Anda di halaman 1dari 29

Referat

LEPTOSPIROSIS

Oleh:

Anak Agung Sagung Wikan P G99172035


I Gusti Agung Anggia N G99181036
Rianita Marthasari G991902047
Ilham Ramadhan G99181037

Pembimbing

Dhani Redhono, dr., Sp.PD-KPTI,FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
1
HALAMAN PENGESAHAN
Referat Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

LEPTOSPIROSIS

Oleh:

Anak Agung Sagung Wikan P G99172035


I Gusti Agung Anggia N G99181036
Rianita Marthasari G991902047
Ilham Ramadhan G99181037

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

Dhani Redhono, dr., Sp.PD-KPTI,FINASIM

NIP: 197508272006041002

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Leptospirosis manusia adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri
yang termasuk dalam genus Leptospira. Genus ini terdiri dari setidaknya 22 spesies yang
dikelompokkan ke dalam tiga kategori yang mengandung spesies patogen, saprofitik,
dan pathogen-saprofitik (Tique et al, 2018). Leptospirosis ini ditransmisikan secara
langsung atau tidak langsung dari hewan ke manusia. Penyakit ini terjadi di seluruh
dunia tetapi paling sering di daerah tropis dan sub-tropis. Leptospirosis memiliki potensi
serius tetapi dapat diobati. Gejala-gejalanya dapat menyerupai gejala infeksi lain yang
tidak terkait seperti influenza, meningitis, hepatitis, demam berdarah, atau demam
berdarah lainnya. Spektrum penyakit ini sangat luas, mulai dari infeksi subklinis hingga
sindrom infeksi multiorgan yang parah dengan mortalitas tinggi (Musso et al, 2013).

B. EPIDEMIOLOGI
Leptospirosis adalah zoonosis yang paling luas di dunia dan dianggap sebagai penyakit
kesehatan masyarakat global yang muncul (Musso et al, 2013). Diperkirakan lebih dari 1
juta kasus terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, termasuk hampir 60.000 kematian.
Di Amerika Serikat, sekitar 100–150 kasus leptospirosis dilaporkan setiap tahun. Puerto
Riko melaporkan sebagian besar kasus leptospirosis, diikuti oleh Hawaii. Wabah
leptospirosis cenderung terjadi setelah hujan deras atau banjir di daerah endemis,
terutama daerah dengan perumahan dan kondisi sanitasi yang buruk (CDC, 2018). Di
Indonesia sendiri terdapat empat provinsi yang melaporkan adanya kasus leptospirosis
tahun 2014 yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Dibandingkan tahun 2013, terdapat penurunan jumlah kasus dari 640 kasus menjadi 519
kasus pada tahun 2014. Penurunan kasus leptospirosis secara signifikan terjadi di Jawa
Timur dengan penurunan sekitar dua pertiga dibandingkan tahun sebelumnya. Namun
di DKI Jakarta dan Jawa Tengah terjadi kenaikan kasus bahkan merupakan kasus
tertinggi di kedua provinis tersebut dalam 5 tahun terakhir (Prihantoro et al, 2017).
Angka kematian disebabkan oleh penyakit leptospirosis di Indonesia mencapai 2,5-
16,45% (Ningsih et al, 2019).

3
C. FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor risiko terinfeksi bakteri leptospira, bila kontak langsung/terpajan air
dan rawa yang terkontaminasi yaitu (Depkes RI, 2003):
1. Kontak dengan air yang terkontaminasi bakteri leptospira/urin tikus, saat
banjir
2. Pekerja tukang perahu, rakit bambu, pemulung
3. Mencuci atau mandi di sungai/danau
4. Peternak, pemelihara hewan dan dokter hewan yang terpajan karena
menangani ternak/hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan mati,
menolong hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti plasenta,
cairan amnion dan bila kontak dengan percikan infeksius saat hewan berkemih.
5. Tukang kebun/pekerja di perkebunan.
6. Petani tanpa alas kaki di sawah.
7. Pekerja potong hewan, tukang daging yang terpajan saat memotong
hewan.
8. Pembersih selokan.
9. Pekerja tambang.
10. Pemancing ikan, pekerja tambak udang/ikan air tawar.
11. Tentara, pemburu dan pendaki gunung, bila mengarungi permukaan air
atau rawa.
12. Anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan.
13. Tempat rekreasi di air tawar: berenang, arum jeram dan olah raga air lain,
memasuki gua, mendaki gunung.

Wabah Leptospirosis telah dikaitkan dengan banyak peristiwa air yang umum
termasuk konsumsi air, olahraga air, bencana lingkungan, dan paparan pekerjaan.
Kemampuan leptospira untuk bertahan hidup di lingkungan yang lembab
menjadikannya agen risiko tinggi untuk infeksi setelah kontak dengan sumber air
yang terkontaminasi. Strain leptospirosis patogen dan saprofitik telah diisolasi
dari sumber air termasuk sungai dan danau karena mereka dapat bertahan hidup di
tanah yang lembab dan air tawar untuk jangka waktu yang lama. Leptospira

4
membutuhkan air segar agar tetap hidup di lingkungan dan dapat bertahan selama
beberapa bulan dalam air yang mengalir tetapi hanya beberapa minggu dalam air
yang tergenang, sementara beberapa jenis halofilik dapat hidup air payau dan
garam. Baru-baru ini, dua strain Leptospira kmetyi (MS432 dan MS422) terbukti
bertahan selama 3 hari di air laut buatan dan air laut alami. Ketika air laut
bercampur dengan tanah, strain tersebut mampu bertahan selama empat hari.
Temuan ini memperingatkan kemungkinan risiko infeksi leptospiral di daerah
rawan gelombang badai laut atau tsunami. Area dengan curah hujan tinggi dan
kondisi iklim yang hangat memberikan lingkungan yang optimal untuk
kelangsungan hidup leptospira. Leptospira dapat bertahan hingga 152 hari di air
tawar dengan cara agregasi sel dan oleh karena itu sanitasi dan kebersihan air
merupakan faktor penting dalam mencegah dan mengendalikan transmisi
leptospirosis (Wynwood et al, 2014).

Durasi bertahan hidup Leptospira di habitat alami dipengaruhi oleh banyak faktor
termasuk faktor abiotik dan biotik. Leptospira patogen yang bertahan dalam tanah
basah dan air tawar untuk jangka waktu yang lama diperkirakan tergantung pada
pH yang sedikit basa, oksigen tinggi, dan konsentrasi garam yang rendah. Asumsi
klasik adalah bahwa alkalinitas sedikit lebih tinggi (hingga pH 8,0)
memungkinkan untuk bertahan hidup lebih lama. Dalam kondisi laboratorium,
strain serovar Javanica dilaporkan bertahan dalam air suling (pH 7,8) selama 152
hari. Baru-baru ini, Andre-Fontaine et al menunjukkan bahwa Leptospira yang
patogen dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan dalam air mineral.
Menariknya, Leptospira dilaporkan bertahan selama 10 bulan dalam kondisi buruk
(4˚C) dan hingga 20 bulan bila disimpan pada suhu 30˚C (Thibeaux et al, 2017).

D. ETIOLOGI
Mikroorganisme penyebab leptospirosis adalah bakteri patogen yang termasuk
genus Leptospira. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L. interrogans yang
merupakan bakteri patogen dan L. biflexa adalah saprofitik (Dainanty, 2012).
Terdapat 25 serogrup dan lebih dari 25 serovar (Xu et al, 2014). Di Indonesia

5
dilaporkan bahwa sejak 1936 telah diisolasi berbagai serovar Leptospira, baik dari
hewan liar maupun hewan peliharaan. Di Ambarawa diisolasi dari hewan rodent
L. bataviae; L. icterohaemorrhagie; L. javanica; L. pyrogenes; dan L. semarang.
Abdullah 1961 dapat mengisolasi L. autwnnalis; L. canicola; L. sarmini;
L.schuffieri; L. benyamin; L. asam; L. javanica; L. grippotyphosa; dan L.bovis,
dari Rattus ratuss regni sody yang ditangkap di Bogor dan sekitarnya (Depkes RI,
2003). Beberapa serovar leptospira memiliki keterikatan lebih khusus dengan
hewan-hewan tertentu seperti L. icterohaemorrhagica dan L. copenhageni dengan
tikus, L. canicola dengan anjing, L. Pomona dengan babi, L. hardjo dengan sapi,
L. gryppotyphosa dengan voles (Cahyati et al, 2009)
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu
mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit, tipis,
fleksibel, panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2
um. Salah satu ujung organisme sering membengkak, membentuk suatu kait.
Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini
demikian halus sehingga dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat
sebagai rantai kokus kecil-kecil (Gillespie, et all., 2008)

Gambar 1. Leptospira

Spesies L. interrogans adalah spesies yang dapat menginfeksi manusia dan hewan.
Leptospira terbawa oleh luasnya keberagaman binatang baik yang liar maupun yang
terpelihara, umumnya dari golongan rodensia (hewan pengerat), anjing, sapi, babi,

6
domba, kambing, dan kuda. Manusia terkena penyakit ini melalui kontak langsung
dengan urin hewan terinfeksi, atau secara tidak langsung melalui urin hewan terinfeksi
yang tersimpan di lingkungan. Leptospira memasuki tubuh manusia melalui kulit yang
terluka/terkelupas dan selaput lendir utuh. Penyakit leptospirosis terutama berisiko
terhadap orang yang bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani,
pedagang hewan, dokter hewan, dan lain – lain. Selain itu, leptospirosis juga berisiko
terhadap individu yang terpapar air yang terkontaminasi. Kejadian leptospirosis pada
manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak
tercemar bakteri Leptospira (Dainanty, 2012).

E. PATOFISOLOGI
Langkah pertama dalam patogenesis leptospirosis adalah penetrasi melalui permukaan
luar untuk masuk ke dalam tubuh. Portal masuk potensial meliputi kulit melalui luka
atau abrasi dan selaput lendir konjungtiva atau rongga mulut. Bukti bahwa mukosa
mulut sebagai pintu masuk ditandai dengan sejumlah studi yang menemukan bahwa
menelan saat berenang di air yang terkontaminasi adalah faktor risiko infeksi (Haake et
al, 2015).

Leptospira dapat menyerang kulit yang terbuka dan selaput lendir. Infeksi didapat
dengan bersentuhan dengan hewan yang terinfeksi atau urin yang terinfeksi atau
jaringan tubuh. Kadang-kadang Leptospira bahkan dapat diperoleh setelah kontak
dengan tanah dan air yang terkontaminasi. Sebelumnya, paparan utama terjadi dari air
di taman rekreasi, tetapi baru-baru ini Amerika Serikat telah melihat peningkatan dalam
paparan pekerjaan dari para pekerja pertanian. Ketika organisme ditumpahkan dalam
urin hewan yang terinfeksi, ia dapat bertahan hidup dalam air tawar hingga 16 hari dan
di tanah selama hampir 24 hari. Mereka kemudian dapat masuk ke inang manusia
melalui luka terbuka, selaput lendir, atau paru-paru jika air yang terinfeksi terhirup. Ini
juga dapat ditularkan melalui plasenta jika manusia yang terinfeksi sedang hamil, yang
menyebabkan keguguran pada dua trimester pertama. Jika terinfeksi selama trimester
ketiga, kehamilan dapat berakibat kematian bayi lahir mati atau intrauterine (Gossman
et al, 2019)

7
Kuman leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem
kekebalan dari aliran darah setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen
mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari
darah dan cairan serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan
vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis kuman leptospira yang
penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular.
Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang
berbeda dengan endotoksin bakteri gram (-) dan aktifitas lainnya yaitu stimulasi
perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit
disertai trombositopenia. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal
dan hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan
lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan
meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah
satu penyebab gagal ginjal. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan,
pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular,
kolestasis intrahepatik sampai berkurangya sekresi bilirubin (Dit Jen PPM & PL RSPI Prof.
DR. Sulianti Saroso, 2003)

Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang


bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ. Lesi yang
muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis
terdapat perbadaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara
histologik. Pada leptospirosis lesi histology yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati
pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini
menunjukan bahwa kerusakan bukan berasal dari struktur organ. Lesi inflamasi
menunjukan edema dan infiltrasi dari sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus
yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi
hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada
otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan cerebrospinalis dalam fase
spiremia. Hal ini menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi

8
terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai
leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah.

Kelainan spesifik pada organ:

Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
nekrosis tubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi immunologis, iskemia, gagal
ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikro organism juga berperan menimbulkan
kerusakan ginjal. Studi ginjal setelah inokulasi leptospira pada tikus menunjukkan bahwa
masuknya mikroorganisme terjadi melalui penetrasi lumen kapiler pada hari kedua,
sedangkan masuknya di jaringan interstitial menyebabkan edema dan infiltrasi sel
terjadi antara hari keempat dan kedelapan. Leptospira dapat diidentifikasi melekat pada
permukaan epitel tubulus ginjal setelah minggu pertama dan di lumen tubular pada
minggu kedua. Antigen Leptospira ditemukan dalam sel-sel tubulus proksimal dan
sebagai kelompok ekstraseluler besar di interstitium. Fokus ATN (Nekrosis Tubular Akut)
juga dapat dilihat. Membran luar leptospira mengandung komponen antigenik termasuk
lipoprotein, lipopolisakarida dan peptidoglikan, endotoksin yang dapat menjelaskan
cedera ginjal, yang menyebabkan disfungsi tubular dan peradangan. Beberapa protein
membran luar (OMP) spesies patogen telah diidentifikasi dan terletak di tubulus
proksimal dan interstitium hewan yang terinfeksi. OMP paling penting yang
diekspresikan selama infeksi adalah LipL32, yang memengaruhi langsung sel tubular
proksimal, yang secara signifikan meningkatkan ekspresi gen dan protein pro-inflamasi,
seperti nitric oxide synthase (iNOS) yang dapat diinduksi, monocyte chemotactic
protein-1 (CCL2 / MCP -1), sel T (RANTES), dan faktor nekrosis tumor (TNF-α). Kemokin
CCL2 / MCP-1 adalah salah satu faktor terpenting pada awal infiltrasi monosit pada
nefritis interstitial, sedangkan TNF-α, sitokin inflamasi, merupakan mediator
endotoksemia. Stimulasi iNOS dan CCL2 / MCP-1 oleh OMP, khususnya LipL32,
tergantung pada keberadaan dalam sel tubulus proksimal dari reseptor seperti tol (TLR),
protein spesifik yang mengenali pola molekul patogen yang bertindak sebagai baris
pertama dari pertahanan kekebalan bawaan, menghasilkan respon inflamasi awal,
dalam kasus khusus ini, TLR2. Secara singkat, OMP mengikat TLR2 dalam sel tubulus
proksimal, yang mengarah ke aktivasi faktor nuklir NF-kβ, yang merangsang produksi

9
CCL2 / MCP-1 dan CXCL2 / MIP-2 untuk merekrut sel-sel inflamasi. NF-kβ juga dikaitkan
dengan peningkatan iNOS dan TNF-α dalam sel tubulus proksimal (Daher et al, 2010).

Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian
ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel
parenkim.

Jantung: epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium


dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan
plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal
pada miokardium dan endikarditis.

Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal nekrotis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada leptospira disebabkan
invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.

Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis
yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau petechie pada
mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.

Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal (CSS) dan
dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon
antibody, tidak pada saat masuk CSS. Diduga terjadinya meningitis diperantarai oleh
mekanisme immunologis. Terjadi penebalan meningen dengan sedikit peningkatan sel
mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya
paling sering disebabkan oleh L. canicola.

Weil Desease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,
biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe
kontinua. Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis.
Penyebab Weil disease adalah serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh
serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal,
hepatic atau disfungsi vascular

10
(Zein Umar, 2006; World Health Organization, 2003; Setyawan, 2002)

Patofisiologi gagal ginjal pada leptospirosis (Abdulkader et al, 2008)

11
Patofisiologi leptospirosis (Seguro et al, 2013)

F. MANIFESTASI KLINIS

Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2 – 26 hari, biasanya 7 - 13 hari dan
rata-rata 10 hari.

Tabel 1. Gambaran klinis pada Leptospirosis

Sering : demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia,


mialgia, conjuctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus,
hepatomegali, ruam kulit, fotophobi

Jarang : pneumonitis, hemoptoe, delirium, perdarahan, diare, edema,


splenomegali, atralgia, gagal ginjal, peroferal neuritis, pancreatitis,

12
parotitis, epididimytis, hematemesis, asites, miokarditis

Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas ( bifasik ) yaitu fase


leptospiremia/septikemia dan fase imun.

1. Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari)

Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam darah dan CSS,
berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal,
rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pingang disertai
nyeri tekan pada otot tersebut. Mialgia dapat di ikuti dengan hiperestesi kulit,
demam tinggi yang disertai mengigil, juga didapati mual dengan atau tanpa
muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus
(50%). Pada hari ke 3-4 dapat di jumpai adanya conjungtivitis dan fotophobia.
Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk macular, makulopapular atau
urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta
limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat di tangani pasien akan
membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan
fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang
lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari,
setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.

2. Fase Imun (minggu ke-2)

Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab antibodi dapat terdeteksi
dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin, namun tidak dapat
ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini muncul sebagai
konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan berakhir dalam waktu 30
hari atau lebih.

Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala pada fase
pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa hari,
namun ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala penyakit bertahan sampai

13
beberapa minggu. Demam dan mialgia pada fase yang ke-2 ini tidak begitu
menonjol seperti pada fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan mengalami
nyeri kepala hebat yang nyaris tidak dapat dikonrol dengan preparat analgesik.
Nyeri kepala ini seringkali merupakan tanda awal dari meningitis.

Anicteric disesase ( meningitis aseptik ) merupakan gejala klinik paling utama


yang menandai fase imun anicteric Gejala dan keluhan meningeal ditemukan pada
sekitar 50 % pasien. Namun, cairan cerebrospinalis yang pleiositosis ditemukan
pada sebagian besar pasien. Gejala meningeal umumnya menghilang dalam
beberapa hari atau dapat pula menetap sampai beberapa minggu. Meningitis
aseptik ini lebih banyak dialami oleh kasus anak-anak dibandingkan dengan kasus
dewasa

Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari darah
selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang ditemukan
adalah nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada 30 % kasus ),
hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis ditemukan pada 2-10 %
kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau fase lanjut dari penyakit. Gejala iritis,
iridosiklitis dan khorioretinitis ( komplikasi lambat yang dapat menetap selama
beberapa tahun ) dapat muncul pada minggu ketiga namun dapat pula muncul
beberapa bulan setelah awal penyakit.

Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah hemoragia


subconjunctival, bahkan leptospira dapat ditemukan dalam cairan aquaeous.
Keluhan dan gejala gangguan ginjal seperti azotemia, piuria, hematuria,
proteinuria dan oliguria ditemukan pada 50 % kasus. Manifestasi paru ditemukan
pada 20-70 % kasus. Selain itu, limfadenopati, bercak kemerahan dan nyeri otot
juga dapat ditemukan.

3. Fase Penyembuhan / Fase reconvalesence (minggu ke 2-4)

Demam dan nyeri otot masih bisa dijumpai yang kemudian berangsur-angsur
hilang.

14
Tabel 2: Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik

Sindroma, Fase Gambaran klinik Spesimen


laboratorium

Leptospirosis anikterik *

Fase leptospiremia (3-7 Demam tinggi, nyeri Darah, cairan


hari) kepala, mialgia, nyeri serebrospinal
perut, mual, muntah,
conjunctival suffusion.

Demam ringan, nyeri


Fase imun (3-30 hari) kepala, muntah, urin
meningitis aseptik

Leptospirosis ikterik

Fase leptospiremia dan Demam, nyeri kepala, Darah, cairan


fase imán (sering mialgia, ikterik, gagal serebrospinal
menjadi satu atau ginjal, hipotensi, (minggu I)
tumpang tindih) manifestasi perdarahan,
Urin (minggu II)
pneumonitis hemoragik,
leukositosis.

* antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik (1-3
hari)

15
Tabel 3. Patofisiologi leptospirosis

G. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data


epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan
pasien. Identitas pasien ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal,
jenis pekerjaan, dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan
liar di lingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis.

Biasa yang mudah terjangkit pada usia produktif, karena kelompok ini lebih
banyak aktif di lapangan. Tempat tinggal; dari alamat dapat diketahui apakah

16
tempat tinggal termasuk wilayah padat penduduk, banyak pejamu reservoar,
lingkungan yang sering tergenang air maupun lingkungan kumuh.

Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada musim penghujan


lebih-lebih dengan adanya banjir. Keluhan-keluahan khas yang dapat ditemukan,
yaitu : demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah,
nafsu makan menurun dan merasa mata makin lama bertambah kuning dan sakit
otot hebat terutama daerah betis dan paha.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Gejala klinik menonjol : ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta


conjungtival suffusion.

b. Gejala klinik yang paling sering ditemukan : conjungtival suffusion dan


mialgia.

c. Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hari ke-


3 selambatnya hari ke-7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan
konjungtiva unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan
injeksi faring, faring terlihat merah dan bercak-bercak.

d. Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan


nyeri hebat dan hiperestesi kulit.

e. Kelainan fisik lain : hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsang


meningeal, hipotensi, ronkhi paru dan adanya diatesis hemoragik.

f. Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan manifestasi


dapat terlihat sebagai petekiae, purpura, perdarahan konjungtiva dan
ruam kulit.

g. Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula ataupun


urtikaria generalisata maupun setempat pada badan, tulang kering atau
tempat lain.

17
Gambar 4. Conjungtiva suffision dan ikterik pada sklera

Kriteria Faine (WHO) untuk diagnosis Leptospirosis

A. Gejala :
 Sakit kepala mendadak (Ya) :2
 Conjunctival suffusion (Ya) :4
 Demam (Ya) :2
 Demam > 38.50C (Ya) :2
 Meningismus (Tidak) :2
 Nyeri otot (terutama betis)(Ya) : 4
 Meningismus, nyeri otot, conjinctival suffusion bersama-sama (Ya) : 4
 Ikterik (Ya) :1
 Albuminuria / azotemia (Ya) :2
B. Faktor epidemiologik
- Musim hujan (Ya) :5
- Kontaminasi lingkungan (Ya) : 4
- Kontak binatang (Ya) :1
C. Hasil laboratorium serologi
- Single (+), titer rendah
- Single (+) titer tinggi

18
Jumlah : 33

(A + B > 25 presumptive leptospirosis)

Kriteria Diagnosis menurut WHO SEARO 2009:

1. Kasus suspect
Jika didapatkan demam akut(≥38,5) dan/atau nyeri kepala hebat dengan:
o Myalgia
o Kelemahan dan/atau
o Conjuctival suffusion, dan
o Riwayat terpajan dengan lingkunganyang terkontaminasi leptospira
2. Kasus probable
Jika terdapat 2 gejala dibawah ini:
o Nyeri betis
o Batuk dengan atau tanpa batuk darah
o Ikterik
o Manifestasi perdarahan
o Iritasi meningeal
o Anuria/oligouria dan/atau proteinuria
o Sesak napas
o Aritmia jantung
o Rash di kulit

Berdasarkan ketersediaan fasilitas laboratorium, kasus probable adalah


suspect dengan IgM rapid test positif dan/atau MAT ≥200 pada suatu sampel
dan/atau ditemukan 3 dari dibawah ini:

1. Temuan pada urin: proteinuria, pus , darah


2. Neutrofilia relatif (> 80%) dengan limfopenia
3. Trombosit < 100.000/mm3
4. Peningkatan Bilirubin >2mg% : peningkatan enzim hepar yang moderate

19
3. Kasus confirm
Kasus suspect atau probable dengan salah satu di bawah ini:
1. Isolasi kuman leptospira dari spesies klasik
2. Hasil PCR (+)
3. Serokonversi dari negatif ke positif atau peningkatan 4 kali titer MAT
3. Pemeriksaan Penunjang

Pada kasus leptospirosis anikterik dijumpai jumlah leukosit normal dengan


neutrofilia, peningkatan laju endap darah, dan protein dalam likuor serebrospinal.
Kelainan pada paru dan jantung, peningkatan kadar bilirubin serum, fosfatase
alkali, enzim amino transferase, keratin fosfokinase, kreatinin dan ureum darah,
serta trombositopenia pada umumnya terdapat pada leptospira ikterik. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan isolasi dari organisme dari berbagai
spesimen atau serokonversi antibodi 4 kali lipat antara akut dan konvalesens.
Namun reaksi silang dengan penyakit spirokheta lainnya sering dijumpai. Bakteria
dapat diisolasi dari darah atau likuor serebrospinal pada 10 hari pertama.
Leptospira dapat diidentifikasi secara langsung dari jarigan yang terinfeksi dengan
menggunakan mikroskop lapangan gelap atau dengan direct fluorescentantibody
assay. Biakan darah, likuor serebrospinal, urin, dan jaringan yang terkena (seperti
ginjal) dapat memberikan hasil positif. Pengambilan sampel harus
dikoordinasikan dengan petugas mikrobiologi setempat karena sampel
memerlukan teknik khusus pada pemrosesannya. Leptospira dapat dibiak pada
media tertentu (seperti Fletcher, Stuart, Ellinghausen) yang dikombinasikan
dengan neomisin atau 5-fluorouracil. Selama 7-10 hari pertama setelah timbul
gejala, sampel diambil dari darah dan likuor serebrospinal. Setelah itu dapat
diambil dari urin dapat bertahan lebih lama sekitar beberapa minggu sampai
bulan. Konsultasi dengan laboratorium mikrobiologi setempat sangat dibutuhkan.

Tabel 4. Tes Diagnostik Suportif

IgM-based commercial assays, IgM assays adalah tes skrining dan

20
diantaranya hasilnya harus dikonfirmasi
1. ELISA IgM menggunakan salah satu metode
2. ImmunoDOT terkonfirmasi yang ada di bawah
3. Lateral flow tests

Pemeriksaan serologis leptospira lebih berguna secara klinis jika diperiksa


pada awal penyakit, akan tetapi kebanyakan uji serologis hanya dapat dilakukan
oleh laboratorium tertentu. Microscopic agglutination test (MAT) dan indirect
hemagglutination assay (IHA) adalah dua uji yang biasanya tersedia. Microscopic
agglutination test menggunakan antigen yang diperoleh dari serovar leptospira
yang umum ditemukan. Hasil positif didefinisikan sebagai peningkatan titer 4 kali
antara fase akut dan konvalesens. Titer tunggal yang melebihi 1:200 atau titer
serial yang melampaui 1:100 menunjukkan dugaan kearah infeksi leptospira, tapi
keduanya tidak diagnostik. Sensitivitas and spesifisitas MAT berturutturut adalah
92% dan 95%, sedangkan nilai prediktif positif 95% dan nilai prediktif negatif
100%. Hasil negatif palsu MAT dapat terjadi pada sampel tunggal yang diambil
sebelum fase imun penyakit. Akurasi uji juga ditentukan oleh pemilihan antigen,
yang memerlukan diskusi dengan laboratorium setempat mengenai serovar yang
sering ditemukan di daerah tersebut. Hasil positif palsu MAT dapat terjadi pada
kasus Legionella, penyakit Lyme, serta sifilis. Uji IHA lebih cepat dan mudah
dilakukan dan berdasarkan atas antibodi spesifik genus, dengan sensitivitas 92-
100% dan spesifisitas 94-95%. Uji tambahan yang sedang dalam penelitian adalah
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), polymerase chain reaction (PCR),
dan dipstick assays.

Tabel 5. Tes Diagnostik Terkonfirmasi

21
1. Microscopic agglutination test (MAT) — serologi tes
Pengambilan sample dilakukan pada hari ke 7-14 dimana pada hari
tersebut merupakan fase akut dari penyakit dan waktu ideal untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan

2. Polymerase chain reaction (PCR) – Sample yang direkomendasi


 Whole blood yang ditest pada saat fase akut dari penyakit (idealnya 4 hari
pertama)
 Urine (kurang lebih 1 minggu setelah gejala timbul)
 LCS dari pasien dengan tanda-tanda meningitis
 Fresh frozen kidney dan/atau liver
3. Pathology (immunohistokimia) — Formalin-fixed tissues: dari ginjal,
liver, paru-paru, jantung, or spleen

H. DIAGNOSIS BANDING

Termasuk dalam diagnosis banding adalah infeksi virus dengue, baik


demam dengue maupun demam berdarah dengue, hemorrhagic fever yang lain,
dan penyakit lain yang ditularkan melalui arthropod borne dan rodent-borne yang
patogen.

I. PENATALAKSANAAN

Pengobatan Leptospirosis pada dasarnya dibagi menjadi leptospirosis an-ikterik


dan leptospirosis ikterik (leptospira berat), seperti tertera pada tabel di bawah ini.

Tabel 6. Tatalaksana Leptospirosis


Antibiotik Ikterik An-Ikterik

22
Lini Pertama 1. Ampisilin 75-100 1. Penisilin G,
mg/kg/hari, oral, 100,000 U/kg/hari,
tiap 6 jam, selama 7 intravena, dberikan
hari. setiap 6 jam selama
2. Amoksisilin 50 7 hari
mg/kg/hari, oral, 2. Ampisilin 200
tiap 6-8 jam, selama mg/kg/hari,
7 hari. intravena, tiap 6
jam,
3. Amoksisilin 200
mg/kg/hari,
intravena, tiap 6
jam
Lini Kedua Doksisiklin 40 mg/kg/hari, Eritromisin 50 mg/kg/hari,
oral, dua kali sehari selama intravena (data penelitian
7 hari (tidak in-vitro)
direkomendasikan untuk
umur di bawah 8 tahun)
Alergi Penisilin Doksisiklin 40 mg/kg/hari, Eritromisin 50 mg/kg/hari,
oral, dua kali sehari selama intravena (data penelitian
7 hari (tidak in-vitro)
direkomendasikan untuk
umur di bawah 8 tahun).

Kasus SUSPECT dapat ditangani di Unit Pelayanan Dasar (Puskesmas/Puskesmas


Pembantu) atau rawat jalan.
Antibiotik untuk kasus suspect:
- Pilihan utama: Doksisiklin 2 x 100mg (7 hari)
kecuali anak, ibu hamil, atau bila ada kontraindikasi .

23
- Alternatif (bila tidak dapat diberikan doksisiklin):
Amoksisilin 3 x 500mg/hari pada dewasa atau 10-20mg/kgBB per 8 jam pada
anak (7 hari)
- Bila alergi amoksisilin: diberikan makrolid

Antibiotik untuk kasus probable (yang dirawat / klinis berat)


- Ceftriaxon 1-2 gram iv per hari (7 hari)
- Penisilin Prokain 1.5 juta unit im per 6 jam (7hari)
- Ampisilin 4 x 1 gram iv per hari (7 hari)

Terapi suportif untuk:


gagal ginjal, perdarahan organ (paru, saluran cerna, saluran kemih,
serebral dll), gangguan neurologi, syok (kardiogenik, hipovolemik, septik)
Terapi suportif
 Keseimbangan cairan dan elektrolit
 Diuretika pada keadaan oliguri
 Transfusi darah (trombosit atau PRC)
 Ventilator untuk pasien dg gagal nafas / ARDS
 Dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis)

24
BAB III
RINGKASAN

Leptospirosis manusia disebabkan oleh bakteri yang termasuk dalam


genus Leptospira. Leptospirosis ditransmisikan secara langsung atau tidak
langsung dari hewan ke manusia. Penyakit ini terjadi di seluruh dunia tetapi
paling sering di daerah tropis dan sub-tropis. Leptospirosis memiliki potensi
serius tetapi dapat diobati. Gejala-gejalanya dapat menyerupai gejala infeksi lain
yang tidak terkait seperti influenza, meningitis, hepatitis, demam berdarah, atau
demam berdarah lainnya. Spektrum penyakit ini sangat luas, mulai dari infeksi
subklinis hingga sindrom infeksi multiorgan yang parah dengan mortalitas tinggi
(Musso et al, 2013).

Leptospirosis adalah zoonosis yang paling luas di dunia dan dianggap


sebagai penyakit kesehatan masyarakat global yang muncul (Musso et al, 2013).
Angka kematian disebabkan oleh penyakit leptospirosis di Indonesia mencapai
2,5-16,45% (Ningsih et al, 2019). Leptospira dapat menyerang kulit yang terbuka
dan selaput lendir. Infeksi didapat dengan bersentuhan dengan hewan yang
terinfeksi atau urin yang terinfeksi atau jaringan tubuh. Kadang-kadang
Leptospira bahkan dapat diperoleh setelah kontak dengan tanah dan air yang
terkontaminasi.

Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas (bifasik) yaitu fase


leptospiremia/septikemia dan fase imun. Pada fase imun didapatkan dua tipe klinis
yaitu fase imun anikterik dan ikterik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan isolasi dari organisme dari berbagai spesimen atau serokonversi
antibodi 4 kali lipat antara akut dan konvalesens. Pengobatan Leptospirosis pada
dasarnya dibagi menjadi leptospirosis an-ikterik dan leptospirosis ikterik
(leptospira berat).

25
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkader RCRM, Silva MV. The kidney in leptospirosis. Pediatr Nephrol 2008;
23:2111-20.
American Academy of Pediatrics. Leptospirosis. Dalam: Pickering LK,
penyuinting. Redbook: Report of The Committee on Infectious Disease.
25th ed. Elk Grove Village, Il: American Academy of Pediatrics; 2000:h.
370-2.
Hickey PW, Denners D. Leptospirosis. Medicine J 2002; 2:h.1-17.
ASpeck WT, Toltziis P. Leptospirosis. Dalam: Behrman RE, Kliecman RM,
Nelson WE, penyunting, Nelson Textbook of Pediatric; edisi ke-16.
Philadelphia, Tokyo: WB.Saunders; 2000, h.908-9.
Bannister BA, Begg NT, Gillespie S. Penyunting. Leptospirosis. Dalam:
Infectious disease, Bannister BA, Begg NT, Gillespie S, penyunting. Edisi
pertama. Cambridge: Blackwel Scinece 1996.h.195-8.
CDC. (2018). Leptospirosis Fact Sheet for Clinicians. Diakses di
https://www.cdc.gov/leptospirosis/pdf/fs-leptospirosis-clinicians-eng-
508.pdf pada 19 Agustus 2019.

Chaparro S, Montoya J.G. Borrelia & leptospirosis species. Dalam: Current


Diagnosis & Treatment in Infectious Diseases, Wilson W.R, Sande M.A,
penyunting. Edisi pertama. New York, Toronto: Lange Med Bool/ McGraw-
Hill; 2001.h.680-9.
Dainanty NR (2012). Hubungan antara Faktor Lingkungan Fisik Rumah dan
Keberadaan Tikus dengan Kejadian Leptospirosis di Kota Semarang.Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 1(2):1018-28
Dit Jen PPM & PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso. (2003). Pedoman Tatalaksana
Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit.
Departemen Kesehatan RI : Jakarta.
Gillespie, Stephen H.dan Bamford, K. B. 2008. At A Glance Mikrobiologi Medis
dan Infeksi. Erlangga: Jakarta

26
Gossman, W., Gallagher, M. A. S., & Dunn, N. (2019). Leptospirosis (Weil
Disease). In StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing.
Haake, D. A., & Levett, P. N. (2015). Leptospirosis in humans. In Leptospira and
leptospirosis (pp. 65-97). Springer, Berlin, Heidelberg.
Musso, D., & La Scola, B. (2013). Laboratory diagnosis of leptospirosis: a
challenge. Journal of Microbiology, Immunology and Infection, 46(4), 245-
252.
Ningsih, S. W., Adi, M. S., & Saraswati, L. D. (2019). SYSTEMATIC REVIEW
METODE INTERVENSI PENGETAHUAN MASYARAKAT DALAM
PENGENDALIAN KASUS LEPTOSPIROSIS DI WILAYAH KOTA
SEMARANG. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 7(1), 211-220.
Prihantoro, T., & Siwiendrayanti, A. (2017). KARAKTERISTIK DAN KONDISI
LINGKUNGAN RUMAH PENDERITA LEPTOSPIROSIS DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS PEGANDAN KOTA SEMARANG. Journal of
Health Education, 2(2), 185-191.
Seguro, A. C., & Andrade, L. (2013). Pathophysiology of leptospirosis. Shock, 39,
17-23.
Setyawan Budiharta (2002). Epidemiologi Leptospirosis. Seminar Nasional
Bahaya Dan Ancman Leptospirosis, Yogyakarta, 3 Juni 2002.

Sudoyo A W, et al. (2009) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.

Thibeaux, R., Geroult, S., Benezech, C., Chabaud, S., Soupé-Gilbert, M. E.,
Girault, D., & Goarant, C. (2017). Seeking the environmental source of
Leptospirosis reveals durable bacterial viability in river soils. PLoS
neglected tropical diseases, 11(2), e0005414.

Tique, V., Mattar, S., Miranda, J., Oviedo, M., Noda, A., Montes, E., &
Rodriguez, V. (2018). Clinical and Epidemiological Status of Leptospirosis
in a Tropical Caribbean Area of Colombia. BioMed research
international, 2018.

27
World Health Organization (2003). Human Leptospirosis guidance for diagnosis,
surveillance and control. Geneva : WHO.2003.109
Zein Umar. (2006). “Leptospirosis”, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III,
edisi 4. FKUI : Jakarta. Hal.1845 - 1848.

28

Anda mungkin juga menyukai