Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PENYAKIT INTERNAL INFEKSIUS

ENTERITIS OLEH Clostridium perfringens PADA SAPI

Disusun oleh :
2011/B

SEPTIN MAULUDIYANA 115130100111032


DINA ANISA ISNU HIDAYATI 115130100111046
NATIQ HUMAYROH 115130100111048
PUTRI LIFIANDARI 115130101111028
MOHAMMAD RIZKI RAMADHANI 115130101111045 1 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
ABDUL MUTHI 115130107111022

PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Enteritis adalah suatu proses radang usus yang berjalan akut atau kronis, akan
menyebabkan peningkatan peristaltik usus, kenaikan jumlah sekresi kelenjar
pencernaan serta penurunan proses penyerapan cairan maupun penyerapan sari-sari
makanan didalamnya. Radang usus primer maupun sekunder ditandai dengan
menurunnya nafsu makan, menurunnya kondisi tubuh, dehidrasi dan diare. Perasaan
sakit karena adanya radang usus bersifat bervariasi, tergantung pada jenis hewan yang
menderita serta derajat radang yang dideritanya. Radang usus yang terjadi bersamaan
dengan gastritis disebut sebagai gastroenteritis. Radang yang terjadi di bagian
usus tertentu di beri nama sesuai dengan bagian usus yang diderita, misalnya
radang dari kolon disebut sebagai colitis, radang pada ileum disebut sebagai
ileitis,radang rektum disebut sebagai proktitis dan sebagainya.
Kuman-kuman yang menyebabkan enteritis antara lain Eschericia coli,
Salmonella spp, Campylobacter jejunis, Clostridium perfringen. Clostridium perfingens
dalam kondisi normal ada dalam usus hewan sehat dalam jumlah sedikit dan
setelah dikeluarkan bersama kotoran dapat bertahan hidup di dalam tanah
selama beberapa bulan. Kondisi perubahan cuaca dan perubahan pola pakan secara
mendadak yang menyebabkan proses pencernaan makanan kurang sempura,
memperlambat pergerakan usus, memproduksi gula, protein dan konsentrasi
oksigen yang rendah sehingga menyebabkan lingkungan yang cocok untuk
bakteri untuk mempercepat pertumbuhan dan memproduksi toksin.
2 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
Terdapat 5 macam toksin yang dihasilkan, yaitu tipe A, B, C, D, dan
E, yang semua berpotensi untuk menimbulkan penyakit pada manusia dan hewan.
Setiap toksin menyebabkan tipe lesi yang berbeda. Toksin tipe C terutama
menyerang anak sapi neonatal, sedangkan tipe D menyerang yang umurnya
lebih tua, umumnya sapi yang baru di sapih. Penyakit yang terjadi umunya disebut
sebagai enterotoksemia atau nekrotik enteritis atau Hemoragik enterotoksemia (Tipe
C), sedangkan tipe D disebut juga sebagai Overating Disease atau Pulpy Kidney
Disease.
Enteritis diawali rasa sakit yang ditandai dengan kegelisahan. Diare merupakan
gejala yang selalu dijumpai dalam radang usus. Tinja yang cair dengan bau yang tajam
mungkin bercampur dengan darah, lendir atau reruntuhan jaringan usus. Pada radang
yang berlangsung kronik, terjadi kekurusan dan tinja jarang yang bersifat cair, berisi
darah, lendir atau reruntuhan jaringan yang jumlahnya mencolok. Kurangnya cairan
didalam usus akan dijumpai radang usus yang disertai dengan konstipasi, dan tinja
bersifat kering. Radang usus akut selalu disertai dengan oligo uria atau anuria, dan
disertai dengan menurunnya nafsu makan, anoreksia total maupun parsial. Pada radang
kronik biasanya nafsu makan tidak mengalami perubahan

Akibat kehilangan cairan yang berlebihan, penderita akan mengalami penurunan


berat badan dalam waktu singkat dengan tanda dehidrasi yang mencolok. Dehidrasi yang
mencapai lebuih dari 10% dapat mengancam kehidupan penderita dalam waktu 1-2 hari
dan dapat mengakibatkan kematian karena shock.

Pemeriksaan tinja sangat penting dilakukan untuk menentukan penyebab radang


usus dan diare. Perlu diketahui bahwa isolasi virus, kuman, atau parasit, belum pasti
meyakinkan bahwa agen-agen tersebut merupakan penyebab primer radang usus.
Pemeriksaan darah penderita enteritis akut biasaya menunjukkan adanya
hemokonsentrasi karena dehidrasi. Perubahan atas jaringan tubuh lainnya tidak
ditemukan kecuali tanda adanya dehidrasi dan terganggunya peredaran darah.Diagnosa
tentatif diambil bila tidak ditemukan penyakit tersifat penyebab diare. Pemeriksaan
laboratorium sangat diperlukan untuk menentukan penyebab radang usus.

Pengobatan ditujukan untuk mengatasi penyebab primer penyakit enteritis, perlu


3 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
dipertimbangkan pemberian protektiva, adstrigensia. Rasa sakit yang terus menerus
dapat dikurangi dengan pemberian analgesika, atau tranquilizer. Pemberian cairan faali
maupun elektolit mutlak diberikan untuk mengganti cairan yang hilang. Pemberian
antibiotik dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan enteritis ?
1.2.2 Apa yang menyebabkan enteritis ?
1.2.3 Bagaimana morfologi dari Clostridium Perfringens ?
1.2.4 Bagaimana patogenesa dari enteritis ?
1.2.5 Bagaimana gejala klinis dan perubahan patologis dari enterits yang disebabkan
oleh Clostridium Perfringens ?
1.2.6 Bagaimana diagnosa dari enteritis ?
1.2.7 Bagaimana pengobatan dan pencegahan dari enterits yang disebabkan oleh
Clostridium Perfringens ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui pengertian dari Enteritis
1.3.2 Mengetahui penyebab enteritis
1.3.3 Menegetahui morfologi Clostridium Perfringens
1.3.4 Mengetahui patogenesa dari enteritis
1.3.5 Mengetahui gejala klinis dan perubahan patologis dari enterits yang disebabkan
oleh Clostridium Perfringens
1.3.6 Mengetahui diagnosa dari enteritis
1.3.7 Menegtahui pengobatan dan pencegahan dari enterits yang disebabkan oleh
Clostridium Perfringens

1. 4 Manfaat
Dapat mengetahui penyakit enteritis beserta gejala klinisnya. Diharapkan dapat
mencegahnya penyakit tersebut.

4 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian enteritis


Enteritis adalah proses keradangan usus yang dapat berlangsung akut maupun
kronis, yang akan mengakibatkan kenaikan peristaltik usus, kenaikan jumlah sekresi
kelenjar pencernaan serta penurunan penyerapan atau absorpsi dari lumen usus, baik itu
cairan ataupun sari-sari makanan yangterlarut di dalamnya. Enteritis primer maupun
sekunder ditandai dengan penurunan nafsu makan, menurunnya kondisi tubuh,
dehidrasi dan diare. Perasaaan sakit akibat dari radang usus atau enteritis bervariasi
jenisnya, tergantung pada jenis hewan yang menderita serta derajat radang yang
dideritanya. Radang usus yang terjadi bersamaan dengan gastritis disebut sebagai
gastroenteritis (Subronto, 2007).
Kondisi ini mengakibatkan gerakan mukosal intestinal mengalami perpindahan
cairan dan elektrolit secara cepat dari darah ke lumen usus sehingga terjadi dehidrasi
dan shock hipovolemik secara cepat. Kerusakan mukosa usus dan shock septik atau
shock endotoksik diakibatkan terjadinya translokasi dari bakteri atau toksin bakteri.
Natrium dan Kalium hilang bersama dengan hilangnya cairan tubuh akibat terjadinya
dehidrasi. Radang yang terjadi di bagian usus tertentu di beri nama sesuai dengan
bagian usus yangdiderita, misalnya radang dari kolon disebut sebagai colitis, radang
pada ileum disebut sebagai ileitis, radang rektum disebut sebagai proktitis dan
sebagainya.

2.2 Tipe enteritis


Bacterial gastroenteritis 5 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
Bacterial gastroenteritis adalah peradangan pada lambung dan usus yang
disebabkan oleh bakteri. Bakteri-bakteri yang terkontaminasi pada makanan atau
minuman dan kontak langsung dengan individu yang mengandung bakteri ini juga
mempercepat jalanya penularan. Gejala tergantung pada jenis bakteri yang
menyebabkan penyakit tersebut. Semua jenis keracunan makanan menyebabkan
diare. Gejala lain termasuk, kram perut, nyeri perut, tinja berdarah, Kehilangan
nafsu makan, Mual dan muntah.
Campylobacter enteritis
Campylobacter enteritis adalah infeksi usus kecil dengan bakteri
Campylobacter jejuni. Campylobacter enteritis merupakan penyebab umum dari
infeksi usus. Bakteri ini juga salah satu dari banyak penyebab diare atau keracunan.
Selain itu media penularan dapar melalui media makan atau minuman yang telah
terkontaminasi. Infeksi ini juga dapat menular secara kontak langsung dengan
individu yang telah terkontaminasi bakteri ini. Gejala mulai tampak 2 - 4 hari
setelah terkontaminasi bakteri.
E. coli enteritis
E. coli enteritis adalah infeksi usus kecil dengan bakteri E. coli. Meskipun
bakteri ini merupakan flora normal di dalam saluran pencernaan, akan tetapi ketika
tubuh host mengalami penurunan atau jumlah dari bakteri ini melebihi nilai normal
bakteri ini juga akan menyebabkan gangguan.
Radiation enteritis
Radiation enteritis adalah kerusakan pada lapisan usus disebabkan oleh
terapi radiasi, atau pengobatan jenis kanker. Terapi radiasi yang menggunakan
tenaga tinggi sinar-x, partikel, atau biji radioaktif untuk membunuh sel kanker.
Seiring dengan sel-sel kanker, terapi radiasi juga dapat merusak sel-sel yang
membentuk lapisan usus. Siapapun yang menerima terapi radiasi ke daerah perut
atau panggul beresiko. Hal ini mungkin termasuk pasien terapu pada serviks,
pankreas, prostat, rahim, atau kanker usus besar dan rektum.
Food poisoning
Keracunan makanan yang terjadi ketika Anda menelan makanan atau air
yang mengandung bakteri, parasit, virus, atau racun yang dibuat oleh kuman ini. 6 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
Sebagian besar kasus keracunan makanan dari bakteri umum seperti Staphylococcus
atau E. coli. Keracunan makanan yang dapat mempengaruhi individu atau
sekelompok yang semua makan makanan yang terkontaminasi yang sama. Hal ini
biasanya disebabkan oleh menejemen pakan yang kurang baik. Agen infeksi bisa
masuk ke dalam makanan yang Anda makan (disebut kontaminasi) dengan cara
yang berbeda. Gejala dari jenis yang paling umum dari keracunan makanan
biasanya dimulai dalam waktu 2-6 jam makan makanan. Waktu itu dapat lebih lama
atau lebih pendek , tergantung pada penyebab keracunan makanan.
Salmonella enteritis
Salmonella enterocolitis adalah infeksi pada lapisan usus kecil yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella. Infeksi Salmonella merupakan salah satu jenis
yang paling umum dari keracunan makanan. Hal ini dapat terjadi ketika hewan
menelan makanan atau air yang mengandung bakteri salmonella. Bakteri salmonella
dapat masuk ke dalam makanan yang Anda makan (disebut kontaminasi) dalam
beberapa cara. Waktu antara infeksi hingga menimbulkan gejala klinis berkisa
antara 8 - 48 jam.
Shigella enteritis
Shigellosis adalah infeksi bakteri akut pada salaput usus. Biasanya
disebabkan oleh sekelompok bakteri yang disebut Shigella. Ada beberapa jenis
Shigella, seperti Shigella sonnei, juga disebut "kelompok D" Shigella, bertanggung
jawab untuk kebanyakan kasus Shigellosis di Amerika Serikat. Shigella flexneri,
atau "kelompok B" Shigella, penyebab hampir semua kasus lain. Shigella
dysenteriae tipe 1 jarang di AS tapi dapat menyebabkan wabah mematikan di
negara berkembang. Bakteri ini biasanya dapat menyebar dari individu yang
terinfeksi kemudian mencemari air atau makanan, atau langsung kepada individu
lain. Meskipun jumlah bakteri yang terkontaminasi hanya sedikit bakteri Shigella ke
dalam mulut sudah cukup untuk menimbulkan gejala. Gejala biasanya dapat muncul
sekitar 1 sampai 7 hari ( rata-rata 3 hari ) setelah hewan telah terinferksi kontak
dengan bakteri .
Staphilococcus aureus food poisoning
Merupakan salah satu jenis enteritis yang disebabkan oleh adanya
kontaminasi pada produk makanan oleh salah satu bakteri yaitu Staphilococcus 7 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
aureus. Bakteri ini mampu menghasilkan suatu toksin pada metabolismenya
sehingga individu yang terkena oleh zat toksik ini akan menyebabkan adanya
gangguan.

2.3 Clostridium perfringens

Klasifikasi dari bakteri Clostridium perfringens :


Kingdom : Bacteria
Phylum : Firmicutes
Class : Clostridia
Order : Clostridiales
Family : Clostridiaceae
Genus : Clostridium
Spesies : C. perfringens

Morfologi
Bakteri ini memiliki bentuk batang gemuk garam positif, berbentuk lurus,
sisinya sejajar, ujung-ujungnya membulat/bercabang & berukuran 4 6 x 1 ,
sendiri-sendiri / tersusun bentuk rantai. Bersifat pleomorfik, sering tampak bentuk-
bentuk involusi dan & filament. Bersimpai dan tidak bergerak. Sporanya
sentral/subterminal.
Clostridium perfringens secara luas dapat ditemukan dalam tanah dan
merupakan flora normal dari saluran usus manusia dan hewan-hewan tertentu.
Ketahanan spora bakteri ini terhadap panas bervariasi di antara strain. Secara garis
besar spora dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu spora yang tahan panas (90C
selama 15 sampai 145 menit) dan spora yang tidak tahan panas (90C, 3 sampai 5
menit). Spora yang tahan panas secara umum membutuhkan heat shock 75-100C
selama 5 sampai 20 menit untuk proses germinasi (perubahan spora menjadi bentuk
sel vegetatif).
Clostridium menghasilkan sejumlah besar toksin dan enzim yang
mengakibatkan penyebaran infeksi. Clostridium perfringens dibagi menjadi 6 tipe
(A, B, D, E, & F) Toksinnya bersifat antigenik, membuat lebih dari 12 toksin yang
berbeda-beda, 4 jenis toksin utamanya adalah alfa, beta, epsilon & fota. Toksin alfa
Clostridium perfringens tipe A adalah suatu lesitinase, dan sifat letalnya sebanding
dengan laju pemecahan lesitin menjadi fosforilkolin dan digliserida. Toksin teta 8 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
mempunyai efek hemolitik dan nekrotik yang serupa tetapi bukan suatu lesitinase.
DNase dan hialuronidase, suatu kolagenase yang mencernakan kolagen jaringan
subkutan dan otot, dihasilkan juga.
Clostridium perfringens secara normal ditemukan pada usus sapi dewasa dan
dapat bertahan hidup cukup lama di tanah. Kondisi perubahan program pakan yang
secara mendadak yang dimakan berlebih dapat mengakibatkan proses pencernaan
makanan yang kurang sempurna, memperlambat pergerakan usus, menproduksi
gula, protein dan konsentrasi oksigen yang rendah yang berujung pada lingkungan
yang cocok untuk mempercepat pertumbuhan bakteri Clostridium. Kondisi basah
dan lembab juga terlihat diinginkan oleh bakteri ini. Beberapa strain Clostridium
menyebabkan penyakit ringan sampai sedang yang membaik tanpa pengobatan.
Strain yang lainnya menyebabkan gastroenteritis berat, yang sering berakibat fatal.
Beberapa racun tidak dapat dirusak oleh perebusan, sedangkan yang lainnya dapat.
Daging yang tercemar biasanya merupakan penyebab terjadinya keracunan
makanan karena Clostridium perfringens.

9 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi


BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Etiologi Enteritis

Enteritis dapat disebabkan oleh berbagai agen etiologis, baik yang berupa secara
terpisah atau bersama-sama. Dibawah ini dijelaskan beberapa agen infeksi bagi
enteritis, diantaranya adalah :

A. Radang oleh virus


Pada sapi-sapi di Indonesia penyakit ingusan merupakan contoh klinik dari
enteritis yang disebabkan oleh virus. Virus lain yang telah dikenal sebagai
penyebab radang usus di luar negeri meliputi rinderpest, BVD, blue tounge, reo-
virus, corona virus dan parvo virus (Subronto, 2007).
Rotavirus dan Coronavirus merupakan penyebab diare yang paling umum
dijumpai. Menurut (Mason dan Caldoe, 2005) agen paling umum penyebab diare di
Skotlandia tahun 2003 dari neonatal enteritis 33% disebabkan oleh Rotavirus, 20%
oleh Coronavirus dan sisanya adalah agen penyebab lain.
B. Radang oleh Bakteri
Bakteri-bakteri E.Coli, Salmonella spp, Mycobacterium paratubercolasis
diketahui paling sering menyebabkan radang usus pada berbagai jenis ternak. Oleh
karena gangguan keseimbangan biologik di dalam usus, misalnya oleh pemberian
antibiotika berlebihan, bakteri dan jamur yang hidup secara saprofitik akan
berkembang baik hingga mampu meghasilkan infeksi. Jasad renik yang biasanya
hidup di dalam usus antara lain Proteus sp, Pseudomonas sp, Staphylococcus sp,
10 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
Aspergillus sp, serta Candida albicans.
Clostridium perfingens dalam kondisi normal ada dalam usus hewan sehat
dalam jumlah sedikit dan setelah dikeluarkan bersama kotoran dapat bertahan
hidup didalam tanah selama beberapa bulan. Kondisi perubahan cuaca dan
perubahan pola pakan secara mendadak yang menyebabkan proses pencernaan
makanan kurang sempurna, memperlambat pergerakan usus, memproduksi gula,
protein, dan konsentrasi oksigen yang rendah sehingga menyebabkan lingkungan
yang cocok untuk bakteri mempercepat pertumbuhan dan memproduksi toksin.
Terdapat 5 macam toksin yang dihasilkan, yaitu tipe A, B, C, D, dan E, yang
semuanya berpotensi untuk menimbulkan penyakit pada manusia ataupun hewan
(Chotiah, 2008).
Setiap toksin menyebabkan tipe lesi yang berbeda. Toksin tipe C terutama
menyerang anak sapi neonatal, sedangkan tipe D menyerang yang umurnya lebih
tua, umumnya sapi yang baru disapih. Penyakit yang terjadi umumnya disebut
enterotoksemia atau nekrotik enteritis atau hemoragik enterotoksemia (Tipe C),
sedangkan tipe D disebut sebagai overating disease atau pulpy kidney disease
(Chotiah, 2008).
C. Radang oleh protozoa
Cryptosporidium banyak ditemukan hamper di semua kelompok sapi bahkan
pada letupan neonatal enteritis dengan gejala diare di Skotlandia pada tahun 2003
paling tinggi disebabkan olehnya (35%), sedangkan pada Coccidia sp hanya 3%.
Protozoa ini memiliki ukuran jauh lebih kecil daripada Coccidia dan memiliki
kemampuan untuk melekat pada sel lapisan usus halus dan merusak mikrovili,
akibatnya akan menghambat proses pencernaan. Diare yang disebabkan oleh agen
protozoa ini biasanya terjadi pada pedet umur 7 sampai 21 hari.
D. Radang oleh cacing
Cacing-cacing usus yang termasuk dalam family Stringylidae, Oesophagum
sp, Cooperia sp, dan Nematodirus sp dalam jumlah yang cukup banyak akan
menyebabkan kerusakan selaput lendir usus. Cacing lambung Paramphistomum sp
di Negara yang beriklim sedang sering menyebabkan enteritis bila infestasinya
cukup berat.
E. Radang oleh keracunan
Keracunan oleh unsur-unsur anorganik jarang ditemukan di Indonesia. Di
11 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
Negara-negara industry, keracuna ternak oleh unsur-unsur anorganik seperti timah
hitam (Pb), warangan (As), tembaga (Cu), dan molybden (Mo) sering dilaporkan
kejadiannya. Selain itu keracunan dapat juga disebabkan oleh tanaman beracun.

3.2 Patogenesa Enteritis

Pada kasus dengan agen infeksi Clostridium perfingens perubahan komposisi


pakan merupakan hal yang perlu mendapat perhatian. Ada tambahan pakan yang
merupakan tripsin inhibitor. Inhibitor ini umumnya tidak tahan terhadap panas, tetapi
dapat bertahan pada penyimpanan suhu rendah. Ketika protein yang ada dalam pakan
cukup rendah, akan terjadi penurunan produksi trypsin dalam rumen hewan dan
mungkin sama sekali menghentikan produksi chymotrypsin. Akibatnya, bahan pakan
yang mengandung trypsin inhibitor tersebut akan menginduksi terjadinya
enterotoksemia, yang disebabkan tidak adanya trypsin yang biasanya dapat merusak
toksin Clostridium perfingens. Pada tahap berikutnya, terjadi penyerapan toksin
Clostridium perfingens melalui dinding usus dan penyebaran toksin ke seluruh tubuh
hewan, yang berakhir dengan toksemia fatal (Worral dkk, 1987).

Radang usus yang disertai dengan perdarahan menghasilkan tinja yang


bercampur darah atau melena. Radang usus nekrotik menghasilkan feses yang berbau
tajam karena dekomposisi reruntuhan sel mukosa usus. Pada radang kataral feses tidak
terbentuk, bercampur lender dan terdiri dari makanan yang tidak tercerna secara
sempurna. Pada enteritis yang bersifat kronis dapat terjadi berulang-ulang dan
berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan, sehingga kondisi tubuh menurun
secara bertahap.

3.3 Gejala klinis

Gejala spesifik pada sapi perah dewasa adalah secara tiba-tiba hewan
menjauhi makanan, tidak ada nafsu makan sama sekali. Susu yang dihasilkan sedikit
atau tidak ada susu sama sekali. Hewan merasa sakit di bagian abdomennya dan terlihat
adanya gejala kembung. Adanya perdarahan pada usus menyebabkan kotoran yang
keluar sangat sedikit dan terkadang berdarah.

Pada anak sapi, Clostridium perfingens tipe A, biasanya menyebabkan gejala


kembung. Nafsu makan juga tidak ada dan kematian dapat cepat terjadi karena ulcer
dalam abdomen, peradangan, dan penimbunan gas. Clostridium perfingens tipe C
12 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
menyebabkan necrotic enteritis pada sapi yang baru lahir. Gejala yang dapat dilihat
pada pedet tersebut diantaranya adalah lemah, kembung, dan depresi. Clostridium
perfringens tipe E juga dapat menyebabkan enteritis pada anak sapi (Chotiah, 2008).

Rasa sakit pada sapi ditandai dengan adanya kegelisahan. Pada kuda, sering di
tandai dengan adanya gejala kolik. Diare merupakan gejala yang selalu dijumpai dalam
radang usus. Feses yang cair dengan bau yang tajam mungkin bercampur darah dan
lender atau reruntuhan mukosa usus. Pada enteritis yang bersifat kronis, kecuali
menderita kekurusan, feses jarang bersifat cair, berisi darah dan lender, serta reruntuhan
mukosa yang mencolok. Oleh karena kurangnya caitan didalam usus maka mungkin
terjadi di jumpai radang usus yang disertai gejala konstipasi (Subronto, 2007).

Enteritis akut selalu disertai dengan oligura dan anuria, serta dengan turunnya
nafsu makan. Namun pada radang yang bersifat kronik, nafsu makan umumnya tidak
mengalami penurunan (Subronto. 2007). Oleh karenanya adanya gangguan vasa darah
local dalam usus, maka biasanya dijumpai vasa injeksi pembuluh darah balik
konjungtiva. Pulsus dapat mengalami sedikit kenaikan atau dalam batas-batas normal.
Auskultasi pada dinding perut akan menghasilkan suara pindahnya isi usus, cairan, dan
gas yang dikenal dengan borborigmus (terjadi karena peningkatan peristaltic usus).
Akibat pengeluaran cairan yang berlebihan, maka penderita akan mengalami tanda
dehidrasi yang mencolok.

3.4 Perubahan Patologis

Dalam kasus enterotoksemia, kondisi hewan yang mengalami perubahan adalah


pada saluran usus dan organ-organ parenkim. Pada pemeriksaan patologis menunjukkan
perubahan mencolok seperti pada usus kecil ditemukan enteritis hemoragika yang
parah. Pada abomasum, omasum, reticulum, usus besar, rektum, dan sekum juga
terdapat mukosa hiperemis. Mukosa saluran pernafasan sianosis, pulmo mengalami
oedema, berisi cairan serofibrinous. Jantung membesar, terkadang ditemukan
perdarahan titik (petichae) pada epikardial dan endokardial. Dan daerah ventral perut
umumnya hiperemis (Priadi dkk, 2008).

Pada pemeriksaan histopatologis, terlihat adanya pembendungan pada pulmo.


Adanya infiltrasi limfosit pada usus halus dan pada mukosa usus dapat ditemukan
13 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
adanya bakteri berbentuk bacillus dan bersifat gram positif. Terlihat juga adanya
pembengkakan lapisan rumen dan abomasum, disertai ulserasi dan hemoragis. Pada
usus besar terlihat adanya nekrosis fokal dari lapisan otot halus dengan adanya infiltrasi
limfosit, neutrophil dan makrofag. Selain itu, ada degenerasi otot dengan vakuolisasi
dan nekrosis. Hati menunjukkan adanya nekrosis degenerative dan vakuolisasi dari
hepatosit. Limpa menunjukkan hemosiderosis berat. Limfoglandula menunjukkan
adanya hipertrofi dan peningkatan jumlah sel reticuloendotelial. Ginjal menunjukkan
adanya degenerasi parenkim dari tubulus renali (Worral dkk, 1987). Pemeriksaan darah
penderita enteritis akut biasanya menunjukkan adanya hemokonsentrasi karena
dehidrasi. Pemeriksaan patologi anatomis ini bervariasi tergantung pada penyebab
ataupun faktor lainnya. Perubahan-perubahan tersebut mungkin hanya terlihat radang
ringan pada mukosa ataupun sampai radang nekrotik, yang mencapai lapisan
submukosa. Kelenjar-kelenjar limfe disekitar usus yang mengalami keradangan
biasanya juga membengkak oedomatous (Subronto, 2007). Dinding usus pada radang
usus, terutama pada radang yang kronik, akan mengalami penebalan. Gambaran radang
yang tersifat mungkin ditemukan sesuai dengan sifat khas penyakit primernya
(Subronto, 2007).

3.5 Patofisiologi

Diare terjadi bila absorbsi menurun atau sekresi meningkat atau kombinasi
keduanya. Patofisiologi penyakit Enteritis ini adalah :

A. Diare osmotik

Di dalam lumen bahan makanan tidak terabsorbsi dengan baik. Hal ini bisa terjadi
karena mengingesti bahan yang sulit terabsorbsi (serat), malasimilasi bahan
makanan, kegagalan transpot bahan non elektrolit (glukosa). Bahan-bahan tersebut
biasanya mudah menyerap air juga menyebabkan air dari plasma masuk ke dalam
lumen intestinal, sehingga menambah jumlah air di dalam lumen. Diare osmotik ini
akan berhenti bila hewan dipuasakan. Hampir semua hewan yang mengalami diare
osmotik mengalami penyakit kronis.

B. Diare sekretoris

Cairan dan elektrolit disekresi oleh sel sekretoris. Bahan yang disekresi berupa
enterotoksin, hormon gastrointestinal, prostaglandin, stimulasi parasimpatis,
14 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
serotonin asam empedu, asam lemak hidroksilat, laksatif. Diare sekretoris murni
tidak berhenti bila hewan dipuasakan.

C. Peningkatan permiabilitas

Perubahan pada area permukaan atau abnormalitas spesifik sel-sel membrane


mukosa menyebabkan peningkatan porus-porus pada epitel junction, yang mana
meningkatkan aliran sekresi. Meningkatnya ukuran porus juga dapat disebabkan
oleh mediator kimia tertentu atau proses inflamasi.

D. Gangguan motilitas
Gangguan motilitas disebabkan oleh peningkatan peristaltis atau menurunnya
segmentasi

3.6 Diagnosa Enteritis

Diagnosa dilakukan berdasarkan pada hasil pengamatan gejala klinis, perubahan


patologis dan konfirmasi hasil isolasi dan identifikasi bekteri ataupun agen infeksi
penyebab lainnya yang dapat ditemukan dalam isi usus ataupun cairan tubuh hewan
yang mati. Diagnosa penyakit umumnya didasarkan atas penemuan toksin penyebab
penyakit serta isolasi agen penyakit. Hal ini umumnya masih dirasakan bagi
laboratorium penyakit hewan di Indonesia, selain itu sampel yang diambil harus segar
dan kurang dari 18 jam dari kematian hewan. Pada kasus dengan agen infeksi
Clostridium perfringens suspensi sampel mukosa di inokulasi kedalam Robertsons
cooked meat medium (RCMM). Suspensi juga ditanam pada blood agar dan diinkubasi
dalam anaerobic jar. Identifikasi Clostridium perfringens secara cepat dapat dapat
dilakukan dengan teknik Flourescent Antibody Technique (FAT). Sampel di periksa di
bawah mikroskop fluorescent dan dapat dilihat bakteri berbentuk batang dan berwarna
hijau. Adanya toksin dari Clostridium perfringens dapat diuji dengan menggunakan
mouse protection test. Mencit dapat dilindungi dari kematian dengan memberikan
antitoksin yang spesifik. Dari uji ini dapat diketahui juga tipe dari Clostridium
perfringens yang menyebabkan kematian (Priadi dkk, 2008).

Identifikasi dari penyebab diare sangat diperlukan untuk menentukan


pengobatan, pencegahan dan strategi pengawasan. Diagnosa uji perlu dilkaukan selama
itu diperlukan untuk keperluan penanggulangan. Pengobatan dan vaksinasi sangat
bervariasi tergantung dari agen pathogen penyebab. Oleh karena itu sangat perlu 15 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
dilakukan pengambilan sebanyak kurang lebih15 gram dari setiap ekor hewan yang
mengalami gejala diare, minimal apabila terdapat 6 ekor sapi haruslah diambil sampel
dari 3 ekor (Chotiah, 2008).

Dalam pemeriksaan darah sindroma ini umumnya hemokensentrasi dengan Pack


Cell Volume (PCV) lebih dari 60%, terkadang sampai 75%. Sindroma ini juga
mengalami stress leukogram. Pada saat cek feses dengan ELISA untuk parvovirus
hasilnya negatif, fecal cytology akan menunjukkan banyak sel darah merah dan
mungkin spora dari Clostridium perfringens. Pada hasil Rontgen akan memperlihatkan
cairan dan gas mengisi usus halus dan usus besar. Diferensial diagnosa dari enteritis
adalah parvovirus, salmonellosis, obstruksi atau intussuception intestinal,
hypoadrenocorticm, pankreatitis, coagulopathy. Prognosa pada kasus ini baik (fausta)
dan banyak pasien yang sembuh tanpa mengalami komplikasi. Kematian secara tiba-
tiba tidak umum terjadi namun pernah dilaporkan. Diagnosa berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium (darah dan tinja) digunakan untuk
mengidentifikasi penyebab radang usus. Diagnosa tentatif diambil bila tidak ditemukan
penyakit tersifat penyebab diare (Nelson, R.W. dan Couto, C.G., 2003).

Pemeriksaan tinja sangat penting dilakukan untuk menentukan penyebab radang


usus dan diare. Perlu diketahui bahwa isolasi virus, kuman, atau parasit, belum pasti
meyakinkan bahwa agen-agen tersebut merupakan penyebab primer radang usus.
Pemeriksaan darah penderita enteritis akut biasaya menunjukkan adanya
hemokonsentrasi karena dehidrasi. Perubahan atas jaringan tubuh lainnya tidak
ditemukan kecuali tanda adanya dehidrasi dan terganggunya peredaran darah. Diagnosa
tentatif diambil bila tidak ditemukan penyakit tersifat penyebab diare. Pemeriksaan
laboratorium sangat diperlukan untuk menentukan penyebab radang usus.

Pada kondisi ringan, pemeriksaan feses terhadap infestasi parasit, periksa


antigen parvovirus. Pada kondisi sedang dan berat, periksa feses, CBC (hemogram),
elektrolit dan biokimia. Bila ditemukan azotemia, jumlah leukosit meningkat, aktifitas
enzim hepat meningkat diduga tidak hanya berkaitan dengan masalah saluran
gastrointestinal. Biasanya terjadi gangguan elektrolit dan dehidrasi.

3.7 Terapi dan Pengobatan


Pengobatan terutama ditujukan untuk mengatasi penyebab primernya. Terapi
yang dilakukan adalah terapi suportif dengan pemberian protektiva (kaolin, pectin), 16 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
adstringensia (sediaan-sediaan tannin, tanalbumin), spasmolytica (atropine sulfat,
glycopyrrolate), antiseptika (enterovioform), atau kombinasi-kombinasinya. Rasa sakit
yang terus menerus kadang perlu dikurangi dengan pemberian analgesika (aspirin,
dipyron) atau kadang juga diberikan tranquilizer (chlorpromazine). Pemberian sediaan
yang bersifat asam hendaknya dilakukan dengan hati-hati, karena diare sendiri dapat
menyebabkan derajat keasaman isi usus menurun. Mutlak diperhatikan penggantian
cairan yang hilang dengan cairan faali maupun elektrolit (Subronto, 1985).
Untuk pengobatan dengan antibiotika, perlu diperhatikan bahwa pemberiannya
secara per oral memiliki konsekuensi yang luas. Antibiotika tersebut bisa saja
merangsang terjadinya enteritis lebih luas apabila diberikan dalam keadaan perut
kosong. Juga karena penyerapan oleh usus sedang terganggu, pemberian antibiotik
secara oral tidak menjamin kadar obat di dalam darah berada pada dosis terapi.
Akibatnya, bakteri-bakteri penyebabnya yang berada di dalam usus menjadi resisten,
dan bias menimbulkan kematian pada bakteri-bakteri lain yang berguna di dalam proses
pencernaannya. Lalu perlu dipertimbangkan tentang residu antibiotik ada karkas,
sehingga perlu diperhatikan waktu bebas obat (withdrawl time) untuk masing-masing
antibiotika yang diberikan dengan tujuan melindungi konsumen, pertimbangan
ekonomi, dan pertimbangan hokum (Subronto, 1985).
Pada dasarnya, pengobatan untuk infeksi dan intoksikasi yang disebabkan oleh
Clostridium perfringens seperti pemberian antibiotika atau kemoterapetika, kurang
memberikan hasil yang berarti atau tidak efektif. Dalam banyak kasus, periode
berlangsungnya penyakit dapat demikian singkat, sehingga pengobatan tidak sempat
untuk dilakukan. Pengobatan yang efektif tentunya dengan pemberian antitoksin
spesifik sesuai dengan tipe Clostridium perfringens penyebab penyakit. Tetapi,
pemberian antitoksin dalam jumlah besar tentunya sangat mahal dan tidak efisien untuk
dilakukan. Karena kerugian ekonomi yang besar akibat kematian sapi yang disebabkan
oleh enterotoksemia, maka perlu dilakukan usaha pencegahan (Priadi et al, 2007).
3.8 Pencegahan
Untuk pencegahan terhadap kasus enteritis pada sapi, terutama pada sapi perah
adalah dengan vaksinasi. Vaksinasi pertama harus diulang dengan selang waktu 4
minggu. Sapi perah dalam masa kering kandang adalah saat yang tepat untuk
melakukan vaksinasi. Pemberian kolostrum pada anak sapi yang baru dilahirkan juga
sangat berguna untuk pencegahan enterotoksemia pada anak sapi. Vaksinasi pada sapi
17 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
dara berumur 4 sampai 6 bulan dengan vaksin clostridium yang multivalent dan
dibooster 1 bulan kemudian merupakan awal pencegahan penyakit. Vaksinasi ulangan
sebaiknya diberikan setiap tahun sesudahnya. Sedangkan untuk pencegahan penyakit
secara keseluruhan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Perlakukan pemberian pakan dengan komposisi bahan pakan yang konsisten
dan lakukan adaptasi sebelum dilakukan perubahan pakan.
2. Lakukan vaksinasi secara teratur.
3. Untuk pemberian silase, perhatikan ukuran panjang rumput, lama
penyimpanan dan fermentasi.
4. Hindarkan terjadinya acidosis rumen.
5. Berikan kolostrum dan sediakan air minum yang cukup (terutama pada anak
sapi).
6. Kendalikan sumber infeksi saluran pencernaan lainnya (Priadi et al, 2007).

18 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Enteritis adalah proses keradangan usus yang dapat berlangsung akut maupun
kronis, yang akan mengakibatkan kenaikan peristaltik usus. Penyebab enteritis
bermacam-macam antara lain radang karena Virus, Bakteri, Protozoa, Cacing dan
Keracunan oleh unsur-unsur anorganik. Pada kasus dengan agen infeksi Clostridium
perfingens perubahan komposisi pakan merupakan hal yang perlu mendapat perhatian
karena adanya tambahan pakan yang merupakan tripsin inhibitor. Gejala spesifik pada
sapi perah dewasa adalah secara tiba-tiba hewan menjauhi makanan, tidak ada nafsu
makan sama sekali. Susu yang dihasilkan sedikit atau tidak ada susu sama seklali.
Hewan merasa sakit di bagian abdomennya dan terlihat adanya gejala kembung.
Adanya perdarahan pada usus menyebabkan kotoran yang keluar sangat sedikit dan
terkadang berdarah. Pengobatan terutama ditujukan untuk mengatasi penyebab
primernya. Terapi yang dilakukan adalah terapi suportif dengan pemberian protektiva
(kaolin, pectin), adstringensia (sediaan-sediaan tannin, tanalbumin), spasmolytica
(atropine sulfat, glycopyrrolate), antiseptika (enterovioform), atau kombinasi-
kombinasinya. Rasa sakit yang terus menerus kadang perlu dikurangi dengan pemberian
analgesika.

4.2 Saran
19 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
Untuk pencegahan terhadap kasus enteritis pada sapi, terutama pada sapi perah
adalah dengan vaksinasi. Vaksinasi pertama harus diulang dengan selang waktu 4
minggu, kemudian terus berulang 1 tahun sekali.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khadi, S., et al. 2003. Identification and characterization of Clostridium perfringens


using single target DNA microarray chip. Elsevier International Journal of
Food Microbiology. Maryland, USA.

Chotiah, S. 2008. Diare pada pedet : agen penyebab, diagnose dan penanggulangan.
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas
2020

Czito BG, Willett CG. Radiation injury. In: Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ, eds.
Sleisenger & Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed.
Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier;2010: chap 39.

Giannella RA. 2010. Infectious enteritis and proctocolitis and bacterial food poisoning. In:
Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ, eds. Sleisenger & Fordtrans
Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed. Philadelphia, Pa:Saunders
Elsevier; 2010:chap 107.

Nelson, R.W. and Couto C.G. 2003. Small Animal Internal Medicine 3th ed. St. Louis
Missouri: Mosby.

Priadi, A., Natalia, L. 2007. Enterotoxemia Pada Sapi Perah di Indonesia. Bogor : Balai
Besar Penelitian Veteriner.

Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
20 Enteritis oleh Clostridium perfringens pada Sapi
Worral, E.E., Natalia,L., Ronohardjo,P., Partoutomo,S. dan Tarmuji. 1987. Enterotoxaemia
inwater buffaloes caused by Clostridium perfringens type A. Vet.Rec. 121:
278-27.

Anda mungkin juga menyukai