Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia, khususnya
negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis yang memiliki curah hujan tinggi.
Leptospirosis adalah salah satu penyakit yang terabaikan atau Neglected Infection
Diseases (NIDs) yaitu penyakit infeksi yang endemis pada masyarakat miskin atau
populasi petani dan pekerja yang berhubungan dengan air tanah di negara berkembang
(Ferry, 2011).
Leptospirosis umumnya terjadi pada petani dan peternak serta para pekerja yang
berhubungan dengan hutan dan air, namun dengan meningkatnya populasi global,
frekuensi perjalanan dan mudahnya transportasi domestik maupun mancanegara,
perubahan teknologi kesehatan dan produksi makanan, perubahan pola hidup dan
tingkah laku manusia, pengembangan daerah baru sebagai hunian manusia, maka pola
penyebaran leptospirosis dapat lebih luas (Rusmini, 2011)
Di beberapa negara, leptospirosis dikenal dengan nama “rate-urin fever”, yang mana
penyakit ini ditransmisikan melalui urin dari hewan yang terinfeksi atau kontak dengan
tempat yang terkena urin hewan terinfeksi yang masih lembab. Tikus dan binatang
pengerat lain merupakan hospes primer dari penyakit ini, akan tetapi binatang mamalia
seperti anjing, rusa, kelinci, kerbau, dan babi juga dapat mentransmisikan infeksi
bakteri leptospira sebagai hospes sekundernya. Manusia dapat terinfeksi leptospira
melalui kontak dengan air atau tanah yang sudah mengandung urin hospes, selain itu
bisa juga karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh urin
hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Leptospirosis jarang ditularkan dari manusia
ke manusia yang lain (WHO, 2003).
Sejak tahun 2007, kasus leptospirosis di Indonesia selalu tinggi. Pada tahun 2007
terdapat 664 kasus dengan 55 orang meninggal CFR (Case Fatality Rate): 8,28%, tahun
2008 dan 2009 mengalami penurunan dan tahun 2010 ditemukan 409 kasus dengan
meninggal CFR (Case Fatality Rate): 10,51% (Kurnia, 2012).
Faktor perilaku sangat berperan dalam penularan penyakit seperti aktivitas bekerja,
kebersihan, kebiasaan berobat dan mobilitas. Perilaku sangan sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan. Apabila pengetahuan tentang leptospirosis kurang maka perilaku dalam

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 1
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

sehari-hari seperti upaya pencegahan atau usaha agar tidak terserang serta upaya
berobat juga kurang karena tidak tahu. Pengetahuan diperoleh dari hasil interaksi
indrawi manusia baik melalui melihat langsung, lewat media gambar, maupun
mendengar langsung dan media (Isnani, 2011).
Oleh sebab itu perlu tindakan penanggulangan leptospirosis dengan menentukan
spesifik local pencegahan dan pengendalian reservoir, melalui penyuluhan cara
pencegahan penularan leptospirosis dari tikus ke manusia, pencarian penderita (Active
Case Detection) , serta pengendalian reservoir yang tepat dan efisiensi. Agar
penyebaran penyakit leptospirosis tidak menyebar luas kepada masyarakat.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat beberapa rumusan masalah yaitu :
a) Apa pengertian dari penyakit leptospirosis ?
b) Bagaimana agent dan sifat-sifat agent penyebab penyakit leptospirosis ?
c) Bagaimana reservoir penyebab penyakit leptospirosis ?
d) Bagaimanakah cara penularan penyakit leptospirosis ?
e) Bagaimanakah proses masa inkubasi penyakit leptospirosis ?
f) Apa sajakah yang menjadi faktor pendukung timbulnya penyakit leptospirosis ?
g) Bagaimanakah siklus hidup parasit dari penyakit leptospirosis ?
h) Bagaimanakah epidemiologi penyebaran penyakit leptospirosis di Indonesia dan
di dunia ?
i) Bagaimanakah cara pencegahan penyakit leptospirosis ?

1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas, terdapat beberapa tujuan yaitu :
a) Untuk mengetahui pengertian dari penyakit leptospirosis.
b) Untuk mengetahui agent dan sifat agent penyebab penyakit leptospirosis.
c) Untuk mengetahui reservoir penyebab penyakit leptospirosis.
d) Untuk mengetahui bagaimana cara penularan penyakit leptospirosis.
e) Untuk mengetahui bagaimana proses masa inkubasi penyakit leptospirosis.
f) Untuk mengetahui faktor pendukung timbulnya penyakit leptospirosis.
g) Untuk mengetahui siklus hidup parasit dari penyakit leptospirosis.

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 2
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

h) Untuk mengetahui epidemiologi penyebaran penyakit leptospirosis di Indonesia


dan di dunia.
i) Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit leptospirosis.

1.4 MANFAAT
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat yang didapatkan dari makalah adalah dapat digunakan sebagai bahan
referensi penelitian dan memberikan masukan positif berupa wawasan untuk
pengembangan ilmu tentang penyakit berbasis lingkungan khususnya penyakit
leptospirosis.

1.4.2 Manfaat Bagi Masyarakat


Memberikan informasi tentang pentingnya pengetahuan, untuk mengurangi
resiko terjadinya penyakit Leptospirosis.

1.4.3 Manfaat Bagi Institusi Pemerintah


Sebagai sumber penelitian dan untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan
peningkatan mutu pelayanan kesehatan khususnya yang berkaitan dengan
penyuluhan penyakit Leptospirosis.

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 3
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI PENYAKIT LEPTOSPIROSIS

Leptospirosis adalah penyakit bersumber dari binatang (zoonosis) yang bersifat

akut. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira dengan spektrum penyakit yang
luas dan dapat menyebabkan kematian (Depkes, 2015).

Leptospirosis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Leptospira sp.
Penyakit ini disebut juga Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud
fever, atau Swineherd disease. Adolf Weil pertama kali meneliti penyakit ini pada tahun
1886, ia menemukan bahwa leptospirosis menyerang manusia di Heidelberg dengan
gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal (Widoyono,
2011).

Kemudian pada tahun 1915 di Jerman Hubener dan Reiter menemukan bakteri spiral
dengan panjang 5- 15 μm, lebar 0,1-0,2 μm, lentur, tipis, fleksibel, dengan salah satu
ujungnya membengkok yang terdeteksi dari antibodi spesifik dalam darah tentara
Jerman. Tentara tersebut terinfeksi oleh darah babi guinea, dan bakteri tersebut
dinamakan leptospira sp. Selanjutnya pada tahun 1916 Inado dan Ito di Jepang
menemukan mikroorganisme sejenis bakteri berbentuk spiral dan lentur dari dalam darah
tubuh yang menderita penyakit kuning, ternyata penyebab penyakit leptospirosis itu
adalah bakteri Spirochaeta icterohemorrhagiae (Rusmini, 2011).

Gambar 1. Penyakit leptospirosis pada manusia

Sumber : http://www.topnews.in/health/leptospirosis-scare-mumbai-
after-12-people-die-221270

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 4
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Leptospirosis disebut infeksi yang terabaikan atau Neglected Infectious Diseases


(NIDs) yaitu penyakit infeksi yang endemis pada masyarakat miskin atau populasi petani
dan pekerja yang berhubungan dengan air dan tanah di negara berkembang. Infeksi
bakteri Leptospira sp.pada manusia merupakan kejadian yang bersifat insidential, dimana
penyakit tersebut tidak terjadi secara rutin atau tetap karena inang definitive leptospira
adalah tikus. Penularan leptospirosis dari tikus ke manusia, dapat melalui kontak dengan
urin tikus infektif yang mencemari lingkungan, maupun kontak langsung dengan jaringan
tikus yang terinfeksi Leptospira sp (Rusmini, 2011).

2.2 AGENT PENYAKIT LEPTOSPIROSIS

2.2.1 Bakteri Leptospira

Bakteri Leptospira sp merupakan organisme fleksibel, tipis, berlilit padat,


dengan panjang 5-15 μm, disertai spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2 μm. Salah
satu ujung bakteri ini seringkali bengkok dan membentuk kait. Leptospira
memiliki ciri umum yang membedakannya dengan bakteri lainnya, yaitu sel
bakteri ini dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3-5 lapis. Di bawah
membran luar, terdapat lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan helikal, serta
membran sitoplasma. Ciri khas Spirochaeta ini adalah lokasi flagelnya, yang
terletak diantara membran luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela ini disebut
flagela periplasmik. Leptospira memiliki dua flagel periplasmik, masing-masing
berpangkal pada setiap ujung sel (Muliawan dan Sylvia, 2008).

Gambar 2. Bentuk dari bakteri Leptospira menggunakan mikroskop


elektron tipe scanning

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 5
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Sumber : CDC’s Public Health Image Library

Bakteri Leptospira merupakan Spirochaeta yang paling mudah dibiakkan,


tumbuh paling baik pada keadaan aerob pada suhu 28-30ºC dan pada pH 7,4.
Media yang bisa digunakan adalah media semisolid yang kaya protein, misalnya
media Fletch atau Stuart. Lingkungan yang sesuai untuk hidup leptospira adalah
lingkungan lembab seperti kondisi pada daerah tropis (Jawetz, 2007).

2.2.2 Klasifikasi Bakteri Leptospira

Menurut WHO (2003) klasifikasi bakteri Leptospira adalah sebagai berikut :

Kingdom : Monera

Phylum : Spirochaetes

Class : Spirochaetes

Ordo : Spirochaetales

Family : Trepanometaceae

Genus : Leptospira

2.2.3 Jenis Bakteri Leptospira

Berdasarkan spesifisitas biokimia dan serologi bakteri Leptospira sp. terbagi


menjadi dua kelompok, yaitu :

a. Kelompok pertama adalah Leptospira interrogans yang terdiri dari 230


serovar dan 23 serogroup, merupakan kelompok patogen yang sering
menyebabkan leptospirosis berat (ikterik) pada hewan dan manusia. Sampai
saat ini telah diidentifikasi lebih dari 200 serotipe pada L.interrogans.
Serotipe yang paling besar prevalensinya adalah canicola, grippotyphosa,
hardjo, icterohaemorrhagiae, dan Pomona (Rusmini, 2011).

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 6
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Gambar 3. Bakteri Leptospira interrogans


Sumber : CDC’s Public Health Image Library
b. Kelompok kedua adalah Lepstospira biflexa, merupakan kelompok yang
tidak patogen. Mempunyai  panjang 6-20 μm dan berdiameter 0.1 μm.

Gambar 4. Bakteri Leptospira biflexa


Sumber : CDC’s Public Health Image Library

2.2.4 Sifat – sifat Bakteri Lepstospira

Berikut ini ada beberapa sifat yang dimiliki oleh bakteri Lepstospira, yaitu :

1. Bakteri Leptospira dapat hidup berbulan – bulan dalam keadaan terbuka di


daerah tanah yang berlumpur, persawahan, daerah peternakan, di dalam air
tawar misalnya kolam ataupun sungai.
2. Bakteri Leptospira akan cepat mati dalam air yang pekat, seperti air selokan
atau air laut.
3. Bakteri Lepstospira dapat hidup pada suhu udara yang hangat (> 22o C) dan
kelembaban udara yang tinggi (> 60%).

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 7
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

4. Bakteri Lepstospira dapat peka terhadap asam dan dapat hidup pada pH
alkalis > 7
5. Di dalam laboratorium Leptospira berkembangbiak secara optimal pada suhu
250 - 350 Celcius.
6. Leptospira dapat disimpan di dalam freezer pada suhu -700 C dan tahan lama
sampai beberapa tahun tanpa berkurang virulensinya.
7. Bakteri Leptospira memiliki bentuk yang spiral sehingga dapat bergerak
sangat aktif untuk maju, mundur, atau berbelok.

2.3 RESERVOIR PENYAKIT LEPTOSPIROSIS

Hewan terpenting dalam penularan leptospirosis adalah jenis binatang pengerat,


terutama tikus. Karena sebesar > 50 % tikus dapat mengeluarkan bakteri leptospira
secara massif (terus menerus) melalui urin selama hidupnya. Sedangkan hewan
peliharaan seperti kucing, anjing, kelinci, kambing, sapi, kerbau, dan babi dapat menjadi
hospes perantara dalam penularan leptospirosis. Bakteri L. Ichteroherrhagiae sangat
virulen dan selalu berhubungan dengan reservoir utamanya adalah tikus got Rattus
norvegicus (Rusmini, 2011).

Gambar 5. Tikus got (Rattus novergicus)


Sumber : https://www.123rf.com/photo_22704287_brown-rat-
rattus-norvegicus-captive-in-drain-pipe-august-2009.html
Tikus dan anjing merupakan inang reservoir bagi berbagai serotype termasuk yang
paling pathogen yaitu  L. ichteroherrhagiae. Hewan lainnya seperti kelelawar, tupai
dapat juga berperan sebagai reservoir. Leptospira bisa ditemukan pada binatang
peliharaan baik sebagaiinang perantara maupun inang sasaran sepertianjing,  sapi,  babi,
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA
Jl. Menur No. 118A Surabaya 8
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

kerbau,  maupun binatang liar seperti tikus, musang, t upai dan sebagainya. Di dalam


tubuh h ewan hewan ini leptospira hidup di ginjal dan air kemih (Bey, 1982).

Di Amerika Serikat babi tampaknya menjadi reservoir host Bratislava; di eropa, juga
terdapat Leptospira Badgers. Bangkai binatang diduga sebagai alternatife hots di negara
berkembang, dengan bangkai binatang yang biasanya ukurannya lebih pendek dan
berlimpah, termasuk hewan pengerat liar, rusa, tupai, rubah, sigung, raccon, oposum, dan
mamalia laut. Serovars belum terbukti menginfeksi reptil dan amfibi yang menyebabkan
penualaran kepada manusia, namun telah dicurigai di Barbados dan Trinidad. Pada
hewan pembawa, infeksi asimtomatik terjadi pada tubulus ginjal, karena Leptospira
bertahan dalam waktu lama, terutama pada spesies reservoir (Abram, 1990).

Adapun beberapa serovar bakteri leptospira dan hewan inang leptospira adalah sebagai
berikut :

No. Serovar Inang Leptospira


1. Australis Tikus
2. Ballum Tikus (Mus – musculus)
3. Bataviae Tikus sawah (Bandicota indica)
4. Brastislava Kuda
5. Canicola Anjing
6. Grippotyphosa Tikus (Reithrodontomys megalotis)
7. Hebdomanis Tikus
8. Icterohaemorrhagiae Tikus
9. Mitis Babi
10. Pomona Babi, sapi
11. Cellodoni Tikus (Rattus fuscipes)
12. Copemhagen Tikus (Rattus norvegicus)
13. Cynopteri Tikus
14. Fort Bragg Tikus (rattus tanezumi)
15. Javanica Tikus (ratuus norvegicus dan rattus
fuscipes)

Tabel 1. Inang Bakteri Leptospira dan serovar Leptospira

Sumber : Rusmini, 2011

2.4 CARA PENULARAN PENYAKIT LEPTOSPIROSIS

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 9
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Berdasarkan cara penularannya leptospirosis merupakan direct zoonosis, dimana


manusia dan hewan dapat ditularkan secara langsung melalui urin jaringan hewan
infektif. Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara berikut ini : a. kontak
dengan air, tanah, lumpur, yang tercemar oleh bakteri; b. kontak dengan organ, darah,
serta urin hewan yang terinfeksi; c. mengonsumsi makanan yang sudah terkontaminasi
oleh bakteri (Widoyono, 2011).

Menurut Rusmini (2011) secara epidemiologi ada tiga pola penularan leptospirosis, yaitu:

1. Pola penularan pertama


Penularan leptospirosis di daerah yang beriklim sedang, dimana sejumlah kecil
serovar leptospirosis terlibat dan penularan pada manusia terjadi akibat kontak
langsung dengan binatang yang terinfeksi di peternakan sapi atau babi.
2. Pola penularan kedua
Penularan leptospirosis di daerah tropik basah, dimana lebih banyak serovar
leptospirosis yang menginfeksi manusia dan hewan serta sejumlah besar spesies
reservoir. Manusia terpapar melalui urin hewan infektif khususnya selama musim
hujan.
3. Pola penularan ketiga
Penularan akibat infeksi oleh hewan pengerat pada lingkungan yang kumuh dan
sering terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa), biasanya berada pada negara yang
masih berkembang.

Bakteri Leptospira sp. hidup di ginjal tikus, sebagian akan mencapai tubulus
convolotus, lalu membentuk koloni pada dinding lumen, kemudian siklus penularan akan
diawali dengan keluarnya urin tikus yang mengontaminasi tanah lembab atau air.
Penularan ke manusia terjadi saat mandi atau berenang di sungai, gigitan tikus yang
infektif. Penularan leptospirosis melalui manusia ke manusia dapat terjadi dengan cara
hubungan seksual, plasenta, dan air susu ibu (Rusmini, 2011).

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 10
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Gambar 6. Siklus penularan penyakit leptospirosis

Sumber : Faince, et all. 1999

2.5 MANIFESTASI KLINIS PENYAKIT LEPTOSPIROSIS

Infeksi leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi, ada yang hampir
15-40% penderita terpapar infeksi tidak bergejala namun positif. Masa inkubasi 7-12 hari
dengan rentang 12-20 hari. Sekitar 90% penderita ikterus ringan, 5-10% ikterus berat
atau dikenal dengan penyakit Weil. Menurut Faine, et all., dan WHO (2003),
Leptospirosis dapat mempunyai 3 fase klinis, yaitu:

a. Fase leptospiremi
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan
serebrospinal (otak). Pada fase ini gejala yang timbul adalah demam tinggi dan
menggigil yang terjadi secara mendadak dan disertai sakit kepala, rasa sakit, nyeri
pada otot, mual, muntah, penurunan kesadaran, hingga mata menjadi berwarna
merah keruh kekuningan. Fase ini berlangsung selama 3-7 hari, yang berakhir
dengan menghilangnya seluruh gejala tersebut secara sementara. Selama 1-3 hari
gejala – gejala pada fase leptospiremi disebut dengan fase asimptomatik.

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 11
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Gambar 7. Tanda dan gejala fase leptospiremi


Sumber: http://mbanjarnesia.blogspot.co.id/2016/06/leptospirosis-di-sekitar-
kita.html

b. Fase Imun
Pada fase ini berhubungan dengan peningkatan antibody IgM, setelah fase
asimptomatik maka gejala fase leptospiremi akan muncul kembali. Disertai dengan
rasa sakit pada leher, perut, otot kaki, paha, serta nampak kerusakan pada hati, ginjal,
uremia, isterik yang biasanya ditandai dengan tubuh berwarna menguning. Fase ini
biasanya berlangsung selama 3-30 hari.

Gambar 8. Tubuh penderita leptospirosis berwarna kuning


Sumber : obatsakit-info.blogspot.co.id/
c. Fase Penyembuhan
Fase penyembuhan biasanya terjadi pada minggu ke – 2 sampai minggu ke – 4,
penderita mengalami demam dan nyeri tekan pada otot yang berangsur-angsur mulai
menghilang .

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 12
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

2.6 FAKTOR PENDUKUNG PENYAKIT LEPTOSPIROSIS

Faktor pendukung atau yang bisa disebut faktor risiko penyakit adalah berbagai
keadaan yang karena kuat atau lemahnya dapat berhubungan terhadap terjadinya suatu
penyakit. Menurut Sambasiva, et al., (2003), faktor pendukung terjadinya risiko penyakit
leptospirosis, meliputi :

a. Adanya luka atau lecet di kulit;


b. Kebiasaan hidup sehari-hari (sering berjalan kaki tanpa alas kaki diuar rumah,
sering berjalan melewati genangan air becek)
c. Kontak dengan tikus maupun urin tikus;
d. Kontak dengan jaringan hewan lain yang terinfeksi leptospira.

Sedangkan menurut WHO (2003) berdasarkan studi yang telah dilakukan


menunjukkan bahwa faktor risiko yang mempunyai hubungan dengan kejadian
leptospirosis pada masyarakat adalah sebagai berikut :

1. Faktor Individu
Faktor individu meliputi :
a) Umur
Bakteri Leptospira sp. dapat menginfeksi semua golongan umur manusia,
namun kebanyakan kasus leptospirosis terjadi pada orang dewasa (CFR=56%)
(Fahmi, 2005). Pada penelitian Rusmini (2006) di Kabupaten Klaten Jawa
Tengah menunjukkan bahwa kasus leptospirosis berusia 40-55 tahun. Kasus
leptospirosis sering terjadi pada manusia dewasa muda sampai usia produktif,
karena sering beraktivitas di luar rumah.

Gambar 9. Resiko terbesar penderita leptospirosis adalah


umur produktif
Sumber: www.liputan6.com
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA
Jl. Menur No. 118A Surabaya 13
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

b) Jenis kelamin
Kasus leptospirosis lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki
dibandingkan perempuan, karena laki-laki sering melakukan banyak kegiatan di
luar rumah yang berhubungan dengan air. Laki- laki mempunyai resiko
menderita leptospirosis sebesar 9,6 kali lebih besar dibandingkan penderita
perempuan (Hickey, 2008).
c) Pendidikan
Masyarakat yang hidup di daerah endemis leptospirosis namun memiliki
pendidikan yang tinggi telah mengetahui leptospirosis, hewan reservoir
leptospirosis, cara penularannya, pemberantasannya, maupun pengobatannya
sehingga mereka lebih memiliki risiko yang kecil untuk terjangkit penyakit
leptospirosis. Dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki pendidikan dan
pengetahuan yang rendah.
Karena pada masyarakat yang mempunyai pendidikan tinggi, mereka selalu
berperilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
sanitasi lingkungan maupun hygiene perorangan dapat terjaga dengan baik.
d) Jenis pekerjaan
Jenis pekerjaan yang beresiko terinfeksi bakteri leptospira secara langsung
maupun tidak langsung adalah pekerjaan petani, peternak, militer, pekerjaan
pembersih selokan, dokter hewan, pekerja pemotongan hewan, pekerja
perkebunan, nelayan air tawar, dan pekerja kehutanan. Namun, yang paling
sering terjangkit pekerjaan peternak dan petani.

Gambar 10. Petani sebagai faktor risiko tertular leptospirosis


Sumber : http://www.tigapilarnews.com/tag/penderita-leptospirosis

e) Kebiasaan hidup
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA
Jl. Menur No. 118A Surabaya 14
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Meliputi dengan kebiasaan mandi yang berada di sungai dapat mempengaruhi


kontak penularan penyakit leptospirosis, mencuci pakaian dengan menggunakan
air yang bersih agar terhindar dari penularan penyakit, memancing di sungai atau
air yang terinfeksi urine binatang infektif, beraktivitas ke sawah dan lading, dan
olahraga air.

2. Faktor Lingkungan
a. Lingkuungan abiotik
Menurut WHO (2003), faktor lingkungan abiotik yang meliputi :
1. Indeks Curah Hujan (ICH) yang tinggi yaitu 500 ml/m di suatu daerah
mendukung bakteri leptospira lebih bertahan hidup.
2. Suhu udara yang cocok bagi bakteri leptospira adalah > 22o C.
3. Kelembaban udara yang tinggi yakni > 60 % merupakan kondisi yang ideal
bagi bakteri leptospira .
4. Bakteri leptospira dapat survival pada lingjungan dengan intensitas cahaya
yang rendah (5.000 lux).
5. Bakteri leptospira dapat bertahan hidup selama berbulan – bulan dengan
pH alkalis > 7
6. Tanah dengan pH yang netral merupakan kondisi yang ideal bagi
kehidupan bakteri leptospira.

b. Lingkungan biotik
Meliputi :
1. Vegetasi, keanekaragaman dan kepadatan leptospirosis sangat berpengaruh
terhadap ketersediaan sumber pakan dan tempat berlindung bagi tikus.
2. Keberhasilan penangkapan tikus, angka keberhasilan penangkapan tikus di
suatu daerah menunjukkan relatif tikus di daerah tersebut.
3. Prevalensi bakteri leptospira pada tikus, semakin tinggi angka prevalensi
maka semakin besar pula resiko masyarakat terpapar penyakit leptospirosis.

2.7 PATOGENESIS PENYAKIT LEPTOSPIROSIS


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA
Jl. Menur No. 118A Surabaya 15
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan mukosa,
bahkan bisa juga masuk melalui konjungtiva. Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke
dalam tubuh tidak menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri. (Widoyono, 2011).

Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di darah dan


jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan
oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1- 2 hari infeksi. Leptospira virulen mempunyai
kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer adalah kerusakan dinding endotel
pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis (peradangan pada pembuluh darah) serta
merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan kebocoran dan ekstravasasi
sel (Cook et, al., 2009).

Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel,


Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang
berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi
perlekatan netrofil (bagian sel darah putih dari kelompok granulosit) pada sel endotel
(lapisan tunggal yang mewakili system vaskuler) dan trombosit, sehingga terjadi agregasi
trombosit disertai trombositopenia (Sarwani, 2005).

Gambar 11. Siklus hidup bakteri Leptospira sp.

Sumber : CDC’s Public Health Image Library

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 16
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam
ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan lumen tubulus.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia.
Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab
gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal disertai edema dan perdarahan
subkapsular, serta nekrosis tubulus renal. Sementara perubahan yang terjadi pada hati
bisa tidak tampak secara nyata. Secara mikroskopik tampak perubahan patologi berupa
nekrosis sentrolobuler disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer (Lestaningsih, 2002).

2.8 EPIDEMIOLOGI PENYAKIT LEPTOSPIROSIS


1. Epidemiologi Leptospirosis di Dunia
Leptospirosis merupakan zoonosis dengan distribusi luas di seluruh dunia,
terutama pada wilayah dengan iklim tropis dan subtropis. Di daerah dengan
kejadian luar biasa leptospirosis ataupun pada daerah yang memiliki faktor risiko
tinggi terpapar leptospirosis, angka kejadian leptospirosis dapat mencapai lebih dari
100 per 100.000 per tahun. Di daerah tropis dengan kelembaban tinggi angka
kejadian leptospirosis berkisar antara 10-100 per 100.000 sedangkan di daerah
subtropis angka kejadian berkisar antara 0,1-1 per 100.000 per tahun. Case fatality
rate (CFR) leptospirosis di beberapa bagian dunia dilaporkan berkisar antara <5% -
30%. Angka ini memang tidak terlalu reliabel mengingat masih banyak daerah di
dunia yang angka kejadian leptospirosisnya tidak terdokumentasi dengan baik.

Negara Propinsi Insiden Per 100.000 Kematian (%)


India Andaman 50,0 21,0
Thailand - 23,1 2,5
India Chennal 10,5 -
France Lle da la Reunion 6,0 -
India Keraia 5,6 10,0
USA Hawaii 4,0 -
Brazil Sao Paulo 1,9 12,3
Uruguay - 1,6 100
Indonesia Semarang 1,2 16,7
Tabel 2. Insidensi leptospirosis di beberapa negara
Sumber: International Leptospirosis Society, 2005

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 17
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Pada tahun 2001 terjadi Kejadian Luar Biasa (outbreak) di Dhaka Bangladesh,
sebanyak 18% pasien diperiksa ternyata positif bakteri leptospira. Kasus
leptospirosis yang terjadi pada penduduk Bangladesh saat itu berusia 6-70 tahun. Di
Amerika Latin, Amerika Serikat, Karibia, Nikaragua, Brazil, India, Indonesia,
Malaysia, Thailand, dan Sri Lanka diketahui sebagai negara dengan angka insidensi
leptospirosis yang sangat tinggi (Rusmini, 2011).

2. Epidemiologi Leptospirosis di Indonesia


Di lndonesia leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat (Supraptono,
2011).
Di Indonesia penyakit leptospirosis sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah
seperti Semarang, Klaten, Demak atau Boyolali. Beberapa tahun terakhir di derah
banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga dilaporkan terjadi-nya penyakit ini.
Bakteri leptospira juga banyak ber-kembang biak di daerah pesisir pasang surut
seperti Riau, Jambi dan Kalimantan. Angka kematian leptospirosis di Indonesia
termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45%. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian
mencapai 56%. Penderita Leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna kuning
(kerusakan jaringan hati), risiko kematian akan lebih tinggi. Di beberapa publikasi
angka kematian di laporkan antara 3%-54% tergantung sistem organ yang
terinfeksi. Di Jawa Tengah berdasarkan laporan dari Kepala Bidang Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah,
leptospirosis terutama terjadi di enam daerah, yakni Kota Semarang, Kabupaten
Demak, Klaten, Purworejo, Pati, dan Kabupaten Semarang. Jumlah kasus
leptospirosis sejak 2005 terus mengalami peningkatan.
Pada tahun 2005 terdapat 34 kasus dan meninggal 10 orang (CFR: 29,4%),
tahun 2006 terdapat 35 kasus dan 9 orang meninggal (CFR: 25,7%), tahun 2007
ditemukan 67 kasus dengan tujuh orang meninggal (CFR: 10,4%) dan tahun 2008
ditemukan 230 kasus dengan 15 orang meninggal (CFR: 6,5%). Kota Semarang
merupakan wilayah terbanyak terkena penyakit ini dengan 151 kasus pada tahun
2008 dengan jumlah kematian empat orang.

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 18
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Berdasarkan hasil berbagai penelitian jumlah kasus leptospirosis di Jawa


Tengah semakin meningkat terutama di wilayah Kabupaten Demak dan Kota
Semarang. Angka kematian penderita leptospirosis yang dirawat di rumah sakit
termasuk tinggi. Orang dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan dan
melibatkan kontak tubuh dengan tempat berair, keberadaan tikus ataupun hewan
yang terinfeksi leptospira di sekitar tempat berair tersebut, adanya luka di tubuh
serta kurangnya perawatan ataupun perlindungan terhadap luka, berpotensi besar
terinfeksi/menderita leptospirosis.
Hasil penelitian Soeharyo (1996) di Semarang menunjukkan beberapa faktor
yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis adalah riwayat adanya luka,
perawatan luka yang tidak baik,dan keberadaan selokan dengan aliran air yang
tidak baik

2.9 CARA PENCEGAHAN PENYAKIT LEPTOSPIROSIS


Menurut Rusmini (2011), upaya dalam pencegahan penularan leptospirosis dapat
dilakukan dengan tiga jalur intervensi sebagai berikut :
a. Intervensi sumber infeksi
b. Intervensi pada jalur penularan dan
c. Intervensi pada pejamu manusia
Pengendalian leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan
sekunder. Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran bisa
terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif. Sedangkan
pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis,
dicegah agar orang tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya dapat
menyebabkan kematian (Bobby et al., 2001).
Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak terjadi
kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi :
a. Menjaga personal hygiene setiap perorangan, misalnya untuk selalu mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan serta tidak mandi di sungai yang tercemar.

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 19
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Gambar 12. Menghindari untuk mandi dan berenang di sungai


Sumber: https://lisasuroso.files.wordpress.com/2008/04/ciliwung.jpg
b. Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi
c. Melindungi sanitasi air minum penduduk
Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, dilakukan filtrasi dan
deklorinai untuk mencegah invasi leptospira.
d. Pemberian vaksin
e. Pengendalian hospes perantara leptospira
Roden yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adalah tikus. Untuk itu
dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan,
penggunaan bahan rodentisida, dan menggunakan predator roden.

Gambar 13. Pemasangan perangkap tikus di hutan


Sumber: https://3.bp.blogspot.com.
f. Usaha promotif penyuluhan
Untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara edukasi, dimana antara
daerah satu dengan daerah yang lain mempunyai serovar dan epidemi leptospirosis
yang berbeda. Untuk mendukung usaha promotif ini diperlukan peningkatan kerja
antar sektor yang dikoordinasikan oleh tim penyuluhan kesehatan masyarakat Dinas
Kesehatan setempat.

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 20
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Gambar 14. Penyuluhan tentang penyakit leptospirosis


Sumber : https://pmibantul.files.wordpress.com/2011/03/lepto1a.jpg
Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap pasien yang
didiagnosis menderita leptospirosis. Salah satu hal yang menguntungkan dalam
pengobatan ini ialah pengobatan kausal tidak tergantung pada subgrup maupun serotipe
leptospira. Untuk pengobatan Leptospirosis ringan (mild illness/ suspect case) dapat
menggunakan Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7 hari; atau Amoxicillin
atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari.

Gambar 15. Obat untuk penyakit Leptospirosis ringan


Sumber : https://www.doctorfox.co.uk

Sedangkan untuk Leptospirosis berat (severe case/ probable case) dapat


menggunakan Injeksi Penicillin G 2 juta unit IV / 6 jam selama 7 hari; Injeksi
Ceftrioxine 1 gr IV/ hari selama 7 hari (Soeharyo, 2002).

Gambar 16. Obat untuk penyakit leptospirosis berat


Sumber : https://www.doctorfox.co.uk
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA
Jl. Menur No. 118A Surabaya 21
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Pencegahan tersier (rehabilitasi), pada tahap ini bertujuan untuk mencegah


bertambah parahnya penyakit. Oleh karena itu, dalam tahap ini juga dilakukan
rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat efek samping dari penyembuhan suatu
penyakit. Rehabilitasi adalah usaha pengembalian fungsi fisik, psikologis dan sosial
seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik/medis, rehabilitasi mental atau
psikologis serta rehabilitasi sosial.

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 22
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Leptospirosis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Leptospira sp.
Penyakit ini disebut juga Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud
fever, atau Swineherd disease. Bakteri Leptospira sp merupakan organisme fleksibel,
tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-15 μm, disertai spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2
μm. Salah satu ujung bakteri ini seringkali bengkok dan membentuk kait.
Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. Faktor yang
mempengaruhi penyebaran leptospirosis antara lain kondisi selokan buruk, keberadaan
sampah dalam rumah, keberadaan tikus didalam dan sekitar rumah, kebiasaan tidak
memakai alas kaki, kebiasaan mandi/mencuci di sungai, pekerjaan berisiko, tidak ada
penyuluhan tentang leptospirosis.
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan tindakan isolasi atau membunuh
hewan yang terinfeksi, memelihara lingkungan bersih, membuang sampah pada tong
sampah, menjaga sanitasi, meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan. Leptospirosis
diobati dengan antibiotika seperti doxycycline untuk gejala ringan atau penicillin untuk
gejala leptospirosis yang berat.

3.2 SARAN
Saran untuk masyarakat adalah masyarakat diharapkan  dapat meningkatkan
pengetahuan kesehatan terutama mengenai penyakit leptospirosis. Dengan mengetahui
akan penyakit tersebut, pencegahan dan penanggulangannya dapat dilakukan sehingga
penyakit leptospirosis tidak menimbulkan patologi atau infeksi yang berat karena
telatnya penanganan. Masyarakat juga harus meningkatkan dan menjaga sanitasi diri
sendiri maupun lingkungan karena bakteri Leptospira menyebar pada lingkungan yang
kotor dan dapat terbawa oleh air. Saran bagi pemerintah adalah pemerintah dapat
melakukan promosi kesehatan mengenai penyakit leptospirosis kepada masyarakat,
memperbaiki tatanan kota yang buruk, dan meningkatkan pelayanan medis dalam
mengobati penderita leptospirosis.

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 23
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

DAFTAR PUSTAKA

Abram S. Benenson. 1990. Control of Communicable Diseases in Man. Fifteenth.


American.

Andani, Luluk And Gassem , M Hussein. 2014. Evaluasi Penggunaan Kriteria


Diagnosis Leptospirosis (Who Searo 2009) Pada Pasien Leptospirosis Di Rsup
Dr Kariadi Semarang. Undergraduate Thesis, Faculty Of Medicine Diponegoro
University.

Bey, R.F. dan Johnson, R.C. 1982. Leptospiral vaccines in dogs: Immunogenicity of
whole celland outer envelope vaccines prepared in protein-free medium. Am. J .
Vet Res . 43(5) :831-834

Bobby Setadi, Andi Setiawan, Daniel Effendi, Sri Rezeki S Hadinegoro. 2001. Petunjuk
praktis leptospirosis. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember: 163 – 167. Diakses
dari http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/3-3-10.pdf pada tanggal 21 September
2017 pukul 12.09 WIB

Cook, Gordon C dan Alimuddin I.Zumla. 2009. Tropical Diseases. China: Elsevier

Depkes. 2015. Leptospirosis: Kenali dan Waspadai. Diakses dari


http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=15022400002 pada tanggal 14 September
2017 pukul 01.00 WIB

Fahmi, U. 2009. Mewaspadai Leptospirosis di Musim Hujan. Diakses dari


http://www.suarakaryaonline.htm pada tanggal 14 September 2017 pukul 01.35
WIB

Faine, S., B. Adler, C. Bolin and P. Perolat, 1999. Leptospira and Leptospirosis In
Methods, Faine, S. (Ed.). 2nd Edn., Med. Sci., Melbourne, pp: 169-184

Ferry, Febrian. 2011. Analisis Spasial Kejadian Penyakit Leptospirosis Di Kabupaten


Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Univesitas Ahmad
Dahlan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 24
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Gassem M.Hussein. 2002. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis: Gambaran


Klinik Dan Diagnosis Leptospirosis Pada Manusia. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro

Hickey, P.W. 2008. Leptospirosis. Article eMedicine Leptospirosis. Diakses dari


http://www.emedecine.com/ped/topic1298.htm pada tanggal 15 September 2017
pukul 20.15 WIB

Isnani, Tri. 2011. Leptospirosis Dalam Pandangan Masyarakat Daerah Endemis.


Banjarnegara: Loka Litbang P2B2

Jawetz, Melnick, dan Adelberg. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Kurnia, Handy. 2012. Tingkat Pengetahuan Dokter Umum Mengenai Leptosprisosis


Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Skripsi diterbitkan. Semarang:
Universitas Diponegoro

Lestariningsih. 2002. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis: Gagal Ginjal Akut


Pada Leptospirosis. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Lingkungan dan Perilaku pada Kejadian Leptospirosis (Environmental and behavioral


factors and the occurrence of leptospirosis) diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/277877408_Lingkungan_dan_Perilaku_
pada_Kejadian_Leptospirosis_Environmental_and_behavioral_factors_and_the_o
ccurrence_of_leptospirosis. Pada tanggal 24 September 2017 pukul 19.00 WIB

Muliawan, Sylvia Y. 2008 .Bakteri Spiral Patogen (Treponema, Leptospira, dan


Borrelia). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Rusmini. 2011. Bahaya Leptospirosis Penyakit Kencing Tikus dan Cara


Pencegahannya. Edisi Pertama. Penerbit Gosyen Publishing. Yogyakarta

Sambasiva, R.R., Naveen, G., P.Bhalla dan S.K. Agarwal. 2003. Leptospirosis in India
and the Rest of the World. The Brazillian Journal of Infectious Diseases 2003;
Vol.7, No.3. pp.178-193

Sarwani Dwi Sri Rejeki. 2005. Faktor Risiko Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Leptospirosis Berat. Semarang

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 25
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis

Shieh W-J, Edwards C, Levett PN, Zaki SR. 2006. Leptospirosis. In: Guerrant RL,
Walker DH, Weller PF, editors. Tropical Infectious Disease: Principles,
Pathogens, and Practice. 2 ed. Philadelphia: Elsevier; p. 511-6.

Soeharyo Hadisaputro. 2002. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis: Faktor-


Fator Risiko Leptospirosis. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Supraptono B, Sumiarto B, Pramono D. 2011. Interaksi 13 Faktor Risiko Leptospirosis.


Berita Kedokteran Masyarakat. 27(2):55-65.

Widoyono. 2011. Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan , Pencegahan, dan


Pemberantasannya). Edisi Kedua. Penerbit Erlangga. Jakarta

World Health Organization. 2003. Human Leptospirosis: guidance for diagnosis,


surveillance, and control. Diakses dari
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf pada
tanggal 21 September 2017 pukul 10.15 WIB

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


Jl. Menur No. 118A Surabaya 26

Anda mungkin juga menyukai