BAB I
PENDAHULUAN
sehari-hari seperti upaya pencegahan atau usaha agar tidak terserang serta upaya
berobat juga kurang karena tidak tahu. Pengetahuan diperoleh dari hasil interaksi
indrawi manusia baik melalui melihat langsung, lewat media gambar, maupun
mendengar langsung dan media (Isnani, 2011).
Oleh sebab itu perlu tindakan penanggulangan leptospirosis dengan menentukan
spesifik local pencegahan dan pengendalian reservoir, melalui penyuluhan cara
pencegahan penularan leptospirosis dari tikus ke manusia, pencarian penderita (Active
Case Detection) , serta pengendalian reservoir yang tepat dan efisiensi. Agar
penyebaran penyakit leptospirosis tidak menyebar luas kepada masyarakat.
1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas, terdapat beberapa tujuan yaitu :
a) Untuk mengetahui pengertian dari penyakit leptospirosis.
b) Untuk mengetahui agent dan sifat agent penyebab penyakit leptospirosis.
c) Untuk mengetahui reservoir penyebab penyakit leptospirosis.
d) Untuk mengetahui bagaimana cara penularan penyakit leptospirosis.
e) Untuk mengetahui bagaimana proses masa inkubasi penyakit leptospirosis.
f) Untuk mengetahui faktor pendukung timbulnya penyakit leptospirosis.
g) Untuk mengetahui siklus hidup parasit dari penyakit leptospirosis.
1.4 MANFAAT
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat yang didapatkan dari makalah adalah dapat digunakan sebagai bahan
referensi penelitian dan memberikan masukan positif berupa wawasan untuk
pengembangan ilmu tentang penyakit berbasis lingkungan khususnya penyakit
leptospirosis.
BAB II
PEMBAHASAN
akut. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira dengan spektrum penyakit yang
luas dan dapat menyebabkan kematian (Depkes, 2015).
Leptospirosis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Leptospira sp.
Penyakit ini disebut juga Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud
fever, atau Swineherd disease. Adolf Weil pertama kali meneliti penyakit ini pada tahun
1886, ia menemukan bahwa leptospirosis menyerang manusia di Heidelberg dengan
gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal (Widoyono,
2011).
Kemudian pada tahun 1915 di Jerman Hubener dan Reiter menemukan bakteri spiral
dengan panjang 5- 15 μm, lebar 0,1-0,2 μm, lentur, tipis, fleksibel, dengan salah satu
ujungnya membengkok yang terdeteksi dari antibodi spesifik dalam darah tentara
Jerman. Tentara tersebut terinfeksi oleh darah babi guinea, dan bakteri tersebut
dinamakan leptospira sp. Selanjutnya pada tahun 1916 Inado dan Ito di Jepang
menemukan mikroorganisme sejenis bakteri berbentuk spiral dan lentur dari dalam darah
tubuh yang menderita penyakit kuning, ternyata penyebab penyakit leptospirosis itu
adalah bakteri Spirochaeta icterohemorrhagiae (Rusmini, 2011).
Sumber : http://www.topnews.in/health/leptospirosis-scare-mumbai-
after-12-people-die-221270
Kingdom : Monera
Phylum : Spirochaetes
Class : Spirochaetes
Ordo : Spirochaetales
Family : Trepanometaceae
Genus : Leptospira
Berikut ini ada beberapa sifat yang dimiliki oleh bakteri Lepstospira, yaitu :
4. Bakteri Lepstospira dapat peka terhadap asam dan dapat hidup pada pH
alkalis > 7
5. Di dalam laboratorium Leptospira berkembangbiak secara optimal pada suhu
250 - 350 Celcius.
6. Leptospira dapat disimpan di dalam freezer pada suhu -700 C dan tahan lama
sampai beberapa tahun tanpa berkurang virulensinya.
7. Bakteri Leptospira memiliki bentuk yang spiral sehingga dapat bergerak
sangat aktif untuk maju, mundur, atau berbelok.
Di Amerika Serikat babi tampaknya menjadi reservoir host Bratislava; di eropa, juga
terdapat Leptospira Badgers. Bangkai binatang diduga sebagai alternatife hots di negara
berkembang, dengan bangkai binatang yang biasanya ukurannya lebih pendek dan
berlimpah, termasuk hewan pengerat liar, rusa, tupai, rubah, sigung, raccon, oposum, dan
mamalia laut. Serovars belum terbukti menginfeksi reptil dan amfibi yang menyebabkan
penualaran kepada manusia, namun telah dicurigai di Barbados dan Trinidad. Pada
hewan pembawa, infeksi asimtomatik terjadi pada tubulus ginjal, karena Leptospira
bertahan dalam waktu lama, terutama pada spesies reservoir (Abram, 1990).
Adapun beberapa serovar bakteri leptospira dan hewan inang leptospira adalah sebagai
berikut :
Menurut Rusmini (2011) secara epidemiologi ada tiga pola penularan leptospirosis, yaitu:
Bakteri Leptospira sp. hidup di ginjal tikus, sebagian akan mencapai tubulus
convolotus, lalu membentuk koloni pada dinding lumen, kemudian siklus penularan akan
diawali dengan keluarnya urin tikus yang mengontaminasi tanah lembab atau air.
Penularan ke manusia terjadi saat mandi atau berenang di sungai, gigitan tikus yang
infektif. Penularan leptospirosis melalui manusia ke manusia dapat terjadi dengan cara
hubungan seksual, plasenta, dan air susu ibu (Rusmini, 2011).
Infeksi leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi, ada yang hampir
15-40% penderita terpapar infeksi tidak bergejala namun positif. Masa inkubasi 7-12 hari
dengan rentang 12-20 hari. Sekitar 90% penderita ikterus ringan, 5-10% ikterus berat
atau dikenal dengan penyakit Weil. Menurut Faine, et all., dan WHO (2003),
Leptospirosis dapat mempunyai 3 fase klinis, yaitu:
a. Fase leptospiremi
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan
serebrospinal (otak). Pada fase ini gejala yang timbul adalah demam tinggi dan
menggigil yang terjadi secara mendadak dan disertai sakit kepala, rasa sakit, nyeri
pada otot, mual, muntah, penurunan kesadaran, hingga mata menjadi berwarna
merah keruh kekuningan. Fase ini berlangsung selama 3-7 hari, yang berakhir
dengan menghilangnya seluruh gejala tersebut secara sementara. Selama 1-3 hari
gejala – gejala pada fase leptospiremi disebut dengan fase asimptomatik.
b. Fase Imun
Pada fase ini berhubungan dengan peningkatan antibody IgM, setelah fase
asimptomatik maka gejala fase leptospiremi akan muncul kembali. Disertai dengan
rasa sakit pada leher, perut, otot kaki, paha, serta nampak kerusakan pada hati, ginjal,
uremia, isterik yang biasanya ditandai dengan tubuh berwarna menguning. Fase ini
biasanya berlangsung selama 3-30 hari.
Faktor pendukung atau yang bisa disebut faktor risiko penyakit adalah berbagai
keadaan yang karena kuat atau lemahnya dapat berhubungan terhadap terjadinya suatu
penyakit. Menurut Sambasiva, et al., (2003), faktor pendukung terjadinya risiko penyakit
leptospirosis, meliputi :
1. Faktor Individu
Faktor individu meliputi :
a) Umur
Bakteri Leptospira sp. dapat menginfeksi semua golongan umur manusia,
namun kebanyakan kasus leptospirosis terjadi pada orang dewasa (CFR=56%)
(Fahmi, 2005). Pada penelitian Rusmini (2006) di Kabupaten Klaten Jawa
Tengah menunjukkan bahwa kasus leptospirosis berusia 40-55 tahun. Kasus
leptospirosis sering terjadi pada manusia dewasa muda sampai usia produktif,
karena sering beraktivitas di luar rumah.
b) Jenis kelamin
Kasus leptospirosis lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki
dibandingkan perempuan, karena laki-laki sering melakukan banyak kegiatan di
luar rumah yang berhubungan dengan air. Laki- laki mempunyai resiko
menderita leptospirosis sebesar 9,6 kali lebih besar dibandingkan penderita
perempuan (Hickey, 2008).
c) Pendidikan
Masyarakat yang hidup di daerah endemis leptospirosis namun memiliki
pendidikan yang tinggi telah mengetahui leptospirosis, hewan reservoir
leptospirosis, cara penularannya, pemberantasannya, maupun pengobatannya
sehingga mereka lebih memiliki risiko yang kecil untuk terjangkit penyakit
leptospirosis. Dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki pendidikan dan
pengetahuan yang rendah.
Karena pada masyarakat yang mempunyai pendidikan tinggi, mereka selalu
berperilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
sanitasi lingkungan maupun hygiene perorangan dapat terjaga dengan baik.
d) Jenis pekerjaan
Jenis pekerjaan yang beresiko terinfeksi bakteri leptospira secara langsung
maupun tidak langsung adalah pekerjaan petani, peternak, militer, pekerjaan
pembersih selokan, dokter hewan, pekerja pemotongan hewan, pekerja
perkebunan, nelayan air tawar, dan pekerja kehutanan. Namun, yang paling
sering terjangkit pekerjaan peternak dan petani.
e) Kebiasaan hidup
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA
Jl. Menur No. 118A Surabaya 14
MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN – Penyakit Leptospirosis
2. Faktor Lingkungan
a. Lingkuungan abiotik
Menurut WHO (2003), faktor lingkungan abiotik yang meliputi :
1. Indeks Curah Hujan (ICH) yang tinggi yaitu 500 ml/m di suatu daerah
mendukung bakteri leptospira lebih bertahan hidup.
2. Suhu udara yang cocok bagi bakteri leptospira adalah > 22o C.
3. Kelembaban udara yang tinggi yakni > 60 % merupakan kondisi yang ideal
bagi bakteri leptospira .
4. Bakteri leptospira dapat survival pada lingjungan dengan intensitas cahaya
yang rendah (5.000 lux).
5. Bakteri leptospira dapat bertahan hidup selama berbulan – bulan dengan
pH alkalis > 7
6. Tanah dengan pH yang netral merupakan kondisi yang ideal bagi
kehidupan bakteri leptospira.
b. Lingkungan biotik
Meliputi :
1. Vegetasi, keanekaragaman dan kepadatan leptospirosis sangat berpengaruh
terhadap ketersediaan sumber pakan dan tempat berlindung bagi tikus.
2. Keberhasilan penangkapan tikus, angka keberhasilan penangkapan tikus di
suatu daerah menunjukkan relatif tikus di daerah tersebut.
3. Prevalensi bakteri leptospira pada tikus, semakin tinggi angka prevalensi
maka semakin besar pula resiko masyarakat terpapar penyakit leptospirosis.
Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan mukosa,
bahkan bisa juga masuk melalui konjungtiva. Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke
dalam tubuh tidak menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri. (Widoyono, 2011).
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam
ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan lumen tubulus.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia.
Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab
gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal disertai edema dan perdarahan
subkapsular, serta nekrosis tubulus renal. Sementara perubahan yang terjadi pada hati
bisa tidak tampak secara nyata. Secara mikroskopik tampak perubahan patologi berupa
nekrosis sentrolobuler disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer (Lestaningsih, 2002).
Pada tahun 2001 terjadi Kejadian Luar Biasa (outbreak) di Dhaka Bangladesh,
sebanyak 18% pasien diperiksa ternyata positif bakteri leptospira. Kasus
leptospirosis yang terjadi pada penduduk Bangladesh saat itu berusia 6-70 tahun. Di
Amerika Latin, Amerika Serikat, Karibia, Nikaragua, Brazil, India, Indonesia,
Malaysia, Thailand, dan Sri Lanka diketahui sebagai negara dengan angka insidensi
leptospirosis yang sangat tinggi (Rusmini, 2011).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Leptospirosis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Leptospira sp.
Penyakit ini disebut juga Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud
fever, atau Swineherd disease. Bakteri Leptospira sp merupakan organisme fleksibel,
tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-15 μm, disertai spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2
μm. Salah satu ujung bakteri ini seringkali bengkok dan membentuk kait.
Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. Faktor yang
mempengaruhi penyebaran leptospirosis antara lain kondisi selokan buruk, keberadaan
sampah dalam rumah, keberadaan tikus didalam dan sekitar rumah, kebiasaan tidak
memakai alas kaki, kebiasaan mandi/mencuci di sungai, pekerjaan berisiko, tidak ada
penyuluhan tentang leptospirosis.
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan tindakan isolasi atau membunuh
hewan yang terinfeksi, memelihara lingkungan bersih, membuang sampah pada tong
sampah, menjaga sanitasi, meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan. Leptospirosis
diobati dengan antibiotika seperti doxycycline untuk gejala ringan atau penicillin untuk
gejala leptospirosis yang berat.
3.2 SARAN
Saran untuk masyarakat adalah masyarakat diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan kesehatan terutama mengenai penyakit leptospirosis. Dengan mengetahui
akan penyakit tersebut, pencegahan dan penanggulangannya dapat dilakukan sehingga
penyakit leptospirosis tidak menimbulkan patologi atau infeksi yang berat karena
telatnya penanganan. Masyarakat juga harus meningkatkan dan menjaga sanitasi diri
sendiri maupun lingkungan karena bakteri Leptospira menyebar pada lingkungan yang
kotor dan dapat terbawa oleh air. Saran bagi pemerintah adalah pemerintah dapat
melakukan promosi kesehatan mengenai penyakit leptospirosis kepada masyarakat,
memperbaiki tatanan kota yang buruk, dan meningkatkan pelayanan medis dalam
mengobati penderita leptospirosis.
DAFTAR PUSTAKA
Bey, R.F. dan Johnson, R.C. 1982. Leptospiral vaccines in dogs: Immunogenicity of
whole celland outer envelope vaccines prepared in protein-free medium. Am. J .
Vet Res . 43(5) :831-834
Bobby Setadi, Andi Setiawan, Daniel Effendi, Sri Rezeki S Hadinegoro. 2001. Petunjuk
praktis leptospirosis. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember: 163 – 167. Diakses
dari http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/3-3-10.pdf pada tanggal 21 September
2017 pukul 12.09 WIB
Cook, Gordon C dan Alimuddin I.Zumla. 2009. Tropical Diseases. China: Elsevier
Faine, S., B. Adler, C. Bolin and P. Perolat, 1999. Leptospira and Leptospirosis In
Methods, Faine, S. (Ed.). 2nd Edn., Med. Sci., Melbourne, pp: 169-184
Sambasiva, R.R., Naveen, G., P.Bhalla dan S.K. Agarwal. 2003. Leptospirosis in India
and the Rest of the World. The Brazillian Journal of Infectious Diseases 2003;
Vol.7, No.3. pp.178-193
Sarwani Dwi Sri Rejeki. 2005. Faktor Risiko Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Leptospirosis Berat. Semarang
Shieh W-J, Edwards C, Levett PN, Zaki SR. 2006. Leptospirosis. In: Guerrant RL,
Walker DH, Weller PF, editors. Tropical Infectious Disease: Principles,
Pathogens, and Practice. 2 ed. Philadelphia: Elsevier; p. 511-6.