Anda di halaman 1dari 3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh infeksi bakteri


yang berbentuk spiral dari genus Leptospira. Leptospirosis tersebar luas di seluruh
dunia, terutama pada daerah tropis (Noor dan Supar, 2005).

A. Etiologi
Leptospirosis disebabkan Leptospira intterogans. Pada awalnya
diketahui berbagai macam species Leptospira, namun sekarang hanya satu
macam yaitu Leptospira interrogans dengan berbagai serotype.Spesies
bakteri penyebab leptospirosis L. interrogans, termasuk dalam famili
Leptospiraceae dari ordo Spirochaetales. Secara serologis, anggota spesies
ini dapat dibedakan menjadi beberapa serotype, yang hampir sama sifat
genetiknya dikelompokkan menjadi satu kelompok serogroup. Sampai saat
ini telah diketahui terdapat 172 jenis serotype yang dikelompokkan menjadi
19 jenis serogroup (Pudjiatmoko dkk, 2014).
Leptospira interrogans berbentuk batang helikoidal yang fleksibel
dengan diameter 0,1 μm dan panjang 6-12 μm. Setiap sel bakteri ini memiliki
18 lekukan atau lebih. Biasanya, salah satu atau kedua ujung selnya
membengkok. Spesies ini bergerak dengan gerakan berotasi secara bolak-
balik sepanjang sumbu memanjangnya bersamaan dengan gerakan maju-
mundur searah dengan arah sumbu memanjangnya. Spesies ini adalah aerob
obligat dengan suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah 28-30°C, dan
waktu generasinya 6-16 jam. Kelembaban diperlukan untuk mempertahankan
kehidupan leptospira. Selain kelembaban, pH dan suhu juga sangat
berpengaruh untuk mendukung kehidupan leptospira. Kehidupan leptospira
terhambat pada pH di bawah 6 atau Iebih besar dari pH 8, dan juga
kehidupannya terancam pada suhu lebih rendah dari 7-10°C atau Iebih tinggi
dari 34-36°C (Pudjiatmoko dkk, 2014; Tanzil, 2012).

B. Epidemiologi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang diduga paling luas
penyebarannya di dunia. Kejadian pada negara beriklim hangat lebih tinggi
dari negara yang beriklim sedang, karena Leptospira hidup lebih lama dalam
lingkungan yang hangat dan kondisi lembab. Kebanyakan negara-negara
tropis merupakan negara berkembang dimana terdapat kesempatan lebih
besar pada manusia untuk terpapar dengan hewan yang terinfeksi karena tidak
terbatas pada pekerjaan tetapi lebih sering disebabkan oleh kontaminasi yang
tersebar luas di lingkungan. Kejadian leptospirosis dapat meningkat pada saat
curah hujan yang tinggi dan lingkungan yang banyak genangan air (Noor dan
Supar, 2005).
Penyebaran leptospirosis di Indonesia sudah sangat luas dengan angka
kematian cukup tinggi. Cakupan air bersih yang rendah (air telah tercemar),
status kesehatan yang menurun, atau malnutrisi akan memudahkan terjadinya
leptospirosis. Sungai atau danau yang telah tercemar leptospira dapat menjadi
sumber penularan bagi hewan atau manusia yang memanfaatkan air tersebut
(Pudjiatmoko dkk, 2014).
Sumber infeksi pada hewan adalah akibat kontak secara langsung atau
tidak langsung dengan urin hewan lain yang terinfeksi. Leptospira masuk ke
dalam tubuh melalui kulit yang terluka atau membran mukosa Sebagai inang,
pada hewan dan manusia, dapat dibedakan atas maintenance host dan
incidental host. Dalam tubulus ginjal maintenance host, leptospirosis akan
menetap sebagai infeksi kronik. Infeksi biasanya ditularkan dari hewan ke
hewan melalui kontak langsung . Biasanya, infeksi didapat pada usia dini, dan
prevalensi ekskresi kronik melalui urin meningkat dengan bertambahnya
umur hewan. Pada manusia, penularan melalui kontak tidak langsung dengan
maintenance host. Luasnya penularan tergantung dari banyak faktor yang
meliputi iklim, kepadatan populasi, dan derajat kontak antara maintenance
host dan incidental host. Hal ini dan juga tentang serotype penting untuk studi
epidemiologi leptospirosis pada setiap daerah (Noor dan Supar, 2005).

C. Gejala Klinis
Pada sapi, leptospirosis dapat berlangsung cepat, bertahap, atau tidak
terlihat gejalanya (subklinis). Pada kasus-kasus akut dan subakut biasanya
terjadi demam (1-2,5°C di atas normal) yang berlangsung selama 4-5 hari,
dengan disertai malaise, depresi, hilang nafsu makan, kelemahan,
konjuntivitis, anemia dan diare. Pada kasus yang lebih berat, hemoglobinuria
akibat terjadinya anemia hemolitik sering merupakan gejala klinis pertama
yang menarik perhatian. Urin menjadi merah gelap atau hampir hitam. Ikterus
dan ensefalitis dapat juga teramati. Kematian dapat terjadi setelah beberapa
hari diakibatkan terjadinya degenerasi berat dari ginjal yang disertai nekrosis
hati (Pudjiatmoko dkk, 2014; Tanzil, 2012).

D. Diagnosa
Polymerase chain reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi
keberadaan leptopsira di jaringan tubuh atau cairan tubuh. Teknik deteksi ini
cukup sensitif tetapi tidak dapat mengidentifikasi sampai serotype. Metode
biakan, PCR, dan immunuofluorescence merupakan metode yang sensitif
untuk mendeteksi Leptospira serovar hardjo pada urin sapi, tetapi kurang
sensitif apabila hanya menggunakan salah satu metode tersebut. MAT
(Microscopic Agglutination Test) merupakan uji serologis yang banyak
digunakan pada seroinvestigasi leptospirosis pada sapi dan pengujian sera
manusia serta menentukan seroprevalensi sera manusia dan hewan. ELISA
dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospira interrogans
serotype hardjo dari sera sapi sehat dan belum divaksin. Leptospira
menggunakan ELISA lebih sensitif dibandingkan menggunakan MAT (Noor
dan Supar, 2005).

E. Pencegahan dan Pengendalian


Pencegahan penyebaran infeksi dapat dilakukan dengan mengurangi
daerah-daerah berlumpur di kandang, meminimalisir atau mencegah
terjadinya kontak dengan tikus atau hewan liar lainnya, apabila terjadi wabah
leptospirosis pada peternakan sapi, catat suhu harian semua sapi pada
peternakan tersebut, karantina sapi-sapi dengan suhu 39.5°C, dan lakukan
dekontaminasi atau musnahkan semua ekskreta, fetus abortus dan membran
fetus. Jaga agar air minum sapi tidak terkontaminasi dengan urin hewan
terinfeksi leptospirosis. Usahakan agar kerumunan sapi ketika minum, makan
dan di kandang tidak terlalu padat. Lakukan pemeriksaan serologis serum
semua hewan pada saat leptospirosis terjadi dan ulangi sebulan kemudian,
dan karantinakan hewan yang menunjukkan kenaikan titer antibodi
antileptospira. Jangan memasukkan hewan baru ke dalam peternakan paling
sedikit selama 6 bulan, dan dijaga agar hewan yang tidak terinfeksi terisolasi
dari kelompok hewan terinfeksi selama 6-9 bulan setelah kasus leptospirosis
terakhir terjadi (Pudjiatmoko dkk, 2014).
Vaksinasi dapat dilakukan pada hewan ternak dan hewan kesayangan
untuk meningkatkan kekebalan dan merupakan salah satu cara yang cukup
efektif. Vaksinasi tidak mencegah atau mengobati infeksi tetapi dapat
mengurangi pengeluaran Leptospira melalui urin, menurunkan kasus
prematur, lahir lemah atau lahir mati, serta menurunkan jumlah sapi yang
seropositif Leptospira. Pada sapi perah, vaksinasi dapat menormalkan
kembali produksi susu. Pada anjing, vaksinasi dapat menurunkan jumlah
Leptospira yang dikeluarkan melalui urin (Noor dan Supar, 2005).

SUMBER
Noor, Kusmiyanti S. M., dan Supar. 2005. Leptospirosis Pada hewan dan
Manusia di Indonesia. Wartazoa Vol. 15 No. 4 Th. 2005.

Pudjiatmoko, dkk. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta:


Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian
Pertanian.

Tanzil, Kunadi. 2012. Ekologi dan Patogenitas Kuman Leptospira. Jakarta:


Bagian Mikrobiologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Anda mungkin juga menyukai