Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PARASITOLOGI

NEMATODA JARINGAN

Disusun Oleh :

Rahmawati (P27903117119)
Reny Yuliyanti (P27903117120)
Riyani Dwi Lestari (P27903117121)

JURUSAN ANALIS KESEHATAN

POLITEKNIK KESEHATAN BANTEN

KEMENTERIAN KESEHATAN

2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
dengan ini kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Parasitologi tentang
“Nematoda Jaringan”

Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan
bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini.
Oleh sebab itu, kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah Parasitologi tentang


“Nematoda Jaringan” ini dapat diambil manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi
terhadap pembaca. Selain itu, kritik dan saran dari Anda kami tunggu untuk perbaikan
makalah ini nantinya.

Tangerang, 6 Agustus 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
C. Tujuan .............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Wuchereria bancrofti ....................................................................................... 3
B. Brugia malayi ................................................................................................... 7
C. Brugia timori .................................................................................................... 10
D. Onchocerca volvulus ........................................................................................ 13
E. Loa-loa ............................................................................................................. 18

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ...................................................................................................... 22
B. Saran ................................................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit karena cacing (helminthiasis), banyak tersebar diseluruh dunia, terutama
di daerah tropis. Hal ini berkaitan dengan factor cuaca dan tingkat sosio ekonomi
masyarakat.
Kebanyakan cacing memerlukan suhu dan kelembaban udara tertentu untuk hidup
dan berkembang biak. Sebagian cacing memerlukan vertebrata atau intervebrata
tertentu sebagai host misalnya ikan, siput, crostacea atau serangga, dalam siklus
(lingkaran) hidupnya. Didaerah tropis, host-host ini juga banyak berhubungan dengan
manusia, karena tidak adanya pengendalian dari masyarakat setempat.
Serangga, seperti nyamuk dan lalat menghisap darah, disamping sebagai
intermediate host, juga merupakan bagian dari lingkaran hidup cacing. Penyebaran
telu cacing yang keluar bersama feses penderita, tidak hanya berkaitan dengan cuaca,
seperti hujan, suhu dan kelembaban udara, tetapi juga berkaitan dengan pengetahuan
dan kesadaran masyarakat tentang sanitasi. Kebiasaan penggunaan feses manusia
sebagai pupuk tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah, persediaan
air rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran, akan meningkatkan jumlah
penderita Helminthiasis,
Demikian juga kebiasan makan masyarakat menyebabkan terjadinya penularan
penyakit cacing tertentu. Misalnya, kebiasaan makan ikan, kerang, daging atau
sayuran secara mentah atau setengah matang. Bila didalam makanan tersebut terdapat
kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacingnya menjadi lengkap, sehingga
terjadi infeksi pada manusia. Berbeda dengan infeksi oleh organism lain (bakteri,
rikettsia, virus, jamur, protozoa), pada infeksi karna cacing. Cacing dewasanya tidak
pernah bertambah banyak didalam tubuh manusia.
Nematoda mempunyai berbagai macam ukuran. Nematoda juga mempunyai
kepala, ekor, dinding, rongga badan dan alat-alat lain yang agak lengkap. Stadium
dewasa cacing nematoda berbentuk bulat memanjang dan pada potongan transversal
tampak rongga badan dan alat-alat. Cacing tersebut mempunyai alat kelamin yang
terpisah. Sistem pencernaan, ekskresi dan reproduksinya terpisah. Umumnya cacing
nematode bertelur tapi ada juga yang vivipar dan berkembang biak secara
parthenogenesis. Seekor cacing betina dapat mengeluarkan telur atau larva sebanyak
20-200.000 butir sehari. Telur atau larva tersebut dikeluarkan dari dalam tubuh

1
hospesnya melalui tinja. Bentuk infektif dari cacing nematode ini dapat masuk ke
dalam tubuh manusia melalui berbagai cara, ada yang masuk secara aktif, ada pula
yang tertelan atau masuk melalui gigitan vektor.
Pada makalah ini, yang akan kelompok kami bahas adalah mengenai nematoda
jaringan, yang terdiri dari :
1. Wuchereria bancrofti
2. Brugia malayi
3. Brugia Timori
4. Loa-loa
5. Onchocerca volvulus
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah Nematoda Jaringan ini adalah :
a. Apa yang dimaksud dengan Nematoda Jaringan?
b. Apa saja klasifikasi Nematoda Jaringan?
c. Apa saja morfologi, siklus hidup Nematoda Jaringan?
d. Apa saja epidemologi dan patologi Nematoda Jaringan?
e. Apa saja diagnosis, pencegahan, pengobatan dan pengendalian Nematoda
Jaringan?
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah :
a. Mengetahui pengertian Nematoda Jaringan
b. Mengetahui klasifikasi Nematoda Jaringan
c. Mengetahui morfologi, siklus hidup Nematoda Jaringan
d. Mengetahui epidemologi dan patologi Nematoda Jaringan
e. Mengetahui diagnosis, pencegahan, pengobatan dan pengendalian Nematoda
Jaringan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Wuchereria bancrofti
Wuchereria bancrofti atau disebut juga Cacing Filaria adalah kelas dari anggota
hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Nemathelminthes. Bentuk
cacing ini gilig memanjang, seperti benang maka disebut filarial. Cacing filaria
penyebab penyakit kaki gajah berasal dari genus wuchereria dan brugia. Di Indonesia
cacing yang dikenal sebagai penyebab penyakit tersebut adalah wuchereria bancrofti,
brugia malayi, dan brugia timori.

mikrofilaria Wuchereria bancrofti pada cacing dewasa Wuchereria bancrofti,


sediaan darah tebal dengan pewarnaan kiri : jantan, kanan : betina (sumber :
giemsa (sumber : www.cdc.gov) www.cdc.gov)

Sumber : https://medlab.id/wuchereria-
bancrofti/
1. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Spirurida
Famili : Onchocercidae
Genus : Wuchereria
Spesies : Wuchereria bancrofti

3
2. Morfologi
Cacing dewasa (makrofilaria), berbentuk seperti benang berwarna putih
kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (mikrofilaria) berbentuk seperti
benang berwarna putih susu. Cacing dewasa hidup dalam pembuluh kelenjar
limfa. Cacing betina ukurannya 65-100 mm x 0.25mm dan ekornya lurus
berujung tumpul, sedangkan cacing jantan berukuran 40mm x 0.1mm dan ekor
melingkar. Cacing betina mengeluarkan microfilaria. Microfilaria bersarung
berukuran panjang kurang lebih 250 mikron dan pada umumnya ditemukan
dalam darah tepi pada waktu malam (periodisitas nocturna). (Rosdiana
Safar,2010)
3. Siklus Hidup

Vector dari cacing filaria adalah nyamuk Culex (cx. Quinquifafasciatus),


Anopheles, dan Aedes. Nyamuk menghisap darah manusia yang mengandung
microfilaria waktu malam hari. Dalam lambung, nyamuk microfilaria akan
berubah menjadi larva yang berbentuk gemuk dan pendek (stadium 1), lalu
pindah ke thorax nyamuk menjadi larva yang berbentuk gemuk dan panjang
(stadium 2), kemudian masuk ke kelenjar ludah nyamuk membentuk larva
yang panjang dan halus (stadium 3). Bila nyamuk menggigit manusia maka
nyamuk (stadium 3) akan dimasukkan ke pembuluh darah dan pembuluh limfa
manusia menjadi nyamuk (stadium4). Kemudian (stadium4) akan menuju
kelenjar limfa dan menjadi dewasa jantan dan betina yang disebut (stadium5).
Setelah cacing dewasa kawin dikelenjar limfa maka yang betina akan
melahirkan microfilaria. Lingkaran hidup didalam tubuh manusia mulai

4
(stadium3) masuk kedalam tubuh manusia sampai ditemukan microfilaria
didarah perifer, berlangsung dalam waktu 10-14 hari. (Rosdiana Safar, 2010).
4. Epidemiologi
Wuchereria bancrofti endemis di 78 negara dan mempengaruhi 128 juta
orang di seluruh dunia. Nematoda ini tersebar luas di seluruh zona lembab dan
tropis di Asia, Afrika, Amerika dan kepulauan pasifik dan sering terjadi pada
daerah dengan tingkat ekonomi miskin. Wuchereria bancrofti adalah agen
menular. Dalam 91% kasus LF. LF juga diakui sebagai yang kedua nyamuk
paling mematikan setelah malaria. Sampai saat ini 44 juta orang mengalami
penyakit klinis, namun 76 juta menderita pra klinis kerusakan ginjal dan
system limfatik. Sebanyak 1.3 miliar orang di daerah endemic diperkirakan
beresiko membangun LF etiap tahun, meskipun tidak fatal tetapi bias
menyebabkan cacat permanen, kelemahan, dan morbiditas kronis. Vector
control dan distribusi obat-obatan telah membuktikan langkah efektif dalam
pengurangan epidemik.
5. Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan dan perubahan patologis disebabkan oleh cacing dewasa maupun
mikrofilaria. Cacing dewasa pada stadium akut menimbulkan limfadenitis dan
limfangitis retrograde dan dalam waktu 10-15 tahun menjadi obstruktif.
Microfilaria tidak mengakibatkan kelainan, namun dalam kondisi tertentu
menyebabkan Occult filariasis.
Patogenesis filariasis bancrofti dibagi dalam tiga stadium, yaitu stadium
mikrofilaremi, stadium akut, dan kronis. Ketiga stadium ini tidak
menunjukkan batas-batas yang tegas karena prosesnya menjadi tumpang
tindih. Pada stadium akut terjadi peradangan kelanjar, limfadenitis maupun
limfangitis retrograd. Dalam waktu satu tahun, peradangan ini hilang timbul
berkali-kali. Kasus peradang yang umum dijumpai adalah peradangan sistem
limfatik organ genital pria, misalnya epididimitis, funikulitis, dan orkitis.
Saluran sperma mengalami peradangan hingga membengkak dan keras
menyerupai tali, bila diraba terasa nyeri sekali. Pada stadium kronis (menahun)
gejala yang sering terjadi adalah terbentuknya hidrokel. Kadang-kadang terjadi
limfedema dan elephantiasis yang mengenai daerah tungkai dan lengan,
payudara, testes, dan vulva yang dapat diperbaiki dengan tindakan operatif.
Beberapa kasus pada penderita terjadi kiluria.

5
6. Diagnosis
Diagnosis filariasis hasilnya lebih tepat bila didasarkan pada anamnesis
yang berhubungan dengan vektor di daerah emdemis dan di konfirmasi dengan
hasil pemeriksaan laboratorium. Bahan pemeriksaan adalah darah yang
diambil pada malam hari. Sediaan darah tetes tebal yang diperoleh dari
tersangka, langsung diperiksa dengan mikroskop untuk melihat adanya
mikrofilaria yang masih bergerak aktif, sedangkan untuk menetapkan spesies
filarial dilakukan dengan membuat sediaan darah tetes tebal dan halus tipis
yang diwarnai dengan larutan Giemsa atau Wright.
Untuk mengetahui infeksi ringan, dilakukan dengan cara mengambil 1 ml
darah tersangka yang dicampur dengan 10 cc larutan formalin 2%. Endapan
darah diambil dan diperiksa langsung atau diwarnai. Disini bias diketahui
densitas mikrofilaria dalam darah.
Dalam darah penderita dengan gejala filariasis tidak selalu ditemukan
mikrofilaria. Kira-kira setelah satu tahun pascainfeksi, larva menjadi cacing
dewasa dan mengeluarkan mikrofilaria. Pada bulan pertama terjadi gejala
filariasis yang disertai peradangan. Pada gejala ini tidak ditemukan
microfilaria dalam darah. Ada kemungkinan, pada stadium lanjut setelah
terjadi gejala elephantiasis, biasanya cacing dewasa dan microfilaria sudah
mati. Tes intradermal dengan menggunakan antigen Dirofilaria, reaksi ikatan
komplemen, hemaglutinasi, dan flokulasi juga baik untuk diagnosis bila
microfilaria sulit ditemukan dalam darah. Bila mikrofilaria Wuchereria
bancrofti dapat ditemukan dalam urin penderita kiluria, mikrofilaria ini dapat
dipisahkan dengan cara sentrifugasi. Mikrofilaria akan banyak ditemukan bila
urin penderita banyak mengandung cairan kiluria.
7. Pencegahan, Pengobatan dan Pengendalian
Kelompok yang mudah terserang adalah umur dewasa muda, terutama
yang status social ekonominya rendah. Obat DEC kurang baik untuk upaya
pengendalian, oleh karena itu pencegahan bisa dilakukan dengan menghindari
gigitan nyamuk.
Preparat antinom dan arsen dapat membunuh mikrofilaria dalam darah
bila pengobatan dilakukan dalam waktu yang lama. Obat pilihan yang sering
digunakan adalah dietil karbamasin sitrat (DEC).

6
B. Brugia malayi
Brugia malayi adalah nematoda (cacing gelang), salah satu dari tiga agen
penyebab filariasis limfatik pada manusia. Filariasis limfatik, juga dikenal sebagai
kaki gajah , adalah kondisi yang ditandai oleh pembengkakan pada tungkai bawah.
Dua penyebab filaria lain dari filariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti dan
Brugia timori , yang berbeda dari Brugia malayi morfologis, gejalanya, dan dalam
batas geografis

mikrofilaria Brugia malayi


(sumber : www.cdc.gov)

1. Klasifikasi
Phylum Sumber :
: Nemathelminthes
https://medlab.id/brugia-
Class : Nematoda malayi/
Subclass : Secernemtea
Ordo : Spirurida
Super family : Wuchereria
Genus : Brugia
Species : Brugia malayi
Brugia timori
2. Morfologi
Cacing dewasa berbentuk silindrik seperti benang, berwarna putih
kekuning-kuningan. Pada ujung anteriornya terdapat mulut tanpa bibir dan
dilengkapi baris papilla 2 buah, baris luar 4 buah dan baris dalam 10 buah.
Cacing betina berukuran 55x0,16 mm dengan ekor lurus, vulva mempunyai
alur transversal dan langsung berhubungan dengan vagina membentuk saluran
panjang. Cacing jantan berukuran 22-23x0,09 mm, ekor melingkar dan bagian
ujungnya terdapat papilla 3-4 buah, dan di belakang anus terdapat sepotong

7
papilla. Pada ujung ekor terdapat 4-6 papila kecil dan dua spikula yang
panjangnya tidak sama.
Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria bersarung, panjangnya 200-
260x8 mikron , letak tubuh kaku, panjang ruang kepala dua kali lebarnya, inti
tubuh tidak teratur dan ekornya mempunyai 1-2 inti tambahan. Mikrofilaria
ini terdapat dalam darah tepi. Periodisitas Brugia malayi ada yang nokturna,
subperiodik nokturna, dan nonperiodik.
3. Siklus Hidup

Brugia malayi yang hidup pada manusia ditularkan oleh Anopheles


barbirosrtis. Brugia Malayi yang hidup pada manusia dan mamalia lainnya
ditularkan oleh Mansonia sp. Brugia timori, sedangkan yang hanya hidup
pada manusia ditularkan oleh Anopheles barbirostris.
Kedua cacing ini mempunyai siklus hidup yang kompleks dan ukuran
tubuh lebih pendek bila dibandingkan dengan ukuran tubuh Wuchereri
bancrofti. Masa pertumbuhan larva di dalam tubuh vektor kira-kira 10 hari. Di
sini larva mengalami pergantian kulit dan berkembang menjadi L-1, L-2, dan
L-3. Pada manusia, masa pertumbuhan bisa mencapai 3 bulan. Pada tubuh
manusia, perkembangan ke dua cacing ini mempunyai pola hidup yang sama
seperti Wuchereria bancrofti.
4. Epidemiologi
Distribusi geografik yang luas daripada parasit ini meliputi Srilangka,
Indonesia, Filipina, India Selatan, Asia, Tiongkok, Korea, dan suatu daerah

8
kecil di jepang. Ini merupakan infeksi filarial yang predominan di India
Selatan dan Srilangka. Daerah distribusinya sepanjang pantai yang datar,
sesuai dengan tempat hospes serangga yang utama yaitu nyamuk Mansonia.
Nyamuk ini banyak terdapat di daerah rendah dengan banyak kolam yang
bertanaman Pistia, suatu tumbuhan air, penting untuk perindukan nyamuk
tersebut di atas. Bila vektor penyakit adalah nyamuk Mansonia, maka
penyakit itu terutama terdapat di daerah luar kota, tetapi bila vektornya adalah
nyamuk Anopheles penyakit itu terdapat di daerah kota dan sekitarnya.
5. Patologi dan Gejala Klinis
Gejala filariasis brugia sama dengan filariasis bancrofti. Pathogenesis
berlangsung berbulan-bulan, bahkan sampai bertahun-tahun setelah terjadi
infeksi. Penderita sering tidak menunjukkan gejala yang nyata meskipun di
dalam darahnya ditemukan mikrofilaria.
Pada stadium akut akan terjadi demam dan peradangan saluran maupun
kelenjar limfe inguinal. Keadaan ini berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh
sendiri walaupun tidak diobati. Peradangan kelenjar limfe dapat
menimbullkan limfangitis retrograde. Peradangan pada saluran limfe tampak
garis merah yang menjalar ke bawah dan bisa menjalar ke jaringan yang ada
di sekitarnya. Pada stadium ini , tungkai bawah penderita membengkak dan
mengalami limfedema. Limfedenitis lama-kelamaan menjadi bisul dan
apabila pecah akan membentuk ulkus. Ulkus pada pangkal paha apabila
sembuh akan meninggalkan bekas berupa jaringan parut. Hal ini merupakan
satu-satunya objektif filariasis limfatik.
Berbeda dengan filariasis bancrofti, filariasis brugia tidak pernah
menyerang sistem limfe alat genital. Limfedema hilang sedak telah gejala
peradangan tidak ada, tetapi bila terjadi serangan berulang-ulang, lama-
kelamaan pembengkakan pada tungkai tidak hilang walaupun sudah terjadi
peradangan. Hal ini dapat menimbulkan elefantiasis. Organ yang sering
terkena adalah kelenjar limfe tungkai, ketiak, dan lengan. Kelenjar limfe
inguinal jarang terkena. Elefantiasis mengenai tungkai bawah di bawah lutut
dan kadang-kadang lengan di bawah siku. Alat genital dan payudara tidak
pernah terkena. Penderita mengalami hidrokel, tetapi tidak pernah terjadi
kiluria.

9
Kadang-kadang terjadi gejala alergi, berupa asma bronkial,
hipereosinofilia dan adenopati.
6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan mikrofilaria pada
pemeriksaan darah (sediaan darah tebal) dan cacing dewasa (filaria) dengan
biopsi. Pada stadium awal, belum ditemukan mikrofilaria dalam darah perifer.
Untuk mengetahui potongan cacing dewasa, dapat dilakukan pemeriksaan
dari bahan biopsi kelenjar limfe yang membengkak.
7. Pencegahan, Pengobatan dan Pengendalian
Dalam program pencegahan, harus diperhatikan hospes reservoir selain
manusia. Cara pencegahan sama dengan filariasis bancrofti.
Obat yang dapat dipilih adalah dietilkarbamazin sitrat (DEC), namun
efek sampingnya lebih berat jika dibandingkan untuk pengobatan filariasis
brugia. Oleh karena itu, untuk pengobatan filariasis brugia dianjurkan dalam
dosis rendah, tetapi waktu pengobatan dilakukan dalam waktu yang lebih
lama.

C. Brugia Timori
Brugia timori merupakan salah satu jenis parasit yang sering mnjadi endamik. Di
sebagian wilayah republik Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh Brugia Timori
dinamakan Filariasis. Atau yang oleh masyarakat awam, penyakit filariasis disebut
juga dengan penyakit kaki gajah

Brugia Timori

Sumber :
https://medlab.id/brugia-
malayi/
10
1. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Spirurida
Famili : Onchocercidae
Genus : Brugia
Spesies : Brugia timori
Brugia malayi
2. Morfologi
Pada kedua jenis kelamin, ujung anteriornya melebar pada kepalanya yang
membulat. Ekornya berbentuk seperti pita dan agak bundar. Pada tiap sisi
terdapat 4 papil sirkum oral yang teratur pada bagian luar dan bagian dalam
membentuk lingkaran, esophagus panjangnya lebih kurang 1 mm dengan
ujung yang kurang jelas diantara otot dan kelenjar.
Cacing jantan mempunyai ukuran 13-23 mm x 0,1 mm, ekornya
melengkung dengan 4 sampai 5 papila adanal terdiri atas subventral, sebuah
preanal yang besar serta satu pasang posanal yang lebih kecil. Terdapat pula
satu pasang papilla intermediate subventral serta satu pasang papilla kaudal
terminal. Pada daerah anus terdapat papilla lateral. Spikula tidak sama
panjang seperti pada Brugia malayi, panjangnya yang sebelah kiri 400 mm
dan sebelah kanan 142 mm berbentuk seperti bulan sabit, gubernakulum 30 x
4 mm.
Cacing betina mempunyai ukuran 21-39 mm x 0,1 mm, vulva sebelah
anterior dari dasar esophagus. Ovejektor menyerupai buah pir dengan ukuran
160 x 58 mm. vagina terletak disamping ovejektor berbentuk celah. Ekor
panjangnya lebih dari 196 mm ditumbuhi beberapa kutikulum bosses.
Mikrofilaria Brugia timori dibandingkan dengan Brugia malayi terdapat
beberapa perbedaan : Pada pewarnaan dengan giemsa, sarung tidak terlihat,
Perbedaan panjang dan lebar dari ruang sefalik 3 : 1, Ukurannya lebih
panjang pada B.timori yaitu 280-310 mikron x 7 mikron, Pada preparat darah
apus dengan pewarnaan giemsa, mikrofilaria B.timori panjangnya 310 mm
dibandingkan denagn B.malayi yang bersifat periodic dan subperiodik 264
dan 247 mm, Perbedaan lainnya pada jumlah inti di ekornya, B.timori 5-8

11
buah sedangkan pada B.malayi 2-5 buah dengan inti pada ekor sebelah distal
lebih kecil pada B.timori.
3. Siklus Hidup
Siklus hidupnya mirip dengan Wuchereria bancrofti. Waktu yang
diperlukan untuk perkembangan vector 6,8-8,5 hari. Periodisitas mikrofilaria
Brugia timori adalah bersifat periodik nokturna, dimana mikrofilaria
ditemukan dalam darah tepi pada malam hari dengan konsentrasi maksimal
pada pukul 22.00 hingga 02.00.
Daur hidup Brugi timori cukup panjang. Masa pertumbuhannya di dalam
nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia kurang lebih 3 bulan. Di
dalam tubuh nyamuk, parasit ini juga mengalami dua kali pergantian kulit,
berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan III.
Brugia timori hanya terdapat pada manusia. Manusia yang mengandung
parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan
(suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemi (transmigran) lebih
rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita daripada penduduk asli.
Pada umumnya laki-laki lebih banyak yang terkena infeksi, karena lebih
banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Juga gejala penyakit
lebih nyata pada laki-laki, karena pekerjaan fisik yang lebih berat. Penyakit
yang disebabkan oleh Brugia timori disebut filariasis timor.
4. Epidemiologi
Brugia malayi dan brugia timori hanya terdapat dipedesaan, karena
vektornya tidak dapat berkembang biak diperkotaan. Brugia timori biasanya
terdapat didaerah persawahan, sesuai dengan tempat perindukan vektornya,
An.barbirostris. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia bagian timur yaitu
N.T.T dan timor-timur. Yang terkena penyakit ini terutama adalah petani dan
nelayan. Kelompok umur dewasa muda paling sering terkena penyakit ini,
sehingga produktivitas penduduk dapat berkurang akibat serangan
adenolimfangitis yang berulang kali. Cara pencegahan sama dengan filariasis
bankrofti.
5. Patologi dan Gejala Klinis
Brugia timori ditularkan oleh An. barbirostris. Didalam tubuh nyamuk
betina, mikrofilaria yang terisap waktu menghisap darah akan melakukan
penetrasi pada dinding lambung dan berkembang dalam otot thorax hingga

12
1
menjadi larva filariform infektif, kemudian berpindah ke proboscis. Saat
nyamuk menghisap darah, larva filariform infektif akan ikut terbawa dan
masuk melalui lubang bekas tusukan nyamuk di kulit. Larva infektif tersebut
akan bergerak mengikuti saluran limfa dimana kemudian akan mengalami
perubahan bentuk sebanyak dua kali sebelum menjadi cacing dewasa.
6. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dibuktikan dengan
menemukan mikrofilaria di dalam darah tepi.
 Diagnosis parasitologi : sama dengan pada filariasis bankrofti, kecuali
sampel berasal dari darah saja.
 Radio diagnosis umumnya tidak dilakukan pada filariasis malayi.
 Diagnosis imunologi belum dapat dilakukan pada filariasis malayi.
7. Pencegahan, Pengobatan dan Pengendalian
Hingga sekarang DEC masih merupakan obat pilihan. Dosis yang dipake
di beberapa negara Asia berbeda-beda. Di Indonesia dosis yang dianjurkan
adalah 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek samping DEC pada
pengobatan filariasis brugia jauh lebih berat, bila dibandingkan dengan yang
terdapat pada pengobatan filariasis bankrofti. Untuk pengobatan masal
pemberian dosis standard dan dosis tunggal tidak dianjurkan. Yang dianjurkan
adalah pemberian dosis rendah jangka panjang (100 mg/minggu selama 40
minggu) atau garam DEC 0,2 - 0,4 % selama 9 - 12 bulan. Pengobatan dengan
iver mektin sama dengan pada filariasis bankrofti. Untuk mendapatkan hasil
penyembuhan yang sempurna, pengobatan ini perlu diulang beberapa kali.
Stadium mikrofilaremia, gejala peradangan dan limfedema dapat
disembuhkan dengan pengobatan DEC. Kadang elefantiasis dini dan beberapa
kasus elefantiasis lanjut dapat diobati dengan DEC.

D. Onchocerca volvulus
O’Neil meneliti mikrofilaria parasit ini di dalam kulit seorang penderita di Afrika
Barat pada tahun 1875. Kemudian seseorang dokter Jerman menemukan cacing dalam
benjolan kulit dari orang Negro di Ghana, Afrika Barat, lalu dinamakan sebagai
Filaria volvulus oleh Leuckard 1893. Tahun 1915 Robles menemukan cacing
Onchocerca di Guatemala dan oleh Brumpt diidentifikasi sebagai cacing Onchocerca

13
1
caecutiens, tetapi kemudian dinamakan cacing Onchocerca
volvulus.(Sutanto,dkk.2008).
Onchocerca volvulus merupakan nematode filarial yang ditularkan oleh lalat
hitam (black flies) (Robbins, 2007)
Nama lainnya yaitu Onchocerca Caecutiens (Brumpt,1919). Infeksi cacing ini
menyebabkan Onchocerciasis disebut juga Onchocercosis, coastal, erysipelas,
blinding filiaris atau river blindness.

1. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Order : Spirurida
Superfamily : Filarioidea
Family : Onchocercidae/Filariidae
Genus : Onchocerca
Species : Onchocerca volvulus
2. Morfologi
Cacing dewasa berwarna putih, dengan garis transversal pada kutikula,
filiform dengan ujung tumpul. Pada bagian anterior terdapat 8 papila kecil.
Untuk cacing jantan ukurannya 19-42 cm x 130-210 m, dengan ujung
posterior melengkung ke ventral, terdapat papilla perianal dan kaudal yang
ukuran dan jumlahnya bervariasi. Sedangkan cacing betina ukurannya relative
lebih besar, yaitu 33,5-50 cm x 270-400 m, vulva sedikit terbuka keatas
terletak sedikit di belakang esofagus bagian posterior. Di dalam uterus
terdapat larva (mikrofilaria) yang akan dilahirkan dan akan membebaskan diri

14
1
dari sarungnya. Cacing betina ini dapat menghasilkan mikrofilaria selama 9-
10 tahun. Mikrofilaria termasuk kelompok tidak bersarung, terdapat dua
ukuran yaitu 285-368 x 6-9 m dan 150-287 x 5-7 m. Pada bagian anterior dan
posterior tidak terdapat inti.
3. Siklus Hidup

Hospes perantara cacing ini yaitu genus simulium atau lalat hitam.
Siklus hidupnya yaitu mikrofilaria masuk pada gigitan, larva dewasa masuk
melalui kulit manusia. Kemudian larva akan menjadi filaria dewasa
terlokalisir dan akan melepaskan microfilaria dalam pembuluh darah.
(Underwood,2008).
Kemudian Simulium mengisap sari jaringan kulit sehingga microfilaria
juga ikut terisap. Mikrofilaria menembus lambung lalat menuju otot thorax
mengadakan dua kali penyilihan kulit sehingga dalam 6 hari telah terbentuk
larva infektif yang segera bergerak menuju labium, sehingga pada saat lalat
menginjeksi hospes microfilaria pun terikutkan.
Pada hospes, cacing ini biasa ditemukan di dalam benjolan (nodul) pada
jaringan ikat subkutan, kadang-kadang terdapat di jaringan lebih dalam, tidak
teraba diluar. Nodul ini dapat terjadi disetiap badan tetapi paling banyak di
daerah pelvic, daerah persambungan tulang dan di kepala terutama daerah
temporal dan oksipital. Menurut Garcia, 1997, microfilaria dapat ditemukan
(jarang) pada urin, darah dan sputum. Cacing ini dapat hidup selama 11 tahun.
Masa inkubasi pada manusia tidak jelas, diduga kurang lebih satu tahun.

15
1
4. Epidemiologi
Penyebarannya terdapat didaerah Afrika tropic, Amerika tengah, dan
Selatan terutama daerah di sekitar sungai. Sampai saat ini masih tercatat ada
20-40 juta orang yang terinfeksi dan 2 juta diantaranya mengalami kebutaan.
Kebanyakan penderita tinggal di daerah sekitar sungai yang arusnya deras,
karena simulium spp suka berkembang biak di daerah itu. Jumlah cacing per
penderita biasanya semakin meningkat dengan bertambahnya umur penderita
dan tentu saja sangat berhubungan dengan intensitas transmisi serta lamanya
pemaparan. (Sutanto,dkk. 2008)
Penyakit ini ditemukan baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak.
Infeksi yang menahun seringkali diakhiri dengan kebutaan. Kebutaan terjadi
pada penduduk yang berdekatan dengan sungai, makin jauh dari sungai
kebutaan semakin berkurang oleh karena itu penyakit ini dikenal dengan river
blindness. (Sandjaja,2007)
5. Patologi dan Gejala Klinis
Dimulai dari orang-orang yang mandi dan bekerja di tepi sungai yang
telah terinfeksi oleh parasit dari lalat hitam(stimulum). Larva akan menembus
kulit manusia dan berkembang di dalam jaringan perifer menjadi cacing
dewasa. Cacing ini kemudian akan kawin dan melepaskan microfilaria dalam
darah ke jaringan tubuh. Di sekitar cacing terdapat banyak sel PMN, sel
plasma serta eosinofil kadang - kadang giant cell.
Cacing ini kawin dalam dermis hospes, dikelilingi oleh sel-sel radang
hospes yang memproduksi nodul subkutaneus (Onkoserkoma). Nodulus
subkutan tidak nyeri, keras yang mengandung parasit dewasa dan dapat
teraba. Pada cacing dewasa yang tinggal pada daerah pertemuan saluran
limfe, jaringan subkutan yang dibatasi oleh pembentukan jaringan fibrosis
biasanya tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata. Pada infeksi kronis dan
berat (orang dewasa diatas 20 tahun) akibat cacing betina yang melepaskan
banyak microfilaria pada jaringan subkutan dan jaringan okuler, maka akan
menyebabkan dermatitis pruritis, dan penyakit mata (kreatitis punktata,
pembentukan pannus kornea, korioretinits). Mula - mula mata merasa silau,
hilangnya sebagian penglihatan bahkan akhirnya buta. Terjadinya komplikasi
pada mata lebih sering pada infeksi yang multiple (Puig Solanes dkk,1948).
Perubahan pada kulit dapat membuat terjadi penebalan serta pengerutan kulit

16
1
menimbulkan gambaran “lizzard” atau “elephant” skin. Pada infeksi kronik,
menimbulkan atropi kulit yang memberikan gambaran “tissue paper”. Jika
melibatkan kelenjar inguinocrural mungkin akan memperlihatkan “hanging
groin”(W.Peters & H.M.Gillers,1977).
6. Diagnosis
 Klinis : adanya nodul subkutan, hanging groin, kelainan kulit seperti
kulit macan tutul ( leopard skin), atrofi kulit, kelainan pada mata
berupa keratitis, limbitis, uveitis dan adanya mikrofilaria dalam
kornea.
 Parasitologik : menemukan microfilaria atau cacing dewasa dalam
benjolan subkutan.
 Diagnosis dibuat dengan menemukan mikrofilaria pada biopsi kulit
yakni menyayat kulit (skin-snip) dengan pisau tajam atau pisau tajam
kira-kira 2 - 5 mm bujur sangkar. Sayatan kulit dijepit dengan dua
buah kaca obyek kemudian dipulas dengan Giemsa. Untuk
menemukan cacing dewasa dapat dilakukan dengan mengeluarkan
benjolan (tumor), microfilaria dapat ditemukan juga dalam benjolan.
Tes serologi sekarang sedang digalakkan untuk menunjang diagnosis
onkoserkosis.
 Ultrasonografi nodul : untuk menentukan beratnya infeksi (worm
burden).
 Pelacak DNA : menggunakan teknik multiplikasi DNA (polymerase
Chain Reaction/PCR) dengan pelacak ONCHO-150 yang spesies
spesifik.
 Mazotti test : dengan memberikan 50 mg DEC, kemudian diobservasi
selama 1-24 jam untuk mengetahui adanya reaksi berupa gatal, erupsi
kulit, limfadenopati dan demam.
7. Pencegahan, Pengobatan dan Pengendalian
Pencegahan meliputi pengeluaran benjolan, meniadakan sumber infeksi,
pemberantasan fektor dan melindungi orang yang suseptibel. Kombinasi
pembedahan untuk mengeluarkan cacing dewasa dan menghancurkan
microfilaria dengan dietilkarbamazin mengurangi daya infeksi pengandung.
Selain itu dengan pemberantasan vector tergantung pada penghancuran larva

17
1
didalam air dengan larvasida. Orang melindungi dirinya dengan pakaian
penutup kepala dan “repellent”.
 Invermectin merupakan obat pilihan dengan dosis 150 ug/kg badan,
diberikan satu atau dua kali pertahun pada pengobatan masal. Untuk
pengobatan individu, diberikan pada dosis 100-150 ug/kg berat badan
dan diulangi setiap dua minggu, bulan atau 3 bulan hingga mencapai
dosis total 1,8 mg/kg berat badan.
 Suramin merupkan satu-satunya obat yang membunuh cacing dewasa
O.volvulus teapi jarang dipakai karena penggunaanya yang relative
sulit dan toksisitasnya tinggi.
E. Loa - loa
Untuk pertama kali Mongin pada tahun 1770 mengeluarkan cacing dewasa Loa-
loa dari mata seorang perempuan Negro di Santo Domingo. Parasit ini hanya
ditemukan pada manusia. Penyakitnya disebut loaiasis atau calabar swelling (fugitive
swelling).

1. Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Onchocercidae
Ordo : Spirurida
Super famili : Filariodea
Genus : loa
Species : Loa-loa

18
1
2. Morfologi
 Cacing dewasa hidup dalam jaringan subkutan dan konjungtiva mata.
 Cacing betina berukuran 50-70 x 0,5 mm dan yang jantan berukuran
30-34 x 0,35-0,43 mm.
 Cacing betina mengeluarkan mikrofilari yang beredar dalam darah
pada siang hari (diurna). Sedangkan pada malam hari mikrofilaria
berada dalam pembuluh darah paru.
 Mikrofilaria mempunyai sarung berukuran 250-300 mikron x 6-8,5
mikron. Dapat ditemukan dalam urin, dahak, dan kadang-kadang
ditemukan dalam cairan sum-sum tulang belakang
3. Siklus Hidup

Parasit ini ditularkan oleh lalat Chrysops. Mikrofilaria yang beredar


dalam darah diisap oleh lalat dan setelah kurang lebih 10 hari di dalam badan
serangga, mikrofilaria tumbuh menjadi larva inefektif dan siap ditularkan
kepada hospes lainnya. Cacing dewasa tumbuh dalam badan manusia dalam
waktu 1-4 tahun, berkopulasi dan cacing dewasa betina mengeluarkan
mikrofilaria.

19
1
4. Epidemiologi
Daerah endemi adalah daerah lalat Chrysops silacea dan Chrysops
dimidiata yang mempunyai tempat perindukan di hutan yang berhujan dengan
kelembaban tinggi. Lalat ini menyerang manusia, yang sering masuk hutan,
maka penyakitnya lebih sering ditemukan pada pria dewasa.
Parasit ini tersebar di daerah khatulistiwa di hutan yang berhujan (rain
forest ) dan sekitarnya; ditemukan di Afrika tropic bagian Barat dari Sierra
Leone sampai Angola, lembah sungai Kongo, Republik Kongo sendiri,
Kamerun dan Nigeria bagian Selatan.
5. Patologi dan Gejala Klinis
Cacing dewasa dapat ditemukan pada seluruh tubuh dan seringkali
menimbulkan gangguan di konjungtiva mata dan pangkal hidung serta
menimbulkan iritasi pada mata, mata sendat, sakit, pelupuk mata menjadi
bengkak sehingga menggangu penglihatan. Pada saat-saat tertentu penderita
menjadi hipersensitif terhadap zat sekresi yang dikeluarkan oleh cacing dewsa
dan menimbulkan reaksi radang yang bersifat temporer. Pembengkakan
jaringan yang tidak sakit dan noppiting dapat menjadi sebesar telur ayam.
Sering tejadi di tangan atau lengan dan sekitarnya. Timbul secara spontan dan
menghilang setelah beberapa hari atau seminggu sebagai manifestasi
supersensitive hospes terhadap parasit.
6. Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan menemukan microfilaria dalam darah yang
diambil pada waktu siang hari atau menemukan cacing dewasa dari
konjungtiva mata ataupun dalam jaringan subktan.
7. Pencegahan, Pengobatan dan Pengendalian
Cara-cara untuk melindungi penduduk meliputi pemberantasan Chrysops
dengan larvisida sedapat-dapatnya, menghilangkan pengandung parasit
dengan pengobatan dietilkarbamazin dan melindungi orang terhadap lalat
dengan kelambu, kasa kawat dan “repellent”.
Dietilkabarmasin merupakan obat utama untuk pengobatan loaliasis
selama 40 tahun ini. Dosisnya adalah 2 mg/kg berat badan/hari, diberikan 3
kali sehari sesudah makan selama 14 hari. DEC membunuh microfilaria dan
cacing dewasa. Pada pemberian DEC harus diperhatikan efek sampingnya.

20
1
Disamping sebagai terapi, obat ini bersifat profilaksis terhadap infeksi parasit.
Saat ini mulai dicoba pengobatan dengan Ivermectin.
Cacing dewasa di dalam mata harus dikeluarkan dengan pembedahan
yang dilakukan dengan seorang yang ahli.

21
1
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nematoda jaringan, berbeda dengan nematoda usus yang hidupnya hanya di usus.
Spesies cacing yang tergolong ke dalam Nematoda jaringan hidup di berbagai
jaringan tubuh. Cacing dewasa W. bancrofti, hidup di saluran dan kelenjar limfe;
cacing dewasa Brugia malayi dan Brugia timori hidupnya di pembuluh limfe; cacing
dewasa Loa-loa hidup dalam jaringan subkutan; dan cacing dewasa Onchocerca
volvulus hidup dalam jaringan ikat

B. Saran
Kepada masyarakat disarankan untuk menjaga higinitas dan sanitasi perorangan
maupun lingkungan dengan baik. Selalu mencuci tangan dengan bersih sebelum
memegang makanan, melindungi diri dari gigitan nyamuk dan lalat, khususnya
menghindari gigitan lalat jenis Simulium dan menggunakan pakaian tebal yang
melindungi seluruh tubuh (bentuk pencegahan terhadap penyakit onkoserkosis)

22
1
DAFTAR PUSTAKA

Gandahusada, Srisasi,dkk. 2004. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : FKUI. Ed III.

Gracia, Lyne S.,Bruckner,David A.. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran.


Jakarta:EGC

Suryanto, dr. Sp.PK. 2006. Sistem Hematologi & Limfatika. Yogyakarta : UMY

Sutanto dkk, 2008, Parasitologi Kedokteran, Edisi Keempat, Jakarta: Balai. Penerbit FKUI

Sandjaja, Bernardus Dr. Helmintologi Kedokteran. Buku II. Jakarta : Penerbit Prestasi
Pustaka, 2007. Hal : 148-154

23
1

Anda mungkin juga menyukai