Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI II

“OBAT ANTELMINTIK DAN AMUBISID”

DOSEN PENGAMPU :

apt. SUNARTI, M.Si.

DISUSUN OLEH :
KELAS I/ 2019
KELOMPOK 4…

HUSNUL KHOTIMAH B1A119255


ELMITA SINAR B1A119332
NURUL WAHIDAH NASIR B1A119335
DINDA JUHDINIYAH B1A119346
RENDI B1A119424

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MEGAREZKY MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya berupa nikmat dan kesehatan, iman dan ilmu

pengetahuan. Sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang

alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Obat Antelmintik dan Amubisid.

Makalah ini berisikan tentang Fisiologi Farmakologi Obat Antelmintik dan

Amubisid meliputi sejarah dan struktur kimia, farmakodinamik, toksisitas, efek

samping, kontraindikasi serta interaksi obat. Diharapkan makalah ini dapat

memberikan informasi mengenai Fisiologi Farmakologi Obat Antelmintik dan

Amubisid dalam Mata Kuliah Farmakologi Toksikologi II.

Kami sepenuhnya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan

dalam menyusun makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat

konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu apt. SUNARTI, M.Si selaku

Dosen Farmakologi Toksikologi II semester ini atas ide dan sarannya, serta menilai

dan memeriksa makalah ini, juga kepada para penulis dan penerbit yang materinya

kami gunakan sebagai referensi.

Akhir kata kami mengharapkan semoga makalah ini mendapatkan keridhaan

dari Tuhan Yang Maha Esa dan dapat memberikan manfaat bagi kami dan kepada

para pembaca.

Makassar, 27 April 2021

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3

A. Antelmintik dan Amubisid ........................................................................ 3

B. Jenis-Jenis Parasit Cacing Pada Manusia ................................................... 7

C. Macam-Macam Infeksi Cacing Pada Manusia ........................................... 9

D. Obat-Obat Untuk Pengobatan Parasit Cacing Pada Manusia .................... 14

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 29

A. Kesimpulan ............................................................................................. 29

B. Saran ....................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 30

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit

berupa cacing kedalam tubuh manusia karena menelan telur cacing. Penyakit

ini paling umum tersebar dan menjangkiti banyak manusia di dunia. Sampai

saat ini penyakit infeksi cacing masih tetap merupakan masalah karena

kondisi sosial dan ekonomi di beberapa bagian dunia serta perlu penanganan

serius, terutama di daerah tropis karena cukup banyak penduduk menderita

kecacingan. Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang berhubungan

dengan lingkungan, karena sumber penyakit ini dapat ditularkan melalui

tanah atau disebut Soil Transmitted Helminths.

Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum

tersebar dan menjangkiti lebih dari 2 miliar manusia diseluruh dunia.

Walaupun tersedia obat-obat baru yang lebih spesifik dangan kerja lebih

efektif, pembasmian penyakit ini masih tetap merupakan salah satu masalah

akibat jumlah manusia semakin bertambah seperti migrasi, lalu-lintas dan

kepariwisataan udara hingga dapat menyebabkan perluasan kemungkinan

infeksi. Infeksi cacing mungkin tidak langsung terlihat manifestasi klinik

penyakitnya, tetapi dapat menyebabkan kondisi patologis yang nyata. Infeksi

ringan umumnya mudah ditoleransi. Orang dengan gangguan sistem imun,

atau yang menggunakan obat tertentu (kortikosteroid dan anestesi) dapat

mudah mengalami infeksi cacing tertentu misalnya strongyloidiasis.

1
Terdapat tiga golongan cacing yang menyerang manusia yaitu cestoda,

trematoda dan nematoda. Sebagaimana penggunaan antelmintik, amubisid

ditujukan pada target metabolik yang terdapat dalam parasit tetapi tidak

mempengaruhi atau berfungsi lain untuk pengguna.

Kebanyakan antelmintik efektif terhadap satu macam cacing, sehingga

diperlukan diagnosis tepat sebelum menggunakan obat tertentu. Kebanyakan

antelmintik diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah makan.

Beberapa senyawa antelmintik yang lama, sudah tergeser oleh obat baru

seperti Albendazol, Mebendazol, Prazikuantel, Pirantel, Emetin,

Dihidroemetin Derivat 8-hidroksikuinolin, Metronidazol dan Diloksanid

furoat, dan sebagainya. Oleh karena itu, pokok pembahasan makalah ini akan

membahas obat-obat untuk pengobatan parasit cacing pada manusia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah dan struktur Antelmintik dan Amubisid ?

2. Apa saja jenis-jenis parasit cacing pada manusia ?

3. Apa saja macam-macam infeksi cacing pada manusia ?

4. Apa saja obat-obat untuk pengobatan parasit cacing pada manusia ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui sejarah dan struktur Antelmintik dan Amubisid

2. Untuk mengetahui jenis-jenis parasit cacing pada manusia

3. Untuk mengetahui macam-macam infeksi cacing pada manusia

4. Untuk mengetahui obat-obat untuk pengobatan parasit cacing pada

manusia

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Antelmintik dan Amubisid

1. Antelmintik

a. Sejarah

Helmintiasis menimpa lebih kurang 2 miliar penduduk di

seluruh dunia dan 1 miliar di antaranya disebabkan oleh askaris.

Terjadi, terutama di negara tropis, negara yang berpenduduk padat,

negara yang memiliki masalah dengan hygiene dan sanitasi, serta di

negara yang menggunakan tinja sebagai pupuk. Penyakit ini

mengakibatkan status nutrisi anak menurun dan adanya retardasi.

Penularan penyakit ini melalui kulit dan saluran cerna. Penyebab

penyakit ini adalah nematoda, trematoda, dan cestoda. Berat

ringannya penyakiti ini bergantung pada jumlah cacing, lokasi

parasite, misalnya kista di otak dan status gizi penderita (Rahardjo,

2009).

Adanya biologi molekuler dan resistensi mendorong timbulnya

temuan obat-obat baru. Mekanisme obat yang bekerja secara local,

yaitu dengan mengeluarkan cacing dari saluran cerna, sedangkan

yang bekerja secara sistemik dengan mengeradikasi cacing.

Antelmintik yang ideal, yaitu : (Rahardjo, 2009).

• Efektif dan aman;

• Lebih disukai pemberian oral dengan dosis tunggal;

3
• Stabil pada keadaan tertentu dalam waktu yang cukup lama;

• Mudah didapat dan murah.

b. Struktur Kimia

Struktur antelmintik turunan benzimidazol pada tabel di bawah ini

(Siswandono, 2016).

Hubungan struktur dan aktivitas turunan benzimidol sebagai berikut.

1) Pemasukan substituen pada posisi 5 tidak mempengaruhi

peningkatan aktivitas

2) Bila R adalah gugus yang dapat mencegah inaktivasi metabolic,

misalnya reaksi hidroksilasi, senyawa mempunyai aktivitas

antelmintik lebih besar

3) Gugus R’ dapat berupa gugus metilkarbamat (-NHCOCH3),

cincin aromatic atau cincin heteroaromatik, tanpa kehilangan

aktivitas antelmintik, tetapi cincin aromatik dan heteroaromatik

4
mempunyai toksisitas lebih besar dibanding gugus

metilkarbamat

4) Pada turunan tiabendazol gugus benzimidazole dapat diganti

dengan sistem cincin heterosiklik lain, seperti azaindole dan

imidazopiridin, tetapi aktivitasnya lebih rendah dibanding

senyawa induk

c. Pengertian

Anthelmintika atau obat cacing (Yun. Anti = lawan, helmins =

cacing) adalah obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh

manusia dan hewan. Dalam istilah ini termasuk semua zat yang

bekerja lokal menghalau cacing dari saluran cerna maupun obat-obat

sistemik yang membasmi cacing serta larvanya yang menghinggapi

organ dan jaringan tubuh. Obat-obat yang tidak diresorpsi lebih

diutamakan untuk cacing di dalam rongga usus agar kadar setempat

setinggi mungkin, lagipula karena kebanyakan anthelmintika juga

bersifat toksis bagi tuan-rumah. Sebaliknya, terhadap cacing yang

dapat menembus dinding-usus dan menjalar ke jaringan dan organ

lain. Misalnya cacing gelang, hendaknya digunakan obat sistemik

yang justru diresorpsi baik ke dalam darah hingga bisa mencapai

jaringan (Tjay dan Kirana, 2015).

5
2. Amubisid

a. Sejarah

Entamoeba histolytica adalah suatu protozoa yang berada di

saluran cerna, lebih kurang 10% dari populasi dunia. Amebiasis

merupakan penyebab kematian utama penyakit parasite. Penyakit ini

transmisinya melalui makanan yang tercemar kista mastur, tetapi

juga dapat terjadi melalui hubungan seksual pada kaum

homoseksual. Keadaan hamil, malnutrisi, dan penderita gangguan

imunologi merupakan kelompok risiko tinggi untuk mengalami

penyakit tersebut (Rahardjo, 2009).

Amebiasis dapat terjadi tanpa gejala, tetapi gambaran umumnya

berupa diaer dan nyeri perut. Diagnosis penyakit ini kadang-kadang

sulit, mengingat pemeriksaan laboratorium membutuhkan tenaga

terampil yang kadang-kadang justru tidak ada. Amebiasis invasit

muncul secara sporadis di seluruh dunia, tetapi kebanyakan berada

di Asia tenggara (Rahardjo, 2009).

b. Struktur Kimia (Siswandono, 2016).

6
c. Klasifikasi

Berdasarkan tempat kerjanya, amubisid dibagi atas tiga

golongan : (1) Amubisid Lumen, yaitu amebisid yang bekerja di

lumen usus atau obat-obat yang aktif terhadap ameba intestinal,

seperti diloksanid furoad dan derivate dikloroasetamid. (2) Amubisid

Jaringan, yaitu amebisid yang bekerja pada jaringan intestinum atau

organ lainnya, seperti dehidroemetin dan emetin serta yodokuinol.

(3) Amubisid Kombinasi, yaitu amebisid yang efektif baik terhadap

amebiasis luminal ataupun jaringan, seperti metronidazol, walaupun

obat ini lebih efektif terhadap amebiasid jaringan (Rahardjo, 2009).

B. Jenis-Jenis Parasit Cacing Pada Manusia

Cacing yang merupakan parasit manusia dibagi dalam dua kelompok,

yakni dapat cacing pipih dan cacing bundar (Tjay dan Kirana, 2015).

1. Plathelminthes (flatworms) Cestoda dan Trematoda.

Ciri-ciri cacing ini adalah bentuknya yang pipih dan tidak memiliki

rongga tubuh.

a. Cacing pita (Cestoda): Taenia, Echinococcus, Hymenolepsis, dll

Parasit ini memiliki kelamin ganda (hermafrodit), berbentuk pita yang

ber segmen, dan tidak memiliki saluran cerna. Echinococcus memiliki

tuan-rumah tetap (anjing) dan larvanya membentuk kista di organ

dalam (Tjay dan Kirana, 2015).

7
b. Cacing pipih (Trematoda): Schistosoma, Fasciola dll

Umumnya cacing ini berbentuk seperti daun dan juga bersifat

hermafrodit, kecuali spesies schistosoma yang ber bentuk lebih

memanjang dan memiliki kelamin terpisah. Schistosoma (bilharzia)

ditulari oleh bentuk aktifnya (cercariae). Fasciola (cacing hati)

khusus terdapat pada domba dan menimbulkan a.l. pembesaran hati,

jarang sekali menulari manusia. Infeksi cacing ini dinamakan masing-

masing schistosomiasis (bilharziasis) dan fascioliasis (Tjay dan

Kirana, 2015).

2. Nematoda (roundworms): Oxyuris, Ascaris, Ancylostoma, Strongyloides,

Trichuris.

Infeksi dengan cacing ini dinamakan masing-masing oxyuriasis

(cacing kermi), ascariasis (cacing gelang), ancylostomia sis (cacing

tambang), strongyloidiasis dan trichuriasis (cacing cambuk). Infeksi

dapat terjadi melalui telur, larva atau cacingnya sendiri, melalui mulut

atau langsung melalui kulit (Tjay dan Kirana, 2015).

Ciri-cirinya: bertubuh bulat, tidak ber segmen, memiliki rongga

tubuh dengan saluran erna nyata dan kelamin terpisah. Siklus hidup

cacing ini cukup kompleks dan sering kali membutuhkan tuan rumah

antara sebelum terjadi perkembangan dari telur hingga cacing dewasa.

Pada manu sia, tergantung dari jenisnya, cacing tetap bermukim dalam

saluran cerna atau menem bus hingga jaringan. Untuk penyakit, cara

8
infeksi, penyebaran dan pengobatannya, lihat tabel berikut ini (Tjay dan

Kirana, 2015).

C = cestoda (cacing pita) N = nematoda (cacing gelang)


Lokasi di Cara Penyebaran
Penyakit dan parasit Pengobatan
tubuh penularan geografis
Makanan/ Seluruh
Ascaris Usus halus;
tanah dunia; Piperazin
Ascaris lumbricoides (N) larva melalui
terinfeksi tinja sangat Thiabendazol
(cacing gelang biasa) paru-paru
dg telur cacing umum
Enterobiasis Piperazin
Coecum, Anal-oral Seluruh
E. vermicularis (N); Pyrvinium
colon Auto-infeksi dunia
cacing kermi Pamoat
Simpul
Daerah
Filiariasis limfe; Gigitan
tropis dan Dietilkarbamazin
Wucheria bancrofti (N) mikrofilaria nyamuk
subtropis
dalam darah
Hookworms Usus halus; Melalui kulit, Befenium,
Daerah
Ancylostoma duodenale larva via tanah yang Tetrakloretilen,
tropis
Necator americanus (N) paru terinfeksi Thiabendazol
Duodenum,
Thiabendzol,
Strongyloidiasis jejunum; Seluruh
Melalui kulit Pyrvinium
Strongyl.stercoralis (N) larva via dunia
Pamoat
kulit, paru
Taeniasis (cacing pita)
Daging Seluruh Niklosamida,
Taenia saginata/solium Usus halus
mentah dunia Quinakrin
(C)
Trichinosis Larva dalam Daging Seluruh
Thiabendazol
Trichinella spiralis (N) otot mentah dunia
Trichuriasis Tanah yang
Coecum, Seluruh Heksilresorsinol
Trichiuris trichiura (N) terinfeksi tinja
colon dunia Thiabendazol
cacing cambuk dg telur cacing

c. Macam-Macam Infeksi Cacing Pada Manusia

1. Infeksi Cacing Tambang

- Infeksi di usus halus akibat cacing tambang (Ancylostoma duodenale

atau Necator americanus).

- Siklus hidup kedua cacing mirip. Cacing dewasa hidup di usus halus

dan melekat pada mukosa menyebabkan kerusakan jaringan. Cacing

9
betina bertelur di dalam feses berkembang menjadi larva. Orang akan

tertular bila memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi

telur cacing atau menembus kulit yang mengalami erupsi dengan

pembengkakan dan kemerahan.

- Gejala infeksi biasanya nyeri ringan epigastrik, epigastrik lunak, sakit

kepala, lemah, anemia, hipoproteinemia.

- Diagnosis dapat ditegakkan dengan memeriksa telur dan larva

rhabditiform. Pasien dapat mengalami eosinofilia (30-60%) pada awal

infeksi.

- Terapi pilihan adalah mebendazol yang juga efektif untuk askariasis.

enterobiasis dan trikuriasis. Dosis dewasa dan anak >2 tahun 100mg

sehari 2 kali selama 3 hari. Obat lain adalah albendazol.

2. Infeksi Cacing Gelang (ASKARIASIS)

- Askariasis disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides. Cacing

betina berukuran 20-35 cm. Cacing ini ditemukan di seluruh dunia

tetapi lebih sering di daerah yang sanitasinya buruk.

- Manifestasi klinik adalah gangguan di saluran cerna, rasa tidak enak

di perut, nyeri ringan di kuadran kanan atas, kolik empedu,

kholangitis, pankreati obstruksi abdominal, muntah dan apendisitis.

Bila larva cacing bermigran dan pneumonitis. melalui paru, pasien

akan mengalami demam, batuk dan peneumonitis.

- Diagnosis ditetapkan berdasarkan adanya telur di feses.

10
- Terapi pilihan adalah Mebendazol. Dosis dewasa dan anak >2 tahun

100g sehari 2 kali selama 3 hari. Obat lain adalah albendazol 400 mg

dosis tungga.

3. Infeksi Cacing Kremi (ENTEROBIASIS)

- Infeksi cacing kremi adalah infeksi yang paling umum di dunia yang

disebabkan oleh Enterobius vermicularis. Cacing ini kecil, sekitar 1

cm panjangnya. terutama terinfeksi adalah anak-anak.

- Gejala: Perut terasa tidak enak ringan dan gatal di perianal karena

berpindahnya cacing betina atau adanya telur cacing. Garukan yang

kuat dan sering dapat menyebabkan dermatitis. Pada anak gatal

tersebut dapat menyebabkan gelisah dan gangguan tidur. Komplikasi

yang terjadi adalah apendisitis dan perfora intestinal.

- Diagnosa yang paling efektif adalah pemeriksaan mikroskopik telur

cacing yang dapat diperoleh dari swab (apusan) perianal dengan tape

adhesif yang ditempelkan ke perianal.

- Terapi dengan Pirantel pamoat 11 mg/kg BB (maksimum 1 g) dosis

tunggal, yang dapat diulang dalam waktu 2 minggu. Mebendazol 100

mg sebagai dosis tunggal (dewasa dan anak >2 tahun) yang dapat

diulang dalam waktu 2 minggu. Albendazol 400 mg (dewasa dan anak

2 tahun) yang harus diulang dalam waktu 2 minggu.

4. Strongiloidiasis

- Strongiloidiasis disebabkan oleh Strongyloides stercoralis yang

tersebar luas diseluruh dunia, terutama di Asia Tenggara dan Amerika

11
Selatan. Penderita HIV-AIDS dan keganasan darah cenderung mudah

mengalami strongiloidiasis.

- Cacing ditemui terutama di bagian awal usus halus, tempat cacing

menaruh telur dan berubah bentuk menjadi rhabditiform larvae.

Rhabditiform larvae jantan dan betina, akan bermigrasi ke usus besar

dan keluar bersama feses. Larva yang keluar bersama feses akan

berubah menjadi 2 bentuk:

(1) Rhabditiform larvae yang tidak infeksius dan Infeksius

(2) Larva filariform infeksius yang dapat menembus kulit pasien.

berpindah ke paru lewat bronkis dan glotis dan mencari jalan

masuk ke intestin.

- Gejala klinis pada saluran cerna: nyeri perut, kembung, mual,

konstipasi. obstruksi, kardiopulmonari: batuk, efusi pleura, nyeri

dada, dispnea. Gejala klinis Dermatologi/hematologi: pruriti pada

betis, eosinofilia.

- SSP: sakit kepala, gangguan mental, meningitis.

- Terapi: ivermektin 200 mcg/hari 2hari, albendazol 400mg sehari 2

kali 7 hari.

- Monitoring: pasien harus diperiksa secara periodik terhadapa

eliminasi larva.

12
5. Infeksi Cacing Pita

- Etiologi dan patogenesis

Cacing pita yang hidup di jejunum bagian awal sapi Taenia

saginata dan babi Taenia solium kemudian telur yang menetas

menjadi larva berpindah ke otot rangka sapi/babi. Manusia terinfeksi

karena memakan daging sapi yang tidak/ kurang masak yang

mengandung larva atau memakan sayuran yang tercemar kotoran sapi

yang mengandung telur. Telur yang termakan akan menetas dan

larvanya berpindah ke bagian lain tubuh.

- Gambaran klinik

Infeksi T.saginata akan menyebabkan rasa tidak enak pada bagian

perianal, berat badan turun, rasa nyeri ringan di perut, lemah,

kehilangan selera makan. Infeksi T. Solium akan menimbulkan rasa

tidak enak di ulu hati, mual, sensasi lapar,berat badan turun lemah,

dapat terjadi diare, tetapi seringkali tanpa ada keluhan.

- Diagnosis

- Telur pada feses dan di daerah perianal, eosinofilia dan peningkatan

IgE.

- Terapi: prazikuantel 10mg/kg. dosis tunggal.

(Sukandar, dkk. 2011).

13
D. Obat-Obat Untuk Pengobatan Parasit Cacing Pada Manusia

1. Obat Antelmintik

a. Albendazol

Albendazol adalah obat cacing derivate benzimidazol

berspektrum lebar yang dapat diberikan peroral (Gunawan, 2016).

Farmakokinetik : Pada pemberian per oral, obat ini diserap

secara tidak teratur oleh usus. Obat ini cepat

dimetabolisme, terutama menjadi

albendazol sulfoksida suatu metabolit aktif

yang Sebagian besar diekskresi dalam urin

dan sedikit lewat fases. Makanan berlemak

akan meningkatkan absorpsi empat kali

lebih besar dibanding perut kosong. Kadar

puncak metabolit aktif plasma dicapai

dalam 3 jam. Waktu paruh 8-9 jam

Sebagian besar metabolit terikat dengan

protein dan distribusi ke jaringan-jaringan,

serta ke cairan serebrospinal, termasuk ke

kista hidatid (Gunawan, 2016).

Farmakodinamik : Obat ini bekerja dengan cara berikatan

dengan 𝛽 tubulin parasite sehingga

menghambat polimerisasi mikrotubulus

dan memblok pengambilan glukosa oleh

14
larva maupun cacing dewasa, sehingga

persediaan glikogen menurun dan

pembentukan ATP berkurang, akibatnya

cacing akan mati. Obat ini memiliki khasiat

membunuh larva pada cacing tambang,

gelang trikulis, penyakit hidatid,

sistiserkosis, dan juga dapat merusak telur

cacing gelang, tambang dan trikuris

(Gunawan, 2016).

Indikasi : trikuriasis, askariasis (Sukandar, dkk.

2011).

Dosis : - Askariasis dan enterobiasis: anak> 6

bulan dan dewasa 400 mg dosis tunggal;

anak>6 bulan tapi <10 kg. 200 mg dosis

tunggal

- Enterobiasis: dosis kedua sesudah 2-4

minggu

- Trikuriasis, enterobiasis: anak> 6 bulan

dan dewasa 400 mg sehari 1 kali, 3 hari

anak>6 bulan tapi <10 kg, 200 mg seha 1

kali, 3 hari

(Sukandar, dkk. 2011).

15
Kontra indikasi : anak < 6 bulan. pasien dengan ocular

cysticercosis. kehamila trimaster pertama.

Dapat diberikan pada ibu menyusui

(Sukandar, dkk. 2011).

Efek Samping : gangguan saluran cerna, sakit kepala,

pusing, serangan kejang dapat terjadi pada

pasien dengan neuro cysticercosis

(Sukandar, dkk. 2011).

Interaksi Obat : Glukokortikoid dan prazikuantel dapat

meningktakan kadarnya di dalam plasma.

Hati-hatilah bila diberikan bersama-sama

dengan penghambat sitokrom P-450

hepatik (Rahardjo, 2009).

b. Mebendazol

Mebendazol merupakan antelmintik yang luas spektrumnya

(Gunawan, 2016).

Farmakokinetik : Mebendazol hampir tidak larut dalam air

dan rasanya enak. Obat ini memiliki

bioavailabilitas sistemik yang rendah,

disebabkan absorpsinya yang buruk dan

mengalami metabolisme lintas pertama

yang cepat. Absorpsi mebendazol akan

16
meningkat bila diberikan bersama dengan

makanan berlemak (Gunawan, 2016).

Indikasi : trikuriasis,..askariasis,..enterobiasis,

ankilostomiasis (Sukandar, dkk. 2011).

Dosis : - Askariasis dan trikhuriasis,

ankilostomiasis: anak> 6 bulan dan

dewasa 100 mg sehari 2 kali, selama 3

hari; anak>6 bulan tapi <10 kg, 50 mg

sehari 2 kali, selama 3 hari.

- Enterobiasis: anak 6 bulan dan dewasa

100 mg dosis tunggal anak>6 bln tapi <10

kg, 50 mg dosis tunggal. Dosis kedua

sesudah 2-4 minggu.

(Sukandar, dkk. 2011).

Kontra indikasi : anak < 6 bulan, kehamilan trimester

pertama (Sukandar, dkk. 2011).

Efek Samping : gangguan saluran cerna, sakit kepala,

pusing (Sukandar, dkk. 2011).

17
c. Prazikuantel

Prazikuantel adalah derivate pirazinoiso-kuinolin yang efektif

terhadap cestode, trematoda, dan skistosoma (Rahardjo, 2009).

Mekanisme Kerja : Obat ini bekerja dengan 2 cara, yaitu

- Pada konsentrasi kecil, aktivitas

muskulus meningkat (dengan cara

meningkatkan permeabilitas membran

terhadap Ca) dan menyebabkan terjadinya

kontraksi dan paralisis spastik

- Pada konsentrasi besar menyebabkan

kerusakan tegumen. Tegumen parasit

diduga adalah tempat kerja obat ini

dengan cara meningkatkan Ca-influks

(Rahardjo, 2009).

Farmakokinetik : - Absorpsinya baik di saluran cerna, dan

konsentrasi puncak plasma dicapai dalam

waktu 1-2 jam

- Efek farmakokinetiknya berhubungan

dengan dosis pemberian

- Obat ini mengalami metabolisme lintas

pertama, dan menghasilkan metabolit

inaktif

18
- 80% berikatan dengan protein plasma,

dan waktu paruhnya 0,8-3 jam

- Lebih kurang 70% metabolit ditemukan

dalam urine

(Rahardjo, 2009).

Indikasi : - Skistosomiasis

- Klonorsiasis dan opistorsiasis

- Paragonimiasis

- Taniasis

(Rahardjo, 2009).

Kontra Indikasi - Wanita hamil dan anak-anak < 4 tahun

- Sistiserkosis okuler

- Pengendara atau pengguna mesin dan


:
- Tidak boleh diberikan bersama

antikonvulsan

(Rahardjo, 2009).

Efek Samping - Paling sering timbul setelah pemberian

langsung berupa nyeri perut dan nausea,

sakit kepala, dan mengantuk (beberapa

: jam dalam 1 hari); serta berkaitan dengan

dosis pemberian

- Efek tidak langsung dapat berupa demam,

gatal, urtikatia, myalgia dan artralgia

19
- Pada neurosistiserkosis dapat terjadi

meningismus, kejang, dan adanya

pleositosis dalam cairan serebrospinalis

(2-3 hari)

(Rahardjo, 2009).

Interaksi Obat : Simetidin mengantagonis efeknya.

Ketersediaan hayatinya menurun bila

diberikan bersama dengan karbamazepin,

fenitoin, fenobarbital, serta deksametason

(Rahardjo, 2009).

d. Pirantel

Indikasi : askariasis, ankilostomiasis, enterobiasis,

trikinelosis (Sukandar, dkk. 2011).

Dosis : - Askariasis: anak dan dewasa: 10 mg/kg,

dosis tunggal.

- Enterobiasis: anak dan dewasa; 10 mg/kg,

dosis tunggal, diikat dosis kedua setelah

2-4 minggu.

- Ankilostomiasis: anak dan dewasa; 10

mg/kg, dosis tunggal pada kasus berat 10

mg/kg, sekali sehari selama 4 hari.

20
- Trikinelosis: anak dan dewasa; 10 mg/kg,

dosis tunggal pada kasus berat 10mg/kg

sehari sekali selama 5 hari.

(Sukandar, dkk. 2011).

Kontra indikasi : kontraindikasi pada ibu menyusui,

kehamilan trimester pertam Turunkan dosis

pada gangguan hati (Sukandar, dkk. 2011).

Efek Samping : gangguan saluran cerna, sakit kepala,

pusing, mengantuk dan ruani kulit

(Sukandar, dkk. 2011).

2. Obat Amubisid

a. Emetin dan Dihidroemetin

Emetin merupakan suatu alkaloid yang diperoleh dari ipecac

dan juga disediakan dalam bentuk semisintesis dengan jalan

metilasi sefalin (suatu bentuk ipecac lainnya). Sejak tahun 1912,

emetin dipakai sebagai amebisid secara luas untuk mengobati

amebiasis intestinal, Hepatitis ameba, dan abses ameba (Rahardjo,

2009).

Dehidroemitin merupakan suatu derivat emitin dan bersifat

kurang toxic dibandingkan emetin. Obat ini merupakan amebisid

jaringan yang paling efektif (Rahardjo, 2009).

21
Mekanisme Kerja : Obat ini bekerja menghambat perpanjangan

rantai poliopeotida sehingga sintesis protein

sel eukariotik dihambat. Obat ini dapat

membunuh bentuk trofozoit E. Histolica

yang berada dalam jaringan secara

langsung, tetapi tidak untuk bentuk kista

(Rahardjo, 2009).

Farmakokinetik : Obat ini menetap dihati, ginjal, limfa, dan

paru. Karena sifat iritasinya terhadap

saluran cerna, obat ini diberikan secara

intramuskular atau intravena. Dapat

dikatakan bahwa ekskresi obat ini melalui

ginjal, tetapi data untuk hal ini belum

lengkap. Obat ini terutama diekskresikan

melalui urine (Rahardjo, 2009).

Indikasi : Disentri ameba dan abses ameba (Rahardjo,

2009).

Kontra Indikasi : - Penyakit ginjal, jantung, neuromuscular

- Wanita hamil

(Rahardjo, 2009).

Efek Samping : Efek samping yang paling sering terjadi

biasanya pada tempat suntikan berupa

nyeri, urtikaria, dan eksema. Gejala yang

22
berat biasanya berupa gangguan

kardiovaskular berupa nyeri prekordial

dispnea, gagal jantung, takikardia, dan

hipertensi. Mual muntah, sakit kepala, dan

diare dapat terjadi walaupun penggunaan

obat ini secara parental (Rahardjo, 2009).

b. Derivat 8-hidroksikuinolin

Sejumlah 8-hidroksikuinolin berhalogen secara klinis telah

disintesis dan digunakan sebagai amebisid luminal, terutama untuk

amebiasis asimptomatik dalam bentuk kiste. Obat ini memiliki 2

bentuk kliokuinol dan yodokuinol (Rahardjo, 2009).

Mekanisme Kerja : Mekanismenya tidak diketahui secara pasti.

Yodokuinol efektif untuk pengobatan

infeksi yang disebabkan oleh dientamoeba

fragilis dan balantidium coli (Rahardjo,

2009).

Farmakokinetik : Obat ini bersifat aktif bila diberikan peroral

dan didistribusikan secara meluas

keseuluruh jaringan tubuh. Waktu paruh

obat ini lebih kurang 12 jam. Kurang dari

10% dari dosis oral diekskresikan melalui

urine dalam bentuk glukoronat dan etanol

sulfat (Rahardjo, 2009).

23
Indikasi : - infeksi amebiasis asimptomatik bentuk

kiste

- infeksi yang disebabkan dientamoeba

fragilis dan balantidium coli

(Rahardjo, 2009).

Kontra Indikasi : Obat ini tidak boleh diberikan pada

penderita penyakit hati dan gangguan tiroid.

Hati hati bila memberikan obat ini pada

anak dan harus dilakukan pemantauan mata

(Rahardjo, 2009).

Efek Samping : Kliokuinol sekarang tidak digunakan lagi.

Efek samping yodokuinol yang sering

dijumpai berupa mual, nyeri perut, pruritus

ani, kulit kemerahan, jerawat, dan

pembesaran tiroid. Pada dosis dasar dapat

menyebabkan SMON (subakut mieloptik -

neurofati), dan bila obat ini bila diberikan 3

Minggu yang ditandai dengan nyeri otot

dan kelemahan, mengakibatkan atrofi optik

dan kadang kadang sampai buta (Rahardjo,

2009).

Interaksi Obat : Belum diketahui (Rahardjo, 2009).

24
c. Metronidazol

Obat ini merupakan suatu komponen sintesis 5-nitroimidazol

yang bersifat sebagai amebisid intestinal maupun ekstraintestinal

(Rahardjo, 2009).

Mekanisme Kerja : Kerja obat ini direfleksikan pada toksisitas

selektif terhadap mikroorganisme anaerob

atau mikroaerofilik dan untuk sel anoksia

ataupun hipoksia. Namun, para ahli lain

menyatakan bahwa obat ini bekerja dengan

memutuskan rantai heliks DNA sehingga

mengganggu fungsi DNA mikroorganisme

(Rahardjo, 2009).

Farmakokinetik : Obat ini diabsorpsi dengan baik di saluran

cerna dan hamper komplet setelah

pemberian peroral. Obat ini sedikit sekali

berikatan dengan protein plasma.

Konsentrasi puncak plasma dicapai dalam

waktu 1 jam dan waktu paruhnya berkisar 8

jam. Lebih kurang 20% obat ini

diekskresikan melalui urine dalam bentuk

utuh dan metabolitnya (Rahardjo, 2009).

25
Indikasi - Infeksi amebiasis intestinal dan

ekstraintestinal

- Trikomoniasis dan Gardnerella vaginalis


:
- Giardiasis dan balantidiasis

- Infeksi bakteri anaerob

(Rahardjo, 2009).

Kontra Indikasi : - Wanita hamil trimester I

- Gangguan sistem saraf pusat

- Ketergantungan alcohol

- Hati-hatilah bila memberikannya pada

penderita gangguan fungsi hati dan ginjal

(Rahardjo, 2009).

Efek Samping : Secara umum, obat ini ditoleransi dengan

baik oleh tubuh. Efek samping yang paling

sering terjadi berupa gejala mual dan diare.

Juga dapat ditemukan rasa tidak enak,

glositis, stomalitis, nyeri epigastric,

muntah, dan kadang-kadang urine berwarna

gelap. Hati-hati bila memberikan obat ini

pada penderita dengan gangguan

pendarahan karena obat ini dapat menekan

aktivitas sumsum tulang. Bila diberikan

bersamaan dengan alkohol, dapat

26
menimbulkan gejala mirip disulfiram yang

ditandai dengan nyeri perut, muntah dan

sakit kepala karena terjadi akumulasi

asetaldehida. Gejala berat dapat berupa

ataksia dan kejang epileptic (Rahardjo,

2009).

Interaksi Obat : Obat ini dapat meningkatkan aktivitas

antikoagulan. Fenobarbital dan fenitoin

menurunkan kadar obat ini dalam plasma,

sedangkan simetidin sebaliknya. Obat ini

meningkatkan kadar litium sehingga tidak

boleh diberikan bersamaan dengan alkohol

(Rahardjo, 2009).

d. Diloksanid furoat

Obat ini adalah suatu derivat dikloroasetamid yang merupakan

hasil substitusi asetalinida (Rahardjo, 2009).

Mekanisme Kerja : Mekanisme tidak diketahui secara jelas.

Obat ini efektif terhadap amebiasi

asimptomatik, khusunya untuk pengobatan

amebiasis intestinal dan disentri ameba

akut. Obat ini kurang efektif dibandingkan

dengan metronidazol maupun yodokuinol

(Rahardjo, 2009).

27
Farmakokinetik : Obat ini secara cepat di absorbsi di saluran

cerna setelah pemberian per oral. Bentuk

esternys sebagian besar dihidrolisis di

intestinum dan hanya dilokisanid dan hanya

berada dalam darah. Konsentrasi puncak

plasma di capai dalam waktu 1 jam. Bentuk

terbesar diloksanid yang diekskresikan

melalui urine adalah glukoronida

(Rahardjo, 2009).

Indikasi : Infeksi amebiasis asimptomatik bentuk

kiste (Rahardjo, 2009).

Kontra Indikasi : Wanita hamil trimester 1 dan anak <2 tahun

(Rahardjo, 2009).

Efek Samping : Efek samping yang paling sering berupa

gejala cegukan, (kadang kadang sangat

mengganggu), mual, esofagitis, diare, nyeri

perut, dan albuminaria. Gatal dan urtikaria

juga dapat terjadi (Rahardjo, 2009).

Interaksi Obat : Tidak diketahui (Rahardjo, 2009).

28
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada makalah ini maka dapat disimpulkan

bahwa Kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit

berupa cacing kedalam tubuh manusia karena menelan telur cacing. Terdapat

tiga golongan cacing yang menyerang manusia yaitu nematoda, trematoda,

dan cestoda. Antelmintika atau obat cacing adalah obat yang dapat

memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Obat-obat yang dapat

digunakan untuk pengobatan parasit cacing tersebut adalah Albendazol,

Mebendazol, Prazikuantel, Pirantel, Emetin, Dihidroemetin Derivat 8-

hidroksikuinolin, Metronidazol dan Diloksanid furoat. Kebanyakan

antelmintik efektif terhadap satu macam cacing, sehingga diperlukan

diagnosis tepat sebelum menggunakan obat tertentu.

B. Saran

Penulis berharap kepada para pembaca agar lebih memahami materi

tentang Fisiologi Farmakologi Obat Antelmintik dan Amubisid dalam bidang

farmasi, dengan mencari beberapa referensi selain yang ada pada makalah ini.

Selain itu, sebagai seorang farmasis sebaiknya kita dapat mengetahui Obat-

obatan yang digunakan untuk Pengobatan Parasit Cacing Pada Manusia

didalam tubuh manusia.

29
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Sulistia Gan. 2016. “Farmakologi dan Terapi Edisi 6”. FKUI : Jakarta.
Rahardjo, Rio. 2009. “Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2”. EGC : Jakarta.
Siswandono. 2016. “Kimia Medisinal Edisi Kedua”. Airlangga University Press :
Surabaya.
Sukandar, Elin Yulinah, dkk. 2011. “Iso Farmakoterapi 2”. Ikatan Apoteker
Indonesia : Jakarta Barat.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2015. “Obat-Obat Penting Edisi Ke 7”. PT
Elex Media Komputindo : Jakarta.

30

Anda mungkin juga menyukai