LEPTOSPIROSIS
Disusun Oleh:
Kelompok D1.5
Dosen Pembimbing:
Drh. Titiek Sunartatie, MSi
Latar Belakang
Tujuan
PEMBAHASAN
Etiologi
Epidemiologi
Menurut Faine et al. (1982), tikus dan anjing adalah inang reservoir
berbagai serotype termasuk yang paling pathogen yaitu L. ichteroherrhagiae.
Hewan lainnya seperti kelelawar dan tupai dapat juga berperan sebagai reservoir.
Leptospira bisa ditemukan pada binatang peliharaan baik sebagai inang perantara
maupun inang sasaran seperti anjing, sapi, babi, kerbau, serta binatang liar seperti
tikus, musang, tupai dan sebagainya. Di dalam tubuh hewan, Leptospira hidup di
ginjal dan urin di kantung kemih. Manusia dan hewan terinfeksi bakteri
Leptospira karena berkontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi oleh urin
atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksi bakteri Leptospira.
Leptospira masuk kedalam badan melalui membran mukosa, mulut, hidung atau
melalui luka pada kulit. Pada manusia, penularan melalui kontak tidak langsung
dengan inang reservoir.
Leptospirosis merupakan zoonosis yang diduga paling luas penyebarannya
di dunia. Kejadian pada negara beriklim hangat lebih tinggi dari negara yang
beriklim sedang, karena Leptospira hidup lebih lama dalam lingkungan yang
hangat dan kondisi lembab . Kebanyakan negara-negara tropis merupakan negara
berkembang dimana terdapat kesempatan lebih besar pada manusia untuk terpapar
dengan hewan yang terinfeksi karena tidak terbatas pada pekerjaan tetapi lebih
sering disebabkan oleh kontaminasi yang tersebar luas di lingkungan .
.Lingkungan yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi Leptospira
merupakan titik sentral epidemiologi leptospirosis (Higgins 2004). Kejadian
leptospirosis dapat meningkat pada saat curah hujan yang tinggi dan lingkungan
yang banyak genangan air (Darojat dan Ronoharjo 1989).
Leptospira yang berada pada suhu udara dan kelembaban yang sesuai serta
derajat keasaman mendekati netral, dapat bertahan berbulan-bulan dalam tempat
yang terbuka, walaupun tidak berkembang biak. Begitu juga pada air mengalir,
kolam, rawa-rawa dan lumpur. Sebaliknya, bakteri yang berada ditempat
terbuka dan kering, tidak mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Sumber pencemaran lingkungan berasal dari urin hewan yang sakit, hewan yang
baru sembuh, atau hewan yang bertindak sebagai reservoir tanpa adanya gejala
sakit. Sebagai host (inang), pada hewan dan manusia dapat dibedakan atas inang
antara dan inang definitif. Dalam tubulus ginjal inang antara, leptospirosis akan
menetap sebagai infeksi kronik. Bakteri akan dikeluarkan bersama urin dan
merupakan sumber penularan leptospirosis. Infeksi umumnya ditemukan pada
hewan usia dini, dan prevalensi ekskresi kronik melalui urin meningkat dengan
bertambahnya umur hewan (Darojat dan Ronoharjo 1989).
Luasnya penularan dipengaruhi oleh banyak faktor yang meliputi iklim,
kepadatan populasi serta derajat kontak antara inang pembawa (Faine 1982).
Peran hewan peliharaan sebagai sumber penularan leptospirosis pada manusia
telah diteliti oleh Scott-Orr dan Darodjat (1978). Mereka menemukan paling
sedikit 20% dari sapi potong di Jawa Tengah dan Jawa Timur positif terhadap
serovar hardjo. Scott-Orr et al. (1980) menemukan 37% sapi perah dari Jawa
Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan serta Sumatera Utara positif terhadap
serovar hardjo dan tarassovi serta 48,7% babi dari beberapa provinsi di Jawa dan
luar Jawa positif terhadap beberapa serovar dan terbanyak terhadap serovar
Pomona.
Gejala Klinis
Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan untuk identifikasi agen penyebab leptospirosis
adalah urin. Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk mendiagnosa leptospirosis
karena bakteri Leptospira terdapat dalam urin sejak awal infeksi penyakit dan
akan menetap hingga minggu ketiga. Cairan tubuh lainnya yang
mengandung Leptospira adalah darah, dan cairan serebrospinal juga dapat
digunakan sebagai sampel (WHO 2007). Pada riset yang dilakukan Paixao et al.
(2014) sampel yang digunakan adalah organ hati dan ginjal untuk dilakukan
pemeriksaan dengan PCR.
Pemeriksaan Mikroskopis
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat dengan mikroskop
lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan mikroskop lapangan gelap atau
mikroskop fase kontras. Spesimen pemeriksaan dapat diambil dari darah atau urin.
Metode ini memiliki spesifitas dan sensitifitas yang rendah karena Leptospira
jumlahnya sangat sedikit di spesimen. Pewarnaan Leptospira dapat dilakukan
dengan teknik Fontana dan modifikasi Steiner. Seperti halnya pengamatan
menggunakan mikroskop metode ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan
langsung leptospirosis (WHO 2007).
Pemeriksaan Serologis
Diagnosis laboratorium leptospirosis didasarkan atas pemeriksaan
serologi. Macroscopic slide agglutination test merupakan pemeriksaan yang
paling berguna untuk rapid screening. Pemeriksaan gold standart untuk
mendeteksi antibodi terhadap Leptospia interrogans yaitu Microscopic
Agglutination Test (MAT) yang menggunakan organisme hidup. Tes MAT ini
mendeteksi antibodi pada tingkat serovar sehingga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi strain Leptospira pada manusia dan hewan dan karena itu
membutuhkan sejumlah strain (battery of strains) Leptospira termasuk stock-
culture, disamping sepasang sera dari pasien dalam periode sakit akut dan 5-7 hari
sesudahnya. Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika terjadi serokonversi berupa
kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau lebih antigen tanpa kenaikan
titer (untuk daerah non endemik leptospirosis digunakan nilai ≥ 1:160) (Ageliki
2010). Menurut Haake dan Levett (2015) bahwa antibodi Leptospira dapat
ditemukan pada darah pada hari 5-7 setelah onset dari gejala leptospirosis.
Pemeriksaan serologis leptospirosis yang lain adalah Macroscopic
Agglutination Test (MA Test), Microcapsule Agglutination Test (MCAT), rapid
latex agglutination assay (RLA assay), enzyme linked immune sorbent assay
(ELISA), immuno-fluorescent antibody test, dan immunoblot. Selain uji serologi
yang telah disebutkan di atas, terdapat pula uji serologis penyaring yang lebih
cepat dan praktis sebagai tes leptospirosis. Uji serologis penyaring yang sering
digunakan di Indonesia adalah Lepto Dipstick Assay, LeptoTek Dri Dot, dan
Leptotek Lateral Flow (Ageliki 2010).
Leptotek Lateral Flow digunakan untuk deteksi antibodi anti Leptospira,
baik IgG maupun IgM. IgM muncul pada masa awal sakit dan mencapai level
yang dapat dideteksi setelah satu minggu, sedangkan IgG muncul setelah
beberapa minggu (Levett 2001). Pada penelitian Dyah dan Anggun (2015) bahwa
pada saat hasil pemeriksaan menggunakan PCR menunjukkan hasil positif, belum
tentu hasil Leptotek juga positif. Hal ini dapat dikarenakan antibodi belum selesai
dibentuk oleh tubuh penderita. Pada gambar 3 digambarkan riwayat alamiah
Leptospira.
Pemeriksaan menggunakan metode MAT masih merupakan gold standard
pemeriksaan leptospirosis untuk pendekatan secara serologi, namun kurang efektif
untuk pemeriksaan dini. Namun penggunaan Leptotek Lateral Flow hanya dapat
efektif untuk seroprevalensi di suatu area, namun kurang efektif untuk pada masa
awal sakit.
Uji Biologis
DAFTAR PUSTAKA