Disusun Oleh:
UNIVERSITAS PADJAJARAN
SUMEDANG
2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami ucapkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini atas dasar untuk memenuhi
nilai Ujian Akhir Semester mata kuliah Bioteknologi Hewan.
Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan secara
langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami sampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah turut membantu penyelesaian makalah ini.
Tidak lupa, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu sebagai bahan
pembelajaran, kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk masyarakat luas maupun dapat memberikan inspirasi bagi siapapun
yang membacanya.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui dan memahami pseudopregnancy
2. Mengetahui penyebab terjadinya pseudopregnancy
3. Mengetahui mekanisme terjadinya pseudopregnancy
4. Mengetahui masalah yang terjadi dalam proses pseudopregnancy
1.4 Manfaat
Manfaat yang diperoleh melalui pembuatan makalah ini, yaitu diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai pseudopregnancy dan dapat menambah wawasan
bagi pembaca.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
luteolisis. Hormon utama pada tahap ini adalah progesteron, dan kadarnya jauh lebih
tinggi pada tahap luteal bila dibandingkan dengan tahap-tahap lain (Bagnell, 2005).
Hormon yang berperan dalam proses Proseudopregnancy adalah progesteron.
Progresteron merupakan kelompok hormon steroid seks yang berperan dalam
mempersiapkan dan merawat kondisi uterus selama kehamilan, regulasi perkembangan
kelenjar susu, kontrol ovulasi dan regulasi perilaku reproduktif hewan betina. (Strauss &
Barbieri, 2009).
7
BAB III
METODE PSEUDOPREGNANCY
8
pada akhir masa birahi. Sel telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa akan menempel di
dinding rahim dan berkembang menjadi janin (fetus). Pada keadaan tidak normal, sel telur
yang tidak dibuahi bertindak menyerupai sel telur yang dibuahi dan menyebabkan
munculnya tanda-tanda bunting dan sel telur yang tidak dibuahi menetap di dinding rahim
untuk beberapa waktu. Selama sel telur yang tidak dibuahi tersebut menempel pada
dinding rahim, tanda-tanda bunting palsu akan semakin terlihat jelas. Diagnosa dilakukan
dengan pemeriksaan fisik (Suwed dan Budiana, 2006).
Palpasi melalui abdomen anjing mulai hari ke 28 setelah kawin. Radiografi
abdomen mulai dari 45 hari setelah kawin. Ultrasonografi mulai dari hari ke 30
kehamilan, dan uji relaxin sejak 20 hari setelah gelombang Luteinizing Hormone (LH)
merupakan beberapa metode yang telah digunakan untuk mendeteksi dan membedakan
antara pregnancy dan pseudopregnancy pada anjing. Pemeriksaan darah merupakan
sebuah media yang penting untuk menilai status kesehatan hewan karena kondisi
fisiologis dan patologis hewan dapat dievaluasi. Jumlah sel darah bervariasi tergantung
dengan kondisi fisiologis dan patologis. Nutrisi, usia, seks, siklus estrus, kehamilan,
iklim, dan penyakit dapat mempengaruhi parameter hematologi pada hewan. Diagnosis
pseudopregnancy didasarkan pada keberadaan dan tingkat tanda-tanda klinis yang lebih
sering dilaporkan karena perkawinan terjadwal dapat diabaikan oleh pemilik dan
kebuntingan harus selalu dipertimbangkan. Dalam hal lain USG atau radiografi harus
digunakan. Kondisi lain dari fase luteal, seperti pyometra atau kehamilan terakhir, dan
aborsi harus disingkirkan dengan ultrasonografi abdomen atau radiografi. Suatu jumlah
sel darah lengkap dan pengujian tambahan termasuk pemeriksaan vulva dan vagina
penting untuk diketahui (Nelson, 1987).
Pseudopregnancy dapat dipicu dengan melalui beberapa metode. Pada hewan
tikus pseudopregnancy bisa dipicu melalui dua metode, yang pertama diinduksi dengan
coitus dan yang kedua diinduksi secara non-coitus. Induksi pseudopregnancy dengan
coitus terjadi apabila tikus betina mengalami kopulasi tanpa fertilisasi. Stimulasi saat
kopulasi akan meningkatkan produksi prolaktin yang kemudian mengaktifkan korpus
luteum. Pola koitus akan memulai refleks neuroendokrin yang menghasilkan sekresi
progesteron yang cukup pada pseudopregnancy. Namun menginduksi pseudopregnancy
9
melalui metode ini perlu sistem adrenergic yang aktif dan secara bersamaan menghambat
sistem kolinergik (Terkel,1986).
Metode berikutnya adalah pseudopregnancy yang diinduksi tanpa coitus. Pada
metode ini perlu adanya stimulus eksternal maupun internal untuk meningkatkan kadar
hormon progesteron untuk mengumpan positif terhadap produksi prolaktin. stimulus
tersebut secara eksternal bisa dipicu dari faktor sosial dan lingkungan, seperti hidup
bersamaan pada populasi yang semuanya betina ataupun hidup dengan bayi tikus di
sekitarnya bagi tikus yang perawan (Fox, 2007).
10
BAB IV
PEMBAHASAN
11
● pada hewan keadaan pseudopregnancy dapat meningkat dikarenakan adanya
pemeliharaan.
● disebabkan karena kegagalan kawin atau berkembang biak pada hewan
● disebabkan karena adanya perkawinan dengan jantan hasil vasektomi.
12
● Pada hewan terutama kelinci pseudopregnancy tidak dapat dibedakan secara
akurat sampai hari ke 19 kehamilan / kehamilan semu.
● Mengukur berat pertambahan badan betina setelah terjadinya perkawinan dengan
pejantan yang telah divasektomi.
● Betina akan menunjukkan perilaku seperti gelisah, aktivitas menurun, menjilati
perutnya, dan mengasuh benda mati.
● Betina akan menunjukkan gejala fisik seperti penambahan berat badan,
perbesaran payudara bahkan sekresi susu, dan kontraksi perut yang kadang
menyerupai perut yang sedang mengandung.
13
kandungan hormon eCG dalam sampel darahh yang diperiksa dengan tes
hemagglutination inhibitor (HI). hasil tes ini akan negatif (tidak bunting) apabila
terjadi aglutinasi dari sel darah merah dan apabila terjadi aglutinasi
mengindikasikan bahwa betina mengalami kebuntingan.
14
dengan penurunan progesteron yang lebih cepat dari biasanya ketika anjing dimandikan
selama diestrus (Klaphake, and Joanne, 2012).
Tikus menjadi pseudopregnant mengikuti estrus di mana betina dibiakkan oleh
jantan yang tidak subur, menghasilkan kawin steril (Fox, 2007). Seperti anjing, tikus
adalah ovulator spontan. Namun, mereka tidak akan menjadi pseudopregnant setelah
estrus di mana betina tidak kawin karena corpus luteum akan terdegradasi dengan cepat
tanpa adanya koitus. Ketika betina dikawinkan oleh jantan infertil, corpus luteum
bertahan tanpa embrio, yang mengarah ke pseudopregnancy. Betina akan
mengembangkan kelenjar susu, menyusui, dan membangun sarang dalam keadaan
pseudopregnant. Pseudopregnancy pada tikus agak umum pada tikus laboratorium karena
sering diinduksi untuk tujuan menanamkan embrio ke bendungan pengganti, tetapi jarang
pada tikus liar karena sebagian besar jantan liar subur dan benar-benar menghamili betina.
Kucing yang mengalami pseudopregnancy akan mengalami hal serupa kehamilan.
Kucing hamil dapat mengalami perubahan fisik dan tingkah laku. Bagian perut mulai
membesar. Perut Kucing yang hamil mulai terlihat membesar pada umur kehamilan 5
minggu. Bagian perut ini akan terus membesar hingga mendekati saat melahirkan. Salah
satu tanda yang cukup signifikan adalah berubahnya puting susu. Pada kucing hamil,
puting susu sedikit membengkak dan warnanya berubah kemerahan (pink). Air susu
mulai diproduksi dan bisa dikeluarkan sekitar 3-2 minggu akhir masa kehamilan. Jadi bila
puting susu dipencet dengan lembut dan terlihat ada cairan susu, kelahiran akan terjadi
sekitar 2-3 minggu lagi. Bulu sekitar puting susu menipis. Pada beberapa kejadian
(jarang) kucing hamil juga muntah-muntah, seperti manusia pada awal kehamilan.
Kucing yang hamil memperlihatkan peningkatan nafsu makan. Tentunya peningkatan
nafsu makan ini bertujuan memberikan nutrisi yang cukup bagi perkembangan ibu dan
janinnya. Sebagian kucing yang hamil mengalami perubahan tingkah laku seperti lebih
tenang dan lembut. Selain itu mereka juga berusaha mencari perhatian lebih terhadap
pemiliknya. Pada akhir masa kehamilan terlihat beberapa tingkah laku seperti gelisah dan
lebih suka berada di tempat hangat dan tertutup.
15
4.7 Manfaat Pseudoprecnancy
Adanya pseudopregnancy dapat dimanfaat sebagai modal awal untuk transfer
embrio. Menurut Lipi (2015), transfer embrio adalah suatu proses muali dari pemilihan
betina pendonor, sinkronisasi birahi, superovulasi, inseminasi, koleksi embrio,
penanganan dan evakuasi embrio, transfer embrio ke betina resipien pada sampai
pemeriksaan kebuntingan dan kelahiran. Sebelum dilakukannya transfer embrio perlu
diadakan seleksi terlebih dahulu terhadap betina resipien yang akan digunakan. Sebelum
dilakukan transfer embrio betina resipien harus memiliki status reproduksi seperti betina
yang sedang bunting. maka dari itu, sebelum dilakukan transfer embrio perlu dilakukan
penyesuaian kehamilan seperti pseudopregnancy kepada betina resipien. Setelah
pseudopregnancy terjadi pada betina maka akan terjadi kondisi yang optimal dari rahim
induk resipien agar embrio yang ditrasnfer dapat terimplementasi ke dinding rahim induk
resipien dan menghasilkan kebuntingan yang diinginkan.
16
dari indung telur pseudopregnant Springer Spaniel, tingkat progesteron diperkirakan tidak
terlalu tinggi. Vakuola besar, mungkin mengandung lemak netral, ditemukan di hampir
semua sel lutein. Berbeda dengan ini, sel luteal diperiksa dalam korpora lutea pelacur di
periode metestrum melalui hipofisis anterior untuk menghasilkan perkembangan ovarium
dan pembentukan korpora lutea. Karena perawan jalang dapat menjadi pseudopregnant,
jelas bahwa rangsangan kopulasi tidak diperlukan untuk memulai pseudopregnansi.
Adalah tidak masuk akal untuk percaya bahwa kurangnya stimulasi saraf pada sel-sel
hormon merangsang folikel penghasil hipofisis anterior bertanggung jawab atas
kegagalan estrogen untuk mengesampingkan mengungkapkan sejumlah kecil vakuola
yang agak kecil. Pada saat ini jumlah progesteron yang dikeluarkan sangat besar. Namun
demikian, tanpa kehadiran sejumlah besar progesteron untuk bertindak sebagai inhibitor
(pada sel-sel yang mensekresi hormon perangsang folikel), tingkat estrogennya rendah.
Itu rendah disimpulkan dari fakta bahwa folikel ovarium sangat tidak matang (Weber,
1944).
17
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini ialah:
1. Pseudopregnancy atau bunting semu merupakan suatu keadaan fisiologis atau
klinis pada induk betina yang seolah-olah mengalami kebuntingan. Nama lain
dari Pseudopregnancy adalah false pregnancy, Pseudocyesis, dan phantom
pregnancy.
2. Penyebab terjadinya pseudopregnancy ialah keadaan yang stress, adanya hewan
lain disekelilingnya, meningkatnya pemeliharaan, kegagalan kawin, serta kawin
dengan pejantan yang vasektomi.
3. Selama diestrus (metestrus) prolaktin meningkat lebih tinggi dari jumlah normal.
Fase luteal dimulai dengan pembentukan corpus luteum dan dapat berujung pada
kehamilan atau luteolisis.
4. Masalah dalam bahasan pseudopregnancy ialah hubungan hormonalnya. Aksi
antagonis dan sinergis dari follicle stimulating hormone (FSH), hormon
luteinizing (LH), estrone dan progesteron dalam siklus normal.
5.2 Saran
Saran dari pembuatan makalah ini ialah diharapkan pengkajian mengenai
pseudopregnancy dapat ditingkatkan lebih dalam agar dalam penerapan
pseudopregnancy dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
18
DAFTAR PUSTAKA
19
Strauss, J. F. and R. L. Barbieri. 2009. Yen & Jaffe’s Reproductive Endocrinology:
Physiology, Pathophysiology, and Clinical Management, 6th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier Inc.
Terkel, J. (1986). Neuroendocrinology of Coitally and Noncoitally Induced
Pseudopregnancy. Annals of the New York Academy of Sciences, 474(1
Reproduction), 76–94.
Weber, A.F. 1944. Pseudopregnancy in Dogs, Iowa State University Veterinarian. Vol. 7
Available at: https://lib.dr.iastate.edu/iowastate_veterinarian/vol7/iss1/6.
Zukiaturrahmah, Anna, Faradylla Dwi Puspita, Aditya Fajar. 2015. Pseudopregnancy
atau False Pregnancy. Malang: Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya .
20