Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Perkembangan

epidemiologi

menggambarkan

secara

spesifik

peran

lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah. Bahwasanya lingkungan


berpengaruh pada terjadinya penyakit sudah sejak lama diperkirakan orang.
Dewasa ini berbagai masalah kesehatan yang timbul dalam masyarakat
terutama disebabkan karena keadaan kesehatan lingkungan yang kurang atau tidak
memenuhi syarat disamping factor perilaku hidup sehat yang belum
memasyarakat.
Leptospirosis merupakan salah satu penyakit menular yang terjadi akibat
bakteri leptospira yang penularannya melalui hewan tapi juga bisa melalui
manusia sendiri. leptospirosis biasanya menyerang daerah yang memiliki udara
yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis.
Leptospirosis merupakan penyakit infeksi pada manusia dan binatang yang
disebabkan oleh bakteri leptospira yang berbentuk spiral dan bergerak aktif.
Leptospirosis merupakan zoonosis yang paling tersebar luas di dunia. Penyakit ini
pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 o1eh Adolf Weil dengan gejala panas
tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit
dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai "Weil's
Disease". Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease"
disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae.
Seperti di Negara New Zealand. Di Indonesia pun angka penderita
leptospirosis di bilang tinggi. Penyebab leptospirosi adalah kontok langsung
dengan selaput lendir (mukosa) dan mata (konjungtiva) pada hewan seperti tikus,
sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing. Dan ada juga penyebab lainnya adalah
pola hidup tak sehat seperti Jika anda memelihara hewan kesayangan anda tak
membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan.
Cara penularan leptospirosis dari manusia ke manusia adalah karena
hubungan seksual dan transplacentally dari ibu ke janin dan melalui ASI pada
anak. Adapun pencegahan yang dapat dilakukan adalah menjaga pola hidup sehat,

selalu mencuci tangan setelah menyentuh hewan, selalu menggunakan sarung


tangan jika berkebun dan jangan makan sambil bermain dengan hewan dan
banyak lainnya. Leptospirosis dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin,
ampisillin, atau amoksisillin serta penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan
eritromisin.
Di Indonesia dilaporkan di dalam risalah Partoatmodjo (1964) bahwa sejak
1936 telah diisolasi berbagai serovar leptospira, baik dari hewan liar maupun
hewan peliharaan. Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa
Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Angka kematian
leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45%. Pada usia lebih
dari 50 tahun kematian mencapai 56%. Penderita Leptospirosis yang disertai
selaput mata berwarna kuning (kerusakanjaringan hati), risiko kematian akan
lebih tinggi. Di beberapa publikasi angka kematian di laporkan antara 3 % - 54 %
tergantung system organ yang terinfeksi.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1.
2.
3.
4.

Apakah yang dimaksud dengan Leptospirosis?


Bagaimanakah karakteristik bakteri Leptospirosa?
Apakah yang menjadi penyebab terjadinya penyakit Leptospirosis?
Bagaimanakah tanda (gejala klinis) pada individu yang terkena penyakit

Leptospirosis?
5. Bagaimanakah patofisiologi penyakit Leptospirosis?
6. Bagaimanakah epidemiologi penyakit Leptospirosis?
7. Bagaimanakah penanganan penyakit Leptospirosis?

1.3 TUJUAN PENULISAN


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Leptospirosis
2. Untuk mengetahui karakteristik bakteri Leptospira
3. Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit Leptospirosis

4. Untuk mengetahui tanda (gejala klinis) pada individu yang terkena


penyakit Leptospirosis
5. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit Leptospirosis
6. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit Leptospirosis
7. Untuk mengetahui penanganan penyakit Leptospirosis

1.4 METODE PENULISAN


Metode penulisan ini menggunakan kepustakaan dari buku dan informasi dari
intenet yang telah di revisi.

1.5 MANFAAT PENULISAN


Memberikan informasi kepada pembaca tentang leptospirosis.

BAB II
ISI
2.1 PENGERTIAN LEPTOSPIROSIS
Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat
ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis
dikenal juga dengan nama Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit
Swineherd's, Demam pesawah (Ricefield fever), Demam Pemotong tebu (Canecutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah, Penyakit Stuttgart, Demam
Canicola, penyakit kuning non-virus, penyakit air merah pada anak sapi, dan tifus
anjing.

Infeksi dalam bentuk subakut tidak begitu memperlihatkan gejala klinis,


sedangkan pada infeksi akut ditandai dengan gejala sepsis, radang ginjal
interstisial, anemia hemolitik, radang hati dan keguguran. Leptospirosis pada
hewan biasanya subklinis. Dalam keadaan ini, penderita tidak menunjukkan gejala
klinis penyakit. Leptospira bertahan dalam waktu yang lama di dalam ginjal
hewan sehingga bakteri akan banyak dikeluarkan hewan lewat air kencingnya.
Leptospirosis pada hewan dapat terjadi berbulan-bulan sedangkan pada manusia
hanya bertahan selama 60 hari. Manusia merupakan induk semang terakhir
sehingga penularan antarmanusia jarang terjadi.

Penyakit ini paling sering ditularkan dari hewan ke manusia ketika orang
dengan luka terbuka di kulit melakukan kontak dengan air atau tanah yang telah
terkontaminasi air kencing hewan. Bakteri juga dapat memasuki tubuh melalui
mata atau selaput lendir. Hewan yang umum menularkan infeksi kepada manusia
adalah tikus, musang, opossum, rubah, musang kerbau, sapi atau binatang lainnya.
Karena sebagian besar di Indonesia Penyakit ini ditularkan melalui kencing Tikus,
Leptospirosis popular disebut penyakit kencing tikus.
Menurut WHO (World Health Organization), sekitar 10 juta orang
diperkirakan terserang Leptospirosis setiap tahun. Tingkat kematian penyakit ini
sulit untuk dihitung, karena Leptospirosis cenderung terjadi di beberapa bagian
dunia dengan pelayanan kesehatan masyarakat yang sangat mendasar yang tidak
secara rutin melaporkan banyak penyebab kematian.
Sejarah Penyakit
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan
gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa.
Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai
Weil's Disease. Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's
Disease" disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae.

2.2 KARAKTERISTIK BAKTERI LEPTOSPIRA


Klasifikasi bakteri Leptospira

Kingdom : Monera
Phylum : Spirochaetes
Class : Spirochaetes
Order : Spirochaetales
Family : Leptospiraceae
Genus : Leptospira
Species : Leptospira interoogans

Karakteristik

Ciri-ciri bakteri Leptospira antara lain berbentuk spiral, dapat hidup di


air tawar selama satu bulan, bersifat patogen dan saprofitik. Spesies
Leptospira yang mampu menyebabkan penyakit (pathogen) bagi manusia
adalah Leptospira interrogans. Leptospirosis disebabkan bakteri patogen
berbentuk spiral termasuk genus Leptospira, family Leptospiraceae dan ordo
Spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat dan
berkembang pelan secara anaerob. Setiap spesies Leptospira terbagi menjadi
puluhan serogoup dan terbagi lagi menjadi puluhan, bahkan ratusan serovar.
Saat ini, Leptospira interrogans yang bersifat patogen telah dikenal lebih dari
200 seovar. Jasad renik ini biasa hidup di dalam ginjal host dan dikeluarkan
melalu air kencing (urin) saat berkemih. Host tersebut antara lain tikus, babi,
kambing, domba, kuda, anjing, kucing, kelelawar, tupai dan landak.
Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia
diantaranya adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia
lainnya. Reservoir paling utama adalah binatang pengerat dan tikus adalah
yang paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia. Di Amerika yang
paling utama adalah anjing, ternak, tikus, binatang buas dan kucing.

2.3 PENYEBAB

TERJADINYA

LEPTOSPIROSIS

(CARA

PENULARAN PENYAKIT)
Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. Bakteri
Leptospira merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk
bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram negatif, bentuknya dapat
berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat. Bakteri Lepstospira berukuran
panjang 6-20 m dan diameter 0,1-0,2 m. Sebagai pembanding, ukuran sel
darah merah hanya 7 m. Jadi, ukuran bakteri ini relatif kecil dan panjang
sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop cahaya dan untuk melihat
bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras. Bakteri ini dapat
bergerak maju dan mundur.

Leptospira mempunyai 175 serovar, bahkan ada yang mengatakan


Leptospira memiliki lebih dari 200 serovar. Infeksi dapat disebabkan oleh
satu atau lebih serovar sekaligus. Bila infeksi terjadi, maka pada tubuh
penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi.
Leptospirosis pada anjing disebabkan oleh infeksi satu atau lebih
serovar dari Leptospira interrogans. Serovar yang telah diketahui dapat
menyerang anjing yaitu L.australis, L.autumnalis, L.ballum, L.batislava,
L.canicola, L.hardjo, L.grippotyphosa, L.ichterohemorarhagica, L.pomona,
dan L.tarassovi. Pada anjing, telah tersedia vaksin terhadap Leptospira yang
mengandung biakan serovar L.canicola dan L.icterohemorrhagica yang telah
dimatikan. Serovar yang dapat menyerang sapi yaitu L.pamona dan
L.gryptosa. Serovar yang diketahui terdapat pada kucing adalah L.bratislava,
L.canicola,

L.gryppothyphosa, dan L.pomona. Babi dapat terserang

L.pamona dan L.interogans, sedangkan tikus dapat terserang L.ballum dan


L.ichterohaemorhagicae.
Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat
kolaps menjadi bola berbentuk kubah dan tipis. Pada kondisi ini, Leptospira
tidak memiliki aktifitas patogenik. Leptospira dapat hidup dalam waktu lama
di air, tanah yang lembap, tanaman dan lumpur.
Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam waktu lama dan
siap menginfeksi calon korbanya apabila kontak dengannya, karena itu
Leptospirosis sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water
born deseasei).
Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar
selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air
kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Hewan-hewan yang menjadi
sumber penularan Leptospirosis ialah tikus, babi, sapi, kambing, domba,
kuda, anjing, kucing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai),
sedangkan rubah dapat menjadi karier leptospira.
Cara penularannya

Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water


borne disease). Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini
merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan.
Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam airmenjadi salah satu
faktor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru.Hujan
deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir. Gerakan
bakteri memang tidak mempengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan
tubuh namun mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah
induk semang.

Keadaan

banjir

menyebabkan

adanya

perubahan lingkungan

seperti

banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak


timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang
biak. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui
permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata

Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama


leptospirosis karena bertindak sebagia inang alami dan memiliki daya reproduksi
tinggi. beberapa hewan lain yang juga merupakan sumber penularan leptospira
memiliki potensi penularan ke manusia tidak sebesar tikus.
Leptospirosis tersebar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia
Leptospirosis ditemukan antara lain di propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY,
Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumtera Barat, Sumatera Utara,
Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Barat.
Distribusi Penyakit
Leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun
perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis. Penyakit ini terutama beresiko
terhadap orang yang bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak,
petani, penjahit, dokter hewan, dan personel militer. Selain itu, Leptospirosis juga
beresiko terhadap individu yang terpapar air yang terkontaminasi. Di daerah
endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan
dan banjir.
Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat,
tanah yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim
tropis. Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di

negara beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko


penyakit yang lebih berat. Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 520/100.000 penduduk per tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Oraganization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis
diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah
beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang
setiap tahun. Pada saat wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok
berisiko tinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi
Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,516,45 persen. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56 persen. Di
beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3 persen - 54 persen
tergantung sistem organ yang terinfeksi.

2.4 GEJALA KLINIS


Pada hewan
Pada hewan, Leptospirosis kadangkala tidak menunjukkan gejala klinis
(bersifat subklinis), dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun
sebenarnya dia sudah terserang Leptospirosis. Kucing yang terinfeksi biasanya
tidak menunjukkan gejala walaupun ia mampu menyebarkan bakteri ini ke
lingkungan untuk jangka waktu yang tidak pasti.
Gejala klinis yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yakni warna
kekuningan, karena pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada
hemoglobin dalam urin. Gejala ini terjadi pada 50 persen kasus, terutama jika
penyababnya L. pomona. Gejala lain yaitu demam, tidak nafsu makan, depresi,
nyeri pada bagian-bagian tubuh, gagal ginjal, gangguan kesuburan, dan kadang
kematian. Apabila penyakit ini menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala
yang timbul yaitu radang mukosa mata (konjungtivitis), radang hidung (rhinitis),
radang tonsil (tonsillitis), batuk dan sesak napas.

10

Pada babi muncul gejala kelainan saraf, seperti berjalan kaku dan berputarputar. Pada anjing yang sembuh dari infeksi akut kadangkala tetap mengalami
radang ginjal interstitial kronis atau radang hati (hepatitis) kronis. Dalam keadaan
demikian gejala yang muncul yaitu penimbunan cairan di abdomen (ascites),
banyak minum, banyak urinasi, turun berat badan dan gejala saraf. Pada sapi,
infeksi Leptospirosis lebih parah dan lebih banyak terjadi pada pedet (anak sapi)
dibandingkan sapi dewasa dengan gejala demam, jaundis, anemia, warna telinga
maupun hidung yang menjadi hitam, dan kematian (Bovine Leptospirosis). Angka
kematian (mortalitas) akibat Leptospirosis pada hewan mencapai 5-15 persen,
sedangkan angka kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75 persen.
Pada anjing, bakteri ini dapat melakukan penetrasi dan memperbanyak diri
pada membran mukosa atau kulit lalu akan masuk ke dalam aliran darah.
Selanjutnya akan menginfeksi organ ginjal, hati, limpa, sistem saraf, mata dan
saluran pencernaan. Bakteri ini lebih tahan lama dalam organ ginjal dan dapat
bertahan selama beberapa minggu atau sampai sebulan dalam urin. Setelah 7-8
hari post infeksi, hewan akan dapat bertahan, kerusakan pada hati dan ginjal tidak
terlalu kelihatan.
Pada Manusia
Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari. Infeksi
Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa
gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa. Infeksi L. interrogans dapat
berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat, Hampir 1540 persen penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif. Sekitar
90 persen penderita jaundis ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang
sering dikenal sebagai penyakit Weil. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2
fase, yaitu fase septisemik dan fase imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3
hari kondisi penderita membaik. Selain itu ada Sindrom Weil yang merupakan
bentuk infeksi Leptospirosis yang berat.

11

a. Fase Septisemik
Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena
bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan
tubuh. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7
hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah
sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya,
gangguan mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan
hati.
b. Fase Imun
Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi
antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat
didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30
hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ
tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal.
Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan,
dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran
hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati . Gangguan paru-paru berupa batuk,
batuk darah, dan sulit bernapas. Gangguan hematologi berupa peradarahan dan
pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau
perikarditis . Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada
fase imun.
Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul
jaundis. Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar
(konstipasi), muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan.
Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan ginjal
pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen pasien.

12

Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi. Sebanyak 83 persen


penderita infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada
L. pomona. Infeksi L. grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem
pencernaan. Sedangkam L. pomona atau L. canicola sering menyebabkan radang
selaput otak (meningitis).
c. Sindrom Weil
Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi
ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan. Kondisi ini
terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk
setiap waktu. Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik.
Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan
gagal napas. Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah
gejala awal. Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal,
perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati dan
ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang akan meningkat pada
lanjut usia.

2.5 PATOFISIOLOGI LEPTOSPIRA


Pre Patogenesis
Infeksi oleh Leptospira umumnya didapat karena kontak kulit atau selaput
lendir (mucous membrane) misalnya, konjuktiva (mata) karena kecipratan selaput
lendir vagina atau lecet-lecet kulit dengan urin atau cemaran oleh keluaran
urogenitalis lainnya atau mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar
oleh bakteri tersebut. Apabila hewan korban terinfeksi bakteri Leptospira ini,
maka segeralah mikroorganisme ini merasuk ke dalam jaringan tubuh penderita.

13

Patogenesis
Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput
lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah
dan jaringan. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri
Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan
tubuh terutama ginjal dan hati.
Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular
lumen menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis
tubular (kematian tubuli ginjal). Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan
tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Gangguan hati berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer. Pada
konsisi ini akan terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati. Leptospira juga dapat
menginvasi otot skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis
fokal. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler
dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi.
Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan
radang pada pembuluh darah. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor
mata dan menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan
berulang. Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut
telah sembuh, biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira
di dalam ginjal atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama
beberapa bulan bahkan tahun.

2.6 EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS


1. PERSON (ORANG)
A. Umur
Penyakit leptospirosis jarang terjadi pada bayi dan anak remaja karena
kenyataannya mereka paling sedikit terpapar. Penyakit ini lebih sering ditemukan

14

pada usia dewasa diakibatkan pekerjaannya yang lebih banyak terpapar oleh
hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi.
B. Jenis kelamin
Laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk terinfeksi leptospirosis.
Hal ini diakibatkan karena laki-laki memiliki pekerjaan yang lebih terpapar oleh
hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi. Sebagian besar kasus
terjadi pada laki-laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko
tinggi tertular penyakit ini. Laki-laki memiliki risiko terkena leptospirosis sebesar
3,59 kali dibandingkan perempuan.
C. Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian, petani dan peternak lebih memiliki resiko
yang besar untuk terpapar penyakit ini. Ini disebabkan penderita leptospirosis
waktu menggunakan sumber air bersih untuk pertanian telah tercemar dengan
bakteri leptospirosis atau perilaku kebiasaan membersihkan kaki, tangan, dan
tubuh lainnya tidak menggunakan sabun setelah kontak dengan air yang tergenang
dan telah terkontaminasi dengan bakteri leptospirosis.
Menurut Simanjuntak (2002) leptospirosis disebut juga penyakit
pekerjaan, karena sering menyerang petani, pekerja pembersih selokan, pemburu
bebek liar, para dokter hewan, pekerjaan rumah potong, pekerja perkebunan, dan
para wisatawan pendaki gunung.
2. PLACE (TEMPAT)
Di negara subtropik, infeksi leptospira jarang ditemukan, iklim yang sesuai
untuk perkembangan leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan
pH alkalis. Keadaan yang demikian dapat dijumpai di Negara tropik sepanjang
tahun. Di negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali
dibandingkan dengan negara subtropik dengan risiko penyakit lebih berat. Angka
insiden leptospirosis di negara tropik basah 5- 20/100.000 penduduk per tahun.
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia.

15

Menurut teori Faisal, bakteri leptospira mampu bertahan hidup lama pada air
tergenang seperti di kolam renang, di lubuk sungai dan di tanah lembab, tanah
rawa dan lumpur di pertambangan dan pertanian/perkebunan.
3. TIME (WAKTU)
Pada musim penghujan, peluang terjadinya banjir akan lebih besar sehingga
frekuensi penyakit leptospirosis tidak sulit untuk ditemukan. Hujan deras akan
membantu penyebaran peyakit ini. Karena kondisi lingkungan yang banjir akan
mempercepat proses penularan bakteri leptospira melalui air. Kemampuan
leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu factor
penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian lama surutnya banjir juga
memberikan peluang pada bakteri leptospira untuk menginfeksi manusia. Hal ini
sesuai pendapat Gindo (2008) yang menyebutkan bahwa kecenderungan jumlah
penderita leptospirosis meningkat setelah banjir terlebih lama surutnya air sampai
3 hari atau lebih. Pada pasca banjir perlu diwaspadai terutama sehabis
membersihkan sisa-sisa banjir atau mencebur air genangan tanpa alas kaki, air
genangan tersebut telah tercemar air kencing binatang terutama tikus yang
mengandung bakteri leptospira yang merupakan sumber penularan.

2.7 PENGOBATAN DAN PENGENDALIAN


Pada Hewan
Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan
perawatan intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan mengoptimalkan
perawatan Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin,
ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin. Selain itu diperlukan terapi
suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan infus.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira. Vaksin
Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang
sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira

16

dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis. Vaksin


Leptospira pada anjing yang beredar di Indonesia terdiri atas dua macam serovar
yaitu L. canicola dan L. ichterohemorrhagiae Vaksin Leptospira pada anjing
diberikan saat anjing berumur 12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16
minggu. Sistem kekebalan sesudah vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga
anjing perlu divaksin lagi setiap enam bulan.

Pada Manusia
Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin,
ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati
dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin.
Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia
harus mewaspadai cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan
bersih merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya.
Manusia yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan
diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang,
maupun lingkungan di mana hewan berada.
Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit
ini. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis.
Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari
sumber air. Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak
mencemari lingkungan terutama sumber air.

2.8 INFO DAN ISU PENYAKIT LEPTOSPIROSIS


Nasional

17

Leptospirosis merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh


mikroorganisma leptospira yang ditularkan melalui hewan pengerat terutama
tikus, Penyakit ini sebenarnya sudah ada sejak abad 19 dan mulai muncul kembali
sejak terjadinya banjir di Jakarta tahun 2002. Penyakit leptospirosis ini masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama di negara tropis dan subtropis.
Hal ini akibat curah hujan yang tinggi yang disertai dengan kesehatan lingkungan
yang kurang baik sehingga mempermudah penularan leptospirosis. Kejadian
leptospirosis di Indonesia cukup tinggi dan angka kematian karena penyakit ini
cukup besar.
Data dari Pusat Pengendalian Krisis Departemen Kesehatan menunjukkan
bahwa selama Februari 2007 di seluruh Jakarta, Tangerang, Bogor, Depok dan
Bekasi, pasien leptospirosis mencapai 193 orang dengan 14 pasien meninggal.
Manifestasi klinis yang timbul pada stadium awal adalah demam menggigil, sakit
kepala, malaise, muntah, komjungtivitis, rasa nyeri otot betis dan punggung. Pada
stadium dua akan timbul komplikasi pada beberapa organ tubuh terutama hati dan
ginjal. Pada sekitar 5-10% penderita leptospirosis akan mengalami gejala ikterus
yang berat yang disebut dengan sindrom Weil. Penularan leptospirosis terjadi jika
ada kontak antara kulit yang luka dengan air, tanah dan lumpur yang telah
tercemar oleh air kemih hewan yang terinfeksi bakteri leptospira.
Penanggulangan penyakit leptospirosis dapat dilakukan dengan cara menjaga
kebersihan lingkungan terutama saat banjir, menggunakan pelindung berupa
sarung tangan dan sepatu bot untuk menghindari kontak dengan bahan-bahan
yang tercemar bakteri leptospira, pemberantasan tikus yang merupakan reservoir
penyakit ini.
Internasional
Leptospirosis di Malaysia telah di kesan buat pertama kalinya pada tahun
1925 oleh seorang saintis bernama Fletcher W. Setelah itu, para saintis telah
membuat kajian yang lebih terperinci bagi mendalami kasus-kasus Leptospirosis
di Malaysia. Sebagai rumusan, para saintis mengumumkan bahwa penyakit
Leptospirosis merupakan endemik di negara Malaysia pada waktu tersebut.
Kasus pada tahun 1925 tersebut merupakan kasus yang membawa maut (fatal
case) yang disebabkan oleh bakteri Leptspirosis icterohemorrhagiae Fletcher W.
setelah itu, para saintis telah membuat kajian yang lebih terperinci bagi menjejaki

18

kes-kes Leptospirosis di Malaysia. Sebagai rumusan, para saintis mengumumkan


bahwa penyakit Leptospirosis merupakan endemic di negara kita pada waktu
tersebut.
Kasus pada tahun 1925 tersebut merupakan kasus yang membawa maut (fatal
case)yang disebabkan oleh bakteria leptospirosis iceterohemorrhagiae flecher w.
juga telah mengenal pasti serotif-serotif lain daripada genus leptospira di dalam
sampel-sampel biologi daripada 21 orang penderita. Pada tahun 1926, 4 kasus
telah dikesan di Singapura (yang ketika itu masih sebagian dari Malaysia) oleh
saintis Galloway.
Pada peringkat awal penyakit ini di kesan di Malaysia, kebanyakan pesakit
menunjukan simpton demam kuning (jaundis), manakala dalam kalangan askar
pula, simpton yang ditunjukkan adalah demam panas.
Jumlah kasus dan kematian yang disebabkan oleh leptospirosis pada waktu
itu sangat membingungkan. Para saintis telah menggelar penyakit ini sebagai
penularan penyakit baru dalam kalangan masyarakat Malaysia.
Mengikut statistik Kemenkes, pada tahun 2006, sebanyak 527 kasus
leptospirosis yang telah dicatatkan, dan pada tahun 2007 pula, terdapat
peningkatan kes sebanyak 929 kasus dilaporkan.
Pada tahun 2010, negara digemparkan dengan berita kematian 6 individu
akibat leptospirosis dan hutan melioidosis hutan lipur lubuk yu, maran. Terbaru,
sebagaimana yang dilaporkan oleh akhbar-akhbar tempatan, seorang anggota
bombah merupakan korban terbaru penyakit ini, yang sekalogus menjadikan
korban yang kedelapan dalam sela masa kurang sebulan.

19

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari genus
Leptospira yang patogen. Penyakit ini merupakan zoonosis, tersebar luas di
seluruh dunia terutama di daerah tropis termasuk Indonesia. Titik sentral
penyebab leptospirosis adalah urin hewan terinfeksi Leptospira yang mencemari
lingkungan. Gejala klinis penyakit ini sangat bervariasi dari ringan hingga berat
bahkan dapat menyebabkan kematian penderitanya.
Tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama leptospirosis karena
bertindak sebagia inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi. beberapa
hewan lain yang juga merupakan sumber penularan leptospira memiliki potensi
penularan ke manusia tidak sebesar tikus
Upaya mengisolasi dan mengidentifikasi Leptospira sangat memakan waktu.
Diagnosis leptospirosis yang utama dilakukan secara serologis. Uji serologis
merupakan uji standar untuk konfirmasi diagnosis, menentukan prevalensi dan
studi epidemiologi. Vaksinasi pada hewan merupakan salah satu cara
pengendalian leptospirosis. Pengembangan vaksin untuk hewan masih terus
dilakukan di Indonesia untuk memperoleh vaksin multivalen yang efektif karena
Leptospira terdiri dari banyak serovar.

3.2 SARAN
Pencegahan dan pengendalian leptospirosis dapat dilakukan dengan cara
memutus siklus penularan melalui pengobatan dan vaksinasi bagi ternak atau
hewan kesayangan; mengurangi populasi tikus dan meningkatkan sanitasi
lingkungan . Dalam upaya pencegahan leptospirosis pada manusia memerlukan
aktivitas terintegrasi antara dokter hewan dan dokter, dan peningkatan
pengetahuan serta pemahaman masyarakat tentang bahaya leptospirosis.
.

20

Penggunaan vaksin yang sesuai dikombinasikan dengan perbaikan sanitasi


lingkungan merupakan upaya pengendalian leptospirosis pada hewan di masa
datang.

DAFTAR PUSTAKA
http://idha2793.blogspot.co.id/2012/12/makalah-epidemiologi-leptospirosis.html
https://charizzogarvet.wordpress.com/2011/06/20/mengenal-leptospirosis/
http://epidemiologiunsri.blogspot.co.id/2011/11/leptospirosis.html
http://tirmaputri.blogspot.co.id/2015/03/makalah-leptospirosis.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Leptospirosis
https://regitajune97.wordpress.com/2013/05/18/bakter-leptospira-penyebableptospirosis/
http://www.konsumerkini.net.my/v1/index.php/berita-terkini/kesihatan/376bahaya-penyakit-leptospirosis-kencing-tikus
http://www.smallcrab.com/kesehatan/1292-penyakit-penyakit-yang-meningkatkasusnya-akibat-perubahan-iklim-global

21

Anda mungkin juga menyukai