Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH IMMUNOLOGI

“PETANDA PENYAKIT BUKAN INFEKSI”

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3
1. ANNISA DITA HASANAH
2. AYU RESTA FARSI
3. DINI PRATIWI
4. ENI ELVITA
5. FENNY ERLIANA ARITONANG
6. JOKO SUBAGYO
7. MUHAMAD AZAKI
8. NIA ANGGRAENI
9. QUROTUL AINI NUR RAMADHANI
10. RIYEN ASTRIVIONITA
11. SELVI OKTAVIANI
12. VIO PERORI

KELAS : REGULER II A

DOSEN PEMBIMBING : DRS. REFAI., M.KES

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG

JURUSAN ANALIS KESEHATAN

TAHUN AKADEMIK 2017/2018

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt. atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita dan tak lupa pula kita mengirim salam dan salawat
kepada baginda nabi besar Nabi Muhammad saw. yang telah membawa kita dari masa
kegelapan ke masa yang terang benderang seperti saat ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Petanda penyakit bukan infeksi”.

Makalah ini dibuat demi memenuhi tugas mata kuliah Immunologi serta
sebagai penunjang pembelajaran bagi mahasiswa khususnya mahasiswa-mahasiswi
Poltekkes Kemenkes Palembang Jurusan D3 Analis Kesehatan. Penulis berharap dengan
dibuatnya makalah ini dapat membantu mahasiswa memahami materi tentang petanda
penyakit bukan infeksi. Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin
dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa untuk menyampaikan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikkan makalah.

Palembang, 2 Juli 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................ i


Daftar Isi .................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ........................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Rheumatoid Arthritis ................................................................................... 3
2.2 Lupus Eritematosus Sistemik (LES) ............................................................ 8
2.3 Respon Imun pada Kehamilan ..................................................................... 17
2.4 Diabetes Melitus .......................................................................................... 24

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan ................................................................................................. 36

Daftar Pustaka

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia sering terdengar kata Transisi Epidemiologi atau beban ganda
penyakit. Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks
dalam pola kesehatan dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi
penurunan prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit
non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin meningkat. Hal ini terjadi
seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur
harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya penyakit
degeneratif.
Transisi penyakit di Indonesia mulai ditandai dengan semakin
meningkatnya kasus-kasus penyakit tidak menular yang dirawat inap di beberapa
rumah sakit. Peningkatan ini menempatkan penyakit tidak menular menjadi
penyakit utama rawat inap di berbagai fasilitas kesehatan.
Penyakit tidak menular sering disebut sebagai penyakit kronis. Penyakit
tidak menular memberikan kontribusi bagi 60 persen kematian secara global. Di
berbagai negara yang termasuk negara berkembang, peningkatan penyakit ini
terjadi secara cepat dan memberikan dampak yang sangat signifikan pada sisi
sosial, ekonomi dan kesehatan. WHO sendiri memperkirakan bahwa pada tahun
2020, penyakit tidak menular akan menyebabkan 73 persen kematian secara
global dan memberikan kontribusi bagi penyebab kematian secara global atau
global burden of disease sebesar 60 persen. Permasalahannya adalah sekitar 80
persen dari penyakit tidak menular ini justru terjadi pada negara-negara dengan
pendapatan rendah atau yang sering disebut sebagai low and middle income
countries (WHO, 2008).

1
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa saja penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit bukan infeksi?
2) Bagaimanakah penjelasan yang dapat mendefinisikan masing-masing
penyakit tersebut ?
3) Apakah keterkaitan antar masing-masing penyakit yang termasuk bukan
penyakit infeksi terhadap sistem imun?
4) Apa saja faktor-faktor yang dapat menyebabkan gangguan sistem imun
sehingga terciptalah penyakit tersebut ?

1.3 Tujuan
1) Mengetahui apa saja penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit
bukan infeksi.
2) Mengetahui deinisi yang menjelaskan masing-masing penyakit yang termasuk
penyakit bukan infeksi.
3) Mengetahui keterkaitan atau hubungan antara kelompok penyakit bukan
infeksi dengan sistem imun.
4) Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan gangguan pada sistem imun
sehingga dapat menciptakan penyakit bukan infeksi.

1.4 Manfaat
a. Bagi Mahasiswa
Untuk menambah wawasan dan memenuhi tugas perkuliahan dari mata
kuliah immunologi.
b. Bagi institusi
Untuk menambah referensi dan pembendaharaan tentang penyakit bukan
infeksi
c. Bagi masyarakat
Bisa menambah pengetahuan tentang penyakit bukan infeksi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

PETANDA PENYAKIT BUKAN INFEKSI

2.1 Rheumatoid Arthritis


2.1.1 Definisi
Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun dimana system imun
tidak bisa membedakan jaringan sendiri denganbenda asing.
Rheumatoid arthritis (RA) adalah gangguan kronis, inflamasi
sistemik yang dapat mempengaruhi banyak jaringan dan organ, tetapi
terutama menyerang sendi menghasilkan sinovitis inflamasi yang sering
berkembang menjadi perusakan tulang rawan artikular dan ankilosis sendi.
Penyakit RA umumnya meyerang sendi-sendi bagian jari,
pergelangan tangan, bahu, lutut, dan kaki. RA diderita mulai usia diatas 18
tahun. Perbandingan antara wanita dan pria adalah 3:1.

2.1.2 Etiologi
Penyebab pasti reumatod arthritis tidak diketahui. Biasanya
merupakan kombinasi dari faktor genetic, lingkungan, hormonal dan faktor
system reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi
seperti bakteri, mikoplasma dan virus (Lemone & Burke, 2001).
Penyebab utama kelainan ini tidak diketahui. Ada beberapa teori
yang dikemukakan mengenai penyebab artritis reumatoid, yaitu :
1. Infeksi streptokokus hemolitikus dan streptokokus non-
hemolitikus
2. Endokrin
3. Autoimun
4. Metabolik
5. Faktor genetik serta faktor pemicu lainnya.

3
Pada saat ini, artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor
autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II;
faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena virus dan organisme
mikoplasma atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II
kolagen dari tulang rawan sendi penderita.

2.1.3 Manifestasi Klinis


1) Pegal tulang sendi
Salah satu gejala yang paling dominan dari rheumatoid arthritis
adalah sakit pada sendi. Orang sering berpikir nyeri mereka adalah
karena kelelahan atau osteoarthritis, Jenis rematik yang umum pada
usia lanjut. Perasaan sakit ini juga bisa salah didiagnosa sebagai
fibromyalgia atau sindrom kelelahan kronis (kelelahan merupakan
gejala dari RA).
Nyeri sendi akibat RA sendiri bisa berlangsung lama, biasanya
lebih lama dari seminggu. Hal ini juga dapat simetris, yang berarti
kedua tangan, kaki, lutut, atau pergelangan kaki akan terkena dampak
pada waktu yang sama.

2) Kekakuan di pagi hari


Karakteristik lain dari rheumatoid arthritis adalah kekakuan
pada sendi di pagi hari. Sekali lagi, ini juga merupakan masalah
umum pada osteoartritis, yang dapat menyebabkan rasa sakit setelah
jangka waktu yang lama tidak aktif, seperti tidur. Perbedaan antara
keduanya adalah bahwa nyeri osteoarthritis biasanya mereda dalam
waktu sekitar satu jam setengah. Kekakuan dari rheumatoid arthritis
akan berlangsung lebih lama lagi. Olahraga dapat membantu
mengurangi kekakuan untuk orang dengan RA dan nyeri
osteoarthritis.

4
3) Sendi terkunci
Orang dengan RA kadang-kadang dapat mengalami sendi
terkunci, terutama di lutut dan siku. Hal ini terjadi karena ada begitu
banyak pembengkakan pada tendon sekitar sendi, sehingga sendi tidak
dapat menekuk. Hal ini dapat menyebabkan kista di belakang lutut
yang dapat membengkak dan menghambat gerak.

4) Benjolan kecil
Ini adalah pabrik benjolan yang tumbuh di bawah kulit dekat
sendi yang terinfeksi. Benjolan ini sering muncul di bagian belakang
siku, dan kadang-kadang orang juga bisa menemukannya di mata.
Gejala ini umum terjadi pada orang yang sudah mengalami
rheumatoid arthritis stadium berat, namun kadang-kadang muncul
lebih awal. Benjolan ini juga bisa diartikan encok, bentuk lain dari
arthritis.

2.1.4 Respon Imun terhadap Penyakit Rheumatoid Arthritis


Diduga penyakit ini disebabkan atau diawali oleh infeksi, salah satu
yang di duga penyebabnya adalah virus Epstein-Barr (EBV) walaupun
bukti kearah itu belum nyata. Dugaan ini timbul karena EBV dapat
menyebabkan infeksi laten dan persisten, dan dapat menyebabkan
ploriferasi limfosit B in vitro. Pengendalian infeksi EBV sangat
bergantung pada kemampuan limfosit T untuk menghancurkan limfosit B
yang terinfeksi EBV, karena itu sangat diperlukan pengenalan terhadap sel
self. Set T pada penderita atritis rheumatoid ternyata tidak mampu
mengenali sel B yang terinfeksi, yang hal ini dikaitkan pada kelainan gen
respon imun.
Interaksi antar faktor rheumatoid dengan Fc-IgG dan C1q
membentuk kompleks, yang bila terdapat pada sendi akan mengawali
terjadinya reaksi arthus. Sel-sel polimorfonuklear akan melepaskan enzim
lisozom, termasuk proteinase dan kolagenase yang dapat merusak tulang
rawan sendi. Kompleks itu juga akan merangsang sel-sel sinofial yang

5
mirip makrofag untuk melakukan fagositosis. Sebaliknya magrofag
merangsang limfosit T untuk melepaskan berbagai limfokin, salah satu
diantaranya adalah fibroblast stimulating faktor yang merangsang
proliferasi fibroblast, dan faktor kemotaktik yang menarik granulosit ke
tempat terjadinya kerusakan. Makrofag yang teraktivasi melepakan
berbagai mediator diantaranya plasmiogen, interleukin-1 dan prostaglandin
E2 (PGE2) yang dapat mengaktifasi osteoklas sehingga terjadi respon
tulang dan mengakibatkan rheumatoid arthritis yang lebih parah.

Bagan Respon Imun terhadap Penyakit Rheumatoid Arthritis

6
2.1.5 Pengobatan terhadap Sistem Imun
Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (AINS) mampu menghambat
sintesis mediator nyeri prostaglandin. Khasiat suatu AINS sangat
ditentukan kemampuannya menghambat sintesis prostaglandin melalui
hambatan aktivitas COX. Dari penelitian Duffy dkk (2003) diketahui
bahwa kadar PGE2 penderita rematik di plasma berkurang setelah
pemberian diklofenak (dari 28.15 +/- 2.86 ng/mL menjadi 0.85 +/- 2.86
ng/mL setelah 4 jam pemberian) dan nimesulide (dari 24.45 +/- 2.71
ng/mL menjadi 1.74 +/- 2.71 ng/ mL setelah 2 jam pemberian) dan di
cairan sinovium berkurang setelah pemberian diklofenak dan nimesulide
(dari 319 +/- 89 pg/mL menjadi 235 +/- 72 pg/mL setelah 4 jam
pemberian) bahkan pada pemakaian jangka lama kadar PGE2 di cairan.
sinovium dapat turun menjadi 61 +/- 24 pg/ mL. Aspirin dan meloxicam
juga mampu menurunkan kadar prostaglandin di darah dan cairan
sinovium (Jones dkk, 2002).
Nyeri inflamasi seperti yang dikeluhkan penderita rematik, bukan
semata-mata akibat peningkatan mediatar inflamasi prostaglandin.
Berbagai mediator inflamasi lain (misalnya bradikinin) dan sitokin (TNF-
alfa dan interleukin) turut serta dilepaskan dan berperan serta dalam
mencetuskan nyeri inflamasi. Interleukin-1beta, suatu proinflammatory
cytokine, menyebabkan pembebasan secara perlahan PGE2. Sebaliknya,
bradikinin, suatu mediator kimiawi pada inflamasi, memacu pembebasan
PGE2 dengan cepat.
Naproxen, berbeda dari nimesulide, tidak mampu menghambat
ekspresi COX-2 yang dipicu oleh IL-1 beta (Fahmi dkk, 2001). Henrotin
dkk (1999) mengkaji efek diklofenak dan nimesulide terhadap produksi
prostaglandin dan sitokin pada chondrocyte manusia. Grup peneliti ini
membuktikan bahwa produksi PGE-2 dan IL-6 ditekan baik pada
chondrocyte yang distumulasi dengan atau tanpa stimulasi IL-1 beta.
Pengkajian lanjutan dari grup peneliti ini mendapatkan bahwa seluruh
AINS yang diuji mampu menghambat sintesis PGE-2, sementara
diclofenak, indomethacin dan nimesulide secara bermakna menghambat

7
produksi IL-6 baik dalam keadaan basal maupun distimulasi dengan IL-1
beta. Celecoxib dan ibuprofen hanya menghambat produksi IL-6 yang
distimulasi dengan IL-1 beta, sedangkan piroxicam dan rofecoxib tidak
menunjukkan efek yang bermakna. Tak satupun dari AINS yang diuji
menunjukkan efek yang bermakna terhadap produksi IL-8 baik dalam
keadaan basal maupun terstimulasi dengan IL-1 beta, kecuali celecoxib
dan ibuprofen yang mampu meningkatkan produksi IL-8 dalam keadaan
basal. Sanchez dkk (2002) berpendapat bahwa mekanisme kerja AINS
kelihatannya multifactor dan tidak terbatas pada kemampuan hambatan
aktivitas cyclooxygenase. Efek ini memberikan nilai tambah dalam
pengobatan jangka panjang nyeri rematik.

2.2 Lupus Eritematosus Sistemik (LES / SLE)


2.3.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik
autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan. Mekanisme sistem kekebalan tubuh
tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme
asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang
menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar
dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada
antigen) di dalam jaringan. Gejala yang timbul dapat menyerupai penyakit
lain seperti multiple sclerosis, arthritis reumathoid,, atau bahkan demam
berdarah, sehingga sering menyulitkan dalam penegakkan diagnosa
(Setyohadi, 2006).

8
2.3.2 Data dan Studi pada LES
Prevalensi LES di Amerika Serikat adalah 15-50 per 100.000
populasi. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penyandang LES baru
di seluruh dunia. LES dapat mengenai semua ras, serta memiliki
kecenderungan perkembangan penyakit pada usia muda dengan
komplikasi yang lebih serius. Beberapa data yang ada di Indonesia
diperoleh dari pasien rawat inap di rumah sakit. Data antara tahun 1988-
1990, insidensi rata-rata penyandang LES adalah sebesar 37,7 per 10.000
perawatan dan cenderung meningkat dalam dua dekade terakhir (Utomo,
Wicaksono. 2012).
Studi yang dilakukan terhadap 195 pasien selama 2 tahun
menunjukkan bahwa pasien yang memiliki aktivitas penyakit LES berat
memiliki kemampuan fisik yang buruk, kondisi kesehatan yang jelek,
fungsi sosial yang jelek, dan nyeri berkelanjutan yang berdampak pada
pekerjaan yang dia lakukan (Utomo, Wicaksono. 2012). Berdasarkan
penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan maka penyakit LES
dirasa penting untuk dikaji ulang mengenai sistem kekebalan tubuh yang
berperan dan beberapa hal seperti pembentukan antibodi dalam tubuh
penderita LES.

2.3.3 Gambaran Klinis LES


Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit autoimun non
organ spesifik akibat terbentuknya autoantibodi terutama antibody IgG dan
IgM yang mentarget komponen sel dengan manifestasi klinik ringan
hingga berat dan cirri khas berupa kerusakan jaringan akibat inflamasi
yang luas dan berulang di seluruh tubuh.

Gambar: Penyakit LES (Lupus Eriteatosus Sistemik)


Sumber: Penyakit Lupus.org

9
Kebanyakan gambaran klinis SLE pada kulit berupa lesi diskoid
yang umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada
wajah bagian pipi dan sekitar hidung yang disebut buterfly rash karena
membentuk seperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga, dagu, daerah
leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan.
 Gejala klinis yang sering muncul antara lain:
Kulit : Sariawan, rambut rontok.
Persendian : Nyeri, kemerahan, bengkak
Ginjal : Kelainan urine, gagal ginjal
Membran : Radang selaput paru (pleurisy), selaput jantung
(pericarditis), selaput dinding perut (peritonitis).
Darah : Anemia, Leukopenia, Trombositopenia.
Paru-paru : Batuk, sesak nafas
Sistem saraf : Kejang, psikosa

 Gejala non spesifik


1. Fatigue/lelah merupakan gejala yang paling sering muncul
2. Weight Loss/penurunan berat badan
3. Weight Gain/penambahan berat badan-dapat disebabkan oleh
pembengkakan pada kedua tungkai atau pembesaran perut akibat
organ ginjal yang terkena.
4. Fever/demam – indikasi saat lupus menjadi aktif
5. Swollen Glands/pembengkakan kelenjar
Tingkat keparahan butterfly rush, kadang disertai dengan serangan
penyakit sistemik. LES dapat menimbulkan bercak merah bersisik mirip
dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan
manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibodi terhadap
Ro (SS-A). Manifestasi LES pada kulit lainnya dapat ditemukan berupa
urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like , bulla, dan panikulitis
(Utomo, Wicaksono. 2012).

10
Tabel 1. Kriteria Lupus Erythematosus Systemic revisi tahun 1997
Kriteria Definisi
1. Butterfly Rash Terdapat eritema, datar, atau meninggi yang
cenderung tidak mengenai lipatan nasolabial.
2. Discoid Rash Bercak eritema menonjol dengan skuama
keratosis dan sumbatan folikel, parut atrofi
dapat muncul pada lesi yang sudah lama
timbul.
3. Fotosensitivitas Ruam yang timbul setelah terpapar sinar UV
A dan B
4. Arthritis Radang di persendia yang mengenai dua atau
lebih persendian perifer dengan rasa sakit
disertai pembengkakan.
5. Kelainan Imunitas Antibodi anti-DNA asal dalam titer abnormal;
atau antibody antifosfolipid positif
berdasarkan pada kadar antibodi
antikardiolipin IgG atau IgM serum yang
abnormal dan positif antioagulanlupus
menggunakan uji standart.
6. Tes ANA Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan
tidak adanya obat yang diketahui berkaitan
dengan LES yang diinduksi obat.

2.3.4 Epidemiologi LES


Penyakit ini menyerang Penyakit ini menyerang wanita muda
dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan
ratio wanita dan pria 5:1. Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi
salah satu penyakit penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi LES di
berbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000. LES
lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina, dan
mungkin saja Filipina (Utomo, Wicaksono. 2012).

11
2.3.5 Etiopatogenesis LES
Etiopatologis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana
terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral
seperti faktor genetik,faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap
respons imun. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita
lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar
monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang
berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Studi lain
mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA
( Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC
( Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi
spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
komplemen, seperti C2,C4, atau C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat
merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit
mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi
C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga
komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.

2.3.6 Mekanisme Antibodi yang Berperan


Pada LES ini sel tubuh sendiri dikenali sebagai antigen. Target
antibodi pada LES ini adalah sel beserta komponennya yaitu inti sel,
dinding sel, sitoplasma dan partikel nukleoprotein. Karena didalam tubuh
terdapat berbagai macam sel yang dikenali sebagai antigen maka akan
muncul berbagai macam otoantibodi pada penderita LES. Peran antibodi
antibodi ini dalam menimbulkan gejala klinis belum jelas diketahui,
beberapa ahli melaporkan kerusakan organ/sistem bisa disebabkan oleh
efek langsung antibodi atau melalui pembentukan komplek imun.
Kompleks imun akan mengaktifasi sistem komplemen untuk melepaskan
C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan vasoaktif
amin seperti histamin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskuler yang akan memudahkan mengendapnya kompleks imun.
Pembentukan kompleks imun ini akan terdeposit pada organ/sistem

12
sehingga menimbulkan reaksi peradangan pada organ/sistem tersebut
Sistem komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan
memperberat kerusakan jaringan yang terjadi. LES tergantung dari
organ/sistem mana yang terkena/ terpapar (J Peny Dalam, Volume 8
Nomor 2 Mei 2007

Gambar: Patogenesi LES


Sumber: (J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 2 Mei 2007)

Penyakit Lupus ini menjadikan antibodi yang terbentuk dalam tubuh


muncul berlebihan. Hasilnya, antibodi justru menyerang sel-sel jaringan
organ tubuh yang sehat itu sendiri. Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk
ke seluruh jaringan dengan dua cara yaitu :
1. Antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh, seperti
pada sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah
yang mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah atau
anemia.

13
2. Antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang pembentukan
antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun. Gabungan
antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di
pembuluh darah kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan
normal, kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit).

2.3.7 Faktor Predisposisi yang Berperan dalam Timbulnya Penyakit LES


a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal
sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan
genetik untuk menderita LES telah ditunjukkan oleh studi yang
dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot
berisiko menderita LES, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya LES adalah 58%. Risiko terjadinya LES pada individu yang
memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi
dibandingkan pada populasi umum. Kekurangan pada struktur
komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi
yang dapat menimbulkan LES. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi
C1q homozigot akan berisiko menderita LES.

b. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem
imun, yaitu:
1. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC ( Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini
menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T
akan salah mengenali perintah dari sel T.

14
2. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T
dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit
yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon
autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi
menjadi tidak normal.
3. Kelainan Antibody
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada LES,
seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali
sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi
autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di
jaringan.

c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LES.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus
dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor resiko terjadinya LES.

d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya LES. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari:
1. Ineksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya LES. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr
Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.

15
2. Paparan Sinar Ultraviolet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit LES dapat
kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi
di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh
darah.
3. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya LES pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini
dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang
dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan LES
pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal.
4. Obat-Obatan
Obat pada pasien LES dan diminum dalam jangka waktu
tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus
Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE
diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,
dan isoniazid.

2.3.8 Penatalaksanaan LES Secara Umum


Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan
dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru
terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada
penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang bertemu
secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya,
penderita LES mengalami fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu
diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari (J Peny
Dalam, Volume 8 Nomor 2 Mei 2007)

16
 Obat-obat Lupus secara Umum
1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAID adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan
ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering
menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak
fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan
resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga
mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam kehamilan (setelah
20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal janin.
2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama
dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu
rendah untuk pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering
terjadi adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu
lama.

2.3 Respon Imun Dalam Kehamilan


2.3.1 Pendahuluan
Kehamilan ditandai oleh toleransi maternal dari paternal major
histocompatibility antigens sambil mempertahankan kompetensi imunitas
terhadap infeksi. Hal ini dapat tercapai dengan beberapa mekanisme, yang
mencakup: fetal trophoblastic evasion of maternal immune
detection (minimal dengan kegagalan untuk mengeluarkan molekul
antigen histocompatibilitas mayor kelas I atau II); pengeluaran ligand Fas
trofoblast; pengeluaran complement regulatory protein CD46, CD55, dan
CD59 (yang memiliki efek perlindungan); sel sitotrofoblas ekstravilli yang
mengeluarkan gen histokompatibilitas mayor non-klasik yang
mengkodekan HLA-G (menurunkan fungsi sel natural killer); dan
produksi sitokin desidua. Perubahan ini berefek pada timus dan sel B, yang

17
berperan terhadap penekanan respon autoimun serta perubahan pada sel T
yang bersirkulasi dan lokal.

2.3.2 Kehamilan secara Imunologi


Biasanya, kehamilan dari sudut pandang imunologi, telah dilihat
sebagai sebuah konflik antara janin semiallogenik dan ibu dimana
kelangsungan hidup janin bergantung pada penekanan respon imun
maternal. Akan tetapi, telah jelas bahwa sementara fungsi limfosit
mengalami perubahan pada saat kehamilan, tidak terdapat penekanan
respon imun maternal yang meluas. Konsep kontemporer dalam imunologi
reproduktif sekarang menekankan pada sifat kooperatif dari interaksi
antara sel individual dan molekul sistem imun dan janin dalam mengatur
hasil luaran kehamilan. Saat ini perhatian berpusat pada keterkaitan antara
sel natural killer dan kegagalan reproduktif.
Sel natural killer merupakan limfosit yang menjadi bagian dari
sistem imun bawaan. Sel NK dapat dibagi menjadi sel yang ditemukan
pada darah perifer dan yang terdapat pada desidua uterus. Terdapat
perbedaan fenotip dan fungsional yang penting pada kedua tempat ini.
Tidak seperti sel NK darah perifer, sel NK uterus memiliki kemampuan
membunuh yang kecil. Analisis micro-assay yang dikombinasikan
dengan flow cytometric dan penelitian RT-PCR telah memperlihatkan
bahwa fenotip sel NK uterus berbeda dari sel NK dalam darah perifer.
Respon sitokin pada hubungan maternal-fetal saat ini juga menjadi
subjek penelitian. Respon ini secara umum dapat dibagi menjadi respon
tipe Th-1 (yang ditandai oleh produksi interleukin-2, interferon-γ dan
TNF-β) atau respon tipe Th-2 (yang ditandai oleh produksi antibody
pemblok pada mask fetal trophoblast antigen yang berasal dari perkenalan
imunologis oleh respon sitotoksik yang dimediasi oleh sel Th-1 maternal.
Sebaliknya, wanita yang mengalami aborsi rekuren cenderung lebih
dominan menghasilkan respon sel tipe Th-1 pada periode implantasi
embrionik dan selama kehamilan. Imuno-modulasi dari respon

18
sitokin pada saat awal kehamilan mencerminkan adanya kemungkinan
besar untuk melakukan percobaan terapi di masa yang akan datang.

2.3.3 Paradox Imunologi dalam Kehamilan


Lebih dari lima puluh tahun lalu pemenang nobel Peter B Medawar
mengajukan sesuatu yang dikenal sebagai “paradox imunologis dalam
kehamilan.” Medawar berargumen janin itu seperti transplant setengah
asing, karena setengah gennya berasal dari sang ayah. Oleh karena itu, dia
menyimpulkan, sistem imun ibu dan janin akan mengalami masalah.
Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa sistem imun aktif pada tempat
dimana embrio yang berkembang melekat pada uterus pada permulaan
kehamilan. Sehingga sistem imun maternal yang agresif akan menyerang
embrio, sehingga embrio mengambil tindakan defensive.
Yang terbaru, ahli imunologi telah menyatakan apakah paparan
terhadap protein dalam cairan semen dapat membantu agar sistem imun
wanita dapat bersiap untuk konsepsi dan kehamilan. Tremellen dan
rekannya telah meneliti sebuah protein yang disebut TGF, yang ditemukan
dalam kadar yang cukup tinggi dalam semen. Mereka menyuntikkan TGF
kedalam uterus tikus yang disertai dengan beberapa protein asing, dan
menemukan bahwa injeksi protein yang sama di bawah kulit tidak
mengurangi kekuatan reaksi imun. Tremellen percaya bahwa ‘imunisasi’
dengan TGF melalui hubungan seksual membantu sistem imun maternal
belajar untuk mentolerir antigen dalam semen dengan merubah produksi
molekul peradangan yang disebut sitokin. Dia telah menunjukan bahwa
fertilisasi in vitro jauh lebih berhasil jika pasangan telah melakukan
hubungan seksual sebelum dilakukannya IVF.
Terdapat paradox dalam sebuah kehamilan bahwa, walaupun
kemampuan ibu untuk menghasilkan antibody tampak normal,
kemampuan mereka untuk menyusun respon imun yang dimediasi sel
menjadi lemah. Konsep ini didukung oleh pengamatan klinis bahwa wanita
hamil, walaupun tidak mengalami penurunan sistem imun yang terlalu
parah, lebih rentan mengalami penyakit yang normalnya berkaitan dengan

19
respon imun yang dimediasi oleh sel. Infeksi virus tertentu, seperti
hepatitis, herpes simplek, dan Epstein-barr, lebih sering terjadi pada
kehamilan. Penyakit yang disebabkan oleh pathogen intraseluler (misal
lepra, tuberculosis, malaria, toksoplasmosis, dan coccidioidomycosis)
tampaknya dapat menjadi lebih parah pada kehamilan. Lebih lanjut lagi,
sekitar 70% wanita dengan rheumatoid arthritis (yang disebabkan oleh sel
T sitotoksik pada daerah persendian) mengalami penyembuhan sementara
pada gejalanya pada saat gestasi, sedangkan SLE (yang disebabkan oleh
autoantibody) cenderung menjadi buruk pada saat kehamilan.
Dapat disimpulkan bahwa sistem imun secara signifikan berubah
pada saat kehamilan dan perubahan-perubahan ini penting untuk
mendukung plasentasi yang normal dan agar kehamilan dapat berjalan
normal dan sehat. Gangguan pada sistem imun maternal dapat
mengganggu keseimbangan yang baru saja terbentuk antara toleransi dan
imunitas pada saat kehamilan dan dapat mempengaruhi plasenta. Hasil
luaran dan/atau perjalanan kehamilan.

2.3.4 Mekanisme Toleransi Fetal


Plasenta bukanlah pembatas antara sel maternal dan janin, dan sel-
sel ini mengalami kontak langsung pada beberapa lokasi, yang
mencerminkan hubungan maternal-fetal. Syncytiotrofoblast, lapisan paling
luar dari vili chorionic, melakukan kontak langsung dengan darah ibu
dalam ruang intervilli. Trofoblasekstravilli dalam desidua melakukan
kontak dengan berbagai macam sel maternal, yang mencakup makrofag,
sel NK uterus, dan sel T. trofoblas endovascular menggantikan sel
endothelial pada arteri spiral maternal dan berkontak langsung dengan
darah maternal. Akhirnya, makrofag janin dan maternal berkontak dengan
lapisan chorion pada membrane janin.
Mekanisme toleransi imunologi janin harus bekerja pada
penghubung janin-ibu untuk mencegah penolakan pada janin. Sekitar 30%
wanita primipara atau multipara membentuk antibody terhadap HLA janin
paternal yang diwariskan. Persistensi dari antibody-antibodi ini tidak

20
tampak membahayakan janin. Sel fetal yang persisten dalam ibu dapat
memainkan peranan dalam persistensi antibodi-antibodi ini, karena pada
beberapa wanita antibodinya menetap, sedangkan pada ibu yang lain
antibody ini tidak tampak. Pembentukan antibody IgG terhadap antigen
HLA paternal yang diwariskan berkaitan dengan adanya limfosit T
sitotoksik yang spesifik untuk antigen HLA ini. Limfosit T maternal yang
spesifik untuk antigen janin juga muncul pada saat hamil, tetapi kurang
responsive.
 Toleransi melalui antigen leukosit manusia (HLA)
Trofoblas janin dan sel dalam membrane plasenta berkontak
langsung dengan sel dan darah maternal, dan seharusnya beresiko
mengalami penolakan imunologis. Pengeluaran molekul MHC oleh sel-
sel fetal ini pada awalnya sepertinya tidak menguntungkan yang dapat
memicu respon imun yang menolak perlekatan janin pada uterus. Dari
berbagai macam bentuk trofoblas plasenta, hanya sel trofoblas
ekstravilli yang mengeluarkan molekul MHC kelas I (HLA-C, -E, dan -
G). Berdasarkan ekspresi HLA-nya, populasi sel-sel trofoblas dapat
dibagi menjadi 3 populasi, yaitu:
(a) Sel-sel trofoblas yang melapisi ruang intravili. Sel-sel trofoblas di
sini akan langsung mengadakan kontak dengan sel-sel imun
maternal dari sirkulasi maternal, maka sel-sel trofoblasnya tidak
akan mengekspresikan HLA kelas I sama sekali;
(b) Sel-sel trofo-blas endovaskular, yaitu sel-sel trofoblas yang
menginvasi pembuluh darah arteri spiralis. Sel-sel trofoblas di sini
akan berkontak dengan sel-sel imun maternal pada sirkulasi
maternal. Namun,bedanya sel-sel trofoblas tersebut
mengekspresikan HLA kelas I, seperti HLA-G, HLA-E, dan HLA-
C;

21
(c) Sel-sel trofoblas yang akan menginvasi lapisan desidua. Sel-sel ini
juga berpotensi untuk berkontak dengan sel-sel imun maternal yang
terdapat pada lapisan desidua. Maka, sel-sel trofoblas pada lapisan
ini juga hanya akan mengekspresikan HLA-G, HLA-E, dan HLA-
C.
Karena distribusinya yang unik pada jaringan trofoblastik janin,
HLA-G diperkirakan menjadi komponen yang penting dalam toleransi
janin. Meskipun fungsi pasti dari HLA-G masih belum diketahui, bukti
menunjukkan bahwa HLA-G melindungi sitotrofoblast invasif agar
tidak dibunuh oleh sel NK-uterus. HLA-G, yang berinteraksi dengan sel
NK-U, kemungkinan berperan pada pemeliharaan toleransi imun pada
penghubung maternal-fetal dan kehamilan yang normal.

22
 Toleransi melalui pengaturan sel T maternal
Sel T maternal berada dalam keadaan toleransi transien untuk
alloantigen paternal tertentu. Hal ini telah diperlihatkan pada tikus
betina yang disensitisasi untuk mengenali antigen paternal sebelum
hamil. Tikus betina menjadi toleran terhadap antigen paternal yang
sama yang dikeluarkan oleh janin yang sebelumnya telah dikenali dan
dihancurkan. Oleh karena itu harus terdapat beberapa mekanisme untuk
menekan respon sel T maternal.
Sebuah populasi special dari sel T, yang disebut sel T pengatur,
menekan respon imun terhadap antigen tertentu dan meningkat dalam
sirkulasi maternal pada wanita dan tikus betina pada saat hamil. Sel T
pengatur (CD4+ CD25+) terutama berperan untuk mencegah respon
autoimun yang terjadi jika sel T self-reactive keluar dari timus pada saat
perkembangan sel yang normal. Mekanisme penekanan sel T pengatur
pada respon sel T masih belum diketahui tetapi mungkin melibatkan
kontak sel secara langsung atau menghasilkan sitokin anti-peradangan.
Cara lain untuk menekan sel T maternal pada penghubung
maternal-fetal melibatkan deplesi triptofan oleh indoleamine 2,3
dioxygenase (IDO), sebuah enzim yang mengkatabolisasikan triptofan.
IDO dalam keadaan normal berfungsi sebagai mekanisme pertahanan
antimikroba bawaan dengan cara memungkinkan sel untuk menghapus
triptofan dari kelompok intraseluler atau lingkungan mikro lokal. IDO
dipertimbangkan berperan untuk membuat sel T menjadi kurang
responsive pada saat hamil, karena triptofan adalah sebuah asam amino
essensial untuk fungsi sel T.

23
2.4 Diabetes Mellitus
2.4.1 Definisi
Diabetes diturunkan dari bahasa Yunani yaitu diabêtês yang berarti
pipa air melengkung (syphon). Diabetes dinyatakan sebagai keadaan di
mana terjadi produksi urin yang melimpah pada penderita (Lawrence,
1994). Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang melibatkan
hormon endokrin pankreas, antara lain insulin dan glukagon. Diabetes
Mellitus ( DM ) merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh kadar gula
darah melebihi nilai normal. Diabetes merupakan penyakit kronis yang
membutuhkan perawatan medis terus menerus dan edukasi untuk
mencegah komplikasi akut serta menurunkan risiko jangka panjang.
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2004,
diabetes diklasifikasikan dalam Standards of Medical Care in Diabetes
berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes
dan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan oleh WHO dan telah
dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi DM :
1) Diabetes melitus tipe 1
2) Diabetes melitus tipe 2, disebut juga non-insulin dependent diabetes
melitus (NIDDM) atau adult onset diabetes melitus (AODM).
3) Diabetes melitus gestasional (diabetes kehamilan)
4) Diabetes melitus tipe khusus lainnya

2.4.2 Prevalensi
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi
global diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada
2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia
menduduki peringkat ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes
setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah
penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030
jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi,
hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka

24
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan
secara teratur.

2.4.3 Manifestasi Klinik


Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien diabetes melitus akan
mengeluhkan apa yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat
badan, Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering
kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit.
Kriteria diagnostik:

 Gejala klasik DM ditambah gula darah sewaktu ≥200 mg/dl. Gula

darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari


tanpa memerhatikan waktu makan terakhir, atau

 Kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak

mendapat kalori tambahan sedikit nya 8 jam, atau

 Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan

dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara


dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam 250 ml air.
 Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal
minimal 2 kali

2.4.4 Hubungan Imunitas dengan Penderita DM


1. Diabetes Melitus Tipe 1
Sebagian besar kasus diabetes melitus tipe 1 terbukti disebabkan
karena destruksi sel beta yang dimediasi autoimun (Tipe 1A), sekitar
10%-20% kasus tidak ditemukan adanya antibody (antibody negatif)
sehingga disebut sebagai DT1 idiopatik (Tipe 1B). Diabetes melitus
tipe 1 (T1D) ditandai dengan penyakit yang kronis, progresif serangan
autoimun terhadap antigen spesifik pankreas mempengaruhi
penghancuran B-sel yang memproduksi insulin. Dalam tubuh pasien
diabetes mellitus tipe 1 beredar IgG sel memori B spesifik untuk IL-2
(Al-Mutairi, 2007).

25
Dasar dari abnormalitas imun pada DM tipe 1 adalah kegagalan
dari self-tolerance sel T. Kegagalan toleransi ini dapat disebabkan oleh
defek delesi klonal pada sel T self-reactive pada timus, defek pada
fungsi regulator atau resistensi sel T efektor terhadap supresi sel

regulator. Hal – hal tersebut membuat sel T autoreaktif bertahan dan

siap untuk berespon terhadap selfantigens. Aktivasi awal dari sel


tersebut terjadi pada nodus limfe peripankreatik sebagai respon
terhadap antigen yang dilepaskan dari sel pulau Langerhans yang rusak.

Sel T yang teraktivasi bergerak ke pancreas kemudian merusak sel β.

Populasi sel T yang dapat menyebabkan kerusakan tersebut adalah TH1

cells dengan cara mensekresi sitokin seperti IFN-γ dan TNF serta CD8+

CTLs (Al-Mutairi, 2007).


Sel islet pankreas yang menjadi target autoimun dikarenakan
adanya kerusakan dari Islet cell autoantibodies (ICA) yang merupakan
suatu komposisi dari beberapa antibodi yang spesifik pada molekul sel
islet pankreas seperti insulin, glutamic acid decarboxylase (GAD),
ICA-512/IA-2 (homolog tirosin-fosfatase), dan phogrin (protein granul
yang mensekresi insulin). Antigen tersebut merupakan marker dari
proses autoimun DM tipe 1(Al-Mutairi, 2007).
Terdapat hubungan diabetes mellitus tipe 1 dengan genetik seperti
produksi gen HLA (Human Leucosyt Antigen) . HLA kelas I disebut
sebagai penyebab diabetes karena kadarnya yang meningkat pada
penderita diabetes. (Mortensen, 2010) Alel HLA kelas II mempengaruhi
kerentanan diabetes mellitus tipe 1 dikarenakan susunan dimer kelas II
yang dikode oleh beberapa kompleks HLA setiap individu bervariasi
afinitasnya untuk peptida tertentu yang dapat menimbulkan autoimun
ke sel beta. HLA III terdapat pada diabetes melitus Tipe 1 dimana gen
HLA III memproduksi TNF alpha yang mempengaruhi respon imun
dan mendestruksi sel B pankreas secara bertahap (Valeron, 2008).

26
Dengan demikian, dalam model ini produk-produk dari alel HLA
tertentu yang berkaitan dengan DM tipe 1 karena mereka mengikat dan
menyajikan peptida khusus untuk merangsang respon imun terhadap sel
beta pankreas. Antigen yang terlibat dalam diabetes mellitus tipe 1
meliputi antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase (GAD) dan
antigen sitoplasma sel islet. Sel Islet tertentu pada baris sel beta
memproduksi antibodi IgG yang terikat ke antigen sitoplasma sel islet
yang ditemukan. Semua monoklonal antibodi yang diproduksi oleh
baris sel beta dikenali oleh asam glutamate dekarboksilase di dalam
target autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin menjadi target
antigen utama pada diabetes mellitus tipe 1, sehingga antibodi untuk
GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan diabetes.
Antibodi juga bereaksi dengan insulin dapat juga dideteksi dalam klinis
pada periode prediabetik yang laten, tetapi autoantibodi insulin
memiliki sensitivitas lebih rendah sebagai penanda untuk
perkembanagn diabetes dibandingkan antibodi GAD atau ICA.(
Bougn,2008). Pada penelitian dengan model hewan DM tipe 1
menggunakan mikroskopis elektron untuk mengamati pankreas
menunjukkan bahwa makrofag adalah sel pertama yang menyerang
islets. Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas
menunjukkan bahwa interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor

(TNF-α), dua sitokin utama yang diproduksi oleh makrofag,

menyebabkan perubahan struktural sel beta pankreas dan menekan


kapasitas sel beta pankreas untuk melepaskan insulin. Namun,
tampaknya IL-1 dan TNF tidak berkontribusi dengan aktivitas
sitotoksik makrofag. Interferon gamma merupakan aktivator kuat untuk
makrofag dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat ini, ada bukti yang
menunjukkan bahwa aktivitas sintesis Nitrat oksida terlibat dalam
perkembangan diabetes DM tipe 1, dimana data ini menunjukkan untuk
pertama kalinya, bahwa nitrat oksida dapat menjadi faktor patogen
dalam autoimunitas dan disarankan kemungkinan adanya kelas baru
pada agen immunofarmakologi, dimana mampu memodulasi sekresi

27
nitrat oksida untuk dapat diuji dalam pencegahan perkembangan DM
tipe 1. Faktor lingkungan meningkatkan risiko untuk perkembangan
diabetes tipe 1 adalah infeksi rubella congenital, dimana sampai 20%
dari anak-anak yang terinfeksi virus tersebut di kemudian hari dapat
berisiko untuk menderita diabetes. Pada saat terjadi kekurangan insulin
akibat kerusakan dari sel beta di pankreas, maka akan timbul
hiperglikemia yang merupakan perkembangan dari tiga proses:
(1) Peningkatan glukoneogenesis (pembuatan glukosa dari asam
amino dan gliserol);
(2) Glikogenolisis dipercepat (pemecahan glukosa disimpan); dan
(3) Pemanfaatan glukosa oleh perifer jaringan (Valeron, 2008).

2. Diabetes Melitus Tipe 2


Resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak normal menjadi
kunci dari berkembangnya diabetes mellitus tipe 2. Obesitas, terutama
tipe sentral, sering ditemukan pada penderita diabetes mellitus tipe 2.
Pada tahap awal, toleransi glukosa hampir normal karena sel-sel B
pankreas mengompensasi dengan meningkatkan produksi insulin.
Ketika resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatorik terus
terjadi, pankreas tidak mampu mempertahankan keadaan
hiperinsulinemia tersebut. Akibatnya, terjadi gangguan toleransi
glukosa, yang ditandai dengan peningkatan glukosa darah setelah
makan. Setelah itu, penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi
glukosa hati berlanjut pada diabetes berat dengan hiperglikemia saat
puasa dan kegagalan sel beta. (Gustaviani,2006)
Berdasarkan studi terbaru dikatakan bahwa dalam timbulnya DM
tipe 2 terdapat pengaruh faktor genetik yaitu transcription factor 7–like-
2 (TCF7L2) pada kromosom 10q yang mengkode faktor transkripsi
pada WNT signaling pathway. Berbeda dengan diabetes mellitus tipe 1,
penyakit ini tidak berhubungan dengan gen yang mengatur toleransi dan
regulasi imun seperti HLA, CTLA4, dll.

28
Ada 4 karakteristik penyebab diabetes mellitus tipe 2, yaitu
resistensi insulin, berkurangnya sekresi insulin, dan meningkatnya
produksi glukosa hati, dan metabolisme lemak yang abnormal.

2.4.5 Gangguan Sistem Pertahanan pada Penderita Diabetes Mellitus


Pasien diabetes mellitus dilaporkan memiliki penurunan sistem imun
setelah terganggunya pengontrolan kadar gula di dalam tubuhnya. Ada
beberapa gangguan fungsi yang dapat ditemukan pada penderita diabetes
mellitus adalah sebagai berikut :
1. Penurunan Mobilisasi Polimorfonuklear (PMN)
Polimorfonuklear atau granulosit dibentuk di dalam sum-sum
tulang dan beredar di dalam aliran darah selama 2-3 hari, sedangkan
monosit atau makrofag dapat bertahan hidup selama beberapa bulan
hingga tahun. Granulosit dapat juga dapat ditemukan di luar pembuluh
darah (Baratawidjaja, 2004).
Granulosit bersamaan dengan antibodi dan komplemen berperan
dalam proses inflamasi akut. Netrofil yang merupakan salah satu bagian
dari granulosit berperan dalam fagositosis. Adanya penurunan jumlah
neutrofil menyebabkan terjadinya kerentanan terhadap infeksi
(Guntur,2011). Penelitian yang dilakukan oleh Perllie et al mengenai
penurunan sistem imun pada pasien diabetes mellitus, didapatkan
pasien diabetes mellitus memiliki kecepatan mobilisasi PMN yang lebih
lambat ketimbang kontrol pada saat dilakukan sayatan kecil pada
sampel. Penelitian ini juga didukung oleh Mowat dan Baum di mana
indeks kemotatik PMN pada diabetes mellitus ikut menurun.
Selain terjadinya penurunan daya kemotatik sel PMN, pada
penderita diabetes mellitus dengan asidosis diabetika ditemukan defek
fagosit dalam menelan dan intracellular killing bacteri. Normalnya, sel
fagosit akan bergerak menuju mikroba dan mengikatkan dirinya pada
permukaan mikroba melalui komplemen atau antibodi. Selanjutnya
akan internalisasi mikroba ke dalam fagosom yang nantinya akan
melebur mikroba dengan oksigen radikal bebas (Djokomeljanto, 2004).

29
Ketika asidosis diabetika dikoreksi, perbaikan fungsi fagositosis terjadi
walaupun tidak sebaik kontrol (Tan et al., 2009).
Gangguan fungsi adherence sel PMN pada pasien diabetes
mellitus mengakibatkan antigen sulit untuk difagositosis. Semakin baik
kontrol gula pasien diabetes mellitus, semakin baik pula fungsi
adherence sel PMN. Fungsi adherence membantu perlekatan PMN
dengan kompleks antigen-antibodi-komplemen.

Gambar: Rangkaian reaksi yang menyebabkan injuri jaringan yang terkait dengan
masuknya PMN. Perhatian bahwa di samping proses kemotaksis, perlekatan
(adherence), fagositosis, dan digesti yang biasanya menyebabkan inaktifasi
partikel, di sini dapat juga terjadi pelepasan unsur-unsur pokok neutrofilik
(enzim lisosom ) yang mengakibatkan injuri jaringan. (Dikutip dari :
Henson, 1993 )

2. Penurunan Jumlah Monosit


Monosit merupakan sel progenitor dalam sumsum tulang.
Monosit akan berproliferasi dan bermaturasi kemudian masuk ke dalam

30
peredaran darah. setelah 24 jam, sel monosit akan bermigrasi dari
peredaran darah dan menuju ke tempat tujuan untuk berdifierensiasi
sebagai makrofag (Bellanti, 2008). Makrofag akan membelah
membentuk protein dan bertahan sampai beberapa bulan yang
kemudian disebut fixed macrophage yang nantinya akan berubah nama
sesuai dengan lokasinya seperti sel kuffer di hepar dan makrofag
peritoneal bebas di dalam cairan peritoneum.
Fungsi monosit sebagai fagosit, antiviral, antitumor, presentasi
antigen ke limfosit, aktivasi limfosit dan produksi komponen
komplemen, modeling dan perbaikan jaringan, aktivasi sistemik sebagai
respon terhadap infeksi, serta aktivasi vaskulatur sel epitel.
Penurunan jumlah total dari monosit yang beredar di dalam
plasma akan menurunkan fungsi dari sistem imun tubuh seseorang.
Pada penderita diabetes mellitus, terjadi penurunan jumlah total
monosit yang beredar pada plasma. Penelitian Geisler et al., pada 20
pasien diabetes mellitus yang dijadikan responden penelitian, 14 pasien
dengan kadar gula yang tidak terkontrol mengalami penurunan fungsi
fagositosis terhadap Candida Albicans. Monosit pada pasien diabetes
mellitus mengalami penurunan aktivitas reseptor lectinlike yang
diperlukan untuk mengenali komponen dinding mikroorganisme
(Sentochnik dan Eliopoulos, 2005).

3. Penurunan Kadar Komplemen


Aktivitas komplemen pada DM, baik kualitas maupun kuantitas
menurun. Menurut beberapa penelitian, , kadar C4 pada penderita
diabetes mellitus baik tipe 1 dan 2 menurun sebesar 25 %. Penderita
diabetes mellitus yang bergantung pada insulin dilaporkan mengalami
penurunan kadar komplemen yaitu jenis Ciq dan C3 (Arifin dan
Guntur,2004). Pada penderita diabetes mellitus tipe 1 mendapatkan
bahwa kadarC3 untuk yang mengidap diabetes mellitus kurang dari satu
tahuncenderung menurun dan meningkat pada penderita yang telah

sakit 1–3 tahun dan lebih 5 tahun. Kadar C4 menurun pada penderita

31
yangmengidap kurang dari 1 tahun dan cenderung turun pada penderita

yang telah mengidap antara 1–3 tahun. Pola tersebut dihubungkan

dengan ICA (islet cell antibody) yang bersifat mengikat komplemen


(Ford, 2001).
Sementara itu pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 juga
didapati penurunan dari komplemen C3 dan C4 (Bernheim et al., 2011).
Kadar komplemen yang menurun cenderung menyebabkan tubuh rentan
terhadap infeksi hal ini disebabkan penurunan fungsi kemotaksis
(Guntur,2001).
Komplemen merupakan salah satu molekul dari sistem imun yang
befungsi dalam inflamasi, opsonisasi partikel antigen dan menimbulkan
kerusakan membrane patogen. Komplemen merupakan molekul dari
sistem imun non spesifik larut dalam keadaan tidak aktif, tetapi setiap
waktu dapat diaktifkan oleh berbagai bahan seperti antigen, kompleks
imun dan sebagainya. Aktivasi komplemen melalui dua jalur yaitu jalur
klasik dan jalur alternatif. Hasil aktivasi ini akan menghasilkan berbagai
mediator yang mempunyai sifat biologik aktif dan beberapa di
antaranya berupa enzim. Hal tersebut terjadi sebagai usaha tubuh untuk
menghancurkan antigen asing. (Baratawidjaja, 2004).

4. Penurunan Kadar Immunoglobulin


Dalam serum orang dewasa normal, IgG merupakan 75 % dari
imunoglobulintotal. IgG merupakan imunoglobulin utama yang
dibentuk atas rangsangan antigen. Di antara semua kelas
imunoglobulin, IgG paling mudah berdifusi ke dalam jaringan ekstra
vaskular dan melanjutkan aktivitas antibodi di jaringan . Kadar IgG dan
IgA dalam serum menurun pada penderita diabetes mellitus (Greco,
2015). Namun masih mempunyai respon cukup untuk infeksi-infeksi
tertentu misal infeksi oleh virus coxsackie, sehingga fungsi fagositosis
menurun.
Roio et al, melakukan penelitian terhadap diabetes mellitus tipe 1
dengan membandingkan kadar IgG dan IgA pasien dengan gula darah

32
terkontrol dan tidak terkontrol. IgG pada pasien dengan gula darah tidak
terkontrol mengalami penurunan secara signifikan dibanding dengan
pasien dengan gula darah terkontrol, sedangkan IgA terjadi penurunan
pada pasien dengan gula darah terkontrol dibanding yang tidak
terkontrol . IgG memiliki sifat opsonin yang efektif karena sel fagosit,
monosit, dan makrofag mempunyai reseptor untuk fraksi Fc dari IgG
sehingga dapat mempererat hubungan antara fagosit dengan sel sasaran.
Opsonin dalam bahasa Yunani berarti menyiapkan untuk dimakan.
Selanjutnya proses opsonisasi tersebut dibantu oleh reseptor
untuk komplemen pada permukaan fagosit. IgG juga berperan pada
imunitas seluler karena dapat merusak antigen seluler melalui interaksi
dengan sistem komplemen atau melalui efek sitolitik Killer cell ( sel K
), eosinofil, neutrofil, yang semuanya mengandung reseptor untuk Fc
dari IgG. Sel K merupakan efektor dari antibody Dependent Celluler
Cytotoxicity ( ADCC ). ADCC tidak hanya merusak sel tunggal, tetapi
juga mikroorganisme multiseluler seperti telur skistosoma. Peranan
efektor ADCC ini penting pada penghancuran kanker, penolakan
transplan dan penyakit autoimun, sedang ADCC melalui neutrofil dan
eosinofil, berperan pada infestasi parasit. Kadar IgG meninggi pada
infeksi kronis dan penyakit autoimun (Bellanti dan Josef, 1993).

5. Glikosilasi dan AGEP


Hiperglikemia akan menyebabkan glikosilasi non ensimatik
matrik dan protein membran sel yang akan terikat oleh reseptor khusus,
yaitu AGEP-R ( reseptor advanced glycosylation end-products ).
Aktivasi ini menghasilkan peningkatan pengeluaran sitokin dan growth

factor termasuk PDGF, interleukins, TNF-α dan TGF- β, yang

semuanya mempengaruhi proses penyakit (Singh et al, 2014) . Agaknya


peran glikosilasi non ensimatik ini cukup penting dalam mekanisme
perubahan fungsi PMN dan jaringan, serta hubungannya dengan
gangguan vaskuler. Glukosa bereaksi secara non ensimatik dengan grup
asam amino bebas membentuk produk Schiff Base yang reversible.

33
Glikasi lanjut akan membentuk Amadori product yang menempel pada
protein. Produk glikosilasi awal ini merupakan prekursor produk baru
dan terbentuk lebih lambat ( beberapa minggu atau bulan ) disebut
AGEP ( advanced glycosylation end products ). AGEP ini merupakan
produk amadori yang mengalami rearrangement, dehidrasi, serta
kondensasi membentuk ikatan irreversibel dan bertahan selamanya
bersama protein atau subtrat lain. Kini telah dipastikan adanya reseptor
AGEP pada monosit / macrophage, sel endotel dan sel mesangial ginjal.
Dua AGE-binding protein yang telah dikenal yaitu protein dengan 60-
kDa dan 90-kDa, di mana kedua binding protein ini merupakan substrat
dari protein kinase C, sehingga dapat dimengerti mengapa terjadi
aktivasi signaling intrasel, sekresi sitokin serta growth factors waktu
ada reaksi dengan AGE (Singh et al, 2014).
Peningkatan produk AGEP pada pasien diabete mellitus yang

tidak terkontrol akan menyebabkan peningkatan TNF-α dan IL-1β.

Hampir semua jaringan dapat mengalami glikosilasi, tetapi protein yang


waktu paruhnya lebih dari beberapa minggu merupakan protein yang
paling peka terhadap glikosilasi, lebih-lebih komponen matriks jaringan
ikat dan membran basal. Baru-baru ini diketahui bahwa glikosilasi
dapat mengenai protein berjangka hidup pendek, lipid dan asam nukleat
( DNA ). Ada 3 mekanisme dimana AGEP menyebabkan perubahan
patologik :
(a) Pembentukan AGEP intrasel yang mengubah fungsi protein,
(b) AGEPekstrasel yang mengganggu fungsi matriks dan
(c) AGEP ektrasel mendorong receptor mediated ROS
production, membentuk gen abnormal. (Manaf, 2008).
Apabila monosit dalam sirkulasi menjadi makrofag di jaringan,
dan ditemukannya reseptor AGEP di membran monosit, maka dapat
dibayangkan pengaruh hiperglikemi terhadap makrofag lewat
glikosilasi ini, dengan mekanisme terjadi gangguan intrasel,
misalnyaproduksi protein khusus. Dalam satu studi telah ditemukan

34
bahwa pemaparan TNF-α yang lama ( 12 hari ) terhadap adiposit akan

menurunkan kadar GLUT 1 dan GLUT 4, yang berakibat menurunkan


uptake glukosa, sehingga menyebabkan hiperglikemi. Penurunan uptake

glukosa oleh PMN akan menurunkan ” oxydative burst ” yang

selanjutnya akan menurunkan kemampuan sel PMN untuk


mengeliminasi S Aureus. Sel monosit akan berkompensasi

memproduksi TNF-α lebih banyak lagi untuk tujuan meningkatkan

aktifitas fagositik dan daya bunuh sel fagosit antara lain sel PMN
(Nowotny, 2015).

6. Cell Mediated Immunity


Banyak penelitian yang mengungkap adanya defek CMI ( Cell
Mediated Immunity ) pada pasien DM. Mac Cuish et al, dalam
penelitiannya menemukan bahwa terjaid penurunan transformasi
limfosit terhadap rangsang PHA ( phytohemagglutinin ) pada penderita
diabetes mellitus yang tidak terkendali. Speert dan Silva menemukan
limfosit pada anak yang mengalami ketoasidosis mengalami penurunan
respons terhadap mitogen, dan akan kembali baik bila kelainan
metabolik tersebut dikoreksi. Jumlah limfosit T menurun terutama CD4
(Th) menurun mengakibatkan rasio CD4 : CD8 menurun. Kelainan ini
oleh karena kadar insulin berkurang atau aktivitas insulin menurun.
Suatu bukti kemunduran limfosit T pada diabetes mellitus adalah
tampak kurangnya respons pembentukan antibodi spesifik setelah diberi
vaksin, misal hepatitis B. Keadaan ini disebabkan karena aktifitas
fagosit terganggu, kurang fungsi pengenalan ( recognition ) terhadap
antigen (Sentochnik, 2005).

35
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit non infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh diluar dari
proses infeksi. Penyakit non infeksi ini bukanlah penyakit yang menular, namun
penyakit tidak menular ini memberikan kontribusi bagi 60 persen kematian secara
global. Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan
meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko
timbulnya penyakit degeneratif.
Adapun yang termasuk dalam penyakit non infeksi (tidak menular) ini
adalah penyakit Rheumatoid Arthritis (RA), Lupus Eritematosus Sistemik (LES),
Diabetes Melitus (DM), serta gangguan pada kehamilan. Penyakit tersebut semua
memiliki hubungan terhadap sistem imun didalam tubuh dan hubungan penyakit
yang dipaparkan dengan sistem imun telah dijelaskan pada bab II.

36
DAFTAR PUSTAKA

Adilla, Chairul. 2015. Imunologi dalam Kehamilan. Available from:


https://www.scribd.com/doc/289436177/Imunologi-dalam-Kehamilan. Diakses
pada 1 Juli 2018.
Chrisanty dan Nyoman. 2016. Gangguan Sistem Imun Pada Penderita Diabetes
Melitus. Available from: https://edoc.site/referat-dr-sugi-1-1-pdf-free.html.
Diakses pada 1 Juli 2018.
Dwi, Wenti. 2014. Hubungan Antara Aktivitas Penyakit Dengan Sistem Kekebalan
Tubuh (Lupus Eritematosus Sistemik). Available from:
http://www.academia.edu/9337649/HUBUNGAN_ANTARA_AKTIVITAS_PE
NYAKIT_DENGAN_SISTEM_KEKEBALAN_TUBUH_LUPUS_ERITEMAT
OSUS_SISTEMIK. Diakses pada 1 Juli 2018.
Setyohadi. 2006. Lupus dan Penyebabnya. Available from :
http://rheumatology.oxfordjournals.org/content/43/12/15226.full. diakses pada 1
Juli 2018.
Sophia, Enny. 2009. Kenali Reumatoid Artritis: Si Sistem Imun yang tak lagi
Menjalankan Fungsinya. Available from:
http://medicastore.com/seminar/95/Kenali_Reumatoid_Artritis:_Si_Sistem_Imu
n_yang_tak_lagi_Menjalankan_Fungsinya.html. Diakses pada 1 Juli 2018.

37

Anda mungkin juga menyukai