Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KEGIATAN INTERNSIP

F5. UPAYA SURVEILLANCE


PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT
MENULAR DAN TIDAK MENULAR

PENINGKATAN PENGETAHUAN MENGENAI


PENYAKIT LEPTOSPIROSIS

Disusun oleh
dr. Derajat Fauzan Nardian

Pendamping
dr. Sri Kayati

DOKTER INTERNSIP
PUSKESMAS KLEGO I
2018-2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disahkan laporan kegiatan


Judul : Laporan Kegiatan Upaya Surveillance Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit Menular dan Tidak Menular –
Peningkatan Pengetahuan Mengenai Penyakit Leptospirosis
Penulis : dr. Derajat Fauzan Nardian
Pendamping : dr. Sri Kayati

Boyolali, September 2018


Pendamping, Penyusun,

dr. Sri Kayati dr. Derajat Fauzan Nardian


F5. UPAYA SURVEILLANCE
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR

PENINGKATAN PENGETAHUAN MENGENAI PENYAKIT


LEPTOSPIROSIS

A. LATAR BELAKANG
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,
khususnya Negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis yang memiliki curah
hujan tinggi. Leptospirosis adalah salah satu penyakit infeksi yang terabaikan atau
Neglected Infectious Diseases (NIDs) yaitu penyakit infeksi yang endemis pada
masyarakat miskin atau populasi petani dan pekerja yang berhubungan dengan air
dan tanah di negera berkembang. Leptospirosis merupakan zoonosis yang paling
luas tersebar diseluruh dunia, kecuali daerah kutub. Hal ini mungkin dikarenakan
leptospirosis mampu bertahan lama dalam lingkungan yang hangat dan lembab1.
Penyakit secara epidemiologik dipengaruhi oleh 3 faktor pokok yaitu
faktor agent penyakit yang berkaitan dengan penyebab termasuk jumlah,
virulensi,patogenitas bakteri leptospira, faktor kedua yang berkaitan dengan faktor
host (penjamu) termasuk didalamnya keadaan kebersihan perorangan, keadaan
gizi, usia, taraf pendidikan, dan faktor ketiga yaitu lingkungan. Pada risiko
leptospirosis faktor risiko lingkungan yang sangat berpengaruh seperti adanya
genangan air dan sanitasi yang buruk2.
Menurut International Leptospirosis Society (ILS) saat ini Indonesia
merupakan salah satu negara tropis dengan kasus kematian leptospirosis relatif
tinggi, yaitu berkisar antara 2,5% - 16,45% atau rata- rata 7,1% dan termasuk
peringkat tiga di dunia untuk mortalitas. Case Fatality Rate (angka kematian) ini
dapat lebih tinggi hingga mencapai 56% apabila penderita leptospirosis telah
berusia lebih lama dari 50 tahun serta terlambat mendapatkan pengobatan3.
Beban leptospirosis diperkirakan 500.000 orang di seluruh dunia per
tahun, meskipun perkiraan baru sedang dikembangkan oleh kelompok konsultasi
ahli yang dipimpin oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Selain itu, jumlah
kasus yang dilaporkan terkait dengan bencana alam dan banjir telah meningkat
dengan wabah paling menonjol terjadi di Nikaragua (1995), Peru dan Ekuador
(1998), Orissa (1999), Malaysia (2000), Jakarta (2002), Mumbai (2000 dan 2005),
dan Filipina (2009). Tidak semua negara menganggap leptospirosis sebagai
ancaman kesehatan masyarakat yang perlu pencegahan sedini mungkin, mungkin
dikarenakan dengan kemampuan diagnostik disetiap negara berbeda-beda.
Leptospirosis pada umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan, pekerja
tambang atau selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer3.
Berdasaran data dari Kementrian Kesehatan tahun 2017, menyatakan
bahwa provinsi yang melaporkan adanya kasus leptospirosis yaitu Provinsi DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten dan
Kalimantan Selatan16. Provinsi Jawa Tengah memegang angka kasus terbanyak
disetiap tahunnya dan mengalami peningkatan pada tahun 2016 sebanyak 164
kasus dan yang dilaporkan meninggal dunia sebanyak 30 kasus (CFR 18.29%)16.
Sedangkan berdasarkan data Buku Saku Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
Triwulan 2 tahun 2016, kasus dan kematian leptospirosis di Jawa Tengah yaitu
pada tahun 2012 terdapat 129 kasus dan 20 orang meninggal (CFR 15.50%),
tahun 2013 terdapat 156 kasus dan 17 orang meninggal (CFR 10.90%), tahun
2014 terdapat 207 kasus dan 34 orang meninggal (CFR 16.42%), tahun 2015
terdapat 149 kasus dan 24 orang meninggal (CFR 16.10%) dan tahun 2016 sampai
pada triwulan 2 terdapat 60 kasus dan 14 orang meninggal15. Penyebaran kasus
leptospirosis di Jawa Tengah terdapat di beberapa Kabupaten, yakni Jepara, Pati,
Demak, Semarang, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, Purworejo,
Banyumas dan Cilacap.
Seperti diketahui bahwa bulan Januari dan Februari, di Kabupaten Boyolali
telah ditemukan delapan kasus penyakit leptospirosis, dengan korban meninggal
sampai tiga orang. Penyebarannya pun tidak hanya ke manusia, akan tetapi mulai
menjangkit ke hewan ternak.
B. DASAR TEORI
1. Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
patogen spirochaeta, genus Leptospira. Spirochaeta ini pertama kali diisolasi
di Jepang oleh Inada setelah sebelumnya digambarkan oleh Adolf Weil tahun
1886. Weil menemukan bahwa penyakit ini menyerang manusia dengan gejala
demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal. 6,12
Di Indonesia, gambaran klinis leptospirosis dilaporkan pertama kali oleh
Van der Scheer di Jakarta pada tahun 1892, sedang isolasinya dilakukan oleh
Vervoot pada tahun 1922. Penyakit ini disebut juga sebagai Weil disease,
Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud fever, atau Swineherd disease.6
2. Etiologi
Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta, dapat menyebabkan
penyakit infeksius yang disebut leptospirosis. Leptospira merupakan
organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-15 μm, disertai
spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2 μm. Salah satu ujung bakteri ini seringkali
bengkok dan membentuk kait. 9,12,13 Leptospira memiliki ciri umum yang
membedakannya dengan bakteri lainnya. Sel bakteri ini dibungkus oleh
membran luar yang terdiri dari 3-5 lapis. Di bawah membran luar, terdapat
lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan helikal, serta membran sitoplasma.
Ciri khas Spirochaeta ini adalah lokasi flagelnya, yang terletak diantara
membran luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela ini disebut flagela
periplasmik. Leptospira memiliki dua flagel periplasmik, masing-masing
berpangkal pada setiap ujung sel. Kuman ini bergerak aktif, paling baik dilihat
dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap.9,12
Gambar 1. Leptospira interrogans

Gambar 2. Bakteri Leptospira sp. menggunakan mikroskop elektron tipe


scanning

Leptospira merupakan Spirochaeta yang paling mudah dibiakkan, tumbuh


paling baik pada keadaan aerob pada suhu 28-30ºC dan pada pH 7,4. Media
yang bisa digunakan adalah media semisolid yang kaya protein, misalnya
media Fletch atau Stuart. Lingkungan yang sesuai untuk hidup leptospira
adalah lingkungan lembab seperti kondisi pada daerah tropis.9,12
Berdasarkan spesifisitas biokimia dan serologi, Leptospira sp. dibagi
menjadi Leptospira interrogans yang merupakan spesies yang patogen dan
Leptospira biflexa yang bersifat tidak patogen (saprofit). Sampai saat ini telah
diidentifikasi lebih dari 200 serotipe pada L.interrogans. Serotipe yang paling
besar prevalensinya adalah canicola, grippotyphosa, hardjo,
icterohaemorrhagiae, dan pomona.2,12
3. Patogenesis
Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara, yang
tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar bakteri
leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka
dan mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini
dapat melalui kontak dengan kulit sehat (intak) terutama bila kontak lama
dengan air.6 Selain melalui kulit atau mukosa, infeksi leptospira bisa juga
masuk melalui konjungtiva.17 Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke
dalam tubuh tidak menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri.
Hialuronidase dan atau gerak yang menggangsir (burrowing motility) telah
diajukan sebagai mekanisme masuknya leptospira ke dalam tubuh.6
Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di
darah dan jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal
bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau 2
hari infeksi. Leptospira virulen mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi,
lesi primer adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan
menimbulkan vaskulitis serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat
disertai dengan kebocoran dan ekstravasasi sel.10,18,19
Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan
sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira
mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri
gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel
endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai
trombositopenia. Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu
hemolisis yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang
mengandung fosfolipid.18
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan
lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi
mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan
kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan
perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal
ginjal tampak pembesaran ginjal disertai edema dan perdarahan subkapsular,
serta nekrosis tubulus renal. Sementara perubahan yang terjadi pada hati bisa
tidak tampak secara nyata. Secara mikroskopik tampak perubahan patologi
berupa nekrosis sentrolobuler disertai hipertrofi dan hiperplasia sel
Kupffer.10,18,19
Gambar 4. Leptospirosis pathway dan gambaran klinisnya
4. Gejala
Gambaran klinik pada leptospirosis berkaitan dengan penyakit febril umum
dan tidak cukup khas untuk menegakkan diagnosis.9 Secara khas penyakit ini
bersifat bifasik, yaitu fase leptospiremi/ septikemia dan fase imun. 17,20
1. Fase leptospiremi atau septikemia
Masa inkubasi dari leptospira virulen adalah 7-12 hari, rata-rata 10
hari. Untuk beberapa kasus, dapat menjadi lebih singkat yaitu 2 hari atau
bahkan bisa memanjang sampai 30 hari.10 Fase ini ditandai adanya demam
yang timbul dengan onset tiba-tiba, menggigil, sakit kepala, mialgia, ruam
kulit, mual, muntah, conjunctival suffusion, dan tampak lemah.
Demam tinggi dan bersifat remiten bisa mencapai 40ºC sebelum
mengalami penurunan suhu tubuh. Conjunctival suffusion merupakan tanda
khas yang biasanya timbul pada hari ke-3 atau ke-4 sakit.20
Selama fase ini, leptospira dapat dikultur dari darah atau cairan
serebrospinal penderita. Tes serologi menunjukkan hasil yang negatif
sampai setidaknya 5 hari setelah onset gejala.
Pada fase ini mungkin dijumpai adanya hepatomegali, akan tetapi
splenomegali kurang umum dijumpai. Pada hitung jumlah platelet,
ditemukan adanya penurunan jumlah platelet dan trombositopeni purpura.
Pada urinalisis ditemukan adanya proteinuri, tetapi kliren kreatinin
biasanya masih dalam batas normal sampai terjadi nekrosis tubular atau
glomerulonefritis.10
2. Fase imun
Fase kedua ini ditandai dengan leptospiuria dan berhubungan dengan
timbulnya antibodi IgM dalam serum penderita.20 Pada kasus yang ringan
(mild case) fase kedua ini berhubungan dengan tanda dan gejala yang
minimal, sementara pada kasus yang berat (severe case) ditemukan
manifestasi terhadap gangguan meningeal dan hepatorenal yang dominan.10
Pada manifestasi meningeal akan timbul gejala meningitis yang
ditandai dengan sakit kepala, fotofobia, dan kaku kuduk. Keterlibatan
sistem saraf pusat pada leptospirosis sebagian besar timbul sebagai
meningitis aseptik. Pada fase ini dapat terjadi berbagai komplikasi, antara
lain neuritis optikus, uveitis, iridosiklitis, dan neuropati perifer.10
Pada kasus yang berat, perubahan fase pertama ke fase kedua mungkin
tidak terlihat, akan tetapi timbul demam tinggi segera disertai jaundice dan
perdarahan pada kulit, membrana mukosa, bahkan paru. Selain itu ini
sering juga dijumpai adanya hepatomegali, purpura, dan ekimosis. Gagal
ginjal, oliguria, syok, dan miokarditis juga bisa terjadi dan berhubungan
dengan mortalitas penderita.10

Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan (non-ikterik)


dan berat (ikterik). Ikterik merupakan indikator utama dari leptospirosis berat.
1. Leptospirosis ringan (non-ikterik)
Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik, dan
ini diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis di
masyarakat. Gejala leptospirosis timbul mendadak ditandai dengan viral-
like illness, yaitu demam, nyeri kepala, dan mialgia. Nyeri kepala bisa
berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro orbital dan
fotofobia. Nyeri otot diduga terjadi karena adanya kerusakan otot sehingga
kreatinin fosfokinase (CPK) pada sebagian besar kasus meningkat, dan
pemeriksaan CPK ini dapat membantu penegakan diagnosis klinik
leptospirosis.17,20
Dapat juga ditemukan nyeri perut, diare, anoreksia, limfadenopati,
splenomegali, rash makulopapular, kelainan mata (uveitis, iridosiklitis),
meningitis aseptik dan conjunctival suffusion.17
Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri
tekan di daerah betis. Gambaran klinik terpenting leptospirosis non-nikterik
adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan
diagnosisnya.17 Sebanyak 80-90% penderita leptospirosis anikterik akan
mengalami pleositosis pada cairan serebrospinal selama minggu ke-2
penyakit dan 50% diantaranya akan menunjukkan tanda klinis meningitis.
Karena penderita memperlihatkan penyakit yang bersifat bifasik atau
memberikan riwayat paparan dengan hewan, meningitis tersebut kadang
salah didiagnosis sebagai kelainan akibat virus.9
Pasien dengan leptospirosis non-ikterik pada umumnya tidak berobat
karena keluhan bisa sangat ringan.21 Pada sebagian pasien, penyakit ini
bisa sembuh sendiri (self-limited) dan biasanya gejala kliniknya menghilang
dalam waktu 2 sampai 3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip dengan
penyakit demam akut yang lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan
demam akut, leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu
diagnosis banding, terutama di daerah endemik leptospirosis seperti
Indonesia.7,17
2. Leptospirosis berat (ikterik)
Bentuk leptospirosis yang berat ini pada mulanya dikatakan sebagai
Leptospira ichterohaemorrhagiae, tetapi ternyata dapat terlihat pada setiap
serotipe leptospira yang lain.9 Manifestasi leptospirosis yang berat
memiliki angka mortalitas sebesar 5-15%.22
Leptospirosis ikterik disebut juga dengan nama Sindrom Weil. Tanda
khas dari sindrom Weil yaitu jaundice atau ikterik, azotemia, gagal ginjal,
serta perdarahan yang timbul dalam waktu 4-6 hari setelah onset gejala dan
dapat mengalami perburukan dalam minggu ke-2. Ikterus umumnya
dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat.17,20 Pada leptospirosis
ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau
nampak overlapping dengan fase leptospiremia.17
Tabel 3. Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik

# antara fase leptospiremi dengan fase imun terdapat periode asimtomatik (1-3
hari)

Beratnya berbagai komponen sindrom Weil kemungkinan mencerminkan


beratnya vaskulitis yang mendasarinya. Ikterus biasanya tidak terkait
dengan nekrosis hepatoselular, dan setelah sembuh tidak terdapat gangguan
fungsi hati yang tersisa. Kematian pada sindrom Weil jarang disebabkan
oleh gagal hati.9
5. Faktor-faktor risiko leptospirosis
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia.
Lingkungan di sekitar manusia dapat dikategorikan menjadi lingkungan fisik,
biologi, kimia, sosial budaya. Jadi lingkungan adalah kumpulan dari semua
kondisi dari luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan dari
organisme hidup manusia. Lingkungan dan manusia harus ada keseimbangan,
apabila terjadi ketidakseimbangan lingkungan maka akan menimbulkan
berbagai macam penyakit.
Menurut John Gordon, triangulasi epidemiologi penyebaran penyakit
keseimbangannya tergantung adanya interaksi tiga faktor dasar epidemiologi
yaitu agent (penyebab penyakit), host (manusia dan karakteristiknya) dan
environment (lingkungan). Ketiga faktor tersebut membentuk model
leptospirosis angle sebagai berikut:
Jika dalam keadaan seimbang antara ketiga faktor tersebut maka akan tercipta
kondisi sehat pada seseorang/masyarakat. Perubahan pada satu komponen
akan mengubah keseimbangan, sehingga akan mengakibatkan menaikkan atau
menurunkan kejadian penyakit.
1. Faktor Agen (Agent Factor)
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
patogen yang disebut Leptospira. Leptospira terdiri dari kelompok
leptospira patogen yaitu L. intterogans dan leptospira non-patogen yaitu L.
biflexa (kelompok saprofit).1-7
2. Faktor Pejamu (Host Factor)
Dengan adanya binatang yang terinfeksi bakteri leptospira di manamana,
leptospirosis pada manusia dapat terjadi pada semua kelompok umur dan
pada kedua jenis kelamin (laki-laki/perempuan). Namun demikian,
leptospirosis ini merupakan penyakit yang terutama menyerang anak-anak
belasan tahun dan dewasa muda (sekitar 50% kasus umumnya berumur
antara 10-39 tahun), dan terutama terjadi pada laki-laki (80%).1-2
3. Faktor Lingkungan (Environmental Factor)
Perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya kesehatan
masyarakat pada kejadian leptospirosis ini meliputi: lingkungan fisik
seperti keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah,
keberadaan parit/selokan yang airnya tergenang, keberadaan genangan air,
keberadaan sampah, keberadaan tempat pengumpulan sampah, jarak
rumah dengan sungai, jarak rumah dengan parit/selokan, jarak rumah
dengan tempat pengumpulan sampah, sumber air yang digunakan untuk
mandi/mencuci, lingkungan biologik seperti keberadaan tikus ataupun
wirok di dalam dan sekitar rumah, keberadaan hewan piaraan sebagai
hospes perantara (kucing, anjing, kambing, sapi, kerbau, babi), lingkungan
sosial seperti lama pendidikan, jenis pekerjaan, kondisi tempat bekerja,
ketersediaan pelayanan untuk pengumpulan limbah padat, ketersediaan
sistem distribusi air bersih dengan saluran perpipaan, ketersediaan sistem
pembuangan air limbah dengan saluran tertutup.
a. Lingkungan Fisik
1) Keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah
Keberadaan sungai menjadikannya sebagai media untuk
menularkan berbagai jenis penyakit termasuk penyakit
leptospirosis. Peran sungai sebagai media penularan penyakit
leptospirosis terjadi ketika air sungai terkontaminasi oleh urin tikus
atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri leptospira sehingga
cara penularannya disebut Water-Borne Infection.
Kotoran yang berasal dari hewan dan orang yang
mengandung bakteri dan virus dapat dihanyutkan dalam sungai-
sungai dan biasa terdapat dalam tanki-tanki tinja di desa dan bisa
juga berada di dalam sumur-sumur atau mata air yang tidak
terlindungi.22
Menurut Johnson M.A. et.al (2004), tempat tinggal yang
dekat dengan sungai mempunyai risiko 1,58 kali lebih tinggi
terkena leptospirosis (OR=1,58; 95%C.I: 1,07-2,32).18
2) Keberadaan parit/selokan yang airnya tergenang
Parit/Selokan menjadi tempat yang sering dijadikan tempat
tinggal tikus atau wirok serta sering juga dilalui oleh hewan-hewan
peliharaan yang lain sehingga parit/selokan ini dapat menjadi
media untuk menularkan penyakit leptospirosis. Peran
parit/selokan sebagai media penularan penyakit leptospirosis
terjadi ketika air yang ada diparit/selokan terkontaminasi oleh urin
tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri leptospira.
Kondisi selokan yang banjir selama musim hujan
mempunyai risiko 4 kali lebih tinggi terkena leptospirosis
(OR=4,21; 95%C.I: 1,51-12,83) dan tempat tinggal yang dekat
dengan selokan air mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis (OR=5,15; 95%C.I: 1,80-14,74).16
3) Genangan air
Air tergenang seperti yang selalu dijumpai di negeri-negeri
beriklim sedang pada penghujung musim panas, atau air yang
mengalir lambat, memainkan peranan penting dalam penularan
penyakit leptospirosis. Tetapi di rimba belantara yang airnya
mengalir deras pun dapat merupakan sumber infeksi.2
Biasanya yang mudah terjangkit penyakit Biasanya yang
mudah terjangkit penyakit leptospirosis adalah usia produktif
dengan karakteristik tempat tinggal: merupakan daerah yang padat
penduduknya, banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering
tergenang air maupun lingkungan kumuh.23 Tikus biasanya
kencing di genangan air. Lewat genangan air inilah bakteri
leptospira akan masuk ke tubuh manusia.
4) Sampah
Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan
menjadi tempat yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek
seperti adanya kumpulan sampah dan kehadiran tikus merupakan
variabel determinan kasus leptospirosis. Adanya kumpulan sampah
dijadikan indikator dari kehadiran tikus.24
5) Sumber Air
Untuk keperluan sehari-hari, air dapat diperoleh dari beberapa
macam sumber diantaranya:22
a) Air Hujan
Air hujan merupakan penyubliman awan/uap air menjadi
air murni yang ketika turun dan melalui udara akan
melarutkan benda benda yang terdapat di udara.22
Di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, sebagai dampak
fenomena El-Nino menyebabkan curah hujan menjadi tinggi
dan menyebabkan banjir. Oleh karena adanya banjir tersebut
menyebabkan jumlah kejadian leptospirosis meningkat.5
b) Air Permukaan
Air permukaan merupakan salah satu sumber yang dapat
dipakai untuk bahan baku air bersih. Dalam menyediakan air
bersih terutama untuk air minum, dalam sumbernya perlu
diperhatikan tiga segi yang penting yaitu: mutu air baku,
banyaknya air baku, dan kontinuitas air baku. Dibandingkan
dengan sumber lain, air permukaan merupakan sumber air
yang tercemar benar. Keadaan ini terutama berlaku bagi
tempat-tempat yang dekat dengan tempat tinggal penduduk.
Hampir semua buangan dan sisa kegiatan manusia
dilimpahkan kepada air atau dicuci dengan air, dan pada
waktunya akan dibuang ke dalam badan air permukaan.22
Di samping manusia, fauna dan flora juga turut mengambil
bagian dalam mengotori air permukaan. Jenis-jenis sumber air
yang termasuk ke dalam air permukaan adalah air yang berasal
dari: Sungai, Selokan, Rawa, Parit, Bendungan, Danau, Laut,
dan sebagainya.22
c) Air Tanah
Sebagian air hujan yang mencapai permukaan bumi akan
menyerap ke dalam tanah dan akan menjadi air tanah.
Sebelum mencapai lapisan tempat air tanah, air hujan akan
menembus beberapa lapisan tanah sambil berubah sifatnya.22
Menurut David, A. et al (2000), sumber air untuk rumah
tangga yang berasal dari sumur gali mempunyai risiko 1,9 kali
lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=1,9; 95%C.I: 1,1-3,5),
sumber air untuk rumah tangga yang berasal dari sungai
mempunyai risiko 1,4 kali lebih tinggi terkena leptospirosis
(OR=1,4; 95%C.I: 1,1-1,9).19
6) Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah
Tikus senang berkeliaran di tempat sampah untuk mencari
makanan. Jarak rumah yang dekat dengan tempat pengumpul
sampah mengakibatkan tikus dapat masuk ke rumah dan kencing di
sembarang tempat. Jarak rumah yang kurang dari 500 meter dari
tempat pengumpulan sampah menunjukkan kasus leptospirosis
lebih besar dibanding yang lebih dari 500 meter.24
b. Lingkungan Biologik
1) Populasi tikus di dalam dan sekitar rumah
Bakteri leptospira khususnya spesies L.
ichterrohaemorrhagiae banyak menyerang tikus besar seperti tikus
wirok (Rattus norvegicus dan tikus rumah (Rattus diardii).18
Sedangkan L.ballum menyerang tikus kecil (mus musculus). Tikus
yang diduga mempunyai peranan penting pada waktu terjadi
Kejadian Luar Biasa di DKI Jakarta dan Bekasi adalah:
R.norvegicus, R.diardii, Suncus murinus dan R.exulat.8
Melihat lima ekor tikus atau lebih di dalam rumah
mempunyai risiko 4 kali lebih tinggi terkena leptospirosis
(OR=3,90; 95%C.I: 1,35- 11,27), melihat tikus di sekitar rumah
mempunyai risiko 4 kali lebih tinggi terkena leptospirosis
(OR=4,49; 95%C.I: 1,57-12,83).16
2) Keberadaan hewan peliharaan sebagai hospes perantara
Leptospira juga terdapat pada binatang piaraan seperti
anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain maupun binatang liar
seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Di dalam tubuh
binatang tadi yang bertindak sebagai hospes reservoar,
mikroorganisme leptospira hidup di dalam ginjal/air kemih.2
Dari hewan peliharaan dapat diisolasi L. intterogans var.
Pomona dan L. intterogans var. Javanica oleh Esseveld dan Colier
1938 kucing di Jawa. Kemudian Mochtar dan Cilier secara
serologis menemukan L.intterogans var. Bataviae, L. intterogans
var. Javanica, L.intterogans var. Icterohaemorrhagiae dan L.
intterogans var. Canicola pada anjing di Jakarta. Hewan ternak
seperti sapi, kerbau, kuda, dan babi dapat ditemukan serovar L.
intterogans var. Pomona, juga didapatkan 12 serovar lainnya.25 Di
sebagian besar negara tropis termasuk Negara berkembang
kemungkinan paparan leptospirosis terbesar pada manusia karena
terinfeksi dari binatang ternak, binatang rumah maupun binatang
liar.5
c. Lingkungan Sosial
1) Lama Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang cukup
penting dalam penularan penyakit khususnya leptospirosis.
Pendidikan masyarakat yang rendah akan membawa
ketidaksadaran terhadap berbagai risiko paparan penyakit yang ada
di sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan masyarakat, akan
membawa dampak yang cukup signifikan dalam proses
pemotongan jalur transmisi penyakit leptospirosis.
2) Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan merupakan faktor risiko penting dalam
kejadian penyakit leptospirosis.27 Jenis pekerjaan yang berisiko
terjangkit leptospirosis antara lain: petani, dokter hewan, pekerja
pemotong hewan, pekerja pengontrol tikus, tukang sampah, pekerja
selokan, buruh tambang, tentara, pembersih septic tank dan
pekerjaan yang selalu kontak dengan binatang. Faktor risiko
leptospirosis akibat pekerjaan yang ditemukan pertama kali adalah
buruh tambang.5
Pekerja-pekerja selokan, parit/saluran air, petani yang
bekerja di sawah, ladang-ladang tebu, pekerja tambang, petugas
survei di hutan belantara, mereka yang dalam aktivitas pekerjaan
selalu kontak dengan air seni (kemih) berbagai binatang seperti
dokter hewan, mantri hewan, penjagal di rumah potong, atau para
pekerja laboratorium dan sebagainya, merupakan orang-orang yang
berisiko tinggi untuk mendapat leptospirosis.2 Dari beberapa
penelitian juga menyebutkan bahwa pekerjaan sangat berpengaruh
pada kejadian leptospirosis. Pekerjaan yang berhubungan dengan
sampah mempunyai risiko 2 kali lebih tinggi terkena leptospirosis
(OR=2,36; 95% C.I: 1,23-5,56), kontak dengan air selokan
mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis
(OR=3,63; 95%C.I: 1,69-7,25); kontak dengan air banjir
mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis
(OR=3,03; 95%C.I: 1,44-6,39); kontak dengan lumpur mempunyai
risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=3,08; 95%C.I:
1,32-5,87).16
3) Kondisi Tempat Bekerja
Leptospirosis dianggap sebagai penyakit yang berkaitan
dengan pekerjaan. Namun demikian, cara pengendalian tikus yang
diperbaiki dan standar kebersihan yang lebih baik akan mengurangi
insidensi di antara kelompok pekerja seperti penambang batu bara
dan individu yang bekerja di saluran pembuangan air kotor. Pola
epidemiologis sudah berubah; di Amerika Serikat, Inggris, Eropa
dan Israel, leptospirosis yang berhubungan dengan ternak dan air
paling umum. Kurang dari 20 persen pasien yang mempunyai
kontak langsung dengan binatang; mereka terutama petani, penjerat
binatang atau pekerja pemotongan hewan. Pada sebagian besar
pasien, pemajanan terjadi secara kebetulan, dua per tiga kasus
terjadi pada anak-anak, pelajar atau ibu rumah tangga.1
Kondisi tempat bekerja yang selalu berhubungan dengan air
dan tanah serta hewan dapat menjadi salah satu faktor risiko
terjadinya proses penularan penyakit leptospirosis. Air dan tanah
yang terkontaminasi urin tikus ataupun hewan lain yang terinfeksi
leptospira menjadi mata rantai penularan penyakit leptospirosis.2
4) Ketersediaan pelayanan pengumpulan limbah padat
Indikator-indikator kesehatan dipengaruhi oleh kondisi-
kondisi rumah tangga misalnya, penyediaan air bersih,
ketersediaan saluran pembuangan limbah, dan pengumpulan
limbah padat dan juga karakteristik-karakteristik individu seperti
kebiasaan dan perilaku.28 Semua variabel tersebut dipengaruhi
oleh status sosial ekonomi.29
5) Sistem Distribusi Air Bersih dengan Saluran Tertutup
Sistem distribusi air bersih dengan saluran tertutup dapat
menghambat penularan penyakit leptospirosis dari binatang ke
manusia karena apabila pelayanan sistem distribusi air bersih
secara tertutup ini tidak tersedia dapat meningkatkan kontaminasi
atau pencemaran air yang digunakan untuk konsumsi manusia.30
6) Sistem Pembuangan Limbah dengan Saluran Tertutup
Keberadaan bak pencucian pembuangan kotoran yang
terbuka dan keberadaan kotoran dalam rumah dapat meningkatkan
gangguan setempat oleh binatang pengerat. Kondisi-kondisi itu
juga memberikan kemungkinan kontak baik langsung maupun
tidak langsung dengan kotoran hewan yang terkontaminasi.30
7) Ketersediaan Pengumpulan Limbah Padat
Tidak adanya pelayanan pengumpulan limbah padat
menyebabkan akumulasi limbah organik, meningkatkan
perkembangbiakan binatang pengerat sehingga memungkinkan
terjadinya penularan leptospirosis dari binatang kepada manusia di
lingkungan sekitar.30
d. Faktor Perilaku
Ada beberapa macam teori tentang perilaku, antara lain menurut
Solita (1993) dikatakan bahwa perilaku merupakan hasil dari segala
macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang
terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan praktik atau tindakan.31
Sedangkan Notoatmodjo (1993) mengatakan perilaku manusia
dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu fisik, psikis dan sosial yang secara
terinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak seperti: pengetahuan,
motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya yang ditentukan dan
dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan sarana fisik dan sosial
budaya masyarakat.32
Menurut Blum dalam Notoatmodjo (1993) disebutkan bahwa
perilaku sesorang terdiri dari tiga bagian penting, yaitu kognitif, afektif
dan psikomotor. Kognitif dapat diukur dari pengetahuan, afektif dari
sikap atau tanggapan dan psikomotor diukur melalui tindakan (praktik)
yang dilakukan. Dalam proses pembentukan dan perubahan perilaku
dipengaruhi oleh individu mencakup pengetahuan, kecerdasan,
persepsi, sikap, emosi dan motivasi yang berfungsi untuk pengolahan
rangsangan dari luar. Faktor dari luar individu meliputi lingkungan
sekitar, baik fisik maupun non-fisik seperti iklim, manusia, sosial,
ekonomi, budaya dan sebagainya.32
Aspek perilaku yang berkaitan dengan proses penularan penyakit
leptospirosis adalah sebagai berikut:
1) Kebiasaan Mandi di Sungai
Penularan bakteri leptospira pada manusia adalah kontak
langsung dengan bakteri leptospira melalui pori-pori kulit yang
menjadi lunak karena terkena air, selaput lendir, kulit kaki, tangan
dan tubuh yang lecet. Kegiatan mencuci dan mandi di sungai atau
danau akan berisiko terpapar bakteri leptospira karena
kemungkinan terjadi kontak dengan urin binatang yang
mengandung leptospira akan lebih besar.33
Penelanan air yang tercemar selama menyelam
berhubungan dengan angka serangan yang tinggi. Berenang atau
merendam sebagian tubuh dalam air yang tercemar, misalnya
mengendarai motor melalui kolam air yang tercemar, ditemui pada
seperlima pasien dan merupakan beberapa faktor yang berasal dari
dalam dan luar individu. Faktor dari dalam sebagian besar
penyebab umum munculnya wabah leptospirosis.1 Kebiasaan
mandi di sungai mempunyai risiko 2,5 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis (OR=2,5; 95%C.I: 1,3-4,6).19
2) Kebiasaan Mencuci Baju/Ternak di Sungai
Kebiasaan mencuci baju di sungai mempunyai risiko 2,4 kali lebih
tinggi terkena leptospirosis (OR=2,4; 95%C.I: 1,2-4,7).19
3) Pemakaian Sabun Mandi
Sabun mandi yang mengandung zat anti kuman atau bakteri dapat
membantu membunuh atau menghambat masuknya kuman
penyakit kedalam tubuh manusia sehingga proses penularan dapat
terhambat sejak permukaan kulit.
4) Pemakaian Alat Pelindung Diri
Dengan tidak memakai alat pelindung diri akan mengakibatkan
kemungkinan masuknya bakteri leptospira ke dalam tubuh akan
semakin besar. Bakteri leptospira masuk tubuh melalui pori-pori
tubuh terutama kulit kaki dan tangan. Oleh karena itu dianjurkan
bagi para pekerja yang selalu kontak dengan air kotor atau lumpur
supaya memakai alat pelindung diri seperti sepatu bot. Banyak
infeksi leptospirosis terjadi karena berjalan di air dan kebun tanpa
alas pelindung diri.5 Tidak memakai sepatu saat bekerja di sawah
mempunyai risiko 2,17 kali lebih tinggi terkena leptospirosis
(OR=2,17; 95%C.I: 1,1- 4,05).18
5) Kebiasaan Merawat Luka
Jalan masuk leptospira yang biasa pada manusia adalah kulit yang
terluka lecet, terutama sekitar kaki dan kelopak mata, hidung, dan
selaput lendir yang terpapar. Konsep yang ada sebelumnya bahwa
organism dapat menembus kulit yang utuh sekarang
dipertanyakan.1 Orang yang tidak melakukan perawatan luka
mempunyai risiko 2,69 kali lebih tinggi terkena leptospirosis
(OR=2,69).17
6) Kebiasaan Menggunakan Deterjen atau Desinfektan
Keadaan kondisi lingkungan yang tidak cocok untuk
berkembang biak bakteri leptospira dapat menyebabkan bakteri
tersebut terhambat pertumbuhannya bahkan menjadi mati. Udara
yang kering, sinar matahari yang cukup kuat, pH di luar range 6,2
– 8,0 merupakan suasana yang tidak menguntungkan bagi
kehidupan dan pertumbuhan leptospira. Kelangsungan hidup
leptospira patogen dalam alam ditentukan oleh berbagai faktor
seperti pH urin pejamu, pH tanah atau air dimana mereka berada,
dan perubahan suhu.1,2
Leptospira dalam sebagian besar “bekas urin” pada tanah
tetap infeksius selama 6 - 48 jam. Urin yang asam akan membatasi
kelangsungan hidup leptospira; walau demikian, jika urin netral
atau basa dan disimpan dalam kelembaban lingkungan serupa
dengan kadar garam rendah, tidak tercemar oleh mikroorganisme

atau sabun cuci, dan mempunyai suhu di atas 22°C, leptospira

dapat bertahan hidup sampai beberapa minggu.1


Keberadaan air limbah yang mengandung deterjen dapat
mengurangi lama waktu hidup leptospira dalam saluran
pembuangan, sejak pertumbuhan leptospira terhambat oleh
konsentrasi deterjen yang rendah. Penggunaan bahan-bahan
kimiawi yang berfungsi sebagai desinfektan dalam air atau tanah
juga menyebabkan leptospira mudah terbasmi.2,5
Faktor-faktor risiko terinfeksi bakteri leptospira, bila kontak langsung/terpajan
air dan rawa yang terkontaminasi yaitu:23
 Kontak dengan air yang terkontaminasi bakteri leptospira/urin tikus, saat
banjir
 Pekerja tukang perahu, rakit bambu, pemulung
 Mencuci atau mandi di sungai/danau
 Peternak, pemelihara hewan dan dokter hewan yang terpajan karena
menangani ternak/hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan
mati, menolong hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti
plasenta, cairan amnion dan bila kontak dengan percikan infeksius saat
hewan berkemih.
 Tukang kebun/pekerja di perkebunan.
 Petani tanpa alas kaki di sawah.
 Pekerja potong hewan, tukang daging yang terpajan saat memotong
hewan.
 Pembersih selokan.
 Pekerja tambang.
 Pemancing ikan, pekerja tambak udang/ikan air tawar.
 Tentara, pemburu dan pendaki gunung, bila mengarungi permukaan air
atau rawa.
 Anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan.
 Tempat rekreasi di air tawar: berenang, arum jeram dan olah raga air lain,
memasuki gua, mendaki gunung.
 Petugas laboratorium yang sedang memeriksa spesimen bakteri leptospira
dan zoonosis lainnya.
6. Pencegahan
Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit leptospirosis diperlukan
suatu sistem surveilans penyakit yang mampu memberikan dukungan upaya
program dalam daerah kerja Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional,
dukungan kerjasama antar program dan sektor serta kerjasama antara
Kabupaten/ Kota, Propinsi, Nasional dan Internasional. Salah satu kegiatan
Pemerintah untuk mengendalikan kasus leptospirosis yaitu melalui kegiatan
surveilans epidemiologi yang bertujuan untuk memantau secara sistematis dan
terus-menerus terhadap kasus leptospirosis agar dapat dilakukan
penanggulangan yang efektif dan efisien sehingga kasus leptospirosis yang
ada di masyarakat dapat ditekan.7 (7. Dinas Kesehatan Kota Semarang. (2011)
Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil studi
faktor-faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu pengendalian
leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder.
Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran bisa
terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk
disini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan
sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis,
dicegah agar orang tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya dapat
menyebabkan kematian.28
Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak
terjadi kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi:24
a. Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi
Para pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya
pekerja irigasi, petani, pekerja laboratorium, dokter hewan, harus memakai
pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan air atau tanah yang
terkontaminasi leptospira. Misalnya dengan menggunakan sepatu bot,
masker, sarung tangan.
b. Melindungi sanitasi air minum penduduk
Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, dilakukan
filtrasi dan deklorinai untuk mencegah invasi leptospira.
c. Pemberian vaksin
Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut, akan
memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai pencegahan bagi
pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah
terbukti melindungi pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan
peliharaan efektif untuk mencegah leptospirosis.
d. Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis
e. Pengendalian hospes perantara leptospira
Roden yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adalah tikus.
Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,
pemasangan jebakan, penggunaan bahan rodentisida, dan menggunakan
predator roden.
f. Usaha promotif,
Untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara edukasi,
dimana antara daerah satu dengan daerah yang lain mempunyai serovar
dan epidemi leptospirosis yang berbeda. Untuk mendukung usaha
promotif ini diperlukan peningkatan kerja antar sektor yang
dikoordinasikan oleh tim penyuluhan kesehatan masyarakat Dinas
Kesehatan setempat.
Pokok- pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan
hasil studi faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain usia, jenis
kelamin, higiene perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat ada luka,
keadaan lingkungan yang tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial
ekonomi, populasi tikus, dan lain-lain. Perlu diperhatikan bahwa
leptospirosis lebih sering terjadi pada laki-laki dewasa, mungkin
disebabkan oleh paparan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari.24,28
Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap
pasien yang didiagnosis menderita leptospirosis. Salah satu hal yang
menguntungkan dalam pengobatan ini ialah pengobatan kausal tidak
tergantung pada subgrup maupun serotipe leptospira. Untuk pengobatan
Leptospirosis ringan (mild illness/ suspect case) dapat menggunakan
Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7 hari; atau Amoxicillin atau
Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari. Sedangkan untuk
Leptospirosis berat (severe case/ probable case) dapat menggunakan
Injeksi Penicillin G 2 juta unit IV / 6 jam selama 7 hari; Injeksi Ceftrioxine
1 gr IV/ hari selama 7 hari.3,24

C. PERMASALAHAN PADA MASYARAKAT


Berdasarkan pengamatan penulis, masalah-masalah yang kerap terjadi
pada masyarakat:
1. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit Leptospirosis
2. Belum adanya kesadaran dan pengetahuan tentang bahaya penyakit
Leptospirosis
3. Masih banyaknya tikus di rumah masyarakat dan masyarakat yang memelihara
hewan di rumah yang dapat menjadi sarana penyebaran penyakit.
4. Rumah masyarakat masih banyak yang belum memakai plafon dan adanya
pintu atau jendela yang dibiarkan terbuka.
5. Pekerjaan mayoritas masyarakat adalah petani yang menjadi salah satu factor
risiko Leptospirosis.
6. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pemakaian alat pelindung diri untuk
mencegah penyakit Leptospirosis

D. PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI


Setelah wawancara dengan pemegang program di Puskesmas Klego 1,
kepala Desa dan kader di desa Jaten didapatkan kesimpulan bahwa tidak terdapat
kasus leptospirosis di kecamatan Klego, namun faktor risiko penyakit tersebut
terdapat di kecamatan Klego. Upaya intervensi yang dapat dilakukan di antaranya
surveilans aktif melalui kegiatan penyuluhan kepada masyarakat.

No Rencana kegiatan Sasaran Waktu Tempat


1 Penyuluhan Kelas ibu 18 Agustus PKD Blumbang
hamil Jaten 2018
dan
Blumbang
2 Penyuluhan Gapoktan 28 Agustus Gedung
Desa jaten 2018 Gapoktan Desa
Jaten
3 Penyuluhan Pertemuan 29 Agustus Balai Desa
Kader Desa 2018 Jaten
Jaten
E. PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan penyuluhan dilakukan mulai bulan Juli hingga Agustus 2018,
bertempat di Balai Desa Jaten pada acara pertemuan rutin kader dan kelompok
tani. Penyuluhan ini disampaikan secara langsung atau dengan metode direct
communication-face to face communication.
Pada pertemuan kader dan kelompok tani, sebelum penyuluhan dibagikan
kuisioner untuk mengetahui faktor risiko leptospiosis dan menjelaskan cara
pengisian kuisioner tersebut. Setelah penyampaian, kembali ditanyakan mengenai
penyakit Leptospirosis untuk mengetahui apakah bapak dan ibu mengerti materi
yang telah disampaikan dan dilanjutkan dengan diskusi tanya jawab. Tahapan
penyuluhan yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Tahap Perkenalan
Acara dibuka oleh Bidan Desa Jaten sekaligus perkenalan dengan
dokter internsip yang bertugas di Puskesmas Klego 1.
2. Tahap Penggalian Pengetahuan Peserta
Tahap penggalian pengetahuan peserta dilakukan secara acak dengan
bertanya seputar leptospirosis, seperti tanda dan gejala, penyebab, dan
pengobatan.
3. Penyampaian Materi
Materi penyuluhan disampaikan secara lisan (ceramah) selama lebih
kurang 30 menit materi terlampir.
4. Penggalian Pengetahuan Setelah Penyampaian Materi
Setelah materi disampaikan, peserta kembali ditanyakan mengenai
substansi materi yang telah disampaikan diikuti dengan tanya jawab selama
kurang lebih 20 menit.

F. MONITORING DAN EVALUASI


Penyuluhan berjalan lancar dan tanpa hambatan yang berarti. Tidak ada
gangguan teknis yang terjadi saat penyuluhan berlangsung. Peserta penyuluhan
antusias terkait materi penyuluhan dan berperan aktif dalam proses tanya jawab.
HASIL PENGAMATAN

Pengumpulan Data Surveilans Kasus Leptospirosis

Pada pengamatan ini, semua subyek telah melakukan pengumpulan data di


antaranya data tersebut berisi tentang riwayat paparan dari faktor risiko yang
terdiri dari faktor lingkungan dan perilaku.
Sebanyak 50 peserta yang hadir saat penyuluhan dijadikan sampel untuk
menilai apakah terdapat faktor risiko penyakit leptospirosis di Desa Jaten.

Tabel faktor risiko terhadap penyakit leptospirosis

No. Faktor Lingkungan Beresiko Tidak


Beresiko

1. Terdapat tikus dirumah? 48 orang 2 orang

2. rumah dekat dengan sungai? 16 orang 34 orang

3. rumah terdapat selokan/got? 24 orang 26 orang

4. rumah terdapat genangan air? 18 orang 32 orang

5. rumah terdapat tumpukan sampah? 17 orang 33 orang

6. rumah anda termasuk daerah rawan banjir? - 50 orang

7. Terdapat peliharaan hewan dirumah? 42 orang 8 orang

8. Pekerjaan yg berhubungan dengan 35 orang 15 orang


air/tanah/hewan/sampah?

9. sumber air yang didapatkan dari tempat terbuka? 13 orang 37 orang

10. Dirumah terdapat saluran pembuangan limbah? 20 orang 30 orang

11. Terdapat tempat untuk pengumpulan sampah? 24 orang 26 orang

12. Dirumah terdapat jendela atau pintu yang selalu terbuka? 44 orang 6 orang

13. Rumah tidak berdinding tembok? 11 orang 39 orang

14. Tidak terdapat plafon? 38 orang 12 orang


Faktor Perilaku

15. Kontak dengan tikus/bangkai tikus? - 50 orang

16. Kontak dengan hewan peliharaan? 38 orang 12 orang

17. Mandi/mencuci disungai? 7 orang 43 orang

18. Kebiasaan mencuci tangan? 4 orang 46 orang

19. Menggunakan deterjen atau desinfektan ketika mencuci? 6 orang 44 orang

20. Tidak mencuci tangan anda dengan sabun? 2 orang 42 orang

21. Bahan makanan yang mentah atau matang diberi penutup? 16 orang 34 orang

22. Terdapat luka pada tubuh? 19 orang 31 orang

23. Bekerja tidak menggunakan alat pelindung diri seperti 28 22 orang


sepatu/sandal, masker, atau sarung tangan? orang

Setelah dilakukan analisis kuisioner faktor risiko yang telah diisi oleh
peserta didapatkan hasil bahwa 5 poin yang paling berisiko menyebabkan
penyakit leptospirosis dari segi lingkungan adalah terdapat tikus dirumah, jendela
atau pintu yang selalu terbuka dirumah, terdapat peliharaan hewan dirumah, tidak
terdapat plafon dirumah, dan pekerjaan yg berhubungan dengan
air/tanah/hewan/sampah, terdapat.

Sedangkan terdapat 2 poin yang paling berisiko menyebabkan penyakit


leptospirosis dari segi perilaku adalah kontak dengan hewan peliharaan, dan
bekerja tidak menggunakan alat pelindung diri seperti sepatu/sandal, masker, atau
sarung tangan.
G. SARAN
1. Penyuluhan ini dapat dilanjutkan oleh pemegang program, bidan desa dan
kader di wilayah Puskesmas untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat
terhadap penyakit Leptospirosis.
2. Perlu dilakukan penyuluhan terus menerus kepada masyarakat tentang
kebersihan diri dan lingkungan, penggunaan alat pelindung diri saat bekerja
dan pembasmian tikus.
3. Perlu sebuah kegiatan penyelidikan epidemiologi atau survey untuk
mengetahui faktor resiko penyakit leptospirosis di masyarakat dan mengadakan
kegiatan pemberantasan tikus secara berkala dan serentak di desa Jaten.
H. LAMPIRAN
TABEL KUISIONER FAKTOR RISIKO PENYAKIT LEPTOSPIROSIS

NO. PERTANYAAN YA TIDAK


Faktor Lingkungan
1. Apakah disekitar rumah anda terdapat tikus?
2. Apakah rumah anda dekat dengan sungai?
3. Apakah rumah anda terdapat selokan/got?
4. Apakah rumah anda terdapat genangan air?
5. Apakah rumah anda terdapat tumpukan sampah? (bila iya apakah dalam
kondisi tertutup/terbuka)
6. Apakah rumah anda termasuk daerah rawan banjir?
7. Apakah anda memelihara hewan dirumah?
8. Apakah pekerjaan anda berhubungan dengan air/tanah/hewan/sampah?
9. Apakah sumber air yang anda dapatkan dari tempat terbuka?
10. Apakah rumah anda terdapat saluran pembuangan limbah? (bila iya
saluran tertutup atau terbuka)
11. Apakah didaerah anda terdapat tempat untuk pengumpulan sampah?
(bila iya berapa jarak dari rumah anda)
12. Apakah rumah anda terdapat jendela atau pintu yang selalu terbuka?
13. Apakah rumah ada berdinding tembok? (bila tidak sebutkan jenis
dindingnya, apakah dinding papan, kayu, atau bambu?
14. Apakah rumah anda terdapat plafon?
Faktor Perilaku
15. Apakah anda sering kontak dengan tikus/bangkai tikus?
16. Apakah anda sering kontak dengan hewan peliharaan?
17. Apakah anda sering mandi/mencuci disungai?
18. Apakah setelah melakukan kegiatan anda selalu mencuci tangan?
19. Apakah anda sering menggunakan deterjen atau desinfektan ketika
mencuci?
20. Apakah ketika mencuci tangan anda memakai sabun?
21. Apakah bahan makanan dirumah anda baik yang mentah atau matang
selalu diberi penutup?
22. Apakah ditubuh anda sering terdapat luka? (bila iya apakah ditutup atau
tidak)
23. Apakah ketika bekerja anda menggunakan alat pelindung diri seperti
sepatu/sandal, masker, atau sarung tangan?
I. DOKUMENTASI

Penyuluhan kelas ibu hamil Desa Jaten-Blumbang

Penyuluhan Leptospirosis Pertemuan Gapoktan Desa Jaten


Penyluhan Leptospirosis Pertemuan Kader Desa Jaten
DAFTAR PUSTAKA

1. Ullmann L, Langoni.L. Interactions between environment, wild animals and


uman leptospirosis.J Venom Anim Toxins Incl Trop Dis
[Internet].2011;17(2):119–29.Available from:http://www.scielo.br/scielo.php?
script=sci_arttext&pid=S1678-91992011000200002&lng=en&nrm=iso&tlng=
en% 5Cnpapers3://publication/doi/10.1590/S1678-91992011000200002
2. Febrian F, Solikhah . Analisis Spasial Kejadian Penyakit Leptospirosis Di
Kabupaten Sleman Propinsi DIY Tahun 2011. J Kesehat Masy (Journal Public
Heal [Internet]. 2013 Apr 13;7(1):7–14.Available from:
http://journal.uad.ac.id/index.php/KesMas/article/view/10123. Rusmini.
Bahaya leptospirosis (penyakit kencing tikus) dan Cara Pencegahannya.
Yogyakarta:Gosyen Publishing; 2011
3. Schneider M, Nájera P, Aldighieri S, Bacallao J, Soto A, Marquiño W, et al.
Leptospirosis Outbreaksin Nicaragua: Identifying Critical Areas and
Exploring Drivers for Evidence-Based Planning. Int JEnviron Res Public
Health [Internet]. 2012 Oct 26;9(12):3883–910. Available
from:http://www.mdpi.com/1660-4601/9/11/3883/
4. Sanford JP. Leptospirosis. In: Isselbacher KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci
AS, Kasper DL, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 13th ed.
New York: Mc Graw Hill; 1994. p.833-837.
5. Soedin K, Syukran O.L.A. Leptospirosis. In: Soeparman, Waspaji S, editors.
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. p.477-
482.
6. Gunning JJ. Leptospirosis. In: Hunter GW, Swartzwelder JC, Clyde DF,
editors. Tropical Medicine. 8th ed. Philadelphia: WB Saunders Company;
1991. p.235-240.
7. Waitkins SA. Leptospirosis. In: Manson-Bahr PEC, Bell DR, editors. Manson’
Tropical Diseases. 19th ed. London: Bailliere Tindall; 1987. p.657-665.
6. Levett. Leptospirosis. Clinical microbiology reviews; 2001. p.296-326.
7. Halo Internis. Ulah leptospirosis. tahun I edisi ke-2/April –Juni 2004.
8. WHO. Human leptospirosis: Guidance for diagnosis, surveillance, and control.
Geneva. 2003.
9. Widarso HS dan Wilfried P. Kebijaksanaan departemen kesehatan dalam
penanggulangan leptospirosis di Indonesia. Kumpulan makalah symposium
leptospirosis. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2002.
10. Tanasale JD. Leptospirosis in the adult infectious disease ward, Sanglah
Hospital, Denpasar Bali. Buku abstrak kongres nasional bersama:
Perkembangan mutakhir strategi penanggulangan resistensi anti mikroba dan
immuno sains di bidang penyakit tropik & infeksi, Hotel Kusuma Agrowisata,
Batu-Malang 19-21 Juli 2002. hal. 22.
11. Mubin AH. Pemeriksaan leptospiruri selama dua tahun (2000-2002) pada lab.
subdivisi penyakit infeksi/menular FK UNHAS. Buku abstrak kongres
nasional bersama: Perkembangan mutakhir strategi penanggulangan resistensi
anti mikroba dan immuno sains di bidang penyakit tropik & infeksi. Hotel
Kusuma Agrowisata. Batu-Malang 19-21 Juli 2002. hal. 23.
12. -----------, Laporan peningkatan kasus leptospirosis di Kota Semarang tahun
2004. Seksi Penanggulangan KLB dan Wabah Sub Din Kes P2M Propinsi
Jawa Tengah. 2004.
13. Apriyanto AK et.al. Leptospirosis in Dr. Kariadi hospital Semarang 1995-
2000. Kongres Nasional Bersama. Hotel Kusuma Agrowisata. Batu-Malang.
19-21 Juli 2002.
14. Esen Saban et.al. Impact of clinical and laboratory findings on prognosis in
leptospirosis. Swiss Medical Weekly; 2004. p.347-352.
15. -----------, Profile kesehatan Kota Semarang tahun 2004. Dinas Kesehatan
Kota Semarang. 2004.
16. -----------, Buku Saku Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah. 2016.
17. -----------, Profile kesehatan RI tahun 2017. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. 2017.
18. Gambiro, Wahyuni. Laporan survey reservoir leptospirosis di Kabupaten
Demak dan Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005. Dinkes
Provinsi Jawa Tengah.
19. Sarkar U., Nascimento SF., Barbosa R., Martins R., Nuevo H., Kalafanos I.,
et.al. Population-based case-control investigation of risk factors for
leptospirosis during an urban epidemic. American journal tropical medicine
and hygiene; 2002. p.605-610.
20. Hadisaputro S. Risk factors of mortality leptospirosis cases in Dr. Kariadi
hospital. Semarang. Indonesia. First Congres of International Leptospirosis
Society. Nantes (France). 1996.
21. Johnson M.A., Smith H., Joseph P., Gilman RH., Bautista CT., Campos KJ.,
et.al. Environmental exposure and leptospirosis, Peru. Emerging Infectious
Disease Vol 10 No.6 Juni 2004. p.1016-1022.
22. David A, Kaiser RM, Siegel RA. Asymptomatic infection and risk factors for
leptospirosis in Nicaragua. Am. J. Trop. Med. Hyg., 63 (5,6); 2000. p.249-
254.
23. Watt G. Leptospirosis. In: Strickland GT, editors. Hunter’s Tropical Medicine.
7th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1991. p.657-665.
24. Riyanto, B. Manajemen Leptospirosis, Faktor-faktor risiko leptospirosis.
Kumpulan makalah simposium leptospirosis. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang. 2002

Anda mungkin juga menyukai