Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Leptospirosis merupakan penyakit infeksius akut yang dapat menyerang
manusia maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira pathogen dan
digolongkan sebagai zoonosis yaitu penyakit hewan yang bisa menular pada
manusia.
Gejala klinis leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti
influenza, meningitis, hepatitis, demam berdarah dan demam karena virus lainnya.
Sehingga seringkali tidak dapat terdiagnosis .
Bakteri leptospira berbentuk spiral, dapat menyerang hewan dan manusia
serta dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut,
selokan dan air kemih yang tidak diencerkan maka bakteri ini akan cepat mati.
Leptospira bisa menyerang hewan peliharaan maupun hewan liar. Leptospirosis
dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita pada semua umur tetapi kebanyakan
terjadi pada laki-laki dewasa muda (50% kasus umumnya berusia antara 10-39
tahun diantaranya 80% laki-laki).
Angka kematian akibat penyakit yang disebabkan bakteri lepstopira
tergolong cukup tinggi bahkan untuk penderita yang berusia lebih dari 50 tahun
angka kematiannya bisa mencapai 56% (Masniari poengan, peneliti dari Balai
Besar Penelitian Veteriner, Bogor 2007)
Di Amerika Serikat tercatat sebanyak 50-150 kasus leptospirosis setiap
tahun sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai.
Salah satu daerah yang merupakan daerah endemik Leptospirosis yaitu di
Provinsi Guilan Iran Utara. Diagnosa Leptospirosis yang berdasarkan pada gejala
klinis sangat sulit dilakukan karena kurangnya karakteristik pathogonomic,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Angka kejadian penyakit
leptospirosis di Provinsi Guilan Iran Utara cukup tinggi terutama pada daerah
Rasht. Pada daerah tersebut terdapat 233 kasus Leptospirosis dari keseluruhan
kasus yang berjumlah 769.
B. Rumusan Masalah
1. Apa permasalahan Leptospirosis?
2. Bagaimana patogenesis Leptospirosis?
3. Bagaimana gejala klinis dari Leptospirosis?
4. Bagaimana Pencegahan Leptospirosis?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui permasalahan Leptospirosis.
2. Mengetahui pathogenesis Leptospirosis.
3. Mengetahui gejala klinis Leptospirosis.
4. Mengetahui cara pencegahan Leptospirosis.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Permasalahan Leptospirosis
Dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang
diperoleh akibat pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun
1886 Weil mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita yang
mengalami penyakit kuning yang berat, disertai demam, perdarahan dan gangguan
ginjal. Sedangkan Inada mengidentifikasikan penyakit ini di jepang pada tahun
1916. (Inada R, Ido Y, et al: Etiology, mode of infection and specific therapy of
Weil's disease. J Exp Med 1916; 23: 377-402.)
Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar berusia
antara 10-39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan,
mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit occupational ini.
Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian
besar kasus terjadi saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim
panas atau awal gugur karena tanah lembab dan bersifat alkalis.
Angka kejadian penyakit Leptospira sebenarnya sulit diketahui. Penemuan
kasus leptospirosis pada umumnya adalah underdiagnosed, unrreported dan
underreported sejak beberapa laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala
ringan, self limited, salah diagnosis dan nonfatal.
Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus
leptospirosis setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Di
Indonesia penyakit demam banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah
seperti Klaten, Demak atau Boyolali.
Beberapa tahun terakhir di daerah banjir seperti Jakarta dan Tangerang
juga dilaporkan terjadinya penyakit ini. Bakteri leptospira juga banyak
berkembangbiak di daerah pesisir pasang surut seperti Riau, Jambi dan
Kalimantan.
Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%.
Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori
ini. Anak balita, orang lanjut usia dan penderita “immunocompromised”
mempunyai resiko tinggi terjadinya kematian.
Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa
mencapai 56 %. Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang
ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi.
Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus.
Kelompok yang berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual
hewan, bidang agrikultur, rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara,
militer, tukang susu, dan tukang jahit. Risiko ini berlaku juga bagi yang
mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai, seperti berenang atau
rafting.
Penelitian menunjukkan pada penjahit prevalensi antibodi leptospira lebih
tinggi dibandingkan kontrol. Diduga kelompok ini terkontaminasi terhadap hewan
tikus. Tukang susu dapat terkena karena terkena pada wajah saat memerah susu.
Penelitian seroprevalensi pada pekerja menunjukan antibodi positif pada rentang
8-29%.
Leptospirosis adalah suatu zoonosis yang disebabkan suatu
mikroorganisme yaitu leptospira tanpa memandang bentuk serotipenya. Penyakit
ini juga dikenal dengan nama seperti mud fever, slim fever, swamp fever,
autumnal fever, infectoius jaundice, field fever, cane cutler fever.
Leptospirosis merupakan penyakit hewan yang disebabkan oleh beberapa
bakteri dari golongan leptospira yang berbentuk spiral kecil disebut spirochaeta.
Bakteri ini dengan flagellanya dapat menembus kulit atau mukosa manusia
normal. Leptospira ini dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan.
Sistem klasifikasi tradisional didasarkan atas patogenitas yang membedakan
antara spesies patogen yaitu Leptospira interrogans dan spesies nonpatogen yang
hidup bebas, yaitu Leptospira biflexa. Leptospira berbentuk ulir yang rapat, tipis
dengan panjang 5-15 mm. Leptospira dapat hidup berminggu-minggu di dalam
air, khususnya pada pH basa. (Brooks, 2005)
Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen (dapat menyebabkan penyakit)
berbentuk spiral termasuk genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo
spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat, dan
berkembang pelan secara anaerob. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L
interrogans yang merupakan bakteri patogen dan L biflexa adalah saprofitik.
Berdasarkan temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7 spesies
patogen yang tampak pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah berhasil
diidentifikasi. Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia
diantaranya adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya.
Hewan peliharaan yang paling berisiko mengidap bakteri ini adalah kambing dan
sapi.
Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbeda-beda.
Hewan yang paling banyak mengandung bakteri ini (resevoir) adalah hewan
pengerat dan tikus. Hewan tersebut paling sering ditemukan di seluruh belahan
dunia.
Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus, hewan buas
dan kucing. Beberapa serovar dikaitkan dengan beberapa hewan, misalnya L
pomona dan L interrogans terdapat pada lembu dan babi, L grippotyphosa pada
lembu, domba, kambing, dan tikus, L ballum dan L icterohaemorrhagiae sering
dikaitkan dengan tikus dan L canicola dikaitkan dengan anjing. Beberapa serotipe
yang penting lainnya adalah autumnalis, hebdomidis, dan australis.
Manusia bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir
yang luka/erosi dengan air, lumpur dan sebagainya yang telah tercemar oleh air
kemih binatang yang terinfeksi leptospira. Leptospira yang masuk melalui kulit
maupun selaput lendir yang luka/erosi akan menyebar ke organ-organ dan
jaringan tubuh melalui darah. Sistem imun tubuh akan merespon sehingga jumlah
laptospira akan berkurang, kecuali pada ginjal yaitu tubulus, dimana akan
terbentuk koloni-koloni pada dinding lumen yang mengeluarkan endotoksin dan
kemudian dapat masuk ke dalam kemih.

1. Cara Penularan Leptospirosis


Leptospira bisa keluar lewat urine/air seni hewan yang jatuh ke tanah. Ini
bisa berpotensi menginfeksi selama 6 – 48 jam. Pada urine yang mempunyai pH
netral atau basa, tidak terkontaminasi dengan deterjen dan suhu di atas 22 derajat
C, leptospira dapat hidup sampai berminggu-minggu.  Kita dapat terinfeksi bila
terjadi kontak dengan air, tanah dan lumpur yang terkena urine binatang tersebut.
Leptospira akan masuk ke kulit atau selaput lendir lewat luka atau lecet
pada kulit. Bakteri masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa)
mata, hidung, kulit yang lecet atau makanan yang terkontaminasi oleh urin hewan
terinfeksi leptospirosa. Masa inkubasi dari bakteri ini adalah selama 4 – 19 hari.
Air yang menggenang atau mengalir lambat akan memudahkan infeksi.
Infeksi leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan
kadang asimtomatis (tanpa gejala), sehingga sering terjadi misdiagnosis. Hampir
15-40% penderita yang terpapar infeksi tidak mengalami gejala tetapi
menunjukkan serologi positif.
Masa inkubasi biasanya terjadi sekitar 7-12 hari dengan rentang 2-20 hari.
Sekitar 90% penderita dengan manifestasi ikterus (penyakit kuning) ringan sekitar
5-10% dengan ikterus berat yang sering dikenal dengan penyakit Weil.
Perjalanan penyakit leptospira terdiri dari 2 fase yang berbeda, yaitu fase
septisemia dan fase imun. Dalam periode peralihan dari 2 fase tersebut selama 1-3
hari kondisi penderita menunjukkan beberapa perbaikkan.

2. Manisfestasi klinik
Manifestasi klinis terdiri dari 2 fase yaitu fase awal dan fase ke-2. Fase awal
tahap ini dikenal sebagai fase septicemic atau fase leptospiremic karena organisme
bakteri dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar
jaringan tubuh. Selama fase awal yang terjadi sekitar 4-7 hari, penderita
mengalami gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya.
Karakteristik manifestasi klinis yang terjadi adalah demam, menggigil
kedinginan, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut. Gejala
lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, sakit kepala
regio frontal, fotofobia, gangguan mental, dan gejala lain dari meningitis.
Fase ke-2 sering disebut fase imun atau leptospirurik karena sirkulasi
antibodi dapat di deteksi dengan isolasi kuman dari urin dan mungkin tidak dapat
didapatkan lagi pada darah atau cairan serebrospinalis.
Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi dan
terjadi pada 0-30 hari atau lebih. Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi
pada organ tubuh yang timbul seperti gangguan pada selaput otak, hati, mata atau
ginjal.
Gejala non spesifik seperti demam dan nyeri otot mungkin sedikit lebih
ringan dibandingkan fase awal dan 3 hari sampai beberapa minggu terakhir.
Beberapa penderita sekitar 77% mengalami nyeri kepala terus menerus yang tidak
respon dengan pemberian analgesik.
Gejala ini sering dikaitkan dengan gejala awal meningitis. Delirium (tidak
waras, kegilaan) juga didapatkan pada tanda awal meningitis, Pada fase yang
lebih berat didapatkan gangguan mental berkepanjangan termasuk depresi,
kecemasan, psikosis dan dementia.
Gangguan anikterik dapat dijumpai meningitis aseptik adalah sindrom
manifestasi klinis yang paling penting didapatkan pada fase anikterik imun.
Gejala meningeal terjadi pada 50% penderita. Palsi saraf kranial, ensefalitis, dan
perubahan kesadaran jarang didapatkan.
Meningitis bisa terjadi apada beberapa hari awal, tapi biasanya terjadi pada
minggu pertama dan kedua. Kematian jarang terjadi pada kasus anikterik.
Gangguan ikterik : leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam
setelah timbul ikterik. Nyeri perut dengan diare dan konstipasi terjadi sekitar 30%,
hepatosplenomegali, mual, muntah dan anoreksia.
Uveitis terjadi pada 2-10% kasus dapat terjadi pada awal atau akhir
penyakit, bahkan dilaporkan dapat terjadi sangat lambat sekitar 1 tahun setelah
gejala awal penyakit timbul. Iridosiklitis and korioretinitis adalah komplikasi
lambat yang akanan menetap selama setahun. Gejala pertama akan timbul saat 3
minggu hingga 1 bulan setelah paparan.
Perdarahan subkonjuntiva adalah komplikasi pada mata yang sering terjadi
pada 92% penderita leptospirosis. Gejala renal seperti azotemia, pyuria,
hematuria, proteinuria dan oliguria sering tampak pada 50% penderita. Kuman
leptospira juga dapat timbul di ginjal. Manifestasi paru terjadi pada 20-70%
penderita. Adenopati, rash, and nyeri otot juga dapat timbul.
Sindroma klinis tidak khas pada berbagai serotipe, tetapi beberapa
manifestasi sering tampak pada serotipe tertentu. Misalnya ikterus didapatkan
pada 83% penderita dengan infeksi L icterohaemorrhagiae and 30% pada L
pomona. Rash eritematous pretibial sering didaptkan pada infeksi L autumnalis.
Gangguan gastrointestinal pada infeksi dengan L grippotyphosa. Aseptic
meningitis seringkali terjadi pada infeksi L pomona atau L canicola.
Sindrom Weil adalah bentuk leptospirosis berat dengan ditandai ikterus,
disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru, dan diatesis perdarahan. Kondisi ini
terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase ke dua, tetapi keadaan bisa
memburuk setiap waktu. Kriteria keadaan masuk dalam penyakit Weil tidak dapat
didefinisikan dengan baik.
Manifestasi paru meliputi batuk, dispnu, nyeri dada, sputum darah, batuk
darah, dan gagal napas. Vaskular dan disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya
ikterus setelah 4-9 hari setelah gejala awal penyakit. Penderita dengan ikterus
berat lebih mudah terjadi gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular.
Hepatomegali didapatkan pada kuadran kanan atas. Oliguri atau anuri pada
nekrosis tubular akut sering terjadi pada minggu ke dua sehingga terjadi
hipovolemi dan menurunya perfusi ginjal.
Sering juga didapatkan gagal multi-organ, rhabdomyolysis, sindrom gagal
napas, hemolisis, splenomegali, gagal jantung kongestif, miocarditis, dan
pericarditis. Sindrom Weil mengakibatkan 5-10%. Sebagian besar kasus berat
sindrom dengan gangguan hepatorenal dan ikterus mengakibatkan mortalitas 20-
40%. Angka mortalitas juga akan meningkat pada usia lanjut usia.
Leptospirosis dapat terjadi makular atau rash makulopapular, nyeri perut
mirip apendisitis akut, pembesaran kelenjar limfoid mirip infeksi mononucleosis.
Juga dapat menimbulkan manifestasi aseptic meningitis, encephalitis, atau “fever
of unknown origin”. Leptospirosis dapat dicurigai bila didapatkan penderita
dengan flulike disease dengan aseptic meningitis atau disproporsi mialgia berat.
Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada penderita berbeda tergantung berat
ringannya penyakit dan waktu dari onset timbulnya gejala. Tampilan klinis secara
umum dengan gejala pada beberapa spektrum mulai dari yang ringan hingga pada
keadaan toksis.
Pada fase awal pemeriksaan fisik yang sering didapatkan adalah demam
seringkali tinggi sekitar 40o C disertai takikardi. Subkonjuntival suffusion, injeksi
faring, splenomegali, hepatomegali, ikterus ringan, mild jaundice, kelemahan otot,
limfadenopati dan manifestasi kulit berbentuk makular, makulopapular,
eritematus, urticari, atau “rash” perdarahan juga didapatkan pada fase awal
penyakit.
Pada fase kedua manifestasi klinis yang ditemukan sesuai organ yang
terganggu. Gejala umum yang didaptkan adalah adenopathy, rash, demam,
perdarahan, tanda hipovolemia atau syok kardiogenik. Pada pemeriksaan fungsi
hati didapatkan ikterus, hepatomegali, tanda koagulopati. Gangguan paru
didapatkan batuk, batuk darah, dispneu, dan distres pernapasan.
Manifestasi neurologi didapatkan palsi saraf kranial, penurunan kesadaran,
delirium atau gangguan mental berkepanjangan seperti depresi, kecemasan,
iritabel, psikosis, dan demensia.
Pemeriksaan mata terdapat perdarahan subconjuntiva, uveitis, tanda
iridosiklitis atau korioretinitis. Gangguan hematologi yang ditemukan adalah
perdarahan, petekie, purpura, ekimosis dan splenomegali. Kelainan jantung
dijumpai tanda dari kongestif gagal jantung atau perikarditis.
3. Masa Inkubasi
Masa inkubasi (dari terinfeksi sampai munculnya penyakit) leptospirosis
biasanya berlangsung antara 2 hari sampai sekitar 4 minggu. Namun, rata-rata
masa inkubasi adalah 10 hari setelah terinfeksi. Penyakit ini bisa berlangsung
selama 3 hari sampai 3 minggu, atau bahkan lebih lama lagi. Jika tidak diobati,
maka penyembuhan penyakit ini akan memakan waktu berbulan-bulan, bahkan
bisa saja berakibat fatal (kematian pada yang mengalami kerusakan ginjal).
4. Komplikasi leptospirosis
a) Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6
b) Pada Ginjal : Gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
c) Pada Jantung : Berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal
jantung yang dapat menyebabkan kematian mendadak
d) Pada paru paru : Batuk darah, nyeri dada, sesak napas. Perdarahan karena
adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernapasan, saluran
pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata (konjungtiva)
e) Pada kehamilan : Keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.
B. Patogenesis Leptospirosis
Infeksi oleh Leptospira umumnya didapat karena kontak kulit atau selaput
lendir (mucous membrane) misalnya, konjuktiva (mata) karena kecipratan selaput
lendir vagina atau lecet-lecet kulit dengan urin atau cemaran oleh keluaran
urogenitalis lainnya atau mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar
oleh bakteri tersebut. Apabila hewan korban terinfeksi bakteri Leptospira ini,
maka segeralah mikroorganisme ini merasuk ke dalam jaringan tubuh penderita.
Kemudian, kuman akan dibawa ke berbagai bagian tubuh dan
memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar mamae dan selaput
otak. Kuman tersebut dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-sel jaringan yang
terkena. Pada beberapa tingkatan penyakit dapat ditemukan fase leptospiremia,
yang biasanya terjadi pada minggu pertama setelah infeksi.
 Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologik yang timbul
dapat memperburuk keadaan hingga kerusakan jaringan makin parah. Leptospira
hidup dengan baik didalam tubulus kontortus ginjal. Kemungkinan kuman
tersebut akan dibebaskan melalui air kemih untuk jangka waktu yang lama.
Kematian terjadi karena septimia, anemia hemolitika, kerusakan hati karena
terjadinya uremia. keparahan penderita bervariasi tergantung pada umur serta
servoar leptospira penyebab infeksi.
C. Gejala klinik Leptospirosis
Gejala dan tanda yang timbul tergantung kepada berat ringannya infeksi,
maka gejala dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau ringan saja. penderita mampu
segera mambentuk antibodi (zat kekebalan). Sehingga mampu menghadapi bakteri
Leptispira, bahkan penderita dapat menjadi sembuh. Menurut WIDARSO, gejala klinis
dari  Leptospirosis pada manusia  bisa dibedakan menjadi tiga stadium, yaitu:
A. Stadium pertama 
1.  Demam, menggigil
2. Sakit kepala
3.  Malaise dan Muntah
4. Konjungtivis serta kemerahan pada mata
5. Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung. Gejala-gejala
tersebut akan tampak antara 4-9 hari.
B. Stadium kedua
1. Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh
penderita.
2. Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi dibanding
pada stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan)
3. Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan
akan terjadi meningitis
4. Biasanya stadium ini terjadi antara minggu kedua dan keempat Stadium
ketiga
C. Stadium Ketiga
Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala
klinis pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi Leptospirosis
dapat menimbulkan gejala-gejala berikut :
1. Pada ginjal,renal failure yang dapat menyebabkan kematian
2. Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi yang
erat hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva hemorrhagic
3. Pada hati,  jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan
keenam dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak
4. Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yangd apat
menyebabkan kematian mendadak
5. Pada paru-paru,  hemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada,
respiratory distress dan cyanosis
6. Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage)
dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalia
7. Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan
kecacatan pada bayi.
Sedangkan pada hewan ternak ruminansia dan babi yang hamil, gejala
abortus, pedet lahir mati atau lemah sering muncul pada kasus leptospirosis .
Pada sapi,muncul demam dan penurunan produksi susu sedangkan pada babi,
sering muncul gangguan reproduksi. Pada kuda, terjadi keratitis,
conjunctivitis,iridocyclitis, jaundice sampai abortus. Sedangkan pada anjing,
infeksi leptospirosis sering bersifat subklinik; gejala klinis yang muncul
sangat umum seperti demam, muntah, jaundice.
Gejala klinis leptospirosis pada sapi dapat bervariasi mulai dari yang
ringan, infeksi yang tidak tampak, sampai infeksi akut yang dapat
mengakibatkan kematian . Infeksi akut paling sering terjadi pada pedet/sapi
muda. 
D. Pencegahan Leptospirosis
·      Membiasakan diri dengan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
·      Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus
·      Mencuci tangan, dengan sabun sebelum makan
·      Mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di
sawah/ kebun/ sampah/ tanah/ selokan dan tempat-tempat yang tercemar lainnya
·      Melindungi pekerja yang beresiko tinggi terhadap Leptospirosis ( petugas
kebersihan, petani, petugas pemotong hewan dan lain lain ) dengan menggunakan
sepatu bot dan sarung tangan.
·      Menjaga kebersihan lingkungan
·      Menyediakan dan menutup rapat tempat sampah
·      Membersihkan tempat tempat air dan kolam kolam renang.
·      Menghindari adanya tikus didalam rumah atau gedung.
·      Menghindari pencemaran oleh tikus.
·      Melakukan desinfeksi terhadap tempat tempat tertentu yang tercemar oleh tikus.
·      Meningkatkan penangkapan tikus .

Pengobatan kasus leptospirosis masih diperdebatkan. Sebagian ahli


mengatakan bahwa pengobatan leptospirosis hanya berguna pada kasus kasus
dini (early stage)atau fase awal sedangkan pada fase ke dua atau fase imunitas
(late phase) yang paling penting adalah perawatan.
      Tujuan pengobatan dengan antibiotik adalah:
1.      mempercepat pulih ke keadaan normal
2.      mempersingkat lamanya demam
3.      mempersingkat lamanya perawatan
4.      mencegah komplikasi seperti gagal ginjal (leptospiruria)
5.      menurunkan angka kematian
Obat pilihan adalah Benzyl Penicillin. Selain itu dapat digunakan
Tetracycline, Streptomicyn, Erythromycin, Doxycycline, Ampicillin atau
moxicillin.
Pengobatan dengan Benzyl Penicillin 6-8 MU iv dosis terbagi selama 5-7
hari. Atau Procain Penicillin 4-5 MU/hari kemudian dosis diturunkan menjadi
setengahnya setelah demam hilang, biasanya lama pengobatan 5-6 hari.
Jika pasien alergi penicillin digunakan Tetracycline dengan dosis awal 500
mg, kemudian 250 mg IV/IM perjam selama 24 jam, kemudian 250-500mg /6jam
peroral selama 6 hari. Atau Erythromicyn dengan dosis 250 mg/ 6jam selama 5
hari. Tetracycline dan Erythromycin kurang efektif dibandingkan dengan
Penicillin. Ceftriaxone dosis 1 g. iv. selama 7 hari hasilnya tidak jauh berbeda
dengan pengobatan menggunakan penicillin.
Oxytetracycline digunakan dengan dosis 1.5 g. peroral, dilanjutkan dengan
0.6 g. tiap 6 jam selama 5 hari; tetapi cara ini menurut beberapa penelitian tidak
dapat mencegah terjadinya komplikasi hati dan ginjal.Pengobatan dengan
Penicillin dilaporkan bisa menyebabkan komplikasi berupa reaksi Jarisch-
Herxheimer. Komplikasi ini biasanya timbul dalam beberapa waktu sampai
dengan 3 jam setelah pemberian penicillin intravena; berupa demam, malaise dan
nyeri kepala; pada kasus berat dapat timbul gangguan pernafasan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Leptospirosis merupakan penyakit infeksius akut yang dapat menyerang
manusia maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira pathogen dan
digolongkan sebagai zoonosis yaitu penyakit hewan yang bisa menular pada
manusia.
Lanjutannya??

Anda mungkin juga menyukai