Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
rahmat dan karuniaNyalah, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Manajemen
Pet Animal, pada semester II , di tahun ajaran 2013, dengan judul Studi Kasus Penyakit
Feline Infectious Peritonitis danToksoplasmosis Pada Kucing.
Dengan membuat tugas ini kami diharapkan mampu untuk lebih mengenal tentang
kasus penyakit pada kucing khususnya mengenai Feline Infectious Peritonitis dan
Toksoplasmosis yang merupakan salah satu penyakit mematikan bagi kucing yang terinfeksi,
karena kesulitan mendiagnosa danmasalah pengendalian penyakit tersebut.
Dalam penyelesaian karya ilmiah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama
disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat bimbingan
dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan cukup baik.
Karena itu, sudah sepantasnya jika kami mengucapkan terima kasih kepada:Drh. Pandu
Tribakti, selaku dosen kami yang telah memberi materi kuliah Manajemen Pet Animal.
Kami sadar, sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran,
penulisan Makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan makalah yang
lebih baik lagi di masa yang akan datang.Harapan kami, semoga Makalah yang sederhana ini,
dapat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai Kasus PenyakitFeline
Infectious Peritonitis danToksoplasmosispada Kucing.

Malang, 29 April 2013

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

BAGIAN PELENGKAP PENDAHULUAN


A. Kata Pengantar.............................................................................................................
....................................................................................................................................1
B. Daftar Isi...............
....................................................................................................................................2
BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................................
....................................................................................................................................3
B. Tujuan...........................................................................................................................
....................................................................................................................................4
C. Manfaat.........................................................................................................................
....................................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................
5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................................
..................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................
17
LAMPIRAN.............................................................................................................................
18

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kucing peliharaan atau kucing rumah adalah salah satu predator terhebat didunia.
Kucing dapat membunuh atau memakan beberapa ribu spesies, tetapi karena ukurannya yang
kecil, kucing tidak berbahaya bagi manusia. Kucing dianggap sebagai karnivora yang
sempurna dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya.
Beberapa penyakit kucing yang penting antara lain Feline Infectious Peritonitis,Feline
Rhinotracheitis, Calicivirus, Toksoplasmadan Panleukopenia (Distemper) yangmematikan
bagi kucing yang terinfeksi, karena kesulitan mendiagnosa danmasalah pengendalian penyakit
tersebut. Mengingat hal tersebut, maka sangatpenting untuk pemilik kucing melakukan
perawatan yang baik dan menyadari ada banyak penyakit kucing yang bersifat fatal, seperti
Feline Infectious Peritonitis(FIP) dan Toksoplasmosis.
Klasifikasi kucing sebagaiberikut:

Kingdom
Superphylum
Phylum
Subphylum
Infraphylum
Superclass
Class
Ordo
Subordo
Famili

: Animalia
: Deuterostomia
: Chordata
: Vertebrata
: Gnathostomata
: Tetrapoda
: Mamalia
: Carnivora
: Feliformia
: Felidae
3

Subfamili
Genus
Spesies

: Felinae
: Felis
: Felis catus

1.2 Rumusan Masalah


Atas dasar penentuan latar belakang dan identiikasi masalah diatas, maka kami dapat
mengambil perumusan masalah sebagai berikut:
-

Bagaimana perubahan patofisiologi dari kasus Feline Infectious Peritonitis (FIP) pada

kucing?
Apa yang menyebabkan penyakit Toksoplasmosis pada kucing?

1.3 Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk:
-

Mempelajari perubahan patofisiologidan penyebab patogenesis Feline Infectious

Peritonitis (FIP).
Mempelajari penyebab patogenesis Toksoplasmosis pada Kucing

BAB II
PEMBAHASAN
Feline Infectious Peritonitis pada Kucing (Felis catus)
Feline Infectious Peritonitis (FIP) adalah penyakit yang sangat serius pada kucing,
karena tidak mudah didiagnosis, sulit dikendalikan, dan hampir selalu berakibat kematian
pada kucing. Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia dan tidak hanya mempengaruhi kucing
domestik, tapi juga kucing yang liar, termasuk cougars, bobcats, lynx, singa, dan Cheetah.
Penyakit

ini disebabkan oleh Feline Coronavirus (FCoV), yaitu termasuk keluarga

coronavirus yang menimbulkan beragam gejala klinik, dari gejala yang tidak tampak sampai
bentuk infeksi progresif yang fatal.
Coronavirus adalah virus RNA ber-envelope yang memiliki genom RNA terbesar,
yang menyebabkan virus ini sangat rentan terhadap mutasi spontan selama replikasi.
FCoV terdiri dari dua serotipe yaitu tipe satu (FCoV-1) dan tipe dua (FCoV-2) yang
dibedakan dengan uji netralisasi. Prevalensi infeksi tipe satu dan dua sangat bervariasi di
setiap negara, namun virus tipe satu umumnya lebih banyak terjadi, walaupun sulit dibiakkan
secara in vitro. Sedangkan tipe dua jarang terjadi, namun mudah dibiakkan secara in vitro.
Serotipe FCoV penting dari perspektif evolusi, tetapi tidak terlalu penting dari perspektif
klinis. Dari perspektif klinis, dikenal biotipe FCoV yang tidak ada kaitannya dengan serotipe.
Biotipe FCoV yang dikenal adalah Feline

Infectious Coronavirus dan Feline Enteric

Coronavirus. Pada dasarnya biotipe Feline Enteric Coronavirus (FECV) relatif tidak
berbahaya dan biasa menyerang kucing. FECV yang bermutasi menjadi virus ganas disebut
Feline Infectious Peritonitis virus (FIPV). Bila respon kekebalan tubuh kucing kurang
baik, FECV yang bermutasi jadi FIPV ini dapat menyebabkan penyakit sistemik yang
disebut Feline Infectious Peritonitis
Selain terjadi pada kucing, FIPV juga dapat menginfeksi anjing, babi dan beberapa
spesies virus ini dapat pula menyerang manusia. Virus yang menyebabkan FIP pada
kucing, tidak dapat menyerang manusia. Feline Coronavirus termasuk dalam kelompok
coronavirus penyebab Transmisible Gastroenteritis Virus (TGEV) pada babi, Porcine
5

Respiratory Coronavirus, Canine Coronavirus (CCV), dan Human Coronavirus (HCV229E). Penularan antar spesies pernah dilaporkan pada coronavirus ini yang terkait dengan
mutasi.
Gejala Klinis FIP
Sebagian besar kucing yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala yang nyata, tetapi
sebenarnya virus tetap berkembang di dalam tubuh. Setelah kontak, virus mulai berkembang
di tenggorokan dan usus halus kucing. Kemudian pindah ke paru-paru, perut dan menyebar di
seluruh usus. Sekitar 110 hari kemudian virus sudah dapat ditularkan ke kucing lain. Selama
infeksi ini, gejala yang muncul bisa berupa bersin-bersin, mata berair, lendir hidung
yang berlebihan, diare, berat badan berkurang, lemah dan lesu. Gejala yang muncul bisa juga
non spesifik seperti hilang nafsu makan, depresi, rambut kasar dan demam.
Bentuk penyakit yang muncul sangat tergantung pada reaksi kekebalan tubuh kucing.
Kucing dengan imunitas selular relatif kuat, biasanya dapat menyingkirkan infeksi.
Kucing dengan imunitas selular yang relatif sedang, tidak dapat membunuh semua virus,
sehingga gejala penyakit bisa tidak muncul tetapi kucing dapat menjadi carrier dan dapat
menularkan virus selama beberapa tahun, hingga kekebalan tubuhnya berkurang sedikit
demi sedikit. Kucing dengan imunitas seluler relatif rendah sangat mudah terinfeksi
dari kucing lain, sifat carrier menjadi aktif, seiring dengan berkurangnya kekebalan,
penyakit

akan semakin

berkembang

hingga

timbul

gejala

sakit

dan

akhirnya

menyebabkan kematian.
Penyakit ini bermanifestasi dalam dua bentuk, yaitu tipe basah dan tipe kering. Tipe
basah menyebabkan sekitar 60-70% dari keseluruhan kasus penyakit ini dan lebih ganas dari
tipe kering. Bila kekebalan tubuh bereaksi cepat biasanya yang muncul adalah tipe kering.
Sebaliknya bila kekebalan tubuh lambat bereaksi, maka tipe yang muncul adalah tipe
basah.
Pada bentuk basah terlihat gejala klinis seperti berat badan menurun, demam,
kehilangan nafsu makan dan kecapaian atau lemas. Anemia, sehingga membrana mukosa
terlihat pucat, sembelit dan diare juga dapat terjadi akumulasi cairan di rongga perut dan
rongga dada, menyebabkan pembengkakan daerah perut (biasanya tanpa rasa sakit) disertai
kesulitan bernafas. Pada bentuk kering, cairan yang menumpuk relatif sedikit dan gejala yang
muncul tergantung organ yang terinfeksi virus. Sekitar setengah dari kasus bentuk kering,
menunjukkan gejala radang mata atau gangguan syaraf seperti lumpuh, cara berjalan yang
tidak stabil dan kejang-kejang. Gejala lainnya bisa berupa gagal ginjal atau pembengkakan
6

hati, depresi, anemia, berat badan berkurang drastis, gangguan pankreas dan sering
disertai demam, muntah, diare dan ikterus (warna kekuningan pada kulit dan selaput lendir).

Patofisiologi
Sumber cairan pada rongga abdomen dan rongga thoraks dapat bersumber dari efusi
plasma dari pembuluh darah maupun transudat peritoneum yang mengalami peradangan.
Cairan bersifat transudat pada rongga abdomen yang disebut sebagai hidrops ascites dapat
berasal dari plasma yang berefusi dari pembuluh darah terutama akibat gangguan
keseimbangan protein.
kongesti dan oedema adalah akibat dari penurunan tekanan osmotik darah dan
peningkatan tekanan hidrostatik vena. Rendahnya protein dalam darah berakibat pada dua hal
yaitu rendahnya daya ikat air serta penurunan osmolaritas darah. Hal ini berkaitan dengan
albumin sebagai komponen protein utama dalam darah yang bertanggung jawab untuk
mempertahankan tegangan osmolaritas aliran darah. Daya ikat air yang rendah dan
rendahnya tekanan osmolaritas aliran darah menyebabkan air terlepas dan merembes ke
luar pembuluh darah, kemudian menurunnya tegangan osmolaritas menyebabkan endotel
mengalami perenggangan sehingga cairan merembes ke ekstravaskular. Oedema juga terjadi
saat ada peningkatan tekanan intravena (tekanan hydrostatik) terutama akibat gagal
jantung dan obstruksi vena pada ujung ekstermitas.
FIP menyebabkan peradangan pada pembuluh darah (vaskulitis) akibat infeksi
coronavirus. FIP tipe basah adalah bentuk awal yang akut pada kucing muda yang sangat
peka terhadap infeksi coronavirus (FCoV). Virus ini menginfeksi pembuluh darah
sehingga mengalami peradangan, degenerasi sampai rusak. Rusaknya pembuluh darah
mengakibatkan terlepasnya cairan ke rongga tubuh, kemudian kerusakan pembuluh darah
diatasi oleh pembentukan jaringan fibrinous oleh trombosit yang dampak negatifnya dapat
menyebabkan thrombus hemoragi yang mengobstruksi pembuluh darah. Adanya obstruksi
pada pembuluh darah kapiler menyebabkan serum darah merembes keluar menuju rongga
tubuh seperti rongga abdomen atau rongga thoraks. Akumulasi cairan pada rongga abdomen
akan menyebakan kerusakan pada permukaan peritoneum sehingga peritoneum mengalami
peritonitis.
Vaskulitis jarang terlihat secara klinis maupun secara patologi anatomi terutama
pada kapiler. Oleh karena itu lesi dan gejala klinis yang terlihat akibat infeksi coronavirus
pada FIP hanyalah saat peritoneum mulai mengalami peradangan sehingga lebih mudah
7

disebut sebagai peradangan pada peritoneum yang bersifat infeksius pada kucing (FIP).
Peritoneum adalah organ yang sangat sensitif dan penting bila mengalami peradangan.
Peritonitis menyebabkan peritoneum melekat pada organ dan jaringan disekitarnya sehingga
dengan cepat membuat organ lain turut mengalami peradangan. Selain itu pada peritoneum
yang mengalami peradangan akan menghasilkan eksudat serous yang merembes keluar
(effusi) sebagai produk dari lapisan sel-sel serosa pelapis rongga tubuh yang mengalami
peradangan akut sehingga semakin hebat pemicu radang peritoneum maka semakin hebat pula
pula kerusakan yang dialami peritoneum sehingga eksudat yang dihasilkan terakumulasi
pada permukaan peritoneum membentuk eksudat serofibrinos.
Kongesti umum yang terjadi di organ kucing ini penyebabnya dapat merupakan
komplikasi dari berbagai pemicu. Vaskulitis akibat infeksi, kompensasi jantung paru
pada kongesti yang berlanjut, kelemahan kontraksi jantung akibat adanya tamponade
jantung, serta akibat kerusakan hati yang umum terjadi pada FIP dimana semua lesi patologi
anatomi ini dapat ditemukan pada pemeriksaan nekropsi.
Kejadian dan Penyebaran FIP
FIP terjadi paling banyak pada anak kucing. Kasus klinis biasanya terjadi selama
periode sapih, namun FIP terjadi antara umur 6 bulan dan 2 tahun. Secara umum mortalitas
FIP relatif rendah sekitar 5%. Virus FIP dapat bertahan hidup selama 2-3 minggu dengan suhu
ruangan pada permukaan kering, termasuk pada peralatan makan kucing, mainan, kotak
kotoran (litter), tempat tidur (bedding), pakaian kucing (clothing) atau rambut kucing. Dalam
waktu 24 jam sejak virus tertelan, virus akan menyebar dari tonsil ke dalam saluran cerna.
Dalam waktu 2 minggu sudah menyebar ke usus besar, kelenjar getah bening, dan hati. Dari
sana ia dapat menyebar ke organ tubuh lainnya.
Anak kucing yang dilahirkan pada lingkungan dengan infeksi FCoV nampaknya
dapat dilindungi oleh antibodi maternal. Bila kucing terinfeksi FCoV secara alami pada umur
6-8 minggu titer antibodi maternalnya akan mengalami penurunan dan titer antibodi maternal
akan meningkat kembali pada umur 8-14 minggu. Studi yang menggunakan PCR
menunjukkan bahwa anak kucing akan mengeluarkan (shedding) virus pada feses pada
umur 5-11 minggu dan pengeluaran virus ini biasanya mengarah pada serokonversi.
Kucing sehat tertular coronavirus melalui kontak langsung dengan kucing yang
terinfeksi atau kotorannya (feses). Kucing yang terinfeksi menyebarkan virus melalui liur dan
feses. Penularan terutama terjadi melalui jalur fekal-oral, selain melalui air liur atau lendir
dan saluran pernafasan. Anak kucing yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala klinis,
8

namun beberapa anak kucing dapat menunjukan gejala ringan sampai sedang seperti
muntah dan diare selama beberapa hari dan juga mengeluarkan virus dalam fesesnya. Pada
beberapa kucing shedding virus bersifat tidak teratur (intermitant) yang menunjukkan
adanya infeksi berulang. Sedangkan shedding virus pada kucing lainnya bersifat persisten,
yang menunjukkan adanya infeksi persisten di ileum, colon dan rektum. Meskipun demikian
shedding virus dalam feses tidak berhubungan dengan besarnya titer antibodi dalam serum.
Carier FCoV dalam jangka panjang

yang tidak menunjukkan gejala klinis akan

mengeluarkan virus dalam feses selama beberapa bulan, hal ini menunjukkan bahwa kucing
tersebut terinfeksi oleh galur virus dengan virulensi rendah. Studi lain menunjukkan bahwa
infeksi dengan galur virus FIP dapat mengarah pada status carrier jangka panjang.
Induk yang carrier dapat menularkan virus keanaknya. FIP biasanya ditemukan
pada anak kucing yang menggunakan litter individual dalam jangka waktu lama. Selain itu
kejadian FIP juga dipengaruhi oleh faktor stres. Beberapa faktor yang menyebabkan stres
adalah perpindahan tempat, tindakan bedah, vaksinasi dan adanya infeksi oleh virus lain
seperti Feline Leukemia dan Feline Imunodeficiency.
Infeksi FCoV terjadi melalui rute fekal-oral. Sekali kucing sudah terinfeksi biasanya
akan bersifat persisten dan mengeluarkan virus dalam fesesnya, sedangkan beberapa
kucing mengeluarkan virus hanya pada waktu tertentu. Virus bereplikasi dalam enterosit
matang di usus halus dan besar, yang menyebabkan diare dan muntah. Gejala terparah
ditunjukkan dengan adanya lesio yang parah di ileum, dengan terjadinya atrofi vili dan fusi
vili.
Infeksi Galur virus FCoV penyebab enteritis bersifat terbatas khususnya hanya pada
epitelium saluran intestinal. Galur FCoV penyebab FIP mampu menerobos barier usus dan
menimbulkan infeksi sistemik terkait replikasi di dalam makrofag. Penelitian mengunakan
RT-PCR material genom FCoV ditemukan ekstra intestinal pada kucing sehat dengan
FCoV seropositif.
Pengobatan
Berdasarkan

datayang

diterimaadalah

pengobatansimtomatikdanpaliatifsaja,
membuatkucingsenyaman

mungkin.

bahwa

tidakada

obat

untukFIP,

yaitubiasanyapemilikdisarankan
Obat

imunosupresifPrednisonataulain

untuk
yang

diresepkanoleh dokter hewandapat membantu untukmemperpanjang hidupkucingselama


beberapa

mingguatau

bulan,

meskipunrisiko

inibisa

agakdikurangidengan

antibiotik.FIPberlebihanbiasanya berkembang cepat.CoronavirusenterikFelinedalam tinjayang


9

dapatditeruskan kepadakucinglain adalahbentuk mutasidari virusyang mengarah keFIP.


Namun virus inihanya ditemukandalam makrofagdan karena itu tidak menular.
SebagaitandaFIPdapat
memilikikucing

dengan

mudah

diabaikan,

Andadiperiksaoleh

dokter

sangat

disarankanuntuk

hewankeluargaAnda

setiaptanda-

tandadistensiperut, perubahandi mata, diare kronis, kelesuanyang tidak biasaatau infeksi


saluran pernapasan. Sementara pengobatanhanya akangejala, mungkin memperpanjang umur.
PasienFIPbisa

dikurangi

dariobat

sitotoksiksepertimetotreksat

dancytoxan,

dan

darikortikosteroidsepertimethylprednisoneatauprednisolon, meskipuntidak menyembuhkan.


Obat

ini

seringmeningkatkannafsu

membuatkucingkuranglesu.

makan

Dalam beberapa

kasus,

danberat
obat

badan,

dan

dapat

sitotoksikdapatmenginduksi

remisisingkat, dan bahkankortikosteroidsendiri dapat memberikankucing3-5bulan lagikualitas


hidupyang baik. Meskipunperawatan ini, bagaimanapunprognosismasihsangat minim.

10

Toksoplasmosis pada Kucing (Felis Catus)


Agen Penyebab
Toksoplasmosis disebabkan oleh parasit Protozoa T. gondii. Parasit ini mula-mula
ditemukan oleh Nicolle dan Mancaeux pada tahun 1908, berasal dari limpa dan hati sejenis
binatang mengerat Ctenodactylus gundi di Afrika Utara. Klasifikasi T. gondii adalah: Filum
Apicomplexa, Kelas Sporozoasida, Sub kelas Coccidiasina, Ordo Eucoccidiorida, Famili,
Sarcocystidae, Genus Toxoplasma, dan T. gondii adalah satu-satunya spesies dari genus ini.
Oosista yang belum mengalami sporulasi berbentuk sferis (bulat) sampai subsferis dan
berukuran 10-12m. Takizoit berbentuk bulan sabit, berukuran 2x6 m, salah satu ujungnya
meruncing dan ujung yang lain membulat, mempunyai organela apical complex yaitu: pelikel,
cincin polar, konoid, rhoptries, mikronema, mikrotubulus subpelikuler, dan mikropore
(cytostome). Inti terletak mengarah ke ujung posterior atau di tengah sel dengan anak inti di
tengah.
Sejarah T. Gondii
Charles Nicolle dan Louis Mancaeux sewaktu penelitian Leismania pada tahun 1908,
menemukan parasit uniselular dari hewan pengerat kecil, dan memberi nama Toxoplasma
gondii. Nama tersebut berdasarkan morfologi (toxo: cekung/busur) dan binatang pertama kali
parasit ini ditemukan Ctenodactylus gondii (gundi~gondii). Istilah toxoplasma digunakan
karena bentuknya menyerupai bulan sabit atau pisang. Hampir bersamaan waktunya
Splendore juga menemukan T. gondii pada kelinci di Sao Paulo Brazil. Organisme tersebut
pada tahun-tahun berikutnya ditemukan pada berbagai spesies hewan seperti yang ditemukan
oleh Mello pada seekor anjing piaraan tahun 1910. Janku (1923), menemukan sista T. gondii
pada waktu dilakukan operasi mata seorang bayi yang menderita kebutaan, dan Wolf et al.
(1939) juga menemukan kasus toksoplasmosis pada manusia. Kejadian toksoplasmosis yang
fatal pada orang dewasa ditemukan oleh Pinkerton dan Weinmann pada tahun 1940.
Siklus Hidup T. Gondii

11

Di dalam usus kucing T. gondii berkembang biak secara seksual dan menghasilkan
oosista, kemudian oosista dikeluarkan bersama-sama dengan tinja yang dapat hidup di tanah
yang lembab dalam waktu yang cukup lama, bisa sampai 18 bulan. Hewan dan manusia
terinfeksi jika menelan oosista. Di dalam usus oosista pecah dan melepaskan 8 sporozoit,
kemudian akan berkembang secara intraseluler di dalam usus dan nodus limfatikus.
Selanjutnya terbentuk takizoit (bentuk yang membelah cepat) dan menyebar ke seluruh tubuh
melalui darah dan limfe. Takizoit dapat menginfeksi sel-sel otak, otot, jantung, dan hati serta
membentuk sista yang berisi bradizoit (bentuk yang membelah perlahan), jika inang
membentuk zat kebal terhadap T. gondii. Siklus hidup T. gondii menjadi lengkap bila sista
tersebut dimakan oleh kucing. Toxoplasma gondii di dalam usus kucing berkembang secara
seksual dan menghasilkan generasi berikutnya setelah sel gamet jantan dan betina mengalami
fertilisasi dan memproduksi oosista. Di samping perkembangan seksual, T. gondii pada
kucing juga berkembang secara aseksual. Pada hewan dan manusia sebagai inang perantara
yang terinfeksi T. gondii hanya terjadi perkembangan aseksual yang tidak memproduksi
oosista, tetapi membentuk sista jaringan. Infeksi transplasental terjadi jika induk terinfeksi
primer selama kebuntingan. Toxoplasma gondii berkembang di dalam plasenta, kemudian
menyebar ke jaringan janin. Pada individu immunocompromised bradizoit dapat dibebaskan
dari sista menjadi bentuk takizoit dan menyebabkan infeksi ulang atau reaktivasi.
Penularan T. Gondii
Toxoplasma gondii ditularkan melalui pakan/air minum yang tercemar stadium
infektif (oosista, takizoit, dan sista). Infeksi pada manusia umumnya disebabkan oleh makan
daging mentah atau kurang matang yang mengandung sista, sedangkan sayur, buah serta air
yang yang terkontaminasi oosista infektif juga dapat menjadi sumber infeksi. Kecoa dan lalat
bisa menjadi vektor mekanik yang dapat memindahkan oosista dari tanah atau lantai ke
makanan. Ternak domba, kambing, babi, ayam, sapi, dan kuda terinfeksi T. gondii karena
pakan/ air minumnya tercemar oosista dari tinja kucing. Penularan toksoplasma pada kucing
biasanya terjadi karena memangsa rodensia (hewan buruan/tikus) atau daging mentah yang
terinfeksi T. gondii. Oosista dalam tinja kucing tersebut baru infektif 1-5 hari setelah eksresi
(setelah mengalami sporulasi), dan secara potensial bersifat patogen. Oosista dikeluarkan
bersama tinja dalam waktu 1-2 minggu setelah terinfeksi. Eksresi oosista dalam jumlah besar
tidak terjadi lagi pada infeksi ulangan, karena infeksi sebelumnya dapat memicu terbentuknya
zat kebal yang dapat menghambat produksi oosista. Meskipun oosista dapat ditemukan di
rambut kucing, sifatnya tidak infeksius, karena itu infeksi langsung akibat memegang kucing
sangat jarang terjadi. Penularan juga dapat terjadi secara vertikal (toksoplasma kongenital)
12

lewat plasenta dari induk ke janin sewaktu dalam kandungan, atau diperoleh setelah lahir.
Meskipun jarang terjadi T. gondii dapat ditularkan melalui tranfusi darah atau transplantasi
organ. Pada hewan dan manusia yang menderita toksoplasmosis akut, parasit tidak hanya
terdapat pada organ-organ internal dan darah, tetapi juga terdapat dalam tinja, urine, saliva,
sekresi hidung, dan air susu sehingga infeksi dapat terjadi secara kontak, aerogenik atau
enterogenik. Hal ini terjadi pada toksoplasma bentuk takizoit yang sebenarnya tidak tahan
lama di luar tubuh inang. Toxoplasma dapat ditemukan dalam telur ayam dan dapat ditularkan
melalui susu yang tidak dimasak/pasteurisasi.
Patogenesis dan Gejala Klinis Toksoplasmosis
Pada hewan maupun manusia infeksi T. gondii stadium takizoit akan menyebar dengan
cepat ke seluruh tubuh dan terjadi multiplikasi.Toksoplasmosis pada kucing.Pada kucing
toksoplasmosis biasanya jarang menunjukkan gejala klinis meskipun kucing tersebut dapat
mengeluarkan berjuta-juta oosista. Jika muncul gejala klinis umumnya tidak spesifik,
misalnya: demam, nafsu makan hilang, dan depresi, Gejala lanjutan bisa terjadi tergantung
pada seberapa parah infeksi dan bagian tubuh yang terinfeksi. Apabila T. gondii menginfeksi
mata, akan terjadi radang mata (chorioretinitis), jika di paru-paru terjadi pneumonia, pada
jantung dapat menimbulkan aritmia, pada saluran pencernaan dapat terjadi muntah, diare,
sakit perut, ikterus (jaundice), pada sistem saraf bisa terjadi kelumpuhan dan hilangnya fungsi
saraf, serta pada otot akan memperlihatkan cara berjalan yang kaku. Pada kucing bunting,
anak kucing mungkin dilahirkan dalam keadaan mati atau sakit. Kucing muda yang terinfeksi
T. gondii dapat menunjukkan gejala: demam, tidak mau makan, bronkhopneumoni, enteritis,
ikterus, kekurusan, gangguan sistem saraf (tremor, inkoordinasi, paralisis), kadang-kadang
disertai kekeruhan mata. Toksoplasmosis fase enteroepitelial sering tanpa gejala klinis, Seperti
halnya pada manusia, penyakit ini lebih banyak menyerang hewan dengan kekebalan tubuh
yang lemah. Kucing yang menderita toksoplasmosis sebaiknya diperiksa terhadap infeksi
virus seperti FeLV, FIV, dan Feline Infectious Peritonitis (FIP) .
Diagnosis Toksoplasmosis
Akurasi diagnosis toksoplasmosis mempunyai arti penting dalam penatalaksanaan
pasien karena pengobatan memerlukan waktu lama, mahal dan kemungkinan efek toksik
pada inang.Pengobatan toksoplasmosis hasilnya sering tidak memuaskan, karena infeksi
biasanya terdeteksi pada stadium yang sudah melanjut atau ada kesalahan interpretasi
diagnosis, padahal salah satu unsur keberhasilan pengobatan toksoplasmosis terletak pada
13

seberapa dini infeksi terdeteksi.Pengobatan yang tersedia saat ini hanya efektif untuk
melawan takizoit, tetapi sulit untuk mengatasi T. gondii dalam kondisi dorman (bentuk
sista).Diagnosis toksoplasmosis baik pada manusia maupun hewan secara klinis sulit
ditegakkan karena gejalanya tidak menciri dan mirip dengan penyakit infeksi lainnya. Untuk
meyakinkan diagnosis dapat dilakukan isolasi parasit dengan cara menginokulasi jaringan
pada mencit atau hewan percobaan yang peka. Namun cara ini memerlukan waktu yang lama
dan kurang sensitif. Diagnosis yang biasa dilakukan adalah berdasarkan uji serologis untuk
mendeteksi antibodi. Ada beberapa metode yang dapat digunakan yaitu : tes warna Sabin
and Feldman, Indirect Fluorescent Antibody Test (IFAT), Enzyme Linked Immuno Sorbent
Assay (ELISA), Indirect Haemaglutination Test (IHA) . Uji warna Sabin and Feldman
sampai saat i n i masih menjadi gold standart untuk uji serologi .
Pemeriksaan tinja pada kucing merupakan salah satu metode yang mudah untuk
menentukan adanya oosista T. gondii, namun relatif tidak sensitif dan spesifik.Pelepasan
oosista dapat terjadi meskipun kucing tidak menunjukkan gejala klinis.Oosista T. gondii
secara mikroskopik sulit dibedakan dengan oosista dari coccidia lainnya, seperti Hammondia
dan Besnoitia yang juga dapat menginfeksi kucing. Sampai saat ini tidak ada uji serologis
yang akurat untuk memprediksi kapan kucing mengeluarkan oosista, karena pada saat itu
hasil uji serologis biasanya negatif. Kucing yang seropositif biasanya tidak mengeluarkan
oosista .
Pencegahan dan Pengobatan Toksoplasmosis
Dampak yang ditimbulkan toksoplasmosis baik pada hewan maupun manusia sangat
merugikan, sehingga diperlukan berbagai upaya pencegahan. Pencegahan infeksi primer pada
manusia dapat dilakukan dengan : 1) Tidak mengkonsumsi daging mentah/kurang matang,
dan menghindari agen yang terkontaminasi oosista, 2) Daging harus dimasak hingga 65C
selama 20 menit atau dibekukan minimal pada suhu -12C selama 3 hari, 3) Memakai sarung
tangan jika berkebun atau membersihkan kotoran kucing, 4) Mencuci tangan dengan sabun
setelah berkebun atau kontak dengan tanah, 5) Buah dan sayur harus dikupas dan atau dicuci
sebelum dikonsumsi, 6) Peralatan yang kontak langsung dengan daging mentah, harus dicuci
dengan air panas atau air sabun, 7) Darah yang digunakan untuk transfusi harus diskrining
terhadap T. gondii .
Oosista sebagai agen penyebab infeksi, hanya terbentuk pada inang definitif yaitu
kucing/Felidae, karena itu kucing piara sebaiknya hanya diberi makanan komersial atau
makanan matang. Kucing jangan dibiarkan memangsa hewan buruan (tikus, burung), karena
14

walaupun hanya 1 sista yang termakan, kucing dapat melepaskan berjuta-juta oosista bersaina
tinja untuk mencemari lingkungan. Kotoran kucing sebaiknya dibersihkan setiap hari agar
oosista tidak sempat mengalami sporulasi/menjadi infektif .
Pada manusia pengobatan seringkali hanya direkomendasikan bagi penderita dengan
masalah kesehatan serius, karena penyakit ini paling parah dialami pada pasien dengan sistem
imun lemah. Penderita toksoplasmosis akut dapat diobati dengan : Pyrimethamine,
Sulfadiazine, atau Clindamycin (sering digunakan pada penderita HIV/AIDS), Spiramycin
(sering digunakan pada wanita hamil untuk mencegah infeksi pada janin), Minocycline,
Azitromisin, dan Klaritromisin.Pyrimethamine dapat menekan hemopoiesis dan bersifat
teratogenik, karena itu tidak dianjurkan untuk wanita hamil. Pada pasien AIDS dengan
toksoplasmosis laten dapat diberi pengobatan Atovaquone.Dilaporkan bahwa kombinasi
Clindamycin dan Atovaquone, secara optimal dapat mematikan sista Toxoplasma pada
mencit. Pengobatan pada infeksi laten tidak selalu berhasil, dan beberapa subspesies dapat
mengalami resistensi. Obat toksoplasmosis untuk manusia umumnya dapat digunakan juga
pada hewan. Serta makanan hewan dapat ditambahkan dengan folinic acid 5 mgr/hari.

15

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Feline Infectious Peritonitis (FIP) adalah penyakit yang sangat serius padakucing,
karena tidak mudah didiagnosis, sulit dikendalikan, dan hampir selaluberakibat kematian pada
kucing. Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia dantidak hanya mempengaruhi kucing
domestik, tapi juga kucing yang liar, termasukcougars, bobcats, lynx, singa, dan Cheetah.
Penyakit inidisebabkan oleh Feline Coronavirus (FCoV), yaitu termasuk keluarga
coronavirusyang menimbulkan beragam gejala klinik, dari gejala yang tidak tampak
sampaibentuk infeksi progresif yang fatal.Sebagian besar kucing yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala yang nyata,tetapi sebenarnya virus tetap berkembang di dalam tubuh.
Setelah kontak, virusmulai berkembang di tenggorokan dan usus halus kucing. Kemudian
pindah keparu-paru, perut dan menyebar di seluruh usus. Toksoplasmosis pada kucing. Pada
kucing Toksoplasmosis biasanya jarang menunjukkan gejala klinis meskipun kucing tersebut
dapat mengeluarkan berjuta juta oosita, jika muncul gejala klinis umumnya tidak spesifik,
misalnya : demam, nafsu makan hilang dan depresi. Gejala lanjutan bisa terjadi tergantung
pada seberapa parah infeksi dan bagian tubuh yang terinfeksi. Apabila T. Gondii menginfeksi
mata akan terjadi radang mata, jika di paru paru terjadi pneumonia, pada jantung dapat
menimbulkan aritmia, pada saluran pencernaan dapat terjadi muntah, diare, sakit perut,
ikterus, pada sistem saraf bisa terjadi kelumpuhan dan kehilangan fungsi saraf serta pada otot
akan memperlihatkan cara berjalan yang kaku.

16

DAFTAR PUSTAKA

Aswar. 2009. Studi Kasus Patologi Feline Infectious Peritonitis Pada Anak Kucing (Felis
catus). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Hartati, S. 2011. Toksoplasmosis Pada Kucing Dan Implikasinya Terhadap Kesehatan
Masyarakat.Fakultas Kedokteran Hewan, Univesitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai