Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat merupakan zat kimia yang dapat mempengaruh proses hidup, maka
farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun,untuk tenaga
medis, ilmu ini dibatasi tujuannya agar dapat menggunakan obat untuk maksud
pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Farmakologi dapat dirumuskan
sebagai kajian terhadap bahan-bahan yang berinteraksi dengan sistem kehidupan
melalui proses kimia, khususnya melalui pengikatan molekul-molekul regulator
yang mengaktifkan/ menghambat proses-proses tubuh yang normal (Betran G.
Katzung). Farmakologi mencakup pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat kimia
dan fisik, komposisi, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja, absorpsi,
distribusi, biotransformasi, ekskresi dan penggunaan obat. Seiring berkembangnya
pengetahuan, eberapa bidang ilmu tersebut telah berkembang menjadi ilmu
tersendiri (Setiawati dkk, 1995)
Cabang farmakologi diantaranya, farmakognosi, biofarmasi,
farmakokinetika, farmakodinamika, toksikologi, farmakoterapi, farmakogenetik,
farmakovigilans. Pada penulisan makalah ini akan di bahas salah satu cabang
farmakologi yaitu farmakodinamik.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari farmakodinamik?
2. Bagaimana mekanisme kerja farmakodinamik dan pembagiannya?
3. Apa yang dimaksud dengan antagonisme farmakodinamik?
4. Bagaimana interaksi obat dan reseptor obat?
5. Bagaimana hubungan obat dengan respon obat?
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami definisi dari farmakodinamik.
2. Untuk mengetahui antagonisme farmakodinamik.
3. Untuk mengetahui interaksi obat dengan reseptor obat.
4. Untuk mengetahui hubungan obat dan respon obat

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Farmakodinamik


Farmakodinamik berasal dari bahasa Yunani “Farmako” yaitu obat dan
“Dinamic” yaitu kemampuan (power). Farmakodinamik adalah ilmu yang
mempelajari efek-efek biokimiawi dan fisiologi obat serta mekanisme kerja obat
tersebut didalam tubuh (Gunawan, 2009). Secara singkat farmakodinamika
mencakup semua efek yang dilakukan oleh obat terhadap tubuh.
Tujuan mempelajari farmakodinamika ini adalah untuk meniliti efek obat
utama, mengetahui interaksi obat dengan sel, mengetahui urutan peristiwa serta
spectrum efek dan respon yang terjadi, merupakan dasar terapi rasional, dan
berguna untuk sintesis obat baru.

2.2 Mekanisme Kerja Obat


Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel
suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan
biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut.
Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2
konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal
tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya
memodulasi fungsi yang sudah ada. Setiap komponen makromolekul fungsional
dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga
berperan sebagai reseptor yang ligand endogen (hormon, neurotransmitor).
Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya,
senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara
kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonist binding site) disebut
antagonis.
Meskipun terdapat ratusan regulator terutama hormon dan neurotransmitter,
namun setiap zat mengetahui dengan tepat dimna letak sel dan organ tujuannya.
Sistem interaksi ini dapat disamakan dengan prinsip kunci dan anak kunci, karena

2
terdapatnya sejenis informasi biologis disetiap zat dalam bentuk konfigurasi
khusus, struktur ruang serta sifat-sifat kimia yang cocok dengan sel-sel reseptor di
organ tujuan. Selain hormon tersebut ada juga reseptor untuk zat – zat lain,
misalnya zat endorfin.
Mekanisme kerja obat secara umum dapat digolongkan, sebagai berikut:
1. Secara fisik, contohnya anastesi inhalasi (bersifat lifopil) melarut
dalam lapisan lemak dalam membrane sel mengakibatkan transport
oksigen dan aktifitas zat-zat gizi terganggu sehingga aktifitas sel
terhambat.
2. Secara kimiawi, contohnya Antasida (Na bicarbonate, Al3, MgOH)
mengikat keleebihan asam lambung melalui reaksi netralisasi
kimiawi.
3. Melalui proses metabolisme, contohnya Antibiotika mengganggu
pembentukan dinding sel kuman, sintesis protein atau metabolisme
asam nukleat.
4. Secara kompetisi (saingan), kompetisi reseptor spesifik dan
kompetisi untuk enzim.

2.3 Reseptor Obat


Reseptor merupakan makromolekul seluler tempat terikatnya obat untuk
menimbulkan respon. Komponen yang paling penting dalam reseptor adalah
protein yang berfungsi sebagai reseptor fisiologik bagi ligand endogen seperti
hormone, neurotransmitter, autacoid. Fungsi dari reseptor sendiri adalah untuk
pengikatan ligand yang sesuai dan penghantaran sinyal yang menimbulkan efek
intrasel atau yang tidak langsung memilah sintesis atau pelepasan molekuk intrasel
lain (second messanger).

2.4 Transmisi Sinyal Biologis


Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu
substansi ekstraseluler (extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu
respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini dimulai dengan

3
pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasma oleh
transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifat polar. Contoh, transmitor untuk
reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH, LH. Sedangkan
untuk reseptor yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal),
tiroksin, vit. D.

2.5 Antagonisme Farmakodinamik


Secara farmakodinamika antagonisme dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Antagonisme fisiologik
Anatagonisme ini terjadi pada organ yang sama tetapi pada sistem reseptor
yang berlainan. Misalnya, efek bronkhokonstriksi, histamin pada bonkhus
lewat reseptor histamin dapat dilawan dengan memberikan adrenalin yang
bekerja pada adrenoreseptor beta.
2. Antagonisme pada reseptor
Antagonisme terjadi melalui sistem reseptor yang sama, artinya antagonis
mengikat reseptor ditempat ikatan agonis (aktif site). Antagonism ini dapat
bersifat kompetitif dan non-kompetitif. Pada antagonisme kompetitif,
antagonis berikatan dengan reseptor site secara reversibel sehingga dapat
digeser oleh agonis tingkat tinggi. Sedangkan, antagonism non-kompetitif
terjadi bila agonisnya mengikat reseptor secara ireversibel di reseptor site
atau ditempat lainnya, sehingga menghalangi ikatan agonis dengan
reseptornya.

Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu


obat oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Obat yang menyebabkan
pengurangan efek disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau
ditiadakan disebut agonis. Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat
lain disebut obat objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain disebut
obat presipitan.

4
2.6 Interaksi Obat dan Reseptor Obat
Hubungan obat dengan reseptor sama seperti kunci (obat) dan gembok
(reseptor), yaitu suatu reseptor dapat berikatan dengan sekelompok senyawa kimia
yang sejenis (a family of chemicals or hormones). Setiap senyawa tersebut akan
menunjukkan keterikatan khusus pada reseptornya yang disebut afinitas. Afinitas
adalah ukuran seberapa kuat suatu obat berikatan dengan reseptornya. Ikatan obat
dan reseptor dapat menimbulkan efek (agonis) dan dapat pula meniadakan efek
(antagonis). Menurut Shargel dan Yu (1993), farmakodinamik merupakan
hubungan antara kadar obat di tempat aksinya (reseptor) dan respon farmakologi,
dengan melibatkan efek fisiologi dan biokimia dari struktur molekul obat. Terdapat
beberapa teori mengenai interaksi obat dan reseptor, antara lain:
1. Teori Klasik
Ehrlich (1907) memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep
sederhana tentang interaksi antara obat-reseptor, dimana obat tidak akan
dapat menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor. Interaksi yang terjadi
antara struktur dalam tubuh (sisi reseptor) dengan molekul asing yang sesuai
(obat) yang saling mengisi akan menimbulkan suatu respon biologis.
2. Teori Pendudukan
Dikemukakan oleh Clark pada tahun 1926. Teori ini memperkirakan satu
molekul obat akan menempati satu sisi reseptor. Obat harus diberikan dalam
jumlah 5 berlebih agar tetap efektif selama proses pembentukan kompleks.
Besar efek biologis yang terjadi sesuai dengan jumlah reseptor spesifik yang
diduduki molekul obat yang juga sebanding dengan banyak kompleks obat-
reseptor yang terbentuk. Jadi respon biologis merupakan fungsi dari jumlah
kompleks obat-reseptor. Respon biologis yang terjadi dapat merupakan
rangsangan aktivitas (efek agonis) dan pengurangan aktivitas (efek
antagonis).
3. Teori Kecepatan
Croxatto dan Huidobro (1956), memberikan postulat bahwa obat hanya
efisien pada saat berinteraksi dengan reseptor. Kemudian teori ini dijelaskan
oleh Paton (1961) yang mengemukakan bahwa efek biologis setara dengan

5
kecepatan ikatan obat-reseptor dan bukan dari jumlah reseptor yang diduduki
oleh obat. Pada teori ini, tipe kerja obat ditentukan oleh kecepatan
penggabungan (asosisasi) dan peruraian (disosiasi) komplek obat-reseptor
dan bukan dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil. Senyawa
dikatakan agonis jika kecepatan asosiasi (sifat mengikat reseptor) dan
disosiasi besar. Senyawa dikatakan antagonis jika kecepatan asosiasi sangat
besar sedangkan disosiasinya kecil. Dan senyawa agonis parsial adalah jika
kecepatan asosiasi dan disosiasinya tidak maksimal.

2.7 Hubungan Obat dengan Respon Obat


Hubungan obat dengan respon obat menggambarkan suatu distribusi
frekuensi individu yang memberikan respons pada rentang dosis tertentu. Dosis
berbanding lurus dengan respon obat, Respon berhenti pada konsentrasi tertentu.
Terdapat 4 variabel dalam hubungan obat dengan respon obat yaitu, potensi,
kecuraman (slope), efek maksimal, dan variasi biologis.

1. Potensi, menunjukkan rentang dosis obat yang dapat menimbulkan efek.


Besarnya potensi ditentukan oleh kardar obat yang mencapai respond an
afinitas obat terhadap reseptornya.
2. Efek maksimal, merupakan respon maksimal yang menimbulkan obat bila
diberikan pada dosis tinggi, ini ditentukan oleh aktivitas instrinsik obat dan

6
ditunjukkan oleh dataran (plateu), pada DEC. Dalam klinik mungkin kurang
dari efek maksimal sesungguhnya.
3. Slope, variabel yang penting karena menunjukkan batas keamanan obat. Log
DEC merupakan variabel yang penting karena menunjukkan batas
kemampuan obat. Lereng yang curam, misalnya pada phenobarbital dosis
koma hanya sedikit lebih tinggi dari dosis sedasi.
4. Variabilitas, variasi antar individu dalam besarnya respon terhadap dosis sama
dari suatu obat.

Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu disebut dengan dosis
terapi median atau dosis efektif median (ED50). Dosis lethal median (LD50) merupakan
dosis yang menimbulkan kematian pada 50% individu, sedangkan TD50 merupakan toksik
50%. Perbandingan antara kedua dosis ini dinamakan Indeks terapi. Semakin besar indeks
ini semakin aman penggunaan obat tersebut. Luas terapi adalah jarak antara LD50 dan
ED50, juga disebut jarak keamanan atau Safety margin. Dalam studi farmakodinamika di
laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio sebagai berikut,

TD50 LD50
Indeks terapi = _____ atau _____
ED50 ED50

Kesalahan pemberian obat yang sering terjadi justru bukan karena kesalahan
diagnosis, melainkan lebih sering dikarenakan kurang diperhatikannya dosis dan cara
pemakaian obat yang tidak disesuaikan dengan kondisi pasien, dengan kata lain pemberian
obat bersifat uji coba. (Eki Saputra et al, 2012)

7
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Farmakodinamik adalah ilmu yang mempelajari efek-efek biokimiawi dan
fisiologi obat serta mekanisme kerja obat tersebut didalam tubuh (Gunawan, 2009).
Mekanisme kerjanya secara umum digolongkan menjadi 4, yaitu secara fisik,
secara kimiawi, melalui proses metabolisme, dan secara kompetisi. Antagonisme
farmakodinamika merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu
obat oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Interaksi obat
dianalogikan sebagai kunci (obat) dan gembok (reseptor), yaitu suatu reseptor dapat
berikatan dengan sekelompok senyawa kimia yang sejenis. Hubungan obat dengan
respon obat menggambarkan suatu distribusi frekuensi individu yang memberikan
respons pada rentang dosis tertentu.

3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih focus dan detail dalam menjelaskan isi dari makalah ini dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan.

8
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Katzung, B.G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.

Saputra, Eki et al. 2012. Sistem Pakar Dalam Bidang Farmakolgi dan Terapi
Menggunakan Metode Pelacakan Forward Chaining. Riau: Jurnal Sains,
Teknologi dan Industri. Vol. 10, No. 1

Sanjoyo, Raden. Obat (Biomedik Farmakologi). D3 Rekam Medis FMIPA Universitas


Gajah Mada Available from: http://yoyoke.web.ugm.ac.id/

Shargel L, Yu ABC. 1993. Applied Biopharmaceutic and Pharmacokinetics. 3th. Appleton


and Lange. Connecticut. 10- 50,375-395

Sulanjani, Ian et al. 2013. Dasar-dasar Farmakologi. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan

Wijayanti, A.D. et al. 2010. Penentuan Efektifitas Oksitetrasiklin Melalui Parameter


Farmakokinetik/farmakodinamik pada Plasma dan Jaringan Ayam Broiler. Jurnal
Veteriner. Vol. 11, No. 2:119-125

Anda mungkin juga menyukai