Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi lokal Indonesia yang berasal dari Bali yang
sekarang telah menyebar hampir ke seluruh penjuru Indonesia bahkan sampai luar negeri
seperti Malaysia, Filipina, dan Australia (Oka, 2010). Talib (2002) menyatakan bahwa sapi
Bali adalah tipe sapi kecil dengan kemampuan reproduksi yang baik dan daya adaptasi yang
sangat baik pada pemeliharaan intensif maupun ekstensif di padang penggembalaan.
Kebuntingan adalah keadaan dimana anak sedang berkembang di dalam uterus seekor
hewan betina. Suatu interval waktu, yang disebut periode kebuntingan (gestasi) terentang dari
saat pembuahan (fertilisasi) ovum sampai lahirnya anak. Hal ini mencakup fertilisasi atau
persatuan antara ovum dan sperma. Walaupun lama kebuntingan tampaknya tidak memilik i
arti yang penting jika dilihat sangat kecilnya kisaran variasi di antara hewan dari suatu bangsa
atau strain, namun demikian, lama kebuntingan didapati berada di bawah kontrol genetik yang
kuat (Forbes, 1967 disitasi oleh Sahani dan Pant, 1978). Selain itu, lama kebuntingan dapat
pula dimodifikasi oleh faktor-faktor maternal, fetal, dan lingkungan (Jainudeen dan Hafez,
1993).
Terjadinya fertilisasi adalah hal yang sangat penting. Sperma haruslah berada di dalam
saluran reproduksi betina, uterus untuk suatu jangka waktu tertentu agar dapat membuahi
ovum secara efektif. Hal ini disebut kapasitasi spermatozoa. Kapasitasi mencakup pemecahan
parsial akrosom bagian luar dan membran plasma, sehingga enzim akrosom dapat dilepaskan.
Enzim-enzim tersebut selanjutnya dapat menimbulkan zona pelusida. Kapasitasi juga
mengaktifkan metabolism sel-sel sperma dengan menaikan laju glikolisis dalam sel dan
penaikan metabolism oksidatif. Kapasitasi dimulai di dalam uterus dan berakhir di dalam
oviduk.
Periode kebuntingan adalah waktu atau jarak antara perkawinan yang subur sampai dengan
kelahiran normal. Selama periode ini, dengan berkembangnya fetus maka uterus induk
mengalami perubahan anatomi dan fisiologi secara nyata. Lama kebuntingan penting untuk
memprediksi atau memprakirakan kapan seekor induk sapi beranak.

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Kebuntingan?
1.2.2 Apa saja hormon yang terlibat dalam proses kebuntingan?
1.2.3 Apa peran dan fungsi dari hormon-hormon tersebut?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui apa yang dimaksud dengan kebuntingan
1.3.2 Mengetahui hormone apa saja yang terlibat dalam proses kebuntingan
1.3.3 Mengetahui peran dan fungsi hormon-hormon kebuntingan

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sapi Bali


Sapi Bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng
liar (Bibos banteng). Proses domestikasi sapi Bali itu terjadi sebelum 3.500 SM di Indonesia.
Asal mula sapi Bali adalah dari Pulau Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribus i
sapi Bali di Indonesia (Payne dan Rollinson, 1973). Sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi
lokal Indonesia yang berasal dari Bali yang sekarang telah menyebar hampir ke seluruh penjuru
Indonesia bahkan sampai luar negeri seperti Malaysia, Filipina, dan Australia (Oka, 2010).

Menurut Hardjosubroto (1994), sapi Bali mempunyai ciri-ciri sebagai berikut


1. Warna sapi jantan adalah coklat ketika muda tetapi kemudian warna ini berubah agak
gelap pada umur 12--18 bulan sampai mendekati hitam pada saat dewasa, kecuali sapi
jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat
warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki
bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggira n
bibir atas.
2. Kaki di bawah persendian telapak kaki depan (articulatio carpo metacarpeae) dan
persendian telapak kaki belakang (articulatio tarco metatarseae) berwarna putih. Kulit
berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit
berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Bulu sapi Bali dapat dikatakan
bagus (halus) pendek-pendek dan mengkilap.
3. Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang.
4. Badan padat dengan dada yang dalam.
5. Tidak berpunuk dan seolah-olah tidak bergelambir.
6. Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau.
7. Pada tengah-tengah punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis
memanjang dari gumba hingga pangkal ekor.
8. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam.

3
9. Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk jenis sapi
betina tumbuh ke bagian dalam.

Keunggulan sapi Bali antara lain memiliki tingkat fertilitas, mencapai sekitar 80%, dalam
kondisi lahan yang kering dan tandus di NTT mencapai sekitar 75%, produksi karkas yang
tinggi (Noor et al., 2002) dan memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah
(Bugiwati, 2007). Hal tersebut merupakan salah satu indikasi sapi Bali untuk dikembangka n
sebagai ternak rakyat, namun permasalahan yang mengemuka pada sapi Bali adalah
rendahnya mutu genetis sapi Bali, tingginya kejadian silang dalam atau kawin sedarah
(inbreeding). Pengaruh genetik dalam silang dalam yang biasanya merugikan, yaitu:
penurunan daya tahan, kesuburan ternak, dan bobot lahir ternak (Sariubang et al., 1998) serta
adanya penyakit khusus sapi Bali, yaitu: penyakit Jembrana, penyakit ingusan (maligna nt
catarrhal fever) sehingga menurunkan reproduktivitas dan produktivitas sapi Bali (Noor et al.,
2002).

2.2 Reproduksi Sapi Bali


Reproduksi merupakan proses perkembangbiakan suatu makhluk hidup, dimulai sejak
bersatunya sel telur makhluk betina dengan sel mani dari si jantan menjadi makhluk hidup
baru yang disebut zigot, disusul dengan kebuntingan dan diakhiri dengan kelahiran anak. Pada
ternak, proses reproduksi dimulai setelah hewan betina dan hewan jantan mencapai dewasa
kelamin atau pubertas.
Reproduksi merupakan suatu proses yang berlangsung diatas keperluan dasar tubuhnya,
artinya untuk kelangsungan proses tersebut dibutuhkan pakan dan gizi diatas kebutuhan dasar
untuk hidup pokok (bertahan hidup). Dengan demikian, pemenuhan pakan dan gizi yang
memadai harus benar-benar diperhatikan agar kegiatan reproduksi dapat berjalan normal
(Toelihere, 1997).

2.2.1 Pubertas
Pubertas dapat didefenisikan sebagai umur atau waktu dimana organ-organ
reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Pada hewan jantan
puberitas ditandai dengan kesanggupan menghasilkan spermatozoa dan berkopulasi,

4
sedangkan pada betina ditandai dengan terjadinya berahi (estrus) dan ovulasi (Ilyas
dan Leksmono, 1995).
Pada umumnya semua hewan akan mencapai kedewasaan kelamin sebelum dewasa
tubuh. Perkembangan dan pendewasaan alat kelamin dipengaruhi oleh banyak faktor,
diantaranya adalah bangsa sapi dan manajemen pemberian pakan (Toelihere, 1985).
Pada hewan betina pubertas ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi. Estrus dan
ovulasi pertama akan disertai oleh kenaikan ukuran dan berat organ reproduksi secara
cepat.
Menurut Morrow (1986) aktivitas siklus repoduksi pada sapi dimulai pada usia 12
bulan dengan rentang 4 bulan sampai 2 tahun. Munculnya pubertas pertama kali
dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan eksternal. Secara umum puberitas dapat
didefinisikan sebagai umur atau waktu dimana organ-organ reproduksi mula i
berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Pubertas pada ternak betina
didefenisikan sebagai suatu fase atau keadaan dimana ternak tersebut menunjuka n
tada-tanda estrus (berahi) pertama kali, tingkah laku kawin dan menghasilkan sel telur
atau ovulasi atas pengaruh hormone esterogen.
Pubertas sapi bali rata-rata pada umur 2 sampai 2,5 tahun. Setelah sapi betina
mencapai pubertas maka untuk pertama kalinya sapi mengalami birahi dan berulang
setiap 21 hari sekali bila dalam kondisi tidak dikawinkan.

2.2.2 Birahi dan Siklus Birahi


Berahi adalah istilah dalam seksualitas yang menunjukkan keadaan kesiapan fisik
dan mental suatu individu untuk melakukan hubungan seksual/persanggamaa n.
Keadaan ini ditunjukkan oleh banyak hewan, termasuk manusia. Berahi dapat
didorong oleh siklus fisik (muncul secara alami) maupun dimanipulasi untuk muncul.
Berahi merupakan saat/waktunya alat reproduksi seekor ternak betina dimana ovum
siap menerima spermatozoa dari ternak jantan sehingga jika pada saat berahi terjadi
perkawinan dan pertemuaan sel kelamin jantan dengan sel kelamin betina dalam
ovarium akan terjadi zigot (pembuahan). Ilyas dan Leksmono (1995) menyataka n
hewan betina yang tidak bunting akan mengalami berahi dan ovulasi bila telah dewasa
kelamin dan kegiatan reproduksi telah dimulai menurut suatu siklus rithmik yang jelas.

5
Interval antara lain timbulnya suatu periode berahi kepermulaan periode berahi
berikutnya disebut siklus estrus (Disnak Riau, 1998).
Siklus berahi sapi yaitu 21 hari dengan selang antar 19-25 hari dan rataannya 20,8
hari. Terjadi berahi dan ovulasi pada seekor sapi betina dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti pakan, manajemen, dan lingkungan. Secara umum dipercaya bahwa
tanda-tanda berahi utama yang paling penting adalah hewan betina diam berdiri dan
bersedia dinaki (dikawinkan oleh pejantan), atau diam berdiri apabila dinaiki oleh
sesama hewan betina dewasa lain di dalam kelompoknya (Toelihere, 1977).
Siklus estrus pada dasarnya dibagi menjadi empat fase atau periode yaitu proestrus,
estrus, metestrus, dan diestrus (Marawali et al, 2001). Namun ada juga yang membagi
siklus estrus hanya menjadi dua fase, yaitu fase folikuler atau estrogenik yang melip uti
proestrusestrus, dan fase luteal yang terdiri dari metestrus dan diestrus (Toelihe re,
1979). Faktor-faktor yang mempengaruhi siklus estrus adalah umur, pakan, sistem
pemeliharaan dan lingkungan (Toelihere, 1985).
Indikasi berahi ditandai gejala gelisah, nafsu makan kurang, sering melenguh serta
memperlihatkan tanda khusus yakni mengeluarkan lendir bening pada vulva hingga
gejala tersebut hilang (Pemayun, dkk., 2011).

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kebuntingan
Kebuntingan merupakan proses yang dimulai sejak bersatunya sel kelamin jantan
(spermatozoa) dengan sel kelamin betina (ovum) menjadi sel baru yang dikenal dengan
istilah zigot (Nancarrow et al,. 1981; McDonal, 1989). Sedangkan menurut Frandson
(1992) menyatakan kebuntingan berarti keadaan anak sedang berkembang di dalam uterus
seekor hewan. Periode kebuntingan dimulai dengan fertilisasi dan di akhri dengan
kelahiran (Stabenfeldt dan Edqvist, 1984).
Periode kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan berakhir dengan kelahiran
anak yang hidup. Peleburan spermatozoa dengan ovum mengawali reaksi kimia dan fisika
yang majemuk, bermula dari sebuah sel tunggal yang mengalami peristiwa pembelahan
diri yang berantai dan terus menerus selama hidup individu tersebut. Tetapi berbeda dalam
keadaan dan derajatnya sewaktu hewan itu menjadi dewasa dan menjadi tua. Setelah
pembuahan, yang mengembalikan jumlah kromosom yang sempurna, pembelahan sel
selanjutnya bersifat mitotic sehingga anak-anak sel hasil pembelahannya mempunya i
kromosom yang sama dengan indukselnya. Peristiwa ini berlangsung sampai hewan
menghasilkan sel kelamin (Salisbury, 1985).
Pertumbuhan makhluk baru terbentuk sebagai hasil pembuahan ovum oleh
spermatozoa dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu: periode ovum, periode embrio dan
periode fetus. Periode ovum dimulai dari terjadinya fertilisasi sampai terjadinya implantas i,
sedang periode embrio dimulai dari implantasi sampai saat dimulainya pembentukan alat-
alat tubuh bagian dalam. Periode ini disambung oleh periode fetus. Lamanya periode
kebuntingan untuk tiap spesies berbeda-beda perbedaan tersebut disebabkan faktor genetik.
Menurut Rianto dan Purbowati (2009) setelah 21 hari (18-23 hari) dari perkawinan
alam atau Inseminasi Buatan (IB), perlu pengamatan berahi lagi pada induk sapi. Bila tidak
ada gejala berahi hingga dua siklus (42 hari) berikutnya, kemungkinan induk berhasil
bunting. Namun demikian untuk meyakinkan bunting tidaknya, setelah 60 hari sejak

7
dikawinkan dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan palpasi rectal. Beberapa
gejala (tanda-tanda) yang dapat diketahui adalah:
1) Berat badan meningkat, diikuti dengan bertambahnya besarnya dinding perut yang
dapat dilihat dengan jelas,
2) Pada sapi betina yang pertama kali bunting terlihat adanya perubahan ambing,
3) adanya gerakan perut dibagian sebelah bawah, sisi kanan dan belakang,
4) Pada akhir masa kebuntingan, otot-otot sekitar tulang panggul kelihatan mengendur,
5) Vulva sedikit membengkak dan lendir banyak keluar.
Menurut Feradis (2010) keberhasilan kebuntingan tergantung pada ketepatan waktu
antara perkembangan mekanisme lutiolitik pada induk dan antiluteolitik yang dihasilka n
oleh konseptus. Apabila tidak terjadi keseimbangan akan menyebabkan kematian embrio
dan hal ini merupakan penyebab utama kegagalan reproduksi pada sapi. Lama kebuntinga n
pada sapi bali sekitar 280-294 hari (Devendra et al., 1973). Lama kebuntingan tersebut
dipengaruhi oleh jenis kelamin anak, iklim, kondisi makanan dan umur induk (Djagra et
al., 1979).

3.2 Hormon-hormon Kebuntingan


3.2.1 Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)
Progesterone memiliki beberapa peran penting untuk mengatur kebuntinga n
normal. peran-perannya meliputi (1) Menyediakan negative feedback ke
hipotalamus untuk menghambat terjadinya siklus estrus, (2) menghambat kontraksi
otot polos pada uterus untuk penempelan dan perkembangan fetus, dan (3)
mengatur kontraksi cervix untuk menjaga kebuntingan dari lingkungan luar
(Frandson et al., 2009). Kadar hormone ini menurut para peneliti lebih tinggi pada
saat sapi bunting daripada saat tidak bunting. Lebih tepatnya saat awal kebuntinga n
kadar hormone ini meningkat. Hormon ini mengalami penurunan dari kelenjar
hipofisa disebabkan naiknya kadar estrogen yang menghambat pembentukan
hormone tersebut.
GnRH merupakan suatu dekadeptida (10 asam amino) dengan berat
molekul 1183 dalton. Hormon ini menstimulasi sekresi follicle stimula ting
hormone (FSH) dan Lutinizing Hormone (LH) dari hipofisis anterior (Salisb ur y

8
danvandemark, 1985). Pemberian GnRH meningkatkan FSH dan LH dalam
sirkulasi darah selama 2 sampai 4 jam (Chenault et al., 1990).
Secara alamiah, terjadinya level tertinggi (surge) LH yang menyebabkan
ovulasi merupakan hasil control umpan balik positif dari sekresi estrogen dari
folikel yang sedang berkembang. Berikut ini adalah mekanisme kerja GnRH.
Hipotalamus akan mensekresi GnRH, kemudian GnRH akan menstimulas i
hipofisis anterior untuk mensekresi FSH dan LH. FSH bekerja pada tahap awal
perkembangan folikel dan dibutuhkan untuk pembentukan folikel antrium
FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk mensekresikan estrogen.
Menjelang waktu ovulasi konsentrasi hormon estrogen mencapai suatu tingkatan
yang cukup tinggi untuk menekan produksi FSH dan dengan pelepasan LH
menyebabkan terjadinya ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding folike l
dan pelepasan ovum. Setelah ovulasi maka akan terbentuk korpus luteum dan
ketika tidak bunting maka PGF2α dari uterus akan melisiskan korpus luteum.
Tetapi jika terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan terus dipertahankan
supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk menjaga kebuntingan (Imron,
2008).

3.2.2 Estrogen
Pada awal kebuntingan hormone ini sedikit kemudian kadarnya mulai naik pada
saat umur kebuntintingan mulai tua. Pada usia kebuntingan 4 bulan akhir sapi akan
mengekskresikan 10 kali lipat hormone estrogon di dalam air seninya dibanding
sesudah melahirkan.
Secara alami hormon estrogen dihasilkan oleh folikel yang sedang berkembang,
terutama di dalam sel sel granulosa folikel de Graff. Jika folikel de Graff mencapai
ukuran maksimum sampai sesaat sebelum terjadi ovulasi, maka dalam waktu yang
bersamaan jumlah sel sel teca interna mencapai maksimal. Estrogen merupakan
hormon steroid yang berperan dalam merangsang perkembangan saluran kelamin
betina, merangsang pelepasan Gn-RH dari hipotalamus dan LH dari hipofisis yang
berperan dalam pematangan dan ovulasi folikel de Graff dan mensensitifkan sel sel

9
granulosa untuk berespons terhadap gonadotropin dan merangsang proliferasi serta
diferensiasi sel sel tersebut (Whittier et al., 1986).
Hormon estrogen mempunyai peran dalam proses ovulasi melalui umpan balik
positif terhadap LH, mempengaruhi uterus untuk dapat meningkatkan endometrium
dan miometrium melalui hiperplasia dan hipertrofi sel, perkembangan sifat kelamin
sekunder, merangsang pertumbuhan dan perkembangan kelenjar mammae,
selanjutnya estrogen mempunyai efek negatif dan positif terhadap hipotalamus dan
pelepasan FSH dan LH (Jabour et al. 1993; McG Agro et al. 1994).

3.2.3 Progesterone
Hormon progesteron adalah hormon yang dihasilkan oleh corpus luteum,
tetapi juga didapati di adrenal, plasenta dan testis. Secara umum progesteron
bekerja pada jaringan yang telah dipersiapkan oleh estrogen (Frandson, 1992).
Secara alamiah hormon progesteron dihasilkan oleh corpus luteum (CL), plasenta
dan kelenjar adrenal. Berdasarkan sifat kimiawinya hormon ini dapat
mempersiapkan uterus untuk memelihara kebuntingan.
Sebagai hormon pertumbuhan yang berperan dalam proses pertumbuha n
kelenjar mammary, bersama-sama dengan laktogen plasenta akan bertanggung
jawab terhadap proses percabangan dan pembentukan sel-sel epitel kelenjar ambing
(Manalu et al, 1998). Hormon progesteron pada ternak sapi dan domba
disekresikan oleh plasenta selama stadium akhir kebuntingan, peran hormon
progesteron secara fisiologis ada tiga kondisi yaitu selama proses siklus estrus,
selama kebuntingan dan pasca lahir. Disebutkan oleh Hafez (1987), bahwa
progesteron merupakan hormon kebuntingan karena akan menyebabkan penebalan
endometrium dan perkembangan kelenjar uterin dalam persiapan terjadinya
impalntasi ovum yang sudah dibuahi dan menjaga selama kebuntingan.
Progesteron penting selama kebuntingan terutama pada tahap-tahap awal.
Apabila dalam uterus tidak terdapat embrio pada hari ke 11 sampai 13 pada babi
serta pada hari ke 15 – 17 pada domba, maka PGF2α akan dikeluarkan dari
endometrium dan disalurkan melalui pola sirkulasi ke ovarium yang dapat
menyebabkan regresinya corpus luteum (Bearden and Fuquay, 2000). Apabila

10
PGF2α diinjeksikan pada awal kebuntingan, maka kebuntingan tersebut akan
berakhir. Kasus-kasus aborsi pada kebuntingan muda dibawah tiga bulan lebih
banyak ditimbulkan oleh pengaruh kekurangan produksi hormon ini (Macmilla n
dan Peterson, 1993).

11
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kebuntingan merupakan proses yang dimulai sejak bersatunya sel kelamin jantan
(spermatozoa) dengan sel kelamin betina (ovum) menjadi sel baru yang dikenal dengan
istilah zigot (Nancarrow et al,. 1981; McDonal, 1989). Periode kebuntingan dimula i
dengan fertilisasi dan di akhri dengan kelahiran (Stabenfeldt dan Edqvist, 1984). Selama
periode kebuntingan berlangsung hormone yang terlibat adalah GnRH yang perannya
adalah (1) Menyediakan negative feedback ke hipotalamus untuk menghambat terjadinya
siklus estrus, (2) menghambat kontraksi otot polos pada uterus untuk penempelan dan
perkembangan fetus, dan (3) mengatur kontraksi cervix untuk menjaga kebuntingan dari
lingkungan luar; Estrogen yang berperan memberika umpan balik positif terhadap LH,
mempengaruhi uterus untuk dapat meningkatkan endometrium dan miometrium melalui
hiperplasia dan hipertrofi sel, perkembangan sifat kelamin sekunder, merangsang
pertumbuhan dan perkembangan kelenjar mammae, selanjutnya estrogen mempunyai efek
negatif dan positif terhadap hipotalamus dan pelepasan FSH dan LH; dan Progesteron yang
memiliki peran untuk penebalan endometrium dan perkembangan kelenjar uterin dalam
persiapan terjadinya impalntasi ovum yang sudah dibuahi dan menjaga selama
kebuntingan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Arman, C. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lama Kebuntingan pada Sapi Hissar
Sumbawa. Vol 1. No 4.

Berden and Fuquay. 2000. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan. Penerbit ITB. Bandung.

Bugiwati, S. R. A. 2007. Pertumbuhan dimensi tubuh pedet jantan sapi Bali di Kabupaten Bone
dan Barru Sulawesi Selatan. Jurnal Sains dan Teknologi 7:103-108.

Chenault, dkk. 1990. Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.

Devendra CT, Lee KC, Pathmasingam. 1973. The Productivity of Bali Cattle In Malaysia. J Agric
49:183-197.

Dinas Peternakan Provinsi Riau. 1998. Buku pintar peternakan.Dinas Peternakan Provinsi Riau.

Djagra IB, Lana IK, Sulandra IK. 1979. Faktor-faktor yang berpengaruh pada berat lahir dan berat
sapih sapi Bali. Denpasar: Prosiding Seminar Keahlian di Bidang Peternakan. Univers itas
Udayana.

Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi pada Ternak. Alfabeta. Bandung

Frandsond, R.D. 1992. Anatomy dan Fisiologi Hewan. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Hafez, E. S. E. 1987. Reproduction in Farm Animal 4th ed. Lea and Febiger Philadelphia.

Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: Gramedia

Widiasarana

Ilyas, A.Z. dan C.S. Leksmono. 1995. Pedoman pengembangan dan perbaikan ternak kerbau di
Indonesia.Dirjen Peternakan bekerjasama dengan FAO.

Imron, A. 2008. Biologi Reproduksi. Universitas Brawijaya. Malang

Jabbour H.M., Valehuizen F.A., Green .G, Asher G.W., 1993. Endocrine Responses and
Conception Votes In Follow Deer (Dama Dama) Following Oestrous Synchronization and

13
Cervical Insemination With Fresh or Frozen-thawed Spermatozoa. J. Reprod. Fert. 98: 495-
502.

Jainudeen, M.R. dan Hafez, E.S.E. 1993. Gestation, Prenatal Physiology, and Parturition. In:
Reproduction in Farm Animals. (E.S.E. Hafez, Editor), 6th addition, Lea and Febiger,
Philadelphia

Macmillan, K.L. and A.J. Peterson, 1993. A New Intravaginal Progesterone Realising Device For
Cattle (CIDR-B) for Estrus Synchronization, Increasing Pregnancy Rate and The
Treatment of Postpartum Anestrus. J.anim. Sci. 33 : 1-25.

Manalu, W. and M.Y. Sumaryadi. 1998. Mammary gland indices at the end of lactation in Javanese
thin-tail ewes with different litter size. Asian-Austr. J. Anim. Sci. 11:648-654.

Marawali, A. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Reproduksi Ternak. Departemen Pendidikan Nasional


Direktorat Pendidikan Tinggi Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia
Timur. Jakarta

McDonald LE. 1989. Reproductive Pattern of Horse. In: Veterinary Endocrinologi and
Reproduction 4th Ed. LE McDonald dan MH Pineda (Ed.). Lea dan Febiger, Philadelp hia.

McG Agro, Jabbour C.H.M., Goddard P.J., Webb R. London A.S.I. 1994. Superovulation In Red
Deer (Cervus Elaphus) and Pere David-s Deer (Elapharus Davidianus) and Fertilita tio n
Rates Following Artificial Insemination With Pere David-s Deer Semen. J. Reprod. Fert.
100: 629-636.

Morrow, D.A. 1986. Current Therapy in Theriogenology 2. W.B. Sounders. Philadelphia.

Nancarrow CD, Wallace ALC, Grewal AS. 1981. The early pregnancy factor of sheep and catlle.
J Reprod Fertil Suppl, 30: 191-199.

Noor, R. R, A. Farajallah dan M. Karmita. 2002. Pengujian kemurnian sapi Bali dengan analis is
hemoglobin dengan metode Isoelectric Focusing. Hayati 8: 107-111.

Oka IGL. 2010. Conservation and genetic improvement of Bali Cattle.Proc. Conservation and
Improvement of Wordl Indigenous Cattle. 110-117.

14
Payne, W.J.A. and D.H.L. Rollinson. 1973. Bali cattle from World Animal Review. Food and
Agriculture Organization of the United Nations. Via Delle Terme. Italy

Prasojo G., Arifinantini I., Mohamad K. 2010. Korelasi antara Lama Kebuntingan, Bobot Lahir
dan Jenis Kelamin Pedet Hasil Inseminasi Buatan pada Sapi Bali. Vol 11 No 1:41-45

Rianto, E dan E. Purbowati. 2009. Panduan Lengkap Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sahani, M.S. dan Pant, K.P., 1978. Breed differences in the duration of pregnancy in sheep

Salisbury, 1985. Fisiologi Reproduksi Hewan Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung

Sariubang, M., D. Pasambe, dan Chalidjah. 1998. Pengaruh kawin silang terhadap performa hasil
turunan pertama (F1) pada sapi Bali di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner, Bogor. Hal. 107-110.

Siswanto M, Patmawati NW, Trinayani N.N., Wandia I.N., Puja I.K. 2013. Penampila n
Reproduksi Sapi Bali pada Peternakan Intensif di Instalasi Pembibitan Pulukan. Vol 1 No
1:11-15

Stabenfeldt, G. H. and L. E. Edqvist. 1984. Female reproduction. Duke’s Physiology of Domest ic


Animal. 10th ed. M.J. Swenson (Editor). Comstock Publishing Associates. Ithaca.

Talib C, Entwistle K, Siregar A, Budiarti TS, Lindsay D. 2002. Survey of population and
production dynamics of Bali cattle and existing breeding programs in Indonesia. In:
Proceeding of an ACIAR Workshop on “Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern
Indonesia”, Denpasar, Bali, Indonesia

Toelihere, Mozes R. 1977. Fisiologi Reproduksi Hewan Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.

Toelihere, M. R. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.

Toelihere, M. R. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung

Toelihere, M.R. 1997. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung.

Whittier, J.C., G.H Deutcher, and D.C. Clanton. 1986. Progesterone and Prostaglandin for Etrus.

15

Anda mungkin juga menyukai