Anda di halaman 1dari 51

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..……….i

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………….………iii

BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………………………..1

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………...1

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………………..1

1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………………………………………1

1.4 Manfaat Penulisan…………………………………………………………………………..1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Jamur……………………………………………………………………………2

2.2 Klasifikasi Mikosis………………………………………………………………………....4

2.2.1 Subkutan…………………………………………………………………………….4

2.2.1.1 Sporotrikosis…………………………………………………………………4

2.2.1.2 Kromoblastomikosis…………………………………………………………7

2.2.1.3 Faeohifomikosis……………………………………………………………..10

2.2.1.4 Misetoma……………………………………………………………………12

2.2.2 Endemis…………………………………………………………………………….15

2.2.2.1 Koksidioidomikosis…………………………………………………………16

2.2.2.2 Histoplasmosis………………………………………………………………18

2.2.2.3 Blastomikosis………………………………………………………………..21

2.2.2.4 Parakoksidioidomikosis……………………………………………………..23

i
2.2.3 Oportunisik…………………………………………………………………………24

2.2.3.1 Kandidiasis………………………………………………………………….24

2.2.3.2 Kriptokokosis………………………………………………………………..27

2.2.3.3 Aspergilosis…………………………………………………………………29

2.2.3.4 Mukormikosis…………………………………………………………….…31

2.2.4 Superfisial………………………………………………………………………..…32

2.2.4.1 Pityriasis versicolor…………………………………………………….…...32

2.2.4.2 Tinea nigra (Hasil Pemeriksaan)…………………………………………...33

2.2.4.3 Piedra (Beda Piedra)………………………………………………………..33

2.2.5 Kutaneus……………………………………………………………………………34

2.3 Mikotoksin………………………………………………………………………………...35

2.4 Cara Penularan Infeksi Jamur……………………………………………………………..35

2.5 Kemoterapi Antifungi.………………………………………………………………...…..36

2.6 Patogenesis Infeksi Jamur…………………………………………………………………42

BAB III. PENUTUP..........................................................................................................................47

3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………..47

3.2 Saran……………………………………………………………………………………….48

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………49

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mikologi adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang fungi. Fungi adalah
mikroorganisme tidak berklorofil, berbentuk hifa atau sel tunggal, eukariota dan sebagian besar
adalah eukariota multiseluler, berdinding sel dari kitin atau selulosa, bereproduksi seksual dan
aseksual. Fungi merupakan kingdom tersendiri, karena cara mendapatkan makanannya berbeda dari
organisme eukariotik lainnya, yaitu melalui absorbsi (Gandjar, et al., 1999). Fungi adalah
organisme unik yang umumnya berbeda dari eukariota lainnya selain ditinjau dari cara memperoleh
makanan, juga dilihat dari organisasi struktural serta pertumbuhan dan reproduksinya (Campbell,
2003). Mikologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang masih kurang diminati di Indonesia.
Istilah fungi atau jamur selalu dikaitkan dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, karena memang
masih kurang difahami oleh masyarakat luas. Fungi ada yang menguntungkan, adapula yang
merugikan. Fungi berperan dalam kehidupan kita sehari-hari, karena mampu mendaur ulang
unsur-unsur di alam yang diperlukan makhluk hidup lainnya. Namun fungi juga dapat
menimbulkan berbagai kerugian dilihat dari penyakit dan dampak yang ditimbulkan dari penyakit
tersebut. Klasifikasi jamur yang berjumlah sangat banyak menimbulkan berbagai patogenesis
infeksi dan cara penularan yang berbeda-beda pula. Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas
mengenai mikologi lebih lanjut.

1.2 Rumusan Masalah


2. Apa saja klasifikasi dari jamur dan mikosis?
3. Bagaimana cara penularan infeksi jamur?
4. Bagaimanakah kemoterapi antifungi?
5. Bagaimana patogenesis dari infeksi jamur?

1.3 Tujuan Penulisan


2. Mengetahui klasifikasi jamur dan mikosis
3. Mengetahui cara penularan infeksi jamur
4. Mengetahui kemoterapi antifungi
5. Mengetahui patogenesis dari infeksi jamur

1.4 Manfaat Penulisan


1. Menambah wawasan mahasiswa tentang klasifikasi dan patogenesis jamur
2. Menjadi sarana informasi dan diskusi perihal mikologi
3. Membantu mahasiswa dalam membuat makalah secara ilmiah dan sistematis

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Jamur

Fungi atau jamur adalah mikroorganisme eukariotik. Berbentuk sel atau benang bercabang dan
mempunyai dinding sel yang sebagian besar terdiri atas kitin dan glukan, dan sebagian kecil dari
selulosa atau kitosan. Ilmu yang mempelajari jamur disebut mikologi (dari kata Yunani mykes yang
berarti jamur dan logos yang berarti ilmu). Mikologi kedokteran adalah ilmu yang mempelajari
jamur serta penyakit yang ditimbulkannya pada manusia. Penyakit yang disebabkan oleh jamur
disebut mikosis (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

Klasifikasi jamur didasarkan pada mekanisme dan spora yang berasal dari reproduksi seksual,
yang pada sebagian besar keadaan melibatkan strain yang dapat berpasangan, menjalani fusi dan
meiosis nuklear, dan pertukaran informasi genetik. Suatu spesies dapat dikenali dan didefinisikan
berdasarkan keadaan aseksualnya (yaitu imperfekta atau anamorfik), tetapi teleomorf atau identitas
seksualnya mungkin mempunyai nama yang berbeda (Jawetz, et al., 2008)

2.1.1 Zygomycetes

Reproduksi seksual menghasilkan Zygospora, reproduksi aseksual terjadi melalui sporangia.


Hifa vegetatif bersepta jarang. Kebanyakan anggota kelompok ini adalah saprofit. Pilobolus,
Mucor, Absidia, Phycomyces termasuk kelompok ini. Rhizopus nigricans adalah contoh dari
anggota kelompok ini, berkembang biak juga melalui hifa yang koneositik dan juga berkonjugasi
dengan hifa lain. Rhizopus nigricans juga mempunyai sporangiospora. Ketika sporangium pecah,
sporangi ospora tersebar, dan jika mereka jatuh pada medium yang cocok akan berkecambah dan
tumbuh menjadi individu baru. Jamur Rhizopus oryzae digunakan dalam fermentasi sake, yaitu
minuman khas Jepang, sedangkan Mucor adalah jamur yang sering tumbuh di roti (Jawetz, et al.,
2008)

2.1.2 Ascomycetes

Reproduksi seksual melibatkan kantong atau askus, tempat terjadinya kariogami dan meiosis,
menghasilkan askospora. Askospora terbentuk di dalam askus (jamak: aski), yaitu suatu tubuh buah
khusus yang bentuknya menyerupai mangkuk atau botol. Reproduksi aseksual terjadi melalui
konidia. Kapang mempunyai hifa bersepta. Contoh: Ajellomyces (genus anamorfik, Blastomyces,
histoplasma), Artroderma (genus anamorfik, Microsporum, Trychophyton), dan genus ragi seperti
Saccaromyces (Jawetz, et al., 2008)

2
Beberapa jenis jamur Ascomycota merupakan jamur yang menguntungkan manusia, di
antaranya, adalah Neurospora crassa, Trichoderma reesei, S. cerevisiae, Aspergillus, Penicillium,
dan Phaffia rhodozyma. Neurospora crassa, yang dahulu bernama Monilia sitophila, merupakan
jamur yang digunakan untuk membuat oncom. Oncom adalah bahan makanan khas daerah Jawa
Barat yang terbuat dari bungkil kacang tanah (ampas kacang tanah setelah diambil minyaknya) atau
ampas tahu yang difermentasikan. Trichoderma reesei merupakan jamur penghasil enzim selulase.
Enzim selulase yang dihasilkan oleh Trichoderma reesei cukup banyak sehingga dapat diisolasi
dan dimurnikan. Penicillium merupakan jamur penghasil antibiotik, contohnya Penicillium notatum
dan Penicillium chrysogenum. Keduanya menghasilkan antibiotik penisilin. Saccharomyces
cerevisiae atau disebut juga ragi/khamir/yeast dimanfaatkan untuk membuat tapai. Jamur tersebut
mampu mengubah karbohidrat menjadi alkohol. Ragi juga digunakan untuk membuat tapai.
Aspergillus juga merupakan jamur yang menguntungkan manusia, misalnya Aspergillus niger
digunakan untuk pembuatan asam sitrat, sedangkan Aspergillus wentii dan Aspergillus oryzae
digunakan untuk membuat kecap (Jawetz, et al., 2008). Selain menguntungkan, beberapa jenis
jamur Ascomycota juga dapat menimbulkan kerugian pada manusia, misalnya

 Aspergillus flavus, menghasilkan aflatoksin yang dapat menyebabkan kanker hati, biasa
ditemukan pada kacang-kacangan dan biji-bijian
 Candida albicans yaitu khamir penyebab penyakit keputihan pada perempuan
 Blastomyces dermatitidis, yaitu penyebab penyakit blastomikosis
 Secale cornutum, yaitu parasit pada tanaman gandum

2.1.3 Basidiomycetes

Reproduksi seksual menghasilkan empat basidiospora progeni vang ditunjang oleh Basidium
berbentuk gada. Hifa mempunyai septa kompleks. Contoh: Jamur, Filobasidiella neoformans
(anamorfik, Cryptococcus neoformans). Beberapa jamur divisi Basidiomycota dimanfaatkan
manusia sebagai bahan pangan karena memiliki kandungan gizi yang tinggi, atau sebagai bahan
obat-obatan. Beberapa jenis Basidiomycota telah dibudidayakan secara intensif, misalnya jamur
merang (Volvariella volvacea), jamur tiram (Pleurotus sp.), jamur kuping (Auricularia polytricha),
jamur Agaricus, jamur Boletus edulis, jamur shittake, dan jamur ling zhi (Ganoderma lucidum).
Sementara itu, jamur Basidiomycota yang merugikan manusia, antara lain Amanita phalloides dan
A. muscaria yang menghasilkan racun berbahaya serta Filobasidiella neoformans yang dapat
menimbulkan penyakit infeksi paru-paru pada manusia (Jawetz, et al., 2008).

3
2.1.4 Deuteromycetes

Kelompok ini merupakan pengelompokan artifisial untuk fungi imperfekta yang bersifat
teleomorf atau reproduksi seksualnya belum ditemukan. Keadaan anamorfik ditandai dengan
konidia aseksual. Bila ditemukan siklus seksual, suatu spesies digolongkan kembali yang
menunjukkan filogeninya secara tepat. Contoh: Coccidioides immitis, Paracoccidioides brasiliensis,
Candida albicans (Jawetz, et al., 2008).

2.2 Klasifikasi Mikosis

2.2.1 Subkutan

Fungi yang menyebabkan mikosis secara normal terdapat pada tanah atau tumbuhan. Fungi
memasuki kulit atau jaringan subkutan melalui inokulasi traumatik oleh bahan yang terkontaminasi.
Biasnya, lesi membentk granuloma dan meluas secara lambat dari area implantasi ekstensi melalui
aliran limfatik yang mendrainase lesi, terjadi secara lambat kecuali pada sporotrikosis. Mikosis
tersebut biasanya terbatas di jaringan subkutan, tetapi pada kasus yang jarang dapat menjadi
sistematik dan menyebabkan penyakit yang membahayakan jiwa (Jawetz, et al., 2008).

2.2.1.1 Sporotrikosis

Sporothrix schenckii adalah fungi dimorfik secara termal yang hidup pada tumbuhan. Fungi
tersebut dihubungkan dengan berbagai tanaman rumput, pohon, lumut sphagnum, semak mawar,
dan tanaman hortikultura lainnya. Pada suhu yang sama dengan lingkungan sekitar, fungi tumbuh
sebagai kapang, menghasilkan konidia dan hifa ini bercabang yang bersepta. Pada jaringan atau in
vitro dengan suhu 35-370C fungi ini tumbuh sebagai ragi tunas yangt kecil. Setelah masuk ke
dalam kulit melalui trauma. S. schenckii menyebabkan sporotrikosis, suatu infeksi granulomatosa
kronik. Episode awal secara khas diikuti oleh penyebaran sekunder yang mengenai aliran limfatik
dan kelenjar getah (Jawetz, et al., 2008).

Morfologi dan Identifikasi

Sporotrichum schenckii adalah jamur dimorfik bergantung suhu (thermally dimorphic). Biakan
jamur pada suhu kamar membentuk koloni filament putih dengan hifa halus dan spora yang
tersusun menyerupai bunga pada ujung konidiofora. Pada suhu 370C membentuk koloni ragi
dengan batospora yang bulat atau lonjong (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015)

4
S. schenckii tumbuh baik pada medium agar rutin, dan pada suhu ruangan koloni muda
berwarna kehitaman dan berkilap, menjadi berkerut dan melengkung seiring bertambahnya usia.
Pigmentasi strain bervariasi dari bayangan hitam dan abu-abu sampai keputihan. Organisme
menghasilkan hifa bersepta yang bercabang dan konidia kecil yang khas (3-5 µm), agak
berkelompok di ujung konidiofora yang lonjong. Isolate juga dapat membentuk konidia yang lebih
besar secara langsung dari hifa. S schenckii bersifat dimorfik secara termal dan pada suhu 350C
pada medium kandungannya kaya, fungi ini berubah menjadi sel ragi tunas yang memperbanyak
diri dengan bentuk yang bervariasi tetapi sering kali fusiformis (sekitar 1-3 x 3-10 µm). seperti
yang diperlihatkan gambar (Jawetz, et al., 2008).

Gambar 1. Sporothrix schenckii A: Blastokonidia yang terlihat pada jaringan atau biakan 37 0C.
B: Pembentukan konidia pada biakan 300C.
Sumber: Jawetz, Melnick and Adelbergs, Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23, 2008

Patogenesis & Temuan Klinis

Pada umumnya infeksi terjadi karena jamur masuk ke dalam jaringan subkutis melalui luka
pada kulit oleh duri atau kayu lapuk. Infeksi dapat juga melalui inhalasi spora. Kelainan terutama
mengenai kulit, jarinan subkutis dan saluran getah bening, jarang mengenai selaput lender, alat
dalam atau tulang (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015). Konidia atau fragmen hifa
S schenckii masuk ke dalam kulit melalui trauma. Pasien sering melaporkan adanya riwayat trauma
yang berhubungan dengan aktivasi di luar ruangan dan bercocok tanam. Lesi awal biasanya terletak
di ekstremitas, tetapi dapat ditemukan di tempat lain (anak sering mengalami lesi di wajah). Sekitar
75% kasus adalah limfokutaneus, yaitu lesi awal timbul sebagai nodul granulomatosa yang dapat
berkembang membentuk suatu lesi ulseratif atau nekrotik. Sementara itu, limfatik menebal dan
terbentuk seperti tali. Nodul subkutan multiple dan abses terjadi di sepanjang aliran limfatik
(Jawetz, et al., 2008).

5
Menurut buku Parasitologi FK UI, Gambaran klinis sporotrikosis ada 4, yaitu:

1. Sporotrikosis kulit yang mengenai kulit dan melebar dengan permukaan tidak rata atau
bersisik. Kelainan ini hanya terjadi pada tempat trauma dan tidak terjadi penyebaran ke
pembuluh getah bening.
2. Sporotrikosis limfatika lokalisata yang pada tempat trauma timbul lesi primer. Lesi kecil
ini menjadi tonjolan kecil yang keras. Tonjolan tersebut akhirnya menjadi abses yang lunak,
pecah, menembus kulit dan membentuk sporotrichotic chancre. Penyebaran melalui
saluran getah bening, kemudian meradang dan teraba sebagai tali yang keras. Kelenjar di
sepanjang saluran getah bening yang membengkak dan meradang, dapat melunak dan
akhirnya pecah menjadi ulkus.
3. Sporotrikosis pulmonum, yang terjadi karena inhalasi spora yang menimbulkan infiltrate
di paru. Gejala yang timbul menyerupai penyakit infeksi paru oleh sebab lain.
4. Sporotrikosis diseminata, yang dari lesi primer, menyebar luas ke kulit atau selaput
lender. Klinis penderita sporotrikosis diseminata menunjukkan sakit berat disertai suhu
badan yang tinggi. Bila terjadi penyebaran ynag hematogen, maka dapat timbul kelainan
pada alat dalam dan tulang. Kelainan pada tulang yang disebut osteoarticular
sporotrichosis, adalah kelainan yang progresivitasnya lambat, indolen, menyerang sendi
lutut, siku, tumit dan pergelangan tangan. Sendi tersebut menjadi bengkak dan terasa sakit.

Pengobatan

Pada beberapa kasus, infeksi dapat sembuh sendiri. Meskipun pemberian oral larutan jenuh
kaiium iodida dalam susu sangat efektif, banyak pasien yang sulit menoleransi. Itrakonazol oral
atau azol lainnya merupakan pengobatan pilihan. Untuk penyakit sistemik, diberikanamfoterisin B.
(Jawetz, et al., 2008).
Sporotrikosis dapat diobati dengan larutan jenuh KJ per oral. Dosis dapat diberikan 3 x 10
tetes/hari larutan jenuh KJ yang ditingkatkan tiap hari satu tetes hingga dosis yang masih dapat
diterima. Dosis tertinggi ini diberikan hingga lesi sembuh. Pengobatan dengan larutan jenuh KJ
sangat efektif dan murah. Pemakaiannya dianjurkan di negara berkembang, tetapi rasanya tidak
nyaman dan menimbulkan efek samping mual berat pada pasien yang sensitive. Pada saat ini obat
pilihan untuk sporotrikosis kulit dan sporotrikosis limfatika lokalisata adalah intrakanazol per oral
dengan dosis 100-200 mg/hari atau 5-6 mg/kg/hari selama 3-6 bulan. Setelah sembuh pemberian
intrakanazol tetap diteruskan sampai beberapa bulan diatas (Staf Pengajar Departemen Parasitologi
FK UI, 2015).

6
Flunakanazol kurang efektif, tapi dapat diberikan untuk pasien yang tidak toleran intrakonazol.
Dosis flukonazol adalah 400 mg/hari selama 6 bulan. Ketokonazol oral juga dilaporkan kurnag
efektif untuk pengobatan sporotrikosis kulit dan limfatika lokalisata. Untuk penyakit yang lebih
lanjut, misalnya sporotrikosis diseminata maka dapat diberikan amfoterisin B secara intravena atau
bersama pengobatan seperti diatas (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

Epidemiologi & Pengendalian

S. schenckii terdapat di seluruh dunia yang berhubungan erat dengan tanaman. Misal, kasus
yang disebabkan oleh kontak dengan lumut sfagnum, duri mawar, kayu busuk, jerami cemarai
rumput dari padang rumput, dan tumbuhan lain. Sekitar 75% kasus terjadi pada pria, baik karena
pajanan yang lebih besar atau karena perbedaan kerentanan yang terkait kromosotl-X. Insiden lebih
tiriggi pada pekerja pertanian dan sporotrikosis dianggap sebagai risiko pekerjaan untuk penjaga
hutan, ahli holtikultura, dan pekerja di bidang yang sama. Pencegahannya berupa tindakan untuk
meminimalkan inokulasi yang tidak disengaja dan penggunaan fungisida, apabila tepat, untuk
menangani kayu. Hewan juga rentan terhadap sporotrikosis (Jawetz, et al., 2008).

Penyakit ini ditemukan kosmopolit. Di Indonesia penderita sporotrikosis pernah dilaporkan.


Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang dewasa daripada anak-anak. Infeksi selalu
didahului dengan trauma/luka pada kulit atau jaringan subkutan oleh ranting tumbuhan yang lapuk.
Karena itu pekerja di perkebunan dan petani perlu hati-hati, bila perlu memakai sarung tangan
ketika sedang bekerja karena jamur terdapat di tanah dan tumbuh-tumbuhan yang lapuk. Pada
buruh tambang, kaki perlu dilindungi dari trauma, karena jamur Sporotichum schenckii terdapat di
tanah pertambangan (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

2.2.1.2 Kromoblastomikosis

Kromoblastomikosis (kromomikosis) adalah suatu infeksi mikotik subkutan yang disebabkan


oleh satu dari lima agen fungi yang dikenal yang terdapat dalam tanah dan tumbuh-tumbuhan
melalui inokulasi traumatik. Semuanya adalah fungi dematiaseosa yang mempunyai dinding sel
yang mengalami melanisasi: Phialophora verrucosa, Fonsecaea pedrosoi, Rhinocladiella
aquaspersa, Fonsecaea compacta, dan Cladophialophoa carrionii. Infeksi bersifat kronik dan
ditandai dengan perkembangan lambat lesi granulomatosa progresif yang seiring waktu akan
menginduksi hiperplasia jaringan epidermal (Jawetz, et al., 2008).
Kromomikosis merupakan infeksi local yang menahun pada kulit dan jaringan subkutis
orang sehat dan imunokompeten, yang sering terjadi pada kaki atau tungkai bawah, dengan
kelainan khas berbentuk kutil (verrucous) yang secara lambat tumbuh terus. Kelainan ini
disebabkan oleh beberapa spesies jamur berwarna gelap coklat kehitaman (dematiaceae)(Staf
Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

7
Morfologi & ldentifikasi

Fungi dematiaseosa serupa dalam hal pigmentasi, strukturantigen, morfologi, dan sifat
fisiologi. Koloninya padat, berwarna coklat pekat sampai hitam, dan menghasilkan permukaan
seperti beludru yang sering kali berkerut. Agen kromoblastomikosis diidentifikasi dari cara
konidiasinya. Pada jaringan, fungi tersebut tampak sama, menghasilkan sel coklat sferis (diameter
4-12 µm) yang disebut badan sklerotik atau muriformis yang dibagi oleh sekat melintang. Sekat
pada bidang yang berbeda disertai pemisahan yang berjalan lambat dapat menghasilkan kelompok
empat sampai delapan sel. Sel dalam krusta superfisial atau eksudat dapat mengalami germinasi
menjadi hifa bercabang, yang bersekat (Jawetz, et al., 2008).
Jamur penyebab kromomikosis terdapat di tanah, kayu dan tumbuh-tumbuhan yang sudah
busuk. Jamur ini tergolong Dematiceae, berwarna gelap coklat sampai coklat kehitaman dan
membentuk koloni filament. Masing-masing jenis mempunyai sporulasi yang berbeda.
(Departemen parasitology FK UI, 2008)

Gambar 2. Kromomikosis
Sumber: Jawetz, Melnick and Adelbergs, Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23, 2008

a. Phialophora verrucosa
Konidia dihasilkan dari fialida berbentuk botol dengan kolaret berbentuk mangkuk.
Konidia yang matang, berbentuk sferis sampai oval dikeluarkan dari fialida dan biasanya
menumpuk di sekitarnya.

b. Cladophialophora (cladosporium) carrioni


Cladophialophora Sp. dan Cladosporium Sp. Menghasilkan rantai konidia yang bercabang
dengan tunas di distal (akropetal). Konidium tern-rinal suatu rantai menghasilkan konidium
selanjutnya melalui proses pertunasan. Spesies diidentifikasi berdasarkan perbedaan panjang
rantai serta bentuk dan ukuran konidia. C carrionii menghasilkan konidiofora yang memanjang
dengan rantai konidia oval yang bercabang dan paniang.

c. Rhinocladiella aquaspersa
Spesies tersebut menghasilkan konidia terminal atau lateral dari pemanjangan sel
konidiogenosa-slratu proses simpodial. konidia berbentuk elips sampai gada.

8
d. Fonsecaea perosoi
Fonsecaea adalah genus poiimorfik. Isolat dapat memperlihatkan (1) fialida; (2) rantai
blastokonidia, sama dengan Cladosporium Sp.; atau (3) simpodiai, konidiasi tipe rhinocladiella.
Sebagian besar strain F pedrosoi membentuk rantai blastokonidia bercabang pendek serta
konidia simpodial.

e. Fonsecaea compacta
Blastokonidia yang dihasilkan oleh F compacta berbentuk hampir sferis dengan dasar lebar
yang menghubungkan konidia. Struktur tersebut lebih kecil dan padat daripada F Pedrosoi.

Patogenesis & Temuan Klinis

Jamur yang terdapat di alam bebas, tanah, kayu busuk, duri atau tumbuh-tumbuhan yang
sudah mati, dapat masuk melalui luka pada kulit oleh trauma atau tusukan. Kelainan biasanya
unilateral, sering di bagian tubuh yang banyak terpapar terutama tungkai bawah dan kaki (pada 50%
kasus). Jamur berkembangbiak pada kulit dan jaringan dibawah kulit. Lesi tersbeut menjadi papul
kecil. Papul meluas menyerupai dermatofitosis. Tepi lesi mempunyai gambaran dengan batas tegas,
berwarna merah atau hitam. Setelah beberapa waktu, mungkin bertahun-tahun papul membesar
danbersatu, menonjol makin lama makin tinggi, keras, merah atau keabu-abuan sehingga berbentuk
seperti kembang kol (cauli flower). Penyebaran terjadi melalui pembuluh getah bening ke bagian
yang terdekat. Mungkin terjadi penyebaran hematogen ke berbagai organ, di antaranya otak. Dapat
menyebabkan penyumbatan pada saluran getah bening, sehingga terjadi edema tungkai bawah.
Proses kelainan kromomikosis dari luka hingga terbentuk kembang kol memakan waktu
bertahun-tahun (4-5 tahun) (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015).
Fungi masuk ke dalam kulit melalui trauma, sering pada rungkai atau kaki yang terbuka.
Selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, Iesi primer menjadi verukosa dan berbentuk seperti
veruka dengan ekstensi sepanjang aliran limfatik. Nodul seperti kernbang kol disertai abses yang
membentuk krusta pada akhirnya menutupi area tersebut. Ulserasi kecil atau "titik hitam" bahan
hemopurulen terdapat di permukaan seperti veruka. Pada kasus yang jarang, elefantiasis dapat
disebabkan oleh infeksi sekunder, obstruksi, dan fibrosis saluran limfe. Penyebaran ke bagian
tubuh lain sangat jarang terjadi meskipun lesi satelit dapat terjadi akibat penyebaran limfatik lokal
atau autoinokulasi. Secara histologis, lesi bersifat granulomatosa dan badan sklerotik gelap dapat
terlihat dalam leukosit atau sel raksasa (Jawetz, et al., 2008).

Pengobatan

Eksisi bedah dengan tepi lebar adalah pengobatan pilihan untuk lesi kecil. Kemoterapi
dengan flusitosin atau itrakonazol dapat efektif untuk lesi yang lebih besar. Pemberian panas secara
lokal juga bermanfaat. Sering terjadi relaps (Jawetz, et al., 2008).

9
Obat sistemik yang diberikan secara oral inrakonazol 200-400 mg/hari selama 12 bulan dan
terbinafine 500 mg/hari selama 6-12 bulan memberi hasil terbaik. Pada kasus yang berat dapat
dikombinasi dengan flusitonin. Pengobatan dengan flusitonin saja, hasilnya lesi cepat sembuh
tetapi umumnya kambuh kembali. Pengobatan dengan flunokazol jarang berhasil dan dengan
amfoterisin B juga tidak efektif. Pada kasus tertentu atau lesi yang kecil, dapat dilakukan tindakan
bedah reseksi, cryotherapy, terapi laser, termoterapi, dan bedah elektro plus kuretase (Staf Pengajar
Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

Epidemiologi

Kromoblastomikosis terjadi terutama di daerah tropis. Fungi bersifat saprofitik, mungkin


terdapat pada tumbuh-tumbuhan dan tanah. Penyakit terutama terjadi pada tungkai pekerja
pertanian yang bertelanjang kaki setelah masuknya fungi melalui trauma. Kromoblastomikosis
tidak menular. Penggunaan sepatu dan pelindung tungkai dapat mencegah infeksi. (Jawetz, 2008)
Penyakit ini kosmopolit, terutama di daerah tropic dan subtropik. Biasanya pada laki-laki
berumur 30-60 tahun dan jarnag terjadi pada anak-anak. Penyakit ini tidak menular. Pemakaian
alas kaki atau sepatu dapat mencegah luka tusuk sehingga mencegah infeksi (Staf Pengajar
Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

2.2.1.3 Faeohifomikosis

Faeohifomikosis adalah suatu istilah yang digunakan untuk infeksi yang ditandai adanya hifa
bersekat yang berpigmen gelap dalam jaringan. Baik infeksi kutan maupun sistemik pernah
dilaporkan pada kelainan ini. Semua spesies merupakan kapang eksogen yang secara normal
terdapat di alam (Jawetz, et al., 2008)

Kapang yang sering menyebabkan faeohifonrikosis subkutan adalah Exophiala jeanselmei,


Phialophora richardsiae, Bipolaris spicifera, dan Wangiella dermatitidis. Spesies tersebut dan
spesies lain (misal, Exserohilunt rostratum, spesies alternaria, dan spesies kurvularia) juga dapat
menyebabkan faeohifomikosis sistemik. Insiden faeohifomikosis dan jumlah patogen telah
meningkat pada tahun-tahun belakangan baik pada pasien imunokompromais maupun pasien
imunokompeten (Jawetz, et al., 2008).

Sejarah

Nama faeohifomikosis diusulkan oleh Ajello pada tahun 1974 untuk membedakan penyakit ini
dari kromomikosis. Faeohifomikosis disebabkan oleh jamur golobgan Dematiceae, misalnya
Exophiala jeanselmei dan Wangiella dermatitidis. Jamur penyebab penyakit ini terdapat di tanah,
setiap orang dapat terkena infeksi. Pada penderita yang Penyakit ini banyak ditemukan di Amerika,
Afrika, Eropa, Asia, dan Australia (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

10
Faeohifomikosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh jamur golongan Dematiceae,
ditandai dengan ditemukannya elemen-elemen jamur yang berwarna coklat tengguli dalam jaringan.
Penyakit ini dapat mengenai kulit, jaringan bawah kulit, dan organ dalam. Penyakit ini dulu dikenal
sebagai kladosporosis. Penyakit ini dapat menimbulkan bermacam-macam gejala lain, dari bentuk
hifa hingga tumor. Berbeda dengan penyakit kromomikosis yang memiliki gejala khas berbentuk
kutil yang secara lambat akan tumbuh terus menerus (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK
UI, 2015).

Morfologi

Cladosporium trichoides termasuk ke dalam jamur golongan Dematiceae. Pada biakan


medium agar Sabouraud pada suhu kamar atau 37 derajat Celcius tumbuh koloni filamen berwarna
kelabu atau hitam dengan lekukan di bagian tengah koloni. Permukaan koloni nampak seperti
berudu. Mikroskopik dapat dilihat hifa coklat dan konidiofora bersekat berwarna coklat (Staf
Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015).
Hifa berukuran besar (berdiameter 5-10 pm) dan sering terdistorsi serta dapat disertai sel ragi
pada jaringan, tetapi struktur tersebut dapat dibedakan dari fungi lain berdasarkan melanin dalam
dinding selnya. Spesimen dibiakkan pada medium fungi rutin untuk mengidentifikasi agen etiologi
(Jawetz, et al., 2008).

Patologi dan Gejala Klinis

Penyakit ini dapat mengenai kulit yang disebut sebagai feohifomikosis kutan, mengenai
jaringan di bawah kulit yang disebut faeohifomikosis subkutis, yang menyebar ke organ lain
disebut dengan faeohifomikosis sistemik dan yang terakhir sering mengenai otak disebut
faeohifomikosis serebral (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015).
Kelainan pada kulit berbentuk penebalan dengan permukaan tidak rata dan biasanya berwarna
hitam. Bila mengenai jaringan subkutis akan berbentuk kista dan yang menyebar gejalanya
tergantung organ yang terkena. Satu kasus yang ditemukan oleh Lie di Indonesia disebabkan oleh
Cercospora apii. Jamur ini kemudia diidentifikasi sebagai Mycocentrospora acerina (Staf Pengajar
Departemen Parasitologi FK UI, 2015).
Bentuk klinis bervariasi, dari kista tak berkapsul solitar dalam jaringan subkutan sampai
sinusitis dan abses otak. Lebih dari 100 spesies kapang dematiaseosa menyebabkan berbagai jenis
infeksi faeohifomikotik (Jawetz, et al., 2008).

Pengobatan

Sampai sekarang belum diketahui pengobatan yang pasti untuk dapat berhasil menyembukan
penyakit ini, meskipun telah dilaporkan pengobatan yang berhasil dengan pemberian itrakonazol
(Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

11
Namun menurut Jawetz (2008) pada umumnya itrakonazol atau flusitosin adalah obat piiihan
untuk faeohifomikosis subkutan. Abses otak biasanya bersifat fatal, tetapi ketika diketahui, dapat
diobati dengan amfoterisin B dan pembedahan. Penyebab utama faeohifomikosis serebral adalah
Cladop hialophora bantiana.

2.2.1.4 Misetoma

Misetoma adalah infeksi subkutan kronik yang diinduksi oleh satu dari beberapa spesies fungi
saprofitik atau bakteri aktinomisetes yang normalnya ditemukan di dalam tanah melalui inokulasi
traumatik (Jawetz, et al., 2008). Menurut Parasitologi Kedokteran FKUI (2015) misetoma
menyerang jaringan kutan, subkutan, fasia, dan tulang. Trias yang khas pada kelainan ini adalah
pembengkakan setempat yang indolen dan membentuk sinus disertai deformitas, sinus yang
mengeluarkan nanah, dan nanah tersebut berisi butir/granula jamur penyebab.

Sejarah

Madura foot dilaporkan pertama kali oleh John Gill di Madras, India pada tahun 1842.
Kemudian Van Dyke Carter pada tahun 1860 menyebut penyakit ini misetoma karena penyakit
tumor ini adalah jamur. Di dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1847, Mycetoma, the
fungus of India, Van Dyke Carter menulis secara rinci mengenai penyakit ini (Staf Pengajar
Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

Morfologi & ldentifikasi

Hifa jamur membentuk gumpalan yang disebut granula misetoma, dapat berukuran sampai 2
mm pada jaringan. Warna granul dapat memberikan informasi mengenai agen. Misalnya, granula
misetoma yang disebabkan oleh P boydii dan A falciforme berwarna putih; granula misetoma
akibat M grisea dan E jeanselmei berwarna hitam; dan M mycetomatis menghasilkan granul merah
gelap sampai hitam. Granula tersebut keras dan mengandung hifa bersepta yang saling terjalin
(lebarnya 3-5 um). Hifa secara khas terdistorsi dan membesar di bagian periler granula (Jawetz, et
al., 2008). Agen fungi misetoma antara lain: Pseudallescheria boydii, Madurella mycetomatis,
Madurella grisea, Exophiala jeanselmei, dan Acremonium falciforme. Di Amerika Serikat, spesies
yang paling banyak adalah P boydii yang merupakan homotalik dan mempunyai kemampuan
menghasilkan askospora dalam biakan. E jeanselmei dan Madurella Sp adalah kapang
dematiaseosa. Kapang tersebut diidentifikasi tetutama melalui cara konidiasinya. P boydii dapat
juga menyebabkan pseudallescheriasis, yang merupakan infeksi sistemik pada pasien
imunokompromais (Jawetz, et al., 2008).

12
Sedangkan menurut Parasitologi Kedokteran FKUI: 2015, terdapat dua bentuk misetoma:

1. Misetoma aktinomikotik (bacterial mycetoma) yang disebabkan oleh jamur golongan


schizomycophyta, yaitu Actinomyces, Nocardia, dan Streptomyces. Jamur penyebab
yang penting adalah Aktinomadura pelletieri, Nocardia brasiliensis dan Streptomyces
somaliensis.
2. Misetoma maduromikotik (fungal mycetoma atau eumycetoma) disebabkan oleh jamur
golongan eumicophyta, diantaranya Madurella mycetomatis, Scedosporium
apiospermum (P boydii), Madurella grisea dan Leptosphaeria sinegalensis.

Patogenesis & Temuan Klinis

Misetoma terjadi setelah inokulasi traumatik dengan tanah yang terkontaminasi salah satu
agen. Jaringan subkutan pada kaki, ekstremitas bawah, tangan dan area terbuka adalah yang paling
sering terkena agen. Tanpa memandang agen, patologi misetoma ditandai dengan supurasi dan
pembentukan abses, granuloma, dan pembentukan sinus drainase yang mengandung granula.
Proses ini dapat menyebar ke otot dan tulang di dekatnya. Lesi yang tidak diobati menetap selama
bertahun-tahun dan meluas lebih dalam serta ke perifer, menyebabkan deformasi dan hilangnya
fungsi. Pada kasus yang sangat jarang, P boydii dapat mengalami penyebaran pada pejamu
imunokompromais atau menyebabkan infeksi benda asing (Jawetz, et al., 2008).

Gambaran klinis misetoma adalah pembengkakan lokal dan sinus yang berhubungan-sering
juga berdrainase-mengandung granul, yang merupakan mikrokoloni agen yang ditanamkan dalam
materi jaringan. Suatu aktinomisetoma adalah misetoma yang disebabkan oleh actinomycetes;
eumisetoma (maduromikosis, kaki Madura) adalah suatu misetoma yang disebabkan oleh fungi.
Perjalanan penyakit dan gambaran klinis kedua jenis misetoma sama, tetapi aktinomisetoma dapat
bersifat lebih invasif, menyebar dari jaringan subkutan ke otot di bawahnya (Jawetz, et al., 2008).
Secara singkatnya adalah pada tempat terjadinya trauma atau tusukan akan timbul kelainan.
Dimulai sebagai tumor kecil yang makin lama makin membesar, merusak jaringan atau tulang,
kemudian membentuk abses dan sinus. Sinus mengeluarkan nanah yang berisi butir-butir jamur
atau granula jamur. Sinus yang bengeluarkan granula adalah gejala karakteristik misetoma (Staf
Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

13
Pembengkakan cukup besar yang dihasilkan dari infeksi misetoma tidak menimbulkan rasa
sakit. Biasanya proses ini berlangsung secara menahun dan perlahan lahan kelainan menyebar ke
jaringan sekitar secara perkontinuitatum. Tidak pernah terjadi penyebaran secara hematogen.
Misetoma banyak terjadi unilateral terutama pada tungkai bawah. Kaki adalah lokasi yang sering
terkena dan diketahui misetoma pedis (79,2%) umumnya akibat berjalan di atas tanah tanpa
menggunakan alas kaki. Walaupun jarang, misetoma dapat terjadi pada tungkai, tangan, bahu, atau
bagian tubuh yang lain (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

Penyakit ini tidak menular, juga tidak ditularkan dari hewan. Infeksi hanya terjadi karena
tusukan duri atau ranting yang mengandung jamur penyebab. Oleh karena itu penyakit ini banyak
ditemukan pada petani dan pekerja perkebunan yang hidup di desa yang mungkin sering mendapat
luka tusuk oleh duri atau ranting. Pembersihan luka secara tepat dan pemakaian sepatu adalah
tindakan pengendalian atau pencegahan tepat yang dapat dilakukan (Staf Pengajar Departemen
Parasitologi FK UI, 2015).

Infeksi dapat terjadi pada semua umur, namun yang tersering adalah pada 30-50 tahun.
Terutama ditemukan pada daerah tropik yang kering dan jarang hujan. Misetoma juga ditemukan di
Indonesia, Asia Selatan, dan di Amerika di daerah tropik dan subtropiknya. Misetoma merupakan
penyakit sangat endemis di India, Sudan, Senegal, Somalia, Kongo, Yaman, Venezuela, dan
Meksiko yaitu daerah dengan suhu udara tinggi (30-37ºC) kering dan jarang hujan. Frekuesnsi
tertinggi ditemukan di Sudan yaitu 300-400 kasus penyakit per tahunnya (Staf Pengajar
Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

Pengobatan

Penanganan eumisetoma sulit, melibatkan debrideman atau eksisi bedah dan kemoterapi. P
boydii diobati dengan nistatin atau mikonazol topikal. Itrakonazol, ketokonazol, dan bahkan
amfoterisin B dapat dianjurkan untuk infeksi madurella dan flusitosin untuk E jeanselmei. Agen
kemoterapi harus diberikan dalam jangka panjang agar dapat berpenetrasi ke dalam lesi tersebut
secara adekuat (Jawetz, et al., 2008).

Obat untuk infeksi yang disebabkan oleh A. israelii ialah penisilin dosis tinggi. Sulfa dan
steptomisin dipakai pada infeksi Nocardia dan Streptomyces. Pengobatan untuk misetoma
maduromikotik adalah secara bedah, yaitu dengan melakukan ekstirpasi jaringan yang ada
kelainannya atau amputasi bagian tubuh. Dianjurkan pemberian anti fungal selama enam bulan
sebelum dilakukan pembedahan karena terapi anti fungal dapat memperkecil ukuran tumor. Setelah
pembedahan, diberikan lagi anti fungal untuk mencegah rekurensi. Ketokonazol dan itrakonazol
dilaporkan dapat menyembuhkan beberapa kasus misetoma maduromikotik yang disebabkan oleh
Madurella mycetomatis, tapi tidak efektif untuk misetoma maduromikotik yang disebabkan

14
Scedosporium apiospermum dan Acremonium. Pengobatan S. apiospermum lebih sulit karena
jamur ini resisten terhadap berbadai antifungal termasuk flukonazol dan amfoterisin B. Itrakonazol
dilaporkan dapat menyembuhkan misetoma maduromikotik oleh Acremonium dan Aspergillus spp
(Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

Obat-obat baru seperti vorikonazol, posakonadol, dan ravukonazoldilaporkanbanyak


memberikan hasil baik untuk misetoma maduromikotik. Vorikonazol yang pemberiannya dapat
peroral dan intravena memberikan hasil baik pada misetoma maduromikotik oleh S. apiospermum
dan Aspergillus spp (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

Kegagalan pengobatan misetoma maduromikotik, mungkin disebabkan oleh lama dan luasnya
kelainan, jamur penyebab resisten terhadap anti fungal dan mungkin obat sulit menembus
misetoma karena adanya ekstra seluler semen, jaringan fibrotik, dan nanah disekitar granula (Staf
Pengajar Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

2.2.2 Endemis

Dalam golongan mikosis endemis terdapat 4 jenis mikosis sistemik primer (dimorfik) yakni
koksidioidomikosis, histoplasmosis, blastomikosis, dan parakoksidioidomikosis. Keempatnya
terbatas pada area endemis yang spesifik. Jamur penyebab koksidioidomikosis dan histoplasmosis
masing-masing terdapat di alam pada tanah kering atau tanah yang bercampur dengan guano. Agen
penyebab blastomikosis dan parakoksidioidomikosis diperkirakan berada di alam, tetapi habitatnya
belum dapat ditentukan dengan pasti. Setiap mikosis ini disebabkan oleh jamur yang dimorfik
sesuai suhu dan kebanyakan infeksi dimulai di paru setelah inhalasi masing-masing konidia. Hanya
beberapa infeksi yang akan menyebabkan penyakit yang dapat terjadi akibat penyebaran dari paru
ke organ lain. Mikosis-mikosis ini juga tidak dapat ditularkan di antara manusia atau hewan lain
(Jawetz, et al., 2014).

Terhadap semua infeksi mikosis sistemik ini, pertahanan pejamu awal berupa makrofag
alveolar yang biasanya mampu membuat konidia tidak aktif dan memicu respons imun yang lebih
hebat. Proses ini biasanya menyebabkan peradangan granulomatosa dan produksi, baik antibodi
maupun kekebalan yang diperantarai sel. Induksi berbagai sitokin Th1 (interleukin-12, interferon-γ,
tumor necrosis factor α) akan memperkuat pertahanan selular, mengaktivasi makrofag dan
meningkatkan kemampuan fungisidalnya. Pada pejamu yang imunokompeten, respon-respon ini
mampu meredakan lesi peradangan. Akan tetapi granuloma residual dapat mempertahankan
organisme dorman yang berpotensi reaktivasi di kemudian hari, menciptakan bentuk laten penyakit.
Di area endemis jamur-jamur ini, kebanyakan infeksi dijumpai pada individu yang imunokompeten,
tetapi pada orang dengan gangguan imunitas seluler, seperti penderita HIV/AIDS, berisiko lebih
tinggi mnderita infeksi berat (Jawetz, et al., 2014).

15
2.2.2.1 Koksidioidomikosis

Coccidioides posadasii dan C. immitis merupakan kapang tanah yang tidak dapat dibedakan
fenotipnya dan menyebabkan koksidioidomikosis. Infeksi ini endemis di berbagai daerah sangat
kering dengan batas jelas di Amerika Serikat bagian barat daya, Amerika Tengah, dan Amerika
Selatan. Infeksi ini biasanya sembuh sendiri; penyebaran jarang terjadi tetapi selalu berat dan dapat
mematikan (Jawetz, et al., 2014).

Morfologi dan Identifikasi

Pada sebagian bear medium laboratorium C. immitis menghasilkan koloni seperti kapas
berwarna putih hingga krem. Hifanya membentuk rantai-rantai artrokonidia (artrospora) yang
sering kali terbentuk berselang-seling dalam sel-sel sebuah hifa. Rantai-rantai ini terfragmentasi
menjadi artrokonidia individual yang mudah terbawa udara dan sangat resisten terhadap kondisi
lingkungan yang tidak bersahabat. Artrokonidia yang kecil ini (3 x 6 µm) tetap viable selama
bertahun-tahun dan sangat infeksius. Setelah inhalasi, artrokonidia menjadi bulat dan membesar,
membentuk sferul yang berisi endospora. Sferul dapat juga dihasilkan di laboratorium melalui
kultivasi pada medium kompleks (Jawetz, et al., 2014).

Gambar 3. Coccidioides immitis. A: Dalam tanah. Pembentukan dan germinasi artrokonidia (artrospora).
B: Dalam jaringan. Pembentukan sferul dengan endospora.
Sumber: Jawetz, Melnick and Adelbergs, Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23, 2008

Pada potongan histologi suatu jaringan, sputum, atau spesimen lain, ditemukannya sferula
mampu menegakkan diagnosis Coccidioides immitis. Ketika matang, sferula memiliki dinding
refraktil ganda yang tebal dan dapat mencapai ukuran diameter 80 µm. Sferula menjadi terisi oleh
endospora sehingga melepaskan endospora yang akan berkembang menjadi sferula-sferula baru
(Jawetz, et al., 2014).

16
Patogenesis dan Gejala Klinis

Inhalasi artrokonidia menyebabkan infeksi primer yang asimtomatik pada 60% orang.
Satu-satunya tanda infeksi adalah terbentuknya presipitin serum dan konversi uji kulit positif dalam
2-4 minggu. Presipitin ini akan berkurang, tetapi uji kulit sering kali tetap bertahan seumur hidup.
Sekitar 40% individu lain mengalami penvakit mirip-influenza yang disertai dengan demam,
malaise, batuk, artralgia, dan nyeri kepala. Kondisi tersebut disebut demam lembah, demam
Lernbah San Joaquin, atau rematik padang pasir. Setelah 1-2 minggu sekitar 15% pasien
mengalarni reaksi hipersensitivitas, berupa ruam, eritema nodosum, atau eritema multiform. Pada
pemeriksaan radiografi, pasien secara khas memperlihatkan adenopati pada hilum disertai infiltrat
paru, pneumonia, efusi pleura, atau nodul. Residu paru terjadi pada sekitar 5%, biasanya dalam
bentuk nodul solitar atau kavitas berdinding tipis (Jawetz, et al., 2014).

Kurang dari 1% orang yang terinfeksi C immitis mengalami koksidioidomikosis diseminata


atau sekunder, yang sering melemahkan dan mengancam nyawa. Faktor risiko untuk
koksidioidomikosis sistemik meliputi keturunan, jenis kelamin, usia, dan gangguan kekebalan
selular. Penyakit ini lebih sering terjadi pada kelompok rasial tertentu, antara lain (dalam urutan
risiko tertinggi hingga terendah) adalah ras Filipina, Afrika-Amerika, Amerika Asli, Hispanik, dan
Asia. Terdapat komponen genetik dalam respon imun terhadap C. immitis. Pria lebih rentan
daripada wanita, dengan pengecualian wanita hamil, yang dapat berkaitan dengan perbedaan
respons imun atau efek langsung hormon seks terhadap fungi. Misal, C. immitis mempunyai
protein pengikat estrogen, dan peningkatan kadar estradiol serta progesteron merangsang
pertumbuhannya. Orang yang berusia muda dan tua juga berisiko tinggi. Pada penderita AIDS dan
keadaan imunosupresi selular lainnya berisiko untuk mengalami koksidioidomikosis diseminata
dikarenakan perlu adanya respons imun selular untuk resistansi yang cukup (Jawetz, et al., 2014).

Beberapa individu menderita penyakit paru kronis progresif disertai nodul atau kavitas
bertambah banyak atau membesar. Penyebaran biasanya akan terjadi dalam waktu setahun
pascainfeksi primer. Sferul dan endospora menyebar melalui perluasan langsung atau hematogen.
Sejumlah tempat di luar paru dapat terkena, tetapi organ yang paling sering terkena adalah kulit,
tulang dan sendi, serta meningers. Ada berbagai manifestasi klinis yang khas terkait oleh infeksi C.
immitis di setiap daerah tersebut dan daerah lainnya pada tubuh (Jawetz, et al., 2014).

Penyebaran terjadi bila respons imun tidak cukup untuk menahan fokus paru. Pada
kebanyakan individu, uji kulit positif menandakan respons imun selular yang kuat dan
perlindungan terhadap reinfeksi. Namun, apabila individu tersebut menjadi imunokompromais atau
luluh imun akibat mendapat obat sitotoksik atau akibat penyakit (misal, AIDS), penyebaran dapat
timbul bertahun-tahun setelah infeksi primer (penyakit reaktivasi) (Jawetz, et al., 2014).

17
Koksidioidomikosis pada penderita AIDS sering muncul dalam bentuk pneumonitis
retikulonodular difus yang cepat mematikan. Gambaran radiologi antara penyakit ini dengan
pneumonia pneumosistis mirip, tetapi terapi keduanya berbeda, maka penting untuk
memperhatikan adanya kemungkinan pneumonia koksidioidal pada penderita AIDS. Kultur darah
sering positif untuk C. immitis. Pada pemeriksaan histologi, lesi koksidioidal mengandung
granuloma tipikal dengan sel raksasa dan supurasi yang menyebar. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan menemukan sferul dan endospora. Perjalanan klinis sering ditandai dengan remisi dan
relaps (Jawetz, et al., 2014).

2.2.2.2 Histoplasmosis

Histoplasrna capsulatum adalah saprofit tanah dimorfik yang menyebabkan histoplasmosis,


infeksi mikotik di paru yang paling sering terjadi pada manusia dan hewan. Di alam, H. capsulatum
tumbuh sebagai kapang berhubungan dengan tanah dan habitat burung, diperkaya oleh substrat
alkali nitrogen pada kotoran hewan. H. capsulatum dan histoplasmosis, yang dipicu dengan
inhalasi konidia, terjadi di seluruh dunia (Jawetz, et al., 2014).

Morfologi & ldentifikasi

Pada temperatur kurang dari 37°C, isolat prirner H. capsulatum sering menghasilkan koloni
kapang coklat tetapi gambarannya bervariasi. Banyak isolat tumbuh lambat dan spesimen
memerlukan inkubasi selama 4-12 minggu sebelum terbentuk koloni. Hifa hialin bersepta
rnenghasilkan mikrokonidia (2-5 µm) dan makrokonidia berdinding tebal berbentuk sferis yang
besar dengan penonjolan materi dinding sel pada daerah perifer (8-16 µm). Dalam jaringan atau in
vitro pada medium kava pada suhu 37°C, hifa dan konidia berubah menjadi sel ragi kecil dan oval
(2 x 4 µm). Dalam jaringan, ragi secara khas terlihat dalam makrofag karena H. capsulatum
merupakan parasit intraselular fakultatif (Jawetz, et al., 2014).

Gambar 4. H. capsulatum. A: Makrokonidia dan mikrokonidia dalam biakan pada suhu 30°C. B: Makrofag
yang mengandung sel ragi.
Sumber: Jawetz, Melnick and Adelbergs, Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23, 2008

18
Patogenesis & Gejala Klinis

Manusia biasanya terinfeksi dengan cara terhirup spora atau konidia H. capsulatum, tidak
ditularkan dari manusia ke manusia lainnya maupun dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Saat
terinhalasi konidia H. capsulatum, beberapa konidia berhasil menghindari pertahanan nonspesifik
paru hingga mencapai alveolus. Konidia kemudian berkembang menjadi sel ragi dan dikelilingi
oleh makrofag alveolar; di tempat ini, organisme tersebut mampu bereplikasi dengan pembelahan
biner (Pamungkas, 2016).

Respon tubuh mengeluarkan neutrofil dan makrofag yang memfagosis ragi. Ragi yang
difagosit tidak berhasil dibunuh, justru bermultiplikasi dalam tubuh makrofag, menyebar ke hilus
lalu ke seluruh tubuh (Pamungkas, 2016). Di dalam makrofag, ragi dapat menyebar ke jaringan
retikuloendotelial seperti hati, limpa, sumsum tulang, dan kelenjar getah bening. Reaksi radang
awal menjadi granulomatosa. Pada lebih dari 95% kasus respons imun selular yang timbul
menyebabkan sekresi sitokin yang mengaktifkan makrofag untuk menghambat pertumbuhan ragi di
dalam sel (Jawetz, et al., 2014).

Histoplasmosis asimtomatik, dapat dijumpai sekitar 90% penduduk terinfeksi H. capsulatum


pada daerah endemik, tidak ada gejala, tes histoplasmin positif. Pada histoplasmosis paru akut,
seringkali terjadi pada orang yang berkunjung ke daerah endemik. Gejala klinis tidak khas, bila
spora yang terhirup cukup banyak, dapat menimbulkan sesak napas, sianosis, sakit dada, ruam,
eritema multiforme, dan sakit pleura. Stadium akut ini berakhir dalam 3 minggu dengan
penyembuhan sempurna (Pamungkas, 2016).

Beberapa orang, misalnya orang imunokompeten yang rnenghirup inokulum berat, menderita
histoplasmosis paru akut, yaitu sindrom seperti flu yang sembuh sendiri yang ditandai dengan
demam, menggigil, mialgia, nyeri kepala, dan batuk nonproduktif. Pada pemeriksaan radiografi,
sebagian besar pasien akan memperlihatkan limfadenopati hilum dan infiltrat atau nodul paru.
Gejala tersebut hilang secara spontan tanpa terapi dan nodul granulomatosa dalam paru atau tempat
lain sembuh dengan kalsifikasi (Jawetz, et al., 2014).

Histoplasmosis paru kronik paling sering terjadi pada pria dan biasanya merupakan proses
reaktivasi, pecahnya lesi dorman yang diperoleh beberapa tahun lalu. Reaktivasi ini biasanya
dipercepat oleh kerusakan paru seperti emfisema (Jawetz, et al., 2014). Histoplasmosis paru kronik,
dijumpai pada orang dewasa dengan riwayat penyakit paru kronik, misalnya TB paru, dapat juga
pada penderita diabetes mellitus. Foto toraks menunjukkan gambaran kaverna pada kedua lobus
atas paru, sering disangka TB paru (Pamungkas, 2016).

19
Histoplasmosis diseminata berat timbul pada sekelompok kecil individu yang terinfeksi
khususnya bayi, orang tua, dan orang yang mengalami imunosupresi, termasuk penderita AIDS.
Sistem retikuloendotelium terutama mudah terkena, berupa terjadinya limfadenopati, pembesaran
limpa dan hati, demam tinggi, anemia, dan angka mortalitas tinggi jika tanpa terapi antijamur.
Dapat timbul ulkus mukokutan pada hidung, mulut, lidah, dan usus. Pada penderita tersebut, studi
histologi memperlihatkan area fokus nekrosis dalam granuloma pada banyak organ. Ragi dapat
berada dalam rnakrofag di darah, hati, limpa, dan sumsum tulang (Jawetz, et al., 2014).

Dua minggu setelah inhalasi, respon imun yang dimediasi limfosit mulai berkembang. Terjadi
peningkatan limfosit dan makrofag untuk mengendalikan infeksi jamur histoplasmosis. Berbagai
sitokin proinflamasi dikeluarkan, seperti interleukin-12 (IL-12), interferon-γ (IFN-γ), tumor
necrosis factor-α (TNF-α), yang bersifat protektif terhadap jamur. Pembentukan granuloma
bergantung interaksi antara limfosit dan makrofag, semakin meningkat intensitas inflamasi akan
memunculkan nekrosis kaseosa yang sulit dibedakan dengan TB (Pamungkas, 2016).

Epidemiologi

Insiden histoplasmosis paling tinggi di Amerika Serikat, yang merupakan daerah endemik
meliputi negara bagian tengah dan timur dan terutama Lembah Sungai Ohio dan sebagian Lembah
Sungai Mississippi. Sejumlah wabah histoplasmosis akut disebabkan oleh pajanan banyak orang
dengan inokulum konidia yang besar. Keadaan tersebut terjadi bila habitat alami H. capsulatum
terganggu, yaitu, tanah yang bercampur kotoran burung (misal, tempat bertengger burung jalak,
kandang ayam) atau kotoran kelelawar (gua). Burung tidak terinfeksi, tetapi kotorannya
memberikan kondisi biakan yang baik bagi pertumbuhan fungi. Konidia juga menyebar melalui
angin dan debu. Wabah urban histoplasmosis terbesar terjadi di Indianapolis (Jawetz, et al., 2014).

Pada beberapa daerah yang sangat endemik, 80-90% penduduk mempunyai hasil uji kulit yang
positif pada awal masa dewasa. Banyak penduduk akan mengalami kalsifikasi miliar di paru.
Histoplasmosis tidak menular dari orang ke orang. Penyemprotan formaldehid pada tanah yang
terinfeksi dapat membasmi H. capsulatum (Jawetz, et al., 2014).

Di Afrika, selain patogen yang lazim, terdapat varian yang stabil, H. capsulatum var duboisii,
yang menyebabkan histoplasmosis Afrika. Bentuk tersebut berbeda dengan penyakit biasa karena
bentuk tersebut menyebabkan bagian paru yang terkena lebih sedikit dan lebih banyak lesi pada
kulit dan tulang disertai sel raksasa dalam jumlah besar yang mengandung ragi yang berbentuk
lebih bulat dan besar (Jawetz, et al., 2014).

20
2.2.2.3 Blastomikosis

Blastomyces dermatitis merupakan fungi yang bersifat dimorfik sesuai perubahan suhu yang
tumbuh sebagai kapang pada biakan, menghasilkan hialin, hifa bersepta yang bercabang dan
konidia. Pada suhu 37°C atau dalam pejamu, spesies tersebut berubah menjadi sel ragi runas
tunggal yang besar. B. dermatitidis menyebabkan blastomikosis, suatu infeksi kronik dengan lesi
granulomatosa dan supuratif yang bermula di paru, dari tempat ini penyebaran dapat terjadi ke
setiap organ, tetapi terutama kulit dan tulang. Penyakit ini disebut blastomikosis Amerika Selatan
karena penyakit ini mewabah dan sebagian besar kasus terjadi di Amerika Serikat dan Kanada.
Meskipun prevalensi penyakit ini tinggi di Amerika Utara, blastomikosis telah ditemukan di Afrika,
Amerika Selatan, dan Asia. Blastomikosis bersifat endemik untuk manusia dan anjing di Amerika
Serikat bagian timur (Jawetz, et al., 2014).

Gambar 5. Blastomyces dermatitidis. A: Dalam jaringan atau biakan pada suhu 37°C. B: Dalam biakan pada suhu
30°C pada agar Sabouraud.
Sumber: Jawetz, Melnick and Adelbergs, Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23, 2008

Morfologi & ldentifikasi


Bila B. dermatitidis tumbuh pada agar Sabouraud pada suhu ruangan, timbul koloni berwarna
putih atau kecoklatan, dengan hifa bercabang yang mengandung konidia piriformis, ovoid, atau
sferis (diameter 3-5µm) pada konidiofora lateral atau terminal yang ramping. Dapat juga dihasilkan
klamidospora yang lebih besar (7-18 µm). Dalam jaringan atau biakan pada suhu 37°C, B.
dermatitidis tumbuh sebagai ragi sferis, berinti banyak dengan dinding tebal (8-15 µm) yang
biasanya menghasilkan satu tunas. Tunas dan induk ragi saling melekat dengan dasar yang lebar
dan tunas biasanya membesar sampai ukurannya sama dengan induk ragi sebelum terlepas. Koloni
ragi berkerut, seperti lilin, dan lunak (Jawetz, et al., 2014).

21
Patogenesis & Gejala Klinis
Infeksi manusia dimulai di paru. Ada kasus yang ringan dan sembuh sendiri, tetapi
frekuensinya tidak diketahui karena tidak terdapat uji kultur atau serologi yang cukup untuk
menilai infeksi primer yang telah sembuh atau infeksi subklinis. Manifestasi klinis yang paling
sering adalah infiltrat paru yang berhubungan dengan berbagai gejala yang tidak dapat dibedakan
dari infeksi pernapasan bagian bawah akut lainnya (demam, malaise, keringat malam, baruk, dan
mialgia). Pasien juga sering menderita pneumonia kronik (Jawetz, et al., 2014).

Kulit adalah area infeksi ekstrapulmonari yang paling umum dan keterlibatan kulit terjadi pada
sekitar 60% penderita infeksi diseminata. Pemeriksaan histologi memperlihatkan reaksi
piogranulomatosa dengan neutrophil dan granuloma nonkaseosa. Pasien biasanya dapat mengalami
lesi ulserasi pada seluruh permukaan kulit namun yang paling umum adalah pada area kepala, leher,
atau ektremitas yang terekspos. Lesi dapat berkembang menjadi granuloma verukosa yang
membentuk ulkus dengan tepi melebar dan pembentukan parut di tengah. Bagian tepi lesi terisi
mikroabses dan mempunyai tepi yang jelas dan melengkung. Manifestasi kulit lainnya termasuk
nodul violaceous, abses plak, lesi verukosa besar, atau keloid (Smith & Gauthier, 2015). Lesi
juga dapat terjadi pada tulang, genitalia (prostat, epididimis, dan testis), serta sistem saraf pusat;
tempat lain jarang terkena. Pada pasien yang mengalami imunosupresi, termasuk penderita AIDS,
dapat mengalami blastomikosis namun tidak sesering mikosis sistemik lain (Jawetz, et al., 2014).

Gambar 6. Lesi pada kulit yang disebabkan blastomikosis.


Sumber: Jurnal Seminars in Respiratory and Critical Care Medicine, 2015

Respon imun innate dan adaptif sangat penting dalam melawan infeksi B. dermatitidis.
Sebaliknya, antibody-mediated immunity tidak diperlukan. Dalam paru-paru, makrofag alveolar
dan neutrofil dapat mematikan konidia; bagaimanapun dalam kondisi ekperimental, tidak semua
kondia mati. Konidia yang selamat dari pertahanan imun innate dapat bertunas sebagai ragi. Ragi
lebih sulit dimatikan oleh sel inang sebab mereka menghambat produksi sitokin sel inang,
mengganggu aktivasi T-limfosit CD4+, dan resistan terhadap reactive oxygen species (ROS), dan
secara aktif menekan produksi nitrit oksida (NO). Respon imun adaptif melibatkan aktivasi
T-limfosit Th1 dan Th17 dari aktivitas fungisidal makrofag. Dalam pemulihan dari blastomikosis,
pasien mengembangkan cell-mediated immunity yang mampu bertahan minimal 2 tahun (Smith &
Gauthier, 2015).

22
2.2.2.4 Parakoksidioidomikosis

Paracoccidioides brasiliensis adalah agen fungi parakoksidioidomikosis yang sesuai


perubahan suhu bersifat dimorfik (blastomikosis Amerika Selatan), yang berbatasan dengan daerah
endemik di Amerika Tengah dan Selatan (Jawetz, et al., 2014).

Morfologi & ldentifikasi

Biakan bentuk kapang P. brasiliensis tumbuh sangat lambat dan menghasilkan klamidospora
serta konidia. Gambarannya tidak jelas. Pada suhu 36°C, di medium yang kaya, kapang tersebut
membentuk banyak sel ragi besar bertunas (sampai 30 µm). Raginya berukuran lebih besar dan
berdinding lebih tipis daripada B dermatitidis. Tunas menempel melalui penghubung yang sempit
(Jawetz, et al., 2014).

Gambar 7. Paracoccidioides brasiliensis dalam bentuk ragi besar dengan banyak tunas.
Sumber: An Bras Dermatol. 2011;86(3):516-25

Patogenesis & Gejala Klinis


P. brasiliensis masuk melalui inhalasi dan lesi awalnya muncul di paru. Setelah periode
dormansi yang dapat beriangsung selama beberapa dekade, granuloma paru menjadi aktif, sehingga
terjadi penyakit paru kronik progresif atau diseminata. Sebagian besar pasien berusia 30-60 tahun,
dan lebih dari 90% pasien adalah pria. Beberapa pasien (<10%), biasanya berusia kurang dari 30
tahun, mengalami infeksi akut atau subakut yang progresif dengan waktu inkubasi yang lebih
singkat. Pada kasus parakoksidioidomikosis kronik yang umum, ragi menyebar dari paru ke organ
lain, terutama kulit dan jaringan mukokutan, kelenjar getah bening, limpa, hati, adrenal, dan tempat
lain. Banyak pasien datang dengan luka yang rasa nyeri di mukosa oral. Pemeriksaan histologi
biasanya menunjukkan baik granuloma berkaseosa ditengahnya ataupun mikroabses. Ragi sering
ditemukan dalam sel raksasa atau secara langsung dalam eksudat dari lesi mukokutan. Survei uji
kulit telah dilakukan menggunakan ekstrak antigen, parakoksidioidin, yang dapat bereaksi silang
dengan koksidioidin atau histoplasmin (Jawetz, et al., 2014).

23
Gambar 8. Lesi kulit pada individu terinfeksi P. brasiliensis.
Sumber: NetHealthBook.com

Epidemiologi
Parakoksidioidomikosis terutama terjadi di daerah pinggiran Amerika Latin, khususnya di
antara para petani. Manifestasi penyakit jauh lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, tetapi
frekuensi infeksi dan reaktivitas uji kulit sama pada kedua jenis kelamin. Oleh karena P.
brasiliensis jarang diisolasi dari alam, habitat alaminya belum dapat ditentukan. Sama seperti
mikosisendemik lain, parakoksidioidomikosis tidak menular (Jawetz, et al., 2014).

2.2.3 Oportunistik

Pasien yang mengalami mikosis oportunistik adalah pasien dengan gangguan pertahanan
sehingga rentan terhadap serangan fungi, tetapi orang sehat yang terpajan biasanya resisten. Agen
fungi yang dapat menyebabkan mikosis oportunistik adalah Candida sp, Cryptococcus neoformans,
Aspergilus sp, Zygomycetes sp (Jawetz, et al., 2004).

2.2.3.1 Kandidiasis

Spesies kandida diketahui merupakan patogen fungi umum yang menyerang hingga jaringan
organ vital. Diketahui terdapat lima faktor utama terjadinya patogenesis pada infeksi yang
disebakan kandida yaitu kemampuan pelekatan, kemampuan membentuk fase kapang dan hifa,
hidrofobisitas dari permukaan sel, sekresi sekret yang bersifat invasif dan pergantian fenotip
(Murray, et al., 2013).

Kemampuan Candida sp. dalam melekat pada jaringan merupakan fase awal yang penting
dalam terjadinya infeksi dimana pelekatan merupakan hasil dari kombinasi spesifik ikatan ligan
dan reseptor serta interaksi non-spesifik menggunakan interaksi ikatan Van Der Walls yang mana
diketahui kolonisasi dan pelekatan pada mukosa usus akan berlanjut pada aliran darah yang
selanjutnya terjadi penyebaran pada organ lain seperti hati, limpa, jantung hingga otak (Jawetz, et
al., 2014).

24
Transformasi kapang menjadi hifa menjadi penetu umum dalam mekanisme infeksi dan invasi
jaringan oleh hifa. Pertumbuhan ini dipengaruhi oleh pH dan temperatur lingkungan. Hifa dari C.
albican diketahui memiliki pertumbuhan thigmotropisme yang menyebabkannya peka terhadap
sentuhan sehingga dapat menginvasi dan menutupi permukaan berbentuk lekukan, pori dan
jaringan epitel (Murray, et al., 2013).

Komposisi dinding sel dari spesies candida dimana variasi susunan mannoprotein dan proses
glikosilasi menjadi faktor pendukung hidrofobisitas bagi dinding sel untuk melakukan pelekatan
pada jaringan epitel. Komposisi dari beberapa glikoprotein pula diketahui dapat menekan aktifitas
sistem imun inang (Jawetz, et al., 2014).

Modifikasi sistem imun oleh spesies kandida dapat berupa sekresi enzim aspartil proteinase
yang menghidrolisis protein yang berperan dalam sistem imun inang sehingga penembusan
jaringan ikat dapat terjadi dan fosfolipase yang disekresi oleh spesies kandida menjadi kunci dalam
invasi jaringan (Murray, et al., 2013).

Kemampuan untuk mentransformasi bentuk yang sering disebut pergantian fenotip menjadi
salah satu alasan mengapa spesies kandida dapat bertahan dan cepat beradaptasi dalam lingkungan
sehingga mendukung kemampuan untuk bertahan hidup, menginvasi jaringan dan lolos dari
pertahanan inang. Fakta ini didukung dari observasi yang dilakukan bahwa perbedaan fase fenotip
dari kandida akan menghasilkan perbedaan dalam komposisi penyusun hifa dan tunas penghasil
spora (Murray, et al., 2013).

Beberapa spesies ragi genus kandida mampu menyebabkan kandidiasis. Kandidiasis adalah
mikosis sistemik yang paling sering terjadi dan agen yang paling sering ditemukan adalah C
albicans, C tropicalis, C parapsilosis, C glabrata, C guilliermondii, dan C dubliniensis (Jawetz et
al., 2004). Kandidiasis adalah penyakit jamur yang bersifat akut atau subakut disebabkan spesies
candida, biasanya oleh spesies Candida albicans dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku,
bronki atau paru, kadang-kadang menyebabkan septikemia, endokarditis atau meningitis (Sanjaya
et al., 2014).

Morfologi

Candida dikenal sebagai jamur dimorfik karena mampu membentuk sel ragi dan hifa semu.
Sel ragi atau blastopora/blastokonidia merupakan sel bulat atau oval dengan atau tanpa tunas. Hifa
semu terbentuk dengan cara elongasi sel ragi yang membentuk rantai yang rapuh (Sutanto et al.,
2008). Candida sebenarnya merupakan flora normal mulut, namun berbagai faktor seperti adanya
gangguan sistem imun maupun penggunaan obat-obatan seperti obat antibiotik dan steroid dapat
menyebabkan flora normal tersebut menjadi patogen (Fridayanti, 2014).

25
Patologi dan Gejala Klinis

Menurut Afridayanti (2014), menempelnya mikroorganisme dalam jaringan sel host menjadi
syarat mutlak untuk berkembangnya infeksi. Candida albicans berada dalam tubuh manusia
sebagai saprofit dan infeksi baru terjadi bila terdapat faktor predisposisi pada tubuh pejamu.
Faktor-faktor yang dihubungkan dengan meningkatnya kasus kandidiasis antara lain disebabkan
oleh:
1. Kondisi tubuh yang lemah atau keadaan umum yang buruk.
2. Penyakit tertentu, misalnya: diabetes mellitus
3. Kehamilan
4. Rangsangan setempat pada kulit oleh cairan yang terjadi terus menerus, misalnya oleh air,
keringat, urin atau air liur.
5. Penggunaan obat di antaranya: antibiotik, kortikosteroid dan sitostatik.

Menurut Sutanto, et al (2008), berdasarkan lokalisasinya kandidiasis dibagi menjadi:

1. Kandidiasis Superfisialis

Kandidiasis superfisial (kutan atau mukosa) terjadi melalui peningkatan jumlah Candida
lokal dan adanya kerusakan pada kulit atau epitel yang memungkinkan invasi lokal oleh ragi
dan pseudohifa (Jawetz, et al., 2004). Infeksi superfisialis pada umumnya disebabkan oleh
Candida albicans (Sutanto, et al., 2008).

a. Kandidiasis Kulit

Kelainan dapat ditemukan pada daerah yang hangat dan lembab. Disintegrasi jaringan
menyebabkan turunnya imunitas lokal yang akan menyebabkan kandidiasis kulit,
seperti pada sela jari kaki/tangan (kutu air), inguinal (pada kulit bayi yang tertutup
popok dan pada vagina perempuan) , perineum, bawah payudara dan ketiak (Sutanto, et
al., 2008).

b. Kandidiasis Kuku

Kelainan yang terjadi adalah paronikia kronik (infeksi kulit sekitar kuku), kemerahan di
sekitar kuku dan bawah kuku disertai nyeri. Warna kuku berubah menjadi seperti susu
atau warna lain, rapuh, menebal dan permukaan tidak rata bahkan hingga lepas atau
hilangnya kuku. Hal tersebut terjadi pada satu, beberapa atau seluruh kuku (Sutanto, et
al., 2008).

26
c. Kandidiasis Selaput Lendir

Kandidiasis mukosa dapat mengenai mukosa vagina, orofarings, esofagus dan mukosa
intestinal. Pada bayi sering ditemukan sebagai bercak putih seperti sisa susu di bibir,
lidah atau selaput lendir mulut. Keadaan tersebut dapat juga ditemukan pada orang
dewasa (Sutanto, et al., 2008).

2. Kandidiasis Sistemik atau Invasif

Kandidiasis sistemik menyerang alat dalam seperti susunan saraf pusat, paru, jantung
dan endokard, endovaskuler, mata, hati, lien dan ginjal. Sumber infeksi biasanya Candida
yang semula saprofit di saluran cerna, saluran napas atas atau masuk bersama pemakaian
selang infus (Sutanto et al., 2008). Kandidiasis sistemik terjadi ketika Candida masuk ke
aliran darah dan pertahanan pejamu fagositik tidak adekuat untuk menahan pertumbuhan dan
penyebaran ragi. Dari sirkulasi kemudian menginfeksi ginjal, melekat pada katup jantung
dan infeksi di semua tempat (misal artritis, meningitis, endoftalmitis) (Jawetz, et al., 2004).

Diagnosis kandidiasis ditegakkan dengan menemukan elemen jamur atau isolasi jamur
dari bahan klinik, yaitu dari darah, sputum dan urin. Untuk pengobatannya sendiri dibagi
menjadi dua, yaitu pengobatan tropikal dengan larutan, salep dan krim serta pengobatan
sistemik yang diberikan secara oral atau intravena (Sutanto, et al., 2008).

2.2.3.2 Kriptokokosis

Kriptokokosis merupakan infeksi jamur yang jarang ditemui dan disebabkan oleh spesies
jamur Cryptococcus neoformans (Tofrizal dan Esther, 2009). Cryptococcus neoformans adalah ragi
yang ditandai dengan kapsul polisakarida tebal. Cryptococcus neoformans dan Cryptococcus gattii
dapat menyebabkan kriptokokosis yang biasanya berkaitan dengan imunosupresi, AIDS atau
keganasan tetapi juga dapat terjadi pada pejamu yang tampak normal (Jawetz, et al., 2004).

Morfologi

Cryptococcus neoformans dan Cryptococcus gattii membentuk simpai yang tebal saat berada
di dalam bahan klinik, sedangkan di alam khamir berukuran lebih kecil dengan simpai tipis.
Khamir tersebut berkembangbiak dengan tunas (Sutanto, et al., 2008).

C. neoformans adalah kapang yang tidak berkapsul dan menyebabkan infeksi pada banyak
daerah di dunia. Pada kasus pathogenesis Cryptocococcis patut ditilik dari dua hal penting yaitu
pertahanan inang yang cenderung lemah dan faktor virulensi yang berpotensi menyebabkan infeksi
yaitu banyaknya sel-sel kapang yang terhirup (Jawetz, et al., 2014).

27
Patologi dan Gejala Klinis

Pertahanan inang diketahui terdapat tiga garis utama yang berperan yaitu makrofag alveolar,
sel inflamasi fagosit dan pertahanan spesifik yaitu sel limfosit T dan sel limfosit B. Pada
pertahanan makrofag alveolus yang berperan sebagai garis awal pertahanan mampu menelan sel
kapang yang terhirup yang selanjutnya menghasilkan sitokin sebagai respon kimiawi yang akan
menarik invasi neutrofil, monosit, sel NK dan sel pertahanan lain. Sel makrofag juga turut berperan
sebagai sel penyaji antigen bagi sel limfosit B dan sel limfosit T yang selanjutnya melakukan
pembersihan secara lebih efektif (Murray, et al., 2013).

Respon antibodi bagi sel kapang akan mengopsonisasi sel kapang yang selanjutnya
memfasilitasi bagi respon fagositosis dan respon bagi sel T sitotoksik yang akan melakukan
pembersihan sel kapang dengan lebih spesifik serta induksi pergerakan kemotaksik dari sel
inflamasi jaringan (Jawetz, et al., 2014).

Faktor utama bagi infeksi C. neoformans terjadi adalah lolosnya sel anvasif awal dari sistem
imun dan pelekatan pada jaringan dengan suhu tubuh yaitu C. Lolosnya sel infektif awal ini akan
mendukung pembentukan kapsul tebal polisakarida yang berlanjut pada sintesis melanin dan
beralih pada tahap fenotipe alfa fertil (MATalpha) (Murray, et al., 2013).

Kapsul yang terbentuk dari lolosnya sel infektif awal akan menghalangi respon imun sel inang
yang memblokade opsonisasi oleh antibodi sehingga fagositosis dan reaksi imun sel T juga turut
tertekan. Fagositosis yang tertekan menyebabkan sulitnya presentasi antigen pada sel humoral
sehingga respon imun spesifik baik yang termediasi sel maupun antibodi juga turut tertekan.
Kapsul pula dapat melindungi daya destruksi oleh NO (Nitric Oxide) yang merupakan senyawa
toksik bagi C. neoforman saat invasi terjadi (Jawetz, et al., 2014).

Melanin yang diproduksi oleh sel yang berhasil membuat kapsul akan disimpan di dinding sel
dan diduga kuat menjadi pelindung utama bagi sel kapang untuk bertahan dari stres oksidatif,
temperatur ekstrim dan pengurangan ion besi serta racun mikrobisida dari sel inang. Melanin turut
pula membantu mempertahankan integritas membran sel dan menambah keelektronegatifitas
dinding sel sehingga menghalangi terjadinya fagositosis (Murray, et al., 2013).

Peralihan pada tahap fenotipe alfa fertil (MATalpha) dapat diasosiakan dengan kontribusi gen
STE12alpha yang telah terbukti bertanggung jawab pada produksi kapsul dan melanin yang telah
dibahas sebelumnya (Murray, et al., 2013).

28
Infeksi terjadi setelah menghirup sel ragi yang sifatnya kering. Infeksi paru primer dapat
bersifat asimtomatik atau menyerupai infeksi pernapasan seperti influenza, sering kali sembuh
spontan. Pada pasien yang terganggu, ragi dapat memperbanyak diri dan menyebar ke bagian tubuh
lain, terutama sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan kriptokokosis. Tempat lain yang sering
menjadi tempat penyebaran adalah kulit, mata dan kelenjar prostat. Reaksi radang biasanya
minimal atau berupa granuloma (Jawetz, et al., 2004).

Gambar 9. Penyebaran Kriptokokosis pada Kulit dan Cryptococcus neoformans pada mikroskop
Sumber: Kriptokokosis (2009)

Diagnosis kriptokokosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium


serta pemeriksaan radiologis. Selain itu juga dapat dilakukan deteksi antigen dan deteksi DNA
dengan teknik PCR (Adawiyah, 2008).

Terapi dibedakan antara kriptokokosis SSP dan non SSP yang bertujuan untuk mencegah
penyebaran ke otak. Pada kriptokokosis non SSP jika sudah dipastikan tidak ada penyebaran ke
otak dapat diberikan flukonazol 200-400 mg/hari seumur hidup. Sedangkan pada meningitis
kriptokokosis diberikan terapi amfoterisin B 0,7-1 mg/kgBB, flusitosin diikuti flukonazol (Sutanto,
et al., 2008).

2.2.3.3 Aspergilosis

Aspergilosis adalah suatu spektrum penyakit yang dapat disebabkan oleh sejumlah spesies
Aspergilus (Jawetz et al., 2004). Aspergilus adalah kelompok kapang oportunis patogen yang dapat
menginfeksi manusia. Kelainan yang ditimbulkan berupa infeksi yang dapat mengenai kulit, kuku,
dan alat dalam terutama paru. Selain infeksi, kapang ini juga dapat menyebabkan alergi atau
kolonisasi dalam paru (Sutanto, et al., 2008).

Morfologi

Aspergilus adalah kapang saprofit yang hidup di tanah, air dan tumbuuhan serta menggunakan
tumbuhan yang membusuk sebagai sumber karbon dan nitrogen. Kemudian Aspergilus (2-3
mikrometer) terlepas dan tersebar di udara yang merupakan bentuk infektif dan mudah terhirup
(Sutanto et al., 2008).

29
Aspergilus sp tumbuh cepat menghasilkan hifa dengan ciri struktur konidia yang khas,
konidiofora panjang dengan vesikel terminal yang fialidnya menghasilkan rantai konidia yang
tumbuh secara basipetal. Konidia ini mudah sekali terhirup, dan orang atopik yang menghirupnya
sering mengalami reaksi alergi (Jawetz, et al., 2004).

Patologi dan Gejala Klinis

Aspergilosis adalah adalah infeksi yang umum terjadi pada berbagai belahan dunia.
Aspergillus sp. adalah saproba yang secara alami banyak ditemukan di tanah, tanaman pot, sayuran
yang telah busuk serta area pembangunan yang kotor. Aspergillus dapat menyebabkan penyakit
melalui kolonisasi jalan udara dengan disertai dengan gejalan reaksi alergi atau dengan invasi
jaringan (Jawetz, et al, 2014).

Jalan utama awal infeksi dari Aspergillus adalah dengan penghirupan konidia yang berada di
udara yang kemudian akan melekat pada jaringan paru, nasofaring dan sinus. Makrofag alveolus
dan neutrofil berperan besar dalam pembersihan agen infektif dari Aspergillus sp. dimana
makrofag berperan dalam fagositosis konidia dan neutrofil banyak berperan pada pelekatan dan
pembersihan hifa yang berhasil berkembang dari spora. Hifa yang lolos dari pembersihan oleh
neutrofil dapat berkembang menjadi invasif pada jaringan paru dan pembuluh darah dan berakibat
pada trombosis dan nekrosis yang berakhir pada perluasan daerah infeksi pada organ lain (Murray,
et al, 2013).

Aspergillus dalam proses invasinya pada inang turut pula menyekresi beberapa zat metabolik
seperti gliotoxins yang pada prosesnya akan menghambat fagositosis oleh sel makrofag, aktivasi
sel T dan proliferasinya. Enzim katalase yang bersifat invasif turut pula diproduksi yang berfungsi
memecah enzim hidrogen peroksidase neutrofil yang akan memperlemah daya fagositosis dari
neutrofil. Pada Aspergillosis yang parah dapat ditemukan disfungsi neutrofil akibat dari katalase
yang disekresikan pada neutrofil. Individu dengan terapi steroid dosis tinggi beresiko dalam
Aspergilosis, diketahui bahwa Aspergilosis dengan terapi steroid akan menekan aktifitas
fagositosis pada makrofag dan sel T sitotoksik. Namun, tidak diketahui secara pasti apakah
Aspergillus memiliki protein yang mengikat steroid secara spesifik guna mengeksploitasi seperti
yang dimiliki jamur lainnya (Murray, et al., 2013).

Tempat predileksi utama aspergilosis adalah paru akibat inhalasi konidia (Sutanto, et al.,
2008). Pada paru, makrofag alveolar mampu menghancurkan konidia. Namun, makrofag dari
hewan yang diobati kortikosteroid atau pasien imunokompromais mengalami penurunan
kemampuan untuk mengandung inokulum. Dalam paru, konidia membesar dan bergerminasi
menghasilkan hifa yang cenderung menginvasi kavitas yang sudah ada (Jawetz, et al., 2004).
Kelainan yang disebabkan oleh jamur Aspergilus antara lain:

30
1. Aspergiloma

Aspergiloma atau fungus ball merupakan kolonisasi Aspergillus dalam rongga yang telah ada
sebelumnya akibat penyakit lain misalnya TBC, sarkoidosis, histoplasmosis, fibrosis sistik.
Selain di paru, Aspergiloma juga dapat terjadi pada organ lain. Infeksi pada sinus maksilaris dan
sinus frontalis terjadi karena jamur dari rongga hidung tumbuh masuk ke sinus. Gejala yang
ditimbulkan menyerupai sinusitis oleh sebab lain. Aspergillus dapat merusak tulang dan dapat
menembus ke rongga mata menyebabkan infeksi orbital dan rongga kepala (aspergilosis
serebral) (Sutanto, et al., 2008).

2. Allergic Broncho Pulmonary Aspergillosis (ABPA)

Reaksi alergi sering disebabkan oleh Aspergillus fumigatus dan banyak ditemukan pada
penderita fibrosis sistik (Sutanto et al., 2008). Pada beberapa individu yang atopik,
pembentukan antibodi Ig E terhadap antigen konidia Aspergillus menghasilkan reaksi asmatik.
Pada individu lain, kondidia bergerminasi dan hifa mengolonisasi pohon bronkus tanpa
menginvasi parenkim paru. Secara klinis ditandai dengan asma, eosinofilia dan hipersensitivitas
uji kulit tipe I dan tipe III terhadap antigen Aspergillus. Banyak pasien yang menghasilkan
sputum dan presipitin serum (Jawetz, et al., 2004).

3. Aspergilosis Invasif (AI)

Setelah terhirup dan terjadi germinasi konidia, penyakit invasif berkembang menjadi proses
pneumonia akut dengan atau tanpa penyebaran. Pasien yang beresiko adalah mereka yang
menderita leukimia, penerima transplantasi organ dan terutama mereka yang minum
kortikosteroid (Jawetz, et al., 2004). Pada penderita HIV/AIDS, meskipun jarang juga dapat
menderita AI, biasanya terjadi bila kadar CD4 sangat rendah (<50/mm3) (Sutanto, et al., 2008).

2.2.3.4 Mukormikosis

Mukormikosis adalah suatu infeksi jamur oportunistik yang disebabkan oleh jamur golongan
Mucoraceae (ordo Mucorales). Golongan jamur ini termasuk dalam kelas Zygomycetes oleh
karenanya dapat juga disebut zygomikosis (Partogi, 2008).

Jamur Zygomycetes ini mempunyai distribusi luas di seluruh dunia dan tidak dipengaruhi oleh
faktor usia, jenis kelamin, ras dan geografis. Jamur Mucorales dapat ditemukan pada sayur busuk
dan timbunan kompos. Bila manusia mengkonsumsi sayur (makanan) yang terkontaminasi spora
jamur dapat mengalami zigomikosis pada saluran cerna. Jamur ini tumbuh cepat dan membentuk
spora yang menyebar melalui udara serta dapat menjadi jamur kontaminan di laboratorium atau
infeksi nosokomial pada perban dan plester di rumah sakit. Dan dapat masuk pada tubuh manusia
melalui alat suntik yang terkontaminasi, kateter, jarum infus dan luka operasi (Putra, 2008).

31
Morfologi

Patogen yang penting di kelompok fungi ini adalah spesies Rhizopus, Rhizomucor, Absidia,
Cunninghamella dan Mucor. Fungi tersebut adalah saprofit tahan panas yang terdapat
dimana-mana (Jawetz, et al., 2004).

Patologi dan Gejala Klinis

Gambaran klinis utama adalah mukormikosis rinoserebral, berasal dari germinasi


sporangiospora dalam saluran hidung dan invasi hifa ke dalam pembuluh darah. Kemudian
pembuluh darah dan saraf rusak dan pasien mengalami edema di area wajah, eksudat darah dari
hidung dan selulitis orbita (infeksi mata). Penyakit dapat berkembang cepat dengan menginvasi
sinus, mata, tulang tengkorak dan otak. Pengobatan terdiri atas debrideman bedah agresif,
amfoterisin B dan pengendalian penyakit yang mendasari. Banyak pasien bertahan hidup, tetapi
mungkin masih terdapat gejala sisa seperti paralisis wajah parsial atau hilangnya penglihatan
(Jawetz, et al., 2004).

2.2.4 Superfisial

2.2.4.1 Pityriasis versicolor

Pityriasis versicolor adalah infeksi mikosis superfisial yang terjadi pada lapisan keratin kulit
dengan didukung oleh respons imun pejamu yang minimal. Infeksi ini disebabkan oleh Malassezia
globosa, Malassezia restricta dan anggota kompleks Malassezia furfur. Infeksi ditandai dengan
adanya makula hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dengan bentuk berkelok dan diskret. Makula
biasanya terletak pada punggung atas, dada, lengan atau abdomen. Lesi yang ditimbulkan akibat
infeksi bersifat kronik dan muncul dalam bentuk bercak makula diatas kulit yang mengalami
perubahan warna. Meskipun terdapat lesi namun pembentukan sisik, peradangan dan iritasi bersifat
minimal (Murray, et al., 2013).

Genus Malassezia adalah genus ragi yang bersifat lipofili sehingga bagi pertumbuhannya
memerlukan lipid sebagai sumber daya lingkungannya. Malassezia memiliki frekuensi rendah
dalam menyebabkan fungemia oportunistik pada pasien, pada bayi memang dapat terjadi akibat
menerima nutrisi parenteral total yang kontaminasi emulsi lipid. Pada sebagian besar kejadian
fungemia bersifat sementara dan dapat diobati dengan penggantian cairan dan kateter intravena
(Jawetz, et al., 2014).

32
Penegakan diagnosis infeksi Malassezia dapat dilakukan dengan kerokan kulit yang diduga
terinfeksi dan diberikan KOH 10-20% atau dengan pemberian warna calcofluor white. Keberadaan
hifa pendek tak bercabang dan sel sferis menunjukkan adanya infeksi Malassezia. Pemeriksaan
dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan lesi dibawah lampu Wood, Jika lesi akibat Malassezia
akan berfluoresensi sehingga infeksi dapat dikonfirmasi (Murray, et al, 2013).

Pengobatan Pityriasis Versicolor dapat dilakukan dengan selenium sulfid yang dioleskan
setiap hari. Pengobatan dengan Azol baik topikal maupun oral juga dapat dilakukan. Perlu
diketahui bahwa Malassezia sp. Adalah flora mikroba normal dikulit dan dapat diisolasi dari kulit
dan kulit kepala normal. Spesies Malassezia sp. Dianggap pula sebagai penyebab terjadinya
dermatitis seboroik atau ketombe. Hipotesis ini pula ditunjang dengan observasi yang menunjukkan
bahwa banyak kasus dermatitis seboroik hilang dengan pengobatan ketokonazol (Jawetz, et al.,
2014).

2.2.4.2 Tinea nigra (Hasil Pemeriksaan)

Tinea nigra atau tinea nigra palmaris adalah infeksi asimtomatik yang bersifat kronik dan
superfisial. Infeksi ini terjadi pada stratum korneum yang disebabkan oleh Hortea werneckii yang
merupakan fungi dermataseosa. Infeksi tersebut sering terjadi pada daerah pantai dengan suhu
hangat dan wanita dengan usia muda (Murray, et al., 2013).

Penegakan diagnosis Tinea nigra dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara mikroskopik
kerokan kulit dari lesi bagian tepi. Adapun lesi biasanya tampak berwarna gelap dari coklat sampai
hitam dan biasanya dijumpai di telapak tangan. Pemeriksaan bernilai positif jika terdapat hifa
bersepta, bercabang dan sel ragi pertunasan dengan adanya dinding sel yang mengalami melanisasi
Pengobatan Tinea Nigra dapat dilakukan dengan pemberian larutan karatolitik, asam salisilat dan
obat antifungi azol pada daerah lesi yang terinfeksi. (Jawetz, et al., 2014).

2.2.4.3 Piedra (Beda Piedra)

Piedra berdasarkan manifestasi klinisnya dibedakan menjadi Piedra Hitam dan Piedra Putih.
Piedra Hitam adalah infeksi nodular yang disebabkan oleh fungi Piedraia hortai. Infeksi terjadi
pada batang rambut. Berbeda dengan Piedra Hitam, Piedra Putih disebabkan oleh infeksi spesies
Trichorosporon dan tampak sebagai nodul dengan ukuran lebih besar dan lunak serta berwarna
kekuningan pada batang rambut (Jawetz, et al., 2014).

Infeksi Piedra dapat terjadi tidak hanya pada rambut kepala namun pula dapat terjadi pada
rambut ketiak, daerah kemaluan dan janggut. Adapun pengobatan Piedra baik Piedra Hitam
maupun Piedra Putih dapat dilakukan dengan pencabutan rambut dan pemakaian agen antifungi
topikal (Jawetz, et al., 2014).

33
2.2.5 Kutaneus

Mikosis kutaneus adalah mikosis yang terjadi akibat invasi dari dermatofita yang menginfeksi
jaringan superfisial berkeratin yang terdiri dari rambut, kulit dan kuku. Dermatofita yang
menyebabkan infeksi ini terdiri dari genus Trichophyton, Epidermophyton, dan Microsporum.
Kerap kali infeksi ini disebut dermatophytosis karena terjadi akibat dermatofita. Infeksi akibat
ketiga genus yang telah disebutkan sebelumnya dapat menyebabkan respon imun inang dan
menjadi simtomatik. Respon inang dapat berupa gatal, sisik, rambut rontok, lesi berbentuk cincin
dan penebalan kuku disertai warna yang luntur (Jawetz, et al., 2014).

Diagnosis dapat ditegakkan dengan identifikasi gambaran koloni dan morfologi secara
mikroskopik setelah pertumbuhan selama 2 minggu pada suhu pada agar dekstrosa sabouraud.
Setelahnya dilakukan pemeriksaan secara mikroskopik guna melihat morfologi dari spora hingga
hifa dari agen infektif tersebut (Murray, et al., 2013).

Bergantung pada macamnya, Pada Trichophyton seperti koloni T. mentagrofit dapat berbentuk
seperti kapas hingga granular. Kedua tipe menunjukkan kelompok mikrokonidia sferis yang
berbentuk seperti anggur. Hifa melingkar atau spiral sering ditemukan pada isolat primer. Berbeda
dari T. Mentagrofit, T. Rubrum cenderung mempunyai permukaan seperti kapas yang putih dan
pigmen yang berwarna merah pekat dengan mikrokonidia berbentuk kecil dan piriformis.
Sedangkan T. Consurans jika dilihat bentuk mikroskopiknya akan terlihat seperti bubuk atau
beludru yang rata di permukaan depan dan berwarna coklat kemerahan pada sisi sebaliknya (Jawetz,
et al., 2014).

Pada koloni Epidermophyton, hanya Epidermophyton floccosum merupakan satu-satunya


patogen pada genus ini. E. Floccosum hanya menghasilkan makrokonidia dengan dinding halus
menyerupai gada, bersel dua sampai empat dan tersusun dalam dua atau tiga kelompok. E.
Floccosum menginfeksi kulit dan kuku namun tidak pada rambut. Koloni ini rata menyerupai
beludru dengan penampakan berwarna coklat hingga kuning kehijauan (Murray, et al., 2013).

Berbeda pada koloni Epidermophyton, koloni Microsporum cenderung menghasilkan


makrokonidia multiseluler dengan dinding bergerigi. M. Canis membentuk koloni dengan
permukaan seperti kapas putih dengan warna kuning pekat pada permukaan sebaliknya. Umumnya
makrokonidia berdinding tebal dengan jumlah sel sebanyak 8 hingga 15 yang sering ditemukan
pada ujungnya ujung melengkung atau berkait. M. Gypseum membentuk koloni dengan warna
coklat dan makrokonidia berjumlah 4 hingga 6 dengan dilingkupi dinding tipis (Murray, et al.,
2013).

34
Perkembangan gejala klinis seringkali disebabkan oleh minimnya respon imun inang saat
pajanan dermatofit. Keadaan ini didukung oleh kelembaban wilayah dan panas pada daerah sekitar
infeksi. Hipersensifitas pada pasien dapat terjadi dengan peningkatan konsentrasi IgE akibat
pajanan pada antigen jamur (Jawetz, et al., 2014).

Pada pasien yang terkonfirmasi positif mengalami infeksi dapat dilakukan pengobatan dengan
pemberian zat kimia antifungal (seperti kasecara topikal maupun dilakukan pengangkatan jaringan
epitel yang terinfeksi yang diikuti dengan pemberian antibiotik secara topikal guna melindungi lesi
dari infeksi patogen lain (Murray, et al., 2013).

2.3 Mikotoksin

Banyak fungi menghasilkan zat beracun yang disebut mikotoksin yang dapat menyebabkan
kerusakan dan intoksikasi akut atau kronik. Mikotoksin adalah metabolit sekunder dan efeknya
tidak bergantung pada viabilitas dan infeksi fungi. Berbagai mikotoksin dihasilkan oleh jamur
(misal, spesies amanita) dan dengan memakan jamur menyebabkan penyakit terkait dosis yang
disebut mycetismus. Memasak memberikan efek yang kecil terhadap potensi toksin tersebut, yang
dapat menyebabkan kerusakan berat atau fatal terhadap hati dan ginjal. Fungi lain menghasilkan
senyawa yang bersifat karsinogenik dan mutagenik yang dapat sangat toksik untuk hewan
percobaan. Salah satu senyawa yang paling poten adalah aflatoksin, yang dihasilkan oleh
Aspergillus flavus dan kapang yang serumpun serta sering mengkontaminasi kacang, jagung, biji
padi, dan makanan lain ((Jawetz, et al., 2004).

Mikotoksikosis ialah penyakit yang timbul sebagai akibat mikotoksin yaitu toksin yang
dibentuk sebagai hasil metabolisme jamur dan diekskresikan ke dalam substrat (makanan),
misalnya aflatoksin. Aflatoksin sering ditemukan dalam kacang dan kedelai. Disamping aflatoksin
juga dibentuk mikotoksin lain, misalnya okratoksin A (ochratoxin A) yang dibentuk oleh
Penicillium viridicatum, zearlenon oleh Fusarium, patulin oleh Aspergillus clavatus (Staf Pengajar
Departemen Parasitologi FK UI, 2015).

2.4 Cara Penularan Infeksi Jamur

Menurut Siregar (2002) cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung.
Penularan langsung dapat melalui fomit, epitel, dan rambut-rambut yang mengandung jamur baik
dari manusia atau binatang dan dari tanah. Penularan tak langsung dapat melalui tanaman, kayu
yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu, atau air. Disamping cara penularan
tersebut, timbulnya kelainan-kelainan di kulit bergantung pada beberapa faktor, antara lain:

35
1. Faktor Virulensi dari Dermatofita
Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur, apakah jamur antropofilik, zoofilik, atau
geofilik. Selain afinitas ini, masing-masing jenis jamur tersebut berbeda pula satu dengan
yang lain dalam afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian tubuh, misalnya
Trichopython rubrum jarang menyerang rambut, Epidermophyton floccosum yang paling
sering menyerang lipat paha bagian dalam. Faktor penting dalam virulensi ini ialah
kemampuan spesies jamur menghasilkan keratinasi dan mencerna keratin dikulit (Siregar,
2002).

2. Faktor Trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur (Siregar,
2002).

3. Faktor Suhu dan Kelembapan


Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada
lokalisasi atau lokal, tempat yang banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela jari
(Siregar, 2002).

4. Keadaan Sosial serta Kurangnya Kebersihan


Insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah lebih
sering ditemukan daripada golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik (Siregar, 2002).

5. Faktor Umur dan Jenis Kelamin


Penyakit tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan pada
orang dewasa. Pada wanita lebih sering ditemukan jamur di sela-sela jari dibandingkan
pada pria, dan hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Disamping faktor-faktor tadi
masih ada faktor-faktor lain, seperti faktor perlindungan tubuh (topi, sepatu, dan
sebagainya), faktor transpirasi serta gangguan pakaian yang serba nilon dapat memudahkan
timbulnya penyakit jamur pada kulit (Siregar, 2002).

2.5 Kemoterapi Antifungi

Terdapat sejumlah antibiotik yang terbatas, tetapi dengan jumlah yang meningkat yang dapat
digunakan untuk mengobati infeksi mikotik. Sebagian besar mempunyai satu keterbatasan atau
lebih, seperti efek samping yang besai, spektrum antifungi yang sempit, penetrasi yang buruk pada
jaringan tertentu, dan pemilihan fungi yang resistan. Obat-obat baru yang menjanjikan saat ini
sedang dikembangkan dan obat-obat lain sedang dievaluasi dalam uji coba klinis. Menemukan
target yang tepat untuk fungi sangat sulit karena fungi, seperti manusia, adalah organisme eukariot.
Banyak proses seluler dan molekular yang sama, dan sering terdapat homologi yang luas di antara
gen dan protein (Jawetz, et al., 2008).

36
Golongan obat yang saat ini tersedia meliputi poliena (amfoterisin B dan nistatin), yang
berikatan dengan ergosterol dalam membran sel; flusitosin, suatu analog pirimidin; azol dan
inhibitor sintesis ergosteroi lainnya, seperti alilamin; ekinokandin, yang menghambat sintesis
glukan-β dinding sel; dan griseofulvin, yang mengganggu pembentukkan mikrotubul. Saat ini yang
sedang diteliti adalah inhibitor sintesis dinding sel, seperti nikkomicin dan pradimicin, serta
sordarin, yang menghambat pemanjangan factor (Jawetz, et al., 2008).

2.5.1 Azol

Penjelasan

Antifungi imidazol (misal, ketokonazol) dan triazol (flukonazol, vorikonazol, dan itrakonazol)
adalah obat-obat oral yang digunakan untuk mengobati berbagai infeksi fungi lokal dan sistemik.
Indikasi penggunaannya masih dievaluasi, tetapi obat-obat tersebut telah menggantikan amfoterisin
B pada berbagai mikosis yang kurang berat karena obat ini dapat diberikan secara oral dan kurang
toksik. Imidazol lain (mikonazol dan klotrimazol) digunakan secara topikal (Jawetz et al., 2008).

Mekanisme Kerja

Azol mengganggu sintesis ergosterol. Obat tersebut menghambat sitokrom P-450 dependen
14α-demetilasi lanosterol, yang merupakan prekursor ergosterol pada fungi dan kolesterol pada sel
mamalia. Namun, sitokrom P450 fungi kira-kira 100-1.000 kali lebih sensitif terhadap azol
daripada dalam sistem mamalia. Berbagai azol dibuat untuk memperbaiki efektivitas, avaibilitas,
dan farmakokinetiknya serta mengurangi efek sampingnya. Golongan azol adalah obat yang
bersifat fungistatik (Jawetz et al., 2008).

lndikasi

Indikasi penggunaan antifungi azol akan menjadi lebih luas apabila hasil studi jangka panjang
telah tersedia. Ketokonazol berguna dalam mengobati kandidiasis mukokutan kronik,
dermatofitosis, dan blastomikosis nonmeningeal, koksidioidomikosis, parakoksidioidomikosis, dan
histoplasmosis. Dari berbagai azol, flukonazol mempunyai kemampuan penetrasi paling baik ke
sistem saraf pusat. Obat ini digunakan sebagai pengobatan rumatan untuk meningids akibat.
kriptokokus dan koksidioides. Kandidiasis orofaring pada penderita AIDS dan kandidemia pada
pasien imunokompeten juga dapat diobati dengan flukonazol. Itrakonazol saat ini merupakan agen
pilihan pertama untuk histoplasmosis dan biastomikosis serta kasus tertentu koksidioidomikosis,
parakoksidioidomikosis, dan aspergilosis. Obat ini juga telah terbukti efektif untuk pengobatan
kromomikosis dan onikomikosis yang disebabkan oleh dermatofit dan kapang lain. Triazol terbaru
adalah vorikonazol yang dapat diberikan melalui oral arau intravena dan memperlihatkan spektrum
aktivitas yang luas terhadap banyak kapang serta ragi, terutama aspergilosis, fusariosis,
pseudallescheriasis, dan parogen sistemik jarang lainnya (Jawetz et al., 2008).

37
Efek Samping

Efek samping azol terutama berhubungan dengan kemampuannya untuk menghambat enzim
sitokrom P450 mamalia. Ketokonazol adalah paling toksik dan dosis terapi dapat menghambat
sintesis tesrosteron serta kortisol, yang dapat menyebabkan berbagai efek reversibel seperti
ginekomastia, penurunan libido, impotensi, ketidakteraturan menstruasi, dan kadang-kadang
insufisiensi adrenal. Flukonazol dan itrakonarol dalam dosis terapeutik yang dianjurkan tidak
menyebabkan gangguan steroidogenesis mamalia yang signifikan. Semua antifungi azol dapat
menyebabkan peningkatan asimtomatik pada uji fungsi hati dan kasus hepatitis yang jarang.
Vorikonazol menyebabkan gangguan penglihatan reversibel pada sekitar 30 % pasien (Jawetz et al.,
2008).
Karena antifungi azol berinteraksi dengan enzim P450 yang juga berperan pada metabolisme
obat, dapat terjadi beberapa interaksi obat yang penting. Peningkatan konsentrasi antifungi azol
dapat terjadi bila isoniazid, fenitoin, atau rifampin digunakan. Pengobatan antifungi azol juga dapat
meyebabkan kadar serurn siklosporin, fenitoin, hipoglikemi oral, antikoagulan, digoksin menjadi
lebih tinggi daripada yang diharapkan dan mungkin juga pada obat lain. Mungkin diperlukan
pengawasan serum kedua obat untuk mencapai rentang terapeutik yang sesuai (Jawetz et al., 2008).

2.5.2 Echinocandin

Echinocandin adalah golongan baru agen antifungi yang mengacaukan sintesis polisakarida
B-glukan dinding sel pervasif dengan menghambat 1,3 B-glukan sintase dan mengganggu integritas
dinding sel. Obat yang baru-baru ini disetujui, Kaspofungin memperlihatkan efektivitas melawan
aspergilosis invasif dan kandidiasis sistemik yang disebabkan oleh berbagai spesies kandida.
Bentuk intravena ini diindikasikan terutama untuk aspergilosis refrakter, Kaspofungin ditoleransi
dengan baik (Jawetz et al., 2008).

2.5.3 Griseofulvin

Griseofulvin adalah antibiotik yang diberikan secara oral yang berasal dari spesies penisillium.
Obat tersebut digunakan untuk mengobati dermatofitosis dan harus diberikan dalam jangka panjang.
Griseofulvin kurang dapat diabsorpsi dan rerkonsentrasi pada srratum korneum, tempar obat ini
menghambat pertumbuhan hifa. Obat ini tidak mempunyai efek terhadap fungi lain. Setelah
pemberian oral, griseofulvin tersebar di seluruh tubuh tetapi menumpuk dalam jaringan yang
mengalami keratinisasi. Dalam fungi, griseofulvin berinteraksi dengan mikrotubulus dan
mengganggu fungsi gelondong mitotik, menyebabkan inhibisi pertumbuhan. Hanya hifa yang
tumbuh secara aktif yang terkena (Jawetz et al., 2008).

38
Griseofulvin secara klinis berguna untuk pengobatan infeksi dermatofita pada kulit, rambut,
dan kuku. Biasanya dibutuhkan pengobatan oral selama beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Griseofulvin umumnya ditoieransi dengan baik. Efek samping yang paling sering terjadi adalah
nyeri kepala, yang biasanya hilang tanpa penghenrian obat. Efek samping yang jarang terjadi
adalah gangguan pencernaan, pusing, dan heparoroksisitas (Jawetz et al., 2008).

2.5.4 Terbinafin

Terbinafin adalah obat alilamin. Obat tersebut menghambat sintesis ergosterol dengan
menghambat skuaiena epoksidase. Terbinafin diberikan secara oral untuk mengobati infeksi
dermatofita. Obat ini terbukti sangat efektif dalam me ngobari infeksi kuku serta dermatofitosis lain.
Efek samping tidak sering tetapi dapat terjadi berupa disrres pencernaan, nyeri kepala, reaksi kulit,
dan hilangnya kemampuan mengecap. Untuk pengobatan tinea unguium jangka panjang,
terbinafinserta itrakonazol dan flukonazol-dapat diberikan secara intermiten, menggunakan
protokol pengobatan berdenyut (Jawetz et al., 2008).

2.5.5 Amfoterisin B

Penjelasan

Antibiotik poliena utama adalah amfoterisin B, suatu metabolit streptomyces. Amfoterisin B


adalah obat yang paling efektif untuk mikosis sistemik yang berat. Antibiotik tersebut mempunyai
spektrum luas, dan jarang terjadi resistansi. Mekanisme kerja poliena melibatkan pembentukan
kompleks dengan ergosterol pada membran sel fungi, menyebabkan kerusakan dan kebocoran
membran. Amfoterisin B mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap ergosterol daripada
kolesterol, sterol dominan pada membran sel mamalia. Pengemasan amfoterisin B daiam liposom
dan emulsi lipoidal memperlihatkan efektivitas yang hebat dan hasil yang baik dalam studi klinis.
Formulasi tersebut saat ini sudah tersedia dan dapat menggantikan preparat konvensional. Preparat
lipid kurang toksik sehingga a-mfoterisin B dapat digunakan dalam konsentrasi yang lebih tinggi.
(Jawetz, et al., 2008).

Gambar 10. Amfoterisin B


Sumber: Jawetz, Melnick and Adelbergs, Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23, 2008

39
Mekanisme Kerja

Amfoterisin B diberikan secara intravena sebagai misel dengan natrium deoksikolat yang
dilarutkan dalam larutan dekstrosa. Meskipun amfoterisin didistribusikan secara iuas di dalam
jaringan, obat ini melakukan penetrasi buruk ke cairan serebrospinalis. Amfoterisin B berikatan
kuat dengan ergosterol dalam membran sel. Interaksi tersebut mengubah fluiditas membran dan
mungkin membentuk pori-pori pada membran yang menyebabkan hilangnya ion dan molekul kecil.
Tidak seperti sebagian besar antifungi lain, amfoterisin B bersifat sidal. Sel mamalia tidak memiliki
ergosterol dan relatif resistan terhadap cara kerja obat ini. Amfoterisin B berikatan lemah dengan
kolesterol pada membran mamalia dan interaksi tersebut dapat menjelaskan toksisitasnya. Pada
dosis rendah, amfoterisin B mempunyai efek imunostimulatorik (Jawetz, et al., 2008).

lndikasi

Amfoterisin B mempunyai spektrum luas dengan efektivitas terhadap sebagian besar mikosis
sistemik utama, termasuk koksidioidomikosis, blastomikosis, histoplasmosis, sporotrikosis,
kriptokokosis, aspergilosis, mukormikosis, dan kandidiasis. Respons terhadap amfoterisin B
dipengaruhi oleh dosis dan laju pemberian, tempat infeksi mikotik, keadaan imun pasien, dan
kerentanan bawaaan terhadap patogen. Penetrasi pada persendian dan sistem saraf pusat buruk, dan
pemberian intratekal atau intraartikular dianjurkan untuk beberapa infetrai. Amfoterisin B
digunakan dalam bentuk kombinasi dengan flusitosin untuk mengobati kriptokokosis. Beberapa
fungi, sepefii Pseudallescheria boydii, tidak berespons baik terhadap pengobatan dengan
amfoterisin B (Jawetz, et al., 2008).

Efek Samping

Semua pasien mengalami efek samping akibat amfoterisin B, meskipun efek ini sangat
berkurang dengan preparat lipid baru. Reaksi akut yang biasanya menyertai pemberian inrravena
amfoterisin B berupa demam, menggigil, dispnea, dan hipotensi. Efek tersebut biasanya dapat
diredakan dengan memberikan hidrokortison atau asetaminofen sebelumnya atau secara bersamaan.
Toleransi terhadap efek samping akut terjadi selama pengobatan (Jawetz, et al., 2008).

Efek samping kronik biasanya akibat nefrotoksisitas. Azotemia hampir selalu terjadi pada
pengoba.tan amfoterisin B, dan kreatinin serum serta kadar ion harus dipantau secara ketat.
Hipokalemia, anemia, asidosis tubulus ginjal, nyeri kepala, mual, dan muntah juga sering
ditemukan. Walaupun beberapa nefrotoksisitas bersifat reversibel, namun tetap terjadi penurunan
fungsi glomerulus dan tubulus ginjal secara permanen. Kerusakan tersebut berhubungan dengan
dosis total amfoterisin B yang diberikan. Toksisitas sangat berkurang dengan formulasi lipid
amfoterisin B (yaitu, Abelcet, Amphotec, dan AmBisome) (Jawetz, et al., 2008).

40
2.5.6 Flusitosin

Penjelasan

Flusitosin (5-fluorositosin) adalah derivat sitosin yang berfluor. Flusitosin merupakan senyawa
antifungi oral yang terutama digunakan bersama dengan amfoterisin B untuk mengobati
kriptokokosis atau kandidiasis. Obat tersebut juga efektif melawan banyak infeksi fungi
dematiaseosa. Flusitosin melakukan penetrasi dengan baik ke dalam semua jaringan, termasuk
cairan serebrospinalis (Jawetz, et al., 2008).

Gambar 11. Flusitosin


Sumber: Jawetz, Melnick and Adelbergs, Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23, 2008

Mekanisme Kerja

Flusitosin ditranspor oleh permease. Obat secara aktif ke dalam sel-sel fungi tersebut diubah
oleh enzim fungi sitosin deaminase menjadi 5-fluorourasil dan bergabung menjadi asam
5-fluorodeoksiuridilat monofosfat, yang mengganggu aktivitas timidilar sintetase dan sintesis DNA.
Sel mamalia tidak memiliki sitosin deaminase sehingga terlindungi dari efek toksik fluorourasil.
Savangnya, mutan resistan timbul secara cepat, membatasi pemakaian flusitosin (Jawetz, et al.,
2008).

lndikasi

Flusitosin terutama digunakan bersamaan dengan amfoterisin B untuk pengobatan


kriptokokosis dan kandidiasis. In vitro, obat ini bekerja secara sinergis dengan amfoterisin B
melawan organisme tersebut, dan uji coba klinis menunjukkan efek yang menguntungkan dari
kombinasi obat, terutama pada meningitis kriptokokus. Kombinasi ini juga memperlihatkan
penundaan atau pembatasan timbulnya mutan yang resistan flusitosin. Dengan sendirinya,
flusitosin efektif melawan kromoblastomikosis dan infeksi fungi dematiaseosa lain (Jawetz, et al.,
2008).

41
Efek Samping

Walaupun flusitosin mungkin mempuny'ai sedikit toksisitas terhadap sel mamalia dan relatif
dapat ditoleransi dengan baik, konversi flusitosin menjadi fluorourasil menyebabkan terbentuknya
senyawa yang sangat toksik yang mungkin menyebabkan efek samping utama. Pemberian
flusitosin jangka panjang menyebabkan supresi sulnsum tulang, rambut rontok, dan abnormalitas
fungsi hati. Konversi flusitosin menjadi fluorourasil oleh bakteri enterik dapat menyebabkan kolitis.
Penderita AIDS lebih rentan terhadap supresi sumsum tulang oleh flusitosin dan kadar serum
sebaiknya dipantau secara ketat (Jawetz, et al., 2008).

2.6 Patogenesis Infeksi Jamur

2.6.1.Coccidiodes immitis

C. immitis dan C. Posadasii adalah patogen primer yang dapat menyebabkan penyakit dengan
jangkauan penyebaran secara luas. Fungi-fungi ini merupakan fungi endemik gurun di Amerika
Serikat, dan meskipun keduanya menunjukkan morfologi yang berbeda pada fase saprofit dan
parasit, keduanya dibedakan dari fungi dwimorfik endemik lainnya dari keunikan fase saprofitnya.
Diantara virulensi yang mungkin berkontribusi pada patogenitas organisme ini diantaranya adalah
resistensi konidia pada pembunuhan fagositosis, kemampuan menekan respon imun Th2 agar
tidak efektif , produksi urease dan proteinase ekstraseluler, serta kemampuan mimikri molekular
(Murray, et al., 2013).

Resistensi Conidia dan Pembunuhan Fagositik

Fase saprofit dari C. Immitis dan C. Posadasii terdiri atas filamen hifa berseptum yang jika
dewasa akan memproduksi arthokonidia berbentuk tong dan dipisahkan satu dari lainnya dengan
sel pemisah. Artrokonidia bersifat hidrofobik dan mudah terhirup. Konidia-konidia spora ini
berukuran sangat kecil (3-5 mikrometer x 2-4 mikrometer), jika terhirup konidia ini akan terbawa
jauh hingga saluran pernafasan bagian bawah, bahkan sampai alveolus. Dinding luar dari konidia
ini terdiri atas 50% protein, termasuk polipeptida kecil yang mempunyai banyak sistein yang
dikenal dengan hidrofobin karena tidak mempunyai sifat hidrofatik (Jawetz, et al., 2014).

Diperkirakan bahwa lapisan luar hidrofobik ini mempunyai sifat antifagosit. Karena jika lapisan ini
dihilangkan, terjadi peningkatan fagositosis artrokonidia C. Immitis oleh PMN (Polimorphonuclear
Neutrophil) dibandingkan dengan fagositosis artrokonidia utuh. Diketahui bahwa konidia utuh
maupun konidia tanpa lapisan dinding luar, keduanya dapat dibunuh secara efektif setelah difagosit
oleh PMN. Infeksi dari artrokonidia C. Immitis ditahan oleh barier pasif dan aktif serta diserang
oleh pertahanan nonspesifik inang di dalam paru (Murray, et al., 2013).

42
Stimulasi Respon Imun TH2 yang tidak efektif oleh C. immitis

Diketahui bahwa semua individu dengan infeksi koksidiodal memproduksi antibodi untuk
glikoprotein (SOWgp) yang dominan pada dinding sel parasit. Kedua bagian dari jalur pertahanan
sel T-helper , TH1 dan TH2, keduanya distimulasi oleh SOWgp. Aktivasi dari jalur TH1 diketahui
berasosiasi dengan infeksi koksidiodal spontan pada tikus. Lebih jauh lagi, telah ditunjukkan
bahwa tikus mudah terjangkit infeksi C. Immitis menunjukkan respon TH2 terhadap infeksi,
sedangkan strain resisten lebih menunjukkan respon TH1 (Jawetz, et al., 2014).

Respon TH2 ke SOWgp diduga tidak banyak berkontribusi terhadap pembersihan C. immitis
dan bahkan dapat menganggu dalam pengendalian infeksi. Bentuk yang lebih parah dari
coccidioidomycosis adalah depresi kekebalan yang diperantai sel dan humoral dengan C. immitis
ditemukan dalam jumlah banyak yang secara spesifik melengkapi penetapan antibodi, konsisten
dengan respon dominan TH2. Meskipun tidak banyak yang diketahui dari peran sitokin manusia
selama infeksi coccidioidal, mungkin untuk berspekulasi bahwa antigen imunodominan C. immitis
menyebabkan peningkatan besar dalam IL-10 dan IL-4 yang dapat mengarahkan respon imun jalur
TH2. immunomodulasi tersebut dapat berkontribusi terhadap peningkatan keparahan infeksi jamur
(Murray, et al., 2013).

Produksi Urease

Lingkungan relung untuk bentuk saprofit dari C. immitis adalah tanah gurun yang basa. Fase
saprofit dan parasit organisme ini disertai dengan sekresi amonia dan ion amonium, yang jika
ditumbuhkan in vitro, menghasilkan medium kultur yang bersifat basa. Endospora C. immitis
menyekresikan lebih banyak amonia atau ion amonium daripada sferulnya, jika ditumbuhkan di
lingkungan asam (pH 5.0) (Jawetz, et al., 2014).

Endospora C. immitis telah difagositosis oleh makrofag alveoli tetapi setelah difagosit,
endospora ini masih dapat bertahan di intraseluler. Endospora intraseluler dikelilingi halo basa
pada permukaan selnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa sekresi amonia dan ion amonium
berkontribusi pada ketahanan hidup patogen di dalam fagosom (Murray, et al., 2013).

Kemampuan C. immitis dalam menghasilkan lingkungan basa dan merespon asam dengan
menyekresikan amonia dan ion amonium berkontribusi pada patogenitas fungi ini. Meskipun
produksi amonia dan bagaimana permukaan sel basa berefek pada fungsi fagosit tidak terlalu
diketahui, telah diketahui kemungkinan sumber amonia diproduksi oleh C. immitis berkaitan
dengan aktivitas urease (Jawetz, et al., 2014).

43
Urease dalah metaloenzim yang berlokasi di sitoplasma sel mikroba yang mengkatalis
hidrolisis urea menjadi amonia dan karbamat. Karbamat berfungsi untuk menghidrolisis dan
menghasilkan molekul lain selain amonia. Jumlah maksimum protein urease terdeteksi dalam C.
immitis dalam endosporulasi sferul, berkorelasi dengan fase perkembangan, dimana terdapat
amonia/ion amonium dalam jumlah paling banyak. Dari informasi ini, dapat disimpulkan bahwa
aktivitas urease berkontribusi pada patogenitas C. immitis (Jawetz, et al., 2014).

Proteinase Ekstraseluler

Fungi patogen menghasilkan proteinase yang aktif pada rentang pH dan spesifitas substrat
yang luas. Sehingga dapat diasumsikan enzim yang disekresikan fungi memainkan peran penting
dalam sifat invasif fungi pada iang yang diinfeksi. Sekresi proteinase mungkin dapat memasuki
barier kulit dan mukosa, netralisasi parsial dalam pertahanan aktif inang, transmigrasi lapisan
endotel, dan infeksi melalui darah sehingga menyebabkan infeksi pada banyak tempat (Jawetz, et
al., 2014).

C. immitis sebagai fungi patogen primer, dapat menembus penghalang mukosa pernafasan,
memasuki aliran darah, dan/atau sistem limfa, menginfeksi bagian lain dari tubuh. Bentuk saprofit
(sel konidia) dan parasit mengekspresikan beberapa proteinase selama pertumbuhan sel. Sel
konidia menyekresikan proteinase ekstraseluler 36-KDa yang dapat menghancurkan kolagen,
elastin, hemoglobin sebaik IgG dan IgA (Jawetz, et al., 2014).

Pembelahan immunoglobulin sekretorik dari fungi patogen oportunistik berkorelasi dengan


kemampuan merekan untuk mengkolonisasi mukosa inang. Proteinase basa 66-Kda dapat
mencerna protein struktural yang terdapat pada jaringan paru-paru, yang disekresikan oleh C.
Immitis selama menginfeksi. Semua pasien dengan coccidioidomycosis memproduksi antibodi
yang langsung menyerang enzim ini dan proteinase basa ini berperan penting dalam kolonisasi dan
invasi jaringan inang oleh sferul dan endospora C. Immitis (Murray, et al., 2013).

Mimikri Molekular

Molekul yang diproduksi oleh mikroba patogen secara struktur, antigen, dan fungsinya mirip
dengan molekul inang, karakteristik ini disebu t dengan mimikri molekular. Pada beberapa kejadian,
infeksi dapat terjadi pada antibodi inang yang bereaksi silang dengan jaringan inang dan
menghasilkan patologi tipe autoimun. Fundi dapat memproduksi molekul yang secara fungsinya,
tetapi tidak semestinya secara struktur sama dengan molekul inang (“mimikri fungsional”).
Molekul fungi telah diidentifikasi bahwa fungsinya mirip dengan integrin, reseptor komplemen,
dan hormon sex (Murray, et al., 2013).

44
Estrogen terikat protein (estrogen binding protein) telah diisolasi dari fraksi sitosol C. Immitis.
Yang diketahui bahwa konsentrasi fisiologi dari progesteron dan 17-β-estradiol menstimulasi laju
pertumbuhan dan pelepasan endospora C. Immitis. Informasi ini bertepatan dengan pengenalan
kehamilan, khususnya selama trisemester ketiga, sebagai faktor risiko utama coccidioidomycosis
disebarluaskan (Jawetz, et al., 2014).

2.6.2 Histoplasma capsulatum

Histoplasma capsulatum adalah sejenis jamur yang bersifat patogenik. Orang yang terinfeksi
Histoplasma capsulatum dapat pulih tanpa komplikasi dan terapi anti fungal spesifik. Daerah
Infeksi dari jamur ini adalah organ pernafasan. Hal ini membuktikan bahwa mekanisme
mukosiliaris gagal melakukan penyaringan konidia dari udara yang masuk. Di dalam tubuh inang
akan berubah menjadi ragi. Dalam bentuk ragi, Histoplasma capsulatum lebih susah dikenali oleh
sel fagosit. Histoplasma capsulatum tinggal di makrofag inang (Jawetz, et al., 2014).

Histoplasma capsulatum memfasilitasi penelanan oleh fagosit inang dengan memproduksi


substansi yang berkontribusi dalam kemotaksis makrofag alveolar. Organisme ini bisa resisten
terhadap aktivitas merusak oleh sel fagosit dikarenakan mempunyai sphingolipid yang
mengandung phospoinositol di dalam selnya. Bukti bahwa makrofag adalah sel inang primer dari
Histoplasma capsulatum adalah kemampuan Histoplasma capsulatum untuk mengatur pH dari
fagolisosom, pengambilan besi dan kalsium, dan pengubahan dinding sel. Histoplasma capsulatum
sebenarnya sering kali dimakan oleh fagosit, namun setelah dimakan, lisosom yang mengandung
Histoplasma capsulatum akan naik pHnya di atas pH normal untuk enzim bekerja, sehingga
mengganggu aktivitas enzim, dan akhirnya dapat hidup di sel inang (Jawetz, et al., 2014).

Besi adalah kofaktor penting dalam protein heme dan enzim metal. Histoplasma capsulatum
menjebak besi dengan siderofor, dengan begitu peran siderofor pada hidupnya jamur didalam
makrofag tidak diketahui. Sedangkan untuk pengambilan kalsium sama dengan besi, namun
menggunakan protein pengikat kalsium dalam prosesnya. Histoplasma capsulatum memiliki
1,3-α-glucan pada dinding selnya, tanpa komponen itu Histoplasma capsulatum tidak bisa
memberikan bahaya secara jelas untuk sel inang (Murray, et al., 2013).

2.6.3 Paracoccidioides brasiliensis

Infeksi yang disebabkan Paracoccidioides brasiliensis dimulai dengan masuknya konidia ke


paru-paru, setelah itu menyebar melalui darah ataupun limpa ke semua bagian tubuh.
Paracoccidioides brasiliensis memiliki fitur unik yaitu menyebar paling banyak karena adanya
luka mukus mulut, hidung, dan bahkan saluran pencernaan. Paracoccidioides brasiliensis memiliki
1,3-α-glucan yang menunjang hidupnya di sel inang (Murray, et al., 2013).

45
Paracoccidioides brasiliensis penting dalam patogenesis dengan menimbulkan respon imun
terhadap gp43. Rasio penyakit yang disebabkan Paracoccidioides brasiliensis pada laki-laki dan
perempuan adalah 78:1, secara berurutan. Perbedaan rasio tersebut, dikarenakan peran suatu
hormon di dalamnya yang berbeda pada kedua jenis kelamin. Dinding sel Paracoccidioides
brasiliensis memiliki 4 jenis utama polisakarida: galactomannan, 1,3-α-glucan, 1,3-ß-glucan, dan
kitin. 1,3-α-glucan terekspresikan ketika organisme dalam bentuk ragi pada kondisi virulen.
1,3-ß-glucan berperan penting dalam pengaturan sistem imun. Komponen ini akan muncul ketika
kandungan 1,3-α-glucan berkurang. Keberadaan kedua komponen tersebut menyebabkan
peningkatan aktivitas virulen (Murray, et al., 2013).

Ragi dari Paracoccidioides brasiliensis menyekresikan immunodominan gp43, yang penting


dalam serodiagnostic antigen dan diduga faktor virulensi. gp43 antigen adalah reseptor untuk
laminin-1 dan mungkin respon untuk adhesi antigen ke sel inang. Antigen ini berikatan dengan
makrofag dan memperoleh respon humoral yang kuat dan respon tipe tertunda hipersensitivitas
(DTH) pada manusia. Adanya respon DTH menandakan peningkatan keseriusan penyakit. Apabila
pasien mengalami hiper-respon sel T, akan menyebabkan mekanisme pokok imunopatogenesis
terhadap paracoccidioidomycosis (Murray, et al., 2013).

46
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Berdasarkan reproduksi seksualnya jamur dialam dapat diklasifikasikan secara taksonomi


Zygomecetes yang menghasilkan zigospora, Ascomycetes yang menghasilkan askospora
dengan spora berbentuk askus, Basidiomycetes yang menghasilkan basidiospora dengan
tubuh berbentuk gada, dan Deuteromycetes dengan reproduksi seksual yang belum
diketahui secara pasti.
 Jika dilihat dari lokasi infeksinya dalam dunia medis maka infeksi fungi dapat
dikelompokkan berdasarkan sifat infeksinya pada tubuh manusia menjadi subkutan yang
menginfeksi jaringan subkutan kulit, superfisial yang menginfeksi pada daerah permukaan
kulit, endemis yang disebabkan jamur yang mempunyai dua bentuk infeksius yaitu jamur
dan ragi yang bergantung pada keadaan lingkungan penderita, oportunistik yang
disebabkan jamur yang merupakan flora normal di tubuh manusia, kutaneus yang
menginfeksi jaringan keratin di kulit manusia.
 Jamur menghasilkan zat yang merupakan hasil metabolit sampingan yang disebut
mikotoksin yang dapat berefek toksik pada manusia. Mikotoksin adalah zat yang jika
dikonsumsi dengan kadar melebihi batas toleransi dapat menimbulkan efek samping berupa
gejala ringan, karsinogenik, hingga mutagenik.
 Jamur yang menginfeksi manusia menular melalui geofilik dimana kontak langsung dengan
tanah menjadi media perantara penularan, zoofilik yang mana hewan yang kontak dengan
manusia menjadi agen perantara dan antropofilik dengan spesies yang telah beradaptasi
dengan manusia sebagai inang perantara infeksi. Penularan ini pula dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu virulensi dari dermatofita, trauma dari fisik penderita , suhu,
kelembapan lingkungan, dan keadaan sosial serta kebersihan lingkungan, serta umur dan
jenis kelamin penderita.
 Pada praktiknya pengobatan atau terapi pada infeksi fungi menyerang eksresi genetik dari
si fungi dan dapat dikategorikan berdasarkan golongannya menjadi obat jenis azol,
echinocandin, griseofulvin, terbinafin, amfoterisin B, dan flusitosin.
 Jamur yang bersifat parasit menginfeksi manusia dapat ditinjau dari perjalanan penyakitnya
menitikberatkan pada manipulasi sistem pertahanan inang baik dengan menyekresi
senyawa modifikasi untuk melemahkan sistem imun inang maupun dengan membuat
senyawa proteksi untuk melindungi diri dari serangan sel inang.

47
3.2 Saran

Generasi medis dituntut untuk dapat mempelajari fungi yang berperan dalam terjadinya
penyakit maupun penyembuhan penyakit yang menyerang manusis.Namun banyaknya buku
literatur dengan banyak versi membuat pengelompokan jamur didasarkan pada versi yang
berbeda-beda sehingga muncul banyak persepsi akan klasifikasi jamur yang sepatutnya diketahui.
Sumber literatur dari ahli taksonomi diperlukan supaya terdapat dasar kesepakatan bagi
penggolongan jamur dalam dunia medis sehingga diharapkan penelitian akan terapi jamur pun
semakin berkembang.

48
DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, Robiatul. 2008. Diagnosis Kriptokokosis Meningeal pada Penderita AIDS dengan
Deteksi Antigen Glucuronoxylomanan pada Cairan Otak. Tesis. Fakultas Kedokteran
Program Studi Ilmu Biomedik Kekhususan Parasitologi UI Jakarta.

Brooks, G.F., Janet, S.B., Stephen A.M. 2014. Jawetz, Melnick and Adelbergs, Mikrobiologi
Kedokteran Edisi 25. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Campbell, dkk. 2003. Biologi jilid 2. Jakarta: Erlangga

Fridayanti, Cut Mirna Amanda. 2014. Pengaruh Pajanan Asap terhadap Jumlah Candida di Rongga
Mulut. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Gandjar, et al. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Jawetz, Melnick, dan Adelberg. 2008. Mikrobiologi Kedokteran Ed.23. Jakarta: EGC.

Khalik, Melati Dwianugrah. 2017. Peravenlsi Penemuan Jamur pada Sputum Terduga Tuberkulosis
Paru yang Diperiksa di RSUP dr. M. Djamil Padang. Skripsi. FK Unand Padang.

Murray, Patrick R. 2013. Medical Microbiology. Philadelpia: Elsevier Saunder.

Pamungkas, A.S. 2016. Mikosis Paru. Referat. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit dalam RSUD
Karawang Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti Jakarta.

Partogi, Donna. 2008. Murkomikosis. USU e-Ropository. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Putra, Imam Budi. 2008. Zigomikosis. USU e-Ropository. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Sanjaya, Dewa MR., IGK Darmada., Luh Made MR. 2014. Kandidiasis Vagina yang Mendapat
Terapi Sistematik dan Tropikal. SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Udayana.

Siregar, R.S. 2002. Penyakit Jamur Kulit Ed.2. Jakarta:EGC.

Smith, J.A. & Gauthier, G. (2015) New Developments in Blastomycosis. Seminars in Respiratory
and Critical Care Medicine. 36(5):715-728.

Staf Pengajar Departemen Parasitologi. 2015. Parasitologi Kedokteran Ed.4. Jakarta: FKUI

Sutanto, Inge., Is Suhariah I., Pudji K. Sjarifuddin., Saleha S. 2008. Parasitologi Kedokteran.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Tofrizal, RZ Nizar dan Esther HM. 2009. Kriptokokosis. Bagian Patologi Anatomi. Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Padang.

49

Anda mungkin juga menyukai