Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH PPDH

LABORATORIUM DIAGNOSTIK BAGIAN BAKTERIOLOGI


2 – 13 DESEMBER 2019

LEPTOSPIROSIS
Disusun Oleh:
Kelompok D1.5

Afief Rif’an, SKH B94174302


Resti Indana, SKH B94191011
Kintan Juliawati, SKH B94191069

Dosen Pembimbing:
Drh. Titiek Sunartatie, MSi

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi


bakteri yang berbentuk spiral dari genus Leptospira. Leptospirosis tersebar luas di
seluruh dunia, terutama pada daerah tropis (Hickey dan Deemeks 2003). Gejala
penyakit ini sangat bervariasi mulai dari demam, icterus, hemoglobinuria, pada
hewan yang bunting dapat terjadi abortus dan janin lahir mati, bahkan dapat
menyebabkan kematian penderitanya. Tingkat keganasan serangan leptospirosis
tergantung dari serovar Leptospira dan spesies hewan yang terinfeksi pada daerah
tertentu (Ebrahimi et al. 2004).
Menurut Besung (2012) Leptospirosis yaitu penyakit infeksi yang bersifat
umum dan terdapat pada berbagai spesies hewan peliharaan. Disamping itu
penyakit ini ditemukan juga pada hewan liar terutama pada bangsa tikus. Penyakit
ini ditemukan di seluruh dunia baik pada hewan dan manusia, terutama di daerah
tropis atau sub tropis dengan curah hujan yang tinggi. Epidemiologi penyakit ini
memperlihatkan sifat yang sama dengan penyakit infeksi lainnya yakni dapat
berpindah dari hewan ke hewan dan dari hewan ke manusia. Selama bertahun-
tahun diketahui bahwa hanya tikus dan anjing yang merupakan sumber
leptospirosis, akan tetapi telah ditemukan hewan liar lainnya juga merupakan
sumber penularan seperti kelelawar, serigala dan kucing liar.
Angka kejadian Leptospirosis secara pasti tidak mudah untuk diketahui.
Umumnya penyakit ini tidak terdiagnosa, penyakitnya terdiagnosa tetati tidak
dilaporkan, dan penyakitnya tidak menimbulkan gejala atau gejalanya ringan
sehingga tidak dilaporkan. Di Indonesia sejak tahun 1936 telah diisolasi berbagai
serovar Leptospira, baik dari hewan liar maupun hewan peliharaan. Kejadiannya
tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat,
Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur
dan Kalimantan Barat (Besung 2012).

Tujuan

Mengetahui beberapa metode diagnostik dan identifikasi bakteri


Leptospira penyebab penyakit leptospirosis pada sapi.

PEMBAHASAN
Etiologi

Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral,


tipis, lentur dengan panjang 10-20 µm dan tebal 0,1 µm serta memiliki dua lapis
membran. Kedua ujungnya mempunyai kait berupa flagellum periplasmik.
Bergerak aktif maju mundur dengan Gerakan memutar sepanjang sumbunya.
Bentuk dan gerakannya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau
mikroskop fase kontras. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam
air tawar sela kurang lebih satu bulan, tetapi di dalam air laut, air selokan dan air
kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati (Faine et al. 1982).
Bakteri ini termasuk ordo Spirochaetales, famili Leptospiraceae, genus
Leptospira. Leptospira dapat tumbuh di dalam media dasar yang diperkaya
dengan vitamin, asam lemak rantai panjang sebagai sumber karbon dan garam
ammonium, dapat tumbuh optimal pada suhu 28-300C dalam kondisi obligat
aerob (Faine et al. 1982).
Sistem penggolongan Leptospira yang tradisional genus Leptospira dibagi
menjadi dua yaitu L. interrogans yang pathogen dan L. blifexa yang non
pathogen. L. interrogans dibagi menjadi serogrup dan serovar berdasarkan
antigen. Klasifikasi terbaru dari Leptospira yaitu L. interrogans dibagi menjadi
tujuh spesies yaitu L. interrogans, L. weilii, L. santorasai, L. noguchii, L.
borgpetersenii, L. inadai, L. kirscheri dan lima spesies yang tidak bertitel yaitu
spesies 1, 2, 3, 4, dan 5. L. blifexa dibagi menjadi 5 spesies baru (Hickey dan
Deemeks 2003). Terdapat lebih dari dua ratus serovar yang telah diisolasi (Levett
2001).

Epidemiologi

Menurut Faine et al. (1982), tikus dan anjing adalah inang reservoir
berbagai serotype termasuk yang paling pathogen yaitu L. ichteroherrhagiae.
Hewan lainnya seperti kelelawar dan tupai dapat juga berperan sebagai reservoir.
Leptospira bisa ditemukan pada binatang peliharaan baik sebagai inang perantara
maupun inang sasaran seperti anjing, sapi, babi, kerbau, serta binatang liar seperti
tikus, musang, tupai dan sebagainya. Di dalam tubuh hewan, Leptospira hidup di
ginjal dan urin di kantung kemih. Manusia dan hewan terinfeksi bakteri
Leptospira karena berkontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi oleh urin
atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksi bakteri Leptospira.
Leptospira masuk kedalam badan melalui membran mukosa, mulut, hidung atau
melalui luka pada kulit. Pada manusia, penularan melalui kontak tidak langsung
dengan inang reservoir.
Leptospirosis merupakan zoonosis yang diduga paling luas penyebarannya
di dunia. Kejadian pada negara beriklim hangat lebih tinggi dari negara yang
beriklim sedang, karena Leptospira hidup lebih lama dalam lingkungan yang
hangat dan kondisi lembab . Kebanyakan negara-negara tropis merupakan negara
berkembang dimana terdapat kesempatan lebih besar pada manusia untuk terpapar
dengan hewan yang terinfeksi karena tidak terbatas pada pekerjaan tetapi lebih
sering disebabkan oleh kontaminasi yang tersebar luas di lingkungan .
.Lingkungan yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi Leptospira
merupakan titik sentral epidemiologi leptospirosis (Higgins 2004). Kejadian
leptospirosis dapat meningkat pada saat curah hujan yang tinggi dan lingkungan
yang banyak genangan air (Darojat dan Ronoharjo 1989).
Leptospira yang berada pada suhu udara dan kelembaban yang sesuai serta
derajat keasaman mendekati netral, dapat bertahan berbulan-bulan dalam tempat
yang terbuka, walaupun tidak berkembang biak. Begitu juga pada air mengalir,
kolam, rawa-rawa dan lumpur. Sebaliknya, bakteri yang berada ditempat
terbuka dan kering, tidak mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Sumber pencemaran lingkungan berasal dari urin hewan yang sakit, hewan yang
baru sembuh, atau hewan yang bertindak sebagai reservoir tanpa adanya gejala
sakit. Sebagai host (inang), pada hewan dan manusia dapat dibedakan atas inang
antara dan inang definitif. Dalam tubulus ginjal inang antara, leptospirosis akan
menetap sebagai infeksi kronik. Bakteri akan dikeluarkan bersama urin dan
merupakan sumber penularan leptospirosis. Infeksi umumnya ditemukan pada
hewan usia dini, dan prevalensi ekskresi kronik melalui urin meningkat dengan
bertambahnya umur hewan (Darojat dan Ronoharjo 1989).
Luasnya penularan dipengaruhi oleh banyak faktor yang meliputi iklim,
kepadatan populasi serta derajat kontak antara inang pembawa (Faine 1982).
Peran hewan peliharaan sebagai sumber penularan leptospirosis pada manusia
telah diteliti oleh Scott-Orr dan Darodjat (1978). Mereka menemukan paling
sedikit 20% dari sapi potong di Jawa Tengah dan Jawa Timur positif terhadap
serovar hardjo. Scott-Orr et al. (1980) menemukan 37% sapi perah dari Jawa
Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan serta Sumatera Utara positif terhadap
serovar hardjo dan tarassovi serta 48,7% babi dari beberapa provinsi di Jawa dan
luar Jawa positif terhadap beberapa serovar dan terbanyak terhadap serovar
Pomona.
Gejala Klinis

Gejala klinis pada manusia umum ditemukan subklinis. Gejala yang


ditemukan antara lain: demam, myalgia akut, sakit kepala, konjunctiva merah,
sklera menguning, sesak nafas, muntah, dan lethargy. Masa inkubasi berlangsung
2-26 hari, umumnya 10 hari. Leptospirosis dapat berkomplikasi dengan kelainan
ginjal dan jaundice (Weil’s disease), hemorrhagi paru-paru dan berbagai sindrom
sesak nafas. Dzotsi et al. (2012) melaporkan bahwa sebagian besar hewan
hanyalah berperan sebagai carrier kronis dan tidak menimbulkan gejala klinis
apapun.

Isolasi dan Identifikasi Leptospira

Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan untuk identifikasi agen penyebab leptospirosis
adalah urin. Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk mendiagnosa leptospirosis
karena bakteri Leptospira terdapat dalam urin sejak awal infeksi penyakit dan
akan menetap hingga minggu ketiga. Cairan tubuh lainnya yang
mengandung Leptospira adalah darah, dan cairan serebrospinal juga dapat
digunakan sebagai sampel (WHO 2007). Pada riset yang dilakukan Paixao et al.
(2014) sampel yang digunakan adalah organ hati dan ginjal untuk dilakukan
pemeriksaan dengan PCR.

Pemeriksaan Mikroskopis
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat dengan mikroskop
lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan mikroskop lapangan gelap atau
mikroskop fase kontras. Spesimen pemeriksaan dapat diambil dari darah atau urin.
Metode ini memiliki spesifitas dan sensitifitas yang rendah karena Leptospira
jumlahnya sangat sedikit di spesimen. Pewarnaan Leptospira dapat dilakukan
dengan teknik Fontana dan modifikasi Steiner. Seperti halnya pengamatan
menggunakan mikroskop metode ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan
langsung leptospirosis (WHO 2007).

Kultur Bakteri Leptospira


Kultur Leptospira dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal
hanya pada 10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya dijumpai di dalam
urin pada 10 hari pertama penyakit. Media Fletcher dan media Tween 80-albumin
merupakan media semisolid yang bermanfaat pada isolasi primer Leptospira
(Angeliki 2010). Inkubasi dilakukan pada suhu 29℃ (Paixao et al. 2014). Pada
media semisolid, Leptospira tumbuh dalam lingkaran padat 5-10 mm di bawah
permukaan media dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi. Untuk kultur
harus dilakukan biakan multipel. Metode radiometrik yang dikembangkan oleh
Johnson Laboratories dapat mendeteksi Leptopira secara cepat dengan
menggunakan sistem BACTEC 460, sistem ini diklaim dapat mendeteksi
Leptospira pada darah manusia setelah inkubasi 2-5 hari (Angeliki 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Wuthiekanun et al. (2012)
mengembangkan isolasi Leptospira spp. Menggunakan LVW agar. Bahan utama
dari LVW agar adalah medium base EMJH (Ellinghausen-McCullough-Johnson-
Harris) sebanyak 2.3 g/L (Difco), Leptospira enrichment EMJH sebanyak 10
mg/L, dan sodium piruvat. Fungsi sodium piruvat dapat mengoptimalkan
pertumbuhan Leptospira pada media semi-solid dan solid (Johnson et al. 1973).
Agar base yang digunakan adalah Noble agar (Beckton Dickinson, Sparks, MD,
USA) dan serum kelinci. Bronley dan Charoen (1973) sudah menggunakan
gabungan Noble agar dan serum kelinci dan sukses membiakkan Leptospira yang
viabel. Serum kelinci yang digunakan hanya berkisar 3-10% (Freitas et al. 2004).
Agar dibuat dengan cara mencampurkan 1 L aquadest dan 12 mL campuran bahan
(Wuthiekanun et al. 2012). Inkubasi dilakukan selama 30 hari pada suhu 30℃,
dengan dua hari pertama dalam kondisi 5% CO2 dan 28 hari dalam kondisi
normal. Pertumbuhan Leptospira pada LVW agar dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Bentuk koloni Leptospira interrogans serovar pyogenes yang


dibiakkan pada LVW agar (Wuthiekanun et al. 2012). Kode A adalah
tetesan dari biakan yang mengandung 105 cfu/ml; kode B
mengandung104 cfu/ml; kode C mengandung 103 cfu/ml; dan kode D
mengandung 102 cfu/ml.
Selain pada LVW agar, identifikasi juga dapat dilakukan menggunakan Scanning
Electron Microscopy (SEM). Gambar 2 adalah beberapa gambaran Leptospira
yang diamati dengan SEM.

Gambar 2. Beberapa gambaran Leptospira menggunakan Scanning Electron


Microscopy (SEM)

Pemeriksaan Serologis
Diagnosis laboratorium leptospirosis didasarkan atas pemeriksaan
serologi. Macroscopic slide agglutination test merupakan pemeriksaan yang
paling berguna untuk rapid screening. Pemeriksaan gold standart untuk
mendeteksi antibodi terhadap Leptospia interrogans yaitu Microscopic
Agglutination Test (MAT) yang menggunakan organisme hidup. Tes MAT ini
mendeteksi antibodi pada tingkat serovar sehingga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi strain Leptospira pada manusia dan hewan dan karena itu
membutuhkan sejumlah strain (battery of strains) Leptospira termasuk stock-
culture, disamping sepasang sera dari pasien dalam periode sakit akut dan 5-7 hari
sesudahnya. Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika terjadi serokonversi berupa
kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau lebih antigen tanpa kenaikan
titer (untuk daerah non endemik leptospirosis digunakan nilai ≥ 1:160) (Ageliki
2010). Menurut Haake dan Levett (2015) bahwa antibodi Leptospira dapat
ditemukan pada darah pada hari 5-7 setelah onset dari gejala leptospirosis.
Pemeriksaan serologis leptospirosis yang lain adalah Macroscopic
Agglutination Test (MA Test), Microcapsule Agglutination Test (MCAT), rapid
latex agglutination assay (RLA assay), enzyme linked immune sorbent assay
(ELISA), immuno-fluorescent antibody test, dan immunoblot. Selain uji serologi
yang telah disebutkan di atas, terdapat pula uji serologis penyaring yang lebih
cepat dan praktis sebagai tes leptospirosis. Uji serologis penyaring yang sering
digunakan di Indonesia adalah Lepto Dipstick Assay, LeptoTek Dri Dot, dan
Leptotek Lateral Flow (Ageliki 2010).
Leptotek Lateral Flow digunakan untuk deteksi antibodi anti Leptospira,
baik IgG maupun IgM. IgM muncul pada masa awal sakit dan mencapai level
yang dapat dideteksi setelah satu minggu, sedangkan IgG muncul setelah
beberapa minggu (Levett 2001). Pada penelitian Dyah dan Anggun (2015) bahwa
pada saat hasil pemeriksaan menggunakan PCR menunjukkan hasil positif, belum
tentu hasil Leptotek juga positif. Hal ini dapat dikarenakan antibodi belum selesai
dibentuk oleh tubuh penderita. Pada gambar 3 digambarkan riwayat alamiah
Leptospira.
Pemeriksaan menggunakan metode MAT masih merupakan gold standard
pemeriksaan leptospirosis untuk pendekatan secara serologi, namun kurang efektif
untuk pemeriksaan dini. Namun penggunaan Leptotek Lateral Flow hanya dapat
efektif untuk seroprevalensi di suatu area, namun kurang efektif untuk pada masa
awal sakit.

Gambar 3. Riwayat Alamiah Leptospira

Pemeriksaan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR)


Pemeriksaan dengan PCR merupakan salah satu langkah pemeriksaan
molekuler. Leptospira dapat dideteksi pada urin dengan PCR hingga 3 minggu
setelah onset Leptospirosis (Haake dan Levett 2015). Riset yang dilakukan oleh
Paixao et al. (2014) menggunakan primer LEP 1 (5’ GGC GGC GGG CGT CTT
AAA ACA TG 3’) dan LEP 2 (5’ TTC CCC CAT TGA GCA AGA TT 3’) yang
diamplifikasi pada 331 bp. Pada pemeriksaan yang dilakukan oleh Dyah dan
Anggun (2015) pada sampel urin 90 orang di kabupaten Ponorogo menggunakan
primer PU1 (5’ TAT CAG AGC CTT TTA ATGG 3’) dan LepR1 (5’ TAG TCC
CGA TTA CAT TTTC 3’) dengan target produk amplifikasi pada 615 bp. Sampel
PCR dapat menggunakan darah (whole blood) ataupun urin. Leptospira dapat
ditemukan pada sampel darah jika penderita mengalami fase bakteremia yang
umumnya setelah 10 hari infeksi. Pada fase tersebut Leptospira mengalami
replikasi dan menyebar ke seluruh organ melalui aliran darah (Levett 2001).
Prinsip pemeriksaan menggunakan PCR berbeda dengan pemeriksaan
serologis. Hal ini karena tidak berdasarkan keberadaan antibodi, tetapi keberadaan
langsung bakteri tersebut baik pada urin, darah, maupun organ tubuh tertentu baik
dari penderita maupun reservoir. Metode PCR dianggap tepat karena cepat dan
sensitif. Menurut Wagenaar et al. (2004) deteksi Leptospira menggunakan PCR
memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 90%. Hal ini menjelaskan bahwa
kemampuan PCR memberikan hasil positif pada yang benar-benar sakit adalah
rendah.
Urin adalah sampel yang umum digunakan untuk deteksi Leptospira
dengan PCR. Leptospira akan dikeluarkan melalui urin setelah inkubasi 10 hari di
dalam tubuh. Pada penelitian Dyah dan Anggun (2015) didapatkan bahwa pada
hasil urin Leptotek Lateral flow positif maka hasil PCR juga positif. Kesempatan
untuk mendapatkan hasil positif dari urin lebih besar dibandingkan sampel dari
darah. Hal ini dikarenakan fase leptospiremia lebih singkat daripada leptospiuria.
Selain itu koleksi urin lebih mudah daripada koleksi darah. Pemeriksaan PCR
dapat digunakan pada fase akut maupun kronis. Selain PCR, uji molekuler yang
dapat menjadi alternatif antara lain PFGE (pulse-field gel electrophoresis), RFLP
(restriction fragment length polymorphism), Multiple Locus Sequence Typing
(MLST) dan MVLA (multilocus VNTR analysis).

Uji Biologis

Uji biologis merupakan metode diagnostik suatu penyakit dengan


menggunakan organisme hidup. Uji biologis yang terkenal ialah prinsip yang
dikembangkan Robert Koch, atau yang dikenal sebagai postulat Koch. Prinsip
posulat Koch adalah isolasi agen yang diduga sebagai penyebab suatu penyakit,
menginfeksikannya ke organisme inang baru dan diamati terjadi atau tidaknya
penyakit yang sama. Jika terbentuk penyakit dengan gejala yang sama, maka
dapat dikatakan postuat Koch telah terpenuhi dan agen penyakit tersebut dapat
dikatakan sebagai penyebab penyakit. Kelemahan dari diagnosis menggunakan
prinsip postulat Koch antara lain bahwa perlu dipertimbangkan banyak faktor
dapat mempengaruhi gejala klinis yang ditimbulkan suatu agen penyakit. Agen
penyakit yang sama belum tentu dapat menyebabkan gejala klinis serta kelainan
yang sama (Byrd dan Serge 2016). Kekurangan tersebut membuat hasil pengujian
biologis berdasarkan postulat Koch seringkali tidak akurat dan sudah banyak
ditinggalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Aparicio ED. 2013. Epidemiology of brucellosis in domestic animals caused by


Brucella melitensis, Brucella suis and Brucella abortus. Revue Scientifique
et Technique - Office International des Épizooties. 32(1): 53-60.
Byrd AL, Serge JA. 2016. Adapting Koch’s postulate. Science. 351(5270):
224-226.
Cadmus SIB, Adesokan HK, Stack J. 2008. The use of the milk ring test and rose
bengal test in brucellosis control and eradication in Nigeria. Journal of the
South African Veterinary Asociation. 79(3): 113-115.
Godfroid J, Nielsen K, Seagerman C. 2010. Dianosis of brucellosis in livestock
and wildlife. Croatian Medical Journal. 51: 296-305.
Noor SM. 2006. Brucellosis: penyakit zoonosis yang jarang dikenal di Indonesia.
WARTAZOA. 16(1): 31-39.
OIE. 2009. Manual of Standards for Diagnostic Tests and Vaccines. Buenos Aires
(AR): OIE.
Quinn PJ, Markey BK, Leonard FC, FitzPatrick ES. 2016. Concise Review of
Veterinary Microbiology. Oxford (GB): Wiley Blackwell.
Priadi A. 2014. Infeksi brucellosis sebagai penyakit zoonosis. Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner. 19(3):186-196.
Supar, Arianti T. 2005. Keamanan pangan produk peternakan ditinjau dari aspek
penyakit. WARTAZOA. 15(4): 187-205.
Tan SY, Davis C. 2011. David Bruce (1855-1931): discoverer of brucellosis.
Singapore Medical Journal. 52(3):128-129.
Thimm BM. 1986. Brucellosis Distribution in Man, Domestic Animal and Wild
Animal. Berlin (GE): Springer Verlag.
Tille PM. 2014. Bailey and Scott’s Diagnostic Microbiology. St Louis (US):
Elsevier Mosby.

Anda mungkin juga menyukai