LEPTOSPIROSIS
Oleh:
Pembimbing
LEPTOSPIROSIS
Oleh:
NIP: 197508272006041002
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Leptospirosis manusia adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri
yang termasuk dalam genus Leptospira. Genus ini terdiri dari setidaknya 22 spesies yang
dikelompokkan ke dalam tiga kategori yang mengandung spesies patogen, saprofitik,
dan pathogen-saprofitik (Tique et al, 2018). Leptospirosis ini ditransmisikan secara
langsung atau tidak langsung dari hewan ke manusia. Penyakit ini terjadi di seluruh
dunia tetapi paling sering di daerah tropis dan sub-tropis. Leptospirosis memiliki potensi
serius tetapi dapat diobati. Gejala-gejalanya dapat menyerupai gejala infeksi lain yang
tidak terkait seperti influenza, meningitis, hepatitis, demam berdarah, atau demam
berdarah lainnya. Spektrum penyakit ini sangat luas, mulai dari infeksi subklinis hingga
sindrom infeksi multiorgan yang parah dengan mortalitas tinggi (Musso et al, 2013).
B. EPIDEMIOLOGI
Leptospirosis adalah zoonosis yang paling luas di dunia dan dianggap sebagai penyakit
kesehatan masyarakat global yang muncul (Musso et al, 2013). Diperkirakan lebih dari 1
juta kasus terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, termasuk hampir 60.000 kematian.
Di Amerika Serikat, sekitar 100–150 kasus leptospirosis dilaporkan setiap tahun. Puerto
Riko melaporkan sebagian besar kasus leptospirosis, diikuti oleh Hawaii. Wabah
leptospirosis cenderung terjadi setelah hujan deras atau banjir di daerah endemis,
terutama daerah dengan perumahan dan kondisi sanitasi yang buruk (CDC, 2018). Di
Indonesia sendiri terdapat empat provinsi yang melaporkan adanya kasus leptospirosis
tahun 2014 yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Dibandingkan tahun 2013, terdapat penurunan jumlah kasus dari 640 kasus menjadi 519
kasus pada tahun 2014. Penurunan kasus leptospirosis secara signifikan terjadi di Jawa
Timur dengan penurunan sekitar dua pertiga dibandingkan tahun sebelumnya. Namun
di DKI Jakarta dan Jawa Tengah terjadi kenaikan kasus bahkan merupakan kasus
tertinggi di kedua provinis tersebut dalam 5 tahun terakhir (Prihantoro et al, 2017).
Angka kematian disebabkan oleh penyakit leptospirosis di Indonesia mencapai 2,5-
16,45% (Ningsih et al, 2019).
3
C. FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor risiko terinfeksi bakteri leptospira, bila kontak langsung/terpajan air
dan rawa yang terkontaminasi yaitu (Depkes RI, 2003):
1. Kontak dengan air yang terkontaminasi bakteri leptospira/urin tikus, saat
banjir
2. Pekerja tukang perahu, rakit bambu, pemulung
3. Mencuci atau mandi di sungai/danau
4. Peternak, pemelihara hewan dan dokter hewan yang terpajan karena
menangani ternak/hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan mati,
menolong hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti plasenta,
cairan amnion dan bila kontak dengan percikan infeksius saat hewan berkemih.
5. Tukang kebun/pekerja di perkebunan.
6. Petani tanpa alas kaki di sawah.
7. Pekerja potong hewan, tukang daging yang terpajan saat memotong
hewan.
8. Pembersih selokan.
9. Pekerja tambang.
10. Pemancing ikan, pekerja tambak udang/ikan air tawar.
11. Tentara, pemburu dan pendaki gunung, bila mengarungi permukaan air
atau rawa.
12. Anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan.
13. Tempat rekreasi di air tawar: berenang, arum jeram dan olah raga air lain,
memasuki gua, mendaki gunung.
Wabah Leptospirosis telah dikaitkan dengan banyak peristiwa air yang umum
termasuk konsumsi air, olahraga air, bencana lingkungan, dan paparan pekerjaan.
Kemampuan leptospira untuk bertahan hidup di lingkungan yang lembab
menjadikannya agen risiko tinggi untuk infeksi setelah kontak dengan sumber air
yang terkontaminasi. Strain leptospirosis patogen dan saprofitik telah diisolasi
dari sumber air termasuk sungai dan danau karena mereka dapat bertahan hidup di
tanah yang lembab dan air tawar untuk jangka waktu yang lama. Leptospira
4
membutuhkan air segar agar tetap hidup di lingkungan dan dapat bertahan selama
beberapa bulan dalam air yang mengalir tetapi hanya beberapa minggu dalam air
yang tergenang, sementara beberapa jenis halofilik dapat hidup air payau dan
garam. Baru-baru ini, dua strain Leptospira kmetyi (MS432 dan MS422) terbukti
bertahan selama 3 hari di air laut buatan dan air laut alami. Ketika air laut
bercampur dengan tanah, strain tersebut mampu bertahan selama empat hari.
Temuan ini memperingatkan kemungkinan risiko infeksi leptospiral di daerah
rawan gelombang badai laut atau tsunami. Area dengan curah hujan tinggi dan
kondisi iklim yang hangat memberikan lingkungan yang optimal untuk
kelangsungan hidup leptospira. Leptospira dapat bertahan hingga 152 hari di air
tawar dengan cara agregasi sel dan oleh karena itu sanitasi dan kebersihan air
merupakan faktor penting dalam mencegah dan mengendalikan transmisi
leptospirosis (Wynwood et al, 2014).
Durasi bertahan hidup Leptospira di habitat alami dipengaruhi oleh banyak faktor
termasuk faktor abiotik dan biotik. Leptospira patogen yang bertahan dalam tanah
basah dan air tawar untuk jangka waktu yang lama diperkirakan tergantung pada
pH yang sedikit basa, oksigen tinggi, dan konsentrasi garam yang rendah. Asumsi
klasik adalah bahwa alkalinitas sedikit lebih tinggi (hingga pH 8,0)
memungkinkan untuk bertahan hidup lebih lama. Dalam kondisi laboratorium,
strain serovar Javanica dilaporkan bertahan dalam air suling (pH 7,8) selama 152
hari. Baru-baru ini, Andre-Fontaine et al menunjukkan bahwa Leptospira yang
patogen dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan dalam air mineral.
Menariknya, Leptospira dilaporkan bertahan selama 10 bulan dalam kondisi buruk
(4˚C) dan hingga 20 bulan bila disimpan pada suhu 30˚C (Thibeaux et al, 2017).
D. ETIOLOGI
Mikroorganisme penyebab leptospirosis adalah bakteri patogen yang termasuk
genus Leptospira. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L. interrogans yang
merupakan bakteri patogen dan L. biflexa adalah saprofitik (Dainanty, 2012).
Terdapat 25 serogrup dan lebih dari 25 serovar (Xu et al, 2014). Di Indonesia
5
dilaporkan bahwa sejak 1936 telah diisolasi berbagai serovar Leptospira, baik dari
hewan liar maupun hewan peliharaan. Di Ambarawa diisolasi dari hewan rodent
L. bataviae; L. icterohaemorrhagie; L. javanica; L. pyrogenes; dan L. semarang.
Abdullah 1961 dapat mengisolasi L. autwnnalis; L. canicola; L. sarmini;
L.schuffieri; L. benyamin; L. asam; L. javanica; L. grippotyphosa; dan L.bovis,
dari Rattus ratuss regni sody yang ditangkap di Bogor dan sekitarnya (Depkes RI,
2003). Beberapa serovar leptospira memiliki keterikatan lebih khusus dengan
hewan-hewan tertentu seperti L. icterohaemorrhagica dan L. copenhageni dengan
tikus, L. canicola dengan anjing, L. Pomona dengan babi, L. hardjo dengan sapi,
L. gryppotyphosa dengan voles (Cahyati et al, 2009)
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu
mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit, tipis,
fleksibel, panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2
um. Salah satu ujung organisme sering membengkak, membentuk suatu kait.
Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini
demikian halus sehingga dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat
sebagai rantai kokus kecil-kecil (Gillespie, et all., 2008)
Gambar 1. Leptospira
Spesies L. interrogans adalah spesies yang dapat menginfeksi manusia dan hewan.
Leptospira terbawa oleh luasnya keberagaman binatang baik yang liar maupun yang
terpelihara, umumnya dari golongan rodensia (hewan pengerat), anjing, sapi, babi,
6
domba, kambing, dan kuda. Manusia terkena penyakit ini melalui kontak langsung
dengan urin hewan terinfeksi, atau secara tidak langsung melalui urin hewan terinfeksi
yang tersimpan di lingkungan. Leptospira memasuki tubuh manusia melalui kulit yang
terluka/terkelupas dan selaput lendir utuh. Penyakit leptospirosis terutama berisiko
terhadap orang yang bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani,
pedagang hewan, dokter hewan, dan lain – lain. Selain itu, leptospirosis juga berisiko
terhadap individu yang terpapar air yang terkontaminasi. Kejadian leptospirosis pada
manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak
tercemar bakteri Leptospira (Dainanty, 2012).
E. PATOFISOLOGI
Langkah pertama dalam patogenesis leptospirosis adalah penetrasi melalui permukaan
luar untuk masuk ke dalam tubuh. Portal masuk potensial meliputi kulit melalui luka
atau abrasi dan selaput lendir konjungtiva atau rongga mulut. Bukti bahwa mukosa
mulut sebagai pintu masuk ditandai dengan sejumlah studi yang menemukan bahwa
menelan saat berenang di air yang terkontaminasi adalah faktor risiko infeksi (Haake et
al, 2015).
Leptospira dapat menyerang kulit yang terbuka dan selaput lendir. Infeksi didapat
dengan bersentuhan dengan hewan yang terinfeksi atau urin yang terinfeksi atau
jaringan tubuh. Kadang-kadang Leptospira bahkan dapat diperoleh setelah kontak
dengan tanah dan air yang terkontaminasi. Sebelumnya, paparan utama terjadi dari air
di taman rekreasi, tetapi baru-baru ini Amerika Serikat telah melihat peningkatan dalam
paparan pekerjaan dari para pekerja pertanian. Ketika organisme ditumpahkan dalam
urin hewan yang terinfeksi, ia dapat bertahan hidup dalam air tawar hingga 16 hari dan
di tanah selama hampir 24 hari. Mereka kemudian dapat masuk ke inang manusia
melalui luka terbuka, selaput lendir, atau paru-paru jika air yang terinfeksi terhirup. Ini
juga dapat ditularkan melalui plasenta jika manusia yang terinfeksi sedang hamil, yang
menyebabkan keguguran pada dua trimester pertama. Jika terinfeksi selama trimester
ketiga, kehamilan dapat berakibat kematian bayi lahir mati atau intrauterine (Gossman
et al, 2019)
7
Kuman leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem
kekebalan dari aliran darah setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen
mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari
darah dan cairan serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan
vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis kuman leptospira yang
penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular.
Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang
berbeda dengan endotoksin bakteri gram (-) dan aktifitas lainnya yaitu stimulasi
perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit
disertai trombositopenia. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal
dan hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan
lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan
meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah
satu penyebab gagal ginjal. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan,
pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular,
kolestasis intrahepatik sampai berkurangya sekresi bilirubin (Dit Jen PPM & PL RSPI Prof.
DR. Sulianti Saroso, 2003)
8
terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai
leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah.
Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
nekrosis tubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi immunologis, iskemia, gagal
ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikro organism juga berperan menimbulkan
kerusakan ginjal. Studi ginjal setelah inokulasi leptospira pada tikus menunjukkan bahwa
masuknya mikroorganisme terjadi melalui penetrasi lumen kapiler pada hari kedua,
sedangkan masuknya di jaringan interstitial menyebabkan edema dan infiltrasi sel
terjadi antara hari keempat dan kedelapan. Leptospira dapat diidentifikasi melekat pada
permukaan epitel tubulus ginjal setelah minggu pertama dan di lumen tubular pada
minggu kedua. Antigen Leptospira ditemukan dalam sel-sel tubulus proksimal dan
sebagai kelompok ekstraseluler besar di interstitium. Fokus ATN (Nekrosis Tubular Akut)
juga dapat dilihat. Membran luar leptospira mengandung komponen antigenik termasuk
lipoprotein, lipopolisakarida dan peptidoglikan, endotoksin yang dapat menjelaskan
cedera ginjal, yang menyebabkan disfungsi tubular dan peradangan. Beberapa protein
membran luar (OMP) spesies patogen telah diidentifikasi dan terletak di tubulus
proksimal dan interstitium hewan yang terinfeksi. OMP paling penting yang
diekspresikan selama infeksi adalah LipL32, yang memengaruhi langsung sel tubular
proksimal, yang secara signifikan meningkatkan ekspresi gen dan protein pro-inflamasi,
seperti nitric oxide synthase (iNOS) yang dapat diinduksi, monocyte chemotactic
protein-1 (CCL2 / MCP -1), sel T (RANTES), dan faktor nekrosis tumor (TNF-α). Kemokin
CCL2 / MCP-1 adalah salah satu faktor terpenting pada awal infiltrasi monosit pada
nefritis interstitial, sedangkan TNF-α, sitokin inflamasi, merupakan mediator
endotoksemia. Stimulasi iNOS dan CCL2 / MCP-1 oleh OMP, khususnya LipL32,
tergantung pada keberadaan dalam sel tubulus proksimal dari reseptor seperti tol (TLR),
protein spesifik yang mengenali pola molekul patogen yang bertindak sebagai baris
pertama dari pertahanan kekebalan bawaan, menghasilkan respon inflamasi awal,
dalam kasus khusus ini, TLR2. Secara singkat, OMP mengikat TLR2 dalam sel tubulus
proksimal, yang mengarah ke aktivasi faktor nuklir NF-kβ, yang merangsang produksi
9
CCL2 / MCP-1 dan CXCL2 / MIP-2 untuk merekrut sel-sel inflamasi. NF-kβ juga dikaitkan
dengan peningkatan iNOS dan TNF-α dalam sel tubulus proksimal (Daher et al, 2010).
Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian
ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel
parenkim.
Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal nekrotis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada leptospira disebabkan
invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis
yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau petechie pada
mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal (CSS) dan
dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon
antibody, tidak pada saat masuk CSS. Diduga terjadinya meningitis diperantarai oleh
mekanisme immunologis. Terjadi penebalan meningen dengan sedikit peningkatan sel
mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya
paling sering disebabkan oleh L. canicola.
Weil Desease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,
biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe
kontinua. Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis.
Penyebab Weil disease adalah serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh
serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal,
hepatic atau disfungsi vascular
10
(Zein Umar, 2006; World Health Organization, 2003; Setyawan, 2002)
11
Patofisiologi leptospirosis (Seguro et al, 2013)
F. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2 – 26 hari, biasanya 7 - 13 hari dan
rata-rata 10 hari.
12
parotitis, epididimytis, hematemesis, asites, miokarditis
Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam darah dan CSS,
berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal,
rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pingang disertai
nyeri tekan pada otot tersebut. Mialgia dapat di ikuti dengan hiperestesi kulit,
demam tinggi yang disertai mengigil, juga didapati mual dengan atau tanpa
muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus
(50%). Pada hari ke 3-4 dapat di jumpai adanya conjungtivitis dan fotophobia.
Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk macular, makulopapular atau
urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta
limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat di tangani pasien akan
membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan
fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang
lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari,
setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.
Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab antibodi dapat terdeteksi
dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin, namun tidak dapat
ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini muncul sebagai
konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan berakhir dalam waktu 30
hari atau lebih.
Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala pada fase
pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa hari,
namun ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala penyakit bertahan sampai
13
beberapa minggu. Demam dan mialgia pada fase yang ke-2 ini tidak begitu
menonjol seperti pada fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan mengalami
nyeri kepala hebat yang nyaris tidak dapat dikonrol dengan preparat analgesik.
Nyeri kepala ini seringkali merupakan tanda awal dari meningitis.
Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari darah
selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang ditemukan
adalah nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada 30 % kasus ),
hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis ditemukan pada 2-10 %
kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau fase lanjut dari penyakit. Gejala iritis,
iridosiklitis dan khorioretinitis ( komplikasi lambat yang dapat menetap selama
beberapa tahun ) dapat muncul pada minggu ketiga namun dapat pula muncul
beberapa bulan setelah awal penyakit.
Demam dan nyeri otot masih bisa dijumpai yang kemudian berangsur-angsur
hilang.
14
Tabel 2: Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik
Leptospirosis anikterik *
Leptospirosis ikterik
* antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik (1-3
hari)
15
Tabel 3. Patofisiologi leptospirosis
G. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Biasa yang mudah terjangkit pada usia produktif, karena kelompok ini lebih
banyak aktif di lapangan. Tempat tinggal; dari alamat dapat diketahui apakah
16
tempat tinggal termasuk wilayah padat penduduk, banyak pejamu reservoar,
lingkungan yang sering tergenang air maupun lingkungan kumuh.
2. Pemeriksaan Fisik
17
Gambar 4. Conjungtiva suffision dan ikterik pada sklera
A. Gejala :
Sakit kepala mendadak (Ya) :2
Conjunctival suffusion (Ya) :4
Demam (Ya) :2
Demam > 38.50C (Ya) :2
Meningismus (Tidak) :2
Nyeri otot (terutama betis)(Ya) : 4
Meningismus, nyeri otot, conjinctival suffusion bersama-sama (Ya) : 4
Ikterik (Ya) :1
Albuminuria / azotemia (Ya) :2
B. Faktor epidemiologik
- Musim hujan (Ya) :5
- Kontaminasi lingkungan (Ya) : 4
- Kontak binatang (Ya) :1
C. Hasil laboratorium serologi
- Single (+), titer rendah
- Single (+) titer tinggi
18
Jumlah : 33
1. Kasus suspect
Jika didapatkan demam akut(≥38,5) dan/atau nyeri kepala hebat dengan:
o Myalgia
o Kelemahan dan/atau
o Conjuctival suffusion, dan
o Riwayat terpajan dengan lingkunganyang terkontaminasi leptospira
2. Kasus probable
Jika terdapat 2 gejala dibawah ini:
o Nyeri betis
o Batuk dengan atau tanpa batuk darah
o Ikterik
o Manifestasi perdarahan
o Iritasi meningeal
o Anuria/oligouria dan/atau proteinuria
o Sesak napas
o Aritmia jantung
o Rash di kulit
19
3. Kasus confirm
Kasus suspect atau probable dengan salah satu di bawah ini:
1. Isolasi kuman leptospira dari spesies klasik
2. Hasil PCR (+)
3. Serokonversi dari negatif ke positif atau peningkatan 4 kali titer MAT
3. Pemeriksaan Penunjang
20
diantaranya hasilnya harus dikonfirmasi
1. ELISA IgM menggunakan salah satu metode
2. ImmunoDOT terkonfirmasi yang ada di bawah
3. Lateral flow tests
21
1. Microscopic agglutination test (MAT) — serologi tes
Pengambilan sample dilakukan pada hari ke 7-14 dimana pada hari
tersebut merupakan fase akut dari penyakit dan waktu ideal untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan
H. DIAGNOSIS BANDING
I. PENATALAKSANAAN
22
Lini Pertama 1. Ampisilin 75-100 1. Penisilin G,
mg/kg/hari, oral, 100,000 U/kg/hari,
tiap 6 jam, selama 7 intravena, dberikan
hari. setiap 6 jam selama
2. Amoksisilin 50 7 hari
mg/kg/hari, oral, 2. Ampisilin 200
tiap 6-8 jam, selama mg/kg/hari,
7 hari. intravena, tiap 6
jam,
3. Amoksisilin 200
mg/kg/hari,
intravena, tiap 6
jam
Lini Kedua Doksisiklin 40 mg/kg/hari, Eritromisin 50 mg/kg/hari,
oral, dua kali sehari selama intravena (data penelitian
7 hari (tidak in-vitro)
direkomendasikan untuk
umur di bawah 8 tahun)
Alergi Penisilin Doksisiklin 40 mg/kg/hari, Eritromisin 50 mg/kg/hari,
oral, dua kali sehari selama intravena (data penelitian
7 hari (tidak in-vitro)
direkomendasikan untuk
umur di bawah 8 tahun).
23
- Alternatif (bila tidak dapat diberikan doksisiklin):
Amoksisilin 3 x 500mg/hari pada dewasa atau 10-20mg/kgBB per 8 jam pada
anak (7 hari)
- Bila alergi amoksisilin: diberikan makrolid
24
BAB III
RINGKASAN
25
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkader RCRM, Silva MV. The kidney in leptospirosis. Pediatr Nephrol 2008;
23:2111-20.
American Academy of Pediatrics. Leptospirosis. Dalam: Pickering LK,
penyuinting. Redbook: Report of The Committee on Infectious Disease.
25th ed. Elk Grove Village, Il: American Academy of Pediatrics; 2000:h.
370-2.
Hickey PW, Denners D. Leptospirosis. Medicine J 2002; 2:h.1-17.
ASpeck WT, Toltziis P. Leptospirosis. Dalam: Behrman RE, Kliecman RM,
Nelson WE, penyunting, Nelson Textbook of Pediatric; edisi ke-16.
Philadelphia, Tokyo: WB.Saunders; 2000, h.908-9.
Bannister BA, Begg NT, Gillespie S. Penyunting. Leptospirosis. Dalam:
Infectious disease, Bannister BA, Begg NT, Gillespie S, penyunting. Edisi
pertama. Cambridge: Blackwel Scinece 1996.h.195-8.
CDC. (2018). Leptospirosis Fact Sheet for Clinicians. Diakses di
https://www.cdc.gov/leptospirosis/pdf/fs-leptospirosis-clinicians-eng-
508.pdf pada 19 Agustus 2019.
26
Gossman, W., Gallagher, M. A. S., & Dunn, N. (2019). Leptospirosis (Weil
Disease). In StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing.
Haake, D. A., & Levett, P. N. (2015). Leptospirosis in humans. In Leptospira and
leptospirosis (pp. 65-97). Springer, Berlin, Heidelberg.
Musso, D., & La Scola, B. (2013). Laboratory diagnosis of leptospirosis: a
challenge. Journal of Microbiology, Immunology and Infection, 46(4), 245-
252.
Ningsih, S. W., Adi, M. S., & Saraswati, L. D. (2019). SYSTEMATIC REVIEW
METODE INTERVENSI PENGETAHUAN MASYARAKAT DALAM
PENGENDALIAN KASUS LEPTOSPIROSIS DI WILAYAH KOTA
SEMARANG. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 7(1), 211-220.
Prihantoro, T., & Siwiendrayanti, A. (2017). KARAKTERISTIK DAN KONDISI
LINGKUNGAN RUMAH PENDERITA LEPTOSPIROSIS DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS PEGANDAN KOTA SEMARANG. Journal of
Health Education, 2(2), 185-191.
Seguro, A. C., & Andrade, L. (2013). Pathophysiology of leptospirosis. Shock, 39,
17-23.
Setyawan Budiharta (2002). Epidemiologi Leptospirosis. Seminar Nasional
Bahaya Dan Ancman Leptospirosis, Yogyakarta, 3 Juni 2002.
Sudoyo A W, et al. (2009) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
Thibeaux, R., Geroult, S., Benezech, C., Chabaud, S., Soupé-Gilbert, M. E.,
Girault, D., & Goarant, C. (2017). Seeking the environmental source of
Leptospirosis reveals durable bacterial viability in river soils. PLoS
neglected tropical diseases, 11(2), e0005414.
Tique, V., Mattar, S., Miranda, J., Oviedo, M., Noda, A., Montes, E., &
Rodriguez, V. (2018). Clinical and Epidemiological Status of Leptospirosis
in a Tropical Caribbean Area of Colombia. BioMed research
international, 2018.
27
World Health Organization (2003). Human Leptospirosis guidance for diagnosis,
surveillance and control. Geneva : WHO.2003.109
Zein Umar. (2006). “Leptospirosis”, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III,
edisi 4. FKUI : Jakarta. Hal.1845 - 1848.
28