PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Kebuntingan?
1.2.2 Apa saja hormon yang terlibat dalam proses kebuntingan?
1.2.3 Apa peran dan fungsi dari hormon-hormon tersebut?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui apa yang dimaksud dengan kebuntingan
1.3.2 Mengetahui hormone apa saja yang terlibat dalam proses kebuntingan
1.3.3 Mengetahui peran dan fungsi hormon-hormon kebuntingan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
9. Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk jenis sapi
betina tumbuh ke bagian dalam.
Keunggulan sapi Bali antara lain memiliki tingkat fertilitas, mencapai sekitar 80%, dalam
kondisi lahan yang kering dan tandus di NTT mencapai sekitar 75%, produksi karkas yang
tinggi (Noor et al., 2002) dan memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah
(Bugiwati, 2007). Hal tersebut merupakan salah satu indikasi sapi Bali untuk dikembangka n
sebagai ternak rakyat, namun permasalahan yang mengemuka pada sapi Bali adalah
rendahnya mutu genetis sapi Bali, tingginya kejadian silang dalam atau kawin sedarah
(inbreeding). Pengaruh genetik dalam silang dalam yang biasanya merugikan, yaitu:
penurunan daya tahan, kesuburan ternak, dan bobot lahir ternak (Sariubang et al., 1998) serta
adanya penyakit khusus sapi Bali, yaitu: penyakit Jembrana, penyakit ingusan (maligna nt
catarrhal fever) sehingga menurunkan reproduktivitas dan produktivitas sapi Bali (Noor et al.,
2002).
2.2.1 Pubertas
Pubertas dapat didefenisikan sebagai umur atau waktu dimana organ-organ
reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Pada hewan jantan
puberitas ditandai dengan kesanggupan menghasilkan spermatozoa dan berkopulasi,
4
sedangkan pada betina ditandai dengan terjadinya berahi (estrus) dan ovulasi (Ilyas
dan Leksmono, 1995).
Pada umumnya semua hewan akan mencapai kedewasaan kelamin sebelum dewasa
tubuh. Perkembangan dan pendewasaan alat kelamin dipengaruhi oleh banyak faktor,
diantaranya adalah bangsa sapi dan manajemen pemberian pakan (Toelihere, 1985).
Pada hewan betina pubertas ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi. Estrus dan
ovulasi pertama akan disertai oleh kenaikan ukuran dan berat organ reproduksi secara
cepat.
Menurut Morrow (1986) aktivitas siklus repoduksi pada sapi dimulai pada usia 12
bulan dengan rentang 4 bulan sampai 2 tahun. Munculnya pubertas pertama kali
dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan eksternal. Secara umum puberitas dapat
didefinisikan sebagai umur atau waktu dimana organ-organ reproduksi mula i
berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Pubertas pada ternak betina
didefenisikan sebagai suatu fase atau keadaan dimana ternak tersebut menunjuka n
tada-tanda estrus (berahi) pertama kali, tingkah laku kawin dan menghasilkan sel telur
atau ovulasi atas pengaruh hormone esterogen.
Pubertas sapi bali rata-rata pada umur 2 sampai 2,5 tahun. Setelah sapi betina
mencapai pubertas maka untuk pertama kalinya sapi mengalami birahi dan berulang
setiap 21 hari sekali bila dalam kondisi tidak dikawinkan.
5
Interval antara lain timbulnya suatu periode berahi kepermulaan periode berahi
berikutnya disebut siklus estrus (Disnak Riau, 1998).
Siklus berahi sapi yaitu 21 hari dengan selang antar 19-25 hari dan rataannya 20,8
hari. Terjadi berahi dan ovulasi pada seekor sapi betina dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti pakan, manajemen, dan lingkungan. Secara umum dipercaya bahwa
tanda-tanda berahi utama yang paling penting adalah hewan betina diam berdiri dan
bersedia dinaki (dikawinkan oleh pejantan), atau diam berdiri apabila dinaiki oleh
sesama hewan betina dewasa lain di dalam kelompoknya (Toelihere, 1977).
Siklus estrus pada dasarnya dibagi menjadi empat fase atau periode yaitu proestrus,
estrus, metestrus, dan diestrus (Marawali et al, 2001). Namun ada juga yang membagi
siklus estrus hanya menjadi dua fase, yaitu fase folikuler atau estrogenik yang melip uti
proestrusestrus, dan fase luteal yang terdiri dari metestrus dan diestrus (Toelihe re,
1979). Faktor-faktor yang mempengaruhi siklus estrus adalah umur, pakan, sistem
pemeliharaan dan lingkungan (Toelihere, 1985).
Indikasi berahi ditandai gejala gelisah, nafsu makan kurang, sering melenguh serta
memperlihatkan tanda khusus yakni mengeluarkan lendir bening pada vulva hingga
gejala tersebut hilang (Pemayun, dkk., 2011).
6
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kebuntingan
Kebuntingan merupakan proses yang dimulai sejak bersatunya sel kelamin jantan
(spermatozoa) dengan sel kelamin betina (ovum) menjadi sel baru yang dikenal dengan
istilah zigot (Nancarrow et al,. 1981; McDonal, 1989). Sedangkan menurut Frandson
(1992) menyatakan kebuntingan berarti keadaan anak sedang berkembang di dalam uterus
seekor hewan. Periode kebuntingan dimulai dengan fertilisasi dan di akhri dengan
kelahiran (Stabenfeldt dan Edqvist, 1984).
Periode kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan berakhir dengan kelahiran
anak yang hidup. Peleburan spermatozoa dengan ovum mengawali reaksi kimia dan fisika
yang majemuk, bermula dari sebuah sel tunggal yang mengalami peristiwa pembelahan
diri yang berantai dan terus menerus selama hidup individu tersebut. Tetapi berbeda dalam
keadaan dan derajatnya sewaktu hewan itu menjadi dewasa dan menjadi tua. Setelah
pembuahan, yang mengembalikan jumlah kromosom yang sempurna, pembelahan sel
selanjutnya bersifat mitotic sehingga anak-anak sel hasil pembelahannya mempunya i
kromosom yang sama dengan indukselnya. Peristiwa ini berlangsung sampai hewan
menghasilkan sel kelamin (Salisbury, 1985).
Pertumbuhan makhluk baru terbentuk sebagai hasil pembuahan ovum oleh
spermatozoa dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu: periode ovum, periode embrio dan
periode fetus. Periode ovum dimulai dari terjadinya fertilisasi sampai terjadinya implantas i,
sedang periode embrio dimulai dari implantasi sampai saat dimulainya pembentukan alat-
alat tubuh bagian dalam. Periode ini disambung oleh periode fetus. Lamanya periode
kebuntingan untuk tiap spesies berbeda-beda perbedaan tersebut disebabkan faktor genetik.
Menurut Rianto dan Purbowati (2009) setelah 21 hari (18-23 hari) dari perkawinan
alam atau Inseminasi Buatan (IB), perlu pengamatan berahi lagi pada induk sapi. Bila tidak
ada gejala berahi hingga dua siklus (42 hari) berikutnya, kemungkinan induk berhasil
bunting. Namun demikian untuk meyakinkan bunting tidaknya, setelah 60 hari sejak
7
dikawinkan dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan palpasi rectal. Beberapa
gejala (tanda-tanda) yang dapat diketahui adalah:
1) Berat badan meningkat, diikuti dengan bertambahnya besarnya dinding perut yang
dapat dilihat dengan jelas,
2) Pada sapi betina yang pertama kali bunting terlihat adanya perubahan ambing,
3) adanya gerakan perut dibagian sebelah bawah, sisi kanan dan belakang,
4) Pada akhir masa kebuntingan, otot-otot sekitar tulang panggul kelihatan mengendur,
5) Vulva sedikit membengkak dan lendir banyak keluar.
Menurut Feradis (2010) keberhasilan kebuntingan tergantung pada ketepatan waktu
antara perkembangan mekanisme lutiolitik pada induk dan antiluteolitik yang dihasilka n
oleh konseptus. Apabila tidak terjadi keseimbangan akan menyebabkan kematian embrio
dan hal ini merupakan penyebab utama kegagalan reproduksi pada sapi. Lama kebuntinga n
pada sapi bali sekitar 280-294 hari (Devendra et al., 1973). Lama kebuntingan tersebut
dipengaruhi oleh jenis kelamin anak, iklim, kondisi makanan dan umur induk (Djagra et
al., 1979).
8
danvandemark, 1985). Pemberian GnRH meningkatkan FSH dan LH dalam
sirkulasi darah selama 2 sampai 4 jam (Chenault et al., 1990).
Secara alamiah, terjadinya level tertinggi (surge) LH yang menyebabkan
ovulasi merupakan hasil control umpan balik positif dari sekresi estrogen dari
folikel yang sedang berkembang. Berikut ini adalah mekanisme kerja GnRH.
Hipotalamus akan mensekresi GnRH, kemudian GnRH akan menstimulas i
hipofisis anterior untuk mensekresi FSH dan LH. FSH bekerja pada tahap awal
perkembangan folikel dan dibutuhkan untuk pembentukan folikel antrium
FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk mensekresikan estrogen.
Menjelang waktu ovulasi konsentrasi hormon estrogen mencapai suatu tingkatan
yang cukup tinggi untuk menekan produksi FSH dan dengan pelepasan LH
menyebabkan terjadinya ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding folike l
dan pelepasan ovum. Setelah ovulasi maka akan terbentuk korpus luteum dan
ketika tidak bunting maka PGF2α dari uterus akan melisiskan korpus luteum.
Tetapi jika terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan terus dipertahankan
supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk menjaga kebuntingan (Imron,
2008).
3.2.2 Estrogen
Pada awal kebuntingan hormone ini sedikit kemudian kadarnya mulai naik pada
saat umur kebuntintingan mulai tua. Pada usia kebuntingan 4 bulan akhir sapi akan
mengekskresikan 10 kali lipat hormone estrogon di dalam air seninya dibanding
sesudah melahirkan.
Secara alami hormon estrogen dihasilkan oleh folikel yang sedang berkembang,
terutama di dalam sel sel granulosa folikel de Graff. Jika folikel de Graff mencapai
ukuran maksimum sampai sesaat sebelum terjadi ovulasi, maka dalam waktu yang
bersamaan jumlah sel sel teca interna mencapai maksimal. Estrogen merupakan
hormon steroid yang berperan dalam merangsang perkembangan saluran kelamin
betina, merangsang pelepasan Gn-RH dari hipotalamus dan LH dari hipofisis yang
berperan dalam pematangan dan ovulasi folikel de Graff dan mensensitifkan sel sel
9
granulosa untuk berespons terhadap gonadotropin dan merangsang proliferasi serta
diferensiasi sel sel tersebut (Whittier et al., 1986).
Hormon estrogen mempunyai peran dalam proses ovulasi melalui umpan balik
positif terhadap LH, mempengaruhi uterus untuk dapat meningkatkan endometrium
dan miometrium melalui hiperplasia dan hipertrofi sel, perkembangan sifat kelamin
sekunder, merangsang pertumbuhan dan perkembangan kelenjar mammae,
selanjutnya estrogen mempunyai efek negatif dan positif terhadap hipotalamus dan
pelepasan FSH dan LH (Jabour et al. 1993; McG Agro et al. 1994).
3.2.3 Progesterone
Hormon progesteron adalah hormon yang dihasilkan oleh corpus luteum,
tetapi juga didapati di adrenal, plasenta dan testis. Secara umum progesteron
bekerja pada jaringan yang telah dipersiapkan oleh estrogen (Frandson, 1992).
Secara alamiah hormon progesteron dihasilkan oleh corpus luteum (CL), plasenta
dan kelenjar adrenal. Berdasarkan sifat kimiawinya hormon ini dapat
mempersiapkan uterus untuk memelihara kebuntingan.
Sebagai hormon pertumbuhan yang berperan dalam proses pertumbuha n
kelenjar mammary, bersama-sama dengan laktogen plasenta akan bertanggung
jawab terhadap proses percabangan dan pembentukan sel-sel epitel kelenjar ambing
(Manalu et al, 1998). Hormon progesteron pada ternak sapi dan domba
disekresikan oleh plasenta selama stadium akhir kebuntingan, peran hormon
progesteron secara fisiologis ada tiga kondisi yaitu selama proses siklus estrus,
selama kebuntingan dan pasca lahir. Disebutkan oleh Hafez (1987), bahwa
progesteron merupakan hormon kebuntingan karena akan menyebabkan penebalan
endometrium dan perkembangan kelenjar uterin dalam persiapan terjadinya
impalntasi ovum yang sudah dibuahi dan menjaga selama kebuntingan.
Progesteron penting selama kebuntingan terutama pada tahap-tahap awal.
Apabila dalam uterus tidak terdapat embrio pada hari ke 11 sampai 13 pada babi
serta pada hari ke 15 – 17 pada domba, maka PGF2α akan dikeluarkan dari
endometrium dan disalurkan melalui pola sirkulasi ke ovarium yang dapat
menyebabkan regresinya corpus luteum (Bearden and Fuquay, 2000). Apabila
10
PGF2α diinjeksikan pada awal kebuntingan, maka kebuntingan tersebut akan
berakhir. Kasus-kasus aborsi pada kebuntingan muda dibawah tiga bulan lebih
banyak ditimbulkan oleh pengaruh kekurangan produksi hormon ini (Macmilla n
dan Peterson, 1993).
11
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kebuntingan merupakan proses yang dimulai sejak bersatunya sel kelamin jantan
(spermatozoa) dengan sel kelamin betina (ovum) menjadi sel baru yang dikenal dengan
istilah zigot (Nancarrow et al,. 1981; McDonal, 1989). Periode kebuntingan dimula i
dengan fertilisasi dan di akhri dengan kelahiran (Stabenfeldt dan Edqvist, 1984). Selama
periode kebuntingan berlangsung hormone yang terlibat adalah GnRH yang perannya
adalah (1) Menyediakan negative feedback ke hipotalamus untuk menghambat terjadinya
siklus estrus, (2) menghambat kontraksi otot polos pada uterus untuk penempelan dan
perkembangan fetus, dan (3) mengatur kontraksi cervix untuk menjaga kebuntingan dari
lingkungan luar; Estrogen yang berperan memberika umpan balik positif terhadap LH,
mempengaruhi uterus untuk dapat meningkatkan endometrium dan miometrium melalui
hiperplasia dan hipertrofi sel, perkembangan sifat kelamin sekunder, merangsang
pertumbuhan dan perkembangan kelenjar mammae, selanjutnya estrogen mempunyai efek
negatif dan positif terhadap hipotalamus dan pelepasan FSH dan LH; dan Progesteron yang
memiliki peran untuk penebalan endometrium dan perkembangan kelenjar uterin dalam
persiapan terjadinya impalntasi ovum yang sudah dibuahi dan menjaga selama
kebuntingan.
12
DAFTAR PUSTAKA
Arman, C. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lama Kebuntingan pada Sapi Hissar
Sumbawa. Vol 1. No 4.
Berden and Fuquay. 2000. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan. Penerbit ITB. Bandung.
Bugiwati, S. R. A. 2007. Pertumbuhan dimensi tubuh pedet jantan sapi Bali di Kabupaten Bone
dan Barru Sulawesi Selatan. Jurnal Sains dan Teknologi 7:103-108.
Chenault, dkk. 1990. Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Devendra CT, Lee KC, Pathmasingam. 1973. The Productivity of Bali Cattle In Malaysia. J Agric
49:183-197.
Dinas Peternakan Provinsi Riau. 1998. Buku pintar peternakan.Dinas Peternakan Provinsi Riau.
Djagra IB, Lana IK, Sulandra IK. 1979. Faktor-faktor yang berpengaruh pada berat lahir dan berat
sapih sapi Bali. Denpasar: Prosiding Seminar Keahlian di Bidang Peternakan. Univers itas
Udayana.
Frandsond, R.D. 1992. Anatomy dan Fisiologi Hewan. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Hafez, E. S. E. 1987. Reproduction in Farm Animal 4th ed. Lea and Febiger Philadelphia.
Widiasarana
Ilyas, A.Z. dan C.S. Leksmono. 1995. Pedoman pengembangan dan perbaikan ternak kerbau di
Indonesia.Dirjen Peternakan bekerjasama dengan FAO.
Jabbour H.M., Valehuizen F.A., Green .G, Asher G.W., 1993. Endocrine Responses and
Conception Votes In Follow Deer (Dama Dama) Following Oestrous Synchronization and
13
Cervical Insemination With Fresh or Frozen-thawed Spermatozoa. J. Reprod. Fert. 98: 495-
502.
Jainudeen, M.R. dan Hafez, E.S.E. 1993. Gestation, Prenatal Physiology, and Parturition. In:
Reproduction in Farm Animals. (E.S.E. Hafez, Editor), 6th addition, Lea and Febiger,
Philadelphia
Macmillan, K.L. and A.J. Peterson, 1993. A New Intravaginal Progesterone Realising Device For
Cattle (CIDR-B) for Estrus Synchronization, Increasing Pregnancy Rate and The
Treatment of Postpartum Anestrus. J.anim. Sci. 33 : 1-25.
Manalu, W. and M.Y. Sumaryadi. 1998. Mammary gland indices at the end of lactation in Javanese
thin-tail ewes with different litter size. Asian-Austr. J. Anim. Sci. 11:648-654.
McDonald LE. 1989. Reproductive Pattern of Horse. In: Veterinary Endocrinologi and
Reproduction 4th Ed. LE McDonald dan MH Pineda (Ed.). Lea dan Febiger, Philadelp hia.
McG Agro, Jabbour C.H.M., Goddard P.J., Webb R. London A.S.I. 1994. Superovulation In Red
Deer (Cervus Elaphus) and Pere David-s Deer (Elapharus Davidianus) and Fertilita tio n
Rates Following Artificial Insemination With Pere David-s Deer Semen. J. Reprod. Fert.
100: 629-636.
Nancarrow CD, Wallace ALC, Grewal AS. 1981. The early pregnancy factor of sheep and catlle.
J Reprod Fertil Suppl, 30: 191-199.
Noor, R. R, A. Farajallah dan M. Karmita. 2002. Pengujian kemurnian sapi Bali dengan analis is
hemoglobin dengan metode Isoelectric Focusing. Hayati 8: 107-111.
Oka IGL. 2010. Conservation and genetic improvement of Bali Cattle.Proc. Conservation and
Improvement of Wordl Indigenous Cattle. 110-117.
14
Payne, W.J.A. and D.H.L. Rollinson. 1973. Bali cattle from World Animal Review. Food and
Agriculture Organization of the United Nations. Via Delle Terme. Italy
Prasojo G., Arifinantini I., Mohamad K. 2010. Korelasi antara Lama Kebuntingan, Bobot Lahir
dan Jenis Kelamin Pedet Hasil Inseminasi Buatan pada Sapi Bali. Vol 11 No 1:41-45
Rianto, E dan E. Purbowati. 2009. Panduan Lengkap Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sahani, M.S. dan Pant, K.P., 1978. Breed differences in the duration of pregnancy in sheep
Sariubang, M., D. Pasambe, dan Chalidjah. 1998. Pengaruh kawin silang terhadap performa hasil
turunan pertama (F1) pada sapi Bali di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner, Bogor. Hal. 107-110.
Siswanto M, Patmawati NW, Trinayani N.N., Wandia I.N., Puja I.K. 2013. Penampila n
Reproduksi Sapi Bali pada Peternakan Intensif di Instalasi Pembibitan Pulukan. Vol 1 No
1:11-15
Talib C, Entwistle K, Siregar A, Budiarti TS, Lindsay D. 2002. Survey of population and
production dynamics of Bali cattle and existing breeding programs in Indonesia. In:
Proceeding of an ACIAR Workshop on “Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern
Indonesia”, Denpasar, Bali, Indonesia
Toelihere, Mozes R. 1977. Fisiologi Reproduksi Hewan Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
Whittier, J.C., G.H Deutcher, and D.C. Clanton. 1986. Progesterone and Prostaglandin for Etrus.
15