Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH FARMAKOLOGI

ANTIFUNGI

DISUSUN OLEH :

1. IRINA MAYASISIANA (131410204)


2. NURBAINI (131510289)
3. NONI ANDRIANI (131510114)
4. LUSIANA (131510043)
5.
6.

KELAS 3C REGULER A

SEMESTER III

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

TAHUN AJARAN 2014/2015

0
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“ANTIFUNGI” ini dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah
satu tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Farmakologi.

Makalah ini adalah sebuah karya yang kami susun berkat kerja sama dan bantuan dari
pihak-pihak yang terkait. Maka dari itu kami mengucapkan banyak terimakasih pada semua
pihak yang ikut berperan aktif dalamm terwujudnya makalah ini. Terutama pada orang tua
yang telah memberikan dukungan baik moril maupum materil serta sahabat-sahabat kami
yang senantiasa memberikan motivasi. Dan tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada
pengajar mata kuliah farmakologi atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini,
sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.

Makalah yang kami susun ini bukanlah sesuatu yang sempurna, akan tetapi makalah
ini terlahir dari kerja keras kami. Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat
memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai
pemahaman tentang farmakologi antifungi. Dalam penyusunan makalah ini tentunya masih
banyak kekurangan-kekurangan yang harus di perbaharui maka dari itu, kami mengharapkan
kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran supaya dalam pembuatan makalah
yang selanjutnya bisa menjadi lebih baik lagi. Terimakasih.

Pontianak, 22 desember 2014

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... 1

DAFTAR ISI ................................................................................................ 2

BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 3

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 3


B. Rumusan Masalah ........................................................................ 4
C. Tujuan Penulisan ........................................................................ 4

BAB II : PEMBAHASAN ........................................................................ 5

A. Pengertian .................................................................................... 5
B. Klasifikasi .................................................................................... 6
2.1 Anti jamur untuk infeksi sistemik ................................................ 6
2.2 Pengobatan infeksi anti jamur ................................................ 19
2.3 Antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan ............ 21

BAB III : PENUTUP ........................................................................ 29

1. Kesimpulan .................................................................................... 29
2. Saran ................................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 30

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Jamur merupakan salah satu penyebab infeksi pada penyakit terutama di negara –
negara tropis. Penyakit kulit akibat jamur merupakan penyakit kulit yang sering muncul di
tengah masyarakat Indonesia. Iklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi di Indonesia
sangat mendukung pertumbuhan jamur. Banyaknya infeksi jamur juga didukung oleh masih
banyaknya masyarakat Indonesia yang berada digaris kemiskinan sehingga masalah
kebersihan lingkungan, sanitasi, dan pola hidup sehat kurang menjadi perhatian dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Sekitar 80.000 fungi yang telah ditemukan di dunia, 400 spesies


diantaranya dinyatakan penting dalam dunia medis. Beberapa fungi punya peranan penting
dalam memproduksi berbagai bahan makanan seperti keju, roti, dan bir. Fungi njuga
menyumbangkan peran dalam dunia pengobatan melalui metabolisme bioaktif dalam
tubuhnya yang dimanfaatkan manusia untuk membuat antibiotik (contoh : penisilin) dan obat
penekan daya tahan tubuh (contoh : siklosporin).

Infeksi yang disebabkan oleh fungi dinamakan mikosis. Insidensi mikosis tertinggi
adalah kandidiasis yang disebabkan oleh Candida albicans(Brooks, 2007). Candida albicans
merupakan flora normal dari kulit, membran mukosa, dan traktus gastrointestinal. Candida
albicans dapat menginfeksi penderita diabetes mellitus, orang dengan daya imun tubuh
rendah (AIDS), wanita yang mengkonsumsi pil KB dan wanita hamil. Kesulitan dalam
pengobatan kandidiasis karena sering terjadi resistensi terhadap obat antikandida biasa
sehingga memerlukan obat seperti amfoterisin B dan flusitosin. Keduanya merupakan obat
sintetis dengan efek samping yang dapat menimbulkan masalah serius pada beberapa organ
seperti ginjal dan hati (Sulistia G. Ganiswarna, 2003).

Temu putih adalah tanaman herba berasal dari India dan hidup di daerah beriklim
tropis seperti India, Indonesia, Filipina, dan Nigeria. Temu putih mengandung
diarilheptanoid, minyak atsiri atau volatile oil, polisakarida serta golongan lain seperti

3
sesquiterpenedan eugenol(Bruneton,1999).Para ilmuwan menemukan adanya efek temu
putih sebagai antijamur, antiulkus, antimutasi, dan hepatoprotektor (Rana, 1992).

B. Rumusan Masalah

a. Apa pengertian obat jamur dan Amfoterisin B ?


b. Apa macam-macam infeksi jamur dan jenis obat anti jamur?
c. Apa indikasi dan kontraindikasi obat jamur tersebut?
d. Bagaimana farmakodinamik dan farmakokinetik dari obat tersebut?
e. Bagaimana dosis dan penyediaan obat tersebut?
f. Bagaimana interaksi dan mekanisme kerja serta aktivitas obat tersebut?
g. Apa efek samping dari obat tersebut?

C. Tujuan Penulisan

a. Untuk dapat mengetahui pengertian obat jamur dan Amfoterisin B tersebut.


b. Untuk mengetahui macam-macam infeksi jamur dan jenis obat anti jamur.
c. Untuk mengetahui apa indikasi dan kontraindikasi obat jamur tersebut.
d. Untuk memahami bagaimana proses farmakodinamik dan farmakokinetik dari obat
tersebut.
e. Untuk memahami bagaimana dosis dan penyediaan obat tersebut.
f. Untuk memahami bagaimana interaksi dan mekanisme kerja serta aktivitas obat
tersebut.
g. Untuk mengetahui apa efek samping dari obat tersebut.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Infeksi yang disebabkan oleh fungi dinamakan mikosis.Obat anti jamur adalah
senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh jamur. Sebuah
jamur adalah anggota kelompok besar eukariotik organisme yang meliputi mikroorganisme
seperti ragi dan jamur, serta lebih akrab disebut jamur. Kadang disebut juga Fungi yang
diklasifikasikan sebagai sebuah kerajaan yang terpisah dari tanaman, hewan dan bakteri.

Salah satu perbedaan utama adalah bahwa sel-sel jamur memiliki dinding sel yang
mengandung kitin, tidak seperti dinding sel tumbuhan, yang mengandung selulosa. Ini dan
perbedaan lainnya menunjukkan bahwa jamur membentuk kelompok satu organisme yang
terkait, bernama Eumycota (benar jamur atau Eumycetes), yang berbagi nenek moyang (a
monophyletic group). Kelompok jamur ini berbeda dari yang secara struktural mirip jamur
lendir (myxomycetes) dan jamur air (Oomycetes).

Disiplin biologi yang ditujukan untuk mempelajari jamur ini dikenal sebagai ilmu
jamur, yang sering dianggap sebagai cabang botani, meskipun penelitian genetik
menunjukkan bahwa jamur yang lebih dekat dengan binatang daripada tumbuhan. Berlimpah
di seluruh dunia, kebanyakan fungi tidak mencolok karena ukuran kecil struktur mereka, dan
mereka samar gaya hidup di tanah, pada benda mati, dan sebagai symbionts tanaman, hewan,
atau jamur lain. Mereka mungkin menjadi terlihat ketika berbuah, baik sebagai jamur atau
cetakan.

Jamur melakukan suatu peran penting dalam dekomposisi materi organik dan
memiliki peran penting dalam siklus hara dan pertukaran. Mereka telah lama digunakan
sebagai sumber makanan langsung, seperti jamur dan cendawan, sebagai ragi roti agen, dan
di fermentasi berbagai produk makanan, seperti anggur, bir, dan kecap.. Sejak tahun 1940-an,
jamur telah digunakan untuk produksi antibiotik, dan, baru-baru ini, berbagai enzim yang
diproduksi oleh jamur digunakan industri dan deterjen.. Jamur juga digunakan sebagai agen
biologi untuk mengendalikan gulma dan hama. Banyak spesies menghasilkan bioaktif

5
senyawa yang disebut mycotoxins, seperti alkaloid dan polyketides, yang beracun untuk
hewan termasuk manusia. Struktur yang berbuah beberapa spesies mengandung psikotropika
senyawa dan dikonsumsi recreationally atau tradisional upacara spiritual. Jamur dapat
mematahkan dibuat bahan dan bangunan, dan menjadi signifikan patogen manusia dan hewan
lainnya. Kerugian tanaman akibat jamur penyakit (misalnya penyakit ledakan beras) atau
makanan busuk dapat memiliki dampak besar manusia pasokan makanan dan ekonomi lokal.

Kerajaan jamur meliputi keragaman besar taksa dengan bervariasi ekologi, siklus
hidup strategi, dan morfologi mulai dari perairan bersel tunggal chytrids jamur besar. Namun,
sedikit yang diketahui tentang benar keanekaragaman hayati dari Kerajaan Jamur, yang telah
diperkirakan sekitar 1,5 juta spesies, dengan sekitar 5% dari ini telah secara resmi
diklasifikasikan. Perintis sejak 18 dan abad ke-19 taxonomical karya Carl Linnaeus, Hendrik
Kristen persoon, dan Elias Magnus Fries, jamur telah diklasifikasikan menurut morfologi
(misalnya, karakteristik seperti warna atau mikroskopis spora fitur) atau fisiologi. Kemajuan
dalam genetika molekuler telah membuka jalan bagi analisis DNA untuk dimasukkan ke
dalam taksonomi, yang kadang-kadang menantang sejarah pengelompokan berdasarkan
morfologi dan sifat-sifat lainnya. Filogenetik penelitian yang diterbitkan dalam dekade
terakhir telah membantu membentuk kembali klasifikasi Kerajaan Jamur, yang terbagi
menjadi satu Subkerajaan, tujuh filum, dan sepuluh Subfilum.

B. Klasifikasi

Dari segi terapeutik infeksi jamur pada manusia dapat dibedakan atas ingeksi
sistemik, dermatofit dan mukokutan.

Infeksi sistemik dapat lagi dibagi atas :

1. Infeksi dalam (internal) seperti :

- Aspergilosis

- Blastomikosis

6
- Koksidiodomikosis

- Kriptokokosis

- Histoplasmosis

- Mukormikosis

- Parakoksidiodomikosis

- Kandidiasis

2. Infeksi subkutan, misalnya :

- Kromomikosis

- Misetoma

- Sporotrikosis

Infeksi dermatofit disebabkan oleh tricophyton, epidermophyton dan microsporum yang


menyerang kulit, rambut dan kuku.

Infeksi mukokutan disebabkan oleh kandida, menyerang mukosa dan daerah lipatan kulit
yang lembab. Kandidiasis mukokutan dalam keadaan kronis umumnya mengenai mukosa
kulit dan kuku.

Dasar farmakologis dari pengobatan infeksi jamur belum sepenuhnya dimengerti. Secara
umum infeksi jamur dibedakan atas infeksi jamur sistemik dan infeksi jamur topikal
(dermatofit dan mukokutan). Dalam pengobatan beberapa anti jamur (imidazol, triazol dan
antibiotik polien) dapat digunakan untuk kedua bentuk infeksi tersebut.

Obat-obat anti jamur juga disebut dengan obat anti mikotik, dipakai
untuk m e n g o b a t i d u a j e n i s i n f e k s i j a m u r .

1. Anti jamur untuk infeksi sistemik pada paru-paru atau sistem syaraf pusat
a. Amfoterisin B
b. Flusitosin

7
c. Imidazol dan Triazole
d. Kspofungin
e. Terbinafin

2. Pengobatan infeksi jamur sistemik

3. Anti jamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan pada kulit atau selaput lendir

a. Griseofulvin

b. Imidazole dan Triazole

c. Tolnaftat dan Tolsiklat

d. Nistatin

e. Anti jamur topical lainnya

1. Anti jamur untuk infeksi sistemik

1.1 Amfoterisin B
 Asal dan kimia

Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi streptomyces nodusus. 98%


campuran ini terdiri dari amfoterisin B yang mempunyai aktifitas anti jamur. Kristal seperti
jarum atau prisma berwarna kuning jingga,, tidak berbau dan tidak berasa ini merupakan
antibiotik polien yang bersifat basa amfoter lemah, tidak larud dalam air, tidak stabil, tidak
tahan suhu di atas 37 C tetapi stabil sampai berminggu-minggu pada suhu 4 C.

8
 Aktivitas antijamur

Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel matang. Aktivitas anti
jamur nyata pada Ph 6,0-7,5 tapi berkurang pada pH yang lebih rendah. Antibiotik ini bersifat
fungistatik atau fungisidal tergantung pada dosis dan sensitivitas jamur yang dipengaruhi.

 Farmakokinetik

Amfoterisin B sedikit sekali di serap melalui saluran cerna. Suntikan yang dimulai
dengan dosis 1,5 mg/kg BB/ hari akan memberikan kadar puncak antara 0,5-2 /ml pada kadar
mantap. Waktu paruh obat ini kira-kira 15 hari sehingga kadar mantapnya baru akan tercapai
setelah beberapa bulan pemakaian. Obat ini didistribusikan keseluruh jaringan. Kira-kira 95%
obat beredar dalam plasma, terikat pada lipoprotein. Kadar amfitorisin B dalam cairan pleura,
peritoneal, sinovial dan akuosa yang mengalami peradangan hanya kira-kira 2/3 dari kadar
terendah dalam plasma. Amfoterisin B mungkin dapat menembus sawar uri. Sebagian kecil
mencapai CSS, humor vitreus dan cairan amnion. Ekskresi obat ini melalui ginjal
berlangsung lambat sekali, hanya 3% dari jumlah yang diberikan selama 24 jam sebelumnya
ditemukan dalam urin.

 Efek samping

Infus amfoterisin B seringkali menimbulkan kulit panas, keringatan, sakit kepala,


demam, menggigil, lesu, anoreksia, nyeri otot, flevitis, kejang dan penurunan fungsi ginjal.
50% pasien yang mendapat dosis awal secara IV akan mengalami demam dan menggigil.
Keadaan ini hampir selalu terjadi pada penyuntikan amfoterisin B tapi akan berkurang pada
pemberian berikutnya. Reaksi ini dapat ditekan dengan memberikan hidrokortison 25-50 mg
dan dengan antipiretik serta antihistamin sebelumnya. Flebitis dapat dikurangi dengan
menambahkan heparin 1000 unit kedalam infus.

Belum ada data yang jelas terhadap efek hepatotoksik amfoterisin B. Penurunan
fungsi ginjal terjadi pada lebih dari 80% pasien yang diobati dengan amfoterisin B. Keadaan
ini akan kembali normal bila terapi dihentikan tetapi kepada kebanyakan pasien yang
mendapat dosis penuh mengalami penurunan filtrasi glomerulus menetap. Derajat kerusakan
yang terjadi tergantung darijumlah dosis amfoterisin B yang diterima, bukan dari kreatinin
darah. Meskipun demikian, peningkatan kadar kreatinin darah sampai 3,5 mg/ml merupakan

9
tanda perlunya pengurangan dosis amfoterisin B untuk mencegah timbulnya uremia. Asidosis
tubuler ringan dan hipokalemia sering dijumpai dan keadaan ini dapat diatasi dengan
pemberian kalium. Efek toksik terhadap ginjal dapat ditekan bila amfoterisin B diberikan
bersama flusitosin. Anemia normositik normokrom hampir selalu ditemukan pada pemakaian
jangka panjang.

 Indikasi

Amfoterisin B sebagai antibiotika berspektrum lebar yang bersifat fungsidal dapat


digunakan sebagai obat pilihan untuk hampir semua infeksi jamur yang mengancam
kehidupan biasanya diberikan sebagai terapi awal untuk infeksi jamur yang serius dan
selanjutnya diganti dengan salah satu azole baru untuk pengobatan lama atau pencegahan
kekambuhan. Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi jamur seperti oksidioidomikosis,
parakosidioidomikosis, aspergilosis, kromoblastomikosis dan kandidiosis. Amfoterisin B
merupakan obat terpilih untuk blastomikosis selain hidroksistilbamidin yang cukup efektif
untuk sebagian besar pasien dengan lesikulit yang tidak progresif. Toksisitas
hidrosisistilbamidin diduga lebih rendah dari pada amfoterisinB.

Tetesan topikal amfoterisin B efektif untuk korneal dan kreatitis mikotik. Untuk
endoftalmitis, obat jamur ini harus disuntikan secara intraorbital. Bila perlu pemeriksaan
laboratorium di ulangi 2-3 kali seminggu dan bila terjadi insufisiensi ginjal sebaiknya
pengobatan ini dihentikan sampai fungsi ginjal normal kembali.

 Kesediaan dan posologi

Amfoterisin B untuk injeksi tersedia dalam fial berisi 50 mg bubuk liofilik,


dilarutkan dengan 10 ml aquades steril untuk kemudian diencerkan dengan larutan dekstrosa
5 % dalam air sehingga di dapatkan kadar 0,1 mg/ml larutan.

Pemberian melalui infus secara cepat pada pasien yang sakit berat diduga kurang
menimbulkan efek samping, dari pada pemberian lambat, sedangkan kadar plasma yang
dicapai setelah 18 dan 42 jam pada kedua cara ini tidak menunjukan perbedaan yang terjadi.

10
1.2 Flusitosin

 Asal dan kimia

Flusitosin merupakan anti jamur sintetik yang berasal dari fluorinasi pirimidin dan
mempunyai persamaan struktur dengan fluorourasil dan floksuridin. Obat ini berbentuk
kristal putih tidak berbau, sedikit larut dalam air tapi mudah larut dalam alkohol.

 Aktivitas anti jamur

Spektrum antijamur flusitosin agak sempit. Obat ini efektif untuk pengobatan
kriptokokosis kandidiasis, kromomikosis, tolulopsis dan aspergilosis.

Crytococus dan candida dapat menjadi resistem selama pengobatan dengan


funsitosin. 40-50% candida sudah resisten sejak semula pada kadar 100 mg/ml flusitosin.

 Mekanisme kerja

Flusitosin masuk kedalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminase dan dalam
sitoplasma akan bergabung RNA setelah mengalami deaminase menjadi 5-fluorourasil dan
fosforilasi. Sintesis protein sel jamur terganggu akibat penghambatan lansung sintesis DNA
oleh metabolit fluorourasil. Keadaan ini tidak terjadi pada sel mamalia karena dalam tubuh
mamalia flusitosin tidak di rubah menjadi fluorourasil.

 Farmakokinetik

Flusitosin diserap dengan cepat dan baik melalui saluran cerna. Pemberian bersama
makanan memperlambat penyerapan tapi tidak mengurangi jumlah yang diserap. Penyerapan
juga diperlambat pada pemberian bersama suspensi alumunium hidroksida atau magnesium
hidroksida dan dengan neomisin. Kadar puncak dalam darah setelah pemberian per oral
berkisar antara 70-8- mg/ml, akan dicapai 1-2 jam setelah pemberian dosis sebesar 37,5
mg/kg BB. Kadar ini lebih tinggi pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Setelah diserap,
flusitosin akan didistribusikan dengan baik keseluruh jaringan dengan volume distribusi
mendekati volume total cairan. Kadar dalam cairan otak 60-90% kadar dalam plasma.
Flusitosin dapat memasuki cairan akuosa. Dalam salifa kadar flusitosin kira-kira setengah
kadarnya dalam darah. 90% flusitosin akan dikeluarkan bersama melalui filtrasi glomerulus

11
dalam bentuk utuh, kadar dalam urin berkisar antara 200-500 mg/ml. Masa paruh eleminasi
obat ini pada orang normal 3-6 jam dan sedikit memanjang pada bayi prematur tapi akan
memanjang sampai 200 jam pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Pada orang normal
klirens ginjal dari flusitosin adalah 75 % dari klirens kreatinin. Karena itu klirens kreatinin
dapat dijadikan patokan untuk penyesuaian dosis. Flusitosin ini dapat dikeluarkan melalui
hemodealisis atau peritoneal dealisis.

 Efek samping

Flusitosin kurang toksik dibandingkan dengan amfoterisin B, namun dapat


menimbulkan anemia, leukopenia dan trombisitopenia terutama pada pasien dengan kelainan
hematologik yang sedang mendapat pengobatan radiasi atau obat yang menekan fungsi sum-
sum tulang dan pasien dengan riwayat pemakaian obat tersebut. Efek sampingnya adalahm
mual, muntah, diare, dan eterokolitis yang hebat kira-kira 5% dari pasien mengalami
peninggian enzim SGOT dan SGPT hepatomegali dapat pula terjadi. Efek samping ini akan
hilang sendiri bila pengobata dihentikan gejala toksik ini lebih sering terjadi pada pasien
azotemia dan jelas mengikat bila kadar melampaui 100-125/ml. Kadang-kadang dapat pula
terjadi sakit kepala, pusing, mengantuk dan halusinasi. Flusitosin tidak bersifat nefrotoksik.
Keamanan obat ini pada kehamilan belum terbukti, sebaiknya tidak diberikan untuk wanita
hamil.

 Indikasi

Untuk infeksi sistemik flusitosin kurang toksis dari pada amfoterisin B dan obat ini
dapat diberikan per oral, tetapi cepat menjadi resisten. Oleh sebab itu pemakaian tunggal
flusitosin hanya untuk infeksi cryptococcus neorformans, beberapa spesies candida dan
infeksi oleh kromoblastomikosis. Untuk infeksi lain biasanya dikombinasikan dengan
amfoterisin B misalnya untuk meninitis oleh cryptococcus 100-150 mg/kg BB/ hari flusitosin
dikombinasikan dengan 0,3 mg/kg BB/hari amfoterisin B. Kombinasi ini merupakan obat
terpilih untuk infeksi dengan kromoblastomikosis. Obat ini dapat juga dikombinasikan
dengan itrakonazole.

12
 Posologi

Flusitosin tersedia dalam kesediaan kapsul 250 dan 500 mg. Dosis yang di anjurkan
antara 50-150 mg/kg BB/ hari yang terbagi dalam 4 dosis. Dosis ini harus dikurangi pada
pasien dengan insufisiensi ginjal.

1.3 Imidazole dan triazole

Anti jamur golongan imidazole dan triazole mempunyai spektrum yang luas.
Kelompok imidazole terdiri atas ketokonazole, mikonazole dan klorimazole. Sedangkan
kelompok triazole meliputi intrapunazole, flukonazole dan vorikunazole. Berikut ini akan
dibahas golongan imidazole dan triazole yang banyak digunakan sebagai anti jamur sistemik.

1.3.1 Ketokonazole

 Asal dan kimia

Ketokonazole merupakan turunan imidazole sintetik dengan struktur mirip


mikonazole dan klotrimazole obat ini bersifat liofilik dan larut dalam air pada pH asam
aktivitas anti jamur. Ketokonazole aktif sebagai anti jamur baik sistemik maupun non
sistemik efektif terhadap candida coccidioides immitis, cyrptococcus neoformans, H.
Capsulatum, B. Dermatitidis, asperggilus sporthrik spp.

 Farmakokinetik

Ketokonazole merupakan anti jamur sistemik per oral yang penyerapannya berfariasi
antar individu. Obat ini menghasilkan kadar plasma yang cukup untuk menekan aktivitas
berbagaijenis jamur. Penyerapan melalui saluran cerna akan berkurang pada pasien dengan
pH lambung yang tinggi, pada pemberian bersama antagonis H2 atau bersama antasida.
Pengaruh makanan tidak begitu nyata terhadap penyerapan ketokonazole.

Setelah pemberian per oral obat ini ditemukan dalam urin, kelenjar lemak, liur, juga
pada kulit yang mengalami infeksi, tendo, cairan sinofial dan cairan vaginal. Kadar
ketokonazole dalam cairan otak sangat kecil. Sebagian besar ketokonazole diekresikan
bersama cairan empedu lumen usus dan hanya sebagian kecil saja yang dikeluarkan bersama

13
urin, semuanya dalam bentuk metabolit yang tidak aktif. Gangguan fungsi ginjal dan hati
yang ringan tidak mempengaruhi kadarnya dalam plasma.

 Efek samping

Efek toksik ketokonazole lebih ringan dari amfoterisin B. Mual dan muntah adalah
efek samping yang paling sering dijumpai, keadaan ini akan lebih ringan bila obat ditelan
bersama makanan efek samping yang lebih jarang ialah sakit kepala, fertigo, nyeri epigastrik,
fotofobia, pruritus , parestesia, gusi berdarah, erupsi kulit dan trombositopenia. Obat ini dapat
meningkatkan aktifitas enzim hati untuk sementara waktu dan kadang-kadang dapat
menimbulkan kerusakan hati. Frekuensi kerusakan hati yang berat adalah sekitar 1: 10.000-
15.000. hepatoksisitas yang berat lebih sering dijumpai pada wanita berumur lebih dari 50
tahun. Yang menggunakan obat ini untuk onikomikosis atau penggunaan lama. Ginekomastia
dapat terjadi pada sejumlah pasien pria dan dapat menyebabkan haid yang tidak teratur pada
sekitar 10% wanita. Hal ini disebabkan oleh efek perlambatan ketokonazole terhadap
biosintesis steroid melalui enzim yang terkait dengan sitrokrom P450. Obat ini sebaiknya
tidak diberikan pada wanita hamil. Pada tikus dosis 80 mg/kg BB/ hari menyebabkan cacat
pada jari fetus hewan coba tersebut. Pemakaian pada wanita menyusui dsebaiknya juga
dihindari karena obat ini disekresikan dalam ASI.

 Indikasi

Ketokonazole terutama efektif untuk histoplasmosis paru, tulang, sendi, dan jaringan
lemak. Ketokonazole tidak di anjurkan untuk meningitis kriptokokus karna pernetrasinya
kurang baik tapi obat ini efektif untuk kriptokokus nonmeningeal. Dan terbukti bermanfaat
pula pada para koksidiohidomikosis, beberapa untuk koksidiohidomikosis, dermatomikosis,
candidiasis (mukokutan vaginal dan oral) dengan adanya intrakonazole yang lebih aman
penggunaan ketokonazole ini sudah mulai tergeser. Namun ketokonazole digunakan karena
harganya yang murah.

 Interaksi obat

Pemberian ketokonzole bersama dengan obat yang menginjeksi enzim mikrosom


hati (rimpafisin, isoniazid, fenitoin) dapat menurunkan kadar ketokonazole. Sebaliknya,

14
ketokonazole dapat meningkatkan kadar obat yang dimetabolisme oleh enzim CYP3A4
sitokrom P450 (siklosklorin, warfarin, midazolam, indinavir)

 Posologi

Ketokonazole tersedia dalam sediaan tablet 200 mg, cream 2%, dan shampo 2%.
Dosis yang dianjurkan pada dewasa adalah 1 kali 200-400 mg sehari. Pada anak-anak
diberikan 3,3-6,6 mg/kg BB/hari. Lamanya pengobatan berfariasi : 5 hari untuk kandidiasis
vulvo vaginitis, 2 minggu untuk kandidiasis esofagus dan 6-12 bulan untuk mikosis dalam.

1.3.2 Itrakonazole

 Asal dan kimia

Anti jamur sistemik turunan triazole ini erat hubungan nya dengan ketokonazole.
Obat ini dapat diberikan per oral dan IV.

 efek samping

Aktivitas anti jamurnya lebih lebar sedangkan efek samping yang ditimbulkan lebih
kecil dibandingkan ketokonazole.

 indikasi

Itrakonazole tersedia dalam kapsule 100 mg, dosis yang disarankan 200 mg sekali
sehari. Itrakonazole juga tersedia dalam suspensi 10 mg/ml dalam larutan IV 10 mg/ml
dengan bioavailabilitas yang lebih baik. 10-15 % pasien mengeluh mual atau muntah namun
pengobatan tidak perlu dihentikan. Kemerahan, pruritus, lesu, pusing, odema kaki, parestesia,
dan kehilangan libido.

Itrakonazole untuk mikosis dalam diberikan dengan dosis 2 x 200 mg sehari yang
diberikan bersama dengan makanan. Untuk onikomikosis diberikan 1x 2oo mg sehari selama
12 minggu, atau dengan terapi berkala yakni 2x 200 mg sehari selama 1 minggu, diikuti 3
minggu periode bebas obat setiap bulannya. Lama pengobatannya biasanya 3 bulan. Infus
diberikan dalam 1 jam.

15
1.3.3 flukonazole

 Asal dan kimia

Ini adalah suatu fluorinated bis-striazole dengan khasiat farmakologis yang baru.
Obat ini diserap sempurna melalui saluran cerna tanpa dipengaruhi adanya makanan ataupun
keasaman lambung. Kadar plasma setelah pemberian per oral sama dengan kadar plasma
dengan pemberian IV.

 efek samping

Gangguan saluran cerna merupakan efek samping yang paling banyak ditemukan.
Pada pasien AIDS ditemukan urtikaria, eosinofilia, sindroma stevens-johnson, gangguan
fungsi hati yang tersembunyi dan trombositopenia. Flukonazole berguna untuk mencegah
relaps meningitis yang disebabkan oleh cryphtococcus pada pasien AIDS setelah pengobatan
dengan amfoterisin B. Obat ini juga efektif untuk pengebotan candidiasi mulut dan tenggoran
pada pasien AIDS.

1.3.4 Vorikonazole

 Asal dan kimia

Obat ini adalah anti jamur baru golongan triazole yang di indikasikan untuk
aspergilosis sistemik dan infeksi jamur berat yang disebabkan oleh scedosporium
apiospermum dan fusarium sp. Obat ini juga mempunyai efektifitas yang baik terhadap
candida sp, cryphtococcus sp dan dermatopit sp termasuk untuk infeksi candida yang resisten
terhadap flukonazole.

Pengobatan yang dimulai dengan pemberian IV ini, secepatnya harus dialihkan ke


pemberian oral. >40 kg ialah 400 mg dan untuk pasien yang berat nya <40 kg diberikan 200
mg. Dosis muat oral ini juga diberikan hanya 2 x dengan interval 12 jam.

Untuk pasien dengna gangguan fungsi hati ringan dan sedang (child-pugh kelas A
atau B) diberikan dosis muat seperti biasa.

16
 Efek samping

efek samping terpenting dari obat ini ialah gangguan penglihatan sementara berupa
penglihatan kabur atau fotofobia yang terjadi sekitar 30 % pasien.

1.4 Kaspofungin

 Asal dan kimia

Kaspofungin adalah anti jamur sistemik dari suatu kelas baru yang disebut
ekinokandin obat ini bekerja dengan menghambat sintesis beta (1,3) D-glukan, suatu
komponen esensial yang membentuk dinding sel jamur.

Kaspofungin di indikasikan untuk infeksi jamur sebagai berikut :

1. Kandidiasis infasif, termasuk kandidemia pada pasien neotropenia atau non neutropenia
2. Kandidiasi esofagus
3. Kandidiasis orofaring
4. Aspergiolosis infasif yang sudah refrakter terhadap antijamur lainnya.

 Efek samping

Efek samping yang mungkin timbul ialah demam, mual, muntah, flusing, dan
pruritus karena lepasnya histamin.

 Indikasi

Untuk pasien dewasa, obat ini diberikan pada hari pertama dengan dosis tunggal 70
mg IV. Bila dilanjutkan dengan dosis tunggal 50 mg sehari pada hari-hari berikutnya.

Pengurangan dosis tidak diperlukan pada pasien dengan insufisiensi ginjal atau
pasien berusia lanjut. Pengobatan umumnya diberikan selama 14 hari. Keamanan obat ini
belum diketahui pada wanita hamil dan anak berumur kurang dari 18 tahun.

17
1.5 Terbinafin

 Asal dan kimia

Terbinafin merupakan suatu derifat alilamin sintetik dengan struktur mirip naftitin
obat ini digunakan untuk terapi dermatofitosis terutama onikomikosis.

 Farmakokinetik

Terbinafin diserap baik melalui saluran cerna tetapi bioavailabilitasnya oralnya


hanya 40% karena mengalami metabolisme lintas pertama dihati.

Terbinafin tidak aktif dan diekskresika di urin. Terbinafin tidak boleh diberikan
untuk pasien azotemia tau gagal hati karena dapat terjadi peningkatan terbinafin yang sulit
diperkirakan.

 Aktifitas anti jamur

Terbinafin bersifat keratofilik dan fungisidal. Obat ini mempengaruhi biosintesis


ergosterol dinding sel jamur melalui penghambatan enzim skualen epoksidase pada jamur
dan bukan melalui penghambatan enzim sitokrom P450.

 Efek samping

Efek samping terbinafin jarang terjadi, biasanya berupa gangguan salura cerna, sakit
kepala, atau rash.

 Posologi

Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet oral 250 mg. Terbinafin yang diberikan 1x
250 mg sehari untuk pengobatan onikomikosis

18
2. Pengobatan infeksi anti jamur

Infeksi oleh jamur pathogen yang terinhalasi dapat sembuh spontan. Histoplasmosis,
koksidioidomikosis, blastomikosis dan kriptokokosis pada paru yang sehat tidak
membutuhkan pengobatan kemoterapi baru dibutuhkan bila ditemukan pneumonia yang
berat, infeksi cenderung menjadi kronis atau bila disangsikan terjadi penyebaran atau adanya
risiko penyakit akanmenjadi lebih parah. Pasien AIDS atau pasien penyakit imunosupresi lain
biasanya membutuhkan kemoterapi untuk mengatasi pneumonia karena jamur atau oleh
sebab lain.

2.1 Aspergilosis
invasi aspergilosis paru sering terjadi pada pasien penyakit imunosupresi yang berat
dan tidak member respons yang memuaskan trhadap pengobatan dengan anti jamur. Obat
pilihan adalah amfoterisin B IV dengan dosis 0,5-1,0 mg/kg BB setiap hari dalam infus
lambat. untuk infeksi berat, dosis dapat ditingkatkan sampai dua kalinya. bila penyakit
progresif, dosis obat dapat ditingkatkan.

2.2 Blastomikosis
Obat terpilih untuk kasus ini adalah ketokonazol per oral 400 mg sehari selama 6-12
bulan. itrakonazole juga efektif dengan dosis 200-400 mg sekali sehari pada beberapa kasus.
Amfoterisin B dicadangkan untuk pasien yang tidak dapat menerima ketokonazol, infeksinya
sangat progresif atau infeksi menyerang SSP. Dosis yang dianjurkan 0,4 mg/kg BB/ hari
selama 10 minggu. kadangkala dibutuhkan tindakan operatif untuk mengalirkan nanah dari
sekitar lesi.

2.3 Kandidiasis
Kateterisasi ataupun manipulasi instrument lain dapat memperburuk kandidiasis.
Bila lesi tidak mengeni parenkim ginjal pengobatan cukup dengan amfoterisin B 50 mg/ml

19
dalam air steril selama 5-7 hari. bila ada kelainan parenkim ginjal, pasien harus diobati
dengan amfoterisin B IV seperti mengobati kandidiasi berat pada organ lain.

2.4 Koksidiidomikosis
Ditemukannya kavitas tungal di paru atau adanya infiltrasi fibrokvitas yang tidk
responsive terkadap kemoterapi merupakan iri yang khas dari penyakit kronis
koksidioidomikosis. yang membutuhkan tindakan rseksi. bila terdapat penyebaran
ekstrapulmonar, amfoterisin B IV bermanfaat untuk penyakit berat ini, juga pada pasien
dengan penyakit imunosupresi dan AIDS. Ketokonaxol diberikan untuk terapi supresi jangka
panjang terhadap lesi kulit, tuland dan jaringan lunak pada pasien fungsi imunologik normal.
hasil serupa juga dapat dicapai dengan pemberian itrakonazol 200-400 mg sekali sehari.
untuk meningitis yang disebabkan oleh Coccidioides obat terpilih ialah amfoterisin B yang
diberikan secara intratekal.

2.5 Kriptokokosis
Obat terpilih adalah amfoterisin B IV dengan dosis 0,4-0,5 mg/kg BB/hari.
Pengobatan dilanjutkan sampai hasil pemeriksaan kultur negative. Penambahan flusitosin
dapat mengurangi pemakaian amfoterisin B menjadi 0,3 mg/kg BB. disamping
penyebarannya yang lebih baik ke dalam jaringan sakit, flusitosin diduga bekerja aditif
terhadap amfoterisin sehingga dosis amfoterisin B dapat dikurangi dan dapat mengurangi
terjadinya resistensi terhadap flusitosin. flukonazol banya digunakan untuk terapi supresi
pada pasien AIDS.

2.6 Histoplasmosis
Pasien dengan histoplasmosis paru kronis sebagian besar dapat diobati dengan
ketokonazol 400 mg per hari selama 6-12 bulan. itrakonazol 200-400 mg sekali sehari juga
cukup efekif. Amfoterisin B IV juga dapat diberikan selama 10 minggu. untuk mencegah
kekambuhan penyebaran histoplasmosis padda pasien AIDS yang sudah diobti dengan
ketokonazol dapat ditambahkan pemberian amfoterisin B IV sekali seminggu.

20
2.7 Mukormikosis

Amfoterisin B merupakan obat pilihan untu mukormikosis paru kronis.


Mukormikosis kraniofasial juga diberikan amfoterisin B IV di samping melakukan
debridement dan control diabetes mellitus yang sering menyertai.

2.8 Parakoksidioidomikosis
Ketokonazol 400 mg per hari merupakan obat pilihan yang diberikan selama 6-12
bulan. pada keadaan yang berat dapat ditambahkan amfoterisin B.

3. Antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan

3.1 Griseofulvin

 asal dan kimia

Pada tahun 1946, Brian dkk. menemukan bahan yang menyebabkan susut dan
mengecilnya hifa yang disebut ebagai curling factor kemudian ternyata diketahui bahwa
bahan yang mereka isolasi dari penicillim janczewski adalah griseofulvin

 aktivitas jamur

Griseofulvin in vitro efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti


Trichophyton, epidermohyton dan Microsporum. terhadap sel muda yang sedang berkembang
griseofulvin bersifat fungisidal. obat ini tidak efektif terhadap bakteri, jamur lain dan ragi,
Actinomyces dan nocardia.

Efek fungistatik obat ini belum sepenuhnya dapat dijelaskan. ada laporan
mengemukakan mekanisme kerja obat ini mirip dengan kolkisin dan alkaloid vinka.. tetapi

21
seperti telh diutarakan di atas obat ini akan menghambat mitosis sel muda dengan
mengganggu sintesis dan polimerisasi asam nukleat.

 farmakokinetik

Griseofulvin kurang baik penyerapannya padda saluran cerna bagian atas karena obat
ini tidak larut dalam air. dosis oral 0,5 g haya akan menghasilkan kadar plasma tertinggi kira-
kira 1 ml setelah 4 jam. Preparat dalam bentuk yang lebih kecil diserap lebih baik.
Absorpsinya meningkat bila diberika bersamaan dengan makanan berlemak.

Obat ini dimetabolisme di hati dan metabolit utamanya adalah 6-metilgriseofulvin.


waktu paruh obt ini kira-kira 24 jam, 50% dri dosis oral yang diberikan dikeluarkan bersama
urin dlam bentuk metabolit selama 5 hari. kulit yang sakit mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap obat ini. Obat ini akan dihimpun dalam sel pembentuk keratin, lalu muncul bersama
sel yang baru berdiferensiasi, terikat kuat dengan keratin seingga sel baru ini akan resisen
terhadap serangan jamur. Keratinn yang mengandung jamur akan terkelupas dan diganti oleh
sel yang normal. Antibiotik ini dapat ditemukan dalam lapisan tanduk 408 jam setelah
pemberian per oral. Keringat dan kehilangan cairan transepidermal memegang peranan
penting dalam penyebaran obat ini pada stratum korneum, kadar yang ditemukan dalam
cairan dan jarngan tubuh lainnya kecil sekali.

 efek samping

efek samping yang berat jarang timbul akibt pemakaian griseofulvin. leucopenia dan
graulositopenia dapat terjadi pada pemakaian dosis besar dalam waktu lama. karena itu
sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah yang teratur selama pemakaian obat ini. sakit kepala
merupakan keluhan utama, terjadi kira-kira pada 15 % pasien, yang akan hilang sendiri
sekalipun pemakaian obat dilanjutkan. efek samping lainnya seperti artralgia, neuritis perifer,
demam, pandangan kabur, insomnia, berkurangnya fungsi motorik, pusing dan sinkop. pada
saluran cerna dapat terjadi rasa kering mulut, mual, muntah, diare dan flatulensi.

 indikasi

Griseofulvin memberikan hasil yang baik terhadap penyakitjamur di kulit, rambut dan
kuku yang disebabkan olehjamur yang sensitive. gejala pada kulit akan berkurang dalam 48-
96 jam setelah pengobatan dengan griseofulvin sedangkan penyembuhan sempurna baru

22
terjadi setelah beberapa minggu. biakan jamur menjadi negative dalam 1-2 minggu tetapi
pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai 3-4 minggu. infeksi pada telapak tangan dan
telapak kaki lebih lambat beraksi, biakan di sini baru negative setelah 2-4 minggu dan
pengobatan membutuhkan waktu sekitar 4-8 minggu.

infeksi kuku tangan membutuhkan waktu 4-6 bulan sedangkan infeki kuku kaki
membutuhka waktu 6-12 bulan. Trichophyton rubrum dan trichophyton mentarovites
membutuhkan dosis yang lebih tinggi dari pada dosis biasa. pada keadaan yang disertai
hyperkeratosis perlu penambahan zat keratolitik. kandidiasis maupun tinea versi kolor tidak
dapat diobati dengan griseofulvin. Dosis sangat tinggi griseofulvin bersifat karsiongenik dan
teratogenik sehinga dematofitosis ringan tidak perlu diberikan griseofulvin, cukup dengan
pemberian preparat topical.

 posologi

Di Indonesia giseofulvin mkrokristal tersedia dalam bentuk tablet berisi 125 dan 500
mg dan tablet yang mengandung partikel ultramikrokristal tersedia dalam takaran 330 mg.
untuk anak, griseofulvin diberikan 5-15 mg/kgBB/hari sedangkan untuk dewasa 500-1000
mg/hari dalam dosis tunggal. bila dosis tunggl tidak dapat toleransi, maka dibagi dalam
beberapa dosis.

3.2 Imidazol dan Triazol

Anti jamur golongan imidazol mempunyai spectrum yang luas. karena sifat dan
penggunaannya praktis tidak berbeda, maka hanya mikonazol dan klotrimazol yang akan
dibahas.

3.2.1 Mikonazol

 asal dan kimia

mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relative stabil, mempunyai


spectrum anti jamur yang lebar terhadap jamur dermatofit. Obat ini berbentuk Kristal putih,

23
tidak berwarna dan tidak berbau, sebagian kecil larut dalam air tapi lebih larut dalam pelarut
organik.

 aktivitas anti jamur

Mikonazol menghambat aktivitas jamur trichphyton, epidermophyton, microsporim,


candida dan malassezia furfur. mikonazol in vitro efektif terhadap beberapa kuman gram
positif.

Mekanisme krja obat ini belum diketahui sepenuhnya. mikonazole masuk ke dalam se
jamur dan menyebabkan kerusakan dinding sel sehingga permeabilitas terhadap berbagai zat
intrasel meningkat. mungkin pula terjadi gangguan sintsis sel jamur yang akan menyebabkan
kerusakan. obat yang sudah menembus ke dalam lapisan tanduk kulit akan menetap di sana
sampai 4 hari.

Mikonazol topical diindikasikan untu dermatofitosis, tinea versikolor dan kandidiasis


mukokutan. untuk dermatofitosis sedang atau berat yang menganai kulit kepala, telapa dan
kuku sebaiknya dipakai griseofulvin.

 efek samping

efek samping berupa iritasi, rasa terbakar dan masersi memerlukan penghentian
terapi. sejumlah kecil mikonazol diserap melalui mukosa vagina tapi belum ada laporan
tentang efek samping pada bayi yang ibunya mendapat mikonazol intravaginal pada waktu
hamil, tetapi penggunaanya pada kehamilan trimester pertama sebaiknya dihindari.

 sediaan dan posologi

Obat ini tersedia dlam bentik cream 2% dan bedak tabor yang dipakai 2x sehari
selama 2-4 minggu. cream 2% untuk penggunaan intavaginal diberikan 1x sehari pada malam
hari selama 7 hari. Gel 2% tersedia untuk kandidiasis oral. Mikonzol tidak bole dbubuhkan
pada mata.

24
3.2.2 Klotrimazol

Klotrimazol berbentuk bubuk tidak berwarna yang praktis tidak larut dalam air, larut
dalam alcohol dan kloroform, sedikit larut dalam eter.

Klotrimazol mempunyai efek anti jamur dan antibakteri dengan mekanisme kerja
mirip mikonazol dan secara topical digunakan untuk pengobatan tinea pedis, kruris dan
korporis yang disebabkan oleh T. rubrum, dan juga untuk infeksi kulit dan vulvovaginitis
yang disebabkan oleh C, albicanns.

Obat ini tersedia dalam bentuk cream dan larutan dengan kadar 1% untuk dioleskan
2x sehari. cream vaginal 1% atu tablet vaginal 100 mg digunakan sekali sehari pada malam
hari selama 7 hari. tau tablet vaginal 500 mg, dosis tunggal pada pemakaian topical dapat
terjadi rasa terbakar, eritema, edema, gatal dan urtikaria.

3.3 Tolnaftat dan Tolsiklat

3.3.1 Tolnaftat
adalah suatu tiokarbamat yang efektif untuk pengobatan sebagain besar dermatofitosis
tapi tidak efektif terhadap kandida.
Tolnaftat tersedia dalam bentuk cream, gel, bubuk, caira aerosol atau larutan topical
dengan kadar 1%. Digunakan local 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam.
lesi interdigital oleh jamur yang rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. pada lesi dengan
hyperkeratosis, toinaftat sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10%.
3.3.2 Tolsiklat
merupakan anti jamur topical yang diturunkan dari tiokarbamat. Namun karena
spektrumnya yang sempit, anti jamur ini tidak banyak digunakan lagi.

3.4 Nistatin

 asal dan kimia

25
Nistatin merupakan suatu antibiotic polien yang dihasilkan oleh streptomyces noursel.
obat yang beruba bubuk warna kuning kemerahan ini bersifat higroskopis, berbau khas, sukar
larut dalam kloroform dan eter. larutannya mudah trraid alam air atau plasma. sekalipun
nistatin mempunyai struktu kima dan mekanisme kerja mirip dengan amfoterisin B, nistatin
lebih toksik sehingga tidak digunakan sebagai obat sistemik. nistatin tidak diserap melalui
saluran cerna, kulit maupun vagina.

 aktifitas anti jamur

Nistatin menghambat pertumbuhan berbagai jamur dan ragi tetapi tidak aktif terhadap
bakteri, protozoa dan virus.

 Mekanisme kerja

Nistatin hanya akan diikat oleh jamur atau ragi yang sensitive. akfititas anti jamur
tergantung dari adanya ikatan dengansterol pada membrane sel jamur atau ragi terutama
sekali ergosterol. Akibtnya terbentuknya iktan antara sterol dengan antibiotic ini akan terjadi
perubahan permeabilitias membrane sel sehingga sel akan kehilangan berbagi molekul kecil.

 Indikasi

Nistatin terutama digunakan untuk infeksi kandida di kulit, selaput lender dan saluran
cerna. paronikia, vaginitis dan kandidiasis oral dan saluran cerna cukup diobati secara topical.
Kandidiasis di mulut, esophagus dan lambung biasanya merupakan komplikasi dari penyakit
darah yang ganas terutama komplikasi dari penyakit darah yang ganas terutama pada pasien
yang mendapat pengobatan imunosupresif. sebagian besar inifeksi ini memberikan respons
yang baik terhadap nistatin.

Kandidiasis saluran cerna jarang ditemukan, tetapi keadaan ini dapat merupakan
penyebab timbulnya nyeri perut dan diare.

 Efek samping

Efek samping jarang ditemukan pada pemakaian nistatin. Mual, muntal dan diare
ringan mungkin didapatkan setelah pemakaian per oral. Iritasi kulit maupun selaput ledir
pada pemakaian topical belum pernah dilaporkan. Nistatin tidak memempengaruhi bakteri,

26
protozoa dan virus maka pemberian nistatin dengan dosis tinggi tidak akan menimbulkan
superinfeksi.

 posologi

Dosis nistatin dinyatakan dalam unit, tiap 1 mg obat ini mengandung tidak kurang
dari 200 unit nistatin. Untuk pemakaian klinik tersedia dalam bentuk krim, bubuk, salep,
suspense dan obat tetes yang mengandung 100.000 unit nistatin per gram atau per ml. untuk
pemakaian per oral tersedia tablet 250.00 dan 500.000 unit, 3 atau 4 kali sehari. Obat tidak
langsung ditelan tetapi ditahan dulu dalam rongga mulut. Pemakaian pada kulit disarankan 2-
3 kali sehari, sedangkan pemakaian tablet vagina 1-2 kali sehari selama 14 hari.

3.5 Anti jamur topical lainnya


3.5.1 Asam benzoate dan Asam salisilat

Kombinasi asam benzoate dan asam salisilat dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6%


dan 3%) ini dikenal sebagai salep whitfield. Asam benzoate memberikan efek fungistatik
sedangkan sam salisialt memberikan efek keratolitik. Karena asam benzoate hanya bersifat
fungistatik maka penyembuhan baru tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi
terkelupas seluruhnya, sehingga pemakaian obat ini membutuhkan waktu beberap minggu
sampai bulanan. Salep ini banyak digunakan untuk pengobatan tinea pedis dan kadang-
kadang juga untuk tinea kapitis. dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga ada
keluhan kurang menyenangkan dari para pemakaiannya Karena salep ini berlemak.

3.5.2 Asam undesilenat


Asam undesilenat merupakan caira kuning dengan bau khas yang tajam. Dosis biasa
dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian
yang lama dapat memberikan efek funigisidal. Obat ini aktif terhadap epidermophyton,
trichophyton, dan microsporum. tersedia dalam bentuk salep campuran mengandung 5%
undesilenat dan 20% seng undesilenat. Bentuk bedak dan aerosol mengandung 2%
undesilenat dengan 20% seng undesilenat. Dalam hal ini seng berperan untuk menekan
luasnya peradangan.

27
Pemakaian pada mukosa dapat menyebabkan iritasi bila kadar lebih dari 1%. Iritasi
dan sensitivitas jarang terjadi pada pemakaian topical. Pada tinea kapitis efektivitasnya tidak
nyata sehingga tidak digunakan lagi. Obat ini dapat menghambat pertumbuhan jamur pada
tinea pedis, tetapi efktivitasnya tidak sebaik mikonazol, haloprogin atau tolnaftat.

3.5.3 Haloprogin
Haloprogin merukan anti jamur sintetik, berbentuk Kristal putih kekuningan, sukar
laur dalam air tetapi larut dalam dalam alcohol. Obat ini bersifat fungsidal terhadap
Epidermophyton, Trichophyton, Microsorum dan Malassezia furfur. Haloprogin sdikit sekali
diserap melalui kulit, dalam tubuh akan terurai menjadi trikorofenol.

selama pemakaian obat ini sering timbul iritasi local, rasa terbakar, vesikel,
meluasnya maserasi dan sensitisasi. sensitisasi mungkin merupakan pertanda cepatnya repons
pengobatan sebab toksin yang dilepaskan kadang-kadang memperburuk lesi.

Haloprogin tersedia dalam bentuk cream dan larutan dengan kadar 1%. terhadap tinea
pedis efektivitas mendekati tolnaftat. Di samping itu obat ini juga digunakan untuk tinea
versikolor.

3.5.4 Siklopiroks olamin

Obat ini merupakan anti jamur topical berspektrum luas. penggunaan kliniknya ialah
untuk dermatofitosi, kandidiasis dan tinea versikolor siklopiroks olamin tersedia dalam
bentuk cream 1% yang dioleskan pada lesi 2x sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun
jarang.

3.5.5 Terbinafin
Terbinafin merupakan suatu derivate alilamin sintetik dengan struktur mirip naftitin.
Obat ini digunakan untuk terapi dermatofitosis, tertama onikomikosis. Terbinafin topical
tersedia dalam bentuk crem 1% dan gel 1%. Terbinafin topical digunakan untuk pengobatan
tinea kruris dan korporis yang diberikan 1-2 kali sehari selama 1-2 minggu.

28
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Obat anti jamur adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang
disebabkan oleh jamur. Jamur adalah organisme mikroskopis tanaman yang terdiri dari sel,
seperti cendawan, dan ragi. Beberapa jenis jamur dapat berkembang pada permukaan tubuh
yang bisa menyebabkan infeksi. Obat Jamur atau Anti fungi atau Anti Mikotik yaitu obat
yamg digunakan untuk membunuh atau menghilangkan jamur.

Macam-macam obat anti jamur yaitu Amfoterisin B, Flusitosin, Ketokanazol dan lain-
lain. Adapun efek samping dari penggunaan setiap jenis obat anti jamur yaitu gangguan
saluran cerna merupakan ESO paling banyak, reaksi alergi pada kulit, eosinofilia, sindrom
stevensJohnson, Rhinitis,Salivasi, lakrimasi, rasa terbakar pada mulut dan tenggorokan, iritasi
pada mata,sialodenitis dan akne pustularis pada bagian atas bahu.Pencegahan atau cara
mengatasi efek samping dari obat anti jamur dapat dilakukan dengan cara terapi atau
konsumsi obat yang tidak berlebihan atau sesuai resep dokter.

B. Saran
a. Bagi dokter atau tenaga kesehatan lain, hendaknya memberikan konseling tentang
pengunaan obat yang baik dan benar, juga memberikan kepada pasien dosis obat yang sesuai
agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
b. Bagi masyarakat sebaiknya menggunakan obat sesuai resep dokter dan menggunakan
obat sesuai kebutuhan dan tidak menyalahgunakan obat.

29
DAFTAR PUSTAKA

http://ayusrirahayuk.blogspot.com/2012/12/farmakologi.html

http://ezraedmundzr.blogspot.com/2013/10/farmakologi.html

http://zatalinaanwar.wordpress.com/2014/07/06/makalah-farmakologi

30

Anda mungkin juga menyukai