DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3
1. ANNISA DITA HASANAH
2. AYU RESTA FARSI
3. DINI PRATIWI
4. ENI ELVITA
5. FENNY ERLIANA ARITONANG
6. JOKO SUBAGYO
7. MUHAMAD AZAKI
8. NIA ANGGRAENI
9. QUROTUL AINI NUR RAMADHANI
10. RIYEN ASTRIVIONITA
11. SELVI OKTAVIANI
12. VIO PERORI
KELAS : REGULER II A
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt. atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita dan tak lupa pula kita mengirim salam dan salawat
kepada baginda nabi besar Nabi Muhammad saw. yang telah membawa kita dari masa
kegelapan ke masa yang terang benderang seperti saat ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Petanda penyakit bukan infeksi”.
Makalah ini dibuat demi memenuhi tugas mata kuliah Immunologi serta
sebagai penunjang pembelajaran bagi mahasiswa khususnya mahasiswa-mahasiswi
Poltekkes Kemenkes Palembang Jurusan D3 Analis Kesehatan. Penulis berharap dengan
dibuatnya makalah ini dapat membantu mahasiswa memahami materi tentang petanda
penyakit bukan infeksi. Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin
dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa untuk menyampaikan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikkan makalah.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Rheumatoid Arthritis ................................................................................... 3
2.2 Lupus Eritematosus Sistemik (LES) ............................................................ 8
2.3 Respon Imun pada Kehamilan ..................................................................... 17
2.4 Diabetes Melitus .......................................................................................... 24
Daftar Pustaka
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa saja penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit bukan infeksi?
2) Bagaimanakah penjelasan yang dapat mendefinisikan masing-masing
penyakit tersebut ?
3) Apakah keterkaitan antar masing-masing penyakit yang termasuk bukan
penyakit infeksi terhadap sistem imun?
4) Apa saja faktor-faktor yang dapat menyebabkan gangguan sistem imun
sehingga terciptalah penyakit tersebut ?
1.3 Tujuan
1) Mengetahui apa saja penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit
bukan infeksi.
2) Mengetahui deinisi yang menjelaskan masing-masing penyakit yang termasuk
penyakit bukan infeksi.
3) Mengetahui keterkaitan atau hubungan antara kelompok penyakit bukan
infeksi dengan sistem imun.
4) Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan gangguan pada sistem imun
sehingga dapat menciptakan penyakit bukan infeksi.
1.4 Manfaat
a. Bagi Mahasiswa
Untuk menambah wawasan dan memenuhi tugas perkuliahan dari mata
kuliah immunologi.
b. Bagi institusi
Untuk menambah referensi dan pembendaharaan tentang penyakit bukan
infeksi
c. Bagi masyarakat
Bisa menambah pengetahuan tentang penyakit bukan infeksi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.2 Etiologi
Penyebab pasti reumatod arthritis tidak diketahui. Biasanya
merupakan kombinasi dari faktor genetic, lingkungan, hormonal dan faktor
system reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi
seperti bakteri, mikoplasma dan virus (Lemone & Burke, 2001).
Penyebab utama kelainan ini tidak diketahui. Ada beberapa teori
yang dikemukakan mengenai penyebab artritis reumatoid, yaitu :
1. Infeksi streptokokus hemolitikus dan streptokokus non-
hemolitikus
2. Endokrin
3. Autoimun
4. Metabolik
5. Faktor genetik serta faktor pemicu lainnya.
3
Pada saat ini, artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor
autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II;
faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena virus dan organisme
mikoplasma atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II
kolagen dari tulang rawan sendi penderita.
4
3) Sendi terkunci
Orang dengan RA kadang-kadang dapat mengalami sendi
terkunci, terutama di lutut dan siku. Hal ini terjadi karena ada begitu
banyak pembengkakan pada tendon sekitar sendi, sehingga sendi tidak
dapat menekuk. Hal ini dapat menyebabkan kista di belakang lutut
yang dapat membengkak dan menghambat gerak.
4) Benjolan kecil
Ini adalah pabrik benjolan yang tumbuh di bawah kulit dekat
sendi yang terinfeksi. Benjolan ini sering muncul di bagian belakang
siku, dan kadang-kadang orang juga bisa menemukannya di mata.
Gejala ini umum terjadi pada orang yang sudah mengalami
rheumatoid arthritis stadium berat, namun kadang-kadang muncul
lebih awal. Benjolan ini juga bisa diartikan encok, bentuk lain dari
arthritis.
5
mirip makrofag untuk melakukan fagositosis. Sebaliknya magrofag
merangsang limfosit T untuk melepaskan berbagai limfokin, salah satu
diantaranya adalah fibroblast stimulating faktor yang merangsang
proliferasi fibroblast, dan faktor kemotaktik yang menarik granulosit ke
tempat terjadinya kerusakan. Makrofag yang teraktivasi melepakan
berbagai mediator diantaranya plasmiogen, interleukin-1 dan prostaglandin
E2 (PGE2) yang dapat mengaktifasi osteoklas sehingga terjadi respon
tulang dan mengakibatkan rheumatoid arthritis yang lebih parah.
6
2.1.5 Pengobatan terhadap Sistem Imun
Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (AINS) mampu menghambat
sintesis mediator nyeri prostaglandin. Khasiat suatu AINS sangat
ditentukan kemampuannya menghambat sintesis prostaglandin melalui
hambatan aktivitas COX. Dari penelitian Duffy dkk (2003) diketahui
bahwa kadar PGE2 penderita rematik di plasma berkurang setelah
pemberian diklofenak (dari 28.15 +/- 2.86 ng/mL menjadi 0.85 +/- 2.86
ng/mL setelah 4 jam pemberian) dan nimesulide (dari 24.45 +/- 2.71
ng/mL menjadi 1.74 +/- 2.71 ng/ mL setelah 2 jam pemberian) dan di
cairan sinovium berkurang setelah pemberian diklofenak dan nimesulide
(dari 319 +/- 89 pg/mL menjadi 235 +/- 72 pg/mL setelah 4 jam
pemberian) bahkan pada pemakaian jangka lama kadar PGE2 di cairan.
sinovium dapat turun menjadi 61 +/- 24 pg/ mL. Aspirin dan meloxicam
juga mampu menurunkan kadar prostaglandin di darah dan cairan
sinovium (Jones dkk, 2002).
Nyeri inflamasi seperti yang dikeluhkan penderita rematik, bukan
semata-mata akibat peningkatan mediatar inflamasi prostaglandin.
Berbagai mediator inflamasi lain (misalnya bradikinin) dan sitokin (TNF-
alfa dan interleukin) turut serta dilepaskan dan berperan serta dalam
mencetuskan nyeri inflamasi. Interleukin-1beta, suatu proinflammatory
cytokine, menyebabkan pembebasan secara perlahan PGE2. Sebaliknya,
bradikinin, suatu mediator kimiawi pada inflamasi, memacu pembebasan
PGE2 dengan cepat.
Naproxen, berbeda dari nimesulide, tidak mampu menghambat
ekspresi COX-2 yang dipicu oleh IL-1 beta (Fahmi dkk, 2001). Henrotin
dkk (1999) mengkaji efek diklofenak dan nimesulide terhadap produksi
prostaglandin dan sitokin pada chondrocyte manusia. Grup peneliti ini
membuktikan bahwa produksi PGE-2 dan IL-6 ditekan baik pada
chondrocyte yang distumulasi dengan atau tanpa stimulasi IL-1 beta.
Pengkajian lanjutan dari grup peneliti ini mendapatkan bahwa seluruh
AINS yang diuji mampu menghambat sintesis PGE-2, sementara
diclofenak, indomethacin dan nimesulide secara bermakna menghambat
7
produksi IL-6 baik dalam keadaan basal maupun distimulasi dengan IL-1
beta. Celecoxib dan ibuprofen hanya menghambat produksi IL-6 yang
distimulasi dengan IL-1 beta, sedangkan piroxicam dan rofecoxib tidak
menunjukkan efek yang bermakna. Tak satupun dari AINS yang diuji
menunjukkan efek yang bermakna terhadap produksi IL-8 baik dalam
keadaan basal maupun terstimulasi dengan IL-1 beta, kecuali celecoxib
dan ibuprofen yang mampu meningkatkan produksi IL-8 dalam keadaan
basal. Sanchez dkk (2002) berpendapat bahwa mekanisme kerja AINS
kelihatannya multifactor dan tidak terbatas pada kemampuan hambatan
aktivitas cyclooxygenase. Efek ini memberikan nilai tambah dalam
pengobatan jangka panjang nyeri rematik.
8
2.3.2 Data dan Studi pada LES
Prevalensi LES di Amerika Serikat adalah 15-50 per 100.000
populasi. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penyandang LES baru
di seluruh dunia. LES dapat mengenai semua ras, serta memiliki
kecenderungan perkembangan penyakit pada usia muda dengan
komplikasi yang lebih serius. Beberapa data yang ada di Indonesia
diperoleh dari pasien rawat inap di rumah sakit. Data antara tahun 1988-
1990, insidensi rata-rata penyandang LES adalah sebesar 37,7 per 10.000
perawatan dan cenderung meningkat dalam dua dekade terakhir (Utomo,
Wicaksono. 2012).
Studi yang dilakukan terhadap 195 pasien selama 2 tahun
menunjukkan bahwa pasien yang memiliki aktivitas penyakit LES berat
memiliki kemampuan fisik yang buruk, kondisi kesehatan yang jelek,
fungsi sosial yang jelek, dan nyeri berkelanjutan yang berdampak pada
pekerjaan yang dia lakukan (Utomo, Wicaksono. 2012). Berdasarkan
penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan maka penyakit LES
dirasa penting untuk dikaji ulang mengenai sistem kekebalan tubuh yang
berperan dan beberapa hal seperti pembentukan antibodi dalam tubuh
penderita LES.
9
Kebanyakan gambaran klinis SLE pada kulit berupa lesi diskoid
yang umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada
wajah bagian pipi dan sekitar hidung yang disebut buterfly rash karena
membentuk seperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga, dagu, daerah
leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan.
Gejala klinis yang sering muncul antara lain:
Kulit : Sariawan, rambut rontok.
Persendian : Nyeri, kemerahan, bengkak
Ginjal : Kelainan urine, gagal ginjal
Membran : Radang selaput paru (pleurisy), selaput jantung
(pericarditis), selaput dinding perut (peritonitis).
Darah : Anemia, Leukopenia, Trombositopenia.
Paru-paru : Batuk, sesak nafas
Sistem saraf : Kejang, psikosa
10
Tabel 1. Kriteria Lupus Erythematosus Systemic revisi tahun 1997
Kriteria Definisi
1. Butterfly Rash Terdapat eritema, datar, atau meninggi yang
cenderung tidak mengenai lipatan nasolabial.
2. Discoid Rash Bercak eritema menonjol dengan skuama
keratosis dan sumbatan folikel, parut atrofi
dapat muncul pada lesi yang sudah lama
timbul.
3. Fotosensitivitas Ruam yang timbul setelah terpapar sinar UV
A dan B
4. Arthritis Radang di persendia yang mengenai dua atau
lebih persendian perifer dengan rasa sakit
disertai pembengkakan.
5. Kelainan Imunitas Antibodi anti-DNA asal dalam titer abnormal;
atau antibody antifosfolipid positif
berdasarkan pada kadar antibodi
antikardiolipin IgG atau IgM serum yang
abnormal dan positif antioagulanlupus
menggunakan uji standart.
6. Tes ANA Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan
tidak adanya obat yang diketahui berkaitan
dengan LES yang diinduksi obat.
11
2.3.5 Etiopatogenesis LES
Etiopatologis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana
terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral
seperti faktor genetik,faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap
respons imun. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita
lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar
monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang
berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Studi lain
mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA
( Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC
( Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi
spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
komplemen, seperti C2,C4, atau C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat
merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit
mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi
C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga
komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.
12
sehingga menimbulkan reaksi peradangan pada organ/sistem tersebut
Sistem komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan
memperberat kerusakan jaringan yang terjadi. LES tergantung dari
organ/sistem mana yang terkena/ terpapar (J Peny Dalam, Volume 8
Nomor 2 Mei 2007
13
2. Antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang pembentukan
antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun. Gabungan
antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di
pembuluh darah kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan
normal, kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit).
b. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem
imun, yaitu:
1. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC ( Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini
menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T
akan salah mengenali perintah dari sel T.
14
2. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T
dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit
yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon
autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi
menjadi tidak normal.
3. Kelainan Antibody
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada LES,
seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali
sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi
autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di
jaringan.
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LES.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus
dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor resiko terjadinya LES.
d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya LES. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari:
1. Ineksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya LES. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr
Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
15
2. Paparan Sinar Ultraviolet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit LES dapat
kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi
di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh
darah.
3. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya LES pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini
dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang
dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan LES
pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal.
4. Obat-Obatan
Obat pada pasien LES dan diminum dalam jangka waktu
tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus
Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE
diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,
dan isoniazid.
16
Obat-obat Lupus secara Umum
1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAID adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan
ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering
menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak
fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan
resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga
mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam kehamilan (setelah
20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal janin.
2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama
dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu
rendah untuk pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering
terjadi adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu
lama.
17
berperan terhadap penekanan respon autoimun serta perubahan pada sel T
yang bersirkulasi dan lokal.
18
sitokin pada saat awal kehamilan mencerminkan adanya kemungkinan
besar untuk melakukan percobaan terapi di masa yang akan datang.
19
respon imun yang dimediasi oleh sel. Infeksi virus tertentu, seperti
hepatitis, herpes simplek, dan Epstein-barr, lebih sering terjadi pada
kehamilan. Penyakit yang disebabkan oleh pathogen intraseluler (misal
lepra, tuberculosis, malaria, toksoplasmosis, dan coccidioidomycosis)
tampaknya dapat menjadi lebih parah pada kehamilan. Lebih lanjut lagi,
sekitar 70% wanita dengan rheumatoid arthritis (yang disebabkan oleh sel
T sitotoksik pada daerah persendian) mengalami penyembuhan sementara
pada gejalanya pada saat gestasi, sedangkan SLE (yang disebabkan oleh
autoantibody) cenderung menjadi buruk pada saat kehamilan.
Dapat disimpulkan bahwa sistem imun secara signifikan berubah
pada saat kehamilan dan perubahan-perubahan ini penting untuk
mendukung plasentasi yang normal dan agar kehamilan dapat berjalan
normal dan sehat. Gangguan pada sistem imun maternal dapat
mengganggu keseimbangan yang baru saja terbentuk antara toleransi dan
imunitas pada saat kehamilan dan dapat mempengaruhi plasenta. Hasil
luaran dan/atau perjalanan kehamilan.
20
tampak membahayakan janin. Sel fetal yang persisten dalam ibu dapat
memainkan peranan dalam persistensi antibodi-antibodi ini, karena pada
beberapa wanita antibodinya menetap, sedangkan pada ibu yang lain
antibody ini tidak tampak. Pembentukan antibody IgG terhadap antigen
HLA paternal yang diwariskan berkaitan dengan adanya limfosit T
sitotoksik yang spesifik untuk antigen HLA ini. Limfosit T maternal yang
spesifik untuk antigen janin juga muncul pada saat hamil, tetapi kurang
responsive.
Toleransi melalui antigen leukosit manusia (HLA)
Trofoblas janin dan sel dalam membrane plasenta berkontak
langsung dengan sel dan darah maternal, dan seharusnya beresiko
mengalami penolakan imunologis. Pengeluaran molekul MHC oleh sel-
sel fetal ini pada awalnya sepertinya tidak menguntungkan yang dapat
memicu respon imun yang menolak perlekatan janin pada uterus. Dari
berbagai macam bentuk trofoblas plasenta, hanya sel trofoblas
ekstravilli yang mengeluarkan molekul MHC kelas I (HLA-C, -E, dan -
G). Berdasarkan ekspresi HLA-nya, populasi sel-sel trofoblas dapat
dibagi menjadi 3 populasi, yaitu:
(a) Sel-sel trofoblas yang melapisi ruang intravili. Sel-sel trofoblas di
sini akan langsung mengadakan kontak dengan sel-sel imun
maternal dari sirkulasi maternal, maka sel-sel trofoblasnya tidak
akan mengekspresikan HLA kelas I sama sekali;
(b) Sel-sel trofo-blas endovaskular, yaitu sel-sel trofoblas yang
menginvasi pembuluh darah arteri spiralis. Sel-sel trofoblas di sini
akan berkontak dengan sel-sel imun maternal pada sirkulasi
maternal. Namun,bedanya sel-sel trofoblas tersebut
mengekspresikan HLA kelas I, seperti HLA-G, HLA-E, dan HLA-
C;
21
(c) Sel-sel trofoblas yang akan menginvasi lapisan desidua. Sel-sel ini
juga berpotensi untuk berkontak dengan sel-sel imun maternal yang
terdapat pada lapisan desidua. Maka, sel-sel trofoblas pada lapisan
ini juga hanya akan mengekspresikan HLA-G, HLA-E, dan HLA-
C.
Karena distribusinya yang unik pada jaringan trofoblastik janin,
HLA-G diperkirakan menjadi komponen yang penting dalam toleransi
janin. Meskipun fungsi pasti dari HLA-G masih belum diketahui, bukti
menunjukkan bahwa HLA-G melindungi sitotrofoblast invasif agar
tidak dibunuh oleh sel NK-uterus. HLA-G, yang berinteraksi dengan sel
NK-U, kemungkinan berperan pada pemeliharaan toleransi imun pada
penghubung maternal-fetal dan kehamilan yang normal.
22
Toleransi melalui pengaturan sel T maternal
Sel T maternal berada dalam keadaan toleransi transien untuk
alloantigen paternal tertentu. Hal ini telah diperlihatkan pada tikus
betina yang disensitisasi untuk mengenali antigen paternal sebelum
hamil. Tikus betina menjadi toleran terhadap antigen paternal yang
sama yang dikeluarkan oleh janin yang sebelumnya telah dikenali dan
dihancurkan. Oleh karena itu harus terdapat beberapa mekanisme untuk
menekan respon sel T maternal.
Sebuah populasi special dari sel T, yang disebut sel T pengatur,
menekan respon imun terhadap antigen tertentu dan meningkat dalam
sirkulasi maternal pada wanita dan tikus betina pada saat hamil. Sel T
pengatur (CD4+ CD25+) terutama berperan untuk mencegah respon
autoimun yang terjadi jika sel T self-reactive keluar dari timus pada saat
perkembangan sel yang normal. Mekanisme penekanan sel T pengatur
pada respon sel T masih belum diketahui tetapi mungkin melibatkan
kontak sel secara langsung atau menghasilkan sitokin anti-peradangan.
Cara lain untuk menekan sel T maternal pada penghubung
maternal-fetal melibatkan deplesi triptofan oleh indoleamine 2,3
dioxygenase (IDO), sebuah enzim yang mengkatabolisasikan triptofan.
IDO dalam keadaan normal berfungsi sebagai mekanisme pertahanan
antimikroba bawaan dengan cara memungkinkan sel untuk menghapus
triptofan dari kelompok intraseluler atau lingkungan mikro lokal. IDO
dipertimbangkan berperan untuk membuat sel T menjadi kurang
responsive pada saat hamil, karena triptofan adalah sebuah asam amino
essensial untuk fungsi sel T.
23
2.4 Diabetes Mellitus
2.4.1 Definisi
Diabetes diturunkan dari bahasa Yunani yaitu diabêtês yang berarti
pipa air melengkung (syphon). Diabetes dinyatakan sebagai keadaan di
mana terjadi produksi urin yang melimpah pada penderita (Lawrence,
1994). Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang melibatkan
hormon endokrin pankreas, antara lain insulin dan glukagon. Diabetes
Mellitus ( DM ) merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh kadar gula
darah melebihi nilai normal. Diabetes merupakan penyakit kronis yang
membutuhkan perawatan medis terus menerus dan edukasi untuk
mencegah komplikasi akut serta menurunkan risiko jangka panjang.
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2004,
diabetes diklasifikasikan dalam Standards of Medical Care in Diabetes
berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes
dan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan oleh WHO dan telah
dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi DM :
1) Diabetes melitus tipe 1
2) Diabetes melitus tipe 2, disebut juga non-insulin dependent diabetes
melitus (NIDDM) atau adult onset diabetes melitus (AODM).
3) Diabetes melitus gestasional (diabetes kehamilan)
4) Diabetes melitus tipe khusus lainnya
2.4.2 Prevalensi
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi
global diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada
2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia
menduduki peringkat ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes
setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah
penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030
jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi,
hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka
24
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan
secara teratur.
Kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak
Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan
25
Dasar dari abnormalitas imun pada DM tipe 1 adalah kegagalan
dari self-tolerance sel T. Kegagalan toleransi ini dapat disebabkan oleh
defek delesi klonal pada sel T self-reactive pada timus, defek pada
fungsi regulator atau resistensi sel T efektor terhadap supresi sel
cells dengan cara mensekresi sitokin seperti IFN-γ dan TNF serta CD8+
26
Dengan demikian, dalam model ini produk-produk dari alel HLA
tertentu yang berkaitan dengan DM tipe 1 karena mereka mengikat dan
menyajikan peptida khusus untuk merangsang respon imun terhadap sel
beta pankreas. Antigen yang terlibat dalam diabetes mellitus tipe 1
meliputi antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase (GAD) dan
antigen sitoplasma sel islet. Sel Islet tertentu pada baris sel beta
memproduksi antibodi IgG yang terikat ke antigen sitoplasma sel islet
yang ditemukan. Semua monoklonal antibodi yang diproduksi oleh
baris sel beta dikenali oleh asam glutamate dekarboksilase di dalam
target autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin menjadi target
antigen utama pada diabetes mellitus tipe 1, sehingga antibodi untuk
GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan diabetes.
Antibodi juga bereaksi dengan insulin dapat juga dideteksi dalam klinis
pada periode prediabetik yang laten, tetapi autoantibodi insulin
memiliki sensitivitas lebih rendah sebagai penanda untuk
perkembanagn diabetes dibandingkan antibodi GAD atau ICA.(
Bougn,2008). Pada penelitian dengan model hewan DM tipe 1
menggunakan mikroskopis elektron untuk mengamati pankreas
menunjukkan bahwa makrofag adalah sel pertama yang menyerang
islets. Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas
menunjukkan bahwa interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor
27
nitrat oksida untuk dapat diuji dalam pencegahan perkembangan DM
tipe 1. Faktor lingkungan meningkatkan risiko untuk perkembangan
diabetes tipe 1 adalah infeksi rubella congenital, dimana sampai 20%
dari anak-anak yang terinfeksi virus tersebut di kemudian hari dapat
berisiko untuk menderita diabetes. Pada saat terjadi kekurangan insulin
akibat kerusakan dari sel beta di pankreas, maka akan timbul
hiperglikemia yang merupakan perkembangan dari tiga proses:
(1) Peningkatan glukoneogenesis (pembuatan glukosa dari asam
amino dan gliserol);
(2) Glikogenolisis dipercepat (pemecahan glukosa disimpan); dan
(3) Pemanfaatan glukosa oleh perifer jaringan (Valeron, 2008).
28
Ada 4 karakteristik penyebab diabetes mellitus tipe 2, yaitu
resistensi insulin, berkurangnya sekresi insulin, dan meningkatnya
produksi glukosa hati, dan metabolisme lemak yang abnormal.
29
Ketika asidosis diabetika dikoreksi, perbaikan fungsi fagositosis terjadi
walaupun tidak sebaik kontrol (Tan et al., 2009).
Gangguan fungsi adherence sel PMN pada pasien diabetes
mellitus mengakibatkan antigen sulit untuk difagositosis. Semakin baik
kontrol gula pasien diabetes mellitus, semakin baik pula fungsi
adherence sel PMN. Fungsi adherence membantu perlekatan PMN
dengan kompleks antigen-antibodi-komplemen.
Gambar: Rangkaian reaksi yang menyebabkan injuri jaringan yang terkait dengan
masuknya PMN. Perhatian bahwa di samping proses kemotaksis, perlekatan
(adherence), fagositosis, dan digesti yang biasanya menyebabkan inaktifasi
partikel, di sini dapat juga terjadi pelepasan unsur-unsur pokok neutrofilik
(enzim lisosom ) yang mengakibatkan injuri jaringan. (Dikutip dari :
Henson, 1993 )
30
peredaran darah. setelah 24 jam, sel monosit akan bermigrasi dari
peredaran darah dan menuju ke tempat tujuan untuk berdifierensiasi
sebagai makrofag (Bellanti, 2008). Makrofag akan membelah
membentuk protein dan bertahan sampai beberapa bulan yang
kemudian disebut fixed macrophage yang nantinya akan berubah nama
sesuai dengan lokasinya seperti sel kuffer di hepar dan makrofag
peritoneal bebas di dalam cairan peritoneum.
Fungsi monosit sebagai fagosit, antiviral, antitumor, presentasi
antigen ke limfosit, aktivasi limfosit dan produksi komponen
komplemen, modeling dan perbaikan jaringan, aktivasi sistemik sebagai
respon terhadap infeksi, serta aktivasi vaskulatur sel epitel.
Penurunan jumlah total dari monosit yang beredar di dalam
plasma akan menurunkan fungsi dari sistem imun tubuh seseorang.
Pada penderita diabetes mellitus, terjadi penurunan jumlah total
monosit yang beredar pada plasma. Penelitian Geisler et al., pada 20
pasien diabetes mellitus yang dijadikan responden penelitian, 14 pasien
dengan kadar gula yang tidak terkontrol mengalami penurunan fungsi
fagositosis terhadap Candida Albicans. Monosit pada pasien diabetes
mellitus mengalami penurunan aktivitas reseptor lectinlike yang
diperlukan untuk mengenali komponen dinding mikroorganisme
(Sentochnik dan Eliopoulos, 2005).
sakit 1–3 tahun dan lebih 5 tahun. Kadar C4 menurun pada penderita
31
yangmengidap kurang dari 1 tahun dan cenderung turun pada penderita
32
terkontrol dan tidak terkontrol. IgG pada pasien dengan gula darah tidak
terkontrol mengalami penurunan secara signifikan dibanding dengan
pasien dengan gula darah terkontrol, sedangkan IgA terjadi penurunan
pada pasien dengan gula darah terkontrol dibanding yang tidak
terkontrol . IgG memiliki sifat opsonin yang efektif karena sel fagosit,
monosit, dan makrofag mempunyai reseptor untuk fraksi Fc dari IgG
sehingga dapat mempererat hubungan antara fagosit dengan sel sasaran.
Opsonin dalam bahasa Yunani berarti menyiapkan untuk dimakan.
Selanjutnya proses opsonisasi tersebut dibantu oleh reseptor
untuk komplemen pada permukaan fagosit. IgG juga berperan pada
imunitas seluler karena dapat merusak antigen seluler melalui interaksi
dengan sistem komplemen atau melalui efek sitolitik Killer cell ( sel K
), eosinofil, neutrofil, yang semuanya mengandung reseptor untuk Fc
dari IgG. Sel K merupakan efektor dari antibody Dependent Celluler
Cytotoxicity ( ADCC ). ADCC tidak hanya merusak sel tunggal, tetapi
juga mikroorganisme multiseluler seperti telur skistosoma. Peranan
efektor ADCC ini penting pada penghancuran kanker, penolakan
transplan dan penyakit autoimun, sedang ADCC melalui neutrofil dan
eosinofil, berperan pada infestasi parasit. Kadar IgG meninggi pada
infeksi kronis dan penyakit autoimun (Bellanti dan Josef, 1993).
33
Glikasi lanjut akan membentuk Amadori product yang menempel pada
protein. Produk glikosilasi awal ini merupakan prekursor produk baru
dan terbentuk lebih lambat ( beberapa minggu atau bulan ) disebut
AGEP ( advanced glycosylation end products ). AGEP ini merupakan
produk amadori yang mengalami rearrangement, dehidrasi, serta
kondensasi membentuk ikatan irreversibel dan bertahan selamanya
bersama protein atau subtrat lain. Kini telah dipastikan adanya reseptor
AGEP pada monosit / macrophage, sel endotel dan sel mesangial ginjal.
Dua AGE-binding protein yang telah dikenal yaitu protein dengan 60-
kDa dan 90-kDa, di mana kedua binding protein ini merupakan substrat
dari protein kinase C, sehingga dapat dimengerti mengapa terjadi
aktivasi signaling intrasel, sekresi sitokin serta growth factors waktu
ada reaksi dengan AGE (Singh et al, 2014).
Peningkatan produk AGEP pada pasien diabete mellitus yang
34
bahwa pemaparan TNF-α yang lama ( 12 hari ) terhadap adiposit akan
aktifitas fagositik dan daya bunuh sel fagosit antara lain sel PMN
(Nowotny, 2015).
35
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit non infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh diluar dari
proses infeksi. Penyakit non infeksi ini bukanlah penyakit yang menular, namun
penyakit tidak menular ini memberikan kontribusi bagi 60 persen kematian secara
global. Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan
meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko
timbulnya penyakit degeneratif.
Adapun yang termasuk dalam penyakit non infeksi (tidak menular) ini
adalah penyakit Rheumatoid Arthritis (RA), Lupus Eritematosus Sistemik (LES),
Diabetes Melitus (DM), serta gangguan pada kehamilan. Penyakit tersebut semua
memiliki hubungan terhadap sistem imun didalam tubuh dan hubungan penyakit
yang dipaparkan dengan sistem imun telah dijelaskan pada bab II.
36
DAFTAR PUSTAKA
37