KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
rahmatNya penyusunan bahan ajar ini dapat diselesaikan.
Bahan ajar ini bertujuan untuk membantu mahasiswa semester IV yang
memprogramkan mengikuti kuliah elektif “Ilmu Penyakit Unggas” terutama bisa
mendiagnosa dan melaksanakan tindakan (pencegahan, pengobatan dan pengendalian)
infeksi/infestasi parasit).
Bahan ajar ini disusun berdasarkan beberapa buku acuan yang dimiliki oleh kelompok
ilmu parasitologi serta dilengkapi dengan acuan lain yang didapat. Pada kesempatan ini
penulis menyampaikan terima kasih kepada sejawat yang ikut melengkapi bahan ajar ini.
Bahan ajar ini membahas parasit unggas terpenting yang disebabkan oleh : helminth,
protozoa dan arthropoda.
Harapan penulis semoga bahan ajar ini bisa memenuhi haparan sesuai dengan tujuan
diatas. Demi penyempurnaan dan kesempurnaannya, bahan ajar ini akan direvisi setiap tahun
dengan menambahkan acuan baru dan disesuaikan dengan peta perkembangan penyakit.
Pengampu
1
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ..................................................................................................... i
Daftar Isi .............................................................................................................. ii
Pendahuluan …………………………………………………………………….. 1
I. Jenis Cacing Yang Menginfeksi Ayam 2
Kelas Nematoda
1. Oxyspirura mansoni .............................................................................. 2
2. Syngamus trachea ................................................................................. 3
3. Capillaria anulata ............................................................................... 5
4. Tetrameres amenicana ......................................................................... 7
5. Dispharynx nasuta ............................................................................... 9
6. Cheilospirura hamulosa ....................................................................... 10
7. Ascaridia galli ..................................................................................... 11
8. Capillaria caudinflata ......................................................................... 13
9. Strongyloides avium ............................................................................ 14
10.Heterakis gallinarum ............................................................................ 15
11.Capillaria anatis ................................................................................... 17
Kelas Kestoda 18
Kelas Trematoda 19
II. Jenis Protozoa yang Menginfeksi Ayam 21
1. Malaria Unggas Sebab Plasmodium spp…………………………............ 21
2. Malaria Unggas Sebab Leucocytozoon spp ……………………………... 24
3. Koksidiosis ………………………………………………………....... 27
III.Jenis Artropoda Yang Menginfeksi Ayam
1. Kudis Kaki Bersisik (Scaly Leg) …………………………………… 31
2. Kutu ………………………………………………………………. 32
2
PENDAHULUAN
Berdasarkan kajian pustaka, ayam (Gallus domesticus) baik jenis lokal dan
persilangannya banyak terinfeksi oleh parasit. Parasit dapat dibedakan, menjadi : Endo-
parasit (Helminth (cacing), yang terdiri dari cacing : Nematoda (cacing gilik), Cestoda
(cacing pita) dan Trematoda (cacing daun). Selain cacing juga terinfeksi oleh Protozoa darah
dan protozoa saluran cerna, serta Ekto-parasit artropoda kelas Insekta, (kutu, pinjal, lalat dan
nyamuk), dan kelas araknida (caplak dan tungau).
Hasil penelitian cacing kelas nematoda yang telah ditemukan menginfeksi ayam di
Bali, antara lain : Oxyspirura mansoni, Syngamus trachea, Aquaria sp, Tetramers sp,
Ascaridia galli, Strongyloides avium, dan Heterakis gallinarum (data tidak dipubikasikan).
Cacing pita yang menginfeksi ayam diantaranya : Davainea sp, Raillietina sp serta cacing
daun Echinostoma sp.
1
Parasit ayam yang akan dibahas lebih lanjut adalah yang telah ditemukan menginfeksi
ayam di Bali.
KELAS NEMATODA
CACING GILIK
OXYSPIRURA MANSONI
Morfologi Makroskopis : Cacing jantan berukuran panjang 10-16 mm dan cacing betina
panjangnya 12 - 19 mm. (1,2,3). Mikroskopis, kutikulanya halus (1). Telur cacing telah
berembrio saat keluar bersama tinja 50 – 65 X 45 mikron (1,2,3,4)
Siklus hidup, telur bersama sekreta mata mengalir melalui duktus lakrimalis masuk saluran
pencernaan dan keluar bersama tinja unggas terinfeksi (1,4) Sebagai hospes intermediernya
yang baru diketahui adalah kecoa "Pycnoscelus surinamensis” dan larvanya berkembang di
dalan tubuh hospes intermedier (1,2,3)
Cara penularan, unggas akan terinfeksi jika memakan kecoa infektif. Setelah tertelan, di
dalam tembolok larva akan keluar dari tubuh hospes intermedier (4) selanjutnya bermigrasi
menuju esofagus, faring, duktus lakrimal dan sampailah di dalam mata. Larva cacing akan
ditemukan 20 menit setelah kecoa infektif tertelan olah unggas (1,2,4).
2
Patogenesa dan Gejala Klinis, tergantung pada intensitas infeksi, semakin banyak cacing
yang menginfeksi gejalanya akan semakin nyata. Adanya cacing di dalam mata, akan
menyebabkan terjadinya iritasi, sehingga keluar cairan air mata pada salah satu dan atau
kedua mata. Selain itu akan terjadinya radang konjungtiva (konjungtivitis), sehingga teramati
kemerahan, jika diikuti oleh infeksi sekunder Bakteri terjadi kekeruhan kornea, mata
membengkak dan ditutupi oleh eksudat dan nanah (pus). Gejala lainnya teramati : kelemahan
umum, nafsu makan menurun dan ayam menjadi buta (*)
Pengobatan, mencabuti cacing dari dalam mata dengan menggunakan pinset, tetapi
sebelumnya cacing harus dibunuh terlebih dahulu menggunakan air tembakau atau obat bius
mata. Asam borak 2 – 3 %, Lysol 0,05% juga bisa dipergunakan dengan cara diteteskan (2).
Tetramisole dengan konsentrasi 10% diberikan satu - tiga tetes pada mata dapat membunuh
cacing dewasa, juga bisa diberikan Tetramisole secara oral dengan dosis 40 mg / kg (1)
Pencegahan, berkaitan dengan siklus hidup parasit, tindakan pencegahan harus mencakup
langkah-langkah kebersihan umum dan pengendalian kecoa sebagai hospes intermediernya
(1).
2. SYNGAMUS TRACHEA
Morfologi Makroskopis : dikenal juga dengan cacing menganga, pada keadaan segar
berwarna merah muda (karena menghisap darah) (2,4), cacing selalu ditemukan dalam
keadaan berpasangan permanen. Cacing betina berukuran panjang (5 – 40 mm) lebih besar
dibandingkan dengan cacing jantan. Mikroskopis : sepanjang permukaan tubuh cacing
3
betina terdapat celah untuk tempat cacing jantan yang ukurannya lebih kecil (2 - 6 mm) untuk
melekatkan diri , sehingga kedua cacing ini terlihat membentuk huruf Y. Telurnya berbentuk
elips dan mempunyai operculum, berukuran 85 – 90 X 50 mikron (1,2).
Unggas peka, Ayam, kalkun dan berbagai unggas lainnya (2), jarang pada angsa (4).
Siklus hidup, cacing betina dewasa akan bertelur, kemudian saat batuk telur akan terlontar
dan tertelan menuju saluran pencernaan dan keluar bersama tinja (2). Telur yang keluar akan
mengalami perkembangan lebih lanjut menjadi telur infektif mengandung L3 infektif
(1,2,3,4)
Cara penularan, secara langsung dan tidak langsung. Penularan secara langsung terjadi
karena tertelannya telur infektif (A) atau larva infektif (B) bersama makanan atau minuman.
Penularan secara tidak langsung, melalui induk semang pembawa (transport) (C), karena
telur infektif atau larva infektif termakan oleh cacing tanah, siput darat, lalat dan artropoda
lainnya, didalam tubuhnya berbentuk kista. Setelah membentuk kista, larva cacing tahan
hidup sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Penularan terjadi karena termakannya
hospes transpor yang infektif (1,2,3,4)
Setelah tertelan oleh unggas, larva akan keluar menembus dinding usus (D)
selanjutnya bersama aliran darah menuju jantung dan akhirnya sampai pada paru-paru (E).
Dari paru-paru bermigrasi menuju trakea (F) dapat dijumpai pada hari ke-7 setelah infeksi,
menempel pada dinding trakea dan menghisap darah, telur ditemukan sekitar 2 minggu
setelah infeksi (2).
Patogenesa, Infeksi awal umumnya cacing berpredileksi didalam trakea merusak mukosa
dan menghisap darah menyebabkan trakeitis cataralis dan sekresi mukus yang berlebihan,
pada infeksi berat cacing bisa bermigrasi ke dalam paru-paru menimbulkan pneumonia dan
odema (1,2)
Tanda Klinis, unggas terserang umumnya berumur muda, unggas dewasa jarang terkena.
Unggas bernafas dengan mulut terbuka (menguap) “gave” dan leher dijulurkan, sering
mengeluarkan suara melengking sambil mengibas-ngibaskan lehernya. Tanda penyakit
lainnya : lemah, nafas terengah-engah, anemia, pertumbuhan terhambat dan kurus (1,2,3)
4
Patologi Anatomi, karkas teramati kurus dan pucat, pada mukosa trakea ditemukan lendir
yang bercampur darah dan ditemukan cacing Syngamus trachea.
Diagnosa, berdasarkan gejala klinis, ayam bernafas dengan mulut terbuka dan leher
dipanjangkan, sering bersuara nyaring sambil mengibaskan lehernya serta nafas terengah-
engah. Selain itu dengan pemeriksaan mikroskopis tinja untuk menemukan telur cacing dan
menemukan cacingnya membentuk huruf Y pada pemeriksaan Patologi Anatomi (1,2,3)
Pengobatan, Thiabendazole, 0,3 – 1,5 g/kg (1) 0,1% dalam ransum selama 10 – 14 hari,
0,05% thiabendazole dalam ramsum terus menerus selama lebih dari 4 hari (3).
Mebendazole, 0,01% (1). Tetramisole 3,6 mg/kg diberikan selama 3 hari dalam air minum
atau makanan (3).
Pencegahan, jangan memelihara unggas dalam waktu lama hanya pada tempat yang sama.
Hindarkan tanah dari keadaan lembab, dimana cacing tanah dan siput dapat hidup dengan
baik. Sanitasi dijaga agar terdapat banyak lalat di sekitar ayam. Cegah burung-burung liar
berkeliaran di sekitar kandang.
3. CAPILLARIA ANNULATA
Makroskopis: adalah cacing berbentuk benang yang sangat halus, esofagus berbentuk
stichosome sempit terletak sekitar sepertiga sampai setengah panjang tubuh. Cacing jantan
berukuran sekitar 15-25 mm dan cacng betinanya 37-80 mm.
Mikroskopis : Cacing jantan memiliki spikula tunggal tipis dan panjang, dengan selubung
specula yang berduri, dan sering memiliki struktur seperti bursa primitif. Spesies ini memiliki
pelebaran khas pada bagian belakang kepala. Cacing betina mengandung telur yang
5
menyerupai cacing Trichuris spp berbentuk menyerupai lemon dan tidak berwarna,
berukuran 60-65 × 25-28 µm, memiliki dinding tebal yang sedikit ditemukan adanya striasi
dan sumbat (plug) pada kedua ujungnya (bipolar).
Siklus hidup: Siklus hidup tidak langsung. Telur yang keluar bersama tinja ditelan oleh
cacing tanah dan mengalami perkembangan mencapai stadium infektif setelah 2-3 minggu.
Masa prepaten sekitar 3-4 minggu.
Patogenesis: Seperti cacing Trichuris spp, ujung anterior cacing dibenamkan ke dalam
mukosa dan bahkan pada infeksi ringan dapat menimbulkan peradangan dan penebalan pada
dinding esofagus dan tembolok. Pada infeksi berat dapat menyebabkan peradangan difteri
dan penebalan pada dinding tempat cacing membenamkan diri; pada kasus berat angka
kematian unggas tinggi.
Tanda klinis: Infeksi ringan dimana jumlah cacing kurang dari 100 dapat menyebabkan
penurunan berat badan dan menurunkan produksi telur. Infeksi berat sering menyebabkan
ayam kurang bergairah (dungu) dan kekurusan.
Diagnosis: karena tanda klinisnya yang tidak spesifik dan kenyataannya pada infeksi berat,
gejala sering teramati sebelum telur Capillaria spp ditemukan dalam tinja, Diagnosis
tergantung dari hasil necropsi dan pemeriksaan menyeluruh terhadap esofagus dan tembolok
untuk menemukan adanya cacing. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan memeriksa
kerokan mukosa yang dijepit di antara dua objek gelas; sebagai alternatif, kerokan isi usus
dicuci dan disaring menggunakan saringan halus dan material yang tertahan ditambah air dan
diperiksa dengan latar belakang hitam.
Patologi: Adanya cacing dewasa menyebabkan peradangan katarrhal dan penebalan dinding
esofagus dan tembolok. Infeksi berat mungkin menyebabkan terjadi peradangan difteri dan
ditandai penebalan dinding pada tempat cacing membenamkan diri.
6
Epidemiologi: Ayam berumur muda paling rentan terhadap infeksi Capillaria
annulata,sedangkan ayam dewasa dapat bertindak sebagai karier (pembawa). Epidemiologi
cacing sebagian besar didasarkan pada keberadaan hospes perantara yaitu cacing tanah.
Pengobatan: Levamisol dalam air minum sangat efektif, efektivitasnya sama dengan
pengobatan menggunakan benzimidazol dalam pakan. Peningkatan dosis anthelmintik oral
yang diberikan selama beberapa hari, juga memberikan hasil yangsangat memuaskan.
Catatan: taksonomi mengenai spesies Capillaria sangat rumit dan baru-baru ini telah
ditemukan spesies yang baru lagi.
4. TETRAMERES AMERICANA
Morfologi makroskopis : cacing dewasa mudah dibedakan antara yang jantan dan yang
betina. Cacing jantan berwarna putih, gilik seperti benang, dengan ukuran panjang hanya
sekitar 5-6 mm, sebagian besar hidup bebas di dalam lumen proventrikulus, tetapi sewaktu-
waktu dapat mengunjungi cacing betina masuk ke dalam kelenjar untuk kawin dan setelah itu
mati, berukuran panjang 5-5,5 mm (1,3,6). Cacing betina dewasa berbentuk hampir bulat,
sedangkan bagian anterior dan posterior berbentuk kerucut, berwarna merah darah dengan
ukuran panjang 3,5-4,5 X 3 mm, berpredileksi tertanam di dalam kelenjar proventriculus
(1,3)
7
Morfologi mikroskopis: cacing jantan memiliki kutikula yang dipersenjatai dengan empat
baris duri (1,3,6) dan tidak ada cordon (6), sedangkan cacing betinanya memiliki empat alur
longitudinal pada permukaannya (1,3,6). Telurnya berdinding tebal, berukuran 42-50 × 24
µm dan telah embrio (larva) saat keluar bersama tinja (6).
Spesies Tetrameres sp lainnya : T. mohtedai menginfeksi ayam di India dan Asia timur.
Hospes intermediernya adalah kecoa dan Belalang seperti Spathosternum prasiniferum,
Oxya nitidula dan ngengat Setamorpha nutella (1). T. Fissispina menginfeksi : Itik, angsa,
ayam.kalkun, merpati dan burung air liar lainnya, Hospes intermedier Krustacea air (Daphnia
dan Gamarus), Belalang dan cacing tanah.
Siklus Hidup, telur akan keluar bersama tinja, memerlukan hospes antara serangga
orthoptera yang cocok, seperti Melanoplus femurrubrum, M. differentialis dan Blatella
germanica). Infeksi terjadi secara tidak langsung, karena memakan serangga terinfeksi (1,2).
Patogenesa dan Gejala Klinis, cacing betina mengisap darah, tetapi kerusakan terparah
terjadi ketika cacing muda bermigrasi menembus dinding proventrikulus, menyebabkan
iritasi dan peradangan, yang dapat membunuh anak ayam. Unggas terinfeksi mengalami
anemia (balung dan pial pucat) dan kurus. Pada autopsi cacing betina dewasa dapat dilihat
dari bagian luar proventrikulus berwarna gelap di dalam jaringannya (1,2).
Diagnosa, pemeriksaan tinja untuk menemukan telur cacing dan menemukan cacing pada
saat bedah bangkai (2)
Pengobatan, Piperazine adipat dan karbon tetrachoride diberikan setidaknya selama tiga
hari efektif membunuh cacing. Iodophene (0,02 mg / kg selama 3-4 hari ) sangat efektif
untuk stadium larva dan dewasa. Levamisole,. Haloxon dan thiabendazole semua cukup
efektif (1)
Pencegahan
• Jangan membiarkan ayam berkeliaran secara bebas (1)
8
• Anak ayam harus dijaga agar tidak memakan induk semang antara cacing ini dengan cara
memelihara diatas kawat (1,2)
• Jika menggunakan lampu penerangan, harus menggunakan kelambu agar menghindari hospes
intermedier yang tertarik akan sinar lampu (1)
5. DISPHARYNX NASUTA
Siklus hidup: serupa dengan spiruroida lainnya, hospes intermedier akan menelan telur
infektif dan lebih lanjut akan terjadi perkembangan sampai mencapai L3 terjadi di dalam
rongga tubuh. Jika isopoda infektif termakan oleh hospes definitive, L3 berkembang lebih
lanjut L4 dan L5 (dewasa) di dalam proventriculus atau esophagus.
Patogenesis: pada infeksi ringan biasanya hanya menimbulkan sedikit reaksi inflamasi
berupa nodul-nodul pada mukosa proventikulus dan atau esophagus dan produksi lendir yang
berlebihan.
9
Tanda klinis: Umumnya ditemukan dengan infeksi ringan dan cacing jarang ditemukan.
Unggas muda yang terinfeksi berat dapat terjadi penurunan berat badan secara cepat,
menjadi kurus dan anemia dan akhirnya mati.
Diagnosis: Diagnosis tentatif didasarkan penemuan telur spiruroida pada pemeriksaan tinja,
yang sulit dibedakan. Identifikasi spesies biasanya didasarkan pada identifikasi morfologis
cacing dewasa pada postmortem.
Patologi: pada infeksi berat, pada mukosa proventrikulus tempat cacing membenamkan diri
ditemukan ulkus yang berukuran dalam dan hipertrofi.
6. CHEILOSPIRURA HAMULOSA
Morfologi Mikroskopis : Cacing memiliki empat cutikula cordon kerucut kurus yang tidak
teratur yang meluas sampai lebih dari separuh panjang tubuh. Cacing jantan memiliki empat
pasang papilla pre-cloacal dan enam pasang papilla post-cloacal, specula kanan berbentuk
pipih pendek dan specula kiri berbentuk gilik berukuran lebih panjang. Telur telah berembrio
saat keluar bersama tinja.
Siklus hidup: Telur yang keluar bersama tinja ditelan oleh hospes intermedier dan
berkembang lebih lanjut mencapai stadium infektif memerlukan waktu sekitar 3 minggu.
Hospes definitive akan terinfeksi karena tertelanya hospes intermedier infektif dan perioda
prepaten memerlukan waktu sekitar 3 minggu.
10
Patogenesis: Umumnya pada infeksi ringan sampai sedang dianggap patogenisitas rendah.
Pada infeksi berat, banyak cacing dewasa menembus lapisan keratin dari empedal
(ventrikulus) dan membenamkan diri didalam nodul berwarna oranye. Lapisan keratin
enpedal bisa mengalami nekrotik dan bisa menyebabkan robeknya ventrukulus.
Tanda klinis: Infeksi ringan biasanya tidak teramati gejala klinis. Infeksi berat dapat
menyebabkan kekukusan, kelemahan dan anemia.
Diagnosa: paling baik dilakukan melalui otopsi, karena telur beberapa spesies Cheilospirura
sangat mirip satu dengan yang lainnya.
Patologi: Pada infeksi ringan, cacing hanya ditemukan setelah lapisan keratin empedal
dikupas, dan ditemukan dalam nodul berwarna merah kekuningan. Pada kasus yang parah,
lapisan tanduk mungkin sebagian hancur dan cacing ditemukan di dalam muskulus empedal
di dalam bahan nekrotik yang menglami kerusakan. Spesies dari cacing spiruroida lainnya
yang ditemukan di dalam ventrikulus dianggap kurang penting.
7. ASCARIDIA GALLI
Sinonim :
Predileksi : Usus halus
Parasit : kelas Nematoda
Subkelas : Secernentea
Ordo : Ascaridida
SuperFamili : Ascaridoidea
Famili : Ascarididae
Pendahuluan dan Etiologi, Ascariasis adalah infeksi cacing nematoda disebabkan oleh jenis
Ascaridia galli menginfeksi unggas : (ayam, mentog, angsa, itik, kalkun dan berbagai burung
liar), cara penularan karena tertelannya telur infektif bersama makanan atau minuman atau
cacing tanah yang sebelumnya menelan telur cacing infektif, dampaknya larva cacing
menimbulkan enteritis dan cacing dewasa akan berkompetisi memperebutkan makanan,
gejala klinis sangat dipegaruhi oleh jumlah dan umur unggas terinfeksi dan telah menyebar
diseluruh dunia.
11
Cara Penularan, secara langsung karena tertelannya telur infektif (telur yang di dalamnya
sudah mengandung larva) bersama makanan atau minuman. Penularan juga bisa terjadi secara
tidak langsung karena memakan inang transpor cacing tanah yang sebelumnya cacing tahan
tersebut menelan telur cacing infektif.
Siklus hidup, setelah telur infektif tertelan akan tercerna oleh enzim pencernaan dan
terbebaslah larva stadium II. Larva std II akan menembus mukosa usus dan berkembang
menjadi larva std III. Larva std III keluar lagi ke lumen usus dan berkembang menjadi larva
std IV dan akhirnya berkembang menjadi cacing dewasa
Gejala klinis, sangat tergantung dari intensitas infeksi, semakin banyak jumlah cacing
gejalanya semakin nyata. Gejala klinis yang sering teramati antara lain : mencret, bulu kasar,
anoreksia, selaput lendir pucat (anemia), gangguan pertumbuhan, produksi (telur, daging)
menurun, mengalami penurunan kadar gula darah, atrofi timus dan pada infeksi yang berat
bisa terjadi penyumbatan usus.
Pengobatan, anthelmintik yang paling sering digunakan untuk membasmi Ascaridia galli
adalah piperazin 300 – 400 mg/kg dan penothiazine 220 mg/kg.
Pengendalian, terbaik adalah kombinasi antara pengobatan preventif dan manajemen yang
optimal meliputi kandang seharusnya tetap kering dan bersih.
8. CAPILLARIA CAUDINFLATA
Deskripsi: serupa dengan C. annulata. Cacing jantan berukuran sekitar 6-12 mm dan cacing
betinanya lebih dari 25 mm. Cacing betina memiliki bentukan yang karakteristik pada
vulvanya.
12
Hospes definitif : Ayam, kalkun,angsa, merpati dan burung liar lainnya.
Hospes Intermedier : Cacing tanah
Siklus hidup : siklus hidupnya tidak langsung.
Patogenesis: Ujung anterior cacing tertanam di mukosa, pada infeksi ringan dapat
menyebabkan inflamasi katarrhal; sedangkan pada infeksi berat dapat menyebabkan enteritis
hemoragik disertai diare berdarah.
Tanda klinis: Pada infeksi berat sering menyebabkan anemia dan unggas menjadi lemah dan
kurus kering.
Spesies lainnya : C. bursata, berpredileksi di dalam usus halus ayam, kalkun dan burung liar,
cara penulara tidak langsung dengan hospes intermedier cacing tanah. C. obsignata
berpredileksi di dalam usus halus merpati, ayam, kalkun dan burung liar, siklus hidup
langsung dengan telur infektif (L1)
Epidemiologi: Unggas muda paling rentan terhadap infeksi Capillaria, sedangkan unggas
dewasa bisa menjadi pembawa. C. obsignata penting karena, siklus hidupnya langsung
terutama pada unggas yang dipelihara dengan alas kandang yang tebal dan dipelihara terus
menerus di dalam sangkar dan yang dipelihara secara diumbar pada area yang terus menerus
sama, yang memungkinkan telur infektif akan berserakan dimana-mana.
Diagnosis, epidemiologi, pengobatan dan kontrol untuk spesies ini sama dengan C. annulata.
9. STRONGYLOIDES AVIUM
Morfologi Makroskopis : cacing berbentuk gilik, menyerupai rambut berukuran panjang 2,2
mm. Hanya cacing betina yang bersifat parasit.
13
Morfologi mikroskopik: Esofagusnya sangat panjang dapat mencapai sepertiga panjang
tubuhnya dan uterusnya selang-seling dengan usus halusnya, sehingga memberikan
penampilan seperti benang berpilin. Tidak seperti parasit usus lain dengan ukuran yang sama,
ekornya memiliki berujung . Telurnya berbentuk oval, berdinding tipis dan kecil, berukuran
52-56 × 36-40 µm, ukurannya setengah dibandingkan telur Strongyl lainnya. Telur biasanya
telah berlarva saat keluar bersama tinja.
Siklus hidup: Strongyloides khas di antara nematoda yang penting untuk kedokteran hewan,
karena mampu melakukan siklus reproduksi parasitik dan hidup bebas. Siklus parasitik
seluruhnya dimulai saat cacing betina yang hidup didalam sekum menghasilkan telur yang
mengandung larva dengan secara partenogenesis. Setelah menetas, larva dapat berkembang
melalui empat tahap larva menjadi cacing jantan dan betina dewasa yang hidup bebas dan
dapat diikuti oleh serangkaian generasi yang hidup bebas . Infeksi umumnya secara langsung,
namun bisa juga terjadi infeksi perkutan. Periode prepaten adalah 8-14 hari.
Patogenesis: Strongyloides bisa menjadi patogen serius pada unggas muda yang dipelihara di
lantai.
Tanda klinis: Pada infeksi akut dan berat menyebabkan kelemahan, kekurusan dan diare
berlendir mengandung berdarah.
Diagnosis: pemeriksaan tinja untuk menemukan telur cacing, telur berukuran kecil dan telah
berembrio. Parasit dewasa dapat ditemukan dari kerokan mukosa sekum pada postmortem.
Patologi: Parasit dewasa pada sekum, jika ditemukan pada jumlah besar, mungkin
menyebabkan terjadinya radang disertai edema dan erosi epitel.
Epidemiology: Strongyloides infective larvae are not ensheathed and are susceptible to
extreme climatic conditions. However warmth and moisture
favour development and allow the accumulation of large numbers ofinfective stages.
14
Epidemiologi: Larva strongyloides infektif tidak memiliki selubung dan rentan terhadap
kondisi iklim yang ekstrem. Namun dalam kondisi hangat dan kelembaban yang mendukung
akan terjadi pengembangan dan memungkinkan terjadinya akumulasi dalam jumlah banyak
stadium infektif.
Morfologi, Heterkais gallinarum (H. gallinarum) adalah cacing nematoda berukuran kecil,
berbentuk seperti benang. Cacing jantan panjangnya 7 mm – 1,3 cm sedangkan cacing betina
berukuran panjang 1,0 – 1,5 cm (1,2,3,4).
Siklus hidup: Telur cacing belum mengalami perkembangan saat keluar bersama tinja
penderita, setelah 2 minggu atau lebih pada lingkungan yang mendukung (suhu dan
kelembaban optimum) didalam telur akan terbentuk larva stadium 1 (L1), berkembang lagi
menjadi L2 yang bersifat infektif.
Cara penularan, secara langsung , jika telur infektif (L2) tertelan oleh hospes bersama
makanan dan atau minuman, 1 – 2 jam berikutnya telur akan menetas di dalam usus bagian
atas (1) dan 24 jam setelah tertelan cacing muda sudah mencapai usus buntu (1,2). L2 tinggal
didalam kelenjar mukosa usus buntu selama 2-5 hari, dan pada hari ke-6 akan berkembang
15
menjadi L3, L4 hari ke-10 dan L5 pada hari ke-15 setelah infeksi. Masa prepaten adalah
selama 24 – 30 hari (4)
Patogenesa, dampak langsung dari cacing H. gallinarum secara langsung tidak jelas, kecuali
pada infeksi berat. Menyebabkan terjadinya penebalan mukosa serta pendarahan (4). Cacing
ini tidak menimbulkan kerugian dan banyak kerusakan pada hospes, tetapi menjadi penting
karena dapat menyebarkan penyakit Histomonosis (black head) pada kalkun (1,2,4).
Patologi Anatomi, sekum meradang dan dindingnya menebal (2,3), perdarahan pada mukosa
(1,2).
Diagnosis, pemeriksaan tinja terhadap adanya telur cacing dan juga dengan menemukan
cacingnya di dalam sekum pada saat bedah bangkai (1,3)
Pencegahan, karena cara penularannya per-os, maka kebersihan kandang harus terjaga
selalu bersih sehingga kotoran (yang mungkin mengandung telur cacing infektif) tidak
tertelan oleh hospes.
Pengobatan, Phenothiasin (2,3), karena tidak larut dalam air, maka pemberiannya dicampur
dalam makanan atau berbentuk sedian pil atau kapsul dengan dosis 0,5 g/ekor dewasa atau
dicampur dengan makanan dengan konsentrasi 0,5% dengan dosis tunggal sudah cukup
efektif. Piperazine citrat, dalam kapsul 200mg diberikan sekali dipakai dapat membunuh
cacing Heterakis sp sebesar 66%, tetapi sangat efektif membasmi cacing A. galli. Nampaknya
pemberian kombinasi Phenothiazine dengan piperazine (contoh : triple-caps, triple-womer
dll) dengan perbandingan 7 : 1 dan atau 12 : 1, hasilnya dapat membunuh 94% cacing
heterakis sp dan 91% akan lebih efektif dibandingkan pemberian sendiri-sendiri (2)
16
Parasit : Kelas Nematoda
Morfologi Mikroskopis : serupa C. annulata. Cacing jantan berukuran sekitar 16-24 mm dan
betina 28-38 mm.
Morfologi Mikroskopis : Cacing jantan memiliki spikula tunggal berukuran tipis panjang
dan sering memiliki struktur seperti bursa primitif. Telurnya berbentuk gantong, tidak
berwarna dan memiliki dinding tebal dengan sedikit setriasi dengan sumbat bipolar.
Hospes definitive : Ayam, kalkun, burung gallinaceus (pheasant, parkit), merpati, itik, angsa
Siklus hidup: Siklus hidup langsung. L1 infektif berkembang dalam telur memerlukan waktu
sekitar 3-4 minggu. Hospes definitive akan terinfeksi karena tertelannya L1 infektif,
perkembangan menjadi cacing dewasa terjadi tanpa fase migrasi. Periode prepaten
memerlukan waktu 3-4 minggu.
Patogenesis: Ujung anterior cacing ditancapkan ke dalam mukosa. Pada infeksi berat dapat
menyebabkan enteritis hemoragik disertai diare berdarah. Dinding sekum sering menebal.
Tanda klinis: unggas yang terinfeksi menjadi lemah, kurus dan anemia.
Patologi: unggas yang terinfeksi kronis terjadi menebalkan dinding usus yang ditutupi oleh
eksudat catarrhal.
KELAS KESTODA
(CACING PITA)
Etiologi, Cestodiosis (penyakit yang disebabkan oleh kelas kestoda (cacing pita) pada ayam
disebabkan oleh genus (Davainea, Raillietina dan Amoebotaenia), hidup di dalam usus halus
(1.5)
17
Siklus hidup, secara umum dimulai dari hospes definitif terinfeksi akan mengeluarkan
proglotid gravid dalam rangkaian strobila atau tersendiri bersama tinja, kadang-kadang juga
proglotid akan pecah di dalam usus sehingga telur keluar bersama tinja. Proglotid kemudian
mengalami apolysis (hancur), sehingga telur berserakan mencemari lingkungan. Telur apabila
termakan oleh hospes intermedier yang sesuai, karena pengaruh sekeresi (lambung, usus, hati
dan pancreas) di dalam saluran pencernan, onkosfer akan tercerna, sehingga menyebabkan
aktifnya embriofor. Ombriofor menggunakan kaitnya akan menembus dinding usus dan
akhirnya bersama aliran darah atau linfe beredar keseluruh tubuh menuju tempat
predileksinya dan berkembang lebih lanjut menjadi bentuk peralihan (“metakestoda).
Patogenesa, Davainea proglottina merupakan cacing pita yang paling pathogen, karena
rostelumnya dipersenjatai kait dan dapat masuk ke dalam villi duodenum, sehingga
menyebabkan nekrosis dan enteritis hemoragika (5,7), sehingga menyebabkan penyerapan
sari makanan tidak sempurna (2). Raillietina echinobothrida, berukuran panjang bisa
mencapai lebih dari 25 cm, juga pada rostelum dan acetabulanya dipersenjatai dengan kait
yang bisa melukai permukaan usus, sehingga dapat menimbulkan nodul-nodul dan kadang-
kadang dapat melubangi usus halus sehingga menyebabkan peritonitis (5,7). Jenis cacing pita
yang lain umumnya tidak menimbulkan kerusakan yang nyata, hanya bersaing mendapatkan
makanan dengan hospes definitif. Jika jumlahnya terlalu banyak dapat menyumbat usus halus
(1,5)
Gejala klinis, sangat tergantung dari intensitas infeksi dan jenis cacing pita yang
menginfeksi. Pada infeksi berat, ayam dewasa tampak : produksi menurun, pertumbuhan
terhambat, gerakan lambat, mencret, bulu mudah lepas dan kering, selaput lendir pucat dan
kurus. Pada anak ayam , nampak : pertumbuhan terhambat, berjalan tidak tegap, berdiri
dengan tumit terangkat, keadaan lebih lanjut diikuti kekejangan pada kaki dan akhirnya
lumpuh (3,4)
Diagnosa, yang paling awal berdasarkan gejala klinis, kemudian mengamati proglotid atau
dalam rangkaian segmen yang keluar dari anus dan pengamatan bedah bangkai untuk
menemukan cacing pita di dalam usus halus (5,4)
18
Pengobatan, Butyronate 75-150 mg/kg, Niclosamide, Hexachlorophene, memberikan hasil
baik. Praziquantel, Benzimidazole, Albendazole dan Oxfendazole barangkali efektif (5,7).
Dibutyltin dilaurate 250 mg/50 kg ransum diberikan selama 48 jam efektif terhadap
Raillietina cesticellus dan dengan dosis 500 mg/kg ransum efektif untuk Davainea (3).
Catatan : Niclosamide yang efektif digunakan untuk mengobati cacing pita pada mamalia,
ternyata setelah dicbakan pada ayam di Bogor, tidak memberikan hasil yang diharapkan
bahkan menimbulkan kematian karena toksik (Ronohardjo, 2003). Fraziquantel dalam pakan
10 mg/kg efektif mengobati cacing pita pada ayam buras dengan efektivitas 98,16% (Edi
Widianto, 2004)
Kontrol, ditujukan untuk menghindarkan termakannya hospes intermedier yang infektif atau
membunuh hospes intermedier dengan menggunakan obat yang ada (5).
KELAS TREMATODA
(CACING DAUN)
Echinostoma revulotum
Predileksi : Sekum dan rectum
Parasit : Kelas Trematoda
Famili : Echinostomatidae
Hospes definitive : Itik, angsa, merpati, berbagai unggas dan burung air lainnya
Catatan: E. revolutum juga bisa menginfeksi manusia. E. paraulum ditemukan pada usus
halus itik dan merpati dan bisa menyebabkan kelemahan, anoreksia (inappetence) dan
akhirnya diare.
19
PUSTAKA.
1. Levine. N.D (1990). Parasitologi Veteriner. Terjemahan Gatut Ashadi. Gadjah Mada
University Press.
2. Morgan, B.B and P.A. Hawkins (1960). Veterinary Helminthology. 6th Ed. Burgess
Publishing Company. Minneapolis. USA
3. Soeprapto dan Soetijono (1989). Parasit-Parasit Ayam. PT. Gramedia. Jakarta.
4. Nughroho (1983). Penyakit Ayam di Indonesia.Jilid II. Eka Offset. Jakarta.
5. Soulsby, E.J.L (1982). Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. 7th
Ed. Bailliere. Tindall. London
6. Supan Kusumamihardja (1992). Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak Piaraan di
Indonesia.
7. Urquhart, G.M; J. Amour; J.L Duncan; A.M. Dunn and F.W. Jennings (1985). Veterinary
Parasitology. Department of Veterinary Parasitology. The Fakulty of Veterinary Medicine.
The University of Glasgow. Scotland
8. Bowman. D.D (1999). Georgi’s Parasitology for Veterinary. 8th Ed. Saunders an Imprint
of Elsevier Science.
9. Walker, A (1994). Arthropods of Humans and Domestic Animals. A Guide to Priliminary
Identification. 1th Ed. Chapman & Hall
10. Taylor, M.A., R.L. Coop dan R.L. Wall (2007). Veterinary Parasitology. 3th Ed.
Blackwell Publishing Ltd.
20
II. JENIS-JENIS PROTOZOA YANG MENGINFEKSI
AYAM
Etiologi, disebabkan oleh Plasmodium sp, yang terpenting Plasmodium gallinaceum, dan
Plasmodium juxtanucleare (P. japonicum) (1).
Plasmodium juxtanucleare, Merozoit berbentuk bulat, ovoid sampai tidak teratur (1,2) agak
kecil dan biasanya berhubungan dengan inti eritrosit. Gamet bentuknya bulat, ovoid, tidak
teratur atau piriform memanjang . Sel hospes seringkali menggeliat (distarted = berubah
bentuk) (1).
Unggas rentan : ayam hutan, dan ayam piaraan di Asia Selatan, Asia Tenggara, Indonesia
dan burung gallinaceus (“gallinaceus birth” ) juga dapat terserang, ditularkan oleh vektor
biologi Nyamuk (Aedes, Culex dan anopheles) (1)
Siklus hidup dan Cara Penularan, di dalam tubuh unggas rentan (hospes antara), Sporozoit
yang ada didalam kelenjar ludah vektor nyamuk (Aedes, culex, anopheles) akan ikut
terinjeksikan dan masuk kedalam tubuh unggas saat menghisap darah. Sporozoit berada
didalam aliran darah kurang dari 1 jam, kemudian masuk kedalam sel endotel (sebagian
besar terjadi didalam sel-sel haemopoetik) dan sel jaringan, merogoni eksoeritrositik I secara
perbanyakan skizogoni terbentuklah fanerozoit. Fanerozoit akan memasuki sel endotel organ
lainnya yang baru, terjadi proses merogoni eksoeritrositik II juga secara perbanyakan
skizogoni dan terbentuk metakriptozoit baru. Metakriptozoit selanjutnya menginfeksi
21
eritrosit 1 minggu sampai 10 hari setelah infeksi. Didalam sel darah merah metakriptozoit
akan membulat dan membentuk vakuola besar ditengahnya dikenal dengan stadium cincin
(karena dengan pewarnaan Romanowsky, mirip cincin stempel dengan inti merah pada satu
tepi dan cincin tipis sitoplasma berwarna biru sekeliling vakuola), kemudian berkembangan
lebih lanjut akan terbentuk tropozoit. Tropozoit akan mengalami proses ”Merogoni”
sehingga menghasilkan Merozoit. Merozoit akan keluar dari eritrosit dan memasuki eritrosit
lainnya, mengalami proses tidak terbatas. Setelah infeksi berlangsung beberapa waktu dan
terjadi perkembangan aseksual yang tertentu jumlahnya, maka Merozoit yang memasuki sel
darah merah berkembang menjadi makrogamet dan Mikrogamet dan akhirnya diisap oleh
vektor (1).
Di dalam tubuh Hospes definitif, didalam perut tengah nyamuk , 10 – 15 menit setelah
menghisap darah mikrogamet akan membelah inti menjadi 6 – 8 mikrogamet panjang sangat
mirip flagelum mengalami proses eksflagelasi (mikrogamet lepas dan berenang bebas). Jika
Mikrogamet bertemu dengan makrogamet akan terjadi pembuahan, sehingga terbentuk
ookista yang dapat bergerak (Ookinet). Ookinet menembus dinding perut tengah (lambung)
dan berkembang menjadi Ookista. Inti ookista akan membagi diri berulang-ulang sehingga
terbentuklah sejumlah Sporoblast. Inti setiap Sporoblast kemudian membagi diri secara
berulang-ulang, sehingga akhirnya setiap Ookista berisi 10.000 atau lebih Sporozoit.
Sporozoit keluar dari Ookista, masuk kedalam rongga badan dan akhirnya bermigrasi ke
kelenjar air liur (1)
Gejala Klinis, Plasmodium gallinaceum, ayam hutan lebih tahan, pada ayam peliharaan
menimbulkan kematian. Mula-mula suhu badan berfluktuasi (demam intermiten), anemia
(ditandai dengan pucatnya selaput lendir), lemah, lesu, selain itu dapat mengalami
kelumpuhan dan mati karena penyumbatan kapiler-kapiler darah pada otak karena stadium
eksoeritrositik (1), gemetar, bulu kusam dan kekurusan (*)
22
PERUBAHAN BEDAH BANGKAI
Diferensial Diagnosa, Haemoproteosis, merozoit pada darah perifer hanya ada pada
Plasmodium sp dan tidak ada pada Haemoproteus sp, tetapi bila hanya ditemukan gamon
yang memanjang hanya dimiliki oleh Haemoproteus sp (1)
Pengobatan, Quinacrine, Chloroquine (1),Paludrin 0,075 g/kg bb, Pyrimethamine 0,3 mg/kg
bb, Sulfadiazine 100 mg/kg bb, Kinine 5 grain / hari (1 grain = 0,0648 g) (2)
23
2. Malaria Unggas sebab : Leucocytozoon spp
KEJADIAN DI INDONESIA
Prowazek pertama kali melaporkan di Sumatera pada tahun 1912 menyerang ayam,
diidentifikasi Leucocytozoon schuffneri, saat ini telah menyebar hampir diseluruh pelosok
tanah air. Di Bali penyakit ini sifatnya endemik, dengan morbiditas pada anak ayam berkisar
antara 0 – 40%, pada ayam dewasa 7 – 40%, sedangkan mortalitas pada anak ayam sebesar 7
– 50% dan pada ayam dewasa 2 – 60%. Morbiditas tergantung pada populasi vector, umur
dan cara pemeliharaan (1)
Etiologi :
Morfologi :
24
4,0 - 12,0 mikron, dan 13,5 - 24,0 X 4,0 – 11,5 mikron (3). Sel hospes berbentuk gelendong
dengan ”tanduk-tanduk” sitoplasma panjang memanjang melebihi parasit dengan ukuran
kira-kira 67 X 6 mikron. Inti sel hospes membentuk suatu jungta, sempit berwarna gelap pada
pewarnaan, sepanjang suatu sisi parasit (2)
Siklus Hudup, di dalam tubuh hospes intermedier, dimulai sejak lalat menghisap darah
penderita, bersama darah juga akan terhisap gamon (Mikro dan Makro)-gamet, didalam
tubuh lalat mikrogamet akan secara aktif mencari Makrogamet untuk kawin, hasil
perkawinan terbentuklah zygot berbentuk bulat kemudian berkembang lebih lanjut
bentuknya berubah memanjang dan dapat bergerak disebut ookinet, ookinet bergerak
menuju dinding usus tengah untuk membentuk ookista, ookista mengalami proses sprogoni
(pembentukan sporozoit) dengan menbelahan berlipat ganda (skizogoni) menghasilkan
sporozoit, sporozoit akan bermigrasi menuju kelenjar air liur sehingga lalat menjadi infektif
(1,2)
Di dalam tubuh unggas peka, dimulai juga saat lalat infektif menghisap darah,
sporozoit yang berada didalam kelenjar ludah akan ikut tersebar kedalam peredaran darah,
kemudian akan memasuki sel endotel (ginjal, hati dan paru-paru) serta didalam ruangan berisi
darah atau didalam jaringan (jantung, limpa, pankreas, thymus, otot-otot, usus, tarakhea,
ovarium, kelenjar adrenal, dan otak. Sporozoit mengalami proses merogoni (pembentukan
merozoit) dengan cara pemebelahan berlipat ganda (skizogoni) sehingga dibebaskan banyak
merozoit. Merogoni berlangsung beberapa kali, kemudian mengalami proses gametogoni
(pembentukan gamet) akhirnya terbentuklah (Mikro dan Makro)-ganet. Gamet akan muncul
didalam darah perifer 14 hari setelah infeksi baik didalam eritrosit atau eritroblast, gamon
dewasa kadang-kadang ditemukan bebas didalam plasma darah. Gamet ini akan ikut terhisap
saat lalat menghisap darah maka terulanglah siklus seperti diatas (1,2)
Gejala Klinis :
L. Cauleryi : kadang-kadang menampakkan gejala klinis atau tanpa gejala klinis yang jelas.
Gejala klinis yang teramati antara lain : anemia (pial dan balung pucat), lesu, suka
bergerombol, hilang nafsu makan, (1,2) muntah darah, tinja berwarna hijau, paralisa dan
diikuti kematian akibat kolaps (1) Jika infeksi tanpa gejala klinis yang jelas, teramati
penurunan produksi telur dan daya tetas serta penurunan berat badan (1)
25
L. sabrazesi, kadang-kadang teramati gejala klinis atau tanpa gejala klinis yang jelas.
Gejala klinis yang teramati antara lain : gejala khasnya terjadi : anemia (balung dan pial
pucat), kedinginan (menggigil) dan suka bergerombol, diare, kelumpuhan kaki, keluar cairan
seperti tali dari hidung dan mulut (2, 3)
Diagnosa, Leucocytozoon cauleryi, dengan menemukan parasit pada sediaan ulas darah tipis,
sediaan sentuh organ dan ditemukan skison pada pemeriksaan sediaan histopatologi.
Kelainan pasca mati dapat dipakai sebagai pengarahan diagnosa (1)
Diagnosa Banding, Kelainan pasca mati Leucocytozoonosis hampir sama dengan Infeksius
Laringo Traheitis (ILT), Gumboro, Kolera Unggas dan Keracunan Sulfa, tetapi kesemuanya
tidak ditemukan parasit (1)
Leucocytozoonosis bisa dikelirukan dengan ILT dari gejala klinisnya muntah darah.
Cara membedakannya pada saat bedah bangkai jika darah berasal dari saluran pernafasan
(trakea) maka penyebabnya ILT dan jika berasal dari saluran pencernaan (Proventrikulus)
penyebabnya Leococytozoonosis
Gejala klinisnya mirip Gumboro yaitu terjadi perdarahan pada otot terutama otot
paha, kalau disebabkan oleh Leucocytozoon perdarahannya berbentik (Ptechiae), sedangkan
kalau Gumboro berbentuk garis. Selain itu pendarahan juga terjadi diantara esofagus,
proventrikulus dan pentrikulus disebabkan oleh Gumboro, sedangkan Leucocytozoonosis
terjadi perdarahan diseluruh organ dan jaringan
26
Pencegahan :
1. usaha peternakan ayam sebaiknya jangan berdekatan dengan sawah, rawa atau tempat
berair lainnya yang disukai Culicoides sp atau memelihara anak ayam yang umurnya
kurang dari 2 bulan dalam kandang diusahakan terbebas dari Culicoides (3).
2. Jangan memelihara ayam berdektan dengan tempat-tempat yang disukai lalat Simulium
(dekat sungai yang mengalir deras, berbatu-batu, banyak semak atau tumbuhan air
didekatnya atau didalamnya (3)
3. Koksidiosis
Unggas Peka, ayam paling peka umur 4 -5 minggu, tetapi sampai umur 8 minggu masih
dapat terinfeksi (1)
Siklus Hidup, setelah tertelannya Ookista bersporulasi (kista infektif) karena adanya enzim
pencernaan didalam saluran pencernaan Ookista akan tercerna, sehingga terbebaslah
Sporozoit. Sporozoit selanjutnya akan memasuki sel epitel saluran pencernaan untuk
melakukan PROSES MEROGONI (pembentukan Merozoit) secara SCHIZOGONI
(pembelahan berlifat ganda) sehingga terbentuk banyak Merozoit. Proses Merogoni terjadi
beberapa kali (tergantung spesiesnya) dan setiap proses Merogoni, merozoit yang terbentuk
menginfeksi sel epitel yang baru, sampai akhirnya terbentuklah Gamon. Gamon mengalami
PROSES GAMETOGONI (pembentukan Gamet) sehingga terbentuk Makrogamon
menghasilkan Makrogametosit dan Mikrogamon akan menghasilkan Mikrogamet.
Mikrogamet akan bergabung (syngami) sehingga terbentuk Okinet. Ookinet akan melindungi
27
diri dengan dinding sehingga terbentuklah Ookista dan keluar dari tubuh ayam bersama tinja
(*) banyaknya infeksi, patogenitas galur, ras, umur, status gizi dan infeksi lain serta stress)
(2).
Patogenitas, merozoit akan memasuki sel epitel usus, mengalami proses Merogoni sehingga
sel pecah. Semakin banyak dan semakin dalam kerusakan sel menyebabkan dampaknya
semakin nyata. Selain itu patogenitas juga dipengaruhi oleh dosis infeksi, derajat dan waktu
reinfeksi dan derajat immunitas hospes :
2. Eimeria brunetti
Predileksi , meron (sepanjang usus halus), gamon (seka, rektum, kloaka (2). Patologi
Anatomi, acut dinding usus menebal, terlihat eksudat kataral berwarna merah muda atau
seperti darah, tinja cair dan berisi lendir berwarna kemerahan. Kasus lanjut : (pada usus
besar) terlihat garis-garis haemoragik seperti tangga, pada infeksi hebat terlihat enteritis
nekrotik khas berbentuk pipa. Melalui selaput serosa bagian nekrotik ( terlihat bintik
putih) jelas terlihat, dan kadang-kadang terjadi usus berlubang (peritonitis) (2)
5. Eimeria mivati, usus halus bagian anterior, tetapi kadang-kadang bisa ditemukan pada
bagian usus halus lainnya dan bahkan sampai didalam usus besar (2)
28
6. Eimeria necatrix
Predileksi, akut usus halus, kasus lanjut sekum (2). Patologi Anatomi, lebih kronis
dibandingkan E. tenella (karena kerusakan usus halus berupa terbentuknya parut yang
dianggap infeksinya lebih lama). Kelukaan ditemukan 1/3 bagian bagian tengah usus
halus, teramati adanya bintik-bintik putih (bagian nekrosa) dan tidak tembus cahaya
terletak dalam sehingga hanya dapat dilihat dari permukaan serosa, ususnya membengkak
terisi darah, dindingnya tebal berwarna merah pudar dan banyak ditemukan ptechiae
didalam sarang putih buram., usus kehilangan sifat kontraktilnya, menjadi rapuh dan
bahkan sering terlihat bersifat ganggren. Kerusakan mukusa usus kelak diganti dengan
tenunan pengikat sehingga jaringan parut yang permanent yang mengganggu penyerapan
didalam usus, seka tidak terserang hebat, hanya nampak mengkerut dan isinya mungkin
mengalami dehidrasi (2). Penebalan dinding usus disertai peradangan kataralis sampai
hemoragis (1)
7. Eimeria praecox
Predileksi, 1/3 bagian anterior usus halus (2) dan Patologi Anatominya, tidak jelas
GEJALA KLINIS
Paling patogen (Eimeria tenella, necatrix), Akut, lesu, sayap terkulai, bulu kusut dan sering
dikotori oleh darah. Keluarnya darah terjadi 4-5 hari setelah infeksi dan perdarahan hebat
terjadi hari 5 – 6 dan kematian biasanya terjadi pada hari 4 – 6 pasca infeksi (1), anemia
(teramati kepucatan selaput lendir), anoreksia namun nafsu minum masih ada (2)
Kurang patogen, (Eimeria ( acervulina, brunetti, maxcima,), teramati tinja berisi eksudat
mukoid yang kadang-kadang berwarna kemerahan dan berbintik-bintik darah (1)
29
Tidak patogen, (Eimeria (mitis, mivati, praecox) tanpa gejala klinis yang jelas (*)
Diagnosa, berdasarkan gambaran patologi anatomi dan dibantu dengan hasil pemeriksaan
natif kerokan mukosa usus (1) atau tinja
Pencegahan : kepadatan akndang harus dihindari dan tinja secara teratur harus dibuang untuk
menghindari ookista bersporulasi akan mencemari makanan atau minuman. Larutan amonia
10% berefek membunuh ookista (1).
Buku acuan :
1. Bowman. D.D (1999). Georgi’s Parasitology for Veterinary. 8th Ed. Saunders an Imprint of
Elsevier Science.
2. Levine, N.D (1990). Parasitologi Veteriner. Terjemahan Gatut Ashadi. Gajah Mada
University Press.
3. Soulsby, E.J.L (1982). Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th
Ed. Bailliere. Tindal. London.
4. Urquhart, G.M; J. Amour; J.L. Duncan; A.M. Dunn and F.W. Jenning (1985). Veterinary
Parasitology. Longman Scientific and Thecnical
5. Walker, A (1994). Arthropods of Humans and Domestic Animals. A Guide to Priliminary
Identification. 1th Ed. Chapman & Hall
30
III. JENIS-JENIS ARTROPODAYANG
MENGINFEKSI AYAM
Pendahuluan, kudis kaki bersisik adalah penyakit kudis kulit yang disebabkan oleh
tungau Genus Knemidocoptes sp, menyerang unggas, berpredileksi dibawah sisik kulit kaki
atau kulit yang jarang bulunya serta membuat terowongan didalannya, terlular karena kontak
langsung, pada saat tungau membuat terowongan dan memakan epitel kulit mengakibatkan
terjadinya peradangan disertai eksudasi dan juga menimbulkan reaksi alergi.
ETIOLOGI
SPESIES PREDILEKSI HOSPES DEFINITIF
TUNGAU
Knemidocoptes mutans sisik kaki Ayam, burung yang disangkarkan
(4,1,3), kalkun (3)
Knemidocoptes bulu halus dasar bulu Ayam dan burung yang
gallinae (4,1,3) sayap, punggung, kepala disangkarkan
dan leher (3)
Knemidocoptes pilae telapak kaki, dan pangkal Ayam dan burung yang
(4,1,3) paruh (1), kulit wajah dan disangkarkan
seluruh tubuh (4)
SIKLUS HIDUP dan CARA PENULARAN, siklus hidup dan cara penularan sama dengan
tungau subordo sarkoptiformes lainnya (3)
Knemodocoptes gallinae, berpredileksi pada bulu halus dasar bulu sayap, punggung,
kepala dan leher (3), tungau akan membuat terowongan dan masuk kedalam lubang pangkal
31
bulu dan timbul rasa gatal (3,4,5,1). Gejala klinis nampak terjadi peradangan kulit yang
ditandai dengan warna kemerahan, akibat rasa gatal unggas akan mematuk, mencakar tempat
gigitan sehingga menyebabkan bulu rontok (terjadi kerontokan bulu) yang sering terlihat
pada daerah punggung, sayap, kepala dan leher (3)
2. KUTU
Kutu menginfestasi hampir semua jenis hewan dan manusia, tertular karena kontak
langsung, saat makan sangat mengganggu ketenangan hewan dan pada tempatnya menggigit
timbul reaksi alergi. Beberapa jenis kutu sebagai hospes perantara agen penyakit lain
32
ETIOLOGI
a b c
e f
d
Keterangan gambar
a. Goniocotes gallinae b. Gonoides gigas c. Lipeurus caponis
d. Cuclotogaster heterographus e. Menacanthus stramineus f. Menopon gallinae
Kebanyakan kutu penggigit akan aktif bergerak pada tempat predileksinya sambil
menggigit bagian kulit yang menjadi makanannya. Pada saat berpindah dan memakan
jaringan menimbulkan iritasi dan tempat gigitan terjadi reaksi alergi. Gejala klinis, akibat
iritasi hewan menjadi tidak tenang, tertekan, nafsu makan menurun , tidur tidak nyenyak dan
akhirnya kelemahan umum, sedangkan karena reaksi alergi tempat gigitan , maka hewan akan
menggosok, menggaruk, menggigit, atau mematuk tempat gigitan, menyebabkan bulu
33
menjadi rontok dan bahkan bisa sampai timbul kelukaan dan memar pada kulit (3,4).
Dampak akhir yang paling umum dari infestasi kutu adalah terjadi penurunan produksi : pada
ayam (telur dan daging).
DIAGNOSA
Diagnosa dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan menemukan kutu, telur atau
nimpa pada tempat predileksinya (3)
Unggas, air rendaman tembakau atau nicotine ( di cat pada tenggeran atau predileksi
kutu), campuran pasir halus dengan Sodium floride (mandi debu), Carbaryl 5%,Coumaphos
0,06%, Toxaphene, Hexachloro Cyclo Hexane (HCH), Lindane dan Malathion 0,01%
(disemprot) (3)
Buku acuan :
1. Bowman. D.D (1999). Georgi’s Parasitology for Veterinary. 8th Ed. Saunders an Imprint of
Elsevier Science.
2. Levine, N.D (1990). Parasitologi Veteriner. Terjemahan Gatut Ashadi. Gajah Mada
University Press.
3. Soulsby, E.J.L (1982). Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th
Ed. Bailliere. Tindal. London.
4. Urquhart, G.M; J. Amour; J.L. Duncan; A.M. Dunn and F.W. Jenning (1985). Veterinary
Parasitology. Longman Scientific and Thecnical
5. Walker, A (1994). Arthropods of Humans and Domestic Animals. A Guide to Priliminary
Identification. 1th Ed. Chapman & Hall
34