Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KOASISTENSI

DIAGNOSTIK LABORATORIK VETERINER

INFEKSI ANCYLOSTOMIASIS PADA ANJING


DAN KUCING

OLEH:
Audrey Febiannya Putri Bhaskara
2009612035
18 G

LABORATORIUM PARASITOLOGI VETERINER


PROGRAM PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan mengenai infeksi
Ancylostomiasis pada anjing dan kucing. Laporan ini dibuat untuk memenuhi tugas
laporan Laboratorium Koasistensi Diagnostik Laboratorik Veteriner.

Penulis mengucapkan terima aksih kepada seluruh pihak yang telah


membantu secara langsung dan tidak langsung dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk laporan ini.

Denpasar, 16 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
1.3 Manfaat Penulisan .................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 3
2.1 Etiologi .................................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi ........................................................................................... 4
2.3 Siklus Hidup ............................................................................................ 4
2.4 Patogenesa ............................................................................................... 6
2.5 Gejala Klinis............................................................................................ 7
2.6 Diagnosa .................................................................................................. 8
2.7 Pencegahan dan Pengobatan ................................................................... 8
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 10
3.1 Kesimpulan............................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perubahan jaman banyak orang yang memiliki hewan
peliharaan bukan hanya sebagai hobi bahkan sebagai gaya hidup. Hewan peliharaan
yang banyak diminati contohnya adalah anjing, kucing, kelinci, burung, ikan hiar,
bahkan hewan peliharaan tidak lazim seperti ular, iguana, dan sebagainya. Dari
berbagai macam hewan peliharaan, yang palng banyak diminati adalah anjing dan
kucing. Hal ini dikarenakan banyaknya jenis dan ragamnya dapat disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing orang, serta perawatannya yang tidak sulit.
Meskipun perawatan hewan peliharaan cukup mudah, ada beberapa penyakit
yang perlu diperhatikan untuk menjaga kualitas hidup hewan peliharaan, salah satu
penyakit yang rentan menyerang anjing dan kucing adalah penyakit parasit. Parasit
merupakan penyakit yang berbahaya bagi anjing dan manusia. Parasit merupakan
organisme kecil yang hidupnya membutuhkan host. Parasit sendiri dibedakan
menjadi dua yaitu endoparasit dan ektoparasit. Endoarasit merupakan organisme
yang hidup secara parasitik di dalam tubuh hospes, sedangkan ektoparasit
merupakan organisme yang hidup diluar tubuh hospes (Saputro, 2014). Infeksi
parasite endoparasite dapat juga disebut kecacingan atau Helminthiasis.
Kecacingan atau helminthiasis. Kecacingan atau helminthiasis adalah salah
satu penyakit yang perlu diperhatikan pada kucing dan anjing. Kecacingan sering
diabaikan karena tidak menimbulkan gejala klinis yang serius, kecuali pada infeksi
berat dan kronis (Soeharsono 2007). Salah satunya cacing tambang. Cacing
tambang merupakan parasite yang paling sering menyerang manusia dan hewan
peliharaan seperti anjing dan kucing (Garekar, 2005). Cacing tambang yang banyak
menyerang hewan peliharaan seperti anjing dan kucing adalah Ancylostoma sp.
(Anonim, 2006; Garekar, 2005).
Distribusi penyakit ini bisa ditemukan di berbagai tempat di dunia seperti
Amerika Utara dan Tengah, Kepulauan Karibia, Brazil, Zimbabwe, Madagaskar,
Philipina dan daerah tropis lainnya (Institute for International Cooperation in
Animal Biologics, 2005), termasuk di Indonesia. Prevalensi cacing Ancylostoma
spp. pada kucing dan anjing di beberapa negara telah membuktikan pentingnya

1
penyakit ini pada kucing dan anjing. Oleh karena itu, pentingbagi dokter hewan
mengenal dan mengetahui parasit ini.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan ini untuk mengetahui bagaimana infeksi
Ancylostomiasis berupa etiologi, epidemiologi, siklus hidup, patogenesa, gejala
klinis, diagnosa, pencegahan, dan pengobatan pada kucing dan anjing.
1.3 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini diharapkan dapa memberikan informasi dan
meningkatkan pengetahuan penulis maupun pembaca mengenai infeksi
Ancylostomiasis pada kucing dan anjing.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etiologi
Ancylotomiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing
Ancylostoma, termasuk dalam kelas Nematoda, Familia Ancylostomatidae, genus
Ancylostoma (ESCCAP, 2017). Ancylostoma caninum, A. braziliense dan A.
ceylanicum adalah cacing tambang ditemukan pada anjing, kucing dan lainnya
mamalia di iklim tropis, di mana kondisinya kondusif untuk kelangsungan hidup
cacing tambang. A. tubaeforme hanya menggunakan kucing dan felids liar lainnya
sebagai hospes definitifnya (Irwin dan Traub, 2006).
Tahap perkembangan cacing tambang meliputi telur, empat tahap larva dan cacing
dewasa. Telur muncul sebagai tubuh oval bercangkang tipis, berukuran panjang 55-
77µm dan lebar 35-42µm. Telur yang baru dikeluarkan mengandung embrio yang
sedang berkembang pada tahap awal pembelahan (2-8 sel). Dua tahap larva pertama
(L1 dan L2) adalah rhabditiform (hidup bebas) dan ditandai dengan ruang bukal
yang panjang dan sempit dan kerongkongan berbentuk seperti labu. Larva stadium
ketiga (L3) berukuran panjang hingga 0,6 mm dan bersifat filariform, stadium
infektif tidak makan yang ditandai dengan mulut tertutup, esofagus memanjang
dengan bulb posterior (strongyliform) dan ekor runcing tidak berlekuk. Larva tahap
keempat (L4) bermigrasi dan hidup di jaringan inang. Cacing tambang dewasa
memiliki kutikula keras berwarna putih krem, kait anterior menonjol dan kapsul
bukal oval besar dengan struktur khusus untuk membantu makan, Ancylostoma
spp. memiliki 2 pasang gigi ventral yang menyatu, dan Necator memiliki dua pelat
pemotong ventral. Ancylostoma betina berukuran 10-13 x 0,6 mm, sedangkan
jantan berukuran 8-11 x 0,4 mm.

3
Gambar 1. Bagian anterior cacing Ancylostoma caninum memiliki 3 pasang kait.
(Sumber: Wikipedia)

2.2 Epidemiologi
Infeksi cacing kait pada anjing bersifar endemik di negara-negara Asia
Tenggara dengan prevalensi berkisar antara 70% sampai 100%. Cacing kait pada
anjing meliputi Ancylostoma caninum (A. caninum), A. braziliense, A.ceylanicum,
dan Uncinaria stenocephala (U. stenochepala) (Mahdy et al., 2012). Cacing A.
caninum, A. braziliense, dan A. ceylanicum adalah cacing kait pada anjing di daerah
tropis, sedangkan U. stenocephala distribusinya terbatas pada wilayah beriklim
dingin (Palmer et al., 2007; Ng-Nguyenet al., 2015). Sedangkan pada kucing,
Prevalensi cacing Ancylostoma spp. pada kucing di beberapa negara telah
membuktikan pentingnya penyakit ini pada kucing. Penelitian yang pernah
dilakukan di Rio de Janeiro, Brazil dengan meneliti 135 kucing dari dua area
berbeda yaitu kucing liar sebanyak 99 ekor. Dari 99 kucing liar yang ditangkap, 80
ekor positive terinfeksi A. braziliense (85%). Kucing liar mempunyai tingkat
infeksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kucing rumahan (Baker et al., 1989).
Ankilostomiosis merupakan penyakit zoonosis dan menjadi salah satu
penyakit penting di dunia, secara kasar satu dari lima orang di dunia pernah
terinfeksi cacing ini (Beveridge, 2002). Pada manusia penyakit ini lebih dikenal
dengan nama Creeping Eruption atau Cutaneus Larva Migrans (CLM), gejalanya
berupa peradangan yang berbentuk linear atau berkelok – kelok dan progresif
(Djuanda et al., 2010).
2.3 Siklus Hidup
Siklus hidup cacing Ancylostoma sp tanpa hospes antara adalah telur menetas
(di luar tubuh hospes). Fase di luar tubuh hospes di mulai saat keluarnya telur cacing
dari tubuh hospes bersama feses. Telur ini akan menjadi infektif dan larva di dalam
telur berkembang menjadi larva stadium 1 (Ll) (Samosir, 2008). Larva
membutuhkan waktu 58 – 66 jam untuk mencapai stadium infektif pada suhu 30°C
atau 9 hari pada suhu 18°C. Telur keluar bersama feses 15 – 18 hari setelah infeksi
pada anjing muda dan 15 – 26 hari pada anjing yang lebih tua (gambar 4)

4
(Palgunadi, 2012). Larva stadium 1 (Ll) ini akan tumbuh dan melepaskan selubung
tubuh (molting) yang kemudian berkembang menjadi larva stadium 2 (L2). Larva
ini akan berkembang dan molting kembali membentuk larva stadium 3 (L3).
Stadium 3 (L3) ini disebut juga stadium larva infektif karena jika L3 termakan oleh
hospes definitif maka larva ini akan berkembang menjadi cacing dewasa. Larva
infektif ini mempunyai selubung kutikula ganda yang berfungsi sebagai
perlindungan tubuh dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan seperti
kekeringan. (Samosir, 2008).

Gambar 2. Siklus hidup cacing Hookworm


(Sumber: CDC, 2013)
Daur hidup cacing Ancylostoma sp bersifat langsung, tanpa hospes perantara.
Cacing dewasa hidup dari menghisap darah di usus halus. Cacing menggigit
mukosa usus dengan lokasi yang berpindah-pindah, sehingga meninggalkan luka-
luka dengan perdarahan yang berangsung lama, hal ini disebabkan karena cacing
menghasilkan toksin anti koagulasi darah yang mencegah terjadinya pembekuan
darah pada luka (Tjahajati et al., 2006)

Cara penularan infeksi cacing Ancylostoma spp. ini tidak lepas dari tiga hal
yaitu host, agen dan lingkungan. Infeksi terjadi apabila terdapat larva infektif
Ancylostoma spp. sebagai sumber infeksi dan tersedianya inang yang peka pada
suatu tempat dan kondisi lingkungan yang menyebabkan kontak antara keduanya.
Kucing yang hidup di daerah kotor dan lembab mempunyai resiko terkena penyakit
yang lebih besar, karena lingkungan yang kotor merupakan tempat yang cocok
untuk berkembangnya bentuk infektif dari cacing Ancylostoma spp. (Adams,

5
2003). Larva dapat masuk ke tubuh kucing melalui dua cara yaitu lewat oral dan
kulit. Pada infeksi per oral, larva masuk bersamaan dengan makanan, sedangkan
pada infeksi melalui kulit larva masuk dengan cara menembus kulit ataupun
membrane mukosa mulut (Borthakur, 2011).
2.4 Patogenesa
Cara penularan infeksi cacing Ancylostoma spp. ini tidak lepas dari tiga hal
yaitu host, agen dan lingkungan. Infeksi terjadi apabila terdapat larva infektif
Ancylostoma spp. sebagai sumber infeksi dan tersedianya inang yang peka pada
suatu tempat dan kondisi lingkungan yang menyebabkan kontak antara keduanya.
Kucing yang hidup di daerah kotor dan lembab mempunyai resiko terkena penyakit
yang lebih besar, karena lingkungan yang kotor merupakan tempat yang cocok
untuk berkembangnya bentuk infektif dari cacing Ancylostoma spp. (Adams,
2003). Larva dapat masuk ke tubuh kucing melalui dua cara yaitu lewat oral dan
kulit. Pada infeksi per oral, larva masuk bersamaan dengan makanan, sedangkan
pada infeksi melalui kulit larva masuk dengan cara menembus kulit ataupun
membrane mukosa mulut (Borthakur, 2011).
Menurut Ballweber, (2001) patogenesis penyakit pada kasus ancylostomiasis
dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu:
• Fase Penetrasi Kulit
Dermatitis akibat infeksi larva cacing Ancylostoma sp biasanya terjadi di
daerah interdigit, kaki dan kadang-kadang di daerah perut. Dermatitis ditandai
dengan pruritus, erythema dan papula di kulit. Pada infeksi yang parah,
dermatitis akan cepat menyebar ke distal persendian interphalank. Pada
manusia Ancylostoma caninum dapat menyebabkan Creeping Disease atau
Cutaneus Larva Migrans. Larva ini perkembangannya terhenti dan larva akan
mati karena manusia bukan merupakan hospes definitif dari cacing tersebut
(Samosir, 2008).
• Fase Migrasi
Larva cacing Ancylostoma spp bermigrasi melalui jaringan tubuh termasuk
paru-paru. Apabila jumlah larva yang bermigrasi cukup banyak maka larva
tersebut dapat mengakibatkan gangguan paru-paru termasuk saluran
pernafasan hingga terjadi batuk (Ballweber, 2001).

6
• Fase Intestinal
Fase intestinal infeksi cacing Ancylostoma sp dapat menyebabkan anemia,
enteritis ringan sampai berat, hypoproteinemia, malabsorbsi usus dan dapat
menekan respon kekebalan hospes. Anemia terjadi akibat gigitan cacing
Ancylostoma sp yang sekaligus melekat pada mukosa. Cacing dewasa
mengigit mukosa usus dengan lokasi yang berpindah-pindah dan menyebabkan
terjadi pendarahan yang lama karena toksin yang dikeluarkan oleh cacing
tersebut. Seekor cacing Ancylostoma sp per hari dapat menghisap darah hospes
sebanyak 0,1 ml bahkan sampai 0,8 ml. Selama persediaan zat Besi (Fe) di
dalam tubuh masih cukup maka infeksi cacing tidak menyebabkan anemia
(Kusumamihardja, 1992).
2.5 Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan dapat sangat bervariasi tergantung pada umur,
status gizi, jumlah parasite, dan daya tahan tubuh, dari hospes (Kagira dan Kanyari,
2000). Gejala klinis infeksi ankilostomiosis adalah diare berdarah. Cacing dewasa
menghisap darah sebanyak 0,1 – 0,8 ml setiap hari. Kucing mulai kehilangan darah
pada 10 – 25 hari pasca infeksi, tetapi paling banyak terjadi pada 10 – 15 hari pasca
infeksi, oleh karena itu kucing akan menderita anemia, hipoproteinemia,
malabsorbsi usus serta penurunan kekebalan tubuh. Bahaya yang akan timbul pada
kucing adalah badan yang kurus dan kadang disertai muntah. Hal yang lebih parah
bisa terjadi apabila diikuti oleh infeksi sekunder (Kusumamihardja, 1992).
Penyakit klinis pada anjing yang berhubungan dengan Ancylostoma caninum
terbagi atas beberapa bentuk, diantaranya adalah ;
1. Perakut: merupakan hasil dari transmisi transmammary yang terjadi pada
anjing muda yang awalnya sehat kemudian tiba-tiba memburuk.
2. Akut: merupakan hasil dari paparan tiba-tiba pada anjing muda yang rentan
dan anjing dewasa yang lebih tua dengan paparan larva yang banyak dan dapat
menyebabkan anemia berat.
3. Kronis (kompensasi): Terjadi pada hewan yang immunocompeten dan tidak
terkena paparan larva yang banyak. Tanda-tanda klinis biasanya tidak jelas.
4. Sekunder (dekompensasi): Terjadi pada hewan yang lebih tua dan merupakan
hasil dari penyakit lain seperti anemia berat (Ballweber, 2001).

7
Gejala klinis infeksi ancylostomiasis adalah anemia disertai hydraemia dan
kepucatan mukosa membran, kadang-kadang oedema, kelemahan umum, emasiasi
dan asthenia (Menealous, 2001). Gejala yang terlihat pada anjing muda berupa
anemia, membran pucat, diare, penurunan berat badan, kelemahan, pertumbuhan
yang buruk, rambut kusam dan kering, pneumonia juga kadang terlihat, dan tidak
jarang terjadi kematian. Gejala pada anjing dewasa biasanya asimtomatik, biasanya
terjadi penurunan berat badan dan juga terlihat mudah lelah, dan gejala lain seperti
diatas juga kadang muncul (Akhira dkk, 2013).
2.6 Diagnosa
Diagnosis tergantung pada tanda-tanda klinis dan anamnesa ditambah dengan
pemeriksaan hematologi, pemeriksaan feses dan pemeriksaan post mortem.
Tingginya jumlah telur cacing dalam feses merupakan informasi penting untuk
diagnosis, tetapi perlu diingat bahwa anjing muda yang sedang disapih dapat
menunjukkan tanda-tanda klinis yang parah sebelum telur terdeteksi dalam feses.
Pemeriksaan feses untuk diagnosis ancylostomiasis dapat dilakukan dengan
pengujian apung (Menealous, 2001).
Diagnosis infeksi cacing tambang dapat ditegakkan dengan: menemukan
telur khas Strongyle dalam tinja dengan cara sederhana apusan tinja atau metode
flotasi natrium nitrat sederhana. Teknik PCR-restriction fragment length
polymorphism (PCR-RFLP) yang dikembangkan oleh Traub et al. pada tahun 2004,
memungkinkan telur anjing yang tidak dapat dibedakan secara morfologis cacing
tambang untuk dideteksi dan diidentifikasi langsung dari kotoran. Alat diagnostik
ini diterapkan untuk menyaring cacing tambang dalam kotoran anjing dalam studi
zoonosis infeksi geohelminth di India utara, tanpa perlu untuk identifikasi cacing
dewasa yang sulit pada saat nekropsi, atau setelah pembersihan anthelmintik (Traub
et al., 2004).
2.7 Pengobatan dan Pencegahan
Penanganan terhadap pasien yang menderita ancylostomiasis dilakukan
pertolongan dan pengobatan yang meliputi 5 prinsip yaitu : (1) melakukan fluid
therapy untuk mengganti atau menyeimbangkan kembali cairan yang hilang karena
terjadinya diare berdarah yang diakibatkan oleh enteritis hemoragika karena adanya
gigitan cacing, (2) memberikan antibiotik untuk mengatasi infeksi sekunder bakteri

8
karena adanya kelukaan di usus, (3) memberikan obat simptomatik untuk mengatasi
gejala diare yang timbul akibat peristaltik usus yang meningkat dengan
memberikan obat yang dapat menurunkan peningkatan peristaltik usus, (4)
membasmi cacing dengan memberikan antihelmentika dan (5) memberikan terapi
suportif bila diperlukan (Tjhajati et al., 2005).
Obat cacing spektrum luas digunakan pada kucing yang efektif dalam
menghilangkan A. Tubaeforme. Ivermectin diberikan secara oral pada 24 g/kg
masing-masing adalah 92,8% dan 90,7% efektif terhadap Ancylostoma braziliense
dan A. Tubaeforme dewasa. Milbemycin oxime mengurangi jumlah larva tahap
keempat dan dewasa A. Tubaeforme masing-masing sebesar 94,7% dan 99,2%.
Selamectin dioleskan pada 6 mg/kg mengurangi jumlah parasite sebanyak 99,4%
pada A. Tubaeforme dewasa. Selain itu, formulasi topikal imidacloprid-moxidectin
99,64% efektif dalam mengurangi telur tinja Ancylostoma spp. dihitung pada
kucing yang terinfeksi cacing tambang secara alami (Dryden dan Payne, 2005).
Pada anjing, dapat diberikan Ivermectin secara oral dengan dosis 0,2
mg/kgBB, mebendazole secara oral dengan dosis 22 mg/kgBB, atau pyrantel
pamoate dengan dosis 5-10 mg/kgBB secara oral (Lefkaditis, 2001).
Untuk pencegahan dapat dilakukan pemberian obat cacing secara berkala, 3-
4 bulan. Selain itu untuk terapi antihelmentik, saat ini sudah banyak dikenal
berbagai macam obat cacing untuk anjing, salah satunya obat Pyrantel pamoate
(Nemex ®) untuk mencegah penularan transmammary, indukan yang terinfeksi
dapat diobati dengan fenbendazole 50 mg/kg setiap hari sejak 40 hari kebuntingan
sampai 14 hari masa laktasi atau ivermectin 0,5 mg/kg diberikan 4-9 hari sebelum
kelahiran diikuti dengan pengobatan kedua 10 hari kemudian (Menealous, 2001).

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ancylotomiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing
Ancylostoma. Ancylostoma caninum, A. braziliense dan A. ceylanicum adalah
cacing tambang ditemukan pada anjing, kucing dan lainnya mamalia di iklim tropis,
di mana kondisinya kondusif untuk kelangsungan hidup cacing tambang. A.
tubaeforme hanya menggunakan kucing dan felids liar lainnya sebagai hospes
definitifnya Cara penularan infeksi cacing Ancylostoma spp. ini tidak lepas dari
tiga hal yaitu host, agen dan lingkungan. Infeksi terjadi apabila terdapat larva
infektif Ancylostoma spp. sebagai sumber infeksi dan tersedianya inang yang peka
pada suatu tempat dan kondisi lingkungan yang menyebabkan kontak antara
keduanya. Patogenesis penyakit pada kasus ancylostomiasis dapat dibagi menjadi
3 kategori yaitu fase penetrasi kulit, fase migrasi, dan fase intestinal. Gejala klinis
infeksi ankilostomiosis adalah diare berdarah. Selain itu, gejala klinis infeksi
ancylostomiasis adalah anemia disertai hydraemia dan kepucatan mukosa
membran, kadang-kadang oedema, kelemahan umum, emasiasi dan asthenia.
Diagnosis tergantung pada tanda-tanda klinis dan anamnesa ditambah dengan
pemeriksaan hematologi, pemeriksaan feses dan pemeriksaan post mortem.
Penanganan terhadap pasien yang menderita ancylostomiasis dilakukan
pertolongan dan pengobatan yang meliputi 5 prinsip yaitu: (1) melakukan fluid
therapy, (2) memberikan antibiotic, (3) memberikan obat simptomatik, (4)
memberikan antihelmentika dan (5) memberikan terapi suportif. Pencegahan dapat
dilakukan pemberian obat cacing secara berkala, 3-4 bulan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Baker MK, L Lange, A Verster, S van der plaat. 1989. A survey of helminths in
domestic cats in the Pretoria area of Transvaal, Republic of South Africa. Part
1: The prevalence and comparison of burdens of helminths in adult and
juvenile cats. J S Afr Vet Assoc. 60(3):139-4. Faculty of Veterinary Science,
University of Pretoria.
Ballweber LR. 2001. The Practical Veterinarian Parasitology. USA: Butterworth–
Heinemann
Beveridge, I. and MK Jones. 2002 Diversity and Biogeographical Relationships of
The Australian Cestode Fauna. International Journal of Parasitology. 32: 343-
351.
Djuanda, A., M Hamzah, S Aisah 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi
Keenam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Dryden, M.W. and Payne, P.A., 2005. Preventing parasites in cats. Veterinary
Therapeutics, 6(3), p.260.
Irwin, P. and Traub, R., 2006. Parasitic diseases of cats and dogs in the
tropics. Perspect Agric Vet Sci Nutr Nat Resour, 1, p.21.
Kagira, JM dan Kanyari, PWN. 2000. Parasitic Disease as caused of Mortality in
Dogs in Kenya: A Retrospective Study of 351 cases (1984-1998). Is. J. Vet.
Med. Vol. 56:1-9.
Kusumamihardja S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan
Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas. Bioteknologi. IPB. Bogor
Lefkaditis, M., 2001. Ancylostomiasis in dogs. Revista Scientia Parasitologica, 1,
pp.15-22.
Mahdy MAK, Lim YAL, Ngui R, Fatimah MRS, Choy SH, Yap NJ. Al-Mekhlafi
HM, Ibrahim J, Surin J. 2012. Prevalence and zoonotic potential of canine
hookworms in Malaysia. Parasites and Vectors 5:88–94.
Menealous LA. 2001. Ancylostomiasis in Dog.
http://scientia.zooparaz.net/2001_02_01/sp2001-pp15-
22%20%20Lefkaditis.pdf. [23 November 2021].

11
Ng-NguyenD, Hii SF, Nguyen V-AT, Nguyen TV, Nguyen DV, Traub RJ. 2015.
Re-evaluation of the species of hookworms infecting dogs in Central
Vietnam. Parasites and Vectors 8:401–406
Traub RJ, Robertson ID, Irwin P, Mencke N, Thompson RCA. 2004. Application
of a species-specific PCR-RFLP to identify Ancylostoma eggs directly from
canine faeces. Veterinary Parasitology. 123:245–255.
Samosir TP. 2008. Kecacingan Ancylostoma sp Pada Anjing Ras [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor
Supali, T., Margono, S.S., Alisah, N.A., 2009. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Tjahajati, I., Purnamaningsih, H. and Mulyani, G.T., 2006. Kasus Ankilostomiasis
Pada Pasten Anjing di Klinik Penyakit Dalam, Rumah Sakit Hewan FKH.
UGM Selama Tahun 2005= Case of Ancylostomiasis in Dog Patiens in
Department of Internal Medicine, Animal Hospital. Jurnal Sain
Veteriner, 24(1).
Palgunadi, B. U. 2010. Cutaneous larva migrans (Creeping Eruption). Jurnal
Kedokteran. 2(1)31-3

12

Anda mungkin juga menyukai