Anda di halaman 1dari 20

1

MAKALAH
PENYAKIT DALAM DAN PATOLOGI KLINIK

LEPTOSPIROSIS PADA HEWAN KECIL


Dosen pengajar: Drh. Agus Wijaya, M.Sc, Ph.D

Disusun oleh:
Karen Lee Mei Fong, S.K.H B9404211801
Diana Fatwa Dinillah, S.K.H B9404211003
Eka Wahyuni, S.K.H B9404211004
Tigrisia Faathira Ahmad Bahari, S.K.H B9404211005
Brilla Widya Witri, S.K.H B9404211017
Dhelia Anggraeni, S.K.H B9404211034
Aldila Esfandiari, S.K.H B9404211058
Selly Glorya, S.K.H B9404211070
Salma Adriyani, S.K.H B9404211076
Nicolas Edward Christanto Kartjito, S.K.H B9404211083

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
II TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 Etiologi 2
2.2 Transmisi 3
2.3 Patogenesis 3
2.4 Gejala Klinis 3
2.5 Diagnosis Pembanding 4
2.6 Diagnosis Penunjang 4
2.7 Prognosis 6
2.8 Pengobatan dan Pencegahan 6
III PEMBAHASAN 7
IV SIMPULAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16
1

I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari spesies
Leptospira interrogans serovar patogen. Penyakit Leptospirosis dikategorikan
sebagai penyakit zoonotik sehingga dapat menular dari hewan bertulang belakang
(vetebrata) ke manusia dan sebaliknya. Inang Leptospira umumnya adalah hewan liar,
hewan peliharaan, maupun hewan ternak (Songer dan Post 2004). Reservoir utama
Leptospira adalah tikus. Leptospira tidak menyebabkan gejala klinis maupun
kematian pada tikus, sehingga bakteri ini dapat memperbanyak diri pada ginjal tikus
dalam waktu yang lama. Leptospira dapat dikeluarkan melalui urin tikus dan
mencemari lingkungan. Infeksi leptospirosis pada hewan dan manusia disebabkan
oleh adanya kontak dengan lingkungan yang telah tercemar bakteri Leptospira
(Sholichah et al. 2021). Penyakit ini banyak tersebar di seluruh dunia, terutama di
negara tropis maupun subtropis dengan kondisi lingkungan yang buruk. Jumlah kasus
leptospirosis mengalami peningkatan pada saat curah hujan tinggi ataupun banjir,
sehingga sering disebut juga sebagai flood fever (Kusmiyati et al. 2005). Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki prevalensi kejadian leptospirosis yang
tinggi. Jumlah kasus leptospirosis di Indonesia meningkat sejak tahun 2004 hingga
2013, sedangkan tercatat pada tahun 2014 hingga 2016 terdapat tujuh provinsi yang
melaporkan kejadian leptospirosis, enam diantaranya terletak di pulau Jawa dan satu
di Kalimantan Selatan (Kemenkes 2017).
Kucing merupakan salah satu hewan yang dapat terinfeksi leptospirosis.
Kucing liar atau yang dilepaskan diluar rumah umumnya memiliki peluang besar
terinfeksi leptospirosis. Hal ini dikarenakan kucing seringkali memiliki kebiasaan
berburu dan merupakan predator bagi hewan reservoir, yaitu tikus. Di daerah
perdesaan, kucing juga dapat terinfeksi leptospirosis melalui kontak dengan urin babi
maupun sapi yang terinfeksi (Talebkhan et al. 2015). Menurut Mulyani et al. (2018),
kejadian leptospirosis pada kucing secara klinis rendah. Dokter hewan praktisi
seringkali tidak mempertimbangkan leptospirosis sebagai diferensial diagnosis
penyakit pada kucing karena kucing domestik diduga tahan terhadap leptospirosis.
Namun keberadaan antibodi terhadap Leptospira pada kucing membuktikan bahwa
kucing dapat menjadi inang dan terinfeksi leptospirosis. Kucing juga dapat berperan
sebagai inang perantara Leptospira. Menurut penelitian (Rojas et al. 2010), kucing
mampu menularkan leptospira ke lingkungan melalui urin tanpa menunjukkan adanya
gejala klinis. Gejala klinis leptospirosis pada kucing umumnya ringan atau tidak
terlihat dengan jelas dan spesifik, sehingga sulit untuk mendiagnosis penyakit
tersebut (Azócar-Aedo et al. 2014). Oleh karena itu, penting untuk mengetahui dan
mempelajari lebih dalam tentang penyakit leptospirosis pada kucing, termasuk cara
mendiagnosa dan manajemen penanganan kasus leptospirosis pada kucing. Pada
makalah ini akan dibahas mengenai kejadian penyakit leptospirosis pada kucing yang
bersumber dari jurnal Murillo et al. (2020).
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mempelajari kejadian penyakit leptospirosis pada
kucing berdasarkan studi kasus dari sebuah jurnal

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri dari
famili Leptospiraceae genus Leptospira spesies Leptospira interrogans. Spesies L.
interrogans terdiri dari 23 serogroup dan 240 serotipe (serovar) (Bharti et al. 2003).
Bakteri ini berbentuk spiral, tipis, halus dan fleksibel dengan ukuran panjang 5-15
µm, lebar 0,1-0,2 µm. Salah satu ujung leptospira berbentuk bengkok seperti kait.
Leptospira tidak berflagel, namun dapat melakukan gerakan rotasi aktif. Bakteri ini
tidak mudah diwarnai, namun dapat diwarnai dengan impregnasi perak. Leptospira
tumbuh baik pada kondisi aerobik di suhu 28-30°C (Jawetz 2010). Pada media yang
mengandung serum kelinci (Fletcher’s medium), juga pada media yang mengandung
serum sapi (EllinghausenMc Cullough-Johnson-Harris/ EMJH medium),
pertumbuhannya terlihat dalam beberapa hari sampai 4 minggu (Ellinghausen 1995).
Genus Leptospira sendiri terdiri dari dua spesies yaitu L.interrogans (yang patogen)
dan L.biflexa (yang bersifat saprofit/ nonpatogen). Spesies L.interrogans dibagi
dalam beberapa serogrup yang terbagi lagi menjadi lebih 250 serovar berdasarkan
komposisi antigennya.
Rodensia, terutama tikus merupakan hospes utama dari penyakit leptospirosis.
Selain tikus, mamalia lain juga dapat bertindak sebagai hospes leptospira.
Leptospirososis pada anjing tersebar luas di seluruh dunia dan anjing bertindak
sebagai incidental host untuk berbagai serovar dan maintenance hosts untuk serovar
Canicola dan Bataviae (Sykes et al. 2011). Serovar Leptospira yang paling sering
menimbulkan penyakit parah dan fatal pada manusia adalah serovar
Ichterohaemorrhagiae. Hewan peliharaan seperti anjing, kucing, sapi, domba,
kambing, babi, maupun binatang liar seperti tikus, musang, dan tupai berperan
sebagai reservoir (Sykes et al. 2011). Infeksi Leptospira pada anjing oleh serovar
Ichterohaemorrhagie dan Canicola menyebabkan hepatitis akut atau subakut dan
gangguan ginjal (Goldstein 2010).
Leptospira masuk menginfeksi lewat kulit yang luka atau membran mukosa.
Leptospira yang masuk tubuh akan memperbanyak diri dan menyebar melalui aliran
darah selanjutnya akan merusak dinding pembuluh darah kecil sehingga
menimbulkan ekstravasasi sel dan perdarahan. Kuman Leptospira hidup di ginjal dan
air kemih hewan reservoir. Manusia dapat terinfeksi bakteri Leptospira karena kontak
dengan air atau tanah yang terkontaminasi oleh urin atau cairan tubuh lainnya dari
hewan yang terinfeksi Leptospira (Bharadwaj 2002).
2.2 Transmisi
Penularan terjadi melalui kontak langsung atau tidak langsung. Penularan
secara langsung terjadi apabila kontak langsung terhadap cairan urin penderita
melalui luka di kulit, lukagigitan, mukosa mulut, mata dan mukosa lainnya. Selain itu
juga dapat ditransmisikan melalui kontak seksual, transplasental, ataupun dari air susu
induk yang terinfeksi. Penularan tidak langsung dapat melalui kulit pada area yang
terkontaminasi dengan urin penderita sehingga menginisiasi infeksi (Obrenovic et al.
2014).

2.3 Patogenesis
Leptospira masuk lewat kulit yang luka atau membrana mukosa. Leptospira
yang masuk tubuh akan bermultiplikasi dan menyebar melalui aliran darah, merusak
dinding pembuluh darah kecil sehingga menimbulkan ekstravasasi sel dan
perdarahan. Leptospira menyebar dengan cepat setelah masuk ke dalam tubuh
sehingga dapat ditemukan dalam aliran darah beberapa menit setelah invasi subkutan,
intraperitoneal atau intramuskuler. Setelah periode leptospiraemia yang dapat
berlangsung hingga sekitar 10 hari setelah timbulnya tanda-tanda klinis, leptospira
dapat ditemukan di hati, ginjal, limpa, mata, sistem saraf pusat, dan saluran
urogenital.namun, organ yang sering terinfeksi adalah hati dan ginjal (Adler 2014).

2.4 Gejala Klinis


Infeksi leptospira dapat berjalan secara akut dan kronis, serta tingkat
keparahan infeksinya berkaitan dengan virulensi organisme dan sistem imun inang
(Radostits et al. 2000). Gejala klinis dan temuan pemeriksaan fisik yang paling umum
adalah anoreksia, lesu, muntah, demam, peningkatan frekuensi pernafasan dan denyut
jantung, peningkatan frekuensi minum dan urinasi (polydipsia/polyuria), diare, nyeri
abdomen/lumbal, ikterus/jaundice, nyeri otot (myalgia), ginjal membesar
(renomegaly), petechiae atau terkadang hemoragi berat (Hickey dan Denners 2002).
Menurut Greene et al. (1998), ginjal dan hati merupakan organ utama yang
terserang pada infeksi leptospira, dengan 90% kasus pada anjing yang terinfeksi
leptospira mengalami kerusakan ginjal akut dan sekitar 10%-20% mengalami
kerusakan pada organ hati. Gangguan pada organ hati akan menimbulkan warna
kuning pada kulit dan selaput lendir (ikterus). Endotoksin bakteri leptospira dapat
menyebabkan kerusakan sel hati dan menyebabkan perubahan sirkulasi, fibrosis, dan
dapat berlanjut menjadi chronic active hepatitis. Sedangkan pada organ ginjal, bakteri
akan bermigrasi ke interstitium, tubulus renal, dan lumen tubulus sehingga
menyebabkan nefritis interstitialis dan nekrosis tubular. Pada hewan yang mengalami
gagal ginjal akibat leptospirosis akan mengalami keluhan umum seperti poliuria dan
polydipsia, jika penurunan fungsi ginjal semakin parah hal ini dapat bermanifestasi
dengan adanya oliguria atau anuria.
Diagnosis pada tahap awal infeksi akan sulit dilakukan karena gejala klinis
yang mirip dengan penyakit lain serta belum adanya perubahan pada organ hati dan
ginjal. Pada kejadian akut, hewan akan mengalami demam, penurunan suhu tubuh,
kelemahan otot, muntah, dehidrasi, dan dapat terjadi kematian sebelum kerusakan
pada
hati dan ginjal terlihat (Goldstein 2010). Sedangkan pada infeksi subakut, gejala yang
terlihat antara lain, demam, muntah, nafsu makan menurun, dehidrasi, dan rasa haus
yang meningkat. Hewan akan menjadi kurang aktif karena rasa sakit pada otot dan
ginjal (Rentko et al. 1992). Diagnosis leptospirosis didasarkan pada kombinasi
informasi sejarah, temuan pemeriksaan fisik, dan temuan pemeriksaan laboratorium.

2.5 Diagnosis Pembanding


Diagnosis pembanding leptospirosis antara lain penyakit yang berhubungan
dengan disfungsi hepatik dan disfungsi renal. Kucing yang menderita leptospirosis
terkadang menunjukan gejala klinis yang lebih ringan dibandingkan anjing, sehingga
beberapa praktisi terkadang tidak mempertimbangkan penyakit leptospirosis sebagai
differensial diagnose pada penyakit kucing. Tetapi temuan klinis leptospirosis pada
kucing dapat menjadi differensial diagnosa diantaranya feline infectious peritonitis,
nephritis, dan hepatitis (Arbour et al. 2012). Sedangkan pada anjing yaitu,
rickettsiosis, pyelonefritis, serta infectious canine hepatitis (Rampengan 2016).

2.6 Diagnosis Penunjang


Informasi pasien yang telah didapatkan seperti anamnesa, physical
examination, gejala klinis dan beberapa temuan yang terlihat sewaktu pemeriksaan
tentunya membutuhkan pengujian lanjut untuk peneguhan diagnosanya. Secara umum
kasus leptospirosis dapat didiagnosa dengan beberapa uji seperti pemeriksaan darah,
analisis urin, uji serologis (Microscopic Agglutination Test (MAT), Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA), dan Polymerase Chain Reaction (PCR) (Hartmann et
al. 2013). Tentunya pengujian tersebut tetap melihat biaya operasional agar tidak
memberatkan pasien nantinya.
Analisis hematologi terlihat adanya penurunan dari level hemoglobin,
peningkatan PCV, sel darah putih dengan jumlah neutrophil yang meningkat
begitupun platelets. Hal ini dapat dikaitkan dengan pelepasan toksin oleh orgenisme
leptospirosis yang ada didalam tubuh (Ananda et al. 2008). Abnormalitas hematologi
seperti anemia, leukositosis, limfopenia, monositosis, dan trombositopenia
merupakan temuan yang umum pada kasus leptospirosis anjing. Trombositopenia
biasanya pada kasus yang cukup berat (58%), hal tersebut mungkin terkait dengan
vaskulitis, leptospiremia atau sebagai respons terhadap infeksi sistemik akut (Rentko
et al. 1992). Indikasi adanya peningkatan neutrophil atau neutrophilia menunjukkan
bahwa system imum tubuh sedang mengalami infeksi bakteri dan parasite (Kristiina
dan Margo 2015). Pada pengujian biokimia darah anjing, biasanya akan terlihat
adanya peningkatan kreatin (>107mmol/L), urea (>107 mmol/L),
hiperbilirubinaemia, hipoalbuminemia, hipophosphataemia, hypokalaemia dan
peningkatan alkaline phosphatase (ALP), aspartat aminotrans ferase (AST), dan
alanine aminotransferase (ALT) (Schuller et al.2015). Analisis urin yang umum
ditemukan pada kasus ini yaitu isosthenuria, haematuria, glucosuria, pyuria,
proteinuria, dan bilirubinuria (Murillo et al. 2020).
Pengujian serologis yang paling umum digunakan yaitu Microscopic
Agglutination Test (MAT) untuk kasus leptospirosis. Pengujian ini menggunakan
sampel serum darah penderita yang akan mendeteksi adanya antibodi spesifik
terhadap
leptospira. Pemeriksaan MAT memiliki kurang lebih 14 jenis serovar leptospira
hidup, antara lain Ichterohaemorrhagiae, Javanica, Celledoni, Ballum, Pyogenes,
Cynopeteri, Rachmati, Australis, Pomona, Canicola, Grippotyphosa, Bataviae,
Hardjo, Tarrasovi (Mulyani et al. 2017). MAT didasarkan pada penentuan
kemampuan pengenceran serial serum pasien untuk mengaglutinasi serovar leptospira
hidup secara in vitro. Anjing yang terinfeksi dengan keterlambatan munculnya
antibodi serum akan menunjukkan hasil negatif, tetapi apabila pada fase akut sudah
membentuk antibodi dengan titer yang tinggi (≥1.000) akan ditafsirkan sebagai hasil
positif (Ellis 2015). Deteksi pada kucing menggunakan tes ini mungkin lebih mudah
karena tidak ada vaksin leptospira dibandingkan dengan anjing, karena dapat
menghasilkan titer antibodi yang dapat dideteksi tes MAT (Mulyani et al. 2017).
Pada minggu ke 15 pascavaksinasi, sebagian besar anjing sudah menjadi antibody
negative, tetapi titer vaksin dapat bertahan selama 12 bulan (Martin et al. 2014). Hasil
tes MAT sangat bergantung pada prosedur kontrol kualitas di laboratorium.
Pengujian lainnya dapat menggunakan ELISA dengan mendeteksi IgM/IgG.
Tes ini memberikan hasil dalam beberapa menit, tetapi terdapat keterbatasan dalam
hasil yang mungkin tidak terlihat adanya antibody pada infeksi awal (Schuller et
al.2015). Adanya antibodi IgM pada hewan anjing, merupakan pertanda adanya
infeksi baru Leptospira atau infeksi yang terjadi beberapa minggu terakhir (infeksi
akut) (Gamage 2012). Metode test ELISA lebih sensitive dibandingkan MAT. Selain
ELISA, test PCR merupakan pengujian pilihan dalam mendeteksi bakteri leptospira.
Pengujian ini hampir sama untuk mendeketsi fase awal penyakit sebelum produksi
titer antibody. Test PCR memiliki sensitivitas dan akurasi yang lebih tinggi, namun
belum dapat diterapkan dibeberapa negara karena terkait dengan biaya operasional
yang cukup tinggi. Test PCR membutuhkan sepasang primer dengan sasaran gen
spesifik, seperti gen rRNA 16S dan 23S atau elemen pengulangan. Hasil PCR
dapat pula memperlihatkan negatif palsu apabila spesiman klinik yang diperiksa
sering mengandung inhibitor seperti heparin dan saponin (WHO 2003).
Diagnosis penunjang lainnya dapat menggunakan radiografi dan ultrasnografi
untuk melihat organ-organ dalam dari pasien akibat infeksi bakteri ini. Menurut Sonet
(2017), perubahan umum yang terjadi pada organ tubuh hewan dengan kasus
leptospirosis seperti hepatomegaly, splenomegaly, hepatosplenomegaly. Seperti pada
gambar dibawah ini contoh hasil radiografi suspect leptospirosis pada anjing.
Gambar 1 Radiografi anjing lokal suspect leptospirosis dengan temuan adanya
hepatomegaly (panah merah) dan lambung yang mengalami distensi
dan kosong (panah biru) (Prasetyo et al. 2018)

2.7 Prognosis
Apabila leptospirosis tidak disertai dengan komplikasi pernafasan parah maka
prognosis baik yang segera ditangani dengan pemberian antibiotik dan pemberian
terapi cairan yang tepat (dubius sampai fausta). Tingkat kelangsungan hidup 80%
telah dilaporkan. Prognosis akan mengalami komplikasi pernafasan lebih buruk
(fausta sampai infausta) (Kohn 2010).

2.8 Pengobatan dan Pencegahan


Tujuan utama pengobatan leptospirosis adalah untuk mengendalikan infeksi
sebelum terjadinya kerusakan hati dan ginjal. Sedangkan tujuan sekunder pengobatan
adalah untuk mengendalikan fase leptospiruria pada hewan carrier (Radostits et al.
2006). Pengobatan yang dapat diberikan pada penderita leptospirosis berupa terapi
kausatif dan suportif. Terapi kausatif dilakukan dengan pemberian antibiotik pada
hewan yang terinfeksi leptospira. Pemberian antibiotik harus diperhatikan khususnya
efisiensi obat dengan tujuan mempersingkat durasi penyakit, mengurangi penularan,
dan menurunkan kerusakan hati dan ginjal. Pengobatan leptospirosis dilakukan
dengan pemberian antibiotik seperti tetracyclin, penicilin, ampicilin, doxycyclin,
streptomycin, serta erythromycin (Yadeta et al. 2016). Namun, efektivitas pengobatan
tergantung dari serovar yang menginfeksi hewan tersebut.
Selain pemberian antibiotik sebagai terapi kausatif, pengobatan leptospirosis
juga dilakukan dengan pemberian terapi suportif seperti terapi cairan, pemberian
vitamin, serta terapi suportif lainnya yang mungkin dibutuhkan seperti antiemetic dan
gastroprotectan (Greene et al. 2006). Terapi\cairan pada penderita leptospira
dimaksudkan untuk menangani dehidrasi yang terjadi akibat muntah dan diare.
Pemberian terapi suportif ini tergantung dari tingkat keparahan hewan penderita
(Levett 2001).
Memahami epidemiologi leptospirosis merupakan suatu langkah penting
dalam merancang intervensi untuk mencegah resiko penularan penyakit ini. Pada
hewan
peliharaan, pencegahan leptospirosis dapat dilakukan dengan memberikan vaksin
guna meningkatkan kekebalan kepada hewan yang berpotensi tertular lelptospirosis
(Yadeta et al. 2016). Tindakan pencegahan lain yang tidak kalah penting yaitu
sanitasi kendang yang baik guna mencegah kontak dengan urin penderita,
pengendalian terhadap hewan pengerat, monitoring dan memindahkan hewan carier
sampai terapi selesai, mengisolasi hewan penderita selama pengobatan.

III PEMBAHASAN
Studi Kasus pada Jurnal
Leptospirosis In Cats: Current Literature Review to Guide Diagnosis
and Management

Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri spirochetal dari genus Leptospira.
Bakteri ini sangat motil, memanjang dan melingkar heliks berbeda secara morfologis
dengan spirochetal yang lain. Genus leptospirosis awalnya dibagi dua yaitu
Leptospira interrrogans mengandung serovar patogen dan Leptospira biflexa
mengandung serovar saprofit non-patogens. Saat ini 22 spesies leptospirosis
diidentifikasi, setidaknya 10 di antaranya bersifat patogen. Ada juga tujuh spesies
saprofit dan lima spesies patogenisitas tak tentu. Spesies Leptospira patogen dibagi
menjadi serovar, masing- masing dengan komposisi antigenik yang berbeda. Sampai
saat ini, lebih dari 260 serovar patogen yang disusun menjadi 26 serogrup telah
diidentifikasi.
Semua mamalia mungkin rentan terhadap infeksi Leptospira. Ada host primer
(definitif) atau pembawa untuk beberapa serovar (misalnya, anjing adalah host untuk
Canicola; sapi dan domba untuk Hardjo; babi untuk Pomona dan Bratislava; dan
tikus untuk Icterohaemorrhagiae dan Copen hageni). Ini berkontribusi lebih besar
pada penyebaran bakteri di lingkungan dibandingkan dengan inang insidental atau
buntu (yaitu yang menderita penyakit akut dan tidak mungkin berfungsi sebagai
sumber penularan; misalnya manusia). Host definitif biasanya terinfeksi pada usia
muda dan biasanya menunjukkan penyakit klinis minimal, sedangkan hewan yang
terinfeksi dengan serovar yang tidak beradaptasi dengan inang diharapkan
menunjukkan tanda klinis yang lebih parah.

Epidemiologi
Leptospirosis merupakan penyakit endemik di hampir semua wilayah di
dunia. Insidennya biasanya meningkat pada akhir bulan-bulan musim panas,
sedangkan di daerah tropis kebanyakan infeksi terjadi setelah periode hujan. Spesies
Leptospira patogen mengalami pertumbuhan optimal pada suhu 28-30oC. Meskipun
mereka tidak bereplikasi di luar inang, mereka dapat bertahan selama berbulan-
bulan di tanah lembab yang jenuh dengan urin, dan ini dapat menyebabkan
kontaminasi lingkungan yang signifikan. Pada manusia, ada tiga faktor utama
yang terkait dengan risiko
penularan penyakit: (1) paparan air: (2) paparan hewan pembawa; dan (3) transmisi
dari ternak atau hewan peliharaan.

Gambar 1 Peta prevalensi leptospirosis

Leptospirosis kucing pertama kali dijelaskan pada tahun 1972 dan studi
prevalensi menunjukkan serovar utama milik serogrup Australis, Autumnalis,
Caricola dan Sejroe. meskipun ada variasi geografis. Serovar yang paling sering
terlibat dalam leptospirosis kucing di Eropa, menurut pernyataan konsensus Eropa
tentang leptospirosis, dan berdasarkan prevalensi antibodi yang diukur dengan Uji
Aglutinasi Mikroskopis (MAT) milik serogrup Australis, Autumnalis, Ballum,
Canicola, Grippotyphosa, Ieterohaemorrhagiae, Pomona dan Sejroe. Serovar yang
paling sering dilaporkan pada kucing di AS adalah milik serogrup Australis,
Autumnalis, Grippotyphosa dan Pomona. Gambar 1 menunjukkan negara-negara di
mana prevalensi leptospirosis pada kucing telah dilaporkan, berdasarkan MAT dan /
atau urin dan darah PCR. Tabel 1 merangkum penelitian sebelumnya tentang
prevalensi leptospirosis kucing dengan diagnosis MAT. seropositif keseluruhan.
dilaporkan dalam penelitian ini berkisar antara 4% sampai 33,3%, tidak ada hubungan
yang jelas dengan penyakit klinis.
Infeksi leptospiral pada kucing telah dikaitkan dengan konsumsi mangsa yang
terinfeksi yang melibatkan serovar dari serogrup Autumnalis dan Ballum. Kucing
luar memiliki peningkatan risiko terinfeksi leptospira karena mereka berada dalam
kontak dekat dengan host reservoir. Di daerah pedesaan, kucing juga dapat terinfeksi
melalui urin dari babi dan sapi. Kehadiran kucing lain di rumah secara signifikan
meningkatkan risiko seropositif untuk leptospirosis.
Saat ini, tidak sepenuhnya dipahami serovar mana yang menyebabkan infeksi
insidental pada kucing. Berdasarkan laporan yang diterbitkan sebelumnya tentang
leptospirosis akut pada kucing, serovar milik serogroup Autumnalis, Australis,
Icterohaemorrhagiae, Grippotyphosa, Pomona dan Sejroe terlibat. Beberapa
penelitian telah mengkonfirmasi pengangkutan ginjal spesies leptospira oleh PCR,
dan kucing ini
memiliki antibodi terutama terhadap serovar milik Australis, Canicola,
Icterohaemorrhagiae dan serogrup Pomona. Kucing bisa menjadi inang reservoir
kronis bagi bakteri dan faktor risiko infeksi pada manusia.

Tabel 1 Data prevalensi pada kucing yang didiagnosis dengan agglutination test
Data yang ditunjukkan pada Tabel 2 merangkum sedikit penelitian yang telah
dilakukan pada kucing di berbagai negara untuk menentukan prevalensi pelepasan
DNA Leptospira dalam urin. Dalam studi ini, prevalensi berkisar antara 0% hingga
67,8%, tanpa hubungan yang jelas dengan penyakit klinis. Prevalensi mungkin
berbeda tergantung pada lokasi geografis dan primer yang dipilih PCR, di antara
faktor-faktor lainnya.

Tabel 2 Data prevalensi penularan melalui urin pada DNA Leptospira kucing

Patogenesis
Leptospira dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka dan lecet, selaput lendir,
seperti konjungtiva, atau melalui kulit yang lembap dan melemah. Bakteremia
berlangsung sekitar 7 hari, patogenesis penyakit pada kucing masih belum diketahui,
meskipun diasumsikan serupa dengan yang terjadi pada manusia dan anjing. Penyakit
klinis akut terjadi dengan fase bakteremia penyakit. Hal ini terlihat terutama pada
inang insidental muda dan biasanya berhubungan dengan bakteri penghasil hemolisin,
seperti serogrup Icterohaemorrhagiae atau Pomona, yang menyebabkan penyakit
hemolitik, hemoglobinuria, ikterus dan pada kasus yang parah mengakibatkan
kematian. Setelah leptospira mencapai tingkat kritis dalam darah, gejala klinis muncul
akibat kerja toksin leptospira atau komponen seluler toksik 12 Kerusakan organ
terjadi akibat leptospira bereplikasi dan menginduksi produksi sitokin dan invasi
langsung sel inflamasi.
Lesi primer berkembang di endothelium pembuluh darah kecil, menyebabkan
iskemia lokal, dan mengakibatkan nekrosis tubulus ginjal, di antara kerusakan organ
target lainnya. Kolonisasi ginjal terjadi pada sebagian besar hewan yang terinfeksi
karena bakteri bereplikasi dan bertahan di sel epitel tubulus ginjal. Proses multiplikasi
ini menyebabkan pelepasan sitokin dan perekrutan sel inflamasi, yang memicu
nefritis. Nefritis interstisial kronis, yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal kronis,
telah dijelaskan pada kucing yang terinfeksi leptospira." Setelah 10 hari infeksi,
leptospira memasuki lumen tubulus dan dieliminasi dalam urin selama beberapa hari
hingga bulan.
Durasi eliminasi melalui urin dan intensitasnya bervariasi dari satu spesies ke
spesies lainnya dan hewan ke hewan, dan tergantung pada menginfeksi serovar,
informasi yang tepat tentang aspek-aspek ini saat ini tidak tersedia pada kucing.
Seperti disebutkan sebelumnya, kucing dapat bertindak sebagai inang pembawa, tidak
mengembangkan penyakit klinis, tetapi melepaskan bakteri ke lingkungan dalam urin
mereka. Sebuah studi epidemiologi telah mengkonfirmasi adanya DNA leptospira
dalam urin kucing selama lebih dari 8 bulan setelah infeksi, dengan sedikit atau tanpa
hubungan dengan penyakit.
Tahap selanjutnya perkembangan status pembawa dan mekanisme spesifik
yang diperlukan leptospira untuk memasuki lumen tubulus ginjal proksimal,
menempel pada sel epitel ginjal, menghindari antibodi dalam filtrat dan memperoleh
nutrisi yang mereka butuhkan untuk bereplikasi tidak dipahami dengan baik.
Leptospiral Pulmonary Haemorrhage Syndrome (PHS) telah dikenali pada manusia
dan anjing. Sindrom ini mungkin ada pada 70% anjing yang terinfeksi leptospira.
Tanda-tanda klinis yang terkait dengan LPHS anjing terutama akut dan temuan sesuai
dengan alveolar dan perdarahan subpleural yang parah, yang menyebabkan dispnea.

Gambar 2 Patogenesis leptospirosis pada kucing

Diagnosis
a. Tanda- tanda klinis
Tanda-tanda klinis pada kucing paling banyak ringan, meskipun terdapat
leptospira dalam darah dan urin. Tanda-tanda klinis yang dilaporkan pada kucing
yang terinfeksi (berdasarkan konfirmasi oleh MAT dan/atau PCR) termasuk poliuria,
polidipsia, hematuria, uveitis, laminitis, lesu, anoreksia, penurunan berat badan,
asites, muntah, diare, nyeri pada tangan, dan lesi inflamasi. pada kulit dan jari.
Temuan patologis yang dilaporkan pada hewan ini termasuk adanya cairan toraks dan
peritoneum yang berdarah atau berwarna jerami. Beberapa kucing dengan antibodi
terhadap Leptospira telah ditemukan memiliki tanda-tanda yang berhubungan dengan
penyakit ginjal dan/atau bukti histopatologi peradangan ginjal. Seperti pada anjing,
leptospirosis pada kucing dapat menyebabkan cedera ginjal akut yang berujung pada
penyakit ginjal kronis. Lesi di hati kucing yang terkena telah dilaporkan lebih jarang
daripada pada anjing

b. Data klinikopatologi
Complete Blood Count
Leukosit dapat berfluktuasi sesuai dengan stadium dan tingkat keparahan
infeksi. Leukopenia adalah kemungkinan selama leptospiremia, berkembang menjadi
leukositosis karena neutrofilia dengan derajat pergeseran ke kiri. Pada keadaan lanjut,
jumlah leukosit mungkin berada dalam kisaran 16,5–45 x 109/l (interval referensi
2,75- 11,75 x 109/l).
Biokimia Serum
Konsentrasi urea dan kreatinin meningkat pada 80-90% kasus leptospirosis
anjing. sebagian besar kucing yang terinfeksi mengalami azotaemia pada saat
diagnosis. Pada anjing yang terinfeksi, terjadi peningkatan bilirubin total yang
dikaitkan dikaitkan dengan disfungsi hati.Sebaliknya, pada leptospirosis kucing,
peningkatan ini tidak khas, dan hanya sedikit peningkatan yang dilaporkan. Toksin
leptospira menghambat aktivitas Na+K+-ATPase di sel epitel tubulus ginjal pada
kucing dan anjing, yang dapat menyebabkan kehilangan elektrolit yang signifikan di
ginjal, yang mengakibatkan hipokalemia berat. Pada kucing, peningkatan konsentrasi
fosfor serum telah dilaporkan, mungkin terkait dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus.
Analisa urin
Temuan pada anjing termasuk isosthenuria atau kadang-kadang hipostenuria,
glikosuria, proteinuria, bilirubinuria, hematuria, piuria dan adanya gips dalam
sedimen urin segar. Pada kucing, hipostenuria, hematuria, dan proteinuria telah
dilaporkan.

c. Temuan ultrasonografi.
Beberapa laporan tentang leptospirosis kucing menggambarkan temuan
ultrasonografi ginjal yang mirip dengan leptospirosis anjing, termasuk penampilan
granular ginjal, pembesaran ginjal dengan korteks yang lebih tipis dari medulla dan
korteks ginjal yang sedikit hiperekogenik

d. Specific test
Diagnosis laboratorium leptospirosis dalam kedokteran hewan biasanya
didasarkan pada demonstrasi antibodi serum dengan MAT dan ELISA, dan/atau
isolasi
DNA Leptospira dari darah dan urin dengan PCR. Tes diagnostik khusus yang
tersedia untuk kucing adalah MAT dan PCR
Microscopic agglutination test
Penentuan titer antibodi dengan MAT adalah teknik yang direkomendasikan
untuk diagnosis leptospirosis, karena reaktivitas MAT terhadap serovar menunjukkan
keterpaparan pada serovar yang termasuk dalam serogrup yang sesuai (walaupun
tidak harus pada serovar spesifik yang diuji). Pemilihan serogrup dan serovar
dievaluasi tergantung pada lokasi geografis dari kemungkinan paparan pasien.
Antibodi (IgM dan IgG) terdeteksi sekitar 15 hari setelah infeksi oleh MAT.
ELISA
ELISA yang digunakan untuk leptospirosis mengidentifikasi adanya antibodi
leptospiral (antibodi IgM spesifik) lebih awal dari MAT, antara 4-6 hari pasca infeksi.
Keuntungan utama ELISA dibandingkan dengan MAT adalah stabilitas preparat
antigenik dan spesifisitas genus, yang berarti semua jenis leptospira dapat didiagnosis
dengan preparat antigenik tunggal, terlepas dari serovar penyebab. Pada anjing,
kombinasi ELISA dan MAT direkomendasikan untuk diagnosis leptospirosis.
PCR
PCR secara langsung mengidentifikasi DNA leptospira. Hasil PCR tidak
menentukan serogrup atau serovar yang menginfeksi, tetapi dapat menunjukkan
spesies Leptospira. Tes ini dapat dilakukan pada darah, urin, cairan serebrospinal dan
jaringan tubuh. Dalam kasus leptospirosis akut, tes ini akan menjadi tes pilihan untuk
dilakukan pada darah dan urin pada kucing. Dibandingkan dengan kultur, PCR
memberikan hasil yang cepat dan dapat mendiagnosa pada deteksi dini. Teknik real
time PCR direkomendasikan, karena sensitivitas dan spesifisitasnya yang lebih besar.
Hasil PCR positif berarti terdapat DNA leptospira dalam sampel. Pada infeksi akut
atau kronis, tes akan positif dalam urin. Hasil negatif dalam darah dan urin jika
kucing telah menerima terapi antibiotik dan pelepasan dalam urin dapat terjadi secara
intermiten.

Prognosis
Prognosis tergantung terutama pada tingkat keparahan kerusakan organ. Pada
anjing yang mengalami LPHS, prognosisnya biasanya buruk karena hewan tersebut
mengalami gangguan pernafasan akut dengan. LPHS adalah salah satu penyebab
kematian terkait leptospira yang paling umum pada anjing. Prognosis juga buruk
untuk hewan yang terkena yang mengalami cedera ginjal akut kecuali tersedia
hemodialisis. Pada kucing dengan gejala klinis ringan dan tidak ada kerusakan organ
yang parah, respons terhadap terapi antimikroba spesifik dan hasilnya baik. Kucing
yang selamat dari gagal ginjal akut, dan terutama yang dirawat dalam fase kronis
leptospirosis, dapat mengalami kerusakan ginjal sebagai konsekuensi dari kondisi
awal, dan ini mungkin permanen.

Treatment
a. Supportive Therapy
Cairan intravena harus diberikan kepada hewan yang terkena untuk
memperbaiki ketidakseimbangan cairan elektrolit. Penggunaan antiemetik yang
bekerja secara sentral dan pemberian pelindung lambung parenteral
direkomendasikan pada kucing yang mengalami gagal ginjal. Manajemen nyeri
sangat penting pada tahap awal penyakit untuk mengobati nyeri ginjal bengkak, otot,
persendian dan jaringan gastrointestinal. Feeding tube sangat dianjurkan pada kucing
yang anoreksia, sampai mereka dapat makan sendiri secara mandiri untuk
meminimalkan risiko komplikasi sekunder.
b. Terapi antimikroba.
Terapi antimikroba yang disarankan pada kucing didasarkan pada perawatan
yang direkomendasikan untuk anjing. Ampisilin intravena dapat menjadi antibiotik
pilihan saat pasien stabil. Setelah hewan stabil, 6 minggu suspensi oral doksisiklin
disarankan untuk menghilangkan pembawa. Tablet doksisiklin monohidrat harus
segera diberikan sebelum makan atau dengan pengobatan untuk menghindari
esofagitis sekunder.

Pencegahan
Tidak ada vaksin komersial yang tersedia untuk kucing. Mengingat kurangnya
vaksin saat ini, cara terbaik untuk menghindari infeksi pada kucing adalah melalui
pencegahan paparan. Kucing yang dipelihara di dalam ruangan memiliki risiko
terinfeksi yang lebih rendah. Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari
kontak dengan air tergenang, urin dari hewan yang terinfeksi dan anjing yang
berisiko leptospirosis. Untuk kucing yang kontsk dengan hewan yang didiagnosis
positif, dapat diberikan doksisiklin dengan dosis 5 mg/kg PO setiap 12 jam atau pada
10 mg/kg PO setiap 24 jam selama 2 minggu
IV SIMPULAN

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri


Leptospira interrogans. Hospes utama dari penyakit leptospirosis yaitu rodensia
terutama tikus. Hewan peliharaan seperti anjing dan kucing berperan sebagai
reservoir. Leptospira masuk menginfeksi lewat kulit yang luka atau membran
mukosa. Infeksi leptospira dapat berjalan secara akut dan kronis, serta tingkat
keparahan infeksinya berkaitan dengan virulensi organisme dan sistem imun inang.
Ginjal dan hati merupakan organ utama yang terserang pada infeksi leptospira.
Apabila leptospirosis tidak disertai dengan komplikasi pernafasan parah maka
prognosisnya akan baik. Pemberian antibiotic, terapi cairan, dan pemberian vitamin
merupakan bentuk pengobatan dari penyakit leptospirosis.
DAFTAR PUSTAKA

Adler B. 2014. Pathogenesis of leptospirosis: cellular and mlecular aspects. Journal


of Veterinary Microbiology 172:353-358.
Ananda KJ, Suryananarayana T, Prathuish PR, Sharada R, Placid ED. 2008.
Diagnosis and treatment of leptospirosis in a dog – a case report. Veterinary
World. 1(9): 278-279.
Arbour J, Blais Marie-Claude, Carioto L. 2012. Clinical leptospirosis in three cats
(2001- 2009). J American Animal Hospital Association. 48(4): 256-260.
Azócar-Aedo L, Monti G, Jara R. 2014. Leptospira spp. in domestic cats from
different environments: prevalence of antibodies and risk factors associated
with the seropositivity. Animals 4(1): 612–626.
Bharadwaj L, Bal AM, Joshi SA, Kagal A. 2002. Leptospirosis in Human. India
Jpn J Imect Dis. 55: 194-196.
Bharti AR, Nally JE, Ricaldi JN, Matthias MA, Diaz MM, Lovett MA, Levett PN,
Gillman RH, Willing MR. 2003. Leptospirosis: a zoonotic disease of global
importance. Lancet Dis. 3: 757-771.
Ellinghausen MC. And Mc Cullough WG. 1995. Nutrition of Leptospira pomona and
growth of 13 other serotypes: fractionation of oleic albumin complex (OAC)
and medium of bovine albumin and polysorbate. Am.J.Vet.Res.
Ellis W A. 2015. Animal leptospirosis. Leptospira and leptospirosis. 99-137.
Gamage CD, Tamashiro H, Ohnishi M, Koizumi N. 2012. Epidemiology,
surveillance and laboratory diagnosis of leptospirosis in the WHO South-East
Asia region. InTech, Rijeka, Croatia. 213-226.
Goldstein RA. 2010. Canine Leptospirosis. Vet Clin North Am Small Anim Prac. 40:
1091- 1101.
Goldstein RE. 2010. Canine leptospirosis. Vet Clin Small Anim. 40: 1091-1101.
Greene CE, Millar MA, Brown CA. 1998. Leptospirosis. Di dalam: Infectious
Diseases of the Dog and Cat. (2nd Edn). Philadelphia (US): W.B. Saunders.
Hlm 273- 281.
Greene CE, Sykes JE, Moore GE, Goldstein RE, Schultz RD. 2006. Leptospirosis:
Infectious Diseases of the Dog and Cat. 4 ed. St Louis (US): Saunders, Elsevier.
Hartmann K, Egberink H, Pennisi MG, Lloret A, Addie D, Belak S, et al. 2013.
Leptospira Species Infection in Cats: ABCD guidelines on prevention and
management. Journal of Feline Medicine and Surgery. 15(7): 576–581.
doi:10.1177/1098612x13489217.
Hickey PW, Denners D. 2002. Leptospirosis. Medicine Journal. 12(2) :1-17.
Jawetz E. Melnick JL. and Adelberg EA. 2010. Medical Microbiology. 25th ed. New
York (USA): Mc Graw Hill.
[Kemenkes] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Data dan Informasi
Profil Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta (ID): Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI
Kohn B, Steinicke K, Amdt G. 2010. Pulmonary abnormalities in dogs with
Leptospirosis. J Vet Intern Med. 24(6): 1277-82.
Kristiina Ruotsalo, Margo S. 2015. Leptospirosis in Dog. LifeLearn, Inc.
Kusmiyati, Noor SM, Supar. 2005. Leptospirosis pada hewan dan manusia di
Indonesia. Wartazoa. 15(4): 213-220.
Levett PN. 2001. Leptospirosis: Clinical microbiology reviews. Journal of American
society of microbiology. 14(2): 296-326.
Martin LE, Wiggans KT, Wennogle SA, et al. 2014. Vaccine-associated leptospira
antibodies in client-owned dogs. Journal of Veterinary Internal Medicine. 28:
789-792.
Mulyani GT, Raharjo S, Purnomo AB, Santoso Y, Kurnia, Wirapratiwi DK. 2018.
Leptospirosis pada kucing di Yogyakarta dan sekitarnya, Jurnal Veteriner.
19(4): 1-5.
Mulyani GT, Raharjo S, Purnomo AB, Santoso Y, Kurnia, Wirapratiwi DK. 2018.
Leptospirosis pada kucing di Yogyakarta dan sekitarnya. Jurnal Veteriner. 19
(4): 1-5.
Murillo A, Goris M, Ahmed A, Cuenca R, Pastor J. 2020. Leptospirosis in cats:
Current literature review to guide diagnosis and management. Journal of feline
medicine and surgery. 22(3): 216-228.
Prasetyo D, Nisa K, Pamungkas IN. 2013. Suspect leptospirosis pada anjing lokal mix.
ARSHI Vet Lett. 2(4): 75-76.
Radostits OM, Gay CC, Blood DC, Hinchcliff KW. 2000. Veterinary Medicine.
London (UK): W.B. Saunders.
Radostits OM, Gay CC, Hinchcliff KW, Constable PD. 2006. Veterinary Medicine: A
textbook of the diseases of cattle, horses, sheep, pigs and goats. London (UK):
Elsevier Health Sciences.
Rampengan NH. 2016. Leptospirosis. Jurnal Biomedik. 8(3): 143-150.
Rentko VT, Clark N, Ross LA, Schelling SH. 1992. Canine leptospirosis: a
retrospective study of 17 cases. Journal of Veterinary Internal Medicine. 6:
235-244.
Rentko VT, Clark N, Ross LA, Schelling SH. 1992. Canine leptospirosis: a
retrospective study of 17 cases. Journal of Veterinary Internal Medicine. 6(4):
235-244.
Rojas P, Monahan AM, Schuller S. 2010. Detection and quantification of leptospires
in urine of dogs: a maintenance host for the zoonotic disease leptospirosis.
European Journal of Clinical Microbiology and Infectious Diseases. 29(1):
1305-1309.
Schuller S, Francey T, Hartmann K., Hugonnard M, Kohn B, Nally JE, Sykes J. 2015.
European consensus statement on leptospirosis in dogs and cats. Journal of
Small Animal Practice. 56(3): 159-179.
Sholichah Z, Ikawati, B, Marbawati D, Khoeri MM, Ningsih DP. 2021. Peran tikus
got (Rattus norvegicus) dari kelompok tikus dan suncus sebagai penular
utama leptospirosis di kota Semarang. Jurnal Vektor Penyakit. 15(1): 53-62.
Sonet J, Barthélemy A, IG Thollot, Nevoret CP. 2017. Prospective evaluation of
abdominal ultrasonographic findings in 35 dogs with leptospirosis. Vet. Radiol.
Ultrasound. 1-9.
Songer G, Post KW. 2004. Veterinary Microbiology. Missouri (US): Elsevier.
Sykes JE, Hartmann K, Lunn KF, Moore GE, Stoddard RA, Goldstein RE. 2011.
ACVIM small animal consensus statement on leptospirosis: Diagnosis,
epidemiology, treatment, and prevention. J Vet Int Med. 25: 1-13.
Talebkhan GM, Mehravaran M, Abdollahpour G, Khoshnegah J. 2015.
Seroprevalence of leptospiral infection in feline population in urban and dairy
cattle herds in Mashhad, Iran. Vet Res Forum. 6(4): 301-304.
[WHO] World Health Organization. 2003. Leptospirosis; Guidance for diagnosis,
surveillance and control. International leptospirosis society. Genewa (SW) :
World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai