Anda di halaman 1dari 10

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi Rumen

Anatomi saluran pencernaan pada ruminansia terdiri dari mulut, lidah,

glandula saliva, esofagus, 4 bagian lambung (rumen, retikulum, omasum,

abomasum), pankreas, dan usus. Lambung ruminansia menempati 75% dari

rongga perut, mengisi hampir semua sisi kiri dan memanjang secara signifikan di

sisi kanan. Rumen adalah kompartemen lambung terbesar yang menampung 40

galon pada sapi dewasa. Retikulum menampung 5 galon pada sapi dewasa.

Retikulum dan rumen hanya dipisahkan oleh jaringan otot kecil sehingga disebut

retikulorumen. Omasum menampung 15 galon dan abomasum menampung 7

galon pada sapi dewasa (Parish, 2011). Anatomi bagian saluran pencernaan

ruminansia terdapat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagian saluran pencernaan ruminansia (Boyles dkk., 2014)


Rumen adalah bagian lambung terbesar dari keempat bagian lambung

pada ruminansia. Kapasitas rumen pada kambing dan domba bervariasi dari 3-6

galon tergantung pada jenis makanan hewan tersebut. Lapisan rumen merupakan

lapisan seperti jari kecil yang disebut papila. Papila rumen berfungsi untuk

meningkatkan daya serap permukaan rumen. Rumen berisi banyak


mikroorganisme seperti protozoa yang memasok enzim untuk memecah serat

pada pakan (Correa, 2016). Anatomi rumen terdapat pada Gambar 2.

Gambar 2. Anatomi rumen (Mansour, 2018)


Aktivitas mikroba dalam rumen mengkonversi gula dan serat pada pakan

menjadi asam lemak volatil asetat, asam propionat, dan butirat. Asam lemak

volatil ini diserap oleh dinding rumen dan menyediakan sebanya 80% dari total

kebutuhan energi ruminansia. Pencernaan mikroba pada rumen adalah alasan

mengapa ruminansia efektif menggunakan pakan serat. Mikroorganisme pada

rumen juga mengkonversi komponen menjadi produk yang bermanfaat seperti

asam amino esensial, vitamin B kompleks, dan vitamin K. Setelah itu

mikroorganisme dicerna di usus kecil. Pada proses mencerna pakan,

mikroorganisme rumen juga memproduksi gas, terutama methane dan

karbondioksida. Hewan secara normal mengeliminasi gas melalui eruktasi. Ketika

gas diproduksi lebih cepat dibandingkan hewan yang dapat mengeliminasi gas,

potensi terjadi kematian karena bloat akan semakin besar. Kondisi ini

berhubungan dengan konsumsi jenis leguminosa yang terlalu tinggi (Correa,

2016).
Anastesi

Pengertian anastesi

Anestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu "an" dan "aesthētos" yang

berarti hilangnya rasa atau sensasi. Pemakaian istilah anastesi pada masa kini

berarti pengurangan nyeri sewaktu pembedahan. Anastesi umum menunjukkan

bahwa pasien telah dibuat tidak sadar dengan obat-obatan namun dapat disadarkan

kembali. Anastesi dapat diberikan melalui jalur inhalasi, intravena, intramuskuler,

dan per-rektum. Anastesi lokal menunjukkan anastesi pada sebagian tubuh saja

(Taub et.al, 2015).

Teknik anastesi rumenotomi

Teknik anastesi lokal pada hewan besar biasanya digunakan untuk

mengakses rongga abdomen. Teknik anastesi yang dapat digunkan antara lain

teknik anastesi infiltrasi dengan L blok, paravertebral, atau epidural. Ketiga

teknik tersebut memiliki potensi menganastesi region flank untuk prosedur operasi

seperti displasia abomasum, rumenotomi, secio caesarian, serta operasi intestinal

(Fubini dan Ducharme, 2017; Weaver et.al, 2018).

A. Paravertebral

Anastesi paravertebral memiliki potensi anstesi pada seluruh regio

flank melalui blokade nervus spinalis T13, L1, dan L2. Teknik anastesi ini

dapat dilakukan pada 2 lokasi, yaitu paravertebral proximal dan distal

(ditunjukkan oleh Gambar 1). Paravertebral block diindikasikan dengan kasus

bedah laparotomi berdiri, misalnya pada kasus secio caesaeria, rumenotomi,


cecotomi, koreksi dislokasi gastrointestinal, obstruksi intestinal dan volvulus.

Anastesi paravertebral proximal dilakukan pada nervus spinalis yang berada di

foramen intervertebral antara brankus thoracica terakhir (T13) dengan lumbar

pertama hingga lumbar ketiga (L1, L2,L3). Teknik ini disebut juga dengan

teknik Farquharson, Hall, atau Cambridge. Lokasi anastesi dapat ditentukan

dengan 2,5-5cm dari dorsal midline ke arah prosesus transverses L1, L2 atau

L3 menggunakan jarum 20G sepanjang 2,5 cm (Fubini dan Duchame, 2017).

Gambar 3. Teknik anastesi paravertebral; proximal block (kiri) dan distal


block (kanan) (Fubini dan Duchame, 2017).
B. L-blok

Teknik anastesi infiltrasi dengan metode L blok pada daerah sekitar

insisi dapat menghasilkan efek analegsi yang memadai. Teknik ini juga dapat

digunakan jika teknik paravertebral tidak berhasil dilakukan (Weaver et.al,

2018). Berdasarkan Fubini dan Duchame (2017) teknik ini dilakukan dengan

injeksi berganda secara subkutan sedalam 1 cm sepanjang caudal costae

terakhir secara vertikal dan secara horizontal pada ventral processus

trasversus, ditunjukkan oleh Gambar 2. Nervus terblok sedikit proximal dari

jalur anstesi, serta pada daerah cranial dan dorsal dari area incisi. Teknik ini

memiliki kekurangan seperti adanya kemungkinan perdarahan yang lebih

karena vasodilatasi lokal (namun dapat diminimalisir dengan penambahan


epinefrin), anastesi tidak sempurna pada lapisan yang lebih dalam, jumlah

lidocain yang dibutuhkan lebih besar, serta kemungkinan terjadi toksisitas.

Weaver et.al (2018) menambahkan teknik ini dapat menyebabkan edema serta

hemoraghi lokal, distorsi lapisan jaringan, buruknya relaksasi muskulus,

keradangan post operasi meningkat, dan resiko infeksi cacing meningkat.

Gambar 4. Teknik anastesi L-blok (Hendrickson dan Braid, 2013).


C. Anastesi epidural

Lokasi anastesi dengan teknik epidural ditentukan dengan cara

mengangkat dan menurunkan pangkal ekor untuk meraba pertemuan antar

sendi vertebrae. Yang paling jelas pergerakannya adalah sendi antara

vertebrae coccygea pertama dan kedua, disusul sendi antara vertebrae sacral

terakhir dan vertebrae coccygea pertama. Penyuntikan dilakukan pada lekukan

sendi tersebut dengan jarum 18 G ditusuk tegak lurus. Ujung jarum

diharapkan menyentuh dasar canalis vertebralis dan obat dimasukkan.

Anestesi lumbal epidural, pada sapi lokasi suntikan antara lumbal pertama dan

kedua (Fubini dan Duchame, 2017). Tenik anastesi ditunjukkan oleh Gambar

3.
Gambar 5. Teknik anastesi epidural (Fubini dan Duchame, 2017)
Lidocaine HCl

Lidocaine HCl, atau dikenal juga dengan nama Lignocaine HCl termasuk

dalam golongan anastetika lokal yang bersifat agen anti disritmia, bekerja dengan

menghambat influks ion sodium melalui jalur selektif ion sodium pada membran

saraf sehingga terjadi kerusakan pada potensial aksi. Jalur sodium sendiri

merupakan reseptor spesifik untuk molekul anastesi dengan demikian lidocaine

dapat menyebabkan penurunan atau tidak ada perubahan pada respon dan

eksitabilitas membran sel serta lidocaine juga dapat mengurangi aktivitas ektopik

neuron sehingga dapat meredakan rasa sakit. Setelah diinjeksikan, larutan ini akan

diredistribusikan secara cepat dari plasma kedalam organ seperti ginjal, hepar,

pulmo, jantung serta didistribusikan secara meluas pada jaringan tubuh.

Lidocaine memiliki afinitas yang tinggi terhadap lemak dan jaringan adiposa serta

mengikat plasma protein, terutama alpha-acid glycoprotein. Lidocaine

dimetabolisme secara cepat di hepar menjadi metabolit aktif (MEGX dan GX)

(Plumb, 2018).

Teknik Rumenotomi

Operasi rumenotomi dilakukan dalam posisi berdiri pada flank kiri. Insisi

kulit dan subkutan flank kiri dilakukan di tengah fossa paralumbar sekitar 5 cm
caudal costae terakhir. Insisi dimulai dari 3 sampai 5 cm di bawah processus

transversus vertebrae lumbaris. Arah insisi vertikal sepanjang kurang lebih 10

sampai 15 cm. Terdapat tiga lapisan muskulus yang melapisi rumen yaitu

musculus obliquus abdominis externus, musculus obliquus abdominis internus,

muskulus transversus abdominis. Masing-masing muskulus dipreparir

(Hartiningsih dkk, 2010).

Gambar 2. Teknik fiksasi dinding rumen pada kulit. (a) stay suture rumenotomy.
(b) Rumen skin clamp fixation, (c) Rumen skin suturing fixation, (d)
Weingarth’s ring fixation.
Terdapat empat cara fiksasi rumen yaitu Stay suture rumenotomy, Rumen

skin clamp fixation, Rumen skin suturing fixation, Weingarth’s ring fixation. (1)

Stay suture rumenotomy adalah metode fiksasi dinding rumen pada kulit dengan

cara menjahit bagian cranial, caudal, ventral, dan dorsal area insisi. (2) Rumen

skin clamp fixation rumen. Metode ini menggunakan 6-8 duk klem. Setelah

dinsisi, bagian cranial dan kaudal area insisi dijepit menggunakan duk klem,

dilanjut pada bagian ventral, dorsal dan diagonalnya. Kekurangan metode ini

adalah area bekas jepitan duk klem akan mengalami trauma. (3) Rumen skin

suturing fixation. Metode ini dilakukan dengan cara menjahit dinding rumen

dengan kulit menggunakan benang silk no 2 dan pola jahitan continous connell

suture pattern. Jahitan dimulai dari bagian caudal, lalu ke ventral, dorsal dan

berakhir dikranial. (4) Weingarth’s ring fixation. Setelah dilaparatomi,

weingarth’s frame dipasang didaerah komisura dorsal dan di fiksasi menggunakan

valsellum forceps dibagian cranial dan caudal area insisi. Selanjutnya bagian tepi-

tepi insisi difiksasi dengan fixation teneculums (Dehghani dan Ghadrdhani, 1995).

Setelah rumen terekpos dilakukan pemasangan shroud untuk menghindari

kontaminasi dari isi rumen. Selanjutnya luka insisi pada dinding rumen dijahit

menggunakan benang diserap, pola jahitan sederhana menerus. Lapisan serosa

dan muskularis dijahit menggunakan benang diserap pola jahitan Lembert.

Selanjutnya rumen direposisi ke dalam rongga abdomen. Peritoneum dan

muskulus transversus abdominis, m. Obliquus abdominis internus dan eksternus

dijahit menggunakan benang diserap, pola jahitan sederhana tunggal. Lapisan

subkutan dijahit dengan benang diserap dan pola jahitan sederhana menerus. Kulit
dijahit dengan pola jahitan sederhana tunggal dan benang silk (Hartiningsih dkk,

2010).

DAFTAR PUSTAKA

Boyles, S.L., Eastridge, M.L., Fluharty, F.L. Grimes, J. 2014. Nutrition Feeding.
Highland County: Ohio University.
Correa, J.E. 2016. Digestive System of Goats. Alabama: A&M University.
Dehghani, S., dan Amir, M. G. 1995. Bovine Rumenotomy: Comparison Of Four
Surgical Techniques. Can Vet Journal, vol. 36, hal 693-697.
Fubini, S.L. dan Ducharme, N.G. 2017. Farm Animal Surgery 2nd Ed. St. Louis,
Missouri : Elsevier Inc.
Hartiningsih, Setyo, B., Dhirgo, A., Debita, A., Agus, P., dan Dito, A. 2010.
Petunjuk Dasar Teknik Bedah Veteriner. Departemen Ilmu Bedah dan
Radiologi, Fakultas Kedokteran Hewan UGM.
Hendrickson, D.A, Baird, A.N. 2013. Turner and Mcllwraith’s Techniques in
Large Animal Surgery 4th Edition. USA: Blackwell Publishing Ltd.
Mansour, M., Ray, W., Joe, R. 2018. Guide to Ruminant Anatomy. USA.
Blackwell. Marongiu, M. L. 2012. Local anesthesia for husbandry
procedures and experimental purpose in farm animals. View of Vet. Med. 13:
233-254.
Parish, Jane. 2011. Ruminant Digestive Anatomy and Function. Beef Production
Strategies Article.
Plumb, D. C. 2018. Veterinary Drug Hand Book: 6th Edition. Iowa: Blackwell
Publishing.
Taub, P.J., Patel, P.K., Buchman, S.R. dan Cohen, M.N. 2015. Ferraro's
Fundamentals of Maxillofacial Surgery Second Edition. New York:
Springer.
Weaver, A.D., Atkinson, O., Jean, G.St., dan Steiner, A. 2018. Bovine Surgery
and Lameness 3rd Ed. UK : Wiley Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai