Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN ILMU PENYAKIT DALAM

NEFRITIS PADA ANJING ENGLISH BULLDOG

DISUSUN OLEH
Anjar Adi Setiawan, S.KH
130130100111008

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
Sinyalemen

Nama : Fiji
Jenis /Rass : Anjing/ English Bulldog
Warna rambut : Putih Cokelat
Kelamin : Betina
Usia : 1 tahun
Berat badan : 17 kg
Anamnesa
Anjing Fiji datang ke klinik pada tanggal 29 September 2014 dengan keluhan
kejang setelah aktif bermain, beberapa hari sebelumnya muntah makanan selama
beberapa minggu terakhir. Fiji sering muntah sejak kecil dan dipelihara di
lingkungan industri.
Temuan Klinis
Temuan klinis yang diperoleh yaitu suhu tubuh 380C, tidak nafsu makan,
hematuria, mukosa anemis. Telah dilakukan pengobatan yaitu vitamin C 4 ml
intravena, biosalamin® (kandungan magnesium aspartat, cyanokobalamin,
adenosintripospate, natrium, asam dioksribonukleat, kalium aspartat) 1 ml
intramuskuler (IM), ranitidine Hcl 0,5 mg/kg intravena (IV). Serta obat oral
dengan resep sebagai berikut :
R/ doxycicline ( 105 mg) tab no XI
s 1 dd 1 1/2 tab pc
-----------------------------
R/ Tonar tab ( 170 mg) No XIV
s 2 dd tab I pc
---------------------------
R/ Na bicarbonat tab (255mg) No X
s 2 dd tab 1/2 pc
---------------------------
R/ sari kurma fls No I
s 22 dd 10 ml
--------------------------------------
Selain obat, anjing fiji juga diterapi dengan menggunakan pakan anjing khusus
untuk penyakit ginjal 180 gram perhari. Pemeriksaan kembali dilakukan satu
minggu kemudian setelah pemeriksaan umum pertama.

Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Perawatan : Baik
Habitus/Tingkah laku : Aktif/Jinak
Gizi : Baik
Pertumbuhan badan : Baik
Sikap berdiri : Berdiri tegak dengan empat kaki
Ekspresi wajah : Bereaksi
Adaptasi lingkungan : Sikap bereaksi
Suhu tubuh : 38oC
Frekuensi nadi : 122x/ menit
Frekuensi napas : 40x/menit
Capillary refill time (CRT) : ≤ 2 detik
2. Kulit dan Rambut
Aspek rambut : Bersih dan kasar
Kerontokan : Tidak ada kerontokan
Kebotakan : Tidak ada kebotakan
Turgor kulit : Baik (≤2detik)
Permukaan kulit : Pigmentasi normal
Bau kulit : Bau khas kulit
3. Kepala dan Leher
a. Inspeksi
Ekspresi wajah : Bereaksi
Pertulangan wajah : Kompak
Posisi tegak telinga : Telinga turun ke bawah
Posisi kepala : Tegak diatas bahu
Mata dan Orbita Kiri
Palpebrae : Membuka dan menutup sempurna
Cilia : Melengkung keluar
Konjunctiva : Pucat, basah, tidak ada kerusakan
Membran nictitans : Tidak terlihat
Mata dan Orbita Kanan
Palpebrae : Membuka dan menutup sempurna
Cilia : Melengkung keluar
Konjunctiva : Pucat, basah, tidak ada kerusakan
Membran nictitans : Tidak terlihat
Bola Mata Kiri
Sklera : Putih
Kornea : Jernih, basah, permukaan rata
Iris : Tidak ada kelainan (TAK)
Pupil : TAK
Limbus : TAK
Refleks pupil : Ada
Vasa Injectio : Tidak ada
Bola Mata Kanan
Sklera : Putih
Kornea : Jernih, basah, permukaan rata
Iris : Kuning, Tidak ada kelainan (TAK)
Pupil : TAK
Limbus : TAK
Refleks pupil : Ada
Vasa Injectio : Tidak ada
Hidung dan Sinus
Bentuk pertulangan : Simetris
Aliran udara : Aliran udara bebas di kedua cavum nasal
Cermin hidung : Basah
Mulut dan Rongga Mulut
Defek bibir : Tidak ada
Mukosa mulut : Pucat, basah, halitosis
Lidah : Pucat, basah, kasar, tidak ada kerusakan
Gigi geligi : I C PM M
3 3 1 1 1 1 1 1
3 3 1 1 2 2 1 1
Telinga
Posisi : Keduanya tegak keatas
Bau : Khas serumen, telinga bersih
Permukaan daun telinga : Bersih , tidak ada luka
Krepitasi : Tidak ada
Reflek panggilan : Ada
Leher
Perototan : Simetris
Trakea : Teraba, tidak ada refleks batuk saat
dipalpasi
Esofagus : Tidak teraba
Kelenjar Pertahanan
Ln.Mandibularis : Teraba, simetris, tidak ada pembengkakan.
Ln. Retropharingeal : Teraba
Ln.Axilaris : Tidak teraba
Ln.Prefemoralis : Tidak teraba
Ln.Popliteus : Teraba, simetris, tidak ada pembengkakan.
4. Thoraks
a. Sistem Pernafasan
Inspeksi
Bentuk rongga thoraks : Simetris
Tipe pernapasan : Costal
Ritme pernapasan : Ritmis/ teratur
Intensitas : Dangkal, cepat
Frekuensi : 40x/menit
Trakea : Teraba
Refleks batuk : Tidak ada
Palpasi
Penekanan rongga thoraks : Tidak ada reaksi kesakitan
Penekanan M. intercostalis : Tidak ada reaksi kesakitan
Perkusi
Lapang paru-paru : Tidak ada perluasan
Gema perkusi : Suara nyaring
Auskultasi
Suara pernapasan : Lama inspirasi sama dengan lama ekspirasi.
Suara ikutan : Tidak ada
b. Sistem Peredaran Darah
Inspeksi
Ictus cordis : Tidak teraba
Auskultasi
Frekuensi : 122x/menit
Intensitas : Kuat
Ritme : Ritmis
Sinkron pulsus dengan :
Sinkron
jantung
5. Abdomen dan Organ Pencernaan
Inspeksi
Ukuran rongga abdomen : Tidak ada pembesaran
Bentuk rongga abdomen : Simetris
Palpasi
Epigastrikus : Tidak ada reaksi kesakitan
Mesogastrikus : Tidak ada reaksi kesakitan
Hipogastrikus : Tidak ada reaksi kesakitan
Auskultasi
Suara peristaltik usus : Tidak terdengar
Suara borboritmis : Tidak terdengar
Anus
Daerah sekitar anus : Bersih
Refleks sphincter ani : Terdapat refleks mengkerut & menghisap
Kebersihan perianal : Bersih
6. Sistem Urogenital
Ginjal : Terletak di epigastrikus dorsal, teraba, ada
reaksi kesakitan saat dipalpasi, ukuran mengecil
Vesika urinaria : Terletak di hipogastrikus dorsal, teraba, tidak
ada reaksi kesakitan saat dipalpasi
Alat Kelamin Betina
Mukosa vagina : Pucat, licin,basah, tidak ada luka
Terletak di ventral abdomen dan ventral
Kelenjar mamae : thoraks, berukuran besar dengan konsistensi
lembak
7. Sistem Saraf
Tengkorak : Pertulangan tegas
Collumna vertebralis : Tidak ada reaksi kesakitan
Reflek : Ada
Gangguan kesadaran : Tidak ada gangguan
8. Alat Gerak
Inspeksi
Perototan kaki depan : Simetris
Perototan kaki belakang : Simetris
Spasmus otot : Tidak ada
Tremor : Tidak ada
Cara berjalan : Koordinatif
Bentuk pertulangan : Tegak dan lurus
Tuber coxae dan tuber ischii : Simetris
Palpasi Struktur Pertulangan
Kaki kanan depan : Tegas, kompak, lurus
Kaki kanan belakang : Tegas, kompak, lurus
Kaki kiri depan : Tegas, kompak, lurus
Kaki kiri belakang : Tegas, kompak, lurus
Konsistensi pertulangan : Keras
Reaksi saat palpasi : Tidak ada reaksi kesakitan
Panjang kaki depan ka/ki : Sama panjang, simetris
Panjang kaki belakang ka/ki : Sama panjang, simetris
Reaksi saat palpasi otot : Tidak ada rasa sakit
Pemeriksaan Penunjang

Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium darah Fiji tanggal 21 September 2014

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN KISARAN NORMAL


HEMATOLOGI
WBC 24.33 10^9 /l 6.0-17.0
RBC 4.41 10^12/l 5.5-8.5
Hb 11.2 g/dl 12-18
Hematokrit 32.64 % 37-55
MCV 74 fL 60-77
MCH 25.4 Pg 19.5-24.5
MCHC 34.4 g/dl 31-34
PLT 582 10^9/l 200-500
Limfosit 20.7 % 12-30
Monosit 4.5 % 2-4
Netrofil 81 % 62-87
Eosinofil 0.1 % 0-8
Basofil 0.0 % 0-2
Limfosit 5.03 10^9/l 1-4.8
Monosit 1.10 10^9/l 0.2-1.5
Neutrofil 18.18 10^9/l 3-12
Eosinofil 0.01 10^9/l 0.0-0.8
Basofil 0.01 10^9/l 0-0.4
RDW 17 % 12-16
PCT 0.68 % 0.0-2.9
MPV 11.6 fL 6.7-11
PDW 40 % 0.0-50.0
Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit anjing Fiji
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN KISARAN NORMAL
KIMIA DARAH
ALT 45 U/L 10-110
ALP 82 U/L 20-150
Kreatinin 10.5 mg/dl 0.3-1.4
BUN 98 mg/dl 7-25
Albumin 3.4 g/dl 2.5-4.4
Globulin 2.1 g/dl 2.3-5.2
Total Protein 5.5 g/dl 5.4-8.2
Total Biliribun 0.5 mg/dl 0.1-0.6
ELEKTROLIT
Natrium 132 mmol/l 138-160
Kalsium 10.1 mmol/l 8.6-11.8
Phospor 9.6 mmol/l 2.6-6.6
Kalium 4.1 mmol/L 3,7-5.8
Pemeriksaan urinalisis anjing Fiji
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN KISARAN NORMAL
URIN
Warna Kuning
Konsistensi Encer
Berat jenis 1.005 1.025 – 1.0
pH 7 5.0 - 7.0
Lekosit - Leuko /µl -
Nitrit - Negatif / positif -
Protein - mg/dL 1+
Glukosa - mg/dL -
Keton - Negatif / positif -
Urobilinogen - mg/dL -
Bilirubin - Negatif / positif -
Darah - Ca.Ery/µl -
Hemoglobin - Ca.Ery/µl -

Tabel 2 Hasil pemeriksaan laboratorium darah Fiji tanggal 25 September 2014

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN KISARAN NORMAL


HEMATOLOGI
WBC 27.75 10^9 /l 6.0-17.0
RBC 4.66 10^12/l 5.5-8.5
Hb 11.6 g/dl 12-18
Hematokrit 34.32 % 37-55
MCV 74 fL 60-77
MCH 24.9 Pg 19.5-24.5
MCHC 33.8 g/dl 31-34
PLT 455 10^9/l 200-500
Limfosit 12.3 % 12-30
Monosit 4.5 % 2-4
Neutrofil 82.8 % 62-87
Eosinofil 0.2 % 0-8
Basofil 0.1 % 0-2
Limfosit 3.41 10^9/l 1-4.8
Monosit 1.29 10^9/l 0.2-1.5
Neutrofil 22.98 10^9/l 3-12
Eosinofil 0.04 10^9/l 0.0-0.8
Basofil 0.02 10^9/l 0-0.4
RDW 17 % 12-16
PCT 0.68 % 0.0-2.9
MPV 12.4 fL 6.7-11
PDW 39.1 % 0.0-50.0
Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit anjing Fiji
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN KISARAN NORMAL
KIMIA DARAH
ALT 42 U/L 10-110
ALP 83 U/L 20-150
Kreatinin 6.6 mg/dl 0.3-1.4
BUN 63 mg/dl 7-25
Albumin 3.5 g/dl 2.5-4.4
Globulin 2.1 g/dl 2.3-5.2
Total Protein 5.4 g/dl 5.4-8.2
Total Biliribun 0.3 mg/dl 0.1-0.6
ELEKTROLIT
Natrium 144 mmol/l 138-160
Kalsium 11.0 mmol/l 8.6-11.8
Phospor 8.0 mmol/l 2.6-6.6
Kalium 6.3 mmol/L 3,7-5.8
Pemeriksaan urinalisis anjing Fiji
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN KISARAN NORMAL
URIN
Warna Kuning
Konsistensi Encer
Berat jenis 1.010 1.025 – 1.0
pH 8 5.0 - 7.0
Lekosit - Leuko /µl -
Nitrit - Negatif / positif -
Protein - mg/dL 1(+)
Glukosa - mg/dL -
Keton - Negatif / positif -
Urobilinogen - mg/dL -
Bilirubin - Negatif / positif -
Darah - Ca.Ery/µl -
Hemoglobin - Ca.Ery/µl -

Tabel 3 Hasil pemeriksaan USG Abdomen Fiji


Patient Name : Fiji Examination Date : 28 Nov 2014
Species : Dog Owner : Ibu Silvia
Breed : English. Phone : -
Bulldog
Sex : Female Veterinarian : Deni Noviana
Age / Weight : 1Y 17
1. Liver and Gall  Lobus hati kanan (RLL), kiri (LLL) dan tengah (CLL) tekstur
Bladder homogen, hypoechoic, tidak ada kelainan
 Pembuluh darah vena porta, dinding hyperechoic, permukaan rata,
tidak ada kelainan
 Pembuluh darah vena hepatica, dinding tipis hypoechoic,
permukaan rata, tidak ada kelainan
 Gall bladder : dinding kantung tipis hyperechoic, permukaan dalam
rata, berisi cairan empedu hitam anechoic,terlihat ductus cistikus
tidak ada kelainan
2. Spleen  Kapsula limpa terlihat berupa lapisan tipis hyperechoic, permukaan
rata, tidak ada kelainan
 Kepala limpa berbentuk segitiga, posisi di kaudal lambung, tekstur
homogen hypo-hyperechoic, tidak ada kelainan
 Bagian badan/korpus limpa, memanjang di bagian kiri lateral
hewan, tekstur homogen hypo-hyperechoic, tidak ada kelainan
 Bagian caudal/ ekstremitas terletak di bagian kiri lateral hewan atau
medial hewan, homogeny hypo-hyperechoic, ujung lancip, tidak
ada kelainan
3. Kidney Diameter aorta 1 cm
Ginjal kiri
 Kapsula : lapisan tipis hyperechoic, permukaan tidak beraturan
 Korteks tekstur homogen hypoechoic, namun kesan menipis
 Medulla: tekstur homogen an-hypoechoic, namun tidak jelas batas
dengan korteks
 Batas antara korteks dengan medulla tidak jelas, bentuk ginjal tidak
beraturan
 Dimensi panjang 3.8 cm
Ginjal kanan
 Kapsula : lapisan tipis hyperechoic, permukaan tidak beraturan
 Korteks, tekstur homogen hypoechoic, namun kesan menipis
 Medulla: tekstur homogen an-hypoechoic, namun tidak jelas batas
dengan korteks
 Batas antara korteks dengan medulla tidak jelas, bentuk ginjal tidak
beraturan
 Dimensi panjang 3.74 cm
4. Vesica Urinaria  Ketebalan dinding VU 1.96 mm
 Normal wall  Permukaan mukosa rata hypoechoic, tidak ada kelainan
thickness  Kesan terlihat cairan urine hitam anechoic homogen, tidak
Dog: ≥1-3 ditemukannya adanya kristal ataupun endapan
mm  Kesan bentuk dan ukuran tidak ada kelainan
5. Ovarium Ovarium
 Ditemukan adanya kista ovarium kanan ukuran 2.4 x 1.7 cm
6. Gastrointestinal  Ukuran lambung dan lapisan – lapisan lambung tidak ada kelainan
tract  Ukuran usus halus dan lapisan – lapisan mukosa sampai serosa
tidak ada kelainan
 Ukuran usus besar dan lapisan – lapisan mukosa sampai serosa
tidak ada kelainan
 Peristaltik usus kesan terlihat tidak ada kelainan dan tidak
ditemukan adanya gerakan antiperistaltik
Kesimpulan:

Nefritis
(DD Displasia renal, hipoplasia kedua ginjal, kista ovary)

Hati lobus kiri dan kantung


empedu
Lobus hati memiliki tekstur
homogen, hypoechoic, tidak ada
kelainan. Gall bladder terlihat :
dinding kantung tipis hyperechoic,
permukaan dalam rata, berisi cairan
empedu hitam anechoic,terlihat
ductus cistikus tidak ada kelainan.

Limpa
Kapsula limpa terlihat berupa lapisan
tipis hyperechoic, permukaan rata,
tidak ada kelainan. Kepala limpa
(berbentuk segitiga), korpus (badan
limpa) dan caudal limpa terlihat
homogen hypo-hyperechoic, tidak
ada kelainan

Ginjal kiri
Ginjal kiri berukuran panjang 3.8 cm
batas medulla dan kortek susah
dibedakan, bentuk dan permukaan
ginjal tidak beraturan. Korteks
terlihat tekstur homogen hypoechoic
dengan kesan menipis, sedangkan
medulla terlihat tekstur homogen
anechoic.

Ginjal kanan
Ginjal kanan berukuran panjang 3.74
cm batas korteks dan medulla susah
dibedakan. Bentuk dan permukaan
ginjal tidak beraturan, Korteks
terlihat tekstur homogen hypoechoic
dengan kesan menipis, sedangkan
medulla terlihat tekstur homogen
anechoic.

Ovarium
Ditemukan adanya kista pada
ovarium kanan ukuran 2.4 x 1.7 cm

Diagnosa : Nefritis kronis

Diagnosa banding :

1. Displasia renal

2. hipoplasia kedua ginjal

3. kista ovary

Prognosa : Infausta

Treatment :
- Terapi cairan menggunakan Asering IV
- Vitamin :
1. Bisalamin® 1 ml (kandungan magnesium, kalium, natrium, asam
dioksribonukleat, cyanokobalamin, adenosintripospat) IM/BID
2. Hematopan ® 1 ml (kandungan Sodium cacodylate, Ammonium ferric
citrate, Methionine, Histidine hydrochloride, Tryptophan, Cobalt
acetate, Cyanocobalamin) IM, BID
3. Vitamin C 4 ml IV, BID
- Ketoanaloque
Tonar ® tab (α-ketoisoleucine, α-ketoleucine, α–ketophenylaianine,
α–ketovaline, DL- α -hyclroxy metahunionine, L- lysine acetate,L-
tahunarieonine, L- tryptophan, L- histidine, L-tyrosine, nitrogen,dan
Ca) BID/PO
- Antacida :
Inpepsa (Sukralfat 500mg/ml)5 ml BID/PO
- Antioksidan:
Omega 3 caps BID/PO
- Pakan khusus renal Royal Canine ® 180 gram/hari
Tabel 4 Rekam medis Fiji selama di rawat inap di klinik My Vets
Tanggal Status Present Pengobatan
30 Sep Fiji BB : 16,5 kg, T : 380C Infus asering
2014 Anamnesa pemilik anjing muntah dan diare Inj vitamin C 4 ml
encer, kepala tremor. Temuan klinis anjing Inj hematopan 1 ml
mukosa pucat, halitosis, poliuria, polidipsi, Inj biosalamin 1 ml
terdapat papula dan pustula di leher dan muka R/ Inpepsa fls No I
S 3 dd C I a.c
-------------------
R/ Tonar tab No XXX
S 3 dd tab I p.c
-------------------
R/ Sari kurma fls No I
S 3 dd C II p.c
-------------------
R/ Omega 3 caps No
XXX
S 3 dd tab I
-------------------
1 Okt Pagi : Infus asering
0
2014 BB 16,5 kg, T : 38,7 C Inj vitamin C 4 ml SID
Makan dan minum disuap, defekasi encer, Inj hematopan 1 ml SID
urinasi normal, muntah dan kepala sudah Inj biosalamin 1 ml SID
tidak tremor, mukosa pucat, halitosis, poliuria, Inpepsa 5 ml TID
polidipsi, terdapat papula dan pustule di leher Tonar tab TID
dan muka, CRT <2’, turgor normal Sari kurma 10 ml TID
Omega 3 caps TID
Sore :
T : 38,50C, makan minum disuap, defekasi
encer, urinasi normal, muntah berkurang,
mukosa pucat, halitosis, terdapat papula dan
pustule di leher dan muka, CRT <2’, turgor
normal
2 Okt Pagi : Infus NaCl
2014 BB 16,25 kg, T : 38,90C Inj vitamin C 4 ml SID
Makan minum disuap, defekasi encer Inj hematopan 1 ml SID
kehitaman, urinasi normal, ≠muntah, mukosa Inj biosalamin 1 ml SID
pucat, halitosis, poliuria, polidipsi, papula dan Inpepsa 5 ml TID
pustule di leher dan muka mengering, CRT Tonar tab TID
<2’, turgor normal Sari kurma 10 ml TID
Omega 3 caps TID
Sore :
T : 38,90C, makan minum disuap,
defekasi encer kehitaman, urinasi normal,
≠muntah, dan mukosa pucat, halitosis, papula
dan pustule di leher dan muka mengering,
CRT <2’, turgor normal
3 Okt Pagi : Infus NaCl
2014 BB 16,25 kg, T : 390C Inj vitamin C 4 ml SID
Makan minum disuap, defekasi encer Inj hematopan 1 ml SID
kehitaman, urinasi normal, ≠muntah dan, Inj biosalamin 1 ml SID
mukosa pucat, halitosis, papula dan pustul di Inpepsa 5 ml TID
leher dan muka mengering, CRT <2’, turgor Tonar tab TID
normal Sari kurma 10 ml TID
Omega 3 caps TID
Sore :
T : 39,20C, makan minum disuap, defekasi
encer kehitaman, urinasi normal, ≠muntah dan
mukosa pucat, halitosis, papula dan pustul di
leher dan muka mengering, CRT <2’, turgor
normal
4 Okt Pagi : Infus NaCl
2014 BB 16,25 kg, T : 38,70C Inj vitamin C 4 ml SID
Makan minum disuap, defekasi kehitaman, Inj hematopan 1 ml SID
urinasi normal, ≠muntah dan ≠ diare, mukosa Inj biosalamin 1 ml SID
pucat, halitosis, papula dan pustul di leher dan Inpepsa 5 ml TID
muka mengering, CRT <2’, turgor normal, Tonar tab TID
dilakukan transfusi darah Sari kurma 10 ml TID
Omega 3 caps TID
Sore : 12.30 transfusi darah 230
T : 38,90C, makan minum disuap, defekasi ml
agak padat, urinasi ok ≠muntah dan ≠ diare, 1,5 jam sebelum transfusi
mukosa semu pink, halitosis, papula dan :
pustul di leher dan muka mengering, CRT <2’, Decadryl 0,7 ml
turgor normal. Direncakankan besok Dexamethasone 0,7 ml
akupuntur
5 Okt Pagi : Inj vitamin C 4 ml SID
2014 BB 16,25 kg, T : 38,70C Inj hematopan 1 ml SID
Makan minum normal, defekasi normal, Inj biosalamin 1 ml SID
urinasi normal, ≠muntah dan ≠ diare, mukosa Inpepsa 5 ml TID
pink, lebih aktif, halitosis, papula dan pustul di Tonar tab TID
leher dan muka mengering, CRT <2’, turgor Sari kurma 10 ml TID
normal, akupuntur Omega 3 caps TID

Sore :
T : 38.80C, makan minum normal, defekasi
normal, urinasi normal, ≠muntah dan ≠ diare,
mukosa pink, halitosis, papula dan pustul di
leher dan muka mengering, CRT <2’, turgor
normal.
6 Okt Pagi : Infus NaCl 200 ml SC
2014 BB 16 kg, T : 38,50C Inj vitamin C 4 ml SID
Makan minum normal, defekasi normal, Inj hematopan 1 ml SID
urinasi normal, ≠ muntah dan ≠ diare, mukosa Inj biosalamin 1 ml SID
pink, lebih aktif, halitosis, papula dan pustul di Inpepsa 5 ml TID
leher dan muka mengering, CRT <2’, turgor Tonar tab TID
normal Sari kurma 10 ml TID
Omega 3 caps TID
Sore :
T : 38.70C, makan minum, defekasi normal,
urinasi normal, ≠muntah dan ≠ diare, mukosa
pink, halitosis, papula dan pustul di leher dan
muka mengering, CRT <2’, turgor normal.
7 Okt Pagi : Infus NaCl 200 ml SC
2014 BB 16 kg, T : 38,80C Inj vitamin C 4 ml SID
Makan minum, defekasi normal, urinasi Inj hematopan 1 ml SID
normal, ≠ muntah dan ≠ diare, mukosa pink, Inj biosalamin 1 ml SID
lebih aktif, halitosis, papula dan pustul di leher Inpepsa 5 ml TID
dan muka mengering, CRT <2’, turgor normal Tonar tab TID
Sari kurma 10 ml TID
Sore : Omega 3 caps TID
T : 390C, makan minum normal, defekasi
normal, urinasi ok ≠muntah dan ≠ diare,
mukosa pink, halitosis, papula dan pustul di
leher dan muka mengering, CRT <2’, turgor
normal, tadi siang sempat drop
8 Okt Pagi : Infus NaCl 200 ml SC
2014 BB 16 kg, T : 38,80C Inj vitamin C 4 ml SID
Makan minum normal, defekasi normal, Inj hematopan 1 ml SID
urinasi normal, ≠ muntah dan ≠ diare, mukosa Inj biosalamin 1 ml SID
pink, lebih aktif, halitosis, papula dan pustul di Inpepsa 5 ml TID
leher dan muka mengering, CRT <2’, turgor Tonar tab TID
normal Sari kurma 10 ml TID
Omega 3 caps TID
Sore :
T : 390C, makan minum normal, defekasi
normal, urinasi normal, ≠muntah dan ≠ diare,
mukosa pink, halitosis, papula dan pustul di
leher dan muka mengering, CRT <2’, turgor
normal.

Pembahasan
Anjing Fiji dibawa ke klinik My Vets tanggal 29 September 2014 dengan
anamnesa anjing mengalami kejang setelah bermain, beberapa hari sebelumnya
muntah makanan selama beberapa minggu terakhir. Menurut pengakuan pemilik,
Fiji sering muntah sejak kecil. Hasil pemeriksaan diketahui temperatur 38oC
anjing tidak nafsu makan, hematuria, mukosa pucat terlihat anemia. Terapi yang
diberikan adalah injeksi vitamin C 4 ml intravena (IV), biosalamin® 1 ml dan
ranitidine 0,5 mg/kg intramuskuler (IM).
Penelusuran diagnosa suatu penyakit dimulai dengan signalemen,
anamnesa, dan gejala klinis. Tahap berikutnya adalah dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan darah, urinalisis, X-ray, dan USG (Vaillers &
Blackwood, 2012). Pada kasus Fiji setelah didapatkan signalemen, anamnesa dan
gejala klinis, dilakukan pemeriksaan penunjang dengan hematologi dan USG.
Hasil pemeriksaan complete blood count menunjukkan kondisi anemia (RBC 4.
41 . 10^3 u/L, Hb 11,2 g/dL, HTC 32,64%, MCHC 34.4 g/dl ). Kondisi
trombositosis (PLT 582 10^9 /l) menunjukkan hewan mengalami dehidrasi. Hasil
darah juga menunjukan leukositosis (WBC 24.3310^9 /l) artinya terjadi respon
inflamasi di dalam tubuh Fiji. Hasil kimia darah dan elektrolit menunjukkan
penurunan nilai natrium (132 mmol/l), peningkatan phospor 9,6 mg/dL, disertai
peningkatan nilai BUN 96 mg/dL, dan kreatinin 10,5 mg/dl yang mengindikasikan
adanya penurunan fungsi ginjal (renal insuffiesiency). Penurunan nilai natrium
menunjukkan ketidakseimbangan cairan ekstraseluler pada tubuh Fiji, sedangkan
Hasil urinalisis menunjukkan berat jenis urine dibawah nilai normal yaitu 1,005.
Hal ini menunjukkan adanya gangguan mengkonsentrasikan urine dalam tubulus.
Selanjutnya owner meminta Fiji untuk dirawat jalan. Terapi yang diberikan untuk
berobat jalan adalah dengan pemberian resep antibiotik doxycycline, natrium
bicarbonate, tonar tab, dan sari kurma. Selanjutnya pada tanggal 28 November
2014 dilakukan pemeriksaan darah kedua. Hasil pemeriksaan complete blood
count kedua menunjukkan kondisi anemia normostik normositik (RBC
4.66.10^3u/L, Hb 11.6 g/dL, HTC 34.32), leukositosis (WBC 27.75.10^9 /l)
disertai peningkatan nilai BUN 63 mg/dL, phospor 8.0 mg/dL, kalium 63 mmol/l
dan kreatinin 6.6 mg/dl. Dibandingkan hasil pemeriksaan yang pertama, terlihat
kondisi yang sama yaitu anemia yang ditandai dengan anemia normositik
normokromik ( ukuran dan warna sel normal). Leukositosis tetap dijumpai pada
hasil kedua, hal ini menunjukkan adanya reaksi peradangan / inflamasi.
Perdarahan sudah teratasi ditandai dengan tidak ditemukannya trombositosis lagi.
Hasil pemeriksaan kedua menunjukkan tetap menunjukkan peningkatan nilai
BUN dan kreatinin dibandingkan nilai normal, namun dibandingkan hasil
pemeriksaan darah yang pertama nilai keduanya menunjukkan perbaikan. Hasil
pemeriksaan elektrolit menunjukkan peningkatan kadar pospor dan kalium.
Pemeriksaan klinis dan penunnjang terhadap Fiji diperoleh diagnosa
adanya nefritis kronis dengan diagnosa banding Displasia renal, hipoplasia kedua
ginjal, kista ovary. Nefritis interstitial atau disebut tubulo-interstitial nephritis
adalah peradangan sel nefron pada bagian interstitium ginjal yaitu sekitar tubulus.
Penyakit ini akan berkembang menjadi gagal ginjal kronis (Baker & Pusey, 2004).
Penyebab terjadinya nefritis interstitial dibedakan menjadi dua yaitu
penyebab primer dan penyebab sekunder. Penyebab primer diantaranya adalah
infeksi leptospira (Hamir et al., 2001), herper virus (Arbelo et al., 2012), induksi
obat dalam jangka waktu yang lama. Efek toksi dari logam berat, herediter, dan
adanya gangguan metabolik (hiperkalsemia dan hiperkalemia). Herpes virus dan
leptospira merupakan salah satu penyebab potensial nefritis interstitial. Paparan
racun / logam berat pada saat induk bunting atau trauma pada janin juga dapat
menimbulkan munculnya nefritis interstitial (Nash, 2004). Penyebab sekunder
diantara lain adalah gangguan glomerulus, gangguan vascular, dan gangguan
sturktur ginjal (cystic renal dan obstruksi renal) (Ramayati dkk, 2010). Patogenesa
nefritis dimulai dari adanya radang kemudian terjadi pembentukan jaringan ikat
pada interstitial nefron dan berkembang menjadi radang eksudatif (Hamir et al.,
2001). Kondisi Fiji yang sering muntah sejak kecil mengindikasikan nefritis yang
sudah berjalan cukup lama, selain itu tempat tinggal Fiji di kawasan industri
mengindikasikan banyaknya hewan pembawa leptospira.
Nefrtitis interstisialis menurut Neilson (2007) dapat didiagnosa dengan cara
USG, citi scan, tes urine, dan tes darah.. Nefritis interstisialis pada Fiji didiagnosa
melalui pemeriksaan USG dan pemeriksaan hematologi dan kimia darah. Hasil
USG anjing Fiji menunjukkan ginjal kiri berukuran panjang 3.8 cm dan ginjal
kanan 3.74 cm. Ukuran ini jauh dibawah standar ukutan ginjal anjing. Ukuran
normal ginjal anjing bulldog dengan berat 5-9 kg adalah 3,2 -5,2 cm; anjing
dengan berat 15 – 19 kg adalah 5,0 – 6,7 cm, dan anjing dengan berat 20 – 24 kg
adalah 5,2 – 8,0 cm (Debruyn et al., 2012). Fiji dengan berat badan 16,25 kg
seharusnya memiliki ginjal dengan ukuran 5,0-6,7 cm. Intrepretasi USG juga
menjelaskan tekstur batasan korteks dan medulla sulit dibedakan, korteks terlihat
hypoechoic sedangkan medulla terlihat homogeny anechoic, serta bentuk dan
permukaan ginjal tidak beraturan. Gambaran USG ginjal normal menurut
Debruyn et al., (2012) adalah ukuran ginjal betina lebih kecil daripada jantan,
lokasi secara anatomis ginjal berada di caudal fundus dan caudomedial limpa
dengan bentuk oval dan berbatas jelas, internal structural dapat terlihat dengan
jelas batasan antara corteks dan medula. Bagian parenkim ginjal lebih hyperechoic
(gelap), bagian medulla akan nampak anechoic, dan bagian korteks lebih
hypoechoic (Noviana, 2012). Anjou (2008) menambahkan perubahan echogenitas
cortical merupakan salah satu penanda insufuensi ginjal, namun hal ini tidak
spesifik. Perubahan ini dapat berupa peningkatan echogenitas daerah corteks,
maupun penurunan echogenitas daerah corteks. Peningkatan echogenitas cortical
ditemukan pada kasus pada accute interstitial neprihitis / glomerulonefritis, accute
tubular nefritis, feline infectious peritonitis, cronic kidney disease, amyloidosis,
renal displasia, nephrocalcinosis, neoplasia (diffuse lymphoma). penurunan
echogenitas cortical dijumpai pada kasus CKD, renal displasia, dan cyst.
Pemeriksaan USG bertujuan untuk melihat ukuran, sumbatan dan tekstur per
bagian organ. Pengecilan ukuran pada ginjal mengindikasikan adanya gangguan
ginjal atau infeksi ginjal yang telah berlangsung dalam waktu lama, dengan kata
lain ginjal sudah mengalami gangguan kronis (Mantis, 2008).
Berdasarkan gambaran USG yang diperoleh Fiji didiagnosa nefritis kronis
dengan diferensial diagnosa hipoplasia renal dan displasia ginjal. Gambaran USG
ginjal Fiji adalah terlihat tekstur korteks homogen hypoechoic dengan kesan
menipis, sedangkan medulla terlihat tekstur homogen anechoic. Noviana (2012)
menjelaskan pada kejadian nefritis interstitial kronik terlihat ukuran ginjal
mengecil, korteks terlihat lebih hyperechoic, batas antara korteks, medulla dan
sinus tidak terlihat dengan jelas. Pada kondisi cronic renal disease gambaran USG
ginjal terlihat korteks terlihat hipo-hyperechoic dengan echotekstur yang lebih
bergranula dan batas yang tidak beraturan dengan medulla. Korteks tampak
tampak lebih tipis dari medulla Pernyataan ini memastikan bahwa diagnosa
penyakit Fiji adalah nefritis interstitial menuju cronic renal disease yang
didukung dengan adanya kondisi leukositosis sedang dalam jangka waktu yang
panjang. Diferensial diagnosa yang menunjukkan penampakan ginjal hampir sama
dengan nefritis interstitial adalah dysplasia renal. Abnormalitas yang menciri dari
serta dan tidak terlihat diferensiasi yang jelas antara cortex dan medulla (Mantis,
2008).
Kondisi nefritis interstitial dalam jangka panjang akan berkembang
progresif menjadi penyakit ginjal kronis. Patofisiologi gagal ginjal kronis berawal
dari kerusakan sel nefron dalam proses filtrasi sehingga mengakibatkan
penurunan laju filtrasi glomerulus yang ditandai dengan peningkatan nilai urea
dan kreatinin. Penurunan laju fitrasi ini akan diikuti dengan peningkatan
reabsorbsi tubulus sehingga muncul ketidakmampuan memekatkan atau
mengencerkan urin yang ditunjukkan dengan gejala poliuria (Matsell, 1998). Hal
tersebut nampak pada pemeriksaan urin anjing Fiji yang tercatat dibawah normal
yaitu BJ urine 1.010.
Tanda dan gejala gagal ginjal kronis adalah uremic syndrome antara lain
gangguan pada gastrointestinal berupa anoreksia, nausea, muntah, kulit berwarna
pucat, mudah lecet, rapuh, timbul bintik hitam, anemia, sesak nafas, dan
hipertensi (Matsell, 1998). Gejala yang tampak pada anjing Fiji yaitu mukosa
terlihat pucat, anemia dan hematuria.
Uremic syndrome adalah kumpulan gejala uremia yang terjadi pada
penerita gagal ginjal progresif, insufisiensi ginjal dan gagal ginjal kronik (Price,
2005). Uremic syndrome ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus,
akumulasi metabolit protein & asam amino dalam darah, serta gangguan proses
katabolisme di ginjal yang akan berakhir dengan end stage renal disease (ESRD)
(Alper & Shenava, 2010). Beberapa manifestasi uremic syndrome adalah asidosis
metabolik, anoreksia, vomit, pruritis, kulit berkerak, gangguan kardiovaskular,
edema pulmonum, uremik coagulopathy dan uremik encephalopathy.
Uremic syndrome pada Fiji dapat dilihat dari BUN dan kreatinin yang
meningkat. Kreatinin adalah hasil akhir metabolism kreatin di otot, Kadar ureum
merupakan hasil katabolisme protein. Protein yang berasal dari pakan akan
mengalami perombakan di saluran pencernaan (duodenum) menjadi molekul
sederhana yaitu asam amino dan unsur nitrogen yaitu amoniak (NH3). Asam
amino merupakan produk dari perombakan protein yang dapat dimanfaatkan oleh
tubuh, sedangkan amonia merupakan senyawa toksik yang akan mengalami
proses detoksifikasi di hati. Amoniak akan didetoksifikasi melalui siklus urea
menjadi urea. Siklus urea adalah perombakan kelompok asam amino (amonia dan
L-aspartat) menjadi urea. Selain itu, urea juga disintesis di hati melalui oksidasi
asam amino (Price, 2005). Urea dalam hepar selanjutnya akan diikat oleh N-
acetylglutamate, kemudian urea berdifusi dalam darah dan diekskresi melalui
ginjal sebagai komponen urin. Peningkatan nilai BUN dan kreatinin menunjukkan
gangguan fungsi kegagalan ginjal untuk mengekskresikan hasil metabolisme
tubuh terutama urea dan kreatinin. Kegagalan ekskresi terjadi sebagai akibat dari
penurunan laju filtrasi glomerulus sehingga hasil metabolisme yang seharusnya
dibuang akan menumpuk dalam plasma darah dan dapat menyebabkan kondisi
azotemia (Thrall, 2004). Kondisi azotemia yang berkepanjangan dapat
menyebabkan uremic syndrome.
Akumulasi ureum pada saluran intestinal menyebabkan kerusakan
pertahanan mukosa. Menurut Carlton & Mc Gavin (1995) mekanisme kerusakan
mukosa diawali dari difusi ion-ion hidrogen oleh urea hingga terbentuk ulserasi
pada mukosa rongga mulut, lambung, dan mukosa intestinal. Sehingga akan
tampak gejala muntah dan diare kehitaman seperti yang tampak pada anjing Fiji.
Efek ureum yang tinggi dalam darah (uremia) juga mengakibatkan
uremik coagulopathy terutama terhadap trombosit. Trombosit tidak mampu
membentuk bekuan sehingga tidak terjadi agregasi trombosit. Akumulasi urea
juga menghambat kerja faktor VIII pembekuan darah, akibatnya akan timbul
perdarahan dari hidung, diare berdarah, dan perdarahan di bawah kulit (Vanholder
dan Smet, 1999).
Pruritis dan gangguan kulit seperti kulit berkerak juga merupakan salah
satu manifestasi uremik sindrom, Pruritus terjadi akibat ekskoriasi (kerusakan
kulit sampai ujung stratum papilaris sehingga kulit tampak merah disertai bintik-
bintik perdarahan) akibat toksin uremia yang mengendap di pori-pori kulit (Alper
& Shenava, 2010).
Manifestasi uremic syndrome yang terakhir adalah uremic enchepalopathy.
Patofisiologi dari uremic encephalopathy adalah akumulasi berlebih senyawa
organik metabolit protein dan asam amino yang merusak neuron. Senyawa
tersebut di antara lain adalah urea, guanidine, guanidinosuccinic acid, asam urat,
asam hippuric, phenol dan konjugat phenol, asam phenols dan asam indolic,
acetoin, asam glukoronat, karnitin, myoinositol, sulfat, fosfat. Senyawa – senyawa
tersebut bersifat neurotoksik (Bucurescu, 2008). Kerusakan neuron menyebabkan
kelemahan otot dan syaraf, seizure, koma, dan berakhir pada kematian (Lohr,
2009). Adanya kejang dan tremor kepala perlu adanya kecurigaan mulai
terjadinya encepalopati. Tremor kepala juga sering terjadi khususnya pada anjing
English bulldog yang terjadi secara idiopatik, hal tersebut dikenal dengan
idiopatik head tremor (IHT).
Gangguan kardiovaskular dan pulmonary muncul pula pada kondisi
uremia. Penumpukan urea dalam pericardium menyebabkan retensi urea dalam
rongga thorak. Kondisi ini menginisiasi terjadinya pericarditis sehingga akan
mengganggu kerja jantung dalam memompa darah ke seluruh tubuh. Penumpukan
urea pada paru menyebabkan edema pulmonum. Edema pulmonum terjadi ketika
ginjal mengalami penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Penurunan LFG akan
merangsang apparatus juxtaglomerular mensekresikan renin. Renin yang beredar
sistemik di dalam pembuluh darah akan mengaktifkan angiotensinogen menjadi
angiotensin I dan kemudian berubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II ini
akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Akibatnya tekanan darah
arteri meningkat dan beban jantung akan meningkat pula. Kondisi tersebut
menyebabkan jantung mengalami kompensasi berupa hipertrofi ventrikel kiri.
Hipertrofi ini menyebabkan lumen ventrikel kiri menjadi sempit sehingga volume
darah yang dipompa menjadi lebih sedikit dari seharusnya. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya bendungan darah di paru-paru dan apabila terjadi secara
terus-menerus dan berlebihan, maka terjadi edema pulmonum akibat peningkatan
tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru (Amann & Ritz 1997).
Anemia juga merupakan permasalahan umum yang terjadi pada anjing
dengan kondisi penyakit ginjal. Tingkat keparahan anemia sebanding dengan
tingkat keparahan penyakit ginjal yang terlihat pada nilai BUN dan kreatinin.
Anemia non-regeneratif juga terjadi pada Fiji ditandai dengan ditandai MCV
yang normal dan MCHC yang mengalami sedikit kenaikan, serta normositik
normocromic pada apusan darah. Hasil hematologi menunjukkan anemia non
regeneratif yang berarti terjadi kegagalan sumsum tulang membentuk sel darah
merah baru akibat penurunan produksi eritropoetin oleh ginjal (Day & Kohn,
2012). Pembentukan sel darah merah atau eritrosit dirangsang oleh hormon
glikoprotein yaitu eritropoietin. Hormon ini 90% dihasilkan di sel perilobular
ginjal. Stimulus pembentukan hormon ini meningkat apabila tubuh mengalami
hipoksia jaringan, penurunan kadar oksigen darah arteri, dan berkurangnya
konsentrasi hemoglobin. Oleh sebab itu produksi eritropoietin akan meningkat
pada kondisi anemia yang disebabkan oleh gangguan metabolik dan struktural,
hemoglobin tidak dapat melepaskan oksigen secara normal, dan kerusakan
sirkulasi ginjal. Eritropoietin merangsang eritropoiesis dengan sel progenitor yang
terikat untuk proses pembentukan eritrosit (Hoffbrand, et al., 2005). Pada kondisi
anemia seperti ini pemberian terapi hormon eritropoietin dapat memperbaiki
kondisi anemia yang ditunjukkan dengan adanya perbaikan nilai hematokrit dan
RBC (Cowdgill et al.,1998). Transfusi darah hanya diberikan jika terjadi anemia
berat dan tidak adanya respon pemberian erythropoietin. Transfusi darah pada
Fiji dilakukan akibat keparahan tingkat anemia yang terjadi. Transfusi dilakukan
dengan menggunakan darah sebanyak 200 ml.
Hasil hematologi anjing Fiji menunjukkan adanya luokositosis.
Leukositosis berarti peningkatan jumlah leukosit per mikroliter yang melebihi
nilai normal. Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi
tubuh dari infeksi mikroorganisme (Bijanti, dkk 2010). Pada kasus ini, infeksi
mikroorganisme diduga terjadi di dalam ginjal.
Kondisi gagal ginjal kronis terjadi gangguan metabolisme kalsium dan
phospor. Kedua kadar serum tersebut memiliki mekanisme kerja yang
berlawanan. Penurunan filtrasi pada ginjal menyebabkan peningkatan kadar
phospor dan penurunan kadar kalsium (Matsell, 1998). Hasil pemeriksaan
elektrolit Fiji baik pertama dan kedua menunjukkan peningkatan nilai phosphor
dan kalium. Tidak nampak adanya perbaikan kadar phosphor dibandingkan hasil
pemeriksaan yang pertama. Peningkatan nilai kalium menunjukkan gangguan
fungsi kontrol elektrolit oleh ginjal. Ginjal merupakan pengendali utama kalium,
di ginjal terjadi sekresi kalium ke dalam cairan tubulus distal yang ditukar oleh
ion natrium dan hidrogen, serta proses regulasi PH urin. Pada gagal ginjal tahap
lanjut, tubulus distal tidak dapat lagi menukar K+ atau H+ untuk Na+ , sehingga
menyebabkan hiperkelemia. Selain itu, kondisi asidosis metabolik juga dapat
menimbulkan hiperkalemia karena terjadi pergeseran K+ dari dalam sel ke cairan
ekstraseluler. Efek hiperkalemia terhadap tubuh adalah dapat menyebabkan
gangguan pada hantaran listrik jantung yang dapat memicu henti jantung (Carlton
dan McGavin,1995).
Asidosis metabolik terjadi karena adanya gangguan kemampuan ginjal
untuk mengekskresikan H+ disertai penurunan kadar bikarbonat (HCO3-) dan pH
plasma. Ekskresi ion ammonium (NH4+) merupakan mekanisme utama ginjal
untuk mengeluarkan H+ dan pembentukan kembali HCO3 -(Price, 2005). Pada
gagal ginjal ekskresi NH4+ akan berkurang secara drastis karena berkurangnya
jumlah nefron yang fungsional (Alper & Shenava, 2010). Untuk itu, penanganan
kasus asidosis pada anjing fiji menggunakan Natrium bicabonat untuk
menetralkan pH darah Fiji.
Retensi cairan dan natrium tidak dapat terjadi akibat tubulus tidak mampu
mengkonsentrasikan urine. Hal inilah yang menyebabkan adanya resiko gejala
edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi (Neilson, 2007). Seperti yang
terlihat pada pemeriksaan natrium anjing Fiji yang terlihat meningkat. Sehingga
dalam penanganan kasus gangguan ginjal seperti pada Fiji digunakan pakan
khusus penyakit ginjal yang rendah akan natrium, rendah protein, rendah kalium,
rendah fosfor yang dapat mendukung fungsi kerja ginjal. Serta mengurangi
pembentukan batu oksalat, melalui kandungan kalsium rendah dan Vitamin D,
dan zat alkalis lainnya.
Kasus gagal ginjal kronik hanya memiliki dua opsi terapi yaitu
hemodialisa atau transplantasi ginjal, dengan kata lain penyakit gagal ginjal
kronik tidak bisa disembuhkan atau prognosa infausta. Pemberian terapi yang
dilakukan hanya bersifat supportif. Monitoring terhadap gejala klinis dan hasil
darah dilakukan secara berkala untuk mengetahui perjalanan penyakit dan kontrol
terhadap terapi yang diberikan.
Terapi penyakit ginjal kronis akibat nefritis menurut Richard W Nelson
(2014) memiliki tata laksana dan harus mempetimbangkan dari bebrbagai aspek
seperi berikut:
1. Penggunaan terapi cairan crystaloid, pada kasus Fiji terapi cairan yang
digunakan yaitu cairan crystalid asering yang mengandung Na, K, Ca,
asetat, dan Cl yang berfungsi sebagai penstabil elektrolit ketika terjadi
dehidrasi berat dan juga demam. Selain itu asering juga sangat baik dalam
mengatasi asidosis laktat akibaat penyakit ginjal daripada cairan elektrolit
lain seperti Ringer Laktat.
2. Koreksi gangguan asam-basa, pada kasus fiji penanganan asidosis yang
mungkin terjadi pada penyakit ginjal yaitu menggunakan natrium
bicarbonat. Karena keadaan ini biasanya berlangsung bersamaan dengan
pengosongan natrium, maka sebaiknya keadaan ini diperbaiki dahulu
dengan pemberian natrium bicarbonat intravena, sehingga ginjal tidak
dipengaruhi dan derajat asidosis tidak begitu berat hingga tidak merusak
fungsi ginjal.
3. Phospat binder, pada kasus ini menggunakan inpepsa (sucralfat) yang
mengandung Alumunium hidroksida yang berfungsi untuk menghambat
penyerapan phospat, dan juga berperan untuk membantu ulcer lambung
akibat uremic syndrome.
4. Setelah itu dilakukan observasi dan identifikasi terhadap kemungkinan
yang menyebabkan kegagalan ginjal, seperti dilakukannya pelaksanaan tes
darah, tes urine, dan USG untuk memastikan gambaran anatomi dari ginjal
itu sendiri yang berkaitan dengan keadaan normal ginjal atau tidak.
Sebagai keputusan hasil observasi yang telah dilakukan anjing Fiji di
diagnosa menderita nefritis khronis.
5. Mengacu pada hasil diagnosa, keputusan pemberian terapi dan diet dalam
kasus nefritis khronis ini dapat dilakuakan sesuai pertimbangan fungsi
kerja ginjal seperti, pemberian diet yang rendah gaaram, rendah protein,
serta rendah phospor untuk mendukung fungsi kerja ginjal.
6. Serta pemberian diet yang sesuai dengan identifikasi terhadap komplikasi
gangguan pada urinary track, pada kasus anjing Fiji dilakukan pemberian
diet dengan kandungan mineral kalium, kalsium, dan phosphor yang
rendah sehingga mengurangi kejadian pengendapan mineral yang mampu
membentuk batu yang dapat memperparah kerja ginjal.
7. Pemberian terapi antihipersensitive, pada anjing Fiji ini diberikan
decadryl® yang mengandung dipenhidramin sebagai H2 blocker.
8. Pemberian human erythropoietin, pada kasus anjing Fiji pemberian human
erthropoitin ini digantikan dengan trnsfusi darah, transfusi darah hanya
dilakukan pada pasien gagal ginjal yang hemoglobin darahnya dibawah
normal yaitu pada nilai 11.

Pengobatan lain yanng diberikan yaitu Omega 3 merupakan asam lemak


tak jenuh yang memiliki kandungan DHA, EPA, vitamin A,D,E dan K dan
berfungsi sebagai antidepresan, antikoagulan, mengurangi infeksi kulit (eksim
dan pruritis), dan mengurangi resiko perdarahan (Polzin et al., 2005). . Tonar®
tablet adalah diet asam amino pembentuk protein yang dirancang khusus untuk
hewan dengan kelainan fungi ginjal sehingga diharapkan kebutuhan protein tetap
terpenuhi dengan diet asam amino (Nelson, 2013).
Akupuntur dan terapi cairan dilakukan seminggu sekali dan dilakukan
transfusi darah sebulan sekali. Akupuntur merupakan pengobatan yang dilakukan
dengan cara menusukkan jarum di titik -titik tertentu pada tubuh pasien, telinga,
kepala, sekitar telapak kaki dan tangan dengan tujuan untuk mempengaruhi /
memperbaiki kesalahan aliran bioenergi tubuh yang disebut dengan Qi (dibaca :
Chi). Dalam pergerakannya Qi mengalir searah dalam sistem saluran yang disebut
dengan meridian. Perlakuan akupuntur hanya berperan mengurangi gejala gejala
yang muncul pada tubuh Fiji, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap
proses penyembuhan.
Prognosa nefritis interstitial pada anjing Fiji berakhir infausta. Kondisi
Fiji semakin hari semakin memburuk. Hasil pemeriksaan terakhir menyebutkan
adanya hiperkalemia. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa efek hiperkalemia
terhadap tubuh adalah dapat menyebabkan gangguan pada hantaran listrik jantung
yang dapat memicu henti jantung (cardiac arrest). Kondisi hiperkalemia ini yang
diyakini meyebabkan Fiji meninggal setelah perawatan tiga minggu di klinik.

Kesimpulan
Nefritis interstitial adalah peradangan sel nefron pada bagian interstitium
ginjal yaitu sekitar tubulus. Nefritis interstitial dalam jangka panjang akan
berkembang progresif menjadi penyakit ginjal kronis. Pengobatan yang dapat
diberikan pada anjing yang menderita gagal ginjal kronis adalah transplantasi
ginjal, tanpa ada transplantasi pengobatan yang diberikan hanya dalam bentuk
terapi supportif berdasarkan gejala klinis. Pemberian terapi pada Fiji adalah terapi
supportif namun pada akhirnya prognosa penyakit ini adalah infausta.

Daftar Pustaka
Alper, A.B. and R.G. Shenava. 2010. Uremia. http://www.
emedicine.medscape.com/nephrology [23 Februari 2015].
Amann K and Ritz E. 1997. Cardiac disease in chronic uremia:
pathophysiology. Journal of Adv Renal Replace Therapy. 4(3): 212-24
Arbelo, M., E.N. Belliere, E. Sierra, S. Sacchinni, F. Esperon, M. Andrada, M.
Rivero, and A. Fernande. 2012. herpes virus infection associated with
interstitial nephritis. Journal of vet research 8 :243
Baker, R. and C. Pusey.2004.The changing profile of acute tubulointerstitial
nephritis. Nephrol Dial Transplant 19 (1): 8–11
Bijanti, R., M.G Atik, R.S. Wahyuni, and B.Utomo. 2010. Buku Ajar Patologi
Klinik Veteriner. Edisi pertama. Airlangga University Press. Surabaya
Bucurescu, G. 2008. Uremic Encephalopathy . http://www.emedicine.medscape
com/nephrology [24 Februari 2015].
Carlton, W.W and M.D. McGavin. 1995. Thomson’s Special Veterinary
Pathology 2nd Ed. Mosby -Year Book, Inc. St. Louis. Missouri
Cowgill, L. D., K.M James, J.K Levy, J.K Browne, R.T Lobingier, and
J.C Egrie. 1998. Use Of Recombinant Human Erythropoietin For
Management Of Anemia In Dogs And Cats With Renal Failure. Journal
Of The American Veterinary Medical Association 212, 521-528
d’Anjou M. 2008. Kidneys and ureters. In: Penninck D and d’Anjou
M (eds). Atlas of small animal ultrasonography, 1st ed. Ames:
Blackwell Publishing, pp 339–364
Day, M.J. and B. Kohn. 2012. Hematology and Transfusion medicine. 2 nd Eds.
BSAVA manual of Canine and Feline.England : British Small Animal
Association
Debruyn, K., H. Haers, A. Combes, K. vanderperren, and J.H. Saunder. 2012.
Ultrasonography of the Feline Kidney Tecnique, Anatomy, and
Changes Associated with disease. Journal of Feline Medicine and
Surgery (14)
Hamir, NA., C.A. Hanlon, M.Niezgoda, and C.E Rupprecht. 2001. The
prevalence of interstitial nephiritis and leptospirosis. Can Vet J. 2001 Nov;
42(11): 869–871.
Hoffbrand, A.V., J.E Pettit, and P.A.H Moss. 2005. Kapita Selekta Hematologi.
Edisi 4. Alih Bahasa Lyana Setiawan. Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Jakarta
Kaneko,J.J. 2003. Clinical Biochemistry of Domestic Animal. San Diego
Academic Press
Lohr, J.W. 2009. Encephalopathy, Uremic. http://www.emedicine.
medscape.com/nephrology [24 Februari 2015].
Mantis P. 2008. Ultrasonography of the urinary and genital system
of the dog and cat. Iranian J Vet Surgery 63–71.
Matsell, D.G. 1998. Renal displasia : new approaches to an olg problem. Am J
Kidney Dis. Oct :32(4):535-43
Mitchell, F. 2010. Essential Biochemistry for Medicine.1st Eds. Willey Blacwell
Nash, A.S, D.F Kelly, and C.J Gaskell.2004. Progressive Renal Disease in Soft
coated Wheaten Terrier : possible familial neprophaty. J. Small Animal
Practice 25 (479-487)
Noviana, D. S.A. Alimba, M.F. Ulum, and R. Siswandi. 2012. Diagnosis
Ultrasonografi pada Hewan kecil . IPB Press Bogor
Plumb, D.C. 2005. Veterinary Drug Handbook. 5thEds USA : Blackwell
Publishing.
Polzin, D. J., C.A Osborne, and S. Ross. 2005. Chronic Kidney Disease. In:
Textbook Of Veterinary Internal Medicine. 6th Edn. Eds S. J. Ettinger And
E. C. Feldman. W. B. Saunders, Philadelphia, Pa, Usa. Pp 1756-1785
Price, W. 2005. Patofisiologi- Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC, edisi 6
Ramayanti, R., O.R. Ramayani, and Rusdidjas. 2010. Interstitial Nepritis. ppt
Ilmu Penyakit Dalam. Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran.
Universitas Indonesia : Jakarta
Thrall, M.A. 2004.Veterinary Hematology and Clinical Chemistry. Lippincott
Williams and Wilkins
Vanholder, R. and R.D. Smet. 1999. Review pathopysiologic effects of uremic
retention solution. J Am Soc Nephrol . 10: 1815-1823
Villiers, E. and L. Blackwood. 2012. Clinical Pathology. 2 nd Eds. BSAVA Manual
of Canine and Feline. England : British Small Animal Association

Anda mungkin juga menyukai