
yaitu 14 %, 16 % pada 1998, 18 % pada 1999, 23 % pada 2000, dan 26 %
pada 2001 (James, 2001b). Dibandingkan dengan negara berkembang (2,8
juta ha), pertumbuhan tanaman transgenic di negara industri (5,6 juta ha) dua
kali lipat lebih tinggi dari tahun 2000 ke tahun 2001 (James, 2001). Meskipun
demikian, persentase peningkatan luas pertanaman lebih tinggi di Negara
berkembang (26 %) dibandingkan negara industri (17%) (Tabel 3). Dari 16
negara yang menanam tanaman transgenik, sejak tahun 1997 hanya 3 negara
yang mendominasi luasan area penanaman, yaitu AS, Argentina, dan Kanada,
(Teng, 2001).
Pengurangan aplikasi insektisida menimbulkan dampak positif baik ke
lingkungan maupun kesehatan manusia. Sedangkan dampak ke lingkungan
berupa pengurangan kemungkinan pengaruh berbahaya dari insektisida,
pengaruh yang mengakibatkan serangga hama menjadi resisten terhadap
insektisida dan terjadinya resurgensi, pengaruh mematikan terhadap serangga
berguna seperti predator dan parasit sehingga populasi musuh alami tersebut
tetap terpelihara yang nantinya akan meningkatkan pengendalian hayati
secara alami. Dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan populasi burungburung langka di daerah peladangan tanaman transgenik tahan serangga
hama. Hal ini diduga diakibatkan oleh pengurangan aplikasi insektisida yang
cukup besar. Jagung transgenik yang mengandung gen Bt bisa menghasilkan
pengaruh lain yang positif. Hasil penelitian lapang di Iowa State University,
Amerika Serikat pada jagung Bt menunjukkan bahwa jagung nontransgenik
terserang parah oleh penyakit busuk tongkol yang disebabkan oleh jamur
Fusarium dibandingkan jagung Bt. (Fuller, 1999). Dari pengujian tingkat
ontaminasi mycotoxin menunjukkan bahwa jagung nontransgeik mengandung
fumonisin 14,5 ppm dibandingkan hanya 1,5 ppm pada jagung Bt (Fuller,
1999). Selain manfaat dan keuntungan dari jagung Bt, dikhawatirkan bahwa
jagung tersebut akan berdampak negatif terhadap organisme bukan sasaran
seperti predator, parasit, lebah madu, dan hewan ternak. Selain penelitian

laboratorium, selama tiga musim tanam 1993-1995 telah dilakukan pada studi
lapang tentang pengaruh penanaman jagung Bt terhadap serangga berguna di
Nebraska dan Iowa, AS. Studi lapang yang sama juga dilakukan di Perancis
pada tahun 1995. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa jagung Bt tidak
berpengaruh terhadap serangga berguna seperti laba-laba, coccinellid,
chrysopid, dan nabid McLean dan MacKenzie (2001).
Di Indonesia juga telah dilakukan pengamatan populasi serangga berguna
pada tanaman transgenik dan dan nontransgenik baik di Fasilitas Uji Terbatas
(FUT) maupun Lapangan Uji Terbatas (LUT) (TTKH, 1999; TTKHKP,
2000). Hasil pengamatan di Fasilitas Uji Terbatas menunjukkan bahwa tidak
ada pengaruh jagung Bt terhadap lebah madu tanaman transgenik (TTKHKP,
2000). Demikian pula pengamatan di Lapangan Uji Terbatas (TTKH, 1999),
menunjukkan bahwa jagung Bt yang diuji tidak berpengaruh terhadap
predator (kumbang Coccinella, larva dan imagonya; kepik, green lacewing,
laba-laba, bela-lang, semut merah), dan parasitoid (Trichogramma).
Mengenai pengujian di Fasilitas Uji Terbatas dan Lapangan Uji Terbatas akan
dijelas-kan di penjelasan tentang pengaturan pemanfaatan tanaman
transgenik. Feeding study dilakukan untuk melihat kesepadanan
(equivalence) dalam hal feed performance, kenaikan berat badan, produksi
susu, dan komposisi susu antara hewan ternak dan ikan yang diberi makanan
dari tanaman transgenic dibandingkan dengan nontransgenik. Folmer et al.
(2000b) meneliti pengaruh pemberian makanan dari jagung Bt dan nonBt
pada sapi perah dengan hasil tidak adanya perbedaan dalam hal feed
performance, kenaikan berat badan, produksi susu, dan komposisi susu.
Feeding study lain dilakukan oleh Folmer et al (2000a) dan Russell et al
(2000), terhadap sapi potong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan dalam hal feed performance dan kenaikan berat badan sapi potong
yang diberi makan jagung Bt dan nonBt (Folmer et al., 2000a; Russell et al.,
2000). Sanders et al. (1998) dan McLean dan MacKenzie (2001) melaporkan
bahwa gen cryIAb yang dikandung dalam jagung Bt aman terhadap burung
puyuh Northern Bobwhite. Gen-gen Bt atau cry yang digunakan dalam
perakitan tanaman transgenik tahan serangga hama telah mendapatkan izin
dari Environmental Protection Agency (EPA), AS. Sebagai contoh, cryIA(b)

(EPA, 1997; 1998a) dan cryIA(c) (EPA, 1998b) yang digunakan dalam
jagung Bt, cryIA(c) dalam kapas Bt (EPA, 1995a), dan cryIIIA dalam kentang
(EPA, 1995b) telah diteliti dan dizinkan oleh EPA. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa di dalam tanaman, ketiga cry tersebut terkandung dalam
konsentrasi rendah. Selain itu, ketiga cry tersebut labil dan tidak tahan
didegradasi dengan pemanasan (suhu >65oC), perlakuan asam (pH <5), dan
protease. Data mengenai ketiga cry tersebut berbeda dengan cry9C di dalam
jagung Starlink. Ternyata cry9C di dalam cairan lambung tidak terdegradasi
dengan cepat dan relative lebih tahan dalam pemanasan (EPA, 1998c). Hasil
tersebut menimbulkan kekhawatiran terjadinya alergi kalau jagung transgenik
yang mengandung cry9C tersebut dimakan oleh manusia, oleh karena itu EPA
hanya mengizinkan untuk bahan pakan tidak untuk pangan. Produsen jagung
Starlink mengajukan hasil penelitian terakhir tentang cry9C ke EPA sebagai
informasi tambahan untuk pengkajian risiko alerginisitas yang berpotensi
pada produk pangan olahan yang berasal dari jagung Starlink (GKCCB,
2001). Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kandungan protein cry9C di
dalam produk cair seperti minyak goreng, sirup, alkohol, dan tajin jagung
berada di bawah batas ambang untuk bisa dideteksi melalui metode analitikal
(GKCCB, 2001). Sedangkan di dalam produk kering seperti tepung jagung
halus dan kasar, protein cry9C mengalami denature tetapi tidak sampai
tereliminasi dengan komplit (GKCCB, 2001). Kegiatan penelitian rekayasa
genetic tanaman untuk merakit tanaman transgenik tahan serangga hama telah
dilakukan di berbagai lembaga penelitian seperti Pusat Penelitian
Bioteknologi LIPI dan Balai Penelitian di dalam lingkup Badan Penelitian
dan Pengembang-an Pertanian seperti Balai Peneliti-an Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen) (Tabel 7). Teknologi rekayasa
genetika dilakukan apabila persilangan konvensional sudah tidak mampu
dilaksanakan atau mengalami kendala sepert tidak adanya sumber gen
ketahanan terhadap serangga hama atau patogen tumbuhan, misalnya
penggerek batang padi, penggerek polong kedelai, hama boleng pada ubi
jalar, dan penggerek jagung. Serangga hama merupakan cekaman biotis yang
utama pada komoditas tertentu dan bisa menurunkan hasil 20 90 %.

Kegiatan penelitian telah menghasilkan tanaman transgenik seperti jagung


dan padi tahan hama penggerek batang dan wereng (Tabel 8). Selain itu,
melalui kerja sama dengan lembaga penelitian di luar negeri juga sudah
menghasilkan tanaman transgenik seperti kentang tahan Potato Tuber Moth
(PTM).

Perbandingan jagung Bt dengan jagung non-Bt

2.5 Dampak Positif dan Negatif Penggunaan Tanaman Transgenik


1. Dampak positif dari penggunaan tanaman Transgenik
1) Dapat menekan penggunaan pestisida, sehingga menurunkan biaya
produksi.
2) Ketahanan tanaman terhadap hama dan jamur toksin dari Fusarium
penyebab pembusukan pada tongkol, dibandingkan dengan jagung
non-Bt yang mengalami kerusakan berat.
3) Hasil produksi menigkat sehingga akan mengatasi kelaparan.
2. Dampak negatif dari penggunaan tanaman Transgenik
1) Dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan pada
konsumen akibat terjadinya kesalahan / human eror project.
2) Menimbulkan gangguan pada keseimbangan ekosistem lingkungan
yang terdapat tanaman transgenik.
3) Terjadi persaingan harga tanaman jagung transgenik dan tanaman
jagung biasa.

BAB III
PENUTUP

Tanaman tahan serangga hama dapat dirakit melalui teknologi rekayasa


genetik dengan menggunakan gen yang berasal dari berbagai jenis organisme.
Pada tahun 2002, secara global luas tanaman transgenik tahan serangga hama dan
sifat gabungan dengan toleran herbisida adalah 14,5 juta ha atau 25 % dari total
luas area tanaman transgenik. Teknologi rekayasa genetik dan produknya yang
berupa tanaman transgenik tahan serangga hama telah dimanfaatkan oleh petani
dan para peneliti. Di Indonesia, penelitian perakitan tanaman transgenik tahan
serangga hama sudah dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian baik perguruan
tinggi, departemen teknis, maupun non departemen. Manfaat tanaman transgenik
tahan serangga hama berupa terjadinya pengurangan aplikasi insektisida dan kasus
keracunan insektisida, serta keuntungan ekonomi bagi petani.

DAFTAR PUSTAKA
Herman, M., 2002, Perakitan Tanaman Tahan Serangga melalui Rekayasa
Genetik, Jurnal Agrobio, (online), (http://ejournal.com, diakses tanggal 14
Maret 2016 pukul 21:00 WIB).
Henuhili victoria, 2005. Jurdik biologi. Tanaman transgenik dan pemenuhan
kebutuhan pangan. UNJ. Yogyakarta.
Suranto, 2009, Perkembangan IPTEK dan Sumbangannya terhadap Penanganan
Krisis Pangan Global (Sebuah Pendekatan Bioteknologi Molekuler),
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Sustiprijatno, 2010, Jurnal Agrobioteknologi, Jagung Trangenik dan
Perkembangan Penelitian di Indonesia, (online), (http://ejournal.com,
diakses tanggal 13 Maret 2016 pukul 22:46 WIB).
Sutrisno, 2006, Peran Bioteknologi dalam Pembangunan Pertanian di Indonesia,
(online),(digilib.batan.go.id/eprosiding/File
%20Prosiding/.../Sutrisno17.pdf, diakses tanggal 13 Maret 2016 pukul
19:30 WIB).
Usyati, N., Buchori, D., Manuwoto, S., dkk., 2009, Keefektivan Padi Transgenik
terhadap Hama Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas
(Lepidoptera : Crambidae Walker), Jurnal Entomol Indonesia, (6) 1, hal
30-41, (http://journal.com/bioteknologi, diakses tanggal 14 Maret 2016
pukul 20:15 WIB).

Anda mungkin juga menyukai