- mencit
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Rodentia
Famili: Muridae
pafamili: Murinae
Genus: Mus
Spesies: M. Musculus
- kelinci
Kerajaan: Animalia
Superfilum: Chordata
Filum: Vertebrata
Kelas: Mammalia
Ordo: Lagomorpha
Famili: Leporidae
Genus : lepus
- marmut
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Rodentia
Famili: Sciuridae
Genus: Marmota
Spesies: M. Monax
- hamster
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mamalia
Ordo: Rodentia
Famili: Cricetidae
Genus: Cricetulus
- tikus
Materi Kuliah
METODE FARMAKOLOGI
Pengajar :
USMAR
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----
KARAKTERISTIK DAN CARA PENANGANANHEWAN COBA
Hewan coba atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan yang
khususditernakkan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan laboratorium tersebut
digunakans e b a g a i m o d e l u n t u k p e n e l i t i a n p e n g a r u h b a h a n k i m i a a t a
u o b a t p a d a m a n u s i a . Karakteristik dari beberapa jenis hewan serta beberapa cara
penanganannya diterangkan berikut ini
1. Mencit
a) Data biologik normalGenus dan jenis mencit laboratorium adalah
Mus musculus
dan termasuk dalamordo
Rodentia
. Jenis telah banyak dijinakkan dan diternakkan selama bergenerasi danmudah
ditangani. Hewan ini memiliki pendengaran yang sangat tajam, penciuman
yangcukup baik, tetapi penglihatannya lemah. Mencit adalah hewan laboratorium yang
palingumum digunakan untuk penelitian. Adapun karakteristik yang lain adalah sebagai
berikut:-
EMELIHARAAN DAN PENGGUNAAN HEWAN COBA
BAB II
PEMBAHASAN
a. Siklus Estrus pada hewan uji coba
mencit
Siklus Estrus Pada Mencit
Pada setiap siklus yang terjadi pada tubuh mencit, terjadi perubahan-perubahan perilaku yang
dipengaruhi oleh hormon yang berpengaruh di dalam tubuhnya. Berikut adalah
penggambaran diri mencit pada setiap tahap yang terjadi:
1. Fase Estrus
Pada fase estrus yang dalam bahasa latin disebut oestrus yang berarti “kegilaan” (Campbell
et al, 2004), hipotalamus terstimulasi untuk melepaskan gonadotropin-releasing hormone
(GRH). Estrogen menyebabkan pola perilaku kawin pada mencit, gonadotropin menstimulasi
pertumbuhan folikel yang dipengaruhi follicle stimulating hormone (FSH) sehingga terjadi
ovulasi (Gilbert, 2006). Kandungan FSH ini lebih rendah jika dibandingkan dengan
kandungan luteinizing hormone (LH) maka jika terjadi coitus dapat dipastikan mencit akan
mengalami kehamilan. Pada saat estrus biasanya mencit terlihat tidak tenang dan lebih aktif,
dengan kata lain mencit berada dalam keadaan mencari perhatian kepada mencit jantan. Fase
estrus merupakan periode ketika betina reseptif terhadap jantan dan akan melakukan
perkawinan, mencit jantan akan mendekati mencit betina dan akan terjadi kopulasi. Mencit
jantan melakukan semacam panggilan ultrasonik dengan jarak gelombang suara 30 kHz –
110kHz yang dilakukan sesering mungkin selama masa pedekatan dengan mencit betina,
sementara itu mencit betina menghasilkan semacam pheromon yang dihasilkan oleh kelenjar
preputial yang diekskresikan melalui urin. Pheromon ini berfungsi untuk menarik perhatian
mencit jantan. Mencit dapat mendeteksi pheromon ini karena terdapat organ vomeronasal
yang terdapat pada bagian dasar hidungnya (Anonim, 2009 A). Pada tahap ini vagina pada
mencit betinapun membengkak dan berwarna merah. Tahap estrus pada mencit terjadi dua
tahap yaitu tahap estrus awal dimana folikel sudah matang, sel-sel epitel sudah tidak berinti,
dan ukuran uterus pada tahap ini adalah ukuran uterus maksimal, tahap ini terjadi selama 12
jam. Lalu tahap estrus akhir dimana terjadi ovulasi yang hanya berlangsung selama 18 jam.
Jika pada tahap estrus tidak terjadi kopulasi maka tahap tersebut akan berpindah pada tahap
matesterus ( A.Tamyis, 2008).
2. Fase Metestrus
Pada tahap metestrus birahi pada mencit mulai berhenti, aktivitasnya mulai tenang, dan
mencit betina sudah tidak reseptif pada jantan. Ukuran uterus pada tahap ini adalah ukuran
yang paling kecil karena uterus menciut. Pada ovarium korpus luteum dibentuk secara aktif,
terdapat sel-sel leukosit yang berfungsi untuk menghancurkan dan memakan sel telur
tersebut. Fase ini terjadi selama 6 jam. Pada tahap ini hormon yang terkandung paling banyak
adalah hormon progesteron yang dihasilkan oleh korpus leteum (A.Tamyis, 2008).
3. Fase Diestrus
Tahap selanjutnya adalah tahap diestrus, tahap ini terjadi selama 2-2,5 hari. Pada tahap ini
terbentuk folikel-folikel primer yang belum tumbuh dan beberapa yang mengalami
pertumbuhan awal. Hormon yang terkandung dalam ovarium adalah estrogen meski
kandungannya sangat sedikit. Fase ini disebut pula fase istirahat karena mencit betina sama
sekali tidak tertarik pada mencit jantan. Pada apusan vagina akan terlihat banyak sel epitel
berinti dan sel leukosit. Pada uterus terdapat banyak mukus, kelenjar menciut dan tidak aktif,
ukuran uterus kecil, dan terdapat banyak lendir (A.Tamyis, 2008).
4. Fase Proestrus
Pada fase proestrus ovarium terjadi pertumbuhan folikel dengan cepat menjadi folikel
pertumbuhan tua atau disebut juga dengan folikel de Graaf. Pada tahap ini hormon estrogen
sudah mulai banyak dan hormon FSH dan LH siap terbentuk. Pada apusan vaginanya akan
terlihat sel-sel epitel yang sudah tidak berinti (sel cornified) dan tidak ada lagi leukosit. Sel
cornified ini terbentuk akibat adanya pembelahan sel epitel berinti secara mitosis dengan
sangat cepat sehingga inti pada sel yang baru belum terbentuk sempuna bahkan belum
terbentuk inti dan sel-sel baru ini berada di atas sel epitel yang membelah, sel-sel baru ini
disebut juga sel cornified (sel yang menanduk). Sel-sel cornified ini berperan penting pada
saat kopulasi karena sel-sel ini membuat vagina pada mencit betina tahan terhadap gesekan
penis pada saat kopulasi. Perilaku mencit betina pada tahap ini sudah mulai gelisah namun
keinginan untuk kopulasi belum terlalu besar. Fase ini terjadi selama 12 jam. Setelah fase ini
berakhir fase selanjutnya adalah fase estrus dan begitu selanjutnya fase akan berulang
(A.Tamyis, 2008).
1. Fase proestrus
Ditandai dengan adanya sel-sel epitel normal. Terjadi pembentukan folikel sampai tumbuh
maksimum. Pertumbuahan folikel ini menghasilkan estrogen sehingga dinding uterus menjadi
lebih tebal dan halus serta lebih bergranula. Selain itu digetahkan cairan yang agak pekat
yang dinamakan cairan milk uteria. Struktur histologis epitel vagina pada fase proestrus
adalah sebagi berikut :
2. Fase estrus
Fase ini ditandai dengan :
Adanya sel-sel epitel menanduk.
Produksi estrogen akan bertambah dan terjadi ovulasi sehingga dinding mukosa uterus akan
menggembung dan mengandung sel-sel darah.
Pada fase ini folikel matang dan terjadi ovulasi dan betina siap menerima sperma dari jantan.
Sel-sel epitel menanduk merupakan indikator terjadinya ovulasi.
Menjelang ovulasi leukosit makin banyak menerobos lapisan mukosa vagina kemudian ke
lumen. Selama masa luteal pada ovarium dengan pengaruh hormon progesteron dapat
menekan pertumbuhan sel epitel vagina.
3. Fase Diestrus
Pada fase diestrus ditandai dengan adanya sel epitel normal dan banyak leukosit. .
4. Fase anestrus
Fase anestrus merupakan fase istirahat jika tidak terjadi fertilisasi atau kehamilan. Ditandai
dengan sel epitel normal atau sel epitel biasa dan sel epitel menanduk. Dimana lapisan
epiteliumnya 4-7 dan terdapat leukosit pada lapisan luar.
Kelinci
Induk kelinci memiliki sifat superovulasi dalam melepaskan sel telur, artinya dapat melepas
beberapa sel telur yang matang lebih dari satu secara serentak dari ovarium. Pada masa
folikuler (pembentukkan folikel), banyaknya bakal sel telur mengakibatkan kadar hormon
estrogen yang tinggi sehingga masa estrus pun terjadi. Masa estrus mengakibatkan adanya
ereksi pada bagian vagina dan vulva kelinci. Induk kelinci yang estrus akan memiliki bentuk
vagina yang bengkak, agak lembap dan merah tua karena banyaknya aliran darah. Proses
ovulasi pada kelinci tidak akan terjadi ketika tidak ada rangsangan dari pejantan. Ketika
pejantan melakukan coitus (bersetubuh), maka penis pejantan akan merangsang hormon LH
pada induk betina melalui reseptor mekanik sehingga ovulasi pun terjadi. Ketika sang induk
tidak dikawinkan, maka sel telur yang terdapat pada induk akan mengalami peluruhan. Masa
estrus pada kelinci akan berlangsung selama empat hari dan merupakan masa subur untuk
mengawinkan kelinci. Pada masa estrus, kelinci betina akan mengangkat punggung bagian
belakang ketika disentuh atau dielus di bagian tersebut.
Induk kelinci akan bunting selama kurang lebih 30 hari. Dari sisi tingkah laku
ternak, induk kelinci yang telah bunting tidak ingin melakukan coitus ketika dipindahkan ke
kandang pejantan dan terkadang mengeluarkan suara rintihan yang bersifat keengganan.
Induk kelinci akan berusaha menjauhi pejantan ketika sedang bunting. Di alam liar, induk
kelinci yang sedang bunting akan mencari ketenangan dan menjauhi pejantan dengan cara
menggali lubang dan membuat sarang di bawah tanah. Ketika induk kelinci bunting,
terkadang menjadi dilema bagi peternak, apakah induk benar-benar bunting atau tidak. Maka
peternak pun biasanya memeriksa induk kelinci setelah dua minggu untuk melihat apakah
fase estrus terjadi atau tidak. Dari hal ini perlu diwaspadai bagi para peternak untuk
mengawinkan induk kelinci kembali setelah dikawinkan sebelumnya. Fase pembentukkan
folikel pada kelinci bunting akan tetap terjadi sehingga menimbulkan gejala estrus. Ketika
umur embrio masih muda dan induk kelinci dikawinkan kembali, maka resiko keguguran
sangat tinggi dan meningkatkan stress bagi induk.
Pembentukkan folikel pada induk kelinci yang sedang bunting sehingga menimbulkan
gejala estrus disebut juga fase stadium mifase. Fase stadium mifase tidak hanya terjadi pada
kelinci, namun terkadang terjadi pula pada hewan ruminansia seperti sapi perah. Fase ini
terjadi karena perkembangan folikel tetap berjalan sehingga menghasilkan hormone estrogen.
Namun folikel yang berkembang tidak akan dapat mencapai optimal (de graff) karena
terdapat hormon progesterone yang bersifat menghambat fase folikuler untuk memelihara
kebuntingan. Pada masa bunting tua pun induk kelinci dapat mengalami fase stadium mifase.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa fase-fase pada hewan
percobaan adalah meliputi
1. Fase Estrus
2. Fase Metestrus
3. Fase Diestrus
4. Fase Proestrus
Mencit adalah hewan percobaan yang sering dan banyak digunakan di dalam laboratorium
farmakologi dalam berbagai bentuk percobaan. Hewan ini mudah ditangani dan bersifat
penakut, fotofobik, cenderung berkumpul sesamanya dan bersembunyi. Aktivitasnya di
malam hari lebih aktif. Kehadiran manusia akan mengurangi aktivitasnya.
- Cara Memegang mencit
Mencit dapat dipegang dengan memegang ujung ekornya dengan tangan kanan, biarkan
menjangkau / mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang). Kemudian tangan kiri
dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuknya seerat / setegang mungkin. Ekor
dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan jari manis tangan kiri.
Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan siap untuk diberi perlakuan.
- Cara Pemberian
Pemberian secara oral pada mencit dilakukan dengan alat suntik yang dilengkapi
jarum/kanula oral (berujung tumpul). Kanula ini dimasukkan ke dalam mulut, kemudian
perlahan-lahan diluncurkan melalui langit-langit ke arah belakang sampai esophagus
kemudian masuk ke dalam lambung. Perlu diperhatikan bahwa cara peluncuran/pemasukan
kanus yang mulus disertai pengeluaran cairan sediaannya yang mudah adalah cara
pemberian yang benar. Cara pemberian yang keliru, masuk ke dalam saluran pernafasan
atau paru-paru dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan kematian.
Mencit dipegang pada kulit punggungnya sehingga kulit abdomennya tegang, kemudian
jarum disuntikkkan dengan membentuk sudut 100 dengan abdomen pada bagian tepi
abdomen dan tidak terlalu ke arah kepala untuk menghindari terkenanya kantung kemih
dan hati.
Penyuntikkan dilakukan di bawah kulit pada daerah kulit tengkuk dicubit di antara jempol
dan telunjuk kemudian jarum ditusukkan di bawah kulit di antara kedua jari tersebut.
Penyuntikan dilakukan pada vena ekor. Hewan dimasukkan ke dalam kandang individual
yang sempit dengan ekor dapat menjulang ke luar. Dilatasi vena untuk memudahkan
penyuntikan, dapat dilakukan dengan pemanasan di bawah lampu atau dengan air hangat.
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Genus : Mus
METODE PERCOBAAN
III.1.1 Alat
1. Kandang mencit
III.1.2 Bahan
III.2.1 Kelinci
3. Dapat digunakan kotak atau kandang individu kelinci agar tidak banyak bergerak
III.2.1 Mencit
2. Mencit dibiarkan mencengkram alas penutup kandang yang kasar (kawat) sehingga
tertahan ditempat
3. Ibu jari dan jari telunjuk kiri menjepit kulit tenguk seerat mungkin
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
IV.2 Pembahasan
Hewan coba / hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan yang
khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan percobaan digunakan untuk
penelitian pengaruh bahan kimia atau obat pada manusia. Beberapa jenis hewan yang sering
dipakai dalam penelitian maupun praktikum yaitu:Kelinci (Oryctolagus cuniculus) Marmut
(Cavia parcellus), Mencit (Mus musculus), Tikus (Rattus novergicus).
Percobaan kali ini adalah membahas tentang bagaimana cara penanganan hewan coba
sebelum kita melakukan pemberian obat terhadap hewan coba maka dari itu kita harus
mengetahui bagaimana cara penanganan hewan coba yang baik dan benar terlebih dahulu.
Langkah awal dari percobaan ini adalah menyiapkan alat dan bahan. Setelah itu mulai
mempraktekkan cara memperlakukan hewan percobaan yang sebelumnya telah dijelaskan
oleh asisten. Hewan yang dipakai dalam percobaan ini adalah Kelinci (Oryctolagus
cuniculus) dan Mencit (Mus musculus).
Pertama-tama dilakukan perlakuan terhadap kelinci dengan cara dielus-elus bagian kepala
sampai bagian belakang tubuhnya agar kelinci tenang dan mudah di pegang. Kemudian
digenggam atau dipegang pada leher kelinci dengan tangan kanan. Lalu bagian pantat atau
bagian belakang ekornya dengan tangan kiri diangkat bersamaan dengan pegangan pada
lehernya dan langsung didekapkan di badan kita agar agar kelinci tidak mudah lepas atau
melompat. Setelah itu kelinci siap diberi perlakuan. Untuk percobaan tertentu pada hewan
coba kelinci, biasanya kelinci dimasukkan pada kotak percobaan agar tidak banyak bergerak
dan memudahkan peneliti atau praktikkan mengambil sampel misalnya darah kelinci.
Selain itu, kita tidak diperbolehkan sekali-kali memegang telinga kelinci pada saat
penanganan karena pada telinga kelinci syaraf dan pembuluh darahnya dapat terganggu
dan telinga kelinci juga sangat sensitif, sehingga bila telinganya dipegang, maka dapat
mempengaruhi system saraf pada kelinci.
Untuk mencit cara penanganannya adalah yang pertama ujung dari ekor mencit diangkat
dengan tangan kiri, dibiarkan mencit mencengkram alas penutup kandang yang kasar yang
berupa kawat sehingga tertahan ditempat, setelah itu mencit di elus-elus agar tenang dan
mudah dipegang. Kemudian ibu jari kita dan jari telunjuk kanan menjepit tengkuk mencit
seerat mungkin tetapi tidak boleh terlalu kencang karena mencit terlalu kecil selanjutnya
ekor mencit dipindahkan, dijepit di antara jadi manis dan kelingking tangan kanan dengan
demikian, mencit yang telah terpegang oleh tangan kanan siap untuk diberi perlakuan.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai macam hewan uji digunakan di
laboratorium, seperti Mencit (Mus musculus) yang memerlukan penanganan khusus. Cara
perlakuan hewan coba seperti mencit awalnya harus diperhatikan kondisi dari hewan coba
tersebut agar hewan coba tidak mengalami stres. Untuk perlakuan mencit awalnya ujung
ekor mencit diangkat dengan tangan kanan ataupun kiri ( tergatung kenyamanan praktikan
dalam memegang mencit ). Selanjutnya telunjuk dan ibu jari tangan kiri menjepit kulit
tengkuk, sedangkan ekornya tetap dipegang dengan tangan kanan (ataupun sebaliknya).
Kemudian, posisi tubuh mencit dibalikkan, sehingga permukaan perut menghadap kita dan
ekor dijepitkan diantara jari manis dan kelingking tangan kiri. Sedangkan untuk kelinci
awalnya dipegang kulit tengkuknya, kemudian pantat diangkat dengan tangan kanan dan
didekapkan ke badan.
V.2 SARAN
Sebaiknya dalam menangani hewan coba perlu diperhatikan etika-etika penanganan hewan
coba di laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA
Gan Gunawan, Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta: FK-UI
Tim Dosen. 2011. Penuntun Praktikum Farmakologi dan Toksikologi. Makassar: AKFAR
YAMASI