Anda di halaman 1dari 45

ETIOLOGI NEMATHELMINTHES PARASIT

(Trichinella spiralis, Oxyuris vermicularis, dan


filariasis)

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah


Parasitologi

Yang diampu oleh Sofia Ery Rahayu, S.Pd., M.Si. dan Nur’Aini
Kartikasari,

S.Si.,M.Sc

Disusun oleh

Kelompok 2 / Offering G-K

1. Ainul Mardiah (180342618063)

2. Awil Endar Pramesti (180342618095)

3. Ikfi Nihayatul Mufidah (180342618037)


UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGAM STUDI S1 BIOLOGI

September 2020

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, penyusun panjatkan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penyusun, sehingga


penyusun

dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Etiologi Nemathelminthes


Parasit

(Trichinella Spiralis, Oxyuris Vermicularis, dan Filariasis)” dengan baik.

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah


Parasitologi.

Makalah ini disusun dengan maksimal dan mendapatkan dukungan


serta

bantuan dari berbagai pihak, sehingga memperlancar pembuatan makalah


ini.

Penyusun menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang


telah

berkontribusi dalam pembuatan makalah ini, antara


lain:

1. Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah melindungi, memberikan Rahmat


dan

juga Hidayah-Nya kepada


penyusun,

2. Ibu Sofia Ery Rahayu, S.Pd., M.Si. dan Nur’Aini Kartikasari, S.Si.,M.Si.

selaku dosen pengampu parasitologi yang telah membimbing, membina,


dan
memberikan ilmunya kepada
penyusun,

3. Para pembaca, selaku konsumen baca dari makalah yang telah


penyusun buat.

Terlepas dari itu semua, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa


masih

ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh

karena itu kami menerima segala saran dan kritik agar penyusun dapat

memperbaiki makalah ini menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga makalah ini

memberikan informasi bagi pembaca, bermanfaat untuk pengembangan


wawasan

dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita


semua.

Malang, 13 September 2020

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR ............................................................................................. 1

DAFTAR
ISI ............................................................................................................ 2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar
Belakang ................................................................................... 3

1.2
Tujuan ................................................................................................
4

BAB II PEMBAHASAN

2.1
Trikinosis ...........................................................................................
5

2.2
Enterobiasis .....................................................................................
10

2.3
Filariasis...........................................................................................
17

BAB III PENUTUP

3.1
Simpulan ..........................................................................................
24

3.2
Saran ................................................................................................
25

DAFTAR
RUJUKAN ............................................................................................ 26
2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penyakit infeksi yang disebabkan cacing parasit merupakan salah satu

masalah kesehatan yang dihadapi oleh Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
letak

geografis Indonesia yang termasuk iklim tropis dan kelembaban udara tinggi
di

Indonesia yang merupakan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan


cacing

(Yatim, 2012). Penyakit infeksi yang disebabkan cacing parasit merupakan

penyakit paling umum yang menyerang kelompok masyarakat ekonomi


bawah

dan dapat ditemukan pada berbagai usia. Selain itu, kondisi sanitasi
lingkungan

serta kebersihan perorangan yang buruk dan rendahnya pengetahuan


masyarakat

terhadap penyakit infeksi ini juga menjadi penyebab meluasnya penularan

penyakit ini.

Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing parasit adalah

trikinosis, enterobiasis, dan filariasis. Penyakit ini diakibatkan oleh cacing


parasit

dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi menggrogoti kesehatan


tubuh

manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan


masyarakat

(Zulkoni, 2011). Ketiga penyakit tersebut disebabkan oleh cacing yang


termasuk
nemathelminthes bersifat parasit. Etiologi ketiga nemathelminthes parasit
tersebut

akan dibahas pada makalah


ini.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana siklus hidup, predileksi, patologi, stadium infektif, hospes,

prevalensi, epideminologi, diagnosis, terapi, dan peran dari cacing


yang

menyebabkan penyakit trikinosis?

b. Bagaimana siklus hidup, predileksi, patologi, stadium infektif, hospes,

prevalensi, epideminologi, diagnosis, terapi, dan peran dari cacing


yang

menyebabkan penyakit
enterobiasis?

c. Bagaimana siklus hidup, predileksi, patologi, stadium infektif, hospes,

prevalensi, epideminologi, diagnosis, terapi, dan peran dari cacing


yang

menyebabkan penyakit filariasis?

1.3 Tujuan

a. Mengetahui siklus hidup, predileksi, patologi, stadium infektif, hospes,

prevalensi, epideminologi, diagnosis, terapi, dan peran dari cacing


yang

menyebabkan penyakit trikinosis.

b. Mengetahui siklus hidup, predileksi, patologi, stadium infektif, hospes,

prevalensi, epideminologi, diagnosis, terapi, dan peran dari cacing


yang
menyebabkan penyakit
enterobiasis.

c. Mengetahui siklus hidup, predileksi, patologi, stadium infektif, hospes,

prevalensi, epideminologi, diagnosis, terapi, dan peran dari cacing


yang

menyebabkan penyakit filariasis.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Trikinosis

Cacing kelas nematoda, Trichinella spiralis dapat menyebabkan


penyakit

trikinelosis atau trikinosis. Trikinosis adalah infeksi cacing gelang atau


cacing

gilig pada usus dan otot. Trichinella spiralis menginfeksi melalui konsumsi

daging kurang matang yang terkontaminasi larva cacing dan terutama


terdapat

dalam daging babi dan produk-produknya (Scully & Emeritus,


2014).

Berikut adalah morfologi, siklus hidup, predileksi, patologi, stadium

infektif, hospes, prevalensi, epidemiologi, diagnosis, terapi, dan peran dari

cacing yang menyebabkan


Trikinosis:

a. Morfologi Trichinella spiralis

Cacing dewasa Trichinella spiralis memiliki bagian kepala dengan


stylet

mulut untuk menembus jaringan usus atau otot. Bagian anterior langsing,

bermulut kecil. Cacing betina memiliki ukuran 3-4 x 0,06 mm, ujung
posterior

bulat tumpul, dan vulva terdapat di seperlima anterior tubuh. Sedangkan


untuk

cacing jantan berukuran 1,5x 0,04 mm, ujung posterior melengkung ke


depan

dengan 2 umbai berbentuk lobus. Cacing jantan tidak memiliki spikulum


dan

diganti oleh vas defferens yang dapat dikeluarkan sebagai alat kopulasi.
Sedangkan larva Trichinella spiralis bagian anteriornya meruncing tajam

seperti tombak (Pratiwi, dkk., 2019). Cacing betina tidak bertelur melainkan

melahirkan larva (vivipar) (Soedarto,


2003).

b. Siklus Hidup Trichinella


spiralis

Siklus hidup Trichinella spiralis dimulai ketika manusia atau hewan

memakan daging yang terkontaminasi kista yang mengandung larva


infektif

yang hidup. Setelah masuk dalam lambung, cairan pencernaan (pepsin


dan

asam klorida) melarutkan kista seperti kapsul dan melepaskan larva yang

masuk ke usus halus, di mana mereka menyerang epitel kolumnar. Larva

berkembang menjadi dewasa kemudian melakukan perkawinan. Cacing


betina

dapat menghasilkan 500–1.500 larva yang baru lahir selama masa


hidupnya,

sebelum dikeluarkan oleh sistem kekebalan tubuh. Fase migrasi dari


infeksi

dimulai saat larva baru lahir tersebut masuk ke jaringan, masuk limfatik
dan

kemudian masuk ke sirkulasi di saluran toraks. Larva ini didistribusikan


secara

luas di jaringan melalui sirkulasi dan akhirnya melewati kapiler (darah kecil

pembuluh darah) ke dalam serat otot, yang menginisiasi fase otot infeksi.
Saat

sampai di serabut otot, akan berhenti dan mengalami perkembangan,


menjadi

infektif dalam 15 hari dan bertahan selama berbulan-bulan hingga


bertahun-

tahun (Mitreva & Jasmer, 2006).

Nurse cell merupakan sel yang terinfeksi oleh larva L1 dari Trichinella

dan sel otot yang terinfeksi ini dijadikan sebagai tempat


perkembangannya.

Infeksi sel otot rangka oleh Trichinella dapat menyebabkan miopati,


miositis,

dan inflamasi pada sel otot rangka. Inflamasi kronis yang terjadi biasa

disebabkan oleh proses dan reaksi yang dilakukan oleh sistem imun inang

seperti sel neutrofil, eosinofil, makrofag, dan limfosit T yang memicu

kerusakan pada jaringan otot. Gejala lain yang dapat timbul adalah
kelemahan

otot, nyeri, dan atrofi. Setelah menginvasi sel otot rangka, Trichinella
spiralis

dapat bisa menipu sel imun melalui masuk ke dalam sel otot dan
membentuk

niche atau nurse cell. Di dalam niche ini juga terdapat sel CD4+ dan CD8+

yang menyebabkan inflamasi kronis tersebut. Proses inflamasi ini ditandai

dengan produksi ROS dan radikal bebas lainnya (Mitreva & Jasmer,
2006).
Gambar 2.1 Siklus hidup Trichinella spiralis (Mitreva & Jasmer,
2006).

c. Predileksi

Setelah memakan daging yang terinfeksi Trichinella spiralis, habitat


atau

predileksi larva Trichinella spiralis hingga berkembang menjadi dewasa


berada

dalam usus. Setelah terjadi perkawinan, larva yang baru lahir akan keluar

melalui sirkulasi darah dan menyebar dalam jaringan dan organ termasuk
di

otot seperti otot masseter, gastrocnemius, deltoid dan diafragma dimana

mereka tumbuh dan berkembang sehingga menyebabkan berbagai gejala


klinis

pada otot (Scully & Emeritus, 2014).

d. Patologi

Larva dan bentuk dewasa dari Trichinella spiralis menginfeksi manusia

sebagai hospes definitive dan sebagai hospes intermediet ketika larva


sudah

berada dalam otot. Setelah memakan daging yang terinfestasi, larva

berkembang menjadi dewasa dalam usus. Setelah terjadi perkawinan,


larva

yang baru lahir akan keluar melalui sirkulasi darah dan menyebar dalam

jaringan dan organ termasuk di otot seperti otot masseter, gastrocnemius,

deltoid dan diafragma dimana mereka tumbuh dan berkembang sehingga

menyebabkan berbagai gejala klinis pada otot (Scully dan Emeritus,


2014).

Gejala klinis trikinelosis ada 2 tahap yaitu tahap di saluran cerna pada

minggu pertama sampai kedua setelah infeksi cacing terjadi dan


menyebabkan

muntah dan diare. Kemudian tahap kedua adalah tahap di otot dengan
gejala

edema periorbita, mialgia, kelemahan otot, dan bisa menyebabkan


miokarditis.

Tahap di otot ini bisa terjadi selama 2-4 minggu dan pada infestasi yang
berat

bisa sampai 6 bulan.

e. Stadium Infektif

Stadium infektif yaitu tahapan parasit menginfeksi hospes atau


inangnya.

Stadiuim infektif cacing Trichinella spiralis yaitu pada saat kista berisi larva

infektif yang masih hidup tertelan manusia. Setelah kista masuk ke dalam

lambung, terjadi ekskistasi dan larva yang keluar kemudian masuk


kedalam

mukosa usus dan berkembang hingga menjadi dewasa (Makimian,


1996).

f. Hospes Hospes yaitu inang yang ditempati parasit untuk bertahan hidup.

Hospes

yang dimiliki Trichinella spiralis cukup banyak karena dapat menginfeksi

lebih dari 150 spesies hewan termasuk manusia (Bai, dkk., 2017). Hospes

Trichinella spiralis selain menginfeksi manusia, cacing ini juga menginfeksi

mamalia lain seperti tikus, kucing, anjing, babi, beruang dan lain-lain

(Onggowaluyo, 2001).

g. Prevalensi

Trichinella spiralis dapat menginfeksi lebih dari 150 spesies hewan


termasuk manusia (Bai, dkk., 2017). Prevalensi trikinosis lebih banyak

menjangkiti inang babi. Jika pada manusia, International Commission on

Trikinelosis (ICT) melaporkan terdapat 65.818 kasus trikinosis pada


manusia

dari tahun 1986 sampai 2009 (Murrell & Pozio, 2011). Pasien dengan

leukositosis atau eosinophilia memiliki resiko 1,75 dan 2,06 kali lebih besar

terkena penyakit ini. Kebiasaan mengkonsumsi daging mentah atau


kurang

matang meningkatkan resiko terjangkit penyakit trikinosis sedang atau


parah

hingga 1,67 kali lebih besar (Rostami, dkk.,


2017).

h. Epidemiologi

Cacing Trichinella spiralis tersebar di seluruh dunia (kosmopolit),

terutama daerah beriklim sedang. Selain menginfeksi manusia, cacing ini


juga

menginfeksi mamalia lain seperti tikus, kucing, anjing, babi, beruang dan
lain-

lain (Onggowaluyo, 2001). Produk daging babi merupakan sumber


potensial

manusia tertular trikinosis. Namun, herbivora dapat juga menularkan ke

manusia.

Rodent terbukti sebagai sumber trikinosis dari babi. Infeksi Trichinella

spiralis biasanya ditemukan pada timbunan tikus yang mati di rumput


makanan

dengan ternak. Babi maupun herbivora lain dapat terinfeksi dan karena

memakan rumput yang terkontaminasi Trichinella spiralis. Manusia

mempunyai risiko tertular pada saat penanganan rumput di peternakan.


Hasil

penelitian laboratorium oleh L Oivanen et.al, Trichinella spiralis mampu


bertahan dalam bangkai tikus selama 4 minggu, 2 minggu kemudian
hanya

ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil atau berkurang. Setelah 6


minggu,

pada daging tikus yang telah membusuk tidak ditemukan adanya


Trichinella

spiralis (Astuti & Widiastuti, 2009). Sumber lain menyebutkan bahwa pada

keadaan alami, siklus hidup cacing ini dapat berlangsung diantara


kelompok

tikus yang kanibalis. Babi juga dapat terinfeksi akibat makan sampah yang

mengandung daging tikus mati (Soedarto,


2003).

Tiga gejala paling sering dtemukan yang membantu diagnosis


trikinosis

yaitu mialgia, edema, dan demam. Namun demikian, untuk secara akurat

menetapkan diagnosis, gejala-gejala perlu dihubungkan dengan data

epidemiologi, hasil anamnesis, dan uji laboratorium. Pemeriksaan


laboratorium

khususnya penting untuk memvalidasi tingkat keparahan trikinosis


(Rostami,

dkk., 2017).

i. Diagnosis

Selain gejala klinis, trikinosis membutuhkan pemeriksaan penunjang

untuk diagnosis seperti pemeriksaan laboratorium, serologi, dan biopsi.

Diagnosis trikinosis harus berdasarkan anamnesis (misalnya riwayat


konsumsi

daging mentah), gejala dan tanda klinis, dan pemeriksaan laboratorium

(immunodiagnosis atau biopsi otot). Pemeriksaan serologis dilakukan


dengan

tehnik Bentonite Flocculation Test (BFT) dan dan ELISA (Sandjaja,


2007).

Teknik diagnostik yang paling sering digunakan adalah enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA) dengan antigen ekskretorik atau sekretorik


yang

memiliki rasio tertinggi antara sensitivitas dan spesifisitas, paling baik

digunakan pada kombinasi dengan Western blot untuk mengkonfirmasi


hasil

ELISA positif. Larva Trichinella spiralis dapat dideteksi pada biopsi dengan

kompressorium, digesti HCl-pepsin, atau analisis histologis. Pengambilan

biopsi otot jarang dilakukan karena terbilang mahal, invasif, dan


menyebabkan

nyeri (Pozio, 2018). Diagnosis pasti trichinosis dapat ditetapkan apabila


dapat

ditemukan cacing dewasa atau larva cacing pada tinja penderita pada
waktu

mengalami diare (Soedarto,


2003).

j. Terapi Dua obat pilihan dari Trikinosis yakni mebendazole (25 mg/kgBB dua

hingga tiga kali sehari selama 15 hari) dan albendazole (20 mg/kgBB dua

hingga tiga kali sehari selama 15 hari). Kortikosteroid digunakan untuk

pengobatan simptomatis (misal prednisolon 30-60 mg per hari) dan harus

selalu dikombinasikan dengan antihelmintik. Namun kewaspadaan perlu

diterapkan karena adanya kemungkinan shock anafilaktik (Pozio,


2018).

k. Peranan

Perannya dalam kehidupan sehari-hari terdapat peran negatif dan


positif.
Peran negatifnya adalah penyebab penyakit trikinosis. Sedangkan peran

positifnya adalah untuk bahan penelitian sehingga masyarakat akan dapat

mencegah dan menangani penyakit


trikinosis.

2.2 Enterobiasis

Enterobiasis atau oxyuriasis adalah penyakit akibat infeksi cacing

Enterobiosis vermicularis atau Oxyuris vermicularis. Penyakit enterobiasis

(oxyuris) ini lebih dikenal dengan penyakit cacing kremi. Penyakit ini

utamanya menyerang anak-anak. Penyakit ini ditemukan kosmopolit dan

tersebar luas di seluruh dunia baik di negara maju maupun negara


berkembang.

Prevalensi enterobiasis lebih tinggi pada anak usia 6-8 tahun dan masih

menjadi masalah kesehatan yang penting pada anak-anak usia sekolah


dasar

(Al-Shadood, 2015).

Berikut adalah morfologi, siklus hidup, predileksi, patologi, stadium

infektif, hospes, prevalensi, epidemiologi, diagnosis, terapi, dan peran dari

cacing yang menyebabkan


Enterobiasis:

a. Morfologi Oxyuris
vermicularis

Telur cacing Enterobius vermicularis atau cacing kremi memiliki bentuk

lonjong tetapi asimetris, dimana satu sisi berbentuk datar, satu sisi
lawannya

cembung. Ujung telurnya membulat (tidak lancip). Telur cacing Enterobius

vermicularis memiliki dinding yang tebal tetapi jernih atau transparan.


Lapisan

telur yang paling luar adalah lapisan albumin, yang membuat telur mudah

melekat satu sama lain (Adrianto& Wartiningsih,


2019).

Gambar 2.2 Morfologi telur cacing Enterobius vermicularis


(Adrianto&

Wartiningsih, 2019).

Cacing Enterobius vermicularis pada stadium dewasa memiliki dua

kelamin terpisah, yaitu kelamin jantan dan kelamin betina. Perbedaan


cacing

jantan dan betina adalah ukuran tubuh dan ujung ekornya. Pada cacing
jantan

10

memiliki tubuh yang lebih kecil dari cacing betina, dan ekornya melingkar
ke

arah ventral, berbeda dengan cacing betina yang berukuran lebih besar
dan

panjang dari cacing jantan, selain itu cacing betina memiliki ujung ekor
yang

lancip seperti jarum (pin). Kepala cacing memiliki pelebaran lapisan


kutikula

seperti sayap di sebelah kanan dan kiri kepala, yang disebut cervical alae.

Cacing memiliki bulbus esofagus (Adrianto & Wartiningsih,


2019).
Panjang tubuh cacing Enterobius vermicularis betina adalah 8-13 mm,

sedangkan panjang tubuh cacing jantan adalah 2-5 mm lebih kecil dan
pendek

dari cacing betina. Pada cacing jantan memiliki organ kelamin yang
disebut

testis, sedangkan cacing betina memiliki vulva dan uterus. Uterus cacing
penuh

mengandung telur cacing. Cacing betina mengeluarkan 10.000 telur fertil


di

daerah perianal (Sung et al., 2001). Vulva cacing betina terletak di


setengah

tubuh cacing. Cacing jantan memiliki copulatory spicula (Adrianto&

Wartiningsih, 2019).

Gambar 2.3 Perbedaan morfologi cacing jantan dan betina


(Adrianto&
Wartiningsih, 2019).

11

b. Siklus Hidup Oxyuris


vermicularis

Infeksi enterobiasis yang disebabkan oleh cacing Enterobiosis

vermicularis dimulai setelah manusia menelan telur cacing. Penularan


melalui

jari tangan, kuku tangan, atau makanan yang terkontaminasi. Siklus hidup

Enterobiosis vermicularis hanya membutuhkan waktu dua hingga empat

minggu untuk telur berkembang menjadi cacing dewasa (Li,


2008).

Menurut Paniker (2018), siklus hidup cacing Enterobiosis vermicularis

sebagai berikut. Cacing Enterobiosis vermicularis masuk secara oral


(melalui

mulut) atau saluran pernapasan (melalui hidung) kemudian masuk ke


saluran

pencernaan. Setelah sampai di usus halus, telur menetaskan larva. Larva

berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina di lumen caecum.

Cacing jantan dan betina akan melakukan perkawinan dan terjadi fertilisasi

(pembuahan). Setelah pembuahan, cacing betina bermigrasi dari kolon ke

rektum. Pada malam hari, cacing betina bergerak ke daerah perianal di


mana

kontak udara merangsang cacing betina untuk bertelur. Cacing jantan mati

setelah kawin dan keluar bersama


tinja.

Kehadiran cacing Enterobiosis vermicularis betina menyebabkan rasa

gatal di daerah perianal. Aktivitas menggaruk akan memudahkan transfer


telur
cacing ke kuku jari dan memungkinkan proses transmisi telur ke mulut.
Pada

akhirnya kembali perjalanan infeksi kembali terulang (autoinfeksi). Di sisi


lain,

dalam waktu 4-6 jam kondisi optimal, telur akan menjadi infektif dan

menetaskan larva. Larva cacing yang menetas di perianal dapat kembali


masuk

ke anus dan berkembang menjadi cacing dewasa di kolon. Dengan

berkembangnya menjadi cacing dewasa, perjalanan infeksi kembali


terulang

lagi. Model penularan ini disebut retroinfeksi. Dengan demikian penularan

cacing dapat terjadi melalui 4 cara, yaitu masuk secara oral (mulut),
inhalasi,

autoinfeksi dan retroinfeksi (Paniker,


2018).

12
Gambar 2.4 Siklus hidup Enterobiosis vermicularis (Adrianto &
Wartiningsih,

2019).

c. Predileksi

Saat sampai di usus halus, predileksi Enterobiosis vermicularis saat di

usus halus, karena telur menetaskan larva disana. Larva berkembang


menjadi

cacing dewasa jantan dan betina di lumen caecum. Cacing jantan dan
betina

akan melakukan perkawinan dan terjadi fertilisasi (pembuahan). Setelah

pembuahan, cacing betina bermigrasi dari kolon ke rektum. Saat malam,


cacing

betina bergerak ke daerah perianal. Larva cacing yang menetas di perianal

dapat kembali masuk ke anus dan berkembang menjadi cacing dewasa di


kolon

(Adrianto& Wartiningsih, 2019).

d. Patologi

Infeksi enterobiasis terjadi akibat tertelannya telur cacing Enterobiosis

vermicularis. Penularan cacing Enterobiosis vermicularis dapat terjadi


pada

satu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup di lingkungan yang


sama.

Cacing Enterobiosis vermicularis dapat dilihat dengan mata telanjang pada

anus penderita, terutama dalam waktu 1-2 jam setelah anak tertidur pada

13

malam hari. Cacing Enterobiosis vermicularis berwarna putih dan setipis

rambut, mereka aktif bergerak (Anjarsari,


2018).

Cacing Enterobiosis vermicularis masuk melalui mulut atau saluran


pernapasan kemudian menuju ke saluran pencernaan. Setelah sampai di
usus

halus, telur menetaskan larva. Larva berkembang menjadi cacing dewasa

jantan dan betina di lumen caecum. Cacing jantan dan betina akan
melakukan

perkawinan dan terjadi fertilisasi (pembuahan). Setelah pembuahan,


cacing

betina bermigrasi dari kolon ke rektum. Pada malam hari, cacing betina

bergerak ke daerah perianal di mana kontak udara merangsang cacing


betina

untuk bertelur. Cacing jantan akan mati setelah kawin dan keluar bersama
tinja

(Adrianto & Wartiningsih, 2019).

Kehadiran cacing Enterobiosis vermicularis betina menyebabkan rasa

gatal di daerah perianal. Aktivitas menggaruk akan memudahkan transfer


telur

cacing ke kuku jari dan memungkinkan proses transmisi telur ke mulut.


Pada

akhirnya kembali perjalanan infeksi kembali terulang, yang disebut


autoinfeksi.

Di sisi lain, dalam waktu 4-6 jam kondisi optimal, telur akan menjadi infektif

dan menetaskan larva. Larva cacing yang menetas di perianal dapat


kembali

masuk ke anus dan berkembang menjadi cacing dewasa di kolon. Dengan

berkembangnya menjadi cacing dewasa, perjalanan infeksi kembali


terulang

lagi. Model penularan ini disebut retroinfeksi. Dengan demikian penularan

cacing dapat terjadi melalui 4 hal, yaitu masuk secara oral (mulut),
inhalasi,

autoinfeksi dan retroinfeksi (Adrianto & Wartiningsih,


2019).
Gejala utama enterobiasis adalah iritasi di sekitar perianal yang

menyebabkan penderita sering menggaruk (anus atauvagina) sehingga


terjadi

luka. Selain itu terdapat gangguan tidur berupa mimpi buruk, gigi
menggertak,

penurunan nafsu makan, cepat tersinggung dan marah, terjadi insomnia


dan

gelisah. Infeksi berat pada wanita dapat menyebabkan keluarnya cairan


mukoid

dari vagina, uterus dan tuba fallopi (Anjarsari,


2018).

e. Stadium Infektif

Stadium infektif berupa telur cacing yang berada di kuku jari yang
dapat

masuk ke mulut. Manusia dapat terinfeksi jika telur yang infektif ini tertelan.

Selain itu, larva cacing yang menetas di perianal juga bersifat infektis. Hal
ini

14

karena larva cacing dapat kembali masuk ke anus dan berkembang


menjadi

cacing dewasa di kolon (Adrianto & Wartiningsih,


2019).

f. Hospes Hospes definitif dari cacing Enterobiosis vermicularis adalah

manusia.

Cacing Enterobiosis vermicularis tidak memiliki hospes intermediet atau

perantara. Ukuran cacing Enterobiosis vermicularis dapat dilihat langsung

dengan mata telanjang (Adrianto & Wartiningsih,


2019).
g. Prevalensi

Prevelansi kecacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat


tinggi

yaitu sebesar 60%-80%. Hasil survei kecacingan pada siswa sekolah


dasar di

Indonesia tahun 2013 di 175 kabupaten/kota menunjukkan bahwa angka

kecacingan tertinggi yakni 85,9% dengan rata-rata prevalensi 28,12%

(Anjarsari, 2018). Menurut (Li et al., 2015) menyebutkan bahwa usia 2-6
tahun

lebih mudah terinfeksi cacing kremi dibandingkan usia yang lebih tua, 7-12

tahun, dengan nilai OR= 1.63. Jika dianalisis per tahunnya, maka anak-
anak

dengan usia 4 tahun memiliki prevalensi paling tinggi sebesar 65,66%,


disusul

usia 6 tahun sebesar 59,89%, kemudian usia 5 tahun dengan prevalensi


sebesar

57,59%. Usia 9 tahun juga memiliki prevalensi tinggi yang mirip dengan

prevalensi enterobiasis pada anak usia 6 tahun, yaitu sebesar


59,70%.

h. Epidemiologi

Epidemiologi enterobiasis tersebar di seluruh dunia (kosmopolit),


terlebih

di Asia. Di Indonesia sendiri, khususnya kota Surabaya, menurut (Adrianto


&

Wartiningsih, 2019).melaporkan bahwa ada 20 anak dari 47 anak yang


diteliti

yang positif terinfeksi enterobiasis, terinci kelas IV ada 7 anak dan kelas V
ada

13 anak.

Infeksi enterobiasis ini sangat umum terjadi dan penularannya sangat


mudah (kontaminasi dari anus ke mulut, pakaian tidur yang kotor, telur-
telur

yang berada di udara, mainan anak-anak, dan benda-benda lainnya).

Peningkatan kesehatan perorangan dan kelompok digabung dengan terapi

kelompok dapat membantu pencegahan. juga dianjurkan pada anak-anak


untuk

tidur dengan pakaian tertutup, dan menjaga kuku tetap pendek dan bersih.
Hal

ini disarankan untuk tidak memakan sesuatu yang telah jatuh tanpa
mencucinya

sampai bersih terlebih dahulu agar infeksi melalui mulut dapat


dihindari.

15

i. Diagnosis

Diagnosis laboratoriumn dilakukan dengan pemeriksaan anal swab.


Anal

swab ditempel pada daerah anus pada pagi hari sebelum penderita mandi
atau

buang air besar. Jika penderita sudah mandi, telur cacing sudah hilang
karena

jatuh bersama air. Anal swab berbentuk batang gelas atau spatel lidah
yang

ujungnya dilekatkan dengan scoth adhesive tape. Telur-telur cacing kremi


yang

berada di daerah anus akan menempel pada scoth adhesive tape. Setelah
itu

dilepas dan dicat dengan pewarna toluol, lalu diamati di bawah mikroskop

cahaya. Sedangkan diagnosis dengan cara manual, dapat dilakukan


melalui

aktivitas penderita yang menggaruk daerah anal di malam hari karena


gatal

(Adrianto & Wartiningsih, 2019).

j. Terapi Dalam ranah preventif kejadian cacingan, pengobatan dilakukan

dengan

frekwensi kurang dari 6 bulan sekali, sedangkan dalam ranah kuratif


dilakukan

sesuai indikasi dan petunjuk medis (Cholifah,


2016).

Menurut (Adrianto & Wartiningsih, 2019) ialah dengan mengonsumsi

First Drug Choice, yakni Pirantel Pamoat (yang lainnya adalah


mebendazole

dan alternatif lainnya lagi adalah albendazole). Cara kerja obat adalah

mendepolarisasi senyawa penghambat neuromusular dan menghambat

asetilkolin esterase pada cacing sehingga paralisis (lumpuh) maka cacing


akan

terekskresi bersama tinja dengan mudah. Bentuk obat bisa dalam bentuk

suspensi atau tablet.

k. Peran Perannya dalam kehidupan sehari-hari terdapat peran negatif dan

positif.

Peran negatifnya adalah penyebab penyakit enterobiasis, yakni penderita

cacingan memiliki dampak dapat mengalami kurang gizi, anemia juga

gangguan saluran pencernaan. Akibatnya akan mengalami penurunan


daya

tahan tubuh. Sedangkan peran positifnya adalah untuk bahan penelitian

sehingga masyarakat akan dapat mencegah dan menangani penyakit

enterobiasis.
16

2.3 Filariasis

Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh


cacing

filarial. Penyakit ini menampakkan gejala demam berulang dan


peradangan

kelenjar limfe. Pada tingkat lanjut akan terjadi penyumbatan pada saluran

kelenjar limfe dan dapat menimbulkan pecahnya saluran pada area

penyumbatan tersebut sehingga akan menimbulkan gejala

filariasis/elephantiasis (kaki gajah). Filariasis merupakan jenis penyakit

reemerging desease, yaitu penyakit yang dulunya sempat ada, kemudian


tidak

ada dan sekarang muncul


kembali.

Filariasis banyak berjangkit secara endemik di daerah-daerah dataran

rendah. Di Indonesia terdapat 3 spesies cacing filaria yang penting, yakni:

Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Vektor penular

penyakit filaria diantaranya sebagai


berikut:

Tabel 2.1 Berbagai spesies nyamuk vektor filariasis (Sumanto,


2016).

Brugia malayi Brugia timori Wuchereria bancrofti

Mansonia uniformis Anopheles barbirostris


Anopheles barbirostris Anopheles farauti
Mansonia Indiana
Anopheles subpictus
Mansonia annulata
Anopheles aconitus
Mansonia dives
Culex fatigans

Jenis nyamuk yang berbeda memiliki kesukaan hidup (bionomik) yang


berbeda pula. Kondisi yang sangat bervariasi ini dapat menjadi
penghambat

program pemberantasan. Upaya mengenali jenis nyamuk yang menjadi


vektor

di suatu wilayah merupakan tindakan yang penting dan diperlukan agar

program pemberantasan vektor penyebab filariasis lebih efisien dan efektif

(tepat sasaran, waktu, dan tempat). Mengingat sifat penyakit filariasis


adalah

kronis atau menahun, seorang penderita dapat menjadi sumber penularan


dalam

waktu yang lama (Sumanto,


2016).

Upaya pemberantasan vektor penular harus didahului dengan


identifikasi

jenis nyamuk yang berperan sebagai vektor pada daerah tersebut,


selanjutnya

baru dicermati sifat bionomik dari jenis nyamuk sehingga dapat ditentukan

upaya pemberantasan yang


tepat.

17

a. Morfologi

Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk.

Cacing dewasa disebut makrofilaria hidup di saluran dan kelenjar limfe,

sedangkan anaknya disebut mikrofilaria ada dalam sistem peredaran


darah

(Sumanto, 2016).

1) Makrofilaria

Makrofilaria/cacing dewasa berbentuk silindris, halus seperti benang


berwarna putih susu dan hidup didalam sistem limfe. Cacing betina
bersifat

ovovipar dan berukuran 55 -100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan


jutaan

mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil 55 mm x 0,09 mm


dengan

ujung ekor melingkar.

2) Mikrofilaria

Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan


jutaan

anak cacing yang disebut mikrofilaria. Mikrofilaria untuk genus


Wuchereria

dan Brugia ini memiliki periodisitas nokturna, artinya aktif pada malam

hari. Pada siang hari berdiam diri dalam kelenjar limfe dan saluran-

salurannya sedangkan pada malam hari bergerak menuju darah dan

mengikuti sirkulasi darah manusia. Ukuran mikrofilaria 200-600 μm x 8

μm. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat dibedakan

berdasarkan antara lain: ukuran ruang kepala serta warna sarung pada

pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung

ekor. Berikut adalah perbandingan ketiga spesies dilihat berdasarkan

beberapa ciri khas untuk


identifikasinya.

Tabel 2.2 Perbandingan spesies berdasarkan ciri khas (Sumanto,


2016).

No Karakteristik W. bancrofti B. malayi B. timori

1. Gambaran dalam Melengkung


Melengkung
sediaan
Melengkung kaku & patah
kaku & patah
mulus
Melengkung
Melengkung 3. Warna sarung Tidak
Melengkung
berwarna
kaku & patah Merah muda Tidak
kaku & patah
berwarna
kaku & patah

2. Perbandingan

lebar & panjang

ruang kepala
1:11:21:3

4. Ukuran panjang 240 – 300 μm 175– 230 μm 265 – 325μm

5. Inti badan Halus tersusun 7. Gambaran Seperti pita ke

rapi arah ujung


Kasar Ujung agak

berkelompok tumpul
Kasar Ujung agak
Kasar Ujung agak

berkelompok tumpul
berkelompok tumpul

6. Jumlah inti di b. Siklus Hidup

ujung ekor
022

Pada saat nyamuk menghisap darah menusia/hewan yang


mengandung

mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk kedalam lambung


nyamuk

dan melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan

bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah 3 hari

mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1)

bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 μm x 10-17 μm dengan ekor

runcing seperti cambuk. Setelah 6 hari larva tumbuh menjadi larva stadium
2

disebut larva preinfektif berukuran 200-300 μm x 15–30 μm dengan ekor

tumpul dan memendek. Pada stadium ini larva menunjukkan adanya


gerakan.

Hari ke 8–10 pada spesies Brugia atau hari ke 10–14 pada spesies
Wuchereria,

larva tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) berukuran 1400 – 20 μm


tampak

panjang dan ramping disertai gerakan yang aktif. Stadium 3 ini merupakan

cacing infektif (Sumanto, 2016).

Hospes definitif yang telah diketahui hanya manusia dan penularan

penyakit memerlukan suatu spesies nyamuk yang sesuai. Lingkaran hidup

cacing filaria meliputi: (1) Pada siang hari cacing dewasa dan mikrofilaria

berada dalam saluran limfe, (2) Mikrofilaria bermigrasi ke darah tepi pada

malam hari, (3) Mikrofilaria terisap oleh nyamuk yang menggigit, (4)

Metamorfosis mikrofilaria dalam tubuh nyamuk, membentuk larva stadium


1–

3 dalam waktu lebih kurang 10–14 hari, (4) Larva bermigrasi ke proboscis

nyamuk, (5) Siap ditularkan melalui gigitan nyamuk (Sumanto,


2016).

Tuan rumah adalah manusia yang merupakan hospes definitive. Larva

infektif akan masuk kedalam tubuh manusia saat nyamuk yang membawa

filaria menghisap darah manusia. Larva infektif tersebut akan menuju

pembuluh limfe dan kelenjar limfe. Dalam waktu kurang lebih 1 tahun larva

19

akan menjadi matang. Dalam waktu 3 tahun akan menjadi cacing dewasa

(makrofilaria) dan selanjutnya akan menghasilkan mikrofilaria yang

dikeluarkan secara bertahap ke aliran


darah.

c. Predileksi

Predileksi cacing ini adalah jaringan limfa abdomen ke bawah. Dalam

pembuluh/kelenjar limfa filaria dapat melingkarkan tubuhnya sehingga

menjadi suatu nodule (seperti tumor) sehinggnya menimbulkan varises


yaitu

pelerbaran dari pembuluh yang


abnormal.

d. Patologi

Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis disebabkan oleh cacing


filaria dewasa yang tinggal disaluran limfe, sehingga menimbulkan gejala

pelebaran (dilatasi) saluran limfe bukan penyumbatan (obstruksi),


sehingga

menjadi gangguan fungsi limfatik.


Gambar 2.5 Siklus Hidup Penyebab penyakit Filariasis. Mikrofilaria masuk
ke dalam saluran limfa dan menjadi dewasa. Cacing betina dan cacing
jatan melakukan kopulasi kemudian cacing gravid mengeluarkan larva
mikrofilaria. Larva tersebut hidup di pembuluh darah dan di pembuluh
limfa. Saat nyamuk menghisap darah manusia, mikrofilaria masuk ke
tubuh nyamuk dan berkembang sampai larva stadium 3. Larva tersebut
kemudian siap ditularkan ke manusia lain. (Sumber: Hery, 2018)

20

Gejala klinis filariasis disebabkan oleh infeksi W.barcrofti, B.malayi,


dan

B timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan berat
oleh

B.malayi dan B.timori. Infeksi W.bancrofti dapat menyebabkan kelainan

saluran pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B.malayi
dan

B.timori tidak menimbukan kelainan pada saluran kemih dan alat


kelamin.
e. Stadium infektif

Stadium infektif filariasis adalah larva stadium 3 – L3. Larva infektif


(L3)

akan masuk melalui lubang bekas tusukan nyamuk di kulit dan selanjutnya

akan bergerak mengikuti saluran limfa. Sebelum menjadi cacing dewasa,


larva

infektif tersebut akan mengalami perubahan bentuk sebanyak dua kali.


Larva

L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit) Brugia malayi memerlukan waktu


3,

5 bulan untuk menjadi cacing dewasa (Anindita dan Hanna,


2016).

f. Hospes Hospes penyebab penyakit filariasis adalah manusia. Manusia yang

mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain
yang

rentan. Pada umumnya laki-laki lebih banyak yang terkena infeksi, karena

lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Juga gejala

penyakit lebih nyata pada laki-laki, karena pekerjaan fisik yang lebih
berat.

Tipe B. malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber


infeksi

untuk manusia, yang disebut hospes reservoir. Hewan yang sering


ditemukan

mengandung infeksi adalah kucing, anjing dan kera (Masrizal,


2013).

g. Prevalensi

Penyakit filariasis banyak ditemukan di berbagai negara tropik dan

subtropik, termasuk Indonesia. Beberapa negara yang mempunyai


prevalensi

B.malayi antara lain adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, dan India.


Prevalensi

tidak banyak berbeda menurut jenis kelamin, usia maupun ras (Mbutolwe
&

Paul, 2012).

Prevalensi di Indonesia, sejak tahun 2000 hingga 2009 di iaporkan


kasus

kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401


kabupaten/kota.

Hasil laporan kasus klinis kronis filariasis dari kabupaten/kota yang


ditindak

lanjuti dengan survey endemisitas filariasis, yang mana sampai dengan


tahun

2009 terdapat 337 kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/kota

nonendemis (Masrizal, 2013).

21

h. Epidemiologi

Epidemiologi filariasis yaitu tersebar di daerah-daerah endemik, 80%

penduduk bisa mengalami infeksi tetapi hanya sekitar 10-20% populasi


yang

menunjukkan gejala klinis Infeksi parasit ini tersebar di daerah tropis dan

subtropis seperti Afrika, Asia, Pasifik Selatan, dan Amerika Selatan. Telah

diketahui lebih dari 200 spesies filarial, dari 200 spesies tersebut hanya
sedikit

yang menyerang manusia. Masyarakat yang berisiko terserang adalah


mereka

yang bekerja pada daerah yang terkena paparan menahun oleh nyamuk
yang

mengandung larva. Filariasis di Indonesia tersebarluas, daerah endemi


terdapat
di banyak pulau di seluruh Nusantara, seperti di Sumatera dan sekitarnya,

Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian Jaya. Masih banyak

daerah yang belum diselidiki. Di Indonesia filariasis lebih banyak


ditemukan di

daerah pedesaan. Di daerah kota hanya W.bancrofti yang telah ditemukan,

seperti di kota Jakarta, Tangerang, Pekalongan dan Semarang (Masrizal,


2013).

i. Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dipastikan dengan

pemeriksaan laboraturium (Sumanto,


2016).

a) Diagnosis Parasitologi

Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan

hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal,


teknik

konsentrasi, membran filtrasi dan tes provokatif DEC. Pengambilan


darah

dilakukan pada malam hari karena periodisitas mikroilaria umumnya

nokturna.Sedangkan diferensiasi spesiaes dan stadium filaria dengan

menggunakan pelacak DNA yang spesifik dan antibodi monoklonal


untuk

mengidentivikasi larva filaria dalam tubuh manusia dan


vektor.

b) Radiodiagnosis

Pemeriksaa dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar


getah

bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang


bergerak-

gerak.

c) Diagnosis Imunologi Diagnosis ini menggunakan teknik ELISA dan


immunochromatographictest (ICT). Kedua teknik ini pada dasarnya

menggunakan antibodi monoklona yang spesifik untuk mendeteksi


antigen

22

W.bancrofti dalam sirkulasi. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya

infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam


darah.

j. Terapi

Pengobatan filariasis harus dilakukan secara masal dan pada daerah

endemis dengan menggunakan obat Diethylcarbamazine Citrate (DEC).


DEC

dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa pada pengobatan jangka

panjang. Hingga saat ini, DEC adalah satu-satunya obat yang efektif,
aman,

dan relatif murah. Untuk filariasis akibat Wuchereria bankrofti, dosis yang

dianjurkan 6 mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Sedangkan untuk


filariasis

akibat Brugia malayi dan Brugia timori, dosis yang dianjurkan 5 mg/kg
berat

badan/hari selama 10 hari (Masrizal,


2013).

Efek samping dari DEC ini adalah demam, menggigil, sakit kepala,
mual

hingga muntah. Pada pengobatan filariasis yang disebabkan oleh Brugia


malayi

dan Brugia timori, efek samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga,
untuk

pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi pengobatan


dilakukan
dalam waktu yang lebih lama. Pengobatan kombinasi dapat juga dilakukan

dengan dosis tunggal DEC dan Albendazol 400mg, diberikan setiap tahun

selama 5 tahun, pengobatan kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC.

Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin (Masrizal,


2013).

Ivermektin adalah antibiotik semisintetik dari golongan makrolid yang

mempunyai aktivitas luas terhadap nematoda dan ektoparasit. Obat ini


hanya

membunuh microfilaria efek samping yang ditimbulkan lebih ringan


dibanding

DEC. Terapi suportif berupa pemijatan juga dapat dilakukan di samping

pemberian DEC dan antibiotika, khususnya pada kasus yang kronis. Pada

kasus-kasus tertentu dapat juga dilakukan pembedahan (Masrizal,


2013).

k. Peran Perannya dalam kehidupan sehari-hari terdapat peran negatif dan

positif.

Peran negatifnya adalah penyebab penyakit filariasis. Sedangkan peran

positifnya adalah untuk bahan penelitian sehingga masyarakat akan dapat

mencegah dan menangani penyakit


filariasis.

23

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Trikinosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Trichinella


spiralis,

morfologinya yaitu stylet mulut pada bagian kepala, bagian anterior langsing

bermulut kecil. Siklus hidup cacing Trichinella spiralis dimulai ketika daging

terkontaminasi kista tertelan manusia, kemudian cacing masuk ke


pencernaan

manusia dan larva di usus halus menjadi dewasa, kawin, lalu menghasilkan
larva

baru yang bermigrasi ke jaringan inang dan menginfeksi jaringan otot.


Predileksi

larva cacing dalam usus, jaringan serta organ. Patologi cacing ini
menyebabkan

infeksi saluran cerna dan jaringan atau organ yang diinfeksi. Stadiuim infektif
saat

kista berisi larva infektif. Hospesnya diantaranya manusia, kucing, anjing, dll.

Prevalensi cacing ini menginfeksi lebih dari 150 spesies hewan, dan

epidemiologinya kosmopolit, terutama di daerah beriklim sedang. Diagnosis

penyakit trikinosis membutuhkan pemeriksaan laboratorium, serologi, dan


biopsi.

Terapi trikinosis dengan obat mebendazole atau albendazole. Peran negatif

sebagai penyebab penyakit trikinosis, dan peran positif sebagai bahan


penelitian.

Enterobiasis adalah penyakit akibat infeksi cacing Enterobiosis


vermicularis

atau Oxyuris vermicularis. Morfologi cacing jantan bertubuh lebih kecil dari

cacing betina, ekornya melingkar ke arah ventral, cacing betina berukuran


lebih

besar dan panjang dari cacing jantan, memiliki ujung ekor yang lancip.
Cacing

Enterobiosis vermicularis masuk melalui mulut atau saluran pernapasan

kemudian masuk saluran pencernaan. Di usus halus, telur menetaskan larva.


Larva

berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina di lumen caecum.

Melakukan perkawinan. Setelah pembuahan, cacing betina bermigrasi dari


kolon

ke rektum. Saat malam, cacing betina bergerak ke perianal untuk bertelur.


Cacing

jantan mati setelah kawin dan keluar bersama tinja. Predileksi di usus halus,
dan

perianal. Patologi cacing ini menyebabkan iritasi di daerah perianal,


gangguan

tidur, penurunan nafsu makan, insomnia,gelisah, dll. Stadium infektif berupa


telur

infektif. Hospesnya manusia, prevalensi di Indonesia sekitar 60%-80%.

Epidemiologi kosmopolit, terlebih di Asia. Diagnosis dengan pemeriksaan


anal

swab. Terapi dengan mengonsumsi obat mebendazole atau albendazole,


peran

24

negatif sebagai penyebab penyakit enterobiasis dan peran positif sebagai


bahan

penelitian.

Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filarial. Di


Indonesia

terdapat 3 spesies cacing filarial, yakni: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi,


dan

Brugia timori. Memilki morfologi tubuh yang melengkung dengan kisaran


ukuran

panjang 240-325 μm. Pada saat nyamuk menghisap darah menusia/hewan


yang
mengandung mikrofilaria, maka terbawa masuk lambung nyamuk dan
melepaskan

selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan menuju otot atau

jaringan lemak di bagian dada. Setelah 3 hari mikrofilaria mengalami


perubahan

bentuk menjadi larva stadium hingga pada 6-14 hari menjadi larva. Stadium 3

berupa cacing infektif. Pada siang hari cacing dewasa dan mikrofilaria berada

dalam saluran limfe, lalu mikrofilaria bermigrasi ke darah tepi pada malam
hari,

kemudian mikrofilaria terisap oleh nyamuk yang menggigit, setelah itu terjadi

metamorfosis mikrofilaria dalam tubuh nyamuk, membentuk larva stadium 1–


3

dalam lebih kurang 10–14 hari, kemudian larva bermigrasi ke proboscis


nyamuk,

ditularkan melalui gigitan nyamuk. Predileksinya jaringan limfa abdomen ke

bawah. Patologi panyakit ini menimbulkan gejala pelebaran (dilatasi) saluran

limfe bukan penyumbatan (obstruksi), sehingga menjadi gangguan limfatik.

Stadium infektif berupa larva stadium 3 dan hospesnya manusia. Prevalensi


di

berbagai negara tropik dan subtropik. Epidemiologi tersebar di Afrika, Asia,

Pasifik Selatan, dan Amerika Selatan. Diagnosis dilakukan dengan


pengambilan

darah, radiodiagnosis dan diagnosis imunologi. Terapi dilakukan pada daerah

endemis dengan obat Diethylcarbamazine Citrate (DEC). Peran negatif


sebagai

penyebab penyakit filariais, dan peran positif sebagai bahan


penelitian

3.2 Saran

Diharapkan berbagai golongan masyarakat dan pemerintah semakin


waspada

dan melakukan antisipasi terhadap penyebaran penyakit yang diakibatkan


oleh

cacing parasit. Selain itu diperlukan pengetahuan yang memadai akan


penyakit

infeksi yang disebabkan cacing parasit ini untuk berbagai golongan


masyarakat,

agar pencegahan dapat dilakukan secara maksimal dengan menjaga


kebersihan

diri dan lingkungan. Agar hal tersebut dapat direalisasikan, diperlukan


sosialisasi

dan penyuluhan kepada


masyarakat.

25

DAFTAR RUJUKAN

Adrianto, H. & Wartiningsih, M. 2019. Monograf : Cacing Kremi Enterobius

vermicularis. Gresik: CV. Jendela Sastra Indonesia


Press.

Anindita dan Hanna. 2016. Filariasis: Pencegahan Terkait Faktor Risiko.


Majority, Volume 5: Nomor 3.

Anjarsari, M.D. 2018. Personal Hygiene Kejadian Enterobiasis Siswa Sekolah

Dasar Negeri. Higeia Journal of Public Health Research and

Development, 2(3).

Astuti,N.T. & widiastuti, D. 2009. Trichinella spiralis, Cacing yang Menginfeksi

Otot. BALABA, 5 (01), 24-25.

Bai, X., Hu, X., Liu, X., Tang, B. & Liu, M. 2017. Current Research of

Trikinelosis in China. Frontiers in Microbiology, 1-7.


Cholifah, Noor. 2016. Promosi Kesehatan dalam Pemberian Minum Obat
Cacing
dan Kejadian Kecacingan Oxyuris Vermiculars. JIKK, Vol 7:24-
29.

Hery, Soenarwan. 2018. Limfatik Filariasis. Lab Sistematika Hewan


Sub Parasitologi Fakultas Biologi Ugm. UGM.

Li HM, Zhou CH, Li ZS, Deng ZH, Ruang CW, Zhang QM, Zhu T, Xu LQ, and
Chen YD. 2015. Risk factors for Enterobius vermicularis infection in children
in Gaozhou, Guangdong, China. Infectious Diseases of Poverty 4(28): 1-7.

Li, Y.L. 2008. Human parasitology. Beijing: People’s Medical Publishing


House.

Makimian, R. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Jakarta:


EGC.

Masrizal. 2013. PENYAKIT FILARIASIS, Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol


7:1.

Mbutolwe & Paul. 2012. Urban Lymphatic Filariasis. Parasitol Res, 112:35–
44.

Mitreva, M. & Jasmer, D.P. 2006. Biology and Genome of Trichinella spiralis.

USA: Washington State University.

Murrell, K. D. & Pozio, E. 2011. Worldwide Occurrence and Impact of Human

Trikinelosis. Emerging Infectious Disease, 17 (12): 2194–


2202.

Onggowaluyo, J.S. 2001. Parasitologi Medik I. Jakarta :


EGC.

26

Paniker, C.K.J. 2018. Paniker’s Textbook of Medical Parasitology. Jaypee

Brothers Medical Publishers.


Pozio, E. 2018. Trichinella and Other Foodborne Nematodes. Foodborne

Parasites,175-215.

Pratiwi, I., Febrian, D., Fahmi, M.L., Kufari, A., Anindita, D., Ganes, A.,
Haninda,

M., Refforent, T., Viola, V., Aulia, W., Octaviana, W. & Nurdian, Y.
2019.

Manifestasi Trichinella spiralis di Sistem Muskuloskeletal. Jember:

Universitas Jember.

Rostami, A., Gamble, H.R., Dupouy-Camet, J., Khazan, H. & Bruschi, F.,
2017.

Meat Sources of Infection for Outbreaks of Human Trikinelosis. Food

Microbiology, 65-71.

Sandjaja, B. 2007. Helmintologi Kedokteran. Jakarta : Prestasi


Pustaka.

Scully, C. & Emeritus. 2014. Infections and infestations. Scully’s Medical

Problems in Dentistry, Seventh Ed. Churchill Livingstone:


Elsevier.

Soedarto. 2003. Zoonosis Kedokteran. Surabaya: Airlangga University


Press.

Sumanto, Didik. 2016. Parasitologi Kesehatan Masyarakat. Semarang: Yoga


Pratama Semarang.

Yatim F., 2012. Gangguan kesehatan pada Anak Usia Sekolah. Jakarta.
Pustaka
Popular Obor

Zulkoni, Akhsin., 2011. Parasitologi. Yogyakarta, Nuha


medika.
27

Anda mungkin juga menyukai