Anda di halaman 1dari 16

FARMAKOLOGI VETERINER I

FARMAKOKINETIK

Disusun oleh:

Sheira Tannia Welfalini 1809511004

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
anugerah-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan paper yang berjudul
“Farmakokinetik” dengan baik.
Paper ini disusun berdasarkan pengetahuan yang saya peroleh dari beberapa
buku dengan harapan orang yang membaca dapat memahami mengenai Pengantar
Farmakokinetik.
Adapun penyusunan paper ini dengan maksud untuk memenuhi tugas mata
kuliah Farmakologi Veteriner I yang diampu oleh Dr. drh. I Wayan Sudira, M.Si.
Pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah mendukung pembuatan paper ini diantaranya para
dosen pengajar mata kuliah Farmakologi Veteriner I yang saya hormati dan teman-
teman Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang kami cintai karena telah
membantu dan memberikan dukungan kepada saya selama pembuatan paper ini. Akhir
kata, saya berharap paper ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca. Saya menyadari
adanya kekurangan dari paper ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangatlah saya dambakan.

Denpasar, 10 Oktober 2019

Hormat saya,

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2

1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3

2.1 Farmakokinetik .................................................................................... 3

2.2.1 Absorpsi ...................................................................................... 4

2.2.2 Distribusi ..................................................................................... 6

2.2.3 Metabolisme (Biotransformasi) .................................................... 8

2.2.4 Ekskresi ..................................................................................... 10

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 12

3.1 Kesimpulan ........................................................................................ 12

3.2 Saran .................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dengan seluruh
aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorbsi, dan
nasibnya dalam organisme hidup. Obat didefinisikan sebagai senyawa yang
digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit atau gangguan,
atau menimbulkan kondisi tertentu. Misalnya, membuat seseorang infertile, atau
melumpuhkan otot rangka selama pembedahan. Ilmu khasiat obat ini mencakup
beberapa bagian, yaitu farmakognosi, biofarmasi, farmakokinetika, dan
farmakodinamika, toksikologi, dan farmakoterapi (Indijah, 2016).
Farmakognosi adalah cabang ilmu farmakologi yang mempelajari sifat-sifat
tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat. Farmakoterapi adalah
cabang ilmu yang berhubungan dengan penggunaan obat dalam pencegahan dan
pengobatan penyakit. Dalam farmakoterapi ini dipelajari aspek farmakokinetik dan
farmakodinamik suatu obat yang dimanfaatkan untuk mengobati penyakit tertentu.
Toksikologi adalah ilmu yang memelajari keracunan zat kimia termasuk obat, zat
yang digunakan dalam rumah tangga, industri maupun lingkungan hidup lain,
seperti insektisida, pestisida, dan zat pengawet. Dalam cabang ilmu ini juga
dipelajari juga cara pencegahan, pengenalan dan penanggulangan kasus-kasus
keracunan. Biofarmasi adalah bagian ilmu yang meneliti pengaruh formulasi obat
terhadap efek terapeutiknya. Farmakologi terbagi menjadi 2 subdisiplin, yaitu
farmakokinetik yang mempelajari tentang apa yang dialami obat yang diberikan
pada suatu makhluk hidup, yang meliputi absorbsi (A), distribusi (D), metabolisme
atau biotransformasi (M), dan ekskresi (E) dan farmakodinamik mempelajari
tentang pengaruh obat terhadap sel hidup, organ atau makhluk hidup (Indijah,
2016). Paper ini akan menjelaskan lebih rinci mengenai farmakokinetik.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa itu farmakokinetik?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji:
1. Mengkaji mengenai farmakokinetik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Farmakokinetik
Farmakokinetik didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh
terhadap obat yaitu absorpsi, distribusi, biotransformasi (metabolisme), distribusi dan
ekskresi (ADME), sehingga sering juga diartikan sebagai nasib obat dalam tubuh.
Dalam arti sempit farmakokinetik khususnya mempelajari perubahan-perubahan
konsentrasi dari obat dari obat dan metabolitnya di dalam dan jaringan berdasarkan
perubahan waktu. Absorbsi, distribusi dan eksresi obat dalam tubuh pada hakikatnya
berlangsung dengan mekanisme yang sama, karena semua proses ini tergantung dari
lintasan obat melalui serangkaian membran sel tersebut (Nila, 2013). Membran sel
terdiri dari suatu lapisan lipoprotein (lemak dan protein) yang mengandung banyak
pori-pori kecil terisi dengan air. Membran dapat ditembus oleh zat-zat tertentu, dan
sukar dilalui zat-zat yang lain, maka disebut semi-permeabel (Tim MGMP Pati, 2019).
Fase farmakokinetik termasuk bagian proses invasi dan proses eliminasi
(evasi). Yang dimaksud dengan invasi ialah proses-proses yang berlangsung pada
pengambilan suatu bahan obat ke dalam organisme (absorpsi, distribusi), sedangkan
eliminasi merupakan proses-proses yang menyebabkan penurunan konsentrasi obat
dalam organisme (metabolisme, ekskresi) (Marhamah, 2012).

Gambar 2.1 Skema hubungan absorpsi, distribusi, ikatan, biotransformasi, ekskresi,


dan kosentrasi pada tempat kerja obat (Staf Pengajar Departemen Farmakologi, 2009).

3
2.1.1 Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Tempat pemberian obat adalah oral, kulit, paru, otot, dan lain-
lain. Tempat pemberian obat yang utama adalah per oral, karena
mempunyai tempat absorbsi yang sangat luas pada usus halus, yakni 200
m2. Semua obat harus melewati satu atau lebih membran sel agar mencapai
tempat kerjanya dan untuk dapat diekskresikan tubuh (Lestari, 2017).
Proses absorpsi obat melewati membran sel terbagi menjadi empat
macam, yaitu:
a Difusi Pasif
Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif. Maka sebagai
barier absorbsi adalah membran sel epitel saluran cerna yang seperti
halnya semua membran sel tubuh kita merupakan lipid bilayer. Dengan
demikian, agar dapat melintasi membran sel tersebut, molekul obat
harus mempunyai kelarutan dalam lemak (setelah larut terlebih dahulu
dalam air). Kecepatan difusi berbanding lurus dengan derajat kelarutan
lemak molekul obat (selain kadar obat lintas membran yang merupakan
driving force proses difusi, dan dengan luasnya area permukaan
membran tempat difusi). Pemberian obat sublingual hanya untuk obat
yang sangat larut dalam lemak karena luas permukaan absorpsinya
kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi dengan sangat cepat,
misalnya nitrogliserin.
Kebanyakan obat merupakan elektrolit lemah, yaitu asam lemah
atau basa lemah. Dalam air elektrolit lemah ini akan terionisasi menjadi
bentuk ionnya. Derajat ionisasi obat bergantung pada konstanta ionisasi
obat (pKa) dan pada pH larutan di mana obat berada. Pada difusi pasif
hanya bentuk nonion (NI) yang mempunyai kelarutan lemak yang dapat
berdifusi, sedangkan bentuk ion (I) tidak dapat berdifusi karena tidak
mempunyai kelarutan lemak.

4
Untuk asam lemah, pH tinggi (usus) akan meningkatkan
ionisasinya dan mengurangi bentuk nonionnya, hal sebaliknya berlaku
untuk basa lemah. Oleh karena bentuk nonion dan bentuk ion berada
dalam kesetimbangan, maka setelah bentuk nonion diabsorbsi
kesetimbangan akan bergeser ke arah bentuk nonion sehingga absorbsi
akan berjalan terus sampai habis.
b Transpor Aktif
Transport aktif merupakan transport yang difasilitasi oleh
pembawa. Karakteristik dari transport aktif adalah pemindahan obat
melawan gradien konsentrasinya di mana obat dengan dari tempat
dengan konsentrasi rendah dibawa ke daerah dengan konsentrasi tinggi,
oleh karena itu diperlukan energi untuk transport aktif. Transport aktif
membutuhkan carrier yang mengikat obat, membawanya melintasi
membran dan melepaskannya disisi lainnya. Molekul pembawa sangat
selektif terhadap molekul obat tertentu. Misalnya, transport aktif iodida
dari darah ke koloid kelenjar tiroid.
c Difusi Difasilitasi
Difusi difasilitasi merupakan transport yang difasilitasi oleh
pembawa. Perbedaannya dengan transport aktif adalah obat bergerak
melalui gradien konsentrasi (dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi
rendah) sehingga tidak memerlukan energi.
d Transport Vesikular
Transport vesikular adalah proses penelanan partikel atau zat
terlarut oleh sel. Pinositosis dan fagositosis adalah bentuk dari transport
vesikuler. Selama pinositosis atau fagositosis membran sel mengelilingi
material dan menelannya dan melepaskan disisi lainnya. Transport
vesikular digunakan untuk absorbsi vaksin volio dan protein berukuran
besar (Indijah, 2016).

5
2.1.2 Distribusi
Distribusi obat dalam tubuh dipengaruhi oleh ikatan protein plasma,
volume distribusi, sawar darah otak dan sawar uri.
a Ikatan Protein Plasma
Dalam darah obat akan diikat oleh protein plasma dengan
berbagai ikatan lemah (ikatan hidrofobik, van der waals, hidrogen, dan
ionik). Ada beberapa macam protein plasma:
1) Albumin: mengikat obat asam dan obat netral (misalnya, steroid)
serta bilirubin dan asam-asam lemak.
a) Site I mengikat warfarin, fenilbutazon, fenitoin, asam valproate,
tolbutamid, sulfonamide, dan bilirubin (warfarin site).
b) Site II mengikat diazepam dan benzodiazepine lainnya, asam-
asam karboksilat (kebanyakan AINS), penisilin, dan derivatnya
(disebut diazepam site). Asam-asam lemak mempunyai tempat
ikatan yang khusus pada albumin.
2) α-glikoprotein: mengikat obat basa.
3) CBG (corticosteroid binding globulin): khusus mengikat
kortikosteroid.
4) SSBG (sex steroid binding globulin): khusus mengikat hormon
kelamin.
Obat yang terikat oleh protein plasma akan dibawa oleh darah
ke seluruh tubuh. Karena ikatan obat dengan protein plasma merupakan
ikatan reversibel, maka jika obat bebas telah masuk kedalam jaringan
menyebabkan obat yang terikat protein akan menjadi bebas sehingga
distribusi berjalan terus sampai habis.
Obat + Protein Obat-Protein
Obat yang berikatan pada tempat yang sama pada protein plasma
dapat saling bersaing untuk dapat berikatan. Karena tempat ikatan pada
protein plasma tersebut terbatas maka obat yang pada dosis terapi dapat
menjenuhkan protein plasma dapat menggeser obat lain yang berikatan

6
pada protein yang sama sehingga obat bebas ini akan menimbulkan efek
farmakologi atau dieliminasi tubuh. Interaksi pergeseran protein akan
bermakna secara klinik bila obat yang digeser memenuhi 3 syarat
berikut.
1) Ikatan protein tinggi : ≥85%
2) Vd kecil ≤ 0.15L/Kg
3) Margin of safety kecil (Indijah, 2016).
b Volume Distribusi (VD)
Volume distribusi adalah volume dimana obat terdistribusi
𝐹𝐷
dalam kadar plasma 𝑉𝑑 = dimana F = bioavailabilitas; D = Dosis
𝐶

obat; C = kadar obat dalam plasma.


Jadi Vd bukanlah volume yang sebenarnya, tapi hanya volume
semu yang menggambarkan luasnya distribusi obat dalam tubuh. Kadar
plasma yang tinggi menunjukkan obat terkonsentrasi di darah sehingga
Vd-nya kecil. Sebaliknya kadar plasma yang kecil menunjukkan obat
tersebar luas di tubuh atau terakumulasi di jaringan, sehingga Vd-nya
besar (Indijah, 2016).
c Sawar darah otak
Merupakan sawar antara darah dan otak yang berupa sel endotel
pembuluh darah kapiler di otak membentuk tight junction dan pembuluh
kapiler ini dibalut oleh tangantangan astrosit otak yang merupakan
berlapis-lapis membran sel. Dengan demikian, hanya obat-obat yang
larut dalam lemak yang dapat melewatinya. Akan tetapi, obat larut
lemak yang merupakan substrat P-gp (P glikoprotein) dan MRP
(multidrug resistance protein) yang terdapat pada membran akan
dikeluarkan dari otak (loperamid) (Indijah, 2016).
d Sawar Uri (placenta barrier)
Terdiri dari satu lapis epitel vili dan satu lapis sel endotel kapiler
dari fetus, jadi mirip sawar lapisan cerna. Karena itu obat yang dapat
diabsorbsi melalui pemberian oral juga dapat memasuki fetus melalui

7
sawar uri. Terdapat P-gp pada sawar uri, seperti pada sawar darah otak
(Indijah, 2016).

2.1.3 Metabolisme (Biotransformasi)


Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran retikulum
endoplasma dan sitosol. Tempat metabolisme ekstrahepatik adalah dinding
usus, ginjal, paru, darah, otak, kulit dan lumen kolon. Tujuan metabolisme
obat adalah mengubah obat yang nonpolar menjadi polar agar dapat di
ekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini umumnya obat
diubah dari aktif menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif
(prodrugs), kurang aktif, atau menjadi toksik.
Reaksi metabolisme terdiri dari fase I dan reaksi fase II:
a. Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis yang mengubah
obat menjadi lebih polar dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif, atau
kurang aktif.
b. Reaksi fase II merupakan konjugasi dengan substrat endogen, yaitu asam
glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino dengan akibat obat
menjadi sangat polar, dengan demikian hampir selalu tidak aktif.
Obat dapat mengalami reaksi fase I atau fase II saja, atau reaksi fase I
diikuti oleh reaksi fase II.

Gambar 2.2. Reaksi metabolisme fase I dan fase II

8
Pada gambar terlihat asam-asetilsalisilat (asetosal) dimetabolisme fase
I menjadi asam asetat dan asamsalisilat. Asam salisilat adalah metabolit
yang aktif. Pada fase II asam salisilat dimetabolisme menjadi salisilat
glukoronat yang tidak aktif dan sehingga siap diekskresi.
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzin
cytochrom P450 (CYP) dalam retikulum endoplasma hati, sedangkan reaksi
fase II yang terpenting adalah glukuronidase oleh enzim UDP-
glukuroniltransferase (UGT) yang terutama terjadi dalam mikrosom hati
dan jaringan ekstrahepatik. Jika enzim metabolisme mengalami kejenuhan
pada kisaran dosis terapi maka peningkatan dosis obat akan terjadi lonjakan
kadar obat dalam plasma yang disebut farmakokinetik nonlinier (aspirin).
Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim
metabolisme. Induksi berarti peningkatan sintesis enzim metabolisme
sehingga terjadi peningkatan metabolisme obat yang menjadi substrat
enzim bersangkutan, akibatnya diperlukan peningkatan dosis obat tersebut
(toleransi farmakokinetik). Karena melibatkan sintesis enzim maka
diperlukan pajanan beberapa hari (3-7 hari) sebelum dicapai efek yang
maksimal, contoh rifampisin. Inhibisi enzim metabolisme adalah
terhambatnya aktivitas dari enzim metabolisme disebabkan oleh obat-obat
tertentu. Persenyawaan obat-enzim tersebut mengikat enzim secara
kompetitif sehingga menghambat substrat atau obat lain yang berikatan
pada enzim yang sama. Untuk mencegah toksisitas diperlukan penurunan
dosis obat bersangkutan atau tidak boleh diberikan bersama
penghambatnya, contoh terfenadin, astemizol, dan cisaprid
dikontraindikasikan dengan ketokonazol, itrakonazol, eritromisin, dan
klaritromisin karena ke tiga obat yang terdahulu adalah substrat dari
CYP3A4/5 dan ke empat obat yang belakangan adalah penghambat yang
kuat dari enzim yang sama. Peningkatan kadar ke tiga obat yang terdahulu
akibat hambatan metabolismenya menyebabkan perpanjangan interval
QTC pada EKG, yang menimbulkan aritmia jantung yang disebut torsades

9
de pointes yang berakibat fatal. Akibatnya ketiga obat tersebut telah ditarik
dari peredaran di banyak Negara atau bahkan di seluruh dunia.
Metabolisme obat akan terganggu pada pasien penyakit hati, seperti
sirosis, hati berlemak dan kanker hati. Pada sirosis yang parah, metabolisme
obat dapat berkurang antara 30-50%. Enzim-enzim metabolisme fase I dan
fase II mencapai kematangan setelah tahun pertama kehidupan, kecuali
enzim UGT untuk bilirubin yang mencapai dewasa pada dekade kedua
kehidupan (Indijah, 2016).

2.1.4 Ekskresi
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresikan
ginjal dalam bentuk utuh atau dalam bentuk metabolitnya. Fungsi ginjal
mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan dan setelah dewasa menurun
1% per tahun. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses:
a. Filtrasi glomerulus
Filtrasi glomerulus menghasilkan ultra filtrat, yaitu plasma
minus protein. Jadi semua obat bebas akan keluar dalam ultra filtrat,
sedangkan yang terikat protein tetap tinggal dalam darah.
b. Reabsorbsi
Reabsorbsi pasif terjadi disepanjang tubulus untuk bentuk-
bentuk nonion obat yang larut dalam lemak. Oleh karena itu, derajat
ionisasi tergantung dari pH larutan. Fenomena ini dimanfaatkan untuk
pengobatan keracunan suatu obat asam atau basa. Misalnya, keracunan
fenobarbital (asam pKa = 7.2) atau asam salisilat (asam pKa = 3.0)
diberikan NaHCO3 untuk membasakan urin sehingga ionisasi
meningkat, sedangkan amfetamin (basa pKa = 9.8) diberikan NH4Cl
untuk meningkatkan ekskresinya. Ditubulus distal juga terdapat protein
transporter untuk reabsorbsi aktif dari lumen tubulus kembali kedarah
untuk senyawa endogen.
c. Sekresi aktif

10
Sekresi aktif dari darah menuju tubulus proksimal terjadi
melalui transporter membran P-glikoprotein (P-gp) dan MRP
(multidrug-resistence protein) dengan selektivitas yang berbeda, yaitu
MRP untuk anion organik dan konjugat (penisilin, probenesid,
glukoronat, dan lain-lain) dan P-gp untuk kation organik dan zat netral
(kuinidin, digoksin, dan lain-lain). Oleh karena itu, terjadi kompetisi
antara asam-asam organik maupun basa-basa organik. Hal ini
dimanfaatkan untuk memperpanjang masa kerja obat. Sebagai contoh
untuk memperpanjang masa kerja ampisilin, diberikan bersama
probenesid. Probenesid akan menghambat sekresi aktif ampisilin di
tubulus ginjal karena berkompetisi untuk transporter membran yang
sama, MRP.
Ekskresi obat utama yang kedua adalah melalui empedu kedalam usus
dan keluar bersama feses. Obat hasil metabolisme yang dikeluarkan melalui
empedu dapat diuraikan oleh flora usus menjadi obat awal yang dapat
diserap kembali dari usus kedalam aliran darah yang disebut siklus
enterohepatik.
Obat dan metabolit yang larut lemak dapat direabsorpsi kembali ke
dalam tubuh dari lumen usus. Metabolit dalam bentuk glukoronat dapat
dipecah dulu oleh enzim glukoronidase yang dihasilkan oleh flora usus
menjadi bentuk obat awalnya (parent compound) yang mudah diabsorpsi
kembali. Akan tetapi, bentuk konyugat juga dapat langsung diabsorbsi
melalui transporter membrane Organic anion transporting polypeptide
(OATP) di dinding usus, dan baru dipecah dalam darah oleh enzim esterase.
Siklus enterohepatik ini dapat memperpanjang efek obat, misalnya estrogen
dalam kontraseptif oral.
Ekskresi obat juga dapat melalui paru (anastetik umum), ASI, saliva,
keringat, dan air mata (minor). Ekskresi melalui paru terutama untuk
eliminasi gas anestetik umum (Indijah, 2016).

11
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Famakokinetika atau kinetika obat adalah ilmu yang mempelajari nasib obat
dalam tubuh atau efek tubuh terhadap obat mencakup empat proses yaitu absorpsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Proses absorbsi obat melewati membran sel
terbagi menjadi empat macam, yaitu difusi pasif, transport aktif, difusi difasilitasi,
dan transport vesikular. Distribusi obat dalam tubuh dipengaruhi oleh ikatan protein
plasma, volume distribusi, sawar darah otak dan sawar uri. Metabolisme obat
terutama terjadi di hati, yakni di membran retikulum endoplasma dan sitosol.
Reaksi metabolisme terdiri dari fase I dan reaksi fase II. Ekskresi melalui ginjal
melibatkan 3 proses, yaitu filtrasi glomerulus, reabsorpsi, dan sekresi aktif.

3.2 Saran
Kami berharap paper ini dapat berguna dan menambah pengetahuan dan
membuka wawasan pembaca mengenai farmakokinetik.
Selain dari pada itu, kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan baik
disengaja maupun tidak disengaja karena kami masih dalam proses
pembelajaran. Dan yang kami harapkan dengan adanya paper ini dapat menjadi
wacana yang membuka pola pikir pembaca dan memberi saran yang sifatnya
tersirat maupun tersurat.

12
DAFTAR PUSTAKA

Indijah, Sujati Woro, Purnama, F. 2016. Farmakologi. Jakarta: Pusdik SDM


Kesehatan. Hlm: 2, 16-22.

Lestari, Bayu., dkk. 2017. Buku Ajar Farmakologi Dasar. Malang: UB Press.

Marhamah, dkk. 2012. Famakologi Obat (Farmakokinetik dan Farmakodinamik).


Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Islam Negeri Alauddin. Makassar.

Nila, Aster, Marta H. 2013. Dasar-dasar Farmakologi 2. Jakarta: Direktorat


Pembinaan SMK (2013). Hlm: 10.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi.


Jakarta: EGC. Hlm: 17.

Tim MGMP Pati. 2019. Farmakologi 2. Yogyakarta: DEEPUBLISH. Hlm: 7.

13

Anda mungkin juga menyukai