KELOMPOK 2
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
anugerah-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan paper yang berjudul “Cestoda pada
Anjing” dengan baik.
Paper ini kami susun berdasarkan pengetahuan yang kami peroleh dari
beberapa buku dan media internet dengan harapan orang yang membaca dapat
memahami lebih dalam mengenai single gen population
Adapun penyusunan paper ini dengan maksud untuk memenuhi tugas mata
kuliah Parasitologi Veteriner.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah mendukung pembuatan paper ini di antaranya para
dosen pengajar mata kuliah Parasitologi Veteriner yang kami hormati dan teman-teman
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang kami cintai karena telah
membantu dan memberikan support kepada kami selama penelitian dan pembuatan
paper ini. Akhir kata, kami berharap paper ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Kami menyadari adanya kekurangan dari paper ini, oleh karena itu saran dan kritik
yang membangun sangatlah kami dambakan.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
4. Bagaimana permasalahan cestoda pada anjing?
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
otot atau ke dalam jaringan subkutan. Dalam waktu 60-70 hari akan berkembang
menjadi sistiserkus (cacing gelembung) yang menetap di dalam otot atau jaringan
subkutan pada pundak dan punggung babi (Kusuma, 2010).
Bila manusia memakan daging babi yang mengandung sistiserkus, maka
sistiserkus ini akan menetas di dalam usus menjadi larva dan dalam waktu 5-12 minggu
tumbuh menjadi cacing dewasa yang menetap di dalam usus, kemudian melepaskan
proglotid dengan telur. Biasanya hanya ada satu cacing yang menempati usus saat itu,
namun dikerahui bahwa di usus manusia juga dapat ditempati oleh banyak cacing
(Kusuma, 2010).
4
Gambar 2.1. Morfologi Telur D. caninum (Prianto et al, 2006).
5
strobila. Tersusun oleh banyak segmen dan setiap segmen disebut proglotid
(Rahmadani, 2015).
Cacing dewasa dari Dipylidium caninum yang predeleksinya pada usus halus ini
panjangnya berkisar antara 15 sampai 70 cm dan mempunyai sekitar 60 sampai 175
proglotid. Skolek cacing ini berbentuk belah ketupat (rhomboidal) dan mempunyai 4
buah sucker yang menonjol dan berbentuk oval. Sucker dilengkapi dengan rostellum
yang retraktil dan berbentuk kerucut serta dilengkapi dengan sekitar 30 sampai 150 kait
(hook) berbentuk duri mawar yang tersusun melengkung transversal. Proglottid mature
berbentuk seperti vas bunga dan Tiap segmennya mempunyai 2 perangkat alat
reproduksi serta 1 lubang kelamin di tengah –tengah sisi lateralnya. Proglottid gravid
penuh berisi telur yang berada di dalam kapsul / selubung (kantung). Tiap kantung
berisi sekitar 15 sampai 25 telur. Fenomena inilah yang disebut sebagai eggball. Tiap
butir telur berdiameter sekitar 35 sampai 60 µ dan berisi onkosfir yang mempunyai 6
kait. Proglotid gravid dapat terpisah dari strobila satu demi satu atau berkelompok 2
sampai 3 segmen. Segmen – segmen tersebut dapat bergerak aktif beberapa inci per
jam dan keluar melewati anus atau bersama feses (Purnomo et al, 2005). Morfologi D.
caninum dewasa diperlihatkan pada gambar 2.2.
6
larva dari hospes perantara, maka onkosfir akan keluar dari telur dan menembus
dinding usus hospes perantara dan selanjutnya akan berkembang menjadi larva infektif
yang disebut larva sisteserkoid. Apabila hospes perantara yang mengandung larva
cysticercoid tersebut tertelan oleh hospes definitive, maka larva sisteserkoid akan
menembus keluar dan masuk ke dalam usus halus hospes definitiv serta tumbuh dan
berkembang menjadi cacing dewasa setelah kurun waktu sekitar 20 hari (Rahmadani,
2015).
Siklus hidup cacing sebagai berikut: segmen cacing yang mengandung telur yang
mengandung telur gravid keluar dari tubuh bersama feses anjing secara spontan.
Segmen tersebut secara aktif bergerak di daerah anus atau jatuh ke tanah dan
membebaskan telur cacing. Telur yang berisi embrio akan termakan oleh larva pinjal.
Kapsul tersebut pecah sehingga onkosfer menetas dan membebaskan embrio di dinding
usus larva pinjal yang selanjutnya berkembang mesnjadi sistiserkoid di dalam jaringan
tubuh larva. Saat pinjal menyelesaikan metamorfosisnya dan menjadi dewasa,
sistiserkoid mejadi infektif. Anjing yang tanpa sengaja memakan pinjal maka akan
terinfeksi oleh cacing Dipylidium sp. Di dalam usus akan mengalami evaginasi, skoleks
akan melekat diantara villi usus halus dan lama-lama akan berkembang sebagai cacing
dewasa (Rahmadani, 2015).
Gejala klinisnya, cacing dapat mengakibatkan enteritis kronis, muntah dan
gangguan syaraf. Diare merupakan gejala umum terjadinya gangguan pada saluran
pencernaan anjing akibat infestasi parasit tersebut. Dehidrasi disertai lemah dan lesu
juga merupakan gejala non-spesifik dalam kasus infeksi cacing (Rahmadani, 2015).
Diagnosis dipylidiasis dilakukan dengan gejala klinis, seperti rasa gatal di daerah
anus yang diperlihatkan dengan mengosok-gosokan bagian yang gatal tersebut serta
berjalan dengan tubuh yang tegak. Petunjuk yang lain yaitu terdapat segmen cacing di
feses atau muntahan. Pemeriksaan laboratorium dilakukan menggunakan mikroskop
untuk melihat keberadaan telur atau larva cacing pita D. Caninum pada feses anjing
yang diduga terinfeksi (Rahmadani, 2015).
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Cestoda atau cacing pita merupakan cacing pita yang siklus hidupnya ada yang
memerlukan air untuk menetaskan telurnya. Dalam penularannya kepada manusia, ada
yang memerlukan intermediate host, namun ada juga yang dapat menulari manusia
tanpa perantara. Ukuran cacing dewasa bervariasi dari yang panjangnya hanya 40 mm
hingga yang panjangnya 10-12 m. Cacing ini terdiri atas scolex (kepala), leher,
proglotid, grafida, dan strobili. Salah satu cacing yang termasuk dalam cestoda yang
dapat menyerang anjing adalah Dipylidium caninum. Infestasi parasit intestinal yang
disebabkan Dipylidium caninum disebut dipylidiasis. Cacing dewasa dari Dipylidium
caninum yang predeleksinya pada usus halus ini panjangnya berkisar antara 15 sampai
70 cm dan mempunyai sekitar 60 sampai 175 proglotid. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan menggunakan mikroskop untuk melihat keberadaan telur atau larva cacing
pita D. Caninum pada feses anjing yang diduga terinfeksi.
3.2 Saran
Kami berharap paper ini dapat berguna dan menambah pengetahuan dan membuka
wawasan pembaca mengenai cestoda pada anjing.
Selain dari pada itu, kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan baik
disengaja maupun tidak disengaja karena kami masih dalam proses pembelajaran. Dan
yang kami harapkan dengan adanya paper ini dapat menjadi wacana yang membuka
pola pikir pembaca dan memberi saran yang sifatnya tersirat maupun tersurat.
8
DAFTAR PUSTAKA