Anda di halaman 1dari 13

PARASITOLOGI VETERINER

CESTODA PADA ANJING

KELOMPOK 2

1. Sheira Tannia Welfalini (1809511004)


2. Febe Adonia Hermawan (1809511005)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
anugerah-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan paper yang berjudul “Cestoda pada
Anjing” dengan baik.
Paper ini kami susun berdasarkan pengetahuan yang kami peroleh dari
beberapa buku dan media internet dengan harapan orang yang membaca dapat
memahami lebih dalam mengenai single gen population
Adapun penyusunan paper ini dengan maksud untuk memenuhi tugas mata
kuliah Parasitologi Veteriner.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah mendukung pembuatan paper ini di antaranya para
dosen pengajar mata kuliah Parasitologi Veteriner yang kami hormati dan teman-teman
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang kami cintai karena telah
membantu dan memberikan support kepada kami selama penelitian dan pembuatan
paper ini. Akhir kata, kami berharap paper ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Kami menyadari adanya kekurangan dari paper ini, oleh karena itu saran dan kritik
yang membangun sangatlah kami dambakan.

Denpasar, 16 September 2019


Hormat kami,

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3
2.1 Pengertian Cestoda ......................................................................... 3
2.2 Morfologi Umum Cestoda.............................................................. 3
2.3 Siklus Hidup Cestoda ..................................................................... 3
2.4 Cestoda Pada Anjing ...................................................................... 4
BAB III. PENUTUP ......................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 8
3.2 Saran ............................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 9

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketika memperhatikan penyakit pada hewan, kita dapat melihat banyaknya kasus
penyakit hewan yang diakibatkan oleh parasit cacing. Penyakit yang disebabkan cacing
merupakan salah satu penyakit yang banyak terjadi, terutama di daerah tropis.
Keberadaan penyakit ini berkaitan dengan faktor cuaca, tingkat sanitasi lingkungan dan
sosio-ekonomi masyarakat. Cacing memerlukan suhu dan kelembaban udara tertentu
untuk hidup dan berkembang biak.
Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Penyebaran penyakit ini pun dapat terjadi melalui perantaraan serangga seperti nyamuk
dan lalat pengisap darah yang dapat menyebarkan telur cacing dari feses penderita
cacingan. Di samping itu, kebiasaan penggunaan feses hewan sebagai pupuk tanaman
dapat meningkatkan penyebaran telur cacing, karena dapat mengkontaminasi tanah,
air rumah tangga dan tanaman pangan tertentu (Kusuma, 2010).
Hambatan dan kendala penyakit pada hewan banyak yang disebabkan oleh cacing
parasit berupa Nematoda trematoda dan Cestoda. Cacing penyebab penyakit menjadi
suatu masalah yang serius karena biasa menyerang semua jenis hewan yang dapat
merugikan dalam banyak aspek.
Hewan yang terserang penyakit ini akan mengalami hambatan pertambahan berast
badan, karena cacing menyerap sebagian zat makanan yang seharusnya untuk
kebutuhan tubuh dan pertumbuhan, merusak jaringan-jaringan vital. Dan
menyebabkann hewan kurang nafsu makan (Tantri, 2013). Pada pembahasan kali ini
akan mengurai mengenai cacing parasite kelas cestoda pada anjing.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dari paper ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan cestoda?
2. Bagaimana morfologi umum cestoda?
3. Bagaimana siklus hidup pada cestoda?

1
4. Bagaimana permasalahan cestoda pada anjing?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari paper ini yaitu, antara lain:
1. Mengkaji pengertian dari cestoda.
2. Mengkaji morfologi umum cestoda.
3. Mengkaji siklus hidup pada cestoda.
4. Mengkaji permasalahan cestoda pada anjing.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Cestoda


Cestoda atau cacing pita merupakan cacing pita yang siklus hidupnya ada yang
memerlukan air untuk menetaskan telurnya (contoh: Diphyllobothrium latum)
sedangkan yang lainnya cukup menggunakan tanah. Dalam penularannya kepada
manusia, ada yang memerlukan intermediate host, namun ada juga yang dapat menulari
manusia tanpa perantara (contoh: Hymenolepis nana) (Kusuma, 2010).

2.2 Morfologi Umum Cestoda


Ukuran cacing dewasa bervariasi dari yang panjangnya hanya 40 mm ( contoh:
Hymenolepis nana) hingga yang panjangnya 10-12 m (contoh: Taenia saginata dan
Diphyllobothrium latum). Bentuk badan cacing dewasa memanjang menyerupai pita,
biasanya pipih dorsoventral (dari belakang ke depan). Cacing ini terdiri atas scolex
(kepala) yang dilengkapi dengan alat isap dan kait-kait, berfungsi sebagai alat untuk
melekatkan atau mengaitkan diri pada dinding usus manusia. Di belakang scolex
terdapat leher, yang merupakan bagian cacing yang tidak bersegmen. Di belakang
leher terdapat proglotid yang semakin lama semakin banyak, sehingga menyebabkan
cacing menjadi semakin panjang dan bersegmen-segmen. Setiap proglotid atau segmen
dilengkapai dengan alat reproduksi jantan dan betina. Semakin jauh dari scolex, maka
proglotid nya semakin tua, sehingga proglotid yang paling ujung seolah-olah hanya
sebagai kantong telur saja. Proglotid yang paling ujung tersebut disebut dengan
gravida. Seluruh bagian cacing, mulai dari scollex sampai proglotid gravid disebut
dengan strobili (Kusuma, 2010).

2.3 Siklus Hidup Cestoda


Telur keluar dari proglotid gravid, baik setelah proglotid lepas dari strobila,
ataupun belum. Telur keluar dari tubuh manusia bersama feses. Telur yang jatuh ke
tanah bila termakan manusia atau babi, akan memasuki usus dan menetas di usus.
Kemudian larva akan menembus dinding usus dan dapat memasuki aliran darah limpa
atau aliran darah, serta beredar ke seluruh tubuh. Sebagian besar akan masuk ke dalam

3
otot atau ke dalam jaringan subkutan. Dalam waktu 60-70 hari akan berkembang
menjadi sistiserkus (cacing gelembung) yang menetap di dalam otot atau jaringan
subkutan pada pundak dan punggung babi (Kusuma, 2010).
Bila manusia memakan daging babi yang mengandung sistiserkus, maka
sistiserkus ini akan menetas di dalam usus menjadi larva dan dalam waktu 5-12 minggu
tumbuh menjadi cacing dewasa yang menetap di dalam usus, kemudian melepaskan
proglotid dengan telur. Biasanya hanya ada satu cacing yang menempati usus saat itu,
namun dikerahui bahwa di usus manusia juga dapat ditempati oleh banyak cacing
(Kusuma, 2010).

2.4 Cestoda Pada Anjing


Salah satu cacing yang termasuk dalam cestoda yang dapat menyerang anjing
adalah Dipylidium caninum. Infestasi parasit intestinal yang disebabkan Dipylidium
caninum disebut dipylidiasis. Cacing ini dikenal juga dengan nama lain flea tapeworm,
doublepored tapeworm, cucumber seed tapeworm atau common dog tapeworm.
Penyakit ini disebabkan oleh cacing pita yang umumnya termasuk dalam golongan
Dipylidium. Cacing pita ini termasuk kedalam kelas subkelas cestoda, kelas cestoidea,
filum platyhelminthes, genus dipylidiidae, spesies diiphilidium caninum. Klasifikasi
taksonomi cacing dipylidium caninum adalah sebagai berikut: (Rahmadani, 2015).
 Kingdom: Animalia
 Phylum: Platyhelminthes
 Class: Cestoda
 Order: Cyclophyllidea
 Family: Dipylidiidae
 Genus: Dipylidium
 Species: D. caninum

4
Gambar 2.1. Morfologi Telur D. caninum (Prianto et al, 2006).

Telur adalah awal perkembangan embrional telur sepenuhnya terjadi didalam


uterus, sehingga setelah keluar dari dalam uterus telur sudah mengandung embrio
berbentuk bulat atau lonjong yang disebut onkosfer (Embriofor) atau korasidium.
Onkosfer atau korasidium didalamnya ditemukan larva yang memiliki 3 pasang kait
yang dikenal dengan nama “hexacant embrio”. Telur paling luar dibungkus oleh
kapsul, kemudian selaput vitelin, embriofor (egg shell = onchosphere coat). Telur yang
berdiameter 44-54 mikron mengandung embrio yang memiliki 6 kait dan bersifat motil.
Telur-telur tersebut berkelompok dalam satu kapsul yang berisi 10-25 buah telur
disebut “Cluster of Eggs”. (Subronto, 2006). Cacing Dipylidium caninum tinggal dalam
usus halus anjing, memiliki panjang sampai 50 cm. Secara umum tubuh cacing pita
dapat dibedakan menjadi 3 bagian terdiri dari: (1) Skolek (kepala); (2) Kolum (leher);
(3) Strobila (badan). Skolek, umumnya memiliki 4 buah alat penghisap (sucker =
acetabula) yang pada beberapa jenis memiliki kait tetapi ada juga yang hanya memiliki
2 buah alat penghisap yang disebut “Bothria” yang terletak dibagian pinggir berfungsi
untuk perlekatan. Pada skolek juga bisa ditemukan bagian yang menonjol disebut
rostellum yang pada beberapa jenis juga dilengkapi dengan kait, serta fungsinya juga
untuk perlekatan. Bentuk kait sangat bervariasi, tetapi secara umum terdiri dari sebuah
tangkai, sebuah prisai dan sebuah mata kait. Kolum, ukurannya pendek dan tidak
bersegmen, merupakan tempat terbentuknya segmen. Segmen yang baru terbentuk
akan mendorong segmen yang terbentuk sebelumnya, sehingga akhirnya terbentuklah

5
strobila. Tersusun oleh banyak segmen dan setiap segmen disebut proglotid
(Rahmadani, 2015).
Cacing dewasa dari Dipylidium caninum yang predeleksinya pada usus halus ini
panjangnya berkisar antara 15 sampai 70 cm dan mempunyai sekitar 60 sampai 175
proglotid. Skolek cacing ini berbentuk belah ketupat (rhomboidal) dan mempunyai 4
buah sucker yang menonjol dan berbentuk oval. Sucker dilengkapi dengan rostellum
yang retraktil dan berbentuk kerucut serta dilengkapi dengan sekitar 30 sampai 150 kait
(hook) berbentuk duri mawar yang tersusun melengkung transversal. Proglottid mature
berbentuk seperti vas bunga dan Tiap segmennya mempunyai 2 perangkat alat
reproduksi serta 1 lubang kelamin di tengah –tengah sisi lateralnya. Proglottid gravid
penuh berisi telur yang berada di dalam kapsul / selubung (kantung). Tiap kantung
berisi sekitar 15 sampai 25 telur. Fenomena inilah yang disebut sebagai eggball. Tiap
butir telur berdiameter sekitar 35 sampai 60 µ dan berisi onkosfir yang mempunyai 6
kait. Proglotid gravid dapat terpisah dari strobila satu demi satu atau berkelompok 2
sampai 3 segmen. Segmen – segmen tersebut dapat bergerak aktif beberapa inci per
jam dan keluar melewati anus atau bersama feses (Purnomo et al, 2005). Morfologi D.
caninum dewasa diperlihatkan pada gambar 2.2.

Gambar 2.2. Morfologi D. caninum Dewasa (CVE, 2010).

Pinjal (flea) dari anjing (Ctenocephalides canis) dan kucing (Ctenocehalides


felis) atau kutu/tuma anjing (Trichodectes canis) merupakan intermediate host (hospes
perantara) dari Dipylidium caninum ini. Apabila telur Dipylidium caninum tertelan oleh

6
larva dari hospes perantara, maka onkosfir akan keluar dari telur dan menembus
dinding usus hospes perantara dan selanjutnya akan berkembang menjadi larva infektif
yang disebut larva sisteserkoid. Apabila hospes perantara yang mengandung larva
cysticercoid tersebut tertelan oleh hospes definitive, maka larva sisteserkoid akan
menembus keluar dan masuk ke dalam usus halus hospes definitiv serta tumbuh dan
berkembang menjadi cacing dewasa setelah kurun waktu sekitar 20 hari (Rahmadani,
2015).
Siklus hidup cacing sebagai berikut: segmen cacing yang mengandung telur yang
mengandung telur gravid keluar dari tubuh bersama feses anjing secara spontan.
Segmen tersebut secara aktif bergerak di daerah anus atau jatuh ke tanah dan
membebaskan telur cacing. Telur yang berisi embrio akan termakan oleh larva pinjal.
Kapsul tersebut pecah sehingga onkosfer menetas dan membebaskan embrio di dinding
usus larva pinjal yang selanjutnya berkembang mesnjadi sistiserkoid di dalam jaringan
tubuh larva. Saat pinjal menyelesaikan metamorfosisnya dan menjadi dewasa,
sistiserkoid mejadi infektif. Anjing yang tanpa sengaja memakan pinjal maka akan
terinfeksi oleh cacing Dipylidium sp. Di dalam usus akan mengalami evaginasi, skoleks
akan melekat diantara villi usus halus dan lama-lama akan berkembang sebagai cacing
dewasa (Rahmadani, 2015).
Gejala klinisnya, cacing dapat mengakibatkan enteritis kronis, muntah dan
gangguan syaraf. Diare merupakan gejala umum terjadinya gangguan pada saluran
pencernaan anjing akibat infestasi parasit tersebut. Dehidrasi disertai lemah dan lesu
juga merupakan gejala non-spesifik dalam kasus infeksi cacing (Rahmadani, 2015).
Diagnosis dipylidiasis dilakukan dengan gejala klinis, seperti rasa gatal di daerah
anus yang diperlihatkan dengan mengosok-gosokan bagian yang gatal tersebut serta
berjalan dengan tubuh yang tegak. Petunjuk yang lain yaitu terdapat segmen cacing di
feses atau muntahan. Pemeriksaan laboratorium dilakukan menggunakan mikroskop
untuk melihat keberadaan telur atau larva cacing pita D. Caninum pada feses anjing
yang diduga terinfeksi (Rahmadani, 2015).

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Cestoda atau cacing pita merupakan cacing pita yang siklus hidupnya ada yang
memerlukan air untuk menetaskan telurnya. Dalam penularannya kepada manusia, ada
yang memerlukan intermediate host, namun ada juga yang dapat menulari manusia
tanpa perantara. Ukuran cacing dewasa bervariasi dari yang panjangnya hanya 40 mm
hingga yang panjangnya 10-12 m. Cacing ini terdiri atas scolex (kepala), leher,
proglotid, grafida, dan strobili. Salah satu cacing yang termasuk dalam cestoda yang
dapat menyerang anjing adalah Dipylidium caninum. Infestasi parasit intestinal yang
disebabkan Dipylidium caninum disebut dipylidiasis. Cacing dewasa dari Dipylidium
caninum yang predeleksinya pada usus halus ini panjangnya berkisar antara 15 sampai
70 cm dan mempunyai sekitar 60 sampai 175 proglotid. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan menggunakan mikroskop untuk melihat keberadaan telur atau larva cacing
pita D. Caninum pada feses anjing yang diduga terinfeksi.

3.2 Saran
Kami berharap paper ini dapat berguna dan menambah pengetahuan dan membuka
wawasan pembaca mengenai cestoda pada anjing.
Selain dari pada itu, kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan baik
disengaja maupun tidak disengaja karena kami masih dalam proses pembelajaran. Dan
yang kami harapkan dengan adanya paper ini dapat menjadi wacana yang membuka
pola pikir pembaca dan memberi saran yang sifatnya tersirat maupun tersurat.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahmadani, S. 2015. Evaluasi Helmintiasis Pada Anjing Penderita Diare di


Klinik Hewan Makassar. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas
Hasanuddin. Makassar.
2. Prianto J, Tjahayu PU, Darwanto. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta
(ID): Gramedia Pustaka Utama.
3. Purnomo WJ, Gunawan W, Magdalena LJ, Ayda R, Harijani AM. 2005. Atlas
Helmintologi Kedokteran. Jakarta (ID): Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
4. [CVE] Center for Veterinary Education. 2010. Dipylidium Spp. [Internet].
Tersedia pada: http://vetbook.org/wiki/cat/index.php/Dipylidium_spp Eguia-
Aguilar, P., Cruz-Reyes, A., Martinez-Maya, J.J., 2005. Ecological analysis and
description of the intestinal helminths present in dogs in Mexico City. Vet.
Parasitol. 127, 139–146.
5. Kusuma, S. A. F. 2010. Cestoda. Fakultas Farmasi. Universitas Padjadjaran.
Bandung.
6. Tantri, Novese dkk. 2013. Pravelensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit Pada
Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan. Program Studi Biologi: Fakultas
MIPA, Universitas Tanjungpura. Pontianak.
7. Kusuma, Sri Agung Fitri. 2010. CESTODA. Universitas Padjajaran: Fakultas
Farmasi.
8. Rahmah, Fadhilah, dkk. 2013. Cacing Parasit Saluran Pencernaan Pada Hewan
Primata di Taman Satwa Kandi Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat.
Laboratorium Taksonomi Hewan: Jurusan Biologi, Fakulktas Matematikan dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Kampus UNAND Limau Manis,
Padang.

Anda mungkin juga menyukai