Anda di halaman 1dari 3

Nama : Rowena Yutifri Syahida

NIM : 155130107111027
Kelas : 2015C

PEMERIKSAAN ORGAN POSTMORTEM

Pemeriksaan Postmortem
Pemeriksaan daging post-mortem adalah pemeriksaan kesehatan daging
setelah dipotong terutama pada pemeriksaan karkas, kelenjar limfe, kepala pada
bagian mulut, lidah, bibir, dan otot masseter dan pemeriksaan paru-paru, jantung,
ginjal, hati, serta limpa. Maksud dilakukan pemeriksaan post-mortem adalah
untuk membuang dan mendeteksi bagian yang abnormal serta pengawasan apabila
ada pencemaran oleh kuman yang berbahaya, untuk memberikan jaminan bahwa
daging yang diedarkan masih layak untuk dikonsumsi.
Pemeriksaan post-mortem yang dilakukan antara lain pemeriksaan karkas
pada limfoglandula, pemeriksaan kepala yaitu pada bibir, mulut, otot maseter, dan
pemeriksaan organ dalam seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati, serta limpa.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan dengan intensitas
normal setiap hari. Jika terdapat abnormalitas pada karkas, organ visceral atau
bagian-bagian karkas lainnya dapat dikonsumsi, diproses lebih lanjut atau tidak.

Pulmo
Paru-paru sehat berwarna pink, jika diremas terasa empuk dan teraba
gelembung udara, tidak lengket dengan bagian tubuh lain, tidak bengkak dengan
kondisi tepi-tepi yang tajam. Ditemukan benjolan-benjolan kecil pada paru-paru
atau terlihat adanya benjolan-benjolan keputihan (tuberkel) patut diwaspadai
adanya kuman tubercollosis.
Paru yang harus digantungkan pada kait, kemudian dilakukan inspeksi
dengan mengamati seluruh permukaan paru dan kemungkinan adanya perubahan
warna. Selanjutnya dilakukan palpasi dan insisi pada kedua lobus paru untuk
mendeteksi kemungkinan adanya sarang-sarang tuberkulosis, cacing, tumor atau
abses dan pemeriksaan Lgl. Mediastinalis cranialis, Lgl. Mediastinalis caudalis,
dan Lgl. Bifurcatio trachealis dextra-sinestra. Paru yang sehat akan
memperlihatkan warna merah terang, kosistensi lunak dan terdapat suara krepitasi
pada saat palpasi.
Ciri-ciri kelainan-kelainan pada pulmo di pemeriksaan postmortem
diantaranya adalah
 Atelektasis
– paru tidak ada hawanya, eksudat dan bengkak
– volume paru kecil, merah kebiruan, kompak,
– sayatan licin dan kering; sayatan di air tenggelam
– paru-paru tidak boleh dikonsumsi
 Emfisema (alveolar, interstitial) :
– Isi hawa pulmo bertambah (gelembung)
– alveoli kadang - kadang pecah karena penyumbatan makanan, lendir, atau
cacing
 Hiperemia:
– terjadi radang karena kelemahan jantung
– paru kurang dikempiskan, warna gelap, petechie
– dataran sayatan merah tua, licin, lembab
– paru-paru tidak boleh dikonsumsi
 Pneumonia
– selalu dimulai bronchitis
– radang pada lobus - lobusnya

Gaster
Lambung segera dikeluarkan setelah dilakukan pengulitan. Pemeriksaan
dilakukan untuk melihat kemugkinan adanya pembengkakan Lgl. Mesenterica.
Lambung disayat (insisi) untuk melihat lumen dan mukosa terhadap kemungkinan
pendarahan serta infestasi cacing.
Bagian luar dan bagian dalam tampak mulus. Lekukan-lekukan bagian
dalamnya teratur rapi. Penggantung lambung bersih Tidak ditemukan benda-
benda asing yang menempel atau bentukan-bentukan aneh pada kedua sisi
lambung. Pada lambung kambing sering dijumpai adanya cacing yang menempel
kuat berwarna kemerahan.
Salah satu parasit yang biasanya terdapat pada lambung ternak poligastrik
contohnya Haemonchus contortus dan Paramphistomum sp. . Siklus hidup
Haemonchus contortus pada ruminansia bersifat langsung, tidak membutuhkan
hospes intermediet. Cacing dewasa hidup di abomasum, memproduksi telur
5.000˗10.000 butir setiap hari. Cacing betina dewasa mengeluarkan telur dan
meletakkan telurnya pada stadium morula di dalam lumen abomasum, kemudian
dikeluarkan melalui feses. Telur yang dikeluarkan bersama feses, telur tersebut
telah berisi embrio. Telur berembrio akan menetas menjadi larva stadium pertama
(L1) yang memakan mikroorganisme dari feses induk semang. Selanjutnya larva
stadium kedua (L2) yang lebih aktif daripada larva stadium pertama (L1) dan
berenang dengan cepat di dalam air. Larva stadium kedua (L2) kemudian
mengadakan ekdisis lagi membentuk larva stadium ketiga (L3) atau larva infektif.
Ternak ruminansia yang terinfestasi oleh parasit Paramphistomum sp.
biasanya memakan rumput yang terdapat metaserkaria. Metaserkaria masuk ke
dalam saluran pencernaan, di usus halus akan berkembang menjadi cacing muda
dan dapat menimbulkan kerusakan pada mukosa. Cacing muda menembus
mukosa sampai ke dalam dan bisa menimbulkan pengerutan (strangulasi),
nekrose, erosi dan hemoragik pada mukosa. Akibatnya dapat timbul radang akut
pada usus dan abomasum. Cacing muda kemudian berkembang cepat, lalu menuju
permukaan mukosa dan bermigrasi ke rumen. Cacing berkembang di dalam
rumen menjadi dewasa dan menggigit mukosa rumen dan dapat bertahan hidup
lama. Cacing dewasa kemudian bertelur kira-kira 75 butir telur/ekor/hari.

Sumber
Ilman, Amrul, dkk. 2014. Higiene Daging (Pemeriksaan Ante Mortem dan Pos
Mortem, Syarat Lokasi dan Bangunan RPH dan RPU). Aceh : FKH
UNSYIAH.

Larasati, Hindun. 2016. Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Sapi Perah pada
Peternakan Rakyat di Provinsi Lampung. Bandar Lampung : Fakultas
Pertanian UNLAM.
Soedarto. 2003. Zoonosisi Kedokteran. Surabaya : Airlangga Press.

Anda mungkin juga menyukai